KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT UMUM BAYUKARTA
I. IDENTITAS PASIEN
II. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis Tanggal : 27 Juli 2019 Jam : 11.00 WIB
Keluhan utama:
Nyeri perut kanan bawah
1
bawah.Riwayat demam, mual, muntah disangkal. Buang air kecil tidak ada keluhan pada
pasien, pasien belum buang air besar sejak pagi tadi SMRS.
Riwayat keluhan serupa, hipertensi, DM, asma, sakit jantung, alergi, perawatan, dan
operasi sebelumnya disangkal.
Riwayat Hidup
Riwayat kelahiran:
(-) Di rumah ( ) Rumah sakit ( -) Rumah bersalin
Ditolong oleh ( ) Dokter (-) Bidan (- ) Dukun ( -) Lainnya
Riwayat Makanan
Riwayat Imunisasi
Penyakit Dahulu
2
(-) Penyakit degeneratif (-) Fistel (-) Patah tulang
(-) Luka bakar (-) Operasi (-) Kecelakaan
Riwayat Keluarga
Umur Keadaan Penyebab
Hubungan Jenis Kelamin
(Tahun) Kesehatan Meninggal
Alergi √
Asma √
Tuberkulosis √
Hipertensi √
Diabetes √
Jantung √
Ginjal √
3
Kepala
( - ) Trauma ( - ) Sakit kepala
( - ) Sinkop ( - ) Nyeri pada sinus
Mata
( - ) Nyeri ( - ) Kuning/ikterus ( - ) Gangguan penglihatan
( - ) Sekret ( - ) Radang ( - ) Ketajaman penglihatan
Telinga
( - ) Nyeri ( - ) Tinitus ( - ) Gangguan pendengaran
( - ) Sekret ( - ) Kehilangan pendengaran
Hidung
( - ) Rhinnorhea ( - ) Trauma ( - ) Gejala penyumbatan
( - ) Nyeri ( - ) Epistaksis ( - ) Gangguan penciuman
( - ) Sekret ( - ) Benda asing (foreign body)
Mulut
( - ) Bibir ( - ) Lidah
( - ) Gusi ( - ) Mukosa
Tenggorokan
( - ) Nyeri tenggorokan ( - ) Perubahan suara
Leher
( - ) Benjolan ( - ) Nyeri leher
4
( +) Nyeri epigastrium ( + ) Nyeri kolik ( - ) Benjolan
Ekstremitas
BERAT BADAN
Berat badan rata-rata (Kg) :42 kg
Berat tertinggi (Kg) : 44 kg
Berat badan sekarang (Kg) : 42 kg
Tetap ( √) Turun ( ) Naik ( )
5
Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, Ronkhi (-), Wheezing (-)
Jantung:
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis.
Palpasi : Teraba iktus cordis
Perkusi : Bunyi redup
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Abdomen:
Inspeksi : datar (+), massa (-), hiperemi (-), jejas (-)
Auskultasi : BU (+) normoperistaltik
Palpasi : Supel, nyeri tekan titik Mc Burney (+),Rovsing sign (+), Blumberg
sign (+),defans muskular (+) di kuadran kanan bawah.
Kekuatan : +5 +5 Sensori : + +
+5 +5 + +
6
Edema : - - Cyanosis : - -
- - - -
Lain – lain :
V. STATUS LOKALIS
Regio Abdomen
Inspeksi : perut tampak datar
Auskultasi : bising usus (+) normoperistaltik
Perkusi : timpanipada semua kuadran
7
Palpasi
Titik Mc Burney:
Nyeri tekan (+)
Rovsing sign (+)
Blumberg sign (+)
Defans muskular lokal
(+) di kuadran kanan
bawah
Psoas sign (+)
Obturator sign (+)
LABORATORIUM
Hematokrit 40.0 37 – 54 %
Basofil 0 0–1 %
Eosinofil 6 0–3 %
Batang 0 0–5 %
8
Segmen 81 50 – 80 %
Limfosit 38] 25 – 50 %
Monosit 6 2 – 10 %
Rhesus (+)
Hemostasis
Fungsi Ginjal
Ureum 21 20 - 40 mg/dL
VII. RESUME
Os mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 1hari SMRS. Keluhan nyeri awalnya
dirasakan didaerah uluh hati dan hilang timbul kemudian nyeri menjalar
dirasakan diperut kanan bawah dan terus – menerus. Rriwayat demam, mual,
muntah sebanyak satu kali berisi makanan,nafsu makan menurun,pasien belum
buang air besar sejak pagi tadi dirasakan.
