Anda di halaman 1dari 10

HUBUNGAN POLA ASUH...(Savia Dia Ningru, T. N.

Edwina Dewayani Soeharto) ISSN: 0854-2880

HUBUNGAN POLA ASUH OTORITER ORANG TUA


DENGAN BULLYING DI SEKOLAH PADA SISWA SMP
Savi Dia Ningrum* Triana Noor Edwina Dewayani Soeharto**
Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta
buwinaumby@gmail.com

Abstract. This study aims to determine the relationship between authoritarian parenting with
bullying at school in junior high school students. The hypothesis proposed in this study is a
positive relationship between authoritarian parenting with bullying at school in junior high
school students. The higher the authoritarian parenting, then the bullying at school will be
higher, so conversely the lower the authoritarian parenting, then the bullying in schools will be
lower as well. The subject of this study were junior high school students as many as 50 students,
ages 12-15 years. Data collection tool using Authoritarian Parenting Scale and Scale Bullying
at school. The results of the analysis with the test product moment correlation of obtained rxy =
0,428 (p < 0.01). This suggests a highly significant positive relationship between authoritarian
parenting provided parents with children in school bullying, the hypothesis proposed in this
study is acceptable.

Abtsrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter dengan
bullying di sekolah pada siswa SMP. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat
hubungan positif antara pola asuh otoriter dengan bullying di sekolah pada siswa SMP. Semakin
tinggi pola asuh otoriter, maka bullying di sekolah akan semakin tinggi, demikian sebaliknya
semakin rendah pola asuh otoriter, maka bullying di sekolah akan semakin rendah pula. Subjek
penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Pertama sebanyak 50 orang siswa, dengan usia
12-15 tahun. Alat pengumpul data menggunakan skala yaitu Skala Pola Asuh Otoriter dan Skala
Bullying di sekolah. Hasil analisis dengan uji korelasi product moment diperoleh rxy sebesar
0,428 (p < 0,01). Hal ini menunjukkan adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara
pola asuh otoriter yang diberikan orang tua dengan bullying anak di sekolah, hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini dapat diterima.

Kata kunci: Pola asuh otoriter, Bullying

PENDAHULUAN dianggap sepele atau tidak penting. Misalnya


Berbagai bentuk agresi dalam dunia bentuk intimidasi atau teror dari teman-teman
pendidikan cukup mudah ditemukan melalui berupa pemalakan, ejekan terus menerus,
informasi di media cetak maupun yang kita penghindaran maupun penghinaan, sehingga
saksikan di layar televisi. Selain kekerasan anak jadi malas pergi ke sekolah karena
yang dilakukan secara terbuka dan mendapat merasa terancam dan takut (Djuwita, 2006).
perhatian publik seperti halnya tawuran Teror yang berupa kekerasan fisik atau
antara pelajar, terdapat pula bentuk-bentuk mental, pengucilan, intimidasi, perpeloncoan,
kekerasan yang seringkali diabaikan karena sebenarnya adalah contoh dari bullying.

