Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ILMU BEDAH

SUBDIVISI BEDAH ORTOPEDI


FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN MARET 2014

UNDESCENDED TESTIS

Disusun oleh:
Marwah Widuri A.
110 208 086

Supervisor:
Prof. dr. Chairuddin Rasjad, Ph.D, Sp.B, Sp.OT

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU BEDAH SUBDIVISI BEDAH ORTOPEDI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
BAB I
PENDAHULUAN

Undescendcus testis (UDT) atau biasa disebut Kriptorkismus merupakan


kelainan bawaan genitalia yang paling sering ditemukan pada anak laki-laki.
Sepertiga kasus anak-anak dengan UDT adalah bilateral sedangkan dua-
pertiganya adalah unilateral. Insiden UDT terkait erat dengan umur kehamilan,
dan maturasi bayi. Insiden meningkat pada bayi yang lahir prematur dan
menurun pada bayi-bayi yang dilahirkan cukup bulan. Peningkatan umur bayi
akan diikuti dengan penurunan insiden UDT. 1,2
Insidensnya 3 – 6% pada bayi laki-laki yang lahir cukup bulan dan
meningkat menjadi 30% pada bayi prematur. Dua pertiga kasus mengalami UDT
unilateral dan UDT bilateral. Setelah 100 tahun penelitian mengenai UDT, masih
terdapat beberapa aspek yang menjadi kontroversial. Faktor predisposisi
terjadinya UDT adalah prematuritas, berat bayi baru lahir yang rendah, kecil
untuk masa kehamilan, kembar dan pemberian estrogen pada trimester pertama.
1,2

Testis yang belum turun ke kantung skrotum dan masih berada dijalurnya
mungkin terletak di kanalis inguinalis atau di rongga abdomen, yaitu terletak
diantara fossa renalis dan annulus inguinalis internus. Testis ektopik mungkin
berada diperineal, di luar kanalis inguinalis yaitu diantara aponeurosis oblikus
eksternus dan jaringan subkutan, suprapubik, atau di regio femoral.1,3
UDT dapat kembali turun spontan ke testis sekitar 70 – 77% pada usia
bulan. Beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan testis ke dalam skrotum,
antara lain: (1) adanya tarikan dari gubernakulum testis (suatu pemadatan
mesenkim yang kaya akan matriks ekstraseluler) dan refleks dari otot kremaster,
(2) perbedaan pertumbuhan gubernakulum dengan pertumbuhan badan, dan (3)
dorongan dari tekanan intraabdominal. 1,2
Gambar 1. Undescended testis
(sumber : http/: www.rch.org.au/kidsinfo/UDT.jpg)

Alasan utama dilakukan terapi adalah meningkatnya risiko infertilitas,


meningkatnya risiko keganasan testis, meningkatnya risiko torsio testis, reisiko
trauma testis terhadap tulang pubis dan faktor psikologis terhadap kantong
skrotum yang kosong. 1,2
Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada
testis di kemudian hari. UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan
dengan risiko tumor sel germinal yang meningkat 3 – 10 kali. Atrofi testis terjadi
pada usia 5 – 7 tahun, akan tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1 – 2
tahun. Risiko kerusakan histologi testis juga berhubungan dengan letak abnormal
testis. Pada awal pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel germinalnya
pada kasus intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal,
penurunan sel geminal mencapai 41% dan 20%. 1,2
Esensi terapi rasional yang dianut hingga saat ini adalah memperkecil
terjadinya risiko komplikasi dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum
baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan
(orchiopexy).1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Undescended testis (UDT) adalah suatu kondisi dimana testis tidak
dijumpai pada tempat yang semestinya yaitu di dalam skrotum. Dalam hal ini
mungkin testis tidak mampu mencapai skrotum tetapi masih berada pada
jalurnya yang normal, keadaan ini disebut kriptorkismus, atau pada proses
desensus, testis tersesat (keluar) dari jalurnya yang normal, keadaan ini disebut
sebagai testis ektopik. 1,2

2.2. Epidemiologi
UDT merupakan kelainan genitalia kongenital tersering pada anak laki-
laki. Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan sekitar 3,4% pada bayi cukup bulan.
Bayi dengan berat lahir < 900 gram seluruhnya mengalami UDT, sedangkan
dengan berat lahir < 1800 gram sekitar 68,5 % UDT. Dengan bertambahnya
umur menjadi 1 tahun, insidennya menurun menjadi 0,8 %, angka ini hampir
sama dengan populasi dewasa.1,2,6