9
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang di dapatkan abdomen
datar,nyeri tekan titik Mc Burney (+), Rovsing sign (+), Blumberg sign (+), defans
muskular dikuadran kanan bawah, Obturator sign (+),Psoas sign (+)
Pemeriksaan fisik
Abdomen:
Inspeksi : tampak datar,tegang
Auskultasi : BU (+) normoperistaltik
Palpasi : Supel, nyeri tekan titik Mc Burney (+),Rovsing sign (+), Blumberg
sign (+), defans muskular (+) di kuadran kanan bawah.
X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
IVFD Ringer Laktat 20 tpm
Terpacef 1 gr
Non-medikamentosa:
1. Bed rest
2. Diet rendah serat
10
3. Monitor : Tanda-tanda peritonitis (perforasi),
4. Konsul obgyn
Tindakan:
Appendiktomi
Post operasi:
IVFD RL 20 tpm
Merosan 1 gr
Toramin 1mp
Pumpitor I gr
XI. PROGNOSIS
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad fungsionam : dubia ad bonam
- Ad sanationam : bonam ad bonam
11
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Apendisitis merupakan kasus gawat bedah abdomen yang tersering dan memerlukan
tindakan bedah segera untuk menghindari komplikasi yang serius. Apendisitis yang terlambat
ditangani akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita. Untuk itu ketepatan
diagnosa sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan tindakan. Ketepatan diagnosa
tergantung dari kemampuan dokter melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
1. Anatomi Appendiks
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-
15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian, pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden appendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, appendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoappendiks penggantungnya.2
12
Appendiks merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara ileum dan
kolon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan apppendiks terlihat pada
minggu ke-8 kehamilan yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Dalam proses
perkembangannya, awalnya apendiks berada pada apeks caecum, tetapi kemudian berotasi
dan terletak lebih medial dekat plica ileocaecalis.
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analogdengan
Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. Appendiks adalah suatu struktur kecil,
berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum. Pangkalnya
terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction terdapat Valvula Ileocecalis
(Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi).
Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan
berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik appendisitis ditentukan oleh letak
appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum), pelvic (panggul,
subcaecal (di bawah sekum), preileal (di depan usus halus), dan postileal (di belakang usus
halus).3
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesenterika superior dari arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendicitis bermula di sekitar
umbilikus.
Appendiks divaskularisasi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari bagian
bawah arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi penyumbatan pada
arteri ini, maka appendiks mengalami ganggren.Untuk venanya yaitu v. Appendikularis yang
dialirkan ke v. Ileocolica, terus ke v. Messenterica superior.
Lumen appendiks dilapisi oleh epitel toraks berjenis kolon. Folikel limfoid ada di
dalam tela submukosa saat lahir dan secara bertahap meningkat jumlahnya menjadi 200
folikel saat pubertas. Setelah itu ada pengurangan progresif dalm jaringan limfoid sampai
hilang dalam dasawarsa kelima atau keenam dari kehidupan. Ada dua lapisan otot di dalam
dinding appendiks. Lapisan dalam (sirkularis) merupakan penerusan otot sekum yang sama.
13
Lapisan luar (longitudinalis) dari penyatuan tiga taenia sekum. Sstratum sirkularis dan
longitudinalis tunika muskularis sering tak ada dalam sejumlah area, yang memungkinkan
kesinambungan tela submukosa dan serosa, suatu fakta penting dalam apendiditis akut.1,3
2. Fisiologi Appendiks
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks
tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.
Awalnya, apendiks dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini, appendiks
dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan Imunoglobulin A (IgA).
