Konsep NYERI
Konsep NYERI
Nyeri (Pain)
Update : 08/03/12
Nyeri akibat kerusakan jaringan misalnya terjadi pada nyeri akibat luka operasi.
Berpotensi rusak misalnya pada nyeri dada karena penyakit jantung (Angina
Pectoris), dimana timbul nyeri sebagai pertanda akan terjadi kerusakan atau
berpotensi terjadi kerusakan pada otot- otot jantung bila tidak ditangani secara
benar. Menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan, misalnya nyeri yang timbul
setelah sembuh dari penyakit herpes (Neuralgia Pasca Herpetica), dimana terjadi
nyeri meskipun tidak ada kerusakan jaringan.
Rasa nyeri adalah anugerah dari Tuhan dan merupakan masalah unik, karena
sebagai suatu tanda mekanisme perlindungan diri, contoh sederhana bila tangan
menyentuh bara api maka pada orang normal akan merasakan panasnya bara api
kemudian secara spontan akan menjauhkan tangan dari sumber panas tersebut.
Bisa dibayangkan seandainya kita tidak bisa merasakan panas atau nyeri maka
akan terbakarlah tangan oleh bara api tersebut.
Bila nyeri tidak ditangani secara benar maka dapat menyebabkan kerusakan
jaringan lebih lanjut, contohnya nyeri setelah operasi, nyeri setelah sembuh dari
penyakit herpes, bila tidak ditangani secara benar, maka akan menjadi nyeri kronis
yang merupakan permasalahan besar dan sulit ditangani, karena terjadi perubahan
ekspresi dari saraf-saraf. Nyeri seperti inilah yang diklasifikasikan sebagai nyeri
kronis yang ditandai dengan adanya persepsi nyeri tanpa kerusakan jaringan.
Mekanisme Nyeri
Seseorang baru merasakan sensasi nyeri rangsangan nyeri yang timbul mengalami
proses transduksi, transmisi, modulasi dan kemudian dipersepsikan sebagai nyeri.
Transduksi adalah rangsang nyeri diubah menjadi depolarisasi membran reseptor
yang kemudian menjadi impuls saraf. Transmisi, saraf sensoris perifir yang
melanjutkan rangsang ke terminal di medula spinalis disebut sebagai neuron aferen
primer, jaringan saraf yang naik dari medula spinalis ke batang otak dan talamus
disebut neuron penerima kedua, neuron yang menghubungkan dari talamus ke
kortek serebri disebut neuron penerima ketiga. Modulasi nyeri dapat timbul di
nosiseptor perifer, medula spinalis atau supraspinal. Modulasi ini dapat menghambat
atau memberi fasilitasi. Persepsi, nyeri sangat dipengaruhi oleh faktor subyektif,
walaupun mekanismenya belum jelas
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas, yang
berada di dalam kulit, yang berespon hanya terhadap stimulus kuat, yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor (nosiceptor), secara
anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan
kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det), yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila penyebab
nyeri dihilangkan.
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det), yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam, meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena
struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan
sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral. Reseptor ini meliputi organ-organ
viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada
reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif
terhadap penekanan, iskemia dan inflamari.
Alur Nyeri
Reseptor nyeri yang jumlahnya jutaan di tubuh, akan menerima rangsangan nyeri
yang kemudian dibawa ke spinal cord yaitu pada daerah kelabu dilanjutkan ke
traktus spinothalamikus selanjutnya ke korteks serebri. Mekanismenya sebagai
berikut ;
Alur nyeri dari tangan yang terbakar mengeluarkan zat kimia bradykinin,
prostaglandin, kemudian merangsang ujung reseptor saraf yang kemudian
membantu transmisi nyeri dari tangan yang terbakar ke otak.
Impuls disampaikan ke otak melalui nervus ke kornu dorsalis pada spinal
cord.
Pesan diterima oleh thalamus sebagai pusat sensori pada otak.
Impuls dikirim ke korteks, dimana intensitas dan lokasi nyeri dirasakan.
Penurunan nyeri dimulai sebagai signal dari otak, turun melalui spinal cord.