29
ISSN: 0854-2880 Jurnal Indigenous Vol. 13, No. 1, Mei 2015: 29-38

Fenomena bullying telah lama menjadi terhadap siswa lain yang lebih lemah dengan
bagian dari dinamika sekolah. Bullying sering tujuan menyakiti orang tersebut.
disebut juga sebagai peer victimization dan Bullying di sekolah dikategorikan menjadi
hazing, yaitu usaha untuk menyakiti secara tiga kelompok (Riauskina dkk, 2001), yaitu:
psikologis ataupun fisik terhadap seseorang/ a. Bullying secara fisik yakni tindakan
sekelompok orang yang lebih ‘lemah’, oleh pelecehan atau penyerangan secara fisik
seseorang/sekelompok orang yang lebih terhadap korbannya, seperti memukul,
‘kuat’ (Hoover, dkk; 2003). mencubit, menampar dan memalak
Bullying adalah perilaku berulang yang (meminta dengan paksa yang bukan
melukai dan mengancam kesehatan satu/ miliknya).
lebih individu, yang terjadi melalui banyak b. Bullying secara verbal yakni
cara, misalnya, kata-kata melukai, ancaman menggunakan bahasa untuk menyerang
dan perilaku intimidasi baik verbal, non- orang lain seperti memaki, menggosip
verbal maupun fisik (Krahe, 2005). Neuman dan mengejek.
dan Baron (Krahe, 2005) menyatakan bahwa c. Bullying secara psikologis yakni
bullying sebagai semua bentuk perilaku tindakan yang tidak dilakukan secara
yang diupayakan untuk menyakiti atau langsung (fisik maupun verbal)
menimbulkan kerugian pada orang lain dalam dengan sasaran lebih kearah psikis,
organisasi yang sama. seperti mengintimidasi, mengucilkan,
Berbeda dengan tindakan agresi lain yang mengabaikan dan diskriminasi (Niken,
dilakukan dalam suatu kesempatan tertentu 2008).
dan dalam jangka waktu pendek, bullying
biasanya dilakukan secara berkelanjutan dan Penelitian ini selanjutnya diarahkan pada
dalam jangka waktu cukup lama. Hal ini pelaku utama bullying atau bully, mengingat
menyebabkan korban terus-menerus berada bully memegang peranan utama dari terjadinya
dalam keadaan terintimidasi. bullying. Karakteristik pelaku bullying antara
Berdasarkan pemaparan di atas peneliti lain adalah memiliki keinginan menguasai,
menyimpulkan bahwa bullying adalah kebutuhan untuk merasa kuat dan superior,
tindakan menyakiti secara berkelanjutan dan senatiasa ingin selalu lebih kuat dari teman
berjangka waktu lama sehingga menyebabkan sebayanya, cenderung impulsive, mudah
korban terus-menerus berada dalam keadaan marah, dan frustasi.
terintimidasi. Bullying terutama terjadi di Pelaku bullying juga memiliki karakter
institusi atau wadah yang memungkinkan senang melawan, agresif, tidak mudah
seseorang saling berinteraksi dalam waktu terkejut dan cenderung tidak memiliki rasa
lama dan terbatas dalam bentuk tujuan yang empati (Niken, 2008). Pelaku bullying
sama dalam institusi atau organisasi tersebut, akan mempersepsikan bahwa perilakunya
misalnya di sekolah (Krahe, 2005). justru mendapatkan pembenaran bahkan
Secara lebih spesifik Riauskina dkk memberinya identitas sosial yang
(2001) mendefinisikan school bullying sebagai membanggakan (Djuwita, 2006).
perilaku agresif kekuasaan terhadap siswa Peneliti melakukan wawancara awal
yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/ untuk mendapatkan gambaran bullying secara
kelompok siswa yang memiliki kekuasaan, langsung, wawancara awal dilakukan dengan