Tabel 1. Data prevalensi UDT berdasarkan umur oleh Scorer dan


Farrington ( 1971)

Dua pertiga kasus mengalami UDT unilateral dan sisanya UDT bilateral.
Dengan bertambahnya usia, testis mengalami desensus secara spontan sekitar
70-77% biasanya pada usia 3 bulan, sehingga pada saat usia 1 tahun angka
kejadian UDT turun menjadi 1% dibandingkan saat lahir 3,7%. Setelah usia 1
tahun, testis yang letaknya abnormal jarang dapat mengalami desensus testis
secara spontan.1,2

2.3. Embriologi dan Proses Penurunan Testis


Pada minggu keenam umur kehamilan primordial germ cells mengalami
migrasi dari yolk sac ke-genital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex determining
region Y), maka akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yg
berisi prekursor sel-sel Sertoli besar (yang kelak menjadi tubulus seminiferous
dan sel-sel Leydig kecil) dengan stimulasi FSH yang dihasilkan pituitary mulai
aktif berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF
(Müllerian Inhibiting Factor), yang menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus
mullerian. MIF juga meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig.
Sel- Pada minggu ke-10-11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin
yang dihasilkan plasenta dan LH dari pituitary sel-sel Leydig akan mensekresi
testosteron yang sangat esensial bagi diferensiasi duktus Wolfian menjadi
epididimys, vas deferens, dan vesika seminalis. 1,6,7
Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Walaupun
mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa
terdapat beberapa faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin, mekanik
(anatomik), dan neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar minggu ke-10
kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase transabdominal dan
fase inguinoscrotal. Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal yang berbeda.
1,6,7

Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, di


mana testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal ini
terjadi karena adanya regresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah
pengaruh androgen (testosteron), disertai pemendekan gubernaculum (ligamen
yang melekatkan bagian inferior testis ke-segmen bawah skrotum) di bawah
pengaruh MIF. Dengan perkembangan yang cepat dari regio abdominopelvic
maka testis akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3
kehamilan terbentuk processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke-
arah skrotum. Selanjutnya fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7
kehamilan. 1,6,7
Gambar 2. Skema penurunan testis menurut Hutson.
Keterangan gambar :Antara minggu ke- 8–15 gubernaculum (G) berkembang
pada laki-laki, mendekatkan testis (T) ke-inguinal. Ligamentum suspensorium
cranialis (CSL) mengalami regresi. Migrasi gubernaculum ke-skrotum terjadi
pada minggu ke- 28 35. B: Peranan gubernaculum dan CSL pada diferensiasi
seksual rodent. Pada jantan CSL mengalami regresi dan gubernaculum
mengalami perkembangan; sebaliknya pada betina CSL menetap, dan
gubernaculum menipis dan memanjang. (Sumber : Hutson JM, Hasthorpe S,
Heys CF. Anatomical and Functional of Testicular Descent and Cryptorchidism.
Endocrine Reviews 1997; 18 (2): 259-75)
Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai
dengan minggu ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari regio
inguinal ke-dalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Mekanismenya
belum diketahui secara pasti, namun diduga melalui mediasi pengeluaran
calcitonin gene-related peptide (CGRP). Androgen akan merangsang nervus
genitofemoral untuk mengeluarkan CGRP yang menyebabkan kontraksi ritmis
dari gubernaculum. Faktor mekanik yang turut berperan pada fase ini adalah
tekanan abdominal yang meningkat yang menyebabkan keluarnya testis dari
cavum abdomen, di samping itu tekanan abdomen akan menyebabkan
terbentuknya ujung dari processus vaginalis melalui canalis inguinalis menuju
skrotum. Proses penurunan testis ini masih bisa berlangsung sampai bayi usia 9-
12 bulan. 1,6,7

