ANALISIS KASUS
A. Identifikasi Pasien
Nama Pasien : An. IL
Umur : 4 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 14 kg
Tinggi badan : - cm
Alamat : Kp. Sadang Rt. 02/05 Bogor
No Rekam Medis : 00209355
Ruang : Flamboyan
Status Jaminan : Asuransi
Tanggal masuk : 7 Januari 2019
Tanggal keluar : 11 Januari 2019
DPJP : dr. Udjiani Edi Pawitro, SpA
B. Keluhan Utama
Bengkak di wajah dan kaki, BAK sedikit
G. Pemeriksaan Fisik
Tanda-Tanda Vital
Tanggal Tekanan Nadi Suhu Nafas(RR)
Darah 60-100 x/Menit 36-37,5(oC) 20-30x/Menit
120/80 mmHg
7/1/2019 100/80 82 36 24
8/1/2019 90/60 90 36,9 24
9/1/2019 110/80 90 38,0 24
10/1/2019 110/70 92 35,6 24
11/1/2019 110/80 90 36 24
H. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal
Pemeriksaan Satuan Nilai Normal
4/1/2019 7/1/2019 8/1/2019 9/1/2019 10/1/2019 11/1/2019
HEMATOLOGI
Hemoglobin g/dl 10.7 - 14.7 12.8
Leukosit x103/ul 6,0- 15,5 10,56
Hematokrit % 32 - 43 38
Trombosit x103/ul 229 – 553 591
HITUNG JENIS
Neutrofil Staf % 3-6 0
Limfosit % 25 – 60 51
Monosit % 25 – 50 8
LED mm/jam 0-20 136
KIMIA
Kolesterol Total mg/dl 112 - 200 417
Albumin g/dl 3.5 – 5.2 2.0
URINALISIS
Protein Negatif Positif3 / +++ Negatif
Urine Kuning muda Kuning Kuning
Darah Negatif Positif1/+ Negatif
SEDIMEN URIN
Eritrosit Sel/pb 0-1 4-5 0-1
Lekosit Sel/pb 1-4 6-8 1-2
Jamur Tidak ada Tidak ada
Bakteri Tidak ada Tidak ada
FUNGSI GINJAL
Ureum mg/dl < 48 12
Creatinin mg/dl < 1.0 0.20
IMUNO-SEROLOGI
CRP Kuantitatif Mg/dl 0.00 – 6.00 0.26
U/L Negatif Negatif
ASTO
(<200)
*Hasil lab tanggal 4/1/2019 dari Rumah Sakit Kasih Tzu Chi Jakarta
I. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi
Obat Oral
1 Prednison 5mg 3-2-2 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Obat Injeksi
1 Lasix 2x10mg - √ - √ √ - √ √ -
2 Lasix 1x10mg √ - - √ -
Efek
No Nama Obat Dosis Lazim Indikasi Kontraindikasi Interaksi Obat Farmakokinetik
Samping
1. Furosemide DIH 17th ed. Pasien dengan Hipovolemia, Hipotensi, Furosemid Obat diuresis
(Lasix) Edema, CHF or retensi cairan hiponatremia, hipokalemia, dapat terjadi dalam
hypertension yang berat sulfonilurea hiponatremia menambah 30 menit
(diuresis) (edema,ascites) efek hipotensi hingga 1 jam;
edema pada dari ACE Inh. efek maskimal
Oral: 0.5-2 mg/kg sindro nefrotik. Serum setelah 1-2 jam.
dosis furosemid Setelah
bisa menurun pemberian IV,
IV: 1 mg/kgBB jika diberi diuresis terjadi
i.m atau i.v. Dosis bersama dalam 5 menit
dapat makanan. dan mencapai
ditingkatkan puncak 20-6-
maks. 6 mg/kgBB menit.
setelah kira-kira 2 t1/2 : 2 jam
jam. (AHFS 2011)
Prednisone Nephrotic Antiinflamasi Hipovolemia, Hipotensi, Bioavailibilitas t1/2 : 2.6 – 3 jam
syndrome atau hiponatremia. hiponatremia, dari (medscape)
(Pediatric imunosupresan hipokalemia. kortikosteroid
Nephrology Panel akan menurun
recommendations jika diberi
[Hogg, bersama
2000]):DIH, 17th antasid.
ed. Hipoglikemia
muncul jika
Oral: 2mg/kg/hari diberi
atau 60mg/m²/hari bersamaan
1-3 kali (maksimal dengan
80mg/hari) sampai antidiabetes.
urin terbebas dari Kortikosteroid
protein atau 4-6 dapat
minggu. meningkatkan
hipokalemik.