Walaupun appendiks merupakan komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid
Tissue (GALT), imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu
mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan
antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun
tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna
dan seluruh tubuh.4
3. Histologi Appendiks
Komposisi histologi serupa dengan usus besar, terdiri dari empat lapisan yakni
mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Permukaan dalam atau mukosa
secara umum sama seperti mukosa colon, berwarna kuning muda dengan gambaran nodular,
dan komponen limfoid yang prominen. Komponen limfoid ini mengakibatkan lumen dari
appendiks seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada potongan melintang.Dindingnya
berstruktur sebagai berikut :
A. Tunica mucosa
Tidak mempunyai villi intestinalis.
1. Epitel, berbentuk silindris selapis dengan sel piala. Banyak ditemukan
selargentafin dan kadang-kadang sel paneth.
2 . Lamina propria, hampir seluruhnya terisi oleh jaringan limfoid dengan
adanya pula nodulus Lymmphaticus yang tersusun berderet-deret sekeliling
lumen. Diantaranya terdapat crypta lieberkuhn
3. Lamina muscularis mucosa, sangat tipis dan terdesak oleh jaringan limfoid dan
kadang-kadang terputus-putus
B. Tunica submucosa
14
Tebal, biasanya mengandung sel-sel lemak dan infiltrasi limfosit yang merata. Di
dalam jariangan tunica submucosa terdapat anyaman pembuluh darah dan saraf.
C. Tunica muscularis
Walaupun tipis, tapi masih dapat dibedakan adanya lapisan dua lapisan.
D. Tunica serosa
Tunica serosanya mempunyai struktur yang tidak pada intestinum tenue. Kadang-
kadang pada potongan melintang dapat diikuti pula mesoappendix yang merupakan alat
penggantung sebagai lanjutan peritoneum viserale.5
4. Definisi Appendisitis
Appendisitis adalah peradangan pada appendiks vermiformis atau yang di kenal juga
sebagai usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus emergensidan merupakan salah satu
kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Obstruksi lumen merupakan penyebab
utama appendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti
Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis.5
5. Epidemiologi Apendisitis
Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang,
tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun bermakna.Hal ini disebabkan oleh
meningkatnyapenggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.Apendisitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan.Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun.Insidens
pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens
pada lelaki lebih tinggi. Pasien dengan usia yang lebih dari 60 tahun dilaporkan sebanyak
50% meninggal akibat apendisitis.6
6. Etiologi Appendisitis
Appendisitis adalah peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ
tersebut. Patogenesis utamanya diduga disebabkan oleh fekalit (feses keras yang terutama
disebabkan oleh serat).
15
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendisitis adalah erosi mukosa appendiks
akibat parasait seperti E. Histolytica.7
a. Faktor Obstruksi
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith merupakan
penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan appendisitis akut
dan 30-40% pada anak dengan perforasi appendiks. Penyebab yang lebih jarang adalah
hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa appendiks, barium yang mengering pada
pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi
jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides,
Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendisitis juga dapat diakibatkan oleh
infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus.
Insidensi appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi
karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi appendiks juga dapat
terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih
dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam
terjadinya appendisitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya appendisitis adalah
trauma, stress psikologis, dan herediter.
b. Faktor bakteri
Penyebab lain yang diduga menimbulkan appendisitis adalah ulserasi mukosa
appendiks oleh parasit E. Histolytica. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin atau cairan
mucosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari appendiks, hal ini akan semakin
meningkatkan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan tekanan intra mucosa juga
semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding
appendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus atau nanah pada
dinding appendiks. Infeksi enterogen merupakan faktor primer pada appendisitis akut.
Adanya fekolith dalam lumen appendiks yang telah terinfeksi dapat memperburuk dan
meperberat infeksi karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen appendiks
16
pola makannya banyak serat. Namun, sekarang terjadinya sebaliknya. Bangsa kulit putih
justru merubah kebiasaan makannya ke pola makan tinggi serat. Negara berkembang yang
dulu mempunyai kebiasaan makan tinggi serat, kini beralih ke pola makan rendah serat,
sehingga memiliki resiko.1,4
7. Patofisiologi appendisitis
Sebagian besar appendiks disebabkan oleh sumbatan yang kemudian diikuti oleh
infeksi. Beberapa hal ini dapat menyebabkan sumbatan, yaitu hiperplasia jaringan limfoid,
fekalith, benda asing, striktur, kingking, perlengketan.
