Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2018

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Disusun Oleh:

Fauziyah Abidah

111 2017 2035

Pembimbing :

Dr. Agus Japari, M.Kes, Sp. KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

RSKD PROVINSI SUL-SEL

2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang memiliki nama di bawah ini:

Nama : Fauziyah Abidah

NIM : 111 2017 2035

Judul : Kegawatdaruratan Psikiatri

Menyatakan bahwa, telah menyelesaikan referat dalam rangka tugas kepanitraan

klinik pada bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas

Muslim Indonesia di RSKD Provinsi Sul-Sel.

Makassar, 28 Desember 2018

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Agus Japari, M. Kes, Sp. KJ

2
PENDAHULUAN

Kegawatdaruratan psikiatri adalah gangguan akut perilaku, pikiran atau

suasana hati pasien yang jika tidak diobati dengan segera dapat merugikan, baik

untuk dirinya atau orang lain dalam lingkungan sekitarnya. Sebagai ujung tombak

di lapangan, peran dokter sangat penting dalam hal ini adalah sebagai bagian dari

pelayanan kedaruratan medik yang terintegrasi.

Permintaan untuk layanan kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat

meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1960-an, terutama di perkotaan.

Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat kompleks. Para

profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik umumnya

beresiko tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka.

Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh

petugas kesehatan lainnya, atau tanpa disengaja. Penatalaksanaan pasien yang

menuntut intervensi psikiatrik pada umumnya meliputi stabilisasi krisis dari

masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala atau kekacauan mental baik

sifatnya kronis ataupun akut.

3
BAB II

PEMBAHASAN

Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan

Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang

memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara

lain di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus

kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang

memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain:

a. Kondisi gaduh gelisah

b. Tindak kekerasan (violence)

c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri

d. Sindrom Neuroleptik Maligna

e. Delirium

Evaluasi

Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat

adalah tujuan utama dalam melakukan evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan

segera yang harus dilakukan secara tepat adalah:

a. Menentukan diagnosis awal

b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera

pasien

c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai

4
Dalam proses evaluasi, dilakukan:

1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik. Wawancara dilakukan lebih

terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan pada keluhan pasien

dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan tambahan dari pihak

pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi informasi,

terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau

inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap

informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar,

melakukan observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa yang

dkatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan

dalam waktu yang cepat.

2. Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat

perjalanan penyakit, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status

fisik/neurologik dan jika perlu pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan

terpenting yang harus dilakukan oeh seorang dokter di unit gawat darurat

adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah

sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan informasi bermakna.

Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam,

frekuensi nadi 120 per-menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan

besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik.

5
Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:

a. Keamanan pasien. Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat

memastikan bahwa situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan

tersebut aman bagi pasien. Jika intervensi verbal tidak cukup atau

kontraindikasi, perlu dipikirkan pemberian obat atau pengekangan.

b. Medik atau psikiatrik? Penting bagi dokter untuk menilai apakah

kasusnya medik, psikiatrik atau kombinasi keduanya, sebab

penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi medik umum seperti

trauma kepala, infeksi berat dengan demam inggi, kelainan

metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat seringkali

menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan

psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri

semua kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang

tampak.

c. Psikosis. Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi

seberapa jauh ketidakmampuannya dalam menilai realita dan

buruknya tilikan. Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap

pertolongan yang kita berikan serta kepatuhannya dalam berobat.

d. Suicidal atau homicidal. Semua pasien dengan kecenderungan bunuh

diri harus dobservasi secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan

dengan tindak kekerasan atau pikiran bunuh diri harus selalu

ditanyakan kepada pasien.

6
e. Kemampuan merawat diri sendiri. Sebelum memulangkan pasien,

harus dipertimbangkan apakah pasien mampu merawat dirinya

sendiri, mampu menjalankan saran yang dianjurkan.

Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk merawat

pasien di rumah merupakan salah satu indikasi rawat inap.

Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:

1. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,

2. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan

3. Perlu observasi lebih lanjut.

Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi

1. Diagnosis. Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap,

namun ada beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk

keakuratan data , misalnya penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid,

amfetamin), pemeriksaan radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data

penunjang seperti catatan medik sebelumnya, informasi dari sumber luar

juga dikumpulkan sebelum memulai tindakan.

2. Terapi. Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip

terapi Maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya

adalah untuk:

a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali

b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya

c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan

akhir

7
Obat-obatan yang sering digunakan adalah:

a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine,

perphenazine dsb

b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.

c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik

kadang sangat efektif.