30
HUBUNGAN POLA ASUH...(Savia Dia Ningru, T. N. Edwina Dewayani Soeharto) ISSN: 0854-2880

dua orang siswa Sekolah Menengah Pertama bahwa apa yang dilakukannya adalah hal
yang mengaku seringkali memberikan wajar dan hanya untuk bersenang-senang
tindakan buruk seperti mengejek dengan semata karena banyak teman yang bertindak
julukan tertentu,atau mencubit, kepada teman- serupa.
temannya di sekolah. Peneliti memilih siswa Selden (2006) menjelaskan bahwa
Sekolah Menengah Pertama karena perilaku bullying menyebabkan korban berada pada
bullying paling banyak ditemukan pada siswa posisi tidak berdaya, lemah dan merasa
Sekolah Menengah Pertama maupun siswa tertindas, hal ini yang menyebabkan
Sekolah Menengah Atas. Seseorang yang akibat Bullying seringkali lebih merusak
pernah melakukan bullying pada siswa lain dibandingkan agresi langsung dimana
selama duduk dibangku Sekolah Menengah individu tidak ditempatkan pada posisi
Pertama memiliki kecenderungan untuk yang tidak berdaya. Ketidakberdayaan yang
melakukan hal yang sama ketika dirinya dirasakan oleh korban tersebut yang memicu
duduk di Sekolah Menengah Atas atau yang munculnya kecemasan, stres bahkan depresi.
sederajat (Niken, 2008). Oleh sebab itu Bullying dapat mengakibatkan dampak
peneliti memilih mengkaji perilaku bullying serius dalam diri korban, baik secara fisik
pada siswa Sekolah Menengah Pertama, maupun psikis, oleh sebab itu harapannya
karena hal ini dapat menjadi indikator bagi para siswa dapat mengembangkan perilaku
munculnya perilaku bullying pada masa positif dalam berhubungan dengan teman-
selanjutnya. temannya dan tidak melakukan bullying atau
Wawancara terhadap siswa SMP mendukung terjadinya bullying. Seorang
dilakukan pada tanggal 9 Agustus 2010. siswa sebaiknya lebih menitikberatkan pada
Ditinjau dari bentuk-bentuk bullying, kedua aktivitas belajarnya sekaligus menciptakan
siswa yang diwawancara melakukan bullying suasana belajar yang kondusif bagi dirinya
secara verbal, fisik dan psikologis. Bentuk maupun siswa lain disekitarnya.
bullying secara verbal berupa ejekan. Kedua Gusniarti dan Ardiyansah (2009)
siswa yang diwawancarai mengakui bahwa menemukan bahwa bullying yang dilakukan
dirinya sering memberikan julukan kepada seorang siswa di sekolah di pengaruhi oleh 3
beberapa orang temannya yang dianggap faktor utama, yaitu faktor pergaulan sosial,
“cengeng” dan “penakut”. Kedua siswa ini hubungan keluarga dan sikap orang tua,
juga melakukan bullying secara fisik berupa keinginan mengganggu teman dan kebutuhan
perilaku menggemboskan ban sepeda, mencakup kebutuhan akan kekuasaan,
mengambil dan menyembunyikan tas, dominansi dan pelampiasan agresi. Salah satu
menempelkan kertas dengan kata-kata kasar, faktor yang mempengaruhi bullying pada
mendorong bahkan memukul sesama siswa siswa adalah faktor hubungan keluarga dan
yang berani melawan. Kedua siswa yang sikap orang tua.
diwawancarai juga menunjukkan perilaku Sikap orangtua dalam berhubungan
bullying secara psikologis dengan melakukan dengan anak dapat dilihat dari berbagai segi
tindakan seperti mengucilkan siswa lain antara lain cara yang diberikan orangtua
yang tidak disukai maupun menolak untuk untuk mendidik anak menjadi disiplin,
memberikan bantuan kepada siswa tertentu. mengajari anak untuk berhubungan dan
Meskipun melakukan tindakan negatif, berkomunikasi yang baik dengan orangtua,
namun kedua siswa tersebut menyatakan maupun cara orangtua dalam mengasuh anak.