Bila bagian proksimal appendiks tersumbat, terjadi sekresi mukus yang tertimbun
dalam lumen appendiks, sehingga tekanan intra luminer tinggi. Tekanan ini akan
mengganggu aliran limfe sehingga terjadi edema dan terdapat luka pada mukosa, stadium ini
disebut appendisitis akut ringan.Tekanan yang meninggi, edema dan disertai inflamasi
menyebabkan obstruksi aliran vena sehingga menyebabkan trombosis yang memperberat
iskemi dan edema. Pada lumen appendiks juga terdapat bakteri, sehingga dalam keadaan
tersebut suasana lumen appendiks cocok buat bakteri untuk diapedesis dan invasi ke dinding
dan membelah diri sehingga menimbulkan infeksi dan menghasilkan pus. Stadium ini disebut
appendisitis akut purulenta.
Proses tersebut berlangsung terus sehingga pada suatu saat aliran darah arteri juga
terganggu, terutama bagian ante mesenterial yang mempunyai vaskularisasi minimal,
sehingga terjadi infark dan gangren, stadium ini disebut appendisitis gangrenosa. Pada
stadium ini sudah terjadi mikroperforasi, karena tekanan intraluminal yang tinggi ditambah
adanya bakteri dan mikroperforasi, mendorong pus serta produk infeksi mengalir ke rongga
abdomen. Stadium ini disebut appendisitis akut perforasi, dimana menimbulkan peritonitis
umum dan abses sekunder. Tapi proses perjalanan appendisitis tidak mulus seperti tersebut di
atas, karena ada usaha tubuh untuk melokalisir tempat infeksi dengan cara “Walling Off”
oleh omentum, lengkung usus halus, caecum, colon, dan peritoneum sehingga terjadi
gumpalan massa plekmon yang melekat erat. Keadaan ini disebut appendisitis infiltrate.2,4
17
Appendisitis infiltrate adalah suatu plekmon yang berupa massa yang membengkak dan
terdiri dari appendiks, usus, omentum, dan peritoneum dengan sedikit atau tanpa
pengumpulan pus. Usaha tubuh untuk melokalisir infeksi bisa sempurna atau tidak sempurna,
baik karena infeksi yang berjalan terlalu cepat atau kondisi penderita yang kurang baik,
sehingga appendikular infiltrate dibagi menjadi dua yaitu appendikuler infiltrate mobile dan
appendikuler infiltrate fixed.
Perforasi mungkin masih terjadi pada walling off yang sempurna sehingga akan
terbentuk abses primer. Sedangkan pada walling off yang belum sempurna akan terbentuk
abses sekunder yang bisa menyebabkan peritonitis umum.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya dan
menimbulkan obstruksi. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut
kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai
mengalami eksaserbasi akut. Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga
perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukan abses setelah 2-3 hari.5,7
8. Manifestasi Klinis
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh terjadinya
peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda setempat, baik disertai
maupun tidak didisertia dengan rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik appendisitis ialah
nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya, nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney.
Disini, nyeri diatas lebih tajam dan lebih jelas letaknya yang merupakan nyeri somatik
setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita
merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perngsangan peritoneum, biasanya pasien
mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.
Bila appendiks terletak retrosekal retroperitoneal. Tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena appendiks terlindung oleh
18
sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena
kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.
Jika appendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi
kencing akibat rangsangan appendiks terhadap dinding kandung kemih. Radang pada
appendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan
sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat dan pengosongan rektum mendasi lebih
cepat serta berulang.
Gejala appendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya, anak sering hanya
menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Beberpa jam kemudian, anak akan muntah sehingga menjadi lemah dan letargik.
