Anda di halaman 1dari 8

Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi yang diperlukan untuk
sintesis hemoglobin.
Untuk mempertahankan keseimbangan Fe yang positif selama masa anak diperlukan 0,8-1,5 mg Fe yang
harus diabsorbsi setiap hari dari makanan. Banyaknya Fe yang diabsorpsi dari makanan sekitar 10% setiap
hari, sehingga untuk nutrisi yang optimal sebanyak 8-10 mg Fe perhari.
Fe yang berasal dari ASI diabsorpsi secara lebih efisien daripada yang berasal dari susu sapi sehingga bayi
yang mendapat ASI lebih sedikit membutuhkan Fe dari makanan lain. Sedikitnya jenis makanan yang kaya
Fe yang dicerna selama tahun pertama kehidupan menyebabkan sulit untuk memenuhi jumlah yang
diharapkan, oleh karena itu diet bayi harus mengandung makanan yang diperkaya dengan Fe sejak usia 6
bulan.
Metabolisme ADB
Ada 2 cara penyerapan besi dalam usus, yang pertama adalah penyerapan dalam bentuk non heme (sekitar
90% berasal dari makanan), yaitu besinya harus diubah dulu menjadi bentuk yang diserap, sedangkan
bentuk yang kedua adalah bentuk heme (sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat langsung diserap
tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat makanan yang dikonsumsi.
Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks transferin besi
yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa. Di dalam sel mukosa, besi akan dilepaskan dan
apotransferinnya kembali ke dalam lumen usus. Selanjutnya sebagian besi bergabung dengan apoferitin
membentuk feritin, sedangkan besi yang tidak diikat oleh apoferitin akan masuk ke peredaran darah dan
berikatan dengan apotransferin melnbentuk transferin serum.
Penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui mukosa usus halus, terutama di duodenum sampai
pertengahan jejenum, makin ke arah distal usus penyerapannya semakin berkurang. Besi dalam makanan
terbanyak ditemukan dalam bentuk senyawa besi non heme berupa kompleks senyawa besi inorganik
(feri/Fe" ) yang oleh pengaruh asam lambung, vitamin C, dan asam anlino mengalami reduksi menjadi
bentuk fero (Fe".). Bentuk fero ini kemudian diabsorpsi oleh sel mukosa usus dan didalam sel usus bentuk
fero ini mengalami oksidasi menjadi bentuk feri yang selanjutnya berikatan dengan apoferitin menjadi
feritin (Gambar 1.2-1). Selanjutnya besi feritin dilepaskan ke dalam peredaran darah setelah melalui reduksi
menjadi bentuk fero dan didalam plasma ion fero direoksidasi kembali menjadi bentuk feri. Yang kemudian
berikatan dengan 1 globulin membentuk transferin. Absorpsi besi non heme akan meningkat pada penderita
ADB. Transferin berfungsi untuk mengangkut besi dan selanjutnya didistribusikan ke dalam jaringan hati,
limpa dan sumsum tulang serta jaringan lain untuk disimpan sebagai cadangan besi tubuh.
Di dalam sumsum tulang sebagian besi dilepaskan ke dalam eritrosit (retikulosit) yang selanjutnya
bersenyawa dengan porfirin membentuk heme dan persenyawaan globulin dengan heme membentuk
hemoglobin. Setelah eritrosit berumur + 120 hari fungsinya kemudian menurun dan selanjutnya
dihancurkan didalam sel retikuloendotelial. Hemoglobin mengalami proses degradasi menjadi biliverdin
dan besi. Selanjutnya biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin, sedangkan besi akan masuk ke dalam
plasma dan mengikuti siklus seperti di atas atau akan tetap disimpan sebagai cadangan tergantung aktivitas
eritropoisis.
Bioavailabilitas besi dipengaruhi oleh komposisi zat gizi dalam makanan. Asam askorbat, daging, ikan dan
unggas akan meningkatkan penyerapan besi non heme. Jenis makanan yang mengandung asam tanat
(terdapat dalam teh dan kopi), kalsium, fitat, beras, kuning telur, polifenol, oksalat, fosfat, dan obat-obatan
(antasid, tetrasiklin dan kolestiramin) akan mengurangi penyerapan zat besi.
Besi heme didalam lambung dipisahkan dari proteinnya oleh asam lambung dan enzim proteosa. Kemudian
besi heme akan mengalami oksidasi menjadi hemin yang akan masuk ke dalam sel mukosa usus secara
utuh, kemudian akan dipecah oleh enzim hemeoksigenase menjadi ion feri bebas dan porfirin.
Obat-obat lini pertama dalam pengobatan demam tifoid adalah kloramfenikol, tiamfenikol atau
ampisilin/amoksisilin. Kloramfenikol masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid
karena efektif, murah, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral. Umumnya perbaikan klinis sudah
tampak dalam waktu 72 jam dan suhu akan kembali normal dalam waktu 3-6 hari, dengan lama pengobatan
antara 7-14 hari. Namun demikian, dalam lima tahun terakhir telah dilaporkan kasus demam tifoid berat
pada anak bahkan fatal yang disebabkan oleh adanya resistensi obat ganda terhadap Salmonella typhi
(multiple drugs resistance (MDR)). Disamping itu pemakaian kloramfenikol dapat menimbulkan efek
samping berupa penekanan sumsum tulang dan yang paling ditakuti terjadinya anemia aplastik.
Sefalosporin generasi III (seftriakson, sefotaksim, sefiksim), fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin,
perfloksasin) dan azitromisin saat ini sering digunakan untuk mengobati demam tifoid MDR.