31
ISSN: 0854-2880 Jurnal Indigenous Vol. 13, No. 1, Mei 2015: 29-38

Sikap orangtua terhadap anak tertuang dalam diri, kurang memiliki rasa ingin tahu, kurang
pola asuh yang diterapkan (Martaniah, 1994). mandiri bahkan anak dapat menjadi agresif.
Menurut Darling dan Steinberg (1993) Baumrind (1987), mengemukakan bahwa
gaya pengasuhan atau pola asuh didefinisikan pola asuh otoriter memiliki beberapa ciri-ciri,
sebagai sekumpulan sikap terhadap anak yaitu :
yang dikomunikasikan kepada anak dan a. Tingginya kontrol dari orang tua terhadap
menciptakan suasana emosional dalam mana anak. Orang tua dengan pola asuh otoriter
perilaku-perilaku orang tua diekspresikan. senantiasa berupaya mempengaruhi
Fauzia (1993) mengemukakan bahwa yang aktivitas anak secara berlebihan untuk
dimaksudkan dengan pengasuhan orang mencapai tujuan, menanamkan aturan-
tua adalah semua interaksi yang terjadi aturan yang sangat ketat disertai dengan
antara orang tua dengan anaknya. Interaksi sistem hukuman yang ditakuti anak.
ini meliputi sikap, nilai, minat dan ajaran- b. Tuntutan kedewasaan terhadap anak.
ajaran dalam keluarga. Menurut Baumrind Orang tua dengan pola asuh otoriter
(Garcia, 2007) gaya pengasuhan merupakan cenderung memaksa anak untuk
bentuk-bentuk perlakukan orang tua ketika mencapai suatu tingkat kemampuan
berinteraksi dengan anak atau remaja secara intelektual, sosial dan emosional
yang mencakup tiga bentuk atau pola gaya tanpa memberi kesempatan pada anak
pengasuhan yaitu authoritarian, permissive untuk berdiskusi.
dan authoritative. c. Kurang seimbangnya komunikasi orang
Salah satu bentuk pola asuh yang tua dengan anak. Yaitu orang tua tidak
berpengaruh terhadap munculnya dorongan menanyakan bagaimana pendapat dan
anak untuk menjadi pelaku bullying adalah perasaan anak bila mempunyai persoalan
pola asuh otoriter dari orang tua. Pola asuh yang harus dipecahkan namun cenderung
otoriter (parent oriented) menekankan segala memaksakan kehendak kepada anaknya.
aturan orangtua harus ditaati oleh anak. Apa d. Kurangnya kasih sayang orang tua
yang diperintahkan orangtua harus dikerjakan terhadap anak. Pola asuh otoriter ditandai
dan tidak boleh dibantah. Baumbrid (Garcia, dengan kurangnya kehangatan, cinta,
2007) mendefinisikan pola asuh otoriter perawatan dan perasaan kasih, serta
adalah suatu cara pengasuhan orangtua keterlibatan yang meliputi penghargaan
yang tidak seimbang lebih tinggi dalam dan pujian terhadap prestasi anak.
hal tuntutan/ kontrol dan rendah dalam hal
tanggapan/respon. Anak dengan orang tua otoriter yang
Orang tua yang menggunakan memberlakukan banyak aturan dan hukuman
pengasuhan secara otoriter jarang sekali akan menunjukkan pola serupa ketika dirinya
melakukan diskusi atau dialog dua arah dan berhubungan dengan orang lain yang lebih
jarang sekali mau dikritik. Menurut Ahmadi lemah hal ini akan mendorong perilaku bully
(1979), orang tua yang otoriter menerapkan pada anak ketika berinterakasi dengan teman-
banyak larangan yang harus dilaksanakan temannya disekolah (Rigby, 2004). Anak
tanpa disertai pengertian terhadap kebutuhan akan melakukan penyerangan secara fisik
anak. Alibata (2002) menyatakan anak dengan seperti memukul, mencubit, dan menampar.
pola asuh otoriter menjadi tergantung, pasif, Kurang seimbangnya komunikasi orang
kurang bisa bersosialisasi, kurang percaya tua dengan anak dan cenderung memaksakan