1. Keadaan Gaduh Gelisah

Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya,

tetapi hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan

sekelompok gejala tertentu. Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan

sementara untuk suatu gambaran psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan

gelisah. (Maramis dan Maramis, 2009).

Etiologi : Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis

psikosis (Maramis dan Maramis, 2009):

1. Delirium

2. Skizofrenia katatonik

3. Gangguan skizotipal

4. Gangguan psikotik akut dan sementara

5. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik

6. Amok

8
1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium

Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan

sindroma otak organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun.

Sindroma ini dinamakan delirium. Istilah sindroma otak organik

menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena suatu penyakit

badaniah (Maramis dan Maramis, 2009). Penyakit badaniah ini yang

menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin terdapat di otak sendiri

dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik (misalnya

meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma

intracranial, dan sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak

(umpamanya tifus abdominalis, pneumonia, malaria, uremia, keracunan

atropine/kecubung atau alcohol, dan sebagainya) dan hanya

mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi sebagai psikosa

atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan patologik-

anatomik pada otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak

organik akut biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada

sindrom otak organik menahun biasanya terdapat dementia. Akan tetapi

suatu sindrom otak organik menahun (misalnya tumor otak, demensia

paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat saja pada suatu

waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk

mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan

evaluasi internal dan neurologis yang teliti (Maramis dan Maramis, 2009).

9
2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal

Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh

gelisah itu merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu

psikosis yang tidak berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui

dengan pasti adanya hubungan dengan suatu penyakit badaniah seperti

pada gangguan mental organik.

Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di

negara kita. Secara mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak

menurun dan terdapat inkoherensi serta afek-emosi yang inadequate, tanpa

frustasi atau konflik yang jelas maka hal ini biasanya suatu skizofrenia.

Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga tidak ada perpaduan

(disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses berpikir,

afek-emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecah-

belah atau bercabang = schizo; jiwa = phren),yaitu yang satu meningkat,

tetapi yang lain menurun. Pokok gangguannya terletak pada proses

berpikir (Maramis dan Maramis, 2009).

Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan

gaduh-gelisah ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-

gelisah katatonik. Di samping psikomotor yang meningkat, pasien

menunjukkan inkoherensi dan afek-emosi yang inadequate. Proses berpikir

sama sekali tidak realistik lagi (Maramis dan Maramis, 2009).

10
3. Gangguan psikotik akut dan sementara

Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik

yang dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu

frustasi atau konflik dari dalam ataupun dari luar individu yang mendadak

dan jelas, umpamanya dengan tiba-tiba kehilangan seorang yang

dicintainya, kegagalan, kerugian dan bencana. Gangguan psikotik akut

yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah reaktif

dan kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).

4. Psikosis Bipolar.

Psikosis bipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena

pokok gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau

konflik yang menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga

penyakit badaniah yang dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar,

biarpun penelitian menunjuk kearah itu. Tidak ditemukan juga disharmoni

atau keretakan kepribadian seperti pada skizofrenia; pada jenis depresi

ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun, maka aspek yang lain

juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).

Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam

arti kata yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran

yang meloncat-loncat atau melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira

luar biasa (efori), segala hal dianggap mudah saja. Psikomotorik

meningkat, banyak sekali berbicara.

11
5. Amok

Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan

dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III

(Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia)

memasukkannya ke dalam kelompok “Fenomena dan Sindrom yang

Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia” (“culture bound

phenomena”). Efek “malu” (pengaruh sosibudaya) memegang peranan

penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode “meditasi” atau tindakan

ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi

agresif dan destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia

malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja yang dirasakan

menghalanginya.

Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam keadaan trance).

Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering berakhir

karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena kehabisan

tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia

menemui ajalnya (Maramis dan Maramis, 2009).

Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan

Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007):

a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu

b. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan

c. Membawa benda-benda tajam atau senjata

12
d. Adanya perilaku agitatif

e. Adanya intoksikasi alkohol atau obat

f. Adanya pikiran dan perilaku paranoid

g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak

kekerasan.

h. Kegelisahan katatonik

i. Episode manik

j. Episode depresi agitatif

k. Gangguan Kepribadian tertentu

Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan (Sadock, et al, 2007):

- Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan

- Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15–24tahun,

status sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah

- Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk,

penyalahgunaan zat psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri

sendiri, psikosis

- Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)

Tatalaksana

Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting

sekali kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu

waspada, dan kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para

13
pengantarnya, tidak jarang kita sudah dapat menguasai keadaan (Maramis dan

Maramis, 2009).

Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap

berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak

mengamuk lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha

memeriksanya secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab

keadaan gaduh gelisah itu dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin

(Maramis dan Maramis, 2009).

Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis

terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna

untuk mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka

suntikan neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya

trifluoperazine, haloperidol (5 – 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai,

biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi.

Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya

diazepam (5 – 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa

tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-

duanya mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan

Maramis, 2009).

Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai

dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan

susunan saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan

14
sampai terjadi sinkop, maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan

berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah

tenang) (Maramis dan Maramis, 2009).

Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia

jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau

merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka

pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga

dapat diteruskan). Pemberian makanan dan cairan juga harus memadai. Kita

berusaha terus mencari penyebabnya, bila belum diketahui, terutama bila diduga

suatu sindrom otak organik yang akut. Bila ditemukan, tentu diusahakan untuk

mengobatinya secara etiologis (Maramis dan Maramis, 2009).

15
Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak

mengamuk lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati

keadaan fisik bila sudah terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis

skizofrenia dan bipolar memerlukan pengobatan jangka panjang dengan

neuroleptika (Maramis dan Maramis, 2009).

2. Tindak kekerasan (violence)

Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh

seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri,

disebut mutilasi diri atau tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak

kekerasan dapat timbul akibat berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula

terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup sehari-hari

dengan cara yang lebih baik.

Gambaran klinis dan diagnosis : Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan

dengan tindak kekerasan adalah:

- Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid

dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding

hallucination),

- Intoksikasi alkohol atau zat lain,

- Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif

- Katatonik furor

- Depresi agitatif

16
- Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan

pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan

antisosial),

- Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan

temporalis otak.

Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :

- Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak

kekerasan,

- Adanya rencana spesifik,

- Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,

- Laki-laki,

- Usia muda (15-24 tahun),

- Status sosioekonomi rendah,

- Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,

- Tindakan antisosial lainnya

- Riwayat percobaan bunuh diri.

Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak

kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah

membuat diagnoss sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara

untuk memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.

17
Panduan wawancara dan Psikoterapi

- Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan

yang jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints).

Tentukan batasan itu dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau

diikat), dan bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif: “minum

tablet ini sekarang”

- Katakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat

diterima,

- Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap

tenang dan penuh kontrol.

- Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.

Evaluasi dan penatalaksanaan

1) Lindungi diri anda

- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata,

- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas

(violent) seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang

bisa dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi,

- Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan

itu pada anggota staf yang terlatih.

- Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan

- Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.

18
- Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang mungkin

merasa bahwa anda mengancamnya

- Waspadalah terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan. Selalu

persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerang

anda. Jangan pernah membelakangi pasien

2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:

- Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum

lama ini, gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,

- Ancaman verbal,

- Agitasi psikomotor,

- Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,

- Waham kejar, dan

- Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata

(seperti garpu, asbak).

3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat

pasien secara aman.

4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih.

Biasanya setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau

antipsikotik untuk menenangkan pasien.

5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan

fisik dan wawancara pskiatrik.

19
Terapi Psikofarmaka

Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien

diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:

 Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,

 Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis

rata-rata per hari 13-14mg,

 Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2

menit).

Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang

sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang.

Utnuk penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya

carbamazepine lalu berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan

organik kronik seringkali memberikan respon yang baik dengan pemberian ß-

blocker seperti propanolol. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010).

3. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum

Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang

diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D

dan Gitayanti Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat

mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009).

Ada macam-macam pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian

Emile Durkheim masih dapat dipakai karena praktis, yaitu:

20
1. Bunuh diri egoistic

Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini

disebabkan oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi

individu itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam

keluarga dapat menerangkan mengapa mereka tidak menikah lebih rentan

untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang

menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai integrasi social yang

lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih

sedikit.

2. Bunuh diri altruistic

Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung

untuk bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok,

ia merasa bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh:

“Hara-kiri: di Jepang, “puputan” di Bali beberapa ratus tahun yang lalu,

dan di beberapa masyarakat primitive yang lain. Suiside macam ini dalam

jaman sekarang jarang terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang

menolak meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam.

3. Bunuh diri anomik

Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara

individu dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan

norma-norma kelakuan yang biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan

tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan

kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan terhadap

21
kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh

diri pada orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka yang tetap

dalam pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan

ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.

Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai

berikut:

 Kematian sebagai pelepasan pembalasan (“Death as retaliatory

abandonment”). Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi

preokupasi tentang rasa takut akan kematian. Individu mendapat perasaan

seakan-akan ia dapat mengontrol dan dapat mengetahui bilamana dan

bagaimana kematian itu.

 Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (“Death as

retroflexed murder”). Bagi individu yang mengalami gangguan emosi

hebat, suiside dapat mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat

direpresikan. Orang ini cenderung untuk bertindak kasar dan suiside dapat

merupakan penyelesaian mengenai pertentangan emosi dengan keinginan

untuk membunuh.

 Kematian sebagai penyatuan kembali (“Death as reunion”). Kematian

dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu akan

bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan).

 Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (“Death as self punishment”).

Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi

pada wanita, akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka

22
keinginan menghukum dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit

jiwa, perasaan tak berguna dan menghukum diri sendiri merupakan hal

yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan, rasa berdosa karena

agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia

menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.

Faktor Risiko

Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):

1) Jenis kelamin. Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri

dibanding laki-laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada

laki-laki. Hal ini berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-

laki lebih banyak dengan gantung diri, meloncat dari tempat tinggi, dengan

senjata api. Perempuan lebih banyak dengan overdosis obat-obatan atau

menggunakan racun.

2) Usia. Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada

laki-laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan

pada perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun.

Orang yang lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi

lebih sering berhasil.

3) Ras. Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri

dibanding ras kulit hitam.

4) Status perkawinan. Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama

jika terdapat anak di rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali

23
lebih beresiko untuk bunuh diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh

diri. Janda atau duda yang pasangannya telah meninggal juga memiliki

angka bunuh diri yang tinggi.

5) Pekerjaan. Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri,

tetapi status sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri.

Pekerjaan sebagai dokter memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding

pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul

spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki resiko

tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir,

agen asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih

tinggi untuk bunuh diri.

6) Kesehatan fisik. Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki

masalah kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas

fisik, nyeri hebat yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko

bunuh diri.

7) Gangguan mental. Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau

melakukan bunuh diri memiliki gangguan mental. Gangguan mental

tersebut terdiri dari depresi 80%, skizofrenia 10%, dan demensia atau

delirium 5%. Di antara semua pasien dengan gangguan mental, 25%

kecanduan juga kepada alkohol.

8) Kecanduan alcohol. Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan

bunuh diri. Sekitar 80% pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol

adalah laki-laki. Sekitar 50% dari pasien kecanduan alkohol yang bunuh

24
diri mengalami kehilangan anggota keluarga atau pasangan dalam satu

tahun terakhir.

9) Gangguan kepribadian. Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki

gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian merupakan faktor

predisposisi untuk gangguan depresi. Selain itu juga merupakan faktor

predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan kepribadian juga dapat

menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.

Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan

mood, keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang

terbaik adalah dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang

mungkin menjadi faktor kontribusi tadi.

Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri. Kemungkinan bunuh diri dapat

terjadi apabila (Tomb, 2004):

a. Pasien pernah mencoba bunuh diri

b. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak,

atau berupa ancaman: “kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi”

(sering dikatakan pada keluarga)

c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas

d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga

diri, dan lain-lain)

25
e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan,

pembicaraan serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan

harta/barang-barang miliknya.

f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik

diri.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

 Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan

adanya ide bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.

 Mulailah dengan menanyakan:

- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?

- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?

 Tanyakan isi pikiran pasien:

- Berapa sering pikiran ini muncul?

- Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?

 Selidiki :

- Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana

bunuh dirinya? - Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya

mengumpulkan obat?

- Seberapa pesimiskah mereka?

- Apakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?

26
Evaluasi dan Penatalaksanaan

Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di

tempat kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian

penyakit dalam atau bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau

keracunan. Bila keracunan atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi

psikiatrik. Tidak ada hubungan antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya

gangguan psikologis. Penting sekali dalam pengobatan untuk menangani juga

gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan psikoterapi

dan obat antidepresan (Maramis dan Maramis, 2009).

Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri,

jangan tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat

membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru

melakukan percobaan bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan

atau dilakukan secara impulsif. Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang

ditegakkan. Pasien yang depresi berat boleh saja berobat jalan asalkan

keluarganya dapat mengawasi pasien secara ketat di rumah.

Ide bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah sesudah

menghentkan pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan

berespon baik bila mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk

memecahkan masalah dengancara rasional dan bertanggung jawab. Rawat inap

jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan mempunyai kebiasaan

melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu mereka yang

27
berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya ide-ide

bunuh diri. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)

Terapi psikofarmaka

Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya

akan berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila

tidurnya terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya

lorazepam 3x1 mg per hari selama 2 minggu. Jangan memberukan obat dalam

jumlah banyak sekaligus terhdap pasien(rrespkan sedikit-seikit saja) dan pasien

harus kontrol dalam bebeapa hari.

