Anda di halaman 1dari 21

BAB I

ANALISIS KASUS

A. Identifikasi Pasien
Nama Pasien : An. IL
Umur : 4 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 14 kg
Tinggi badan : - cm
Alamat : Kp. Sadang Rt. 02/05 Bogor
No Rekam Medis : 00209355
Ruang : Flamboyan
Status Jaminan : Asuransi
Tanggal masuk : 7 Januari 2019
Tanggal keluar : 11 Januari 2019
DPJP : dr. Udjiani Edi Pawitro, SpA

B. Keluhan Utama
Bengkak di wajah dan kaki, BAK sedikit

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak 10 hari SMRS, bengkak seluruh tubuh,awalnya kelopak mata bengkak  meluas s/d
kaki

D. Riwayat Penyakit Terdahulu


E. Riwayat Penggunaan Obat

Nama Obat Dosis/Frekuensi Rute


Prednison 3-2-2 x 5 mg P.O
Furosemid 2 x 10 mg IV

G. Pemeriksaan Fisik
Tanda-Tanda Vital
Tanggal Tekanan Nadi Suhu Nafas(RR)
Darah 60-100 x/Menit 36-37,5(oC) 20-30x/Menit
120/80 mmHg
7/1/2019 100/80 82 36 24
8/1/2019 90/60 90 36,9 24
9/1/2019 110/80 90 38,0 24
10/1/2019 110/70 92 35,6 24
11/1/2019 110/80 90 36 24
H. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Tanggal
Pemeriksaan Satuan Nilai Normal
4/1/2019 7/1/2019 8/1/2019 9/1/2019 10/1/2019 11/1/2019
HEMATOLOGI
Hemoglobin g/dl 10.7 - 14.7 12.8
Leukosit x103/ul 6,0- 15,5 10,56
Hematokrit % 32 - 43 38
Trombosit x103/ul 229 – 553 591
HITUNG JENIS
Neutrofil Staf % 3-6 0
Limfosit % 25 – 60 51
Monosit % 25 – 50 8
LED mm/jam 0-20 136
KIMIA
Kolesterol Total mg/dl 112 - 200 417
Albumin g/dl 3.5 – 5.2 2.0
URINALISIS
Protein Negatif Positif3 / +++ Negatif
Urine Kuning muda Kuning Kuning
Darah Negatif Positif1/+ Negatif
SEDIMEN URIN
Eritrosit Sel/pb 0-1 4-5 0-1
Lekosit Sel/pb 1-4 6-8 1-2
Jamur Tidak ada Tidak ada
Bakteri Tidak ada Tidak ada
FUNGSI GINJAL
Ureum mg/dl < 48 12
Creatinin mg/dl < 1.0 0.20
IMUNO-SEROLOGI
CRP Kuantitatif Mg/dl 0.00 – 6.00 0.26
U/L Negatif Negatif
ASTO
(<200)
*Hasil lab tanggal 4/1/2019 dari Rumah Sakit Kasih Tzu Chi Jakarta
I. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi

Tanggal Konsultasi Pengobatan


Batuk > 1 bulan, demam hilang timbul, nafsu makan
menurun
S
DM: baru diketahui, obat tunggal
Nyeri kepala
Compous mentis
Paru: roku basah halus basal
O
BJ: 1,2
kgDH:107, 177, 183
8/7/2019 dr. IPD TB paru dengan inferasi sekunder pro OAT
DM tipe 2 terkontrol diet
A
Headche ec da/primer dd/ sekunder, trombositosis
reaktiv
- kgDH hari ini/tunda insulin
- HbA1C
P - DPL ulang, elektrolit
- Konsul ulang neuro -> masih mungkin METB?
- AB ~ TL pulmo
S Demam, bengkak, produksi urin 1500cc/24jam
- TD : 90/60 , N : 90, RR : 24, T : 36,9ºC
O
- Edema palpebral berkurang, refraksi - , abd. Ascites +
8/7/2019 A Sindrom Nefrotik
- Furosemid 2x10 mg IV
P - Prednison 3-2-2 tab
- Stopper dan diet nefrotik
S Demam, bengkak berkurang
O Abd. Ascites + , NCHS baik, edema
dr. Udjiani Edi A Sindrom Nefrotik
9/1/2019
Pawitro, SpA - Stopper dan diet nefrotik
P - Furosemid 2x10 g
- Prednison 3-2-2 tab
S - Demam dan bengkak berkurang
O Edema pretibial +
A Sindrom Nefrotik
dr. Falentina P,
10/1/2019 - Konsumsi air 900cc/24 jam
SpA
- Prednison 3-2-2
P
- Lasix 1x10 mg (dosis diturunkan)
- Diet nefrotik
S Bengkak berkurang, BAK +, RJ
- TD: 100/80
dr. Udjiani Edi O - edema palpebral, akral hangat
11/1/2019
Pawitro, SpA - Edema pretibial -
A Sindrom Nefrotik
P - Prednison 3-2-2
- Lasix 1x10 mg (dosis diturunkan)
- Diet nefrotik
J. Catatan Pemberian Obat

7/1/2019 8/1/2019 9/1/2019 10/1/2019 11/1/2019


No. Nama Obat Dosis
P S M P S M P S M P S M P S M

Obat Oral
1 Prednison 5mg 3-2-2 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Obat Injeksi
1 Lasix 2x10mg - √ - √ √ - √ √ -
2 Lasix 1x10mg √ - - √ -

K. Informasi Penggunaan Obat

Efek
No Nama Obat Dosis Lazim Indikasi Kontraindikasi Interaksi Obat Farmakokinetik
Samping
1. Furosemide DIH 17th ed. Pasien dengan Hipovolemia, Hipotensi, Furosemid Obat diuresis
(Lasix) Edema, CHF or retensi cairan hiponatremia, hipokalemia, dapat terjadi dalam
hypertension yang berat sulfonilurea hiponatremia menambah 30 menit
(diuresis) (edema,ascites) efek hipotensi hingga 1 jam;
edema pada dari ACE Inh. efek maskimal
Oral: 0.5-2 mg/kg sindro nefrotik. Serum setelah 1-2 jam.
dosis furosemid Setelah
bisa menurun pemberian IV,
IV: 1 mg/kgBB jika diberi diuresis terjadi
i.m atau i.v. Dosis bersama dalam 5 menit
dapat makanan. dan mencapai
ditingkatkan puncak 20-6-
maks. 6 mg/kgBB menit.
setelah kira-kira 2 t1/2 : 2 jam
jam. (AHFS 2011)
Prednisone Nephrotic Antiinflamasi Hipovolemia, Hipotensi, Bioavailibilitas t1/2 : 2.6 – 3 jam
syndrome atau hiponatremia. hiponatremia, dari (medscape)
(Pediatric imunosupresan hipokalemia. kortikosteroid
Nephrology Panel akan menurun
recommendations jika diberi
[Hogg, bersama
2000]):DIH, 17th antasid.
ed. Hipoglikemia
muncul jika
Oral: 2mg/kg/hari diberi
atau 60mg/m²/hari bersamaan
1-3 kali (maksimal dengan
80mg/hari) sampai antidiabetes.
urin terbebas dari Kortikosteroid
protein atau 4-6 dapat
minggu. meningkatkan
hipokalemik.
Oral: 0,05-
2mg/kgBB/hari
dibagi 1-4 kali/hari
L. Perhitungan Dosis

Prednison
Dosis yang diterima
Dosis Literatur Keterangan
pasien
Oral untuk Pediatri :
3-2-2 x 5 mg/hari
2 mg/kg/hari atau 60 mg Dosis sesuai dengan
2 mg/kg x 14kg = 28
/m²/hari 1-3 kali literatur
17th
mg/hari
(DIH )
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Sindrom Nefrotik


Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik yang ditandai oleh proteinuria masif
yang menyebabkan hipoalbuminemia (≤ 2,5 mg/dl)dan biasanya disertai edema dan
hiperkolesterolemia (> 250 mg/dl) dengan penyebab tidak diketahui. Terkadang terdapat
hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (Nurarif dan Kusuma 2013). Sindrom
nefrotik merupakan bentuk terbanyak dari sindrom nefrotik pada anak. Kelainan histologik
yang terbanyak pada anak dengan SNI adalah kelainan minimal sehingga disebut sindrom
nefrotik kelainan minimal (SNKM).
Berdasarkan pengertian diatas, sindrom nefrotik pada anak merupakan kumpulan gejala
yang terjadi pada anak dengan karakteristik proteinuria, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia
yang disertai edema.

B. Etiologi
Menurut Nurarif dan Kusuma (2013), penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum
dikteahui. Akhir-akhir ini dianggap sebagai suaru penyakit autoimun, yaitu reaksi antigen
antibodi. Umumnya etiologi dibagi menjadi 3:
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap suatu pengobatan. Gejala
edema pada masa neonatus. pernah dicoba pencangkokan ginjal pada neonatus tetapi tidak
berhasil. Prognosis buruk dan biasanya meninggal pada bulan pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai berikut :
- lupus erimatosus sistemik (LES)
- keganasan, seperti limfoma dan leukemia

- vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan poliangitis), sindrom


Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis nodosa,
poliangitis mikroskopik, purpura Henoch Schonlein.
3. Sindrom nefrotik primer atau idiopatik
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik adalah
sebagai berikut :
- Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
- Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
- Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
- Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
- Nefropati Membranosa (GNM)

C. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejalan sindrom nefrotik adalah sebagai berikut: terdapat adanya proteinuria,
retensi cairan, edema, dan berat badan meningkat, edema periorbital, edema fasial, asites,
distensi abdomen, penurunan jumlah urine, urine tampak berbusa dan gelap, nafsu makan
menurun dan pucat.

D. Batasan
Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik, diantaranya:
1. Remisi
Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-turut
dalam satu minggu, maka disebut remisi.
2. Relaps
Apabila proteinuri ≥ 2+ ( >40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
>2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut relaps.
3. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari)
selama 4 minggu mengalami remisi.
4. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari)
selama 4 minggu tidak mengalami remisi.
5. Sindrom nefrotik relaps jarang
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau <
4 kali dalam 1 tahun.
6. Sindrom nefrotik relaps sering
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau ≥
4 kali dalam 1 tahun.

E. Klasifikasi
Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut berbagai
penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan
prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi. Berdasarkan hal tersebut, saat ini
klasifikasi SN lebih sering didasarkan pada respon klinik, yaitu :
1. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
2. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

F. Manifestasi Klinis dan Patofisiologi


Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding kapiler
glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan
yang luas dari prosesus kaki podosit (tanda sindrom nefrotik idiopatik) menunjukkan peran
penting podosit. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan gangguan kompleks pada
sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal segmental glomerulosclerosis
(FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung
jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit
(podocin, α-actinin 4) dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan focal segmental
glomerulosclerosis (FSGS).
Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen
WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk
nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein.
1. Proteinuria
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi protein ≥
40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini digunakan untuk
membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom nefrotik.
2. Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah
hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi
hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL.
Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan
jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara dominan
terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah
resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia
merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan
katabolisme albumin.
Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada kejadian
hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-satunya penyebab
pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali
lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan
hilangnya albumin dalam saluran gastrointestinal juga diperkirakan mempunyai kontribusi
terhadap keadaan hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh
karena itu, terjadinya hipoalbuminemia harus ada korelasi yang cukup antara penurunan laju
sintesis albumin di hepar dan peningkatan katabolisme albumin.
Asupan diet protein berkontribusi pada sintesis albumin. Sintesis mRNA albumin hepar
dan albumin tidak meningkat pada tikus ketika diberikan diet rendah protein, tetapi sebaliknya,
meningkat pada tikus yang diberikan diet tinggi protein. Meskipun begitu, level albumin serum
tidak mengalami perubahan karena hiperfiltrasi yang dihasilkan dari peningkatan konsumsi
protein menyebabkan peningkatan albuminuria.
Jadi cukup jelas bahwa hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik merupakan akibat dari
perubahan multipel pada homeostasis albumin yang tidak dapat dikompensasi dengan baik oleh
adanya sintesis albumin hepar dan penurunan katabolisme albumin tubulus ginjal.

3. Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom nefrotik.
Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa
adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan
cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus
menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana
diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik.
Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular
menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular
ke ruang interstisial kemudian timbul edema.

Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak bergantung pada
stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal primer. Retensi natrium renal
primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke
dalam ruang interstisial menyebabkan terbentuknya edema.
4. Hiperkolesterolemia

Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat pada
sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara lain yaitu adanya kondisi
hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk
lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein
lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.

G. Diagnosa

Diagnosis SNKM dapat ditegakkan bila memenuhi kriteria berikut,


• Anak umur 2-7 tahun dengan gejala klinis edema
• Proteinuria masif yaitu uji dipstix / SSA > 2+ atau > 40mg/m2/jam/ > 50 mg/kg BB/hari.
• Hipoalbuminemia dengan kadar albumin serum < 2,5 g/dl
• Dapat disertai hiperkolesterolemia dengan kadar > 250 mg/dl
• Tidak ada hematuria
• Tekanan darah normal
• Kreatinin serum normal
• Komplemen C3 serum normal

H. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan untuk sindrom nefrotik mencakup:
1. Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC), terapi inisial
untuk anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid adalah
prednison dosis 60mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam
dosis terbagi. Terapi inisial diberikan dengan dosis penuh selama 4 minggu. Apabila dalam
empat minggu pertama telah terjadi remisi, dosis prednison diturunkan menjadi 40
mg/m2LPB/hari atau 1,5 mg/kgBB/hari, diberikan selang satu hari, dan diberikan satu hari
sekali setelah makan pagi.. Apabila setelah dilakukan pengobatan dosis penuh tidak juga
terjadi remisi, maka pasien dinyatakan resisten steroid. Pemberian kortikosteroid
(prednison atau prednisolon) untuk menginduksi remisi.
Apabila pasien terjadi remisi tetapi terjadi proteinuria lebih dari sama dengan positif 2
dan tanpa edema, terlebih dahulu dicari penyebab timbulnya proteinuria, yang biasanya
disebabkan oleh karena infeksi saluran nafas atas, sebelum diberikan prednison. Apabila
ditemukan infeksi, diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian protenuria menghilang
maka pengobatan relaps tidak perlu diberikan. Namun, apabila terjadi proteinuria sejak
awal yang disertai dengan edema, diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan diberikan
prednison pada pasien.
2. Penggantian protein (albumin dari makanan atau intravena)
3. Pengurangan edema dengan terapi diuretik dan pembatasan natrium.
4. Mempertahankan keseimbangan elektrolit
5. Pengobatan nyeri (untuk mengatasi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan edema
dan terapi invasif)
6. pemberian antibiotik 5-7 hari (penisiln oral atau agens lain) bila terbukti ada infeksi.
7. Terapi imunosupresif (siklosfamid, klorambusil atau siklosporin) untuk anak yang gagal
berespons terhadap steroid.
BAB III
ANALISIS DRP’s

1. Analisis DRP’s

Dari obat obatan yang diberikan kepada pasien ada beberapa Drug Related Problem yang
ditemukan, yatu :

No Kriteria DRP’s Masalah Rekomendasi


1. Interaksi Obat Perlu penyesuaian dosis atau Beritahu dokter jika mengalami
tes khusus untuk efek samping tersebut atau
Furosemid < > Prednison menggunakan kedua obat ini penggunaan obat lain, serta
Moderate (Drugs.com) secara aman. Kombinasi ini vitamin atau herbal. Jangan
menyebabkan otot kram, berhenti minum obat jika belum
kehilangan nafsu makan, beritahu dokter.
pusing,lemah.