2.4. Etiologi
Mekanisme terjadinya UDT berhubungan dengan banyak faktor
(multifaktorial) yaitu (1) Perbedaaan pertumbuhan relatif tubuh terhadap funikulus
spermatikus atau gubernakulum, (2) peningkatan tekanan abdomen, (3) faktor
hormonal: testosteron, MIS, and extrinsic estrogen, (4) Perkembangan
epididimis, (5) Perlekatan gubernakular (6) Genito femoral nerve/calcitonin gene-
related peptide (CGRP), (7) Sekunder pasca-operasi inguinal yang menyebabkan
jaringan ikat. 1,2,3
UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1) gubernakulum
testis, (2) kelainan intrinsik testis, atau (3) defisiensi hormon gonadotropin yang
memacu proses desensus testis. Beberapa penelitian telah mengidentifikasi
kelompok bayi baru lahir yang beresiko mengalami UDT untuk mencari riwayat
alami dan faktor-faktor yang mempengaruhi desensus setelah lahir. Penelitian ini
menemukan bahwa UDT secara signifikan lebih banyak ditemukan pada bayi
prematur, kecil untuk masa kehamilan, berat bayi baru lahir yang rendah, dan
kembar.1,2
UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri (isolated
anomaly), ataupun bersamaan dengan kelainan kromosom, endokrin, intersex,
dan kelainan bawaan lainnya. Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti
hipospadia kemungkinan lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom (sekitar
12 – 25 %).1,6
Terdapat faktor keturunan terjadinya UDT pada kasus-kasus yang
isolated, di samping itu testis sebelah kanan lebih sering mengalami UDT.
Sekitar 4,0 % anak-anak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,2–9,8%
mempunyai saudara laki-laki UDT; atau secara umum terdapat risiko 3,6 kali
terjadi UDT pada laki-laki yang mempunyai anggota keluarga UDT dibanding
dengan populasi umum. 1,2,6

2.5. Klasifikasi

UDT dikelompokkan menjadi 3 tipe:


1. UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan
parsial melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi
teraba (palpable) dan tidak teraba (impalpable).
2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang
normal.
3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke-dasar skrotum tetapi akibat
refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke-kanalis
inguinalis, bukan termasuk UDT yang sebenarnya.

Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis,


menjadi: abdominal, inguinal, dan suprascrotal (gambar 2). Gliding testis atau
sliding testis adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana testis dapat
dimanipulasi hingga bagian atas skrotum, tetapi segera kembali begitu tarikan
dilepaskan. 1,2,6
Gliding testis harus dibedakan dengan testis yang retraktil, gliding testis terajadi
akibat tidak adanya gubernaculum attachment, dan mempunyai processus
vaginalis yang lebar sehingga testis sangat mobile dan meningkatkan risiko
terjadinya torsi. Dengan melakukan overstrecht selama 1 menit pada saat
pemeriksaan fisik (untuk melumpuhkan refleks cremaster), testis yang retraktil
akan menetap di dalam skrotum, sedangkan gliding testis akan tetap kembali ke-
kanalis inguinalis. 1,2,6
Gambar 3. Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik
testis.

2.6. Patogenesis dan Patofisiologi


Suhu di dalam rongga abdomen kurang lebih 1-20C lebih tinggi daripada
suhu di dalam skrotum, sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu
yang lebih tinggi daripada testis normal; hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel
germinal testis. 1,2
Pada usia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah
mengalami kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel germinal
yang masih normal. Kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya
testis menjadi mengecil. Karena sel-sel Leydig sebagai penghasil hormon
androgen tidak ikut rusak, maka potensi potensi seksual tidak mengalami
gangguan. Akibat lain yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada di
skrotum adalah mudah terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih
mudah mengalami degenerasi maligna.1-3

2.7. Diagnosis
2.7.1. Anamnesis
Pada anamnesis, tentukan apakah testis pernah teraba di skrotum,
riwayat operasi daerah inguinal, riwayat prenatal: terapi hormonal pada ibu untuk
reproduksi, kehamilan kembar, prematuritas, riwayat keluarga: UDT, hipospadia,
infertilitas, intersex, pubertas prekoks. Pada anamnesis juga, yang harus digali
adalah tentang prematuritas penderita (30% bayi prematur mengalami UDT),
penggunaan obat-obatan saat ibu hamil (estrogen), riwayat operasi inguinal.
Harus dipastikan juga apakah sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada
saat lahir atau tahun pertama kehidupan (testis retractile akibat refleks cremaster
yang berlebihan sering terjadi pada umur 4-6 tahun). Perlu juga digali riwayat
perkembangan mental anak, dan pada anak yang lebih besar bisa ditanyakan
ada tidaknya gangguan penciuman (biasanya penderita tidak menyadari).
Riwayat keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainan bawaan genitalia, dan
kematian neonatal. 1,2
Inspeksi pada regio skrotum terlihat hipoplasia kulit skrotum karena tidak
pernah ditempati oleh testis. Pada palpasi, testis tidak teraba di kantung skrotum,
melainkan berada di inguinal atau di tempat lain. Pada saat melakukan palpasi
untuk mencari keberadaan testis, jari tangan pemeriksa harus dalam keadaan
hangat.1,2
Jika kedua buah testis tidak diketahui tempatnya, harus dibedakan
dengan anorkismus bilateral (tidak mempunyai testis). Untuk itu perlu dilakukan
pemeriksaan hormonal antara lain hormon testosteron, kemudian dilakukan uji
dengan pemberian hormon hCG (human chorionic gonadotropin). 1,2

2.7.2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat.


Pemeriksaan secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda
sindrom tertentu, dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigua. 1,2,6
Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan ”frog leg
position” dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan lebih baik bila
menggunakan jelly atau sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis
ke-arah medial dan skrotum. Bila teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke-
skrotum, dengan kombinasi ”menyapu” dan ”menarik” terkadang testis dapat
didorong ke-dalam skrotum. Dengan mempertahankan posisi testis didalam
skrotum selama 1 menit, otot-otot cremaster diharapkan akan mengalami
”fatigue”; bila testis dapat bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis yang
retractile sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis dilepas.
Tentukan lokasi, ukuran dan tekstur testis. 1,2,6
Testis yang atropi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur
penurunan yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal
akibat torsi. Testis kontra lateralnya biasanya mengalami hipertrofi.Lokasi UDT
tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti supraskrotal (20%), dan
intra-abdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang baik dapat menentukan
lokasi UDT tersebut. 1,2,6
Adanya UDT bilateral yang tidak teraba gonad/testis apalagi disertai
hipospadia dan virilisasi, harus dipikirkan kemungkinan intersex, individu dengan
kromosom XX yang mengalami female pseudo-hermaphroditism yang berat; atau
Anorchia kongenital sebagai akibat torsi testis in utero.3,13,15 Sedangkan simple
UDT merupakan hal yang seringkali dijumpai terutama pada bayi yang prematur,
akan tetapi masih dapat terjadi penurunan testis dalam tahun pertama
kehidupannya. 1,2,6
2.7.3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis
dengan disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis
kromosom dan hormonal (yang terpenting adalah 17 hydroxyprogesterone) untuk
menyingkirkan kemungkinan intersex. 1,2,6
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT
bilateral dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH,
dan testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau
tidak. Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut
harus dilakukan dengan melakukan stimulasi test menggunakan hCG (human
chorionic gonadotropin hormone). Ketiadaan peningkatan kadar testosteron
disertai peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan
anorchia. 1,2,6
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar
hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi.
Respon testosteron normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita.
Pada bayi, respon normal setelah hCHG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x.
Pada masa kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa
pubertas, dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan
setelah stimulasi hCG hanya sekitar 2-3x. 1,2,6

2.7.4. Pemeriksaan Radiologi


USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di
daerah inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan
tangan.3 Pada penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba
testis, USG hanya dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan tidak
dapat mendeteksi testis intra-abdomen.17 Hal ini tentunya sangat tergantung dari
pengalaman dan kwalitas alat yang digunakan. 1,6,9
CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan
USG terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis). MRI
mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang
lebih besar (belasan tahun).3,4,5 MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan
keganasan testis.5 Baik USG, CT scan maupun MRI tidak dapat dipakai untuk
mendeteksi vanishing testis ataupun anorchia. 1,6,9
Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka
penggunaan angiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak teraba
menjadi semakin berkurang. Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan
vanishing testis ataupun anorchia. Dengan metode ini akan dapat dievaluasi
pleksus pampiniformis, parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis (pada
anorchia).5 Kelemahannya selain infasif, juga terbatas pada umur anak-anak
yang lebih besar mengingat kecilnya ukuran vena-vena gonad. 1,6,9

2.7.5. Laparoskopi
Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi UDT tidak
teraba testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode infasif yang cukup
aman oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih
besar dan setelah pemeriksaan lain tidak dapat mendeteksi adanya testis di
inguinal. 1,6
Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah: kondisi
cincin inguinalis interna, processus vaginalis (patent atau non-patent), testis dan
vaskularisasinya serta struktur wolfian-nya.6 Tiga hal yang sering dijumpai saat
laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan
anorchia (44%), testis intra-abdomen (36%), dan struktur cord (vasa dan vas
deferens) yang keluar ke-dalam cincin inguinalis interna. 1,6