32
HUBUNGAN POLA ASUH...(Savia Dia Ningru, T. N. Edwina Dewayani Soeharto) ISSN: 0854-2880

kehendak kepada anaknya yang menyebabkan


orang siswa, dengan usia 12-15 tahun, dengan
anak mengalami stress dan tertekan (Rigby,
alasan remaja awal berusia 12 sampai dengan
2004). Niken (2008) menyatakan siswa 15 tahun merupakan masa-masa krisis yang
pelaku bullying seringkali mudah tersinggung
mendorong munculnya potensi perilaku
sehingga sering memberikan penilaian negatif
negatif, seperti bullying. Subjek penelitian
yang disertai ancaman dan tekanan. Ancaman
ini adalah siswa yang tinggal bersama kedua
(bullying verbal) kepada teman berupa kata-
orang tua di Daerah Istimewa Yogyakarta.
kata kasar atau mengejek dengan julukan Metode pengumpulan data dalam
tertentu. penelitian ini menggunakan metode skala.
Tanpa adanya kasih sayang seorangPenelitian ini menggunakan skala yang
anak akan merasa dirinya tidak berharga dan
disusun oleh peneliti yaitu skala Pola Asuh
dibutuhkan sehingga anak akan menggunakan
Otoriter dan skala Bullying. Bentuk skala yang
cara-cara yang tidak sehat ketika berhubungan
digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari
dengan orang lain seperti mengucilkan, atau
skala likert, dengan bentuk skala semacam
mengabaikan. ini, subyek telah diberi beberapa alternatif
Pola asuh otoriter dapat mengarahkan
jawaban, dan subyek diminta untuk memilih
siswa pada perilaku bullying, ini dibuktikan
salah satu jawaban.
dengan beberapa penelitian, seperti penelitian
Sebelum digunakan dalam penelitian ini
yang dilakukan Bowers dkk (Krahe, 2005)
setiap skala di ujicoba kepada siswa SMP
secara umum mengemukakan bahwa ada
terlebih dahulu untuk mengetahui keakuratan
tiga faktor yang dapat mempengaruhi siswa
pengukuran serta kestabilan parameternya.
dalam berperilaku antisosial yang dapat
Uji coba dilaksanakan pada tanggal 7-12
menyebapkan bullying yaitu hubungan orang
Maret 2011. Berdasarkan hasil uji coba Skala
tua dengan siswa yang renggang, toleransi
Bullying yang berjumlah 30 aitem, terdapat 7
orang tua terhadap perilaku agresif yang
aitem yang dinyatakan gugur meliputi aitem
dilakukan siswa, dan orang tua menerapkan
pola asuh yang agresif pada siswa. nomor 6,8,9,14,22,24 dan 30. Jumlah aitem
yang valid berjumlah 23 butir. Skala Bullying
Hal ini didukung dengan hasil penelitian
Vaughn dan Howard (2005), bahwa orang setelah dilakukan uji coba menunjukkan
indeks daya beda aitem bergerak dari 0,318
tua yang tidak memberikan anak kesempatan
untuk mengkomunikasikan pikiran dan – 0,718 dengan koefisien reliabilitas sebesar
pendapat anak, cenderung menghasilkan 0,867. Jumlah aitem yang digunaka dalam
penelitian berjumlah 23 aitem.
pola-pola kepribadian tidak sehat pada anak
ketika remaja dan memunculkan perilaku Hasil uji coba Skala Pola Asuh Otoriter
yang berjumlah 40 aitem, terdapat 8 aitem
negatif remaja ketika berhubungan dengan
orang lain. yang dinyatakan gugur meliputi aitem
nomor 6,9,11,12,14,22,32 dan 33. Jumlah
Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis
aitem yang valid berjumlah 32 butir. Skala
dalam penelitian ini yaitu terdapat hubungan
Pola Asuh Otoriter setelah dilakukan uji
positif antara pola asuh otoriter dengan
bullying di sekolah pada siswa SMP. coba menunjukkan indeks daya beda aitem
bergerak dari 0,303 - 0,721 dengan koefisien
METODE PENELITIAN reliabilitas sebesar 0,913. Jumlah aitem yang
Subjek penelitian ini adalah siswa digunakan dalam penelitian berjumlah 32
Sekolah Menengah Pertama sebanyak 50 aitem.

33
ISSN: 0854-2880 Jurnal Indigenous Vol. 13, No. 1, Mei 2015: 29-38

Analisis data yang digunakan untuk dari orangtua terhadap anak, banyaknya
menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah aturan disertai dengan hukuman apabila anak
korelasi product moment (r) dari Pearson. dianggap menyimpang. Orangtua otoriter
Alasan menggunakan korelasi product berupaya supaya anak patuh dengan aturan
moment adalah, karena penelitian ini bertujuan yang dibuat secara sepihak oleh orangtua
untuk melihat ada tidaknya hubungan antara tanpa mempertimbangkan pemikiran anak,
variabel bebas (x) dengan variabel tergantung hal ini dapat membuat anak merasa tertekan,
(y) (Azwar, 1997). tidak nyaman, takut atau bahkan tidak senang
berada di rumah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tekanan dalam diri anak yang tidak
Berdasarkan hasil analisis data dapat terselesaikan karena orangtua yang otoriter
dinyatakan bahwa terdapat hubungan positif dapat menyebabkan munculnya pelampiasan
yang sangat signifikan antara pola asuh perilaku kesal anak di luar rumahnya. Seperti
otoriter yang diberikan orang tua dengan diungkapkan oleh Sarwono (2002), bahwa
perilaku bullying anak di sekolah. Artinya anak yang merasakan tekanan dalam dirinya
hipotesis penelitian dapat diterima, artinya namun tidak mampu untuk menyelesaikan
semakin tinggi pola asuh otoriter yang dengan baik akan cenderung melampiaskan
diterapkan orang tua maka perilaku bullying permasalahannya dalam bentuk kenakalan
kepada temannya, termasuk dalam bentuk
anak di sekolah semakin tinggi, sebaliknya
bullying.
semakin rendah pola asuh otoriter yang
Orangtua otoriter melakukan kontrol
diterapkan orang tua maka perilaku bullying
terhadap anak seringkali menggunakan
anak disekolah juga akan semakin rendah.
makian, kata-kata kasar, memarahi anak atau
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
bahkan tindakan fisik (kekerasan) terhadap
pola asuh otoriter merupakan salah satu
anak (Ahmadi, 1979). Perilaku buruk orangtua
faktor yang dapat mempengaruhi munculnya
terhadap anak justru dapat ditiru anak ketika
bullying pada anak ketika berada di sekolah.
berinteraksi dengan teman-temannya, seperti
Pola asuh otoriter dalam penelitian ini
dinyatakan oleh Bandura (Garcia, dkk. 2007)
dapat diartikan sebagai upaya orang tua
bahwa anak mempelajari perilaku orangtua
dalam mendidik, memberi bimbingan dan memiliki kecenderungan menirunya,
dan pengalaman serta memberikan anak menilai perilaku orangtuanya disertai
pengawasan kepada anak-anaknya dengan dengan pemahaman terhadap manfaat yang
cara memberikan kontrol ketat, membatasi didapat dari perilaku tersebut. Peneliti
pendapat, ide maupun tindakan anak. Pola menganalogikan bahwa seorang anak yang
asuh otoriter dalam penelitian ini diungkap sering dimarahi, diatur orangtua, atau bahkan
melalui sudut pandang anak yang menerima mendapatkan bentakan, ancaman, makian
perlakuan tersebut. atau kekerasan fisik akan memperlakukan
Pola asuh otoriter memiliki beberapa teman yang dianggap lebih lemah dengan
ciri, yakni tingginya kontrol dari orangtua cara yang sama pula. Hal ini tentunya
terhadap anak, tuntutan kedewasaan anak, mendasari munculnya bullying baik secara
kurang seimbangnya komunikasi orangtua verbal maupun fisik ketika siswa SMP sedang
dengan anak serta terbatasnya kasih sayang berada di sekolah.
orangtua terhadap anak (Baumrind, 1987). Pola asuh otoriter juga ditandai dengan
Ciri yang pertama adalah tingginya kontrol adanya tuntutan kedewasaan dari orangtua