Furosemid < > Prednison Menyebabkan hipokalemia Bisa disarankan untuk


Minor (Medscape) diberikan KSR (potassium
chloride) atau KCl 7.46.
Waktu pemberian obat diberi
jeda 2 jam. Misalnya, prednison
jam 07.00, furosemid jam 09.00
pagi.

2. Indikasi Tanpa Obat - Tanggal 9/1/2019 di Bisa disarankan untuk


dapatkan bahwa suhu memberikan paracetamol sirup
meningkat (38ºC) , tetapi 120mg/5ml setiap 4-6 jam/hari.
obat penurun panas baik 10mg/kg => 10mg x 14th =
oral maupun injeksi tidak 140mg/kg
diberikan.

- Kolesterol tinggi (417 Bisa disarankan obat golongan


mg/dl) statin, misalnya simvastatin.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien dengan inisial An. IL datang ke Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang pada
tanggal 7 Januari 2019 dengan keluhan utama bengkak di wajah dan kaki, BAK sedikit. Pasien
tidak punya riwayat peyakit terdahulu. Berdasarkan diagnosa utama pasien mengalami SN
(sindrom nefrotik). Awalnya pasien datang ke poliklinik, lalu di transfer ke anyelir atas untuk
dirawat, pasien mendapatkan terapi obat prednison 3-2-2 x 5 mg dan furosemid 2 x 20 mg.
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria pasif yang
menyebabkan hipoalbuminemia (≤ 2,5 mg/dl) dan biasanya disertai edema dan
hiperkolesterolemia (> 250 mg/dl) yang sering terjadi pada anak. Berdasarkan hasil
laboratorium pasen An. IL nilai albumin 2.0 g/dl, kolesterol total 417 mg/dl dan pasien
mengalami edema. Ini menunjukkan bahwa pasien terkena penyakit sindrom nefrotik.
Terapi utama sindrom nefrotik pada anak adalah kortikosteroid (Pardede 2017).
Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC), terapi inisial untuk
anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid adalah prednison dosis
60mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi. Terapi
utama edema adalah furosemid 1-3 mg/kgBB sehari per oral, dan 1 mg/kgBB sehari melalui
intramuskular atau intravena.
Hasil Evaluasi Drug Related Problem (DRPs) selanjutnya akan dianalisis menggunakan
metode SOAP (subjective, objective, assessment and plan). Subjective meliputi gejala pasien
serta hal-hal yang disarakan pada pasien, informasi yang dapat diperoleh, antara lain (riwayat
penyakit, usia, jenis kelamin, anamnesis, diagnosa, dan riwayat penyakit terdahulu serta
riwayat pengobatan). Objective meliputi hasil pemeriksaan laboraotium, tanda vital, kondisi
kesadaran pasien, dan penatalaksanaan obat yang diterima. Assessment merupakan penilaian
atau evaluasi yang dilakukan terkait penatalaksanaan terapi yang diterima pasien. Plan
merupakan perencanaan dari tindakan yang akan diberikan termasuk diagnosis atau
laboratorium, serta konseling untuk tindak lanjut.

Pada kasus ini pasien An. IL menggunaka n obat prednison dengan aturan pakai 3-2-2 x
5 mg, sedangkan menurut literatur DIH 17th dosis prednison adalah 2mg/kg/hari atau 60
mg/hari, diketahui BB pasien adalah 14 kg, maka dosis yang didapatkan seharusnya adalah