2.8. Diagnosis Banding


Seringkali dijumpai testis yang biasanya berada di kantung skrotum tiba-
tiba berada di daerah inguinal dan pada keadaan lain kembali ke tempat semula.
Keadaan ini terjadi karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca
dingin, atau setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis
retraktil atau kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati. Selain itu
UDT perlu dibedakan dengan anorkismus, yaitu testis memang tidak ada. Hal ini
bias terjadi secara congenital memang tidak terbentuk testis, atau testis yang
mengalami atrofi akibat torsio in utero atau torsio pada saat neonatus.1,2

2.9. Penatalaksanaan
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah
memperkecil risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan
reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal
ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy). 1,6
Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada
testis di kemudian hari. Dengan asumsi bahwa jika dibiarkan testis tidak dapat
turun sendiri setelah usia 1 tahun, sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi
kerusakan testis yang cukup bermakna, maka saat yang tepat untuk melakukan
terapi adalah pada usia 1 tahun. Pada prinsipnya testis yang tidak berada di
skrotum harus diturunkan ke tempatnya, baik dengan cara medikamentosa
maupun pembedahan. 1,6
UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko
tumor sel germinal yang meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5-7
tahun, akan tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1-2 tahun. Risiko
kerusakan histologi testis juga berhubungan dengan letak abnormal testis. Pada
awal pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel germinalnya pada kasus
intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal, penurunan
sel geminal mencapai 41% dan 20%.1,2

Gambar 4. Penatalaksanaan kriptorkismus yang didapat.


http://www.rch.org/afp/20001101/2037.html
Gambar 5. Penatalaksanaan kriptorkismus Kongenital.
http://www.rch.org/afp/20001101/2037.html

2.9.1. Terapi Hormonal


Terapi hormonal primer lebih banyak digunakan di Eropa. Hormon yang
diberikan adalah hCG, gonadotropinreleasing hormone (GnRH) atau LH-
releasing hormone (LHRH). Terapi hormonal meningkatkan produksi testosteron
dengan menstimulasi berbagai tingkat jalur hipotalamus-pituitary-gonadal. Terapi
ini berdasarkan observasi bahwa proses turunnya testis berhubungan dengan
androgen. Tingkat testosteron lebih tinggi bila diberikan hCG dibandingkan
GnRH. Semakin rendah letak testis, semakin besar kemungkinan keberhasilan
terapi hormonal. 1,2,5
International Health Foundation menyarankan dosis hCG sebanyak 250
IU/ kali pada bayi, 500 IU pada anak sampai usia 6 tahun dan 1000 IU pada anak
lebih dari 6 tahun. Terapi diberikan 2 kali seminggu selama 5 minggu. Angka
keberhasilannya 6 – 55%. Secara keseluruhan, terapi hormon efektif pada
beberapa kelompok kasus, yaitu testis yang terletak di leher skrotum atau UDT
bilateral. Efek samping adalah peningkatan rugae skrotum, pigmentasi, rambut
pubis dan pertumbuhan penis. Pemberian dosis lebih dari 15000 IU dapat
menginduksi fusi epiphyseal plate dan mengurangi pertumbuhan somatik. 1,6
Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak memberikan hasil
terutama pada kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya
masih belum memuaskan. Obat yang sering dipergunakan adalah hormone hCG
yang disemprotkan intranasal.5

2.9.2. Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus
UDT adalah orchiopexy. Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus
mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologis
anak, dan risiko bila operasi tersebut ditunda.
Operasi pada kriptorkismus adalah orchiopexy. Tujuan operasi pada
kriptorkismus adalah: (1) mempertahankan fertilitas, (2) mencegah timbulnya
degenerasi maligna, (3) mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis, (4)
melakukan koreksi hernia, dan (5) secara psikologis mencegah terjadinya rasa
rendah diri karena tidak mempunyai testis. Operasi yang dikerjakan adalah
orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam skrotum dengan melakukan fiksasi
pada kantung sub dartos.1

Tabel. 2 Jenis Tindakan Pembedahan pada Kelaianan UDT dan Tingkat


Keberhasilannya
Gambar 6. Orchiopexy.
Sumber: http://content.answers.com/main/content/img/galeSurgery/
gesu_02_img0161.jpg
Keterangan gambar:
Orchiopexy digunakan untuk memperbaiki UDT pada anak-anak. Satu insisi
dibuat pada abdomen yang merupakan lokasi UDT, dan insisi lain dibuat pada
skrotum (A). Testis dipisahkan dari jaringan sekitarnya (B) dan dikeluarkan dari
insisi abdomen menempel pada spermatic cord (C). Testis kemudian dimasukkan
turun ke dalam skrotum (D) dan dijahit (E).