34
HUBUNGAN POLA ASUH...(Savia Dia Ningru, T. N. Edwina Dewayani Soeharto) ISSN: 0854-2880

terhadap anak, berupa paksaan orangtua Pola asuh otoriter juga ditandai dengan
terhadap anak untuk mencapai suatu tingkat terbatasnya kasih sayang orangtua terhadap
kemampuan secara intelektual, sosial dan anak, orangtua kurang memberikan perhatian,
emosional tanpa mempertimbangkan kondisi cinta, perawatan dan perasaan kasih maupun
anak (Baumrind, 1987). Tuntutan kedewasaan penghargaan dan pujian terhadap prestasi
dari orangtua mengharuskan anak untuk bisa anak (Baumrind, 1987). Kasih sayang
menyelesaikan berbagai tugas seperti halnya merupakan gambaran dukungan emosional
orang dewasa. Tuntutan orangtua terhadap dari orangtua terhadap anaknya. Meninjau
anaknya biasanya disertai dengan ciri yang dalam konteks hubungan orangtua dengan
lain yaitu kurang seimbangnya komunikasi anak, kasih sayang akan menimbulkan
orangtua dengan anak. Banyaknya tuntutan perasaan nyaman, diperhatikan dan terutama
dan aturan menegaskan bahwa orangtua membangkitkan penilaian pada anak bahwa
otoriter tidak mampu menjalin komunikasi dirinya adalah bagian dari keluarga dan
yang sehat dengan anaknya (Baumrind, masyarakat. Kasih sayang merupakan
1987). salah satu bentuk pemahaman emosional
Monks, dkk (2000), menambahkan yang mampu membangkitkan afek positif
bahwa dengan adanya komunikasi yang baik dalam diri seseorang. Melalui kasih sayang
dapat mengurangi tekanan maupun frustrasi anak dapat merasakan kehangatan secara
psikologis, dan sebaliknya menciptakan
pada anak akibat sikap orangtua yang terlalu
situasi nyaman ketika berhubungan dengan
memaksa, sehingga tidak muncul perilaku
orangtuanya.
menyimpang sebagai bentuk pelarian masalah
Seperti diungkapkan oleh Marina (2000),
anak. Komunikasi sekaligus menjadikan
bahwa anak yang kebutuhan afeksinya
orangtua tidak memaksakan pendapatnya
tercukupi dengan baik melalui hubungan penuh
secara sepihak agar dilaksanakan oleh
kasih sayang dengan orangtuanya memiliki
anak. Orangtua otoriter yang tidak bisa
kecenderungan lebih kecil untuk berperilaku
menjalin komunikasi seimbang tentu jarang
negatif. Hal ini didukung oleh Santrock (2003)
memberikan dukungan maupun semangat
bahwa kurangnya kasih sayang merupakan
kepada anaknya. Anak yang tidak memiliki
sumber perilaku negatif pada anak, termasuk
dukungan dari orangtua akan mencari kekerasan yang berkelanjutan (bullying)
penyelesaian dengan caranya sendiri, hal terhadap teman-temannya. Apabila orangtua
ini dapat membawa anak pada perilaku mampu memahami keadaan anak dalam arti
negatif termasuk bullying ketika berada di memberikan kasih sayang atas permasalahan
sekolah. Seperti diungkapkan oleh Krahe yang dialami oleh anak maka diharapkan anak
(2001) bahwa bullying terjadi ketika seorang dapat mengontrol perilaku. Kontrol perilaku
siswa merasa tertekan, frustrasi dengan membuat anak tidak terjebak pada emosi
masalahnya dihadapi namun tidak mampu sesaat yang dapat mengakibatkan munculnya
menemukan pemecahan, sehingga memilih bullying di sekolah, seperti ancaman dengan
menyelesaikan masalahnya dengan menekan, menggunakan bahasa untuk menyerang
mengancam atau menyakiti siswa yang lebih orang lain misalnya, memaki dengan kata-
lemah sebagai bentuk pelampiasan. Ancaman kata yang kasar dengan mata yang melotot,
yang dilakukan siswa SMP berupa kata- menyebarkan gosip dan mengejek.
kata seperti ‘awas, meneriaki dengan ‘wuu’, Pola asuh otoriter dalam penelitian ini
sehingga siswa lain akan merasa tertekan. mampu memberikan sumbangan sebesar

35
ISSN: 0854-2880 Jurnal Indigenous Vol. 13, No. 1, Mei 2015: 29-38

18,3% terhadap perilaku bullying. Hal ini otoriter yang diberikan orang tua dengan
sekaligus menegaskan pengaruh variabel lainperilaku bullying anak di sekolah. Dengan
yang tidak diteliti dalam penelitian ini sebesar
demikian hipotesis penelitian dapat diterima,
81,7%. Variabel lain yang tidak diteliti antara
artinya semakin tinggi pola asuh otoriter yang
lain adalah pergaulan sosial anak, pengaruh
diterapkan orang tua maka bullying anak di
teman sebaya, kelas sosial ekonomi, kualitas
sekolah semakin tinggi, sebaliknya semakin
lingkungan sekitar tempat tinggal, adanya
rendah pola asuh otoriter yang diterapkan
kebutuhan akan kekuasaan, adanya kebutuhan
akan dominasi dan kebutuhan menyerang orang tua maka bullying anak disekolah juga
dalam diri anak (Ardiyansyah dan Gusniarti,akan semakin rendah.
2009; Murray dalam Alwisol, 2004). Pola asuh otoriter mempunyai pengaruh
Berdasarkan pembahasan di atas dapat terhadap bullying, jika orang tua menerapkan
disimpulkan bahwa pola asuh otoriter dapat pola asuh otoriter terhadap anaknya maka
menjadi faktor bagi munculnya bullying padaanak akan melakukan tindakan bullying
siswa SMP. Pola asuh otoriter dari orang tua
kepada teman-temannya disekolah. Dari
terhadap anak mendorong munculnya bullying
hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
anak ketika dirinya berada di sekolah.
pengaruh faktor lain yang tidak diteliti antara
lain adalahn pergaulan sosial anak, pengaruh
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dapat teman sebaya, adanya kebutuhan akan
dinyatakan bahwa terdapat hubungan positif kekuasaan, adanya kebutuhan akan dominasi
yang sangat signifikan antara pola asuh dan kebutuhan menyerang dalam diri anak.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. 1979. Psikologi Belajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta.