Oral: 0,05-
2mg/kgBB/hari
dibagi 1-4 kali/hari
L. Perhitungan Dosis
Prednison
Dosis yang diterima
Dosis Literatur Keterangan
pasien
Oral untuk Pediatri :
3-2-2 x 5 mg/hari
2 mg/kg/hari atau 60 mg Dosis sesuai dengan
2 mg/kg x 14kg = 28
/m²/hari 1-3 kali literatur
17th
mg/hari
(DIH )
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. Etiologi
Menurut Nurarif dan Kusuma (2013), penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum
dikteahui. Akhir-akhir ini dianggap sebagai suaru penyakit autoimun, yaitu reaksi antigen
antibodi. Umumnya etiologi dibagi menjadi 3:
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap suatu pengobatan. Gejala
edema pada masa neonatus. pernah dicoba pencangkokan ginjal pada neonatus tetapi tidak
berhasil. Prognosis buruk dan biasanya meninggal pada bulan pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai berikut :
- lupus erimatosus sistemik (LES)
- keganasan, seperti limfoma dan leukemia
D. Batasan
Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik, diantaranya:
1. Remisi
Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-turut
dalam satu minggu, maka disebut remisi.
2. Relaps
Apabila proteinuri ≥ 2+ ( >40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
>2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut relaps.
3. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari)
selama 4 minggu mengalami remisi.
4. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari)
selama 4 minggu tidak mengalami remisi.
5. Sindrom nefrotik relaps jarang
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau <
4 kali dalam 1 tahun.
6. Sindrom nefrotik relaps sering
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau ≥
4 kali dalam 1 tahun.
E. Klasifikasi
Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut berbagai
penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan
prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi. Berdasarkan hal tersebut, saat ini
klasifikasi SN lebih sering didasarkan pada respon klinik, yaitu :
1. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
2. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
3. Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom nefrotik.
Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa
adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan
cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus
menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana
diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik.
Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular
menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular
ke ruang interstisial kemudian timbul edema.
Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak bergantung pada
stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal primer. Retensi natrium renal
primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke
dalam ruang interstisial menyebabkan terbentuknya edema.
4. Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat pada
sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara lain yaitu adanya kondisi
hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk
lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein
lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
G. Diagnosa
H. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan untuk sindrom nefrotik mencakup:
1. Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC), terapi inisial
untuk anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid adalah
prednison dosis 60mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam
dosis terbagi. Terapi inisial diberikan dengan dosis penuh selama 4 minggu. Apabila dalam
empat minggu pertama telah terjadi remisi, dosis prednison diturunkan menjadi 40
mg/m2LPB/hari atau 1,5 mg/kgBB/hari, diberikan selang satu hari, dan diberikan satu hari
sekali setelah makan pagi.. Apabila setelah dilakukan pengobatan dosis penuh tidak juga
terjadi remisi, maka pasien dinyatakan resisten steroid. Pemberian kortikosteroid
(prednison atau prednisolon) untuk menginduksi remisi.
Apabila pasien terjadi remisi tetapi terjadi proteinuria lebih dari sama dengan positif 2
dan tanpa edema, terlebih dahulu dicari penyebab timbulnya proteinuria, yang biasanya
disebabkan oleh karena infeksi saluran nafas atas, sebelum diberikan prednison. Apabila
ditemukan infeksi, diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian protenuria menghilang
maka pengobatan relaps tidak perlu diberikan. Namun, apabila terjadi proteinuria sejak
awal yang disertai dengan edema, diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan diberikan
prednison pada pasien.
2. Penggantian protein (albumin dari makanan atau intravena)
3. Pengurangan edema dengan terapi diuretik dan pembatasan natrium.
4. Mempertahankan keseimbangan elektrolit
5. Pengobatan nyeri (untuk mengatasi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan edema
dan terapi invasif)
6. pemberian antibiotik 5-7 hari (penisiln oral atau agens lain) bila terbukti ada infeksi.
7. Terapi imunosupresif (siklosfamid, klorambusil atau siklosporin) untuk anak yang gagal
berespons terhadap steroid.
BAB III
ANALISIS DRP’s
1. Analisis DRP’s
Dari obat obatan yang diberikan kepada pasien ada beberapa Drug Related Problem yang
ditemukan, yatu :
Pasien dengan inisial An. IL datang ke Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang pada
tanggal 7 Januari 2019 dengan keluhan utama bengkak di wajah dan kaki, BAK sedikit. Pasien
tidak punya riwayat peyakit terdahulu. Berdasarkan diagnosa utama pasien mengalami SN
(sindrom nefrotik). Awalnya pasien datang ke poliklinik, lalu di transfer ke anyelir atas untuk
dirawat, pasien mendapatkan terapi obat prednison 3-2-2 x 5 mg dan furosemid 2 x 20 mg.
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria pasif yang
menyebabkan hipoalbuminemia (≤ 2,5 mg/dl) dan biasanya disertai edema dan
hiperkolesterolemia (> 250 mg/dl) yang sering terjadi pada anak. Berdasarkan hasil
laboratorium pasen An. IL nilai albumin 2.0 g/dl, kolesterol total 417 mg/dl dan pasien
mengalami edema. Ini menunjukkan bahwa pasien terkena penyakit sindrom nefrotik.
Terapi utama sindrom nefrotik pada anak adalah kortikosteroid (Pardede 2017).
Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC), terapi inisial untuk
anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid adalah prednison dosis
60mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi. Terapi
utama edema adalah furosemid 1-3 mg/kgBB sehari per oral, dan 1 mg/kgBB sehari melalui
intramuskular atau intravena.
Hasil Evaluasi Drug Related Problem (DRPs) selanjutnya akan dianalisis menggunakan
metode SOAP (subjective, objective, assessment and plan). Subjective meliputi gejala pasien
serta hal-hal yang disarakan pada pasien, informasi yang dapat diperoleh, antara lain (riwayat
penyakit, usia, jenis kelamin, anamnesis, diagnosa, dan riwayat penyakit terdahulu serta
riwayat pengobatan). Objective meliputi hasil pemeriksaan laboraotium, tanda vital, kondisi
kesadaran pasien, dan penatalaksanaan obat yang diterima. Assessment merupakan penilaian
atau evaluasi yang dilakukan terkait penatalaksanaan terapi yang diterima pasien. Plan
merupakan perencanaan dari tindakan yang akan diberikan termasuk diagnosis atau
laboratorium, serta konseling untuk tindak lanjut.
Pada kasus ini pasien An. IL menggunaka n obat prednison dengan aturan pakai 3-2-2 x
5 mg, sedangkan menurut literatur DIH 17th dosis prednison adalah 2mg/kg/hari atau 60
mg/hari, diketahui BB pasien adalah 14 kg, maka dosis yang didapatkan seharusnya adalah
28mg/hari, yang berarti dosis sudah sesuai literatur. Lalu pasien juga mendapatkan obat
furosemid (lasix) dengan aturan pakai 2 x 20 mg dan kemudian pada tanggal 10 Januari 2019
dosis diturunkan menjadi 1 x 10 mg dikarenakan edema sudah berkurang. Menurut literatur
dosis intravena lasix adalah 1 mg/kgBB, ini berarti dosis yang didapatkan sudah sesuai dengan
literatur.
Setelah dilakukan analisis didapatkan DRP dengan kriteria interaksi obat dan ada indikasi
tanpa obat, dimana harus diperhatikan agar pengobatan pasien dapat berlangsung dengan baik
sesuai yang diharapkan. Interaksi obat yang didapat pasien An. IL adalah furosemide dengan
prednisone karena menimbulkan efek hipokalemia. Diketahui bahwa nilai t ½ furosemide
adalah 2 jam dan prednison 2.6 – 3 jam, sehingga disarankan untuk memberikan jeda waktu
minum obat. Sehingga pemantauan penggunaan obat disarankan untuk diberikan jeda waktu
2 jam , misalnya, prednison jam 07.00 pagi dan furosemid jam 09.00 pagi, serta diberikan
KSR 2-3 x 1-2 tab (MIMS) atau KCL 7.46 melalui intravena.
Pada kasus ini juga didapatkan adanya indikasi tanpa obat. Hasil data laboratorium
menunjukkan bahwa nilai kolesterol total tinggi yaitu 417 mg/dl maka disarankan untuk
menggunakan obat golongan statin seperti simvastatin dengan dosis 5mg/hari dosis tunggal
pada malam hari. Simvastatin diminum malam hari karena enzim pembentuk kolesterol lebih
aktif di malam hari. Pada tanggal 9 Januari 2019, suhu pasien An. IL mencapai 38ºC sehingga
bisa disarankan untuk memberikan paracetamol sirup 3x1 sendok teh.
Pengobatan yang diterima pasien An. IL selama di rawat di RSU Kabupaten Tangerang
sudah efektif sesuai dengan keluhan dan diagnosa yang dirasakan pasien sehingga
pengobatannya dapat memperbaiki kondisi pasien. Pengobatan yang diberikan kepada pasien
An. IL terjadi DRP’s berupa interaksi abat dan ada indikasi tanpa obat. Adanya DRP’s tersebut
maka rekomendasi yang diberikan yaitu:
1. Memberikan jeda waktu minum obat 2 jam , misalnya, prednison jam 07.00 pagi dan
furosemid jam 09.00 pagi, serta diberikan KSR 2-3 x 1-2 tab (MIMS) atau KCL 7.46
melalui intravena
2. Menggunakan obat golongan statin seperti simvastatin dengan dosis 5mg/hari dosis
tunggal pada malam hari untuk mengatasi kolesterol total yang tinggi.
3. Disarankan untuk memberikan paracetamol sirup 3x1 sendok teh guna mengatasi demam
pasien An. IL.
DAFTAR PUSTAKA
Albar, Husein. 2006. Tatalaksana Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal pada Anak Vol. 8. Sari
Pediatri (diakses pada 23Januari 2019)
American Pharmacists Association (APhA). 2008. Drug Information Handbook 17th Edition. Lexi-
Comp
Maharani, LD. 2017. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Sindrom Nefrotik di RSUD
Banyumas. Purwekerto. UMP (diakses pada 23 Januari 2019)
Pardede, Sudung O. 2017. Tata Laksana Non Imunosupresan Sindrom Nefrotik pada Anak.
Jakarta. Departeme Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI-RSCM (diakses pada 28
Januari 2019)