Karena gejala yang tidak khas tadi, appendisitis sering baru diketahui setelah terjadi
perforasi. Pada bayi, 80-90% appendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Pada beberapa keadaan, appendisitis agak sulit di diagnosis sehingga tiadak ditangani
pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia lanjut, gejalanya sering
samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah
perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama appendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Hal
ini perlu dicermati karena pada kehamilan trisemester pertama sering juga terjadi maul
danmuntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan appendiks terdorong ke kraniolateral
sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih di regio lumbal kanan.2
9. Diagnosis Apendisitis
a. Anamnesis
19
o Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita
nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
2) Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus paralitik
karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
3) Palpasi
20
Pemeriksaan Rectal Toucher
Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada apendisitis pelvika akan
didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.4
Rovsing sign
Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena tekanan
merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga menggerakkan peritoneum
sekitar appendix yang meradang (somatic pain)
Blumberg sign
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau
kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa nyeri pada
kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
Psoas sign
Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa:
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien
memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila terasa nyeri
perut kanan bawah.
2. Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa,
psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.
Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan gerakan
fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae. Obturator sign (+)
bila terasa nyeri di perut kanan bawah.5
d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Radiologi polos tidak spesifik, umunya tidak efektif untuk biaya, dan
dapat menyesatkan dalam stuasi tertentu. Dalam <5%, suatu fekalith buram
mungkin tidak terlihat di kuadran kanan bawah. Foto polos abdomen dapat
digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada appendisitis akut
dapat terlihat abnormal “gas pattern” dari usus, tapi hal ini tidak spesifik.
Ditemukan fekalith dapat mendukung diagnosis. Dapat ditemukan pula adanya
local air fluid level, peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan
bawah, perubahan bayangan psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi
perforasi. Foto polos umumnya tidak dianjurkan kecuali kondisi tertentu
misalnya perforasi, obstruksi usus, saluran kemih kalkulus. Walaupun
demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang rutin atau harus
dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri abdomen yang akut.1
3) USG
22
appendiks diidentifikasikan sebagai “blind end”, tanpa peristaltik usus.
Kriteria sonografi untuk mendiagnosis appendisitis akut adalah adanya
noncompressible appendiks sebesar 6 mm atau lebih pada diameter
anteroposterior, adanya appendicolith, interupsi pada kontinuitas lapisan
submukosa, dan cairan atau massa periappendiceal. Temuan perforasi
appendisitis termasuk cairan pericecal loculated, phlegmon (sebuah definisi
penyakit lapisan struktur dinding appendiks) atau abses, lemak pericecal
menonjol, dan kehilangan keliling dari layer submukosa.
False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan pada
pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat, divertikulum Meckel,
divertikulitis cecal, penyakit radang usus, penyakit radang panggul, dan
endometriosis. Sedangkan false (-) didapatkan pada appendiks.
4) Barium enema
5) CT Scan
23
dapat menjadi opak dengan kontras. Appendicolith terlihat sebagai kalsifikasi
homogenus berbentuk cincin (halo sign), dan terlihat pada 25% populasi. (7)
e. Scoring Appendisitis
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek appendisitis akut dibuat skor alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu : skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
dilakukan apendiktomi, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap
jaringan apendiks dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu :
radang akut dan bukan radang akut.
24
Keterangan Alvarado score :
1–4 : observasi
5–7 : antibiotik
8 – 10 : operasi dini1,3
a. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut
lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan
leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.
b. Limfadenitis mesenterica
25
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut
yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mual-
muntah.
c. Peradangan pelvis
Tuba Fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua organ ini
sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnesitis. Untuk
menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak seksual. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih
difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus
diayunkan maka akan terasa nyeri.
d. Kehamilan Ektopik
Adanya riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika
terjadi ruptur tuba atau abortus diluar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri
yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan
kavum douglas, dan pada kuldosentesis akan di dapatkan darah.
e. Diverticulitis
11. Penatalaksanaan
Penanggulangan konservatif / sebelum operasi
a. Observasi
26
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali
masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta
melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laktasif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya
apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya.
Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (lekosit dan hitung jenis)
diulang secara periodic. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari
kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan
lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.1,6
b. Antibiotik
Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali
pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Pemberian antibiotik
berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum operasi
dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah meradang/apendisitis
akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya
telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan
pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter
ahli anastesi dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik
konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan
bawah di atas daerah apendiks.
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram
negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan
sebelum pembedahan.
Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi
dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks
dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
Tatalaksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah apendektomi. Keterlambatan
dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi.7
27
Dengan peningkatan penggunaan laparoskopi dan peningkatan teknik laparoskopik,
apendektomi laparoskopik menjadi lebih sering. Prosedur ini sudah terbukti menghasilkan
nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat dan angka kejadian infeksi
luka yang lebih rendah, akan tetapi terdapat peningkatan kejadian abses intra abdomen dan
pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi itu dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada
pasien dengan akut abdomen, terutama pada wanita. Beberapa studi mengatakan bahwa
laparoskopi meningkatkan kemampuan dokter bedah untuk operasi.4
Pascaoperasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya pendarahan
di dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien
telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi
Fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjai gangguan. Selama itu pasien
dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis
umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Berikan minum mulai 15
ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan
makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak Satu hari pascaoperasi pasien
dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x 30 menit. Pada hari kedua pasien
dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat diangkat dan pasien
diperbolehkan pulang.4
12. Komplikasi
Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini
tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami
perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk
dilakukan dalam masa tersebut.
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk
menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang: tirah baring dalam posisi
28
fowler medium, pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian yang
sesuai dengan hasil kultur, transfuse untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septic
secara intensif, bila ada.
Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang
cenderung menggelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan
kombinasi antibiotik. Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi
dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera
dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol kea rah rectum atau vagina dengan
fluktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis
intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.6
13. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat dan pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas
sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas jika
terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. 1,6
KESIMPULAN
Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling
penting dalam menegakkan diagnosis appendisitis. Gejala awal yang khas, yang merupakan
gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus atau periumbilikalis. Dalam pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda peritonitis
29
lokal pada titik Mcburney, dan rangsangan kontralateral; blumberg dan rovsing sign .
Pemeriksaan lain yang dapt mendukung diagnosa yaitu psoas sign, obturator sign, dan nyeri
tekan pada rectal toucher . Upaya mempertajam diagnosis sudah banyak dilakukan, antara
lain dengan menggunakan sarana diagnosis penunjang: laboratorium (darah, urin, CRP),
foto polos abdomen, pemeriksaan barium-enema, USG dan CT scan abdomen. Diagnosis
jugadapat dibantu dengan skoring alvarado, ohmann, dan skoring apendisitis pada anak.
Bila diagnosa klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
appendiktomi,dapat dilakukan secara open surgery atau laparascopic appendictomy.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, de Jong. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2012.h.755-62.
2. Brunicardi, F.C., Anderson, D.K., Billiar, T.R., Dum, D.L., Hunter, J.G., Mathews, J.B.,
Podlock, R.E., 2010. The appendix dalam Schwartz's Principles of Surgery. 9th Ed.
USA:The McGraw Hill Companies; 2011.p.2043-74.
3. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Jakarta: Erlangga; 2006.h.106-7.
4. Doherty, Gerard M.; Way, Lawrence W.Current Surgical Diagnosis & Treatment. 12th
Edition.USA:The McGraw Hill Companies; 2006.p.652-4.
5. Acosta J, Adams CA, Alarcon LH, Anaya DA, Ashley SW. Sabiston textbook of
surgery. 18th edition. New York: Elsevier Saunders; 2007.
6. Tjandra, J.J. The appendix and meckel’s diverticulum in textbook of surgery. 3rd ed. UK:
Blackwell Publishing Ltd; 2009.
7. Klingensmith, Mary E.; Chen, Li Ern; Glasgow, Sean C.; Goers, Trudie A.; Melby,
Spencer J.Washington manual of surgery. 5th Edition. USA:Washington University;
2007.p.200-12.
30