Komplikasi Orchiopexy
Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan pembedahan
Orchiopexy antara lain 1,6 :
1. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidak
komplit (10% kasus)
2. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus (5%
kasus)
3. Trauma pada vas deferens ( 1–2% kasus)
4. Pasca-operasi torsio
5. Epididimoorkhitis
6. Pembengkakan skrotum

2.10. Komplikasi UDT

Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi pada
UDT adalah keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testis Di samping
itu disebut juga terjadinya torsi testis, dan hernia inguinalis. 1,6

A. Risiko Keganasan
Teradapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden
keganasan testis sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko
terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada anak dengan UDT dilaporkan
berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan testis normal. Makin tinggi
lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis abdominal mempunyai risiko
menjadi ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal. 1,6,9
Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan,
tetapi akan lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita yang
telah dilakukan orchiopexy. 1,6,9

B. Infertilitas

Penderita UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat


dibandingkan penderita UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan
populasi normal. Penderita UDT bilateral mempunyai risiko infertilitas 6x lebih
besar dibandingkan populasi normal (38% infertil pada UDT bilateral
dibandingkan 6% infertil pada populasi normal), sedangkan pada UDT unilateral
berisiko hanya 2x lebih besar. 1,6,9
Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada
UDT. Biopsi pada anak-anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya
penurunan volume testis, jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkan
dengan testis yang normal. Biopsi testis pada anak dengan UDT unilateral yang
dilakukan sebelum umur 1 tahun menunjukkan gambaran yang tidak berbeda
bermakna dengan testis yang normal. 1,6,9
Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak setelah
umur 1 tahun, semakin memburuk dengan bertambahnya umur. Tidak seperti
risiko keganasan, penurunan testis lebih dini akan mencegah proses degenerasi
lebih lanjut. 1,6,9
BAB III
PENUTUP

Undescended testis (UDT) adalah suatu kondisi dimana testis tidak


dijumpai pada tempat yang semestinya yaitu di dalam skrotum.
UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1) gubernakulum
testis, (2) kelainan intrinsik testis, atau (3) defisiensi hormon gonadotropin yang
memacu proses desensus testis.
Penegakkan diagnosis UDT harus dapat dilakukan lebih awal sehingga
penatalaksanaan baik hormonal atau pembedahan dapat dilakukan lebih awal.
Dengan penatalaksanaan lebih awal, diharapkan terjadi penurunan risiko yang
terjadi pada testis terutama risiko infertilitas.
Esensi terapi rasional yang dianut hingga saat ini adalah memperkecil
terjadinya risiko komplikasi dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum
baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan
(orchiopexy).
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto; 2003.


h.137-40.
2. Schneck FX, Bellinger MF. Abnormalities of the testes and scrotum and their
surgical management. Dalam: Walsh PC. Campbell‘s Urology Vol 1. 8th
edition. Philadelphia: WB Saunders Company. 2000
3. Tanagho EA, Nguyen HT. Embriology of the Genitourinary System. Dalam:
Tanagho EA, McAninch JW. Smith’s General Urology. Edisi 17. California:
The McGraw Hill companies; 2000. h.23-45.
4. Docimo, S. G., R. I. Silver, and W. Cromie. The Undescended Testicle:
Diagnosis and Management. American Family Physician, 62 (November 1,
2000): 2037–2044, 2047–2048.
5. Batubara JRL. Terapi hormonal pada kriptorkismus. Disampaikan pada
Simposium Sehari Tatalaksana Optimal Kriptorkismus, Jakarta, 13 Agustus,
1994.
6. Kolon TF. Cryptorchidism. 2002. Diunduh dari
http://www.emedicine.com/med/topic2707.html.
7. Sadler. Embriologi Kedokteran LANGMAN. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2000. h.280-310.
8. Dogra VS, Mojibian H. Cryptorchidism. In:
http://www.emedicine.com/radio/topic201.htm

Anda mungkin juga menyukai