4. Sindroma Neuroleptik Maligna

Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang

behubungan dengan penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan

otot, distonia, akinesia mutisme dan agitasi.

Gambaran Klinis dan Diagnosis

Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5ºC), kekakuan otot yang

nyata sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia,

tekanan darah yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan

yang parah dapat menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya

gagal ginjal. Penyulit lain dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian.

Biasanya terjadi dalam hari-hari pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis

mulai ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama pengobatan antipsikotik.

28
Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien yang

menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang

meningkat cepat. Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna

ditegakkan jika terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2

atau lebih gejala berikut:

 Diaforesis

 Disfagia

 Tremor

 Inkontinensia

 Penurunan kesadaran

 Autism

 Takikardia

 Tekanan darah yang meningkat atau labil

 Leukositosis

 Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka

Patofisiologi

Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas.

Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor

D2 menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area

di otak menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio

retikularis dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur

nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus

29
dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia

terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot.

Faktor resiko

Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.

Faktor predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi,

malnutrisi, kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi,

intoksikasi alkohol, pengunaan antipsikotik bersama dengan litium (Hall and

Chapman, 2006). Gangguan ini dapat pula terjadi pada pasien yang baru

menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni dopaminergik seperti carbidopa,

levodopa, amantadine dan bromocriptine.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga

perlu dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya

pada keluarga dan teman-temannya.

Evaluasi dan Penatalaksanaan

 Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien

yang mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.

 Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik

biasa dan bila demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara

sindroma neuroleptik maligna.

 Hentikna pemberian antipsikotik segera.

30
 Monitor tanda-tanda vital secara berkala.

 Lakukan pmeriksaan laboratorium

 Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan

kemungkinan terjadiny agagal ginjal.

 Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sembuh,

masalah kemudian adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah

mengganti dari kelas yang berbeda atau kembali ke antipsikotik semula

yang efektif.

Terapi Psikofarmaka

 Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi

 Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45

mg/hari

 Levodopa 50-100 mg/hari IV dalam infus terus-menerus

31
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi

percobaan bunuh diri, ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi

akut, adanya delusi, kekerasan, serangan panik, dan perubahan tingkah

laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa kondisi medis lainnya yang

mematikan dan muncul dengan gejala psikiatrik umum. Kegawatdaruratan

psikiatrik ada untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini.

Kemampuan dokter untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini

sangatlah penting.

2. Saran

Jika menemukan anggota keluarga yang memiliki tanda prilaku percobaan

bunuh diri atau prilaku menyerang sebaiknya segera bawa orang tersebut

ke psikiatri atau bawa ke rumah sakit agar dapat ditangani lebih lanjut dan

tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, Sadock. Comprehensive Textbook of Psychiatry. 7th edition, volume 2.


Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia, 2000. Page 2031-2055

2. Maramis WF. Catatan Ilmu kedokteran Jiwa. Cetakan ke-8. Airlangga


University Press. Surabaya,2004. Hal 421-447

3. Kusuma, Widjaja. Dari A sampai Z Kedaruratan Psikiatrik dalam Praktek.


Professional Books. Jakarta. 1997. Hal 3-86.

4. Emergency Psychiatry. http://en.wikipedia.org/wiki/Emergency_psychiatry

5. Endradita G. Kedaruratan Psikiatrik Fokus Pada Gaduh Gelisah.


http://bakornas.com

6. Hawari, D.; Psikopatologi Bunuh Diri . Balai penerbit FKUI , Jakarta, 2010.

7. Prayitno, A. ; Percobaan Bunuh Diri di Jakarta, Dalam Hubungannya Dengan


Diagnosis Psikiatri dan Faktor Sosiokultural, Disertasi Gelar Doktor FKUI,
1984.

8. Maramis, W.F., Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan kesembilan, Surabaya


: Airlangga University Press, 2005.

9. Rumah Sakit Jiwa Lawang, Membangun Kesadaran-Mengurangi Resiko


Gangguan Mental dan Bunuh Diri, 2007. (online), available :
http://rsjlawang.com/artikel_070309a.html

10. Suwanto, Bunuh Diri, 2009. (online), available : http://ezcobar.com/dokter-


online/dokter15/index.php?

11. Kaplan dan Sadock. Kaplan H. I, Sadock B.J Sinopsis Psikiatri : Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri, Hal 353-367, Klinis Edisi Ketujuh, Jilid Dua.
Binarupa Aksara, Jakarta. 2007.

33
34

Anda mungkin juga menyukai