Pada kornu dorsalis zat kimia seperti endorfin dikeluarkan untuk menurunkan
intensitas nyeri.
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) menyatakan bahwa impuls nyeri
dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf
pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah
pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya
menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari
otak akan mengatur proses pertahanan ini. Neuron delta-A dan C akan melepaskan
substansi C melepaskan substansi P untuk mentransmisikan impuls melalui
mekanisme pertahanan.
Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih
cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan.
Diyakini, mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok
punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi
mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan
serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan
sensasi nyeri.
Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi
di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden akan melepaskan opiat
endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal
dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan
menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian
plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin.
Jadi secara singkat, teori ini menyatakan bahwa : saraf berdiameter kecil
menghantarkan stimulus nyeri ke otak, sedangkan saraf berdiameter besar,
berusaha menghambat transmisi impuls nyeri dari spinal cord ke otak. Mekanisme
ini terjadi pada sel-sel substancia gelatinosa pada kornu dorsalis di spinal cord.
Respons tubuh terhadap suatu pembedahan atau nyeri akan menghasilkan reaksi
endokrin dan immonologik, yang secara umum disebut sebagai respons stress.
Respons stress ini sangat merugikan penderita karena selain akan menurunkan
cadangan dan daya tahan tubuh, meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung,
mengganggu fungsi respirasi dengan segala konsekuensinya, juga akan
mengundang resiko terjadinya tromboemboli yang pada gilirannya meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.
Di lain pihak daerah di sekitar perlukaan yang masih nampak normal juga berubah
menjadi hiperalgesia, artinya dengan suatu stimuli yang kuat, untuk cukup
menimbulkan rasa nyeri, kini dirasakan sebagai nyeri yang lebih hebat dan
berlangsung lebih lama, daerah ini juga disebut sebagai hiperalgesia sekunder.
Kemampuan sususnan saraf kita yang dapat berubah mirip dengan plastik disebut
sebagia plastisitas susunan saraf (plasticity of the nervous system). Analgesia
Preemptif (Preemptive analgesia) Sekali susunan saraf mengalami plastisitas,
berarti akan menjadi hipersensitif terhadap suatu stimuli dan penderita akan
mengeluh dengan nyeri yang lebih hebat sehingga dibutuhkan dosis obat analgesik
yang tinggi untuk mengontrolnya.
Atas dasar itulah maka untuk mengurangi keluhan nyeri pasca bedah, dilakukan
upaya-upaya untuk mencegah terjadinya plastisitas susunan saraf. Salah satu cara
untuk mengurangi plastisitas tersebut pada suatu pembedahan elektif adalah
dengan menggunakan blok saraf (epidural/spinal), sebab dengan demikian input
nyeri dari perifer akan terblok untuk masuk ke kornu posterior medulla spinal.
Dilain pihak jika trauma terjadi sebelum operasi, maka pemberian opioid secara
sistemik dapat mengembalikan perubahan plastisitas susunan saraf kembali menjadi
normal. Upaya-upaya mencegah terjadinya plastisitas ini disebut sebagai analgesia
preemptif (preemptive analgesia), artinya mengobati nyeri sebelum terjadi (to
treat pain before it occurs).
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa analgesia preemptif, walaupun hasilnya
sangat baik terutama dalam mencegah terjadinya plastisitas pada kornu posterior,
namun memiliki keterbatasan, yakni sulitnya dipertahankan selama proses
penyembuhan pascabedah. Disinilah keunggulan dari analgesia balans dimana
intervensi nyeri dilakukan secara multimodal dan berkelanjutan. Multimodal,
dimaksudkan bahwa intervensi dilakukan pada ketiga proses perjalanan nyeri yakni
pada proses transduksi dengan menggunakan NSAID, pada proses transmisi
dengan anastetik lokal, dan pada proses modulasi dengan opioid.
Dengan cara ini terjadi penekanan pada proses transduksi dan peningkatan proses
modulasi, guna mencegah terjadinya proses hipersensitivitas baik di perifer maupun
di central. Dengan kata lain, analgesia balans dapat menghasilkan selain pain free
juga stress responses free. Dengan regimen analgesia balans ini akan
menghasilkan suatu analgesia pascabedah yang secara rasional akan menghasilkan
analgesia yang optimal bukan saja waktu istirahat, tapi juga dalam keadaan
mobilisasi.
Berdasarkan kualitasnya, nyeri dapat dibagi menjadi: nyeri ringan, nyeri sedang,
dan nyeri berat. Pada nyeri ringan, biasanya pasien secara obyektif dapat
berkomunikasi dengan baik. Pada nyeri sedang, secara obyektif pasien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik. Pada nyeri berat, secara obyektif pasien terkadang
tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang.
Nyeri memiliki suatu ambang / “treshold” dan ambang ini dicapai secara berbeda.
Ambang dicapai oleh karena adanya hambatan transmisi impuls nyeri dari spinal
cord ke otak. Mekanisme ini terjadi pada sel-sel substansia gelatinosa pada kornu
dorsalis di spinal cord.
2. Berdasarkan sumbernya
3. Berdasarkan penyebab
Fisik, bisa terjadi karena stimulus fisik, contoh : patah tulang paha (fraktur
femur)
Psycogenic, terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi,
bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari. Contoh : orang yang
marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya.
4. Berdasarkan lama/durasinya
Nyeri akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cedera, atau intervensi bedah
dan memiliki mula yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai
ringan . Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya
cidera atau penyakit yang akan datang. Nyeri ini terkadang bisa hilang
sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang
rusak.
Nyeri akut biasanya akan berakhir dalam periode singkat sampai dengan
kurang dari 6 bulan. Nyeri akut biasanya ditandai dengan tanda-tanda
inflamasi, biasanya berlangsung beberapa hari sampai proses penyembuhan.
Tanda-tanda utama inflamasi adalah: rubor (kemerahan jaringan), kalor
(kehangatan jaringan), tumor (pembengkakan jaringan), dolor (nyeri jaringan),
fungsio laesa (kehilangan fungsi jaringan).
Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif
untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut secara serius mengancam
proses penyembuhan klien, untuk itu harus menjadi prioritas perawatan.
Rehabilitasi bisa tertunda dan hospitalisasi bisa memanjang dengan adanya
nyeri yang tidak terkontrol.
Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya
berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang
tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan
progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri
kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut.
Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi
dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu yang mengalami
nyeri kronik akan timbul perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah
tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari.
Nyeri kanker adalah merupakan kombinasi dari nyeri akut dan nyeri kronis
dimana ada suatu proses inflamasi kemudian nyeri berlangsung terus-
menerus sesuai dengan perkembangan kankernya, bilamana kanker tidak
ditangani.
5. Berdasarkan lokasi/letak
Intractable pain, adalah nyeri yang sangat susah dihilangkan, contoh: nyeri
kanker, keganasan.
Phantom pain, adalah sensasi nyeri dirasakan pada bagian tubuh yang
hilang, contoh bagian tubuh yang diamputasi atau bagian tubuh yang lumpuh
karena injuri medulla spinalis
Nyeri cepat: bila diberikan stimulus nyeri maka rasa nyeri cepat timbul dalam
waktu kira-kira 0,1 detik. Rasa nyeri cepat juga digambarkan dengan banyak
nama pengganti seperti : rasa nyeri tajam, rasa nyeri tertusuk, rasa nyeri akut,
dan rasa nyeri elektrik
Nyeri lambat: timbul setelah 1 detik atau lebih dan kemudian secara
perlahan bertambah selama beberapa detik dan kadang kala bahkan
beberapa menit. Rasa nyeri lambat juga mempunyai banyak nama tambahan
seperti rasa nyeri terbakar lambat, nyeri pegal, nyeri berdenyut, nyeri mual
dan nyeri kronik.
1. Respons sistemik
2. Respon perilaku
Individu yang mengalami nyeri dengan awal mula yang mendadak dapat bereaksi
sangat berbeda dibanding nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau
menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu
letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat.
Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas, karena menjadi mahir dalam
mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
3. Respon Fisiologik
Respon simpatetik (Pada nyeri akut, ringan, moderat atau superficial) dan
merupakan respon homeostatis
1. Peningkatan tekanan darah
2. Peningkatan denyut nadi dan pernafasan
3. Dilatasi pupil
4. Ketegangan otot dan kaku
5. Bagian tubuh perifer akan terasa dingin
6. Sering buang air kecil
7. Kadar gula darah meningkat
8. Penurunan motilitas saluran cerna
9. Dilatasi saluran bronkhial
4. Respon Afektif
5. Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang
terjadi atat arti nyeri bagi klien. Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara
lain :
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar
tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam
fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka
tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri
juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai
tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus
kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah
merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi
terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri,
sebelum nyeri datang.
Seseorang bisa saja mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari
ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah
yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri.
Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit
mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan
nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan
bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih
membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga
dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami
episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah
kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri
untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah
hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit
berat atau meninggal, jika nyeri diperiksakan.
Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara
signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya
(contoh: tidak pantas kalau laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh
nyeri)
Kultur, etnis
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri. (ex: suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah
akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka
tidak mengeluh jika ada nyeri)
Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
dan bagaimana mengatasinya.
Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided
imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
Persepsi nyeri mencakup proses sensasi ketika stimulus nyeri terjadi dan
berhubungan dengan interpretasi nyeri oleh seseorang. Ambang nyeri adalah
intensitas terendah dari stimulus nyeri yang dapat menyebabkan seseorang
mengenal nyeri. Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual.
Sebenarnya ambang nyeri itu jika tanpa adaptasi, sama pada setiap orang, akan
tetapi proses adaptasi setiap orang tidaklah sama, sehingga memungkinkan
terjadinya perbedaan ambang nyeri pada setiap orang, karena adanya perubahan
sesuai dengan adaptasi yang dialami setiap orang.
Nyeri pada dasarnya adalah pengalaman seseorang individu (personal
experience). Jadi dengan demikian persepsi nyeri itu sangat individual dan unik
pada setiap orang. Durasi, berat atau Intensitas, Kualitas, Periode dari Nyeri. Nyeri
itu suatu perasaan campuran dan terjadi pada berbagai tingkatan.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas
nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang
ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat
dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Secara sederhana nyeri setelah pembedahan pada pasien sadar dapat langsung
ditanyakan pada yang bersangkutan dan biasanya dikategorikan sebagai: tidak nyeri
(none), nyeri ringan (mild, slight), nyeri sedang (moderate), nyeri berat (severe) dan
sangat nyeri (very severe, intolerable).
Berikut adalah beberapa alat untuk yang biasa digunakan untuk menilai derajat nyeri
:
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan
sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun
dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak
terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien
skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia
rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan
dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.
Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai
pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas
nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk
menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm.
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah
suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh
untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran
keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik
pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.
Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi
nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak
mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat
membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala
deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi
juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah
terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri
mengalami penurunan atau peningkatan.
Pengelolaan Nyeri
Metoda pengobatan nyeri, sesuai dengan step ledder dari WHO, maka untuk
mengatasi nyeri ringan digunakan obat anti inflamasi non steroid, untuk mengatasi
nyeri sedang digunakan obat anti inflamasi non steroid dikombinasi dengan
golongan opioid lemah dan untuk mengatasi nyeri berat digunakan obat anti
inflamasi non steroid dikombinasi dengan golongan opioid kuat.
Metoda pengobatan nyeri dapat dengan cara sistemik (oral, rectal, transdermal,
sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau perinfus). Cara yang sering
digunakan dan paling digemari ialah intramuscular opioid.
Metoda regional misalnya dengan epidural opioid atau intraspinal opioid. Kadang-
kadang digunakan metoda infiltrasi pada luka operasi, sebelum pembedahan selesai
misalnya pada sirkumsisi atau pada luka operasi usus buntu (apendektomi).
Begitu pentingnya pengetahuan nyeri, maka saat ini nyeri merupakan tanda vital
keenam, setelah kesadaran, tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, dan suhu
tubuh.
http://smart-pustaka.blogspot.com/2011/03/nyeri-pain.html
budi prasetjio