Alwilsol. 2004. Psikologi Kepribadian (edisi Revisi). Malang: Universitas Muhammadiayah
Malang Press.
Ardiyansyah, U., & Gusniarti. A. 2009. 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bullying
Pada Remaja. Laporan Penelitian. Fakultas Psikologi Dan Ilmu Budaya Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta.
Atkinson, L.R. & Atkinson, C., 1993. Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga.
Azwar, S. 1997. Sikap Manusia, Teori & Pengukurunnya. Ed. Kedua. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
_______. 2003. Reliabililas dan Validitas. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baumrind, D. 1987. Rearing competent children. In W. Damon (Ed.), Child development today
and tomorrow (pp. 349-378). San Francisco: Jossey-Bass.
Berkowitz, L. 1995 Agresi sebab dan akibatnya, Jakarta: PT Pustaka Binamas Pressindo.
Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor. Ghalia Indonesia.

36
HUBUNGAN POLA ASUH...(Savia Dia Ningru, T. N. Edwina Dewayani Soeharto) ISSN: 0854-2880

Darling, N., & Steinberg, L. 1993. Parenting style as context: An integrative model.
Psychological Bulletin. 113(3), 487-496.
Djuwita, R. 2006. Masalah Tersembunyi Dalam Dunia Pendidikan Di Indonesia. Workshop
Bullying. 29 April. Jakarta: Universitas Indonesia (UI) http//www.google.com/bullying/
WEBSITE--Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.htm14/05/2007.
Garcia, J.F. & Martinez, I. 2007. Impact of Parenting Styles on Adolescents Self- teem and
Internalization of Values in Spain. The Spanish Journal of Psychology, 10, 2, 338-348.
Hoover, J.H., Gamliel, T., Daughtry, D. W. and Imbra. C.M. 2003. A Qualitative Investigation
of Bullying. Sage Publication.
Kartono, K. 1996. Psikologi Keluarga. Bandung: Penerbit Mandar Maju.6
Krahe, B. 2005. Perilaku Agresif - Buku Panduan Psikologi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Lamborn, S.D., Mounts, N.S., Steinberg, L. & Dornbusch, S.M. 1991. Patterns of competence
and adjustment of adolescents from authoritative, authoritarian, indulgent, and neglectful
homes. Child Development. 62, 1049-1065.
Martaniah, M. 1994. Peranan orang tua dalam perkembangan Kepribadian. Yogyakarta:
Jiwa Baru
Monks, F. J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. 1998. Psikologi Perkembangan, Yogyakarta.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Mönks, 1998
Niken. 2008. Bullying. Mengatasi Kekerasan Di sekolah dan Lingkungan. Grasindo. Jakarta.8
Ormel, J., Verhulst, F.C., De Winter, A,F., Oldehinkel, A,J., Liendberg, S. Veenstra, R. 2005.
Bullying and Victimization in Elementary Schools: A Comparison of Bullies, Victims,
Bully/Victims, and Uninvolved Preadolescents. Journal Developmental Psychology.
Vol.41(4): 672-682.
Parsons, L. 2009. Bullied Teacher, Bullied Student, Guru dan Siswa yang terintimidasi.
Jakarta: Grasindo.
Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. 2005. ”Gencet-gencetan” di mata siswa/siswi
kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, skenario, dan dampak ”gencet-gencetan”.
Jurnal Psikologi Sosial, 12 (01), 1-13.
Rice, F. P. 1996. The Adolescent: Development, Relationship and Culture. Massachusets:
Allyn Bacon, Co.
Santrock, J. W. 2003. Adoscence: Perkembangan Remaja. Alih Bahasa oleh Adelar, S.B dan
Saragih, S. Jakarta: Erlangga..
Sarwono, S. W. 2002. Psikologi Remaja. Ed. Revisi, Cet 7. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Selden, M. 2006. Workplace Hostility: Defining And Measuring The Occurrence Of Hostility
In The Workplace. Manhattan, Kansas: Kansas State University.

37
ISSN: 0854-2880 Jurnal Indigenous Vol. 13, No. 1, Mei 2015: 29-38

Soekirman, 2000, Ilmu Gizi dan Aplikasinya, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Solaiman, K. 1997. Pola Asuh Orang Tua. Jakarta : Gramedia
Stewart, C, A & Koch. J. B. 1983. Children Development Through Adolescence. John Willey
& Sons.
Suardiman. 1998. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Sullivan, K., & Mark, C. 2004. Bullying in Secondary Schools. Corwin Press, California.
Vaughn, M. G & Howard, M. O. 2005. Psychopathic personality traits and delinquent careers:
Anempirical examination. International Journal of Law and Psychiatry 31: 407–416.

38

Anda mungkin juga menyukai