Azitromisin adalah antibiotik golongan makrolid pertama yang termasuk dalam kelas azalide. Menurut
WHO, pemberian azitromisin dengan dosis 10 mg/ kgBB selama 7 hari terbukti efektif pada terapi demam
tifoid tanpa komplikasi pada anak dan dewasa dengan lama turun panas yang serupa dengan yang
dilaporkan pada pemberian kloramfenikol.18 Penelitian invitro menunjukkan azitromisin lebih poten
terhadap Salmonella spp. dibandingkan dengan obat lini pertama dan makrolid lain. Belum terdapat laporan
tentang resistensi S. typhi terhadap azitromisin. Studi terbaru menunjukkan azitromisin efektif secara klinis
dan bakteriologis dalam mengobati demam tifoid bahkan yang disebabkan oleh strain MDR. Azitromisin
dan kloramfenikol berbeda dalam hal cara pemberian, farmakokinetik, prinsip terapi, dan efek samping.
Azitromisin diberikan sekali sehari, sedangkan kloramfenikol diberikan empat kali sehari. Kedua antibiotik
berpenetrasi ke dalam sel secara efektif, dan hal tersebut menerangkan aktivitas terapeutik obat terhadap
patogen yang berada di intraselular seperti S. typhi. Sefiksim merupakan antibiotik golongan sefalosporin
generasi ketiga oral, mempunyai aktifitas antimikroba terhadap kuman Gram positif maupun negatif
termasuk Enterobacteriaceae. Sefiksim mempunyai efikasi dan toleransi yang baik untuk pengobatan
demam tifoid anak. Meskipun kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan lini pertama
(first drug of choice) untuk pengobatan demam tifoid pada anak, obat lini kedua seperti azitromisin dan
sefiksim dapat dipertimbangkan dalam terapi demam tifoid tanpa komplikasi pada anak terutama pada
kasus dengan kepatuhan (compliance) minum obat diragukan atau apabila kloramfenikol tidak dapat
diberikan (misalnya jumlah leukosit <2000/ul, adanya hipersensitif terhadap kloramfenikol, MDR S. thypi).

Demam tifoid relaps


Kambuh atau relaps dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek pada mereka yang
mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah.
Kekambuhan akan terjadi bila pengobatan sebelumnya tidak adekuat atau, sebetulnya bukan kambuh tetapi
terkena infeksi baru. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala
lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan
mengakibatkan timbulnya relaps.
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penderita tifoid tersebut kambuh, antara lain: (1) kemungkinan
terjadinya kekambuhan ataupun terinfeksi dari tifoid biasanya berhubungan dengan keadaan imunitas / daya
tahan tubuh orang tersebut sehingga dalam keadaan seperti itu kuman dapat meningkatkan aktivitasnya
kembali, (2) kebersihan perorangan yang kurang meskipun lingkungan umumnya adalah baik, (3) konsumsi
makanan dan minuman yang berisiko (belum dimasak / direbus, dihinggapi lalat, tidak diperhatikan
kebersihannya), (4) gaya hidup, (5) stres, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai