Anda di halaman 1dari 4

STUDI KASUS AKUNTABILITAS

Oleh: Rifqi A’zhom Muta’allimin, S.Pd (NIP 199205292019031009)

KASUS:
4 Calo CPNS Sragen Ditahan, 2 di Antaranya PNS
Aparat Polres Sragen menangkap dan menahan empat orang anggota komplotan
makelar atau calo calon pegawai negeri sipil (CPNS). Polisi menahan mereka setelah
menemukan bukti-bukti dan saksi yang memadai, Senin (27/8/2018).

Mereka diduga meminta uang senilai Rp270 juta dari dua korban untuk memuluskan
anak korban menjadi CPNS namun hingga kini anak para korban itu tak ada yang jadi
PNS dan uang tak dikembalikan.

Aksi keempat orang itu mengarah pada indikasi pelanggaran Pasal 372 dan 378 KUHP
tentang Penipuan dan Penggelapan dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara.
Kasatreskrim Polres Sragen AKP Yuli Munasoni mewakili Kapolres Sragen AKBP Arif
Budiman saat dimintai konfirmasi Solopos.com, Selasa (28/8/2018), membenarkan
informasi tersebut.

Yuli menyebut keempat tersangka terdiri atas Mustofa, 61, pensiunan PNS, asal Dukuh
Karanganom RT 007, Desa Taraman, Sidoharjo, Sragen; Heru Budi Susanto, 52,
seorang PNS asal Dukuh Nglarangan RT 065/RW 001, Desa/Kecamatan Kebakkramat,
Karanganyar; Heri Kustopo, 44, seorang PNS asal Dukuh Kradan RT 003/RW 008,
Desa Sukorejo, Kecamatan Wedi, Klaten; dan Suyadi, 51, warga dukuh Ngamban RT
005, Desa Gawan, Tanon, Sragen.

Yuli menjelaskan mereka ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Laporan Polisi No.
LP/B/25/III/2018/JATENG/RES.SRG, tertanggal 5 Maret 2018. Indikasi penipuan atau
penggelapan itu diketahui sejak 2014 lalu dengan lokasi kejadian di
Dukuh/Desa/Kecamatan Sidoharjo, Sragen.

Berkas keempat tersangka disusun menjadi dua berkas penyidikan. “Berkas Mustofa
dan Heru Budi Susanto dijadikan berkas pertama sedangkan Heri Kustopo dan Suyadi
menjadi berkas kedua. Kasus itu mencuat setelah ada laporan dari korban Suyatmi, 57,
seorang guru SD asal Dukuh Karang RT 001/RW 003, Desa Tangkil, Sragen, yang ingin
anaknya menjadi CPNS,” ujarnya.

Dari hasil pemeriksaan, jumlah korban bertambah, yakni Sumadi, 60, seorang PNS di
Tangen yang tinggal di Dukuh Sogo RT 010, Desa Bandung, Ngrampal, Sragen.
Sumadi juga menginginkan anaknya menjadi CPNS.

Yuli menjelaskan sebelumnya Suyatmi dan Sumadi menemui tersangka Mustofa untuk
meminta bantuan agar anak mereka bisa menjadi CPNS lewat jalur seleksi umum.
Kemudian Mustofa mengenalkan kedua korban kepada Heru Budi Susanto yang bisa
membantu memasukkan anak para korban menjadi CPNS.

"Setelah itu Mustofa meminta uang kepada setiap korban senilai Rp10 juta dengan
alasan untuk menembak sertifikat pendidik. Kemudian meminta lagi untuk mengurus
administrasi terkait tes. Total uang yang diminta Mustofa kepada kedua korban Rp40
juta,” ujar Yuli.

Dari pengakuan Mustofa, kata Yuli, uang Rp40 juta itu tidak digunakan sendiri tetapi
diserahkan kepada Heru senilai Rp30 juta. Yuli melanjutkan kemudian Heru juga
menerima uang untuk masuk CPNS dari masing-masing korban Rp25 juta/korban.
Akhirnya anak Suyatmi dan Sumadi tidak diterima lewat jalur umum.

“Kemudian urusan CPNS itu diserahkan kepada Heri Kustopo dan Suyadi agar kedua
anak korban bisa masuk CPNS lewat jalur kebijakan. Sebelumnya korban sudah
dikenalkan kepada Heri dan Suyadi,” terang Kasatreskrim.

Lewat jalur kebijakan itu, kedua korban dimintai uang masing-masing Rp90 juta
sehingga total yang dikeluarkan kedua korban Rp180 juta. Akhirnya, anak para korban
juga tidak bisa masuk CPNS dan uang tidak dikembalikan.

Yuli menjelaskan masing-masing korban mengalami kerugian Rp135 juta sehingga


total kerugian Rp270 juta. Karena uang tak dikembalikan, korban melapor ke Polres
Sragen.

(sumber: https://soloraya.solopos.com/read/20180828/491/936478/4-calo-cpns-sragen-ditahan-
2-di-antaranya-pns)
PENYEBAB:

Kasus di atas termasuk dalam penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi dan
masuk pula pada tindak pidana.

Untuk melihat penyebab terjadinya kasus , kita bisa melihat dari dua sisi yaitu dari sisi pelaku
(khususnya oknum PNS) dan sisi korban. Dari sisi pelaku, jika dilihat dari kronologis bisa
diduga bahwa oknum PNS tersebut memiliki wewenang atau memiliki koneksi di ranah SDM
khususnya soal rekrutmen CPNS. Oknum PNS tersebut bisa jadi tergoda dengan iming-iming
uang yang akan didapatkan dari korban. Nominal yang tertera sangat fantastis, menyentuh
angka ratusan juta jika kita akumulasikan dari setoran awal sampai dengan terakhir. Hal ini
tentu sangan menggiurkan oknum PNS, karena jika dibanding dengan gaji dan tunjangan PNS
angka tersebut sangat jauh sekali. Maka, perbaduan antara wewenang dan kesempatan inilah
yang membuat oknum PNS tersebut melakukan penipuan.

Dari sisi korban, patut diduga jika korban terobsesi anaknya bisa menjadi PNS sama seperti
orang tuanya. Dan stigma bahwa untuk menjadi PNS sangat sulit jika melewati jalur “depan”,
dan harus melewati jalur “belakang” agar bisa menjadi PNS. Obsesi dan stigma inilah yang
membuat korban nekat melewati jalur “belakang’ yang akhirnya berujung penipuan.

SOLUSI:

1. Dari diri sendiri harus menerapkan sikap jujur dan tidak memanfaatkan wewenang atau
posisi seenaknya. Setiap individu haruslah menyadari bahwa apapun perilaku kita akan
dimintai pertanggungjawaban baik di dunia dan di akhirat kelak.
2. Dari sisi sistem, sistem rekrutmen harus dibuat seketat mungkin, dan meminimalisir
kecurangan. Hal yang bisa dilakukan, dan sudah dilakukan saat ini, adalah dengan
membuat rekrutmen dalam satu pintu. Saat ini, rekrutmen yang harus melewati BKN
saya rasa sudah sangat bagus. Selain itu penggunaan teknologi CAT ini bisa
mengurangi kecurangan secara pesat.
3. Dan, perlu adanya TIM khusus yang konsen mengawasi, dan menangani tindak
kecurangan rekrutmen CPNS. Saat ini sudah ada Komisi Aparatur Sipil Negara
(KASN) yang fungsinya mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik, dan kode
perilaku ASN. Lewat KASN ini hal-hal seperti tindak kecurangan/penipuan tersebut
bisa dicegah. KASN harus melaksanakan fungsi pengawasan dan pencegahan dengan
intensif. KASN bisa bekerja sama dengan pihak-pihak terkait seperti BKN, POLRI,
juga LSM dan unsur-unsur masyarakat agar pengawsan yang dilakukan KASN bisa
lebih objektif.

DAMPAK JIKA KASUS TIDAK TERSELESAIKAN:

Dampak terbesar dari tindak kecurangan ini apabila tidak segera diselesaikan adalah semakin
banyak individu yang kurang kompeten menjadi PNS. Individu yang masuk tanpa seleksi yang
jelas diragukan kompetensinya karena tidak ada takaran jelas untuk mengukur komptensi
individu tersebut. Kurang kompetennya PNS di instansi pemerintah bisa berdampak buruk
pada pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Dengan kurang kompetennya PNS di
pemerintahan maka tugas-tugas sebagai pelayan publik dan aparatur negara tidak akan bisa
maksimal dilaksanakan. Dan pelayan publik tentunya tidak bisa secara maksimal melayani
warga negara.

Anda mungkin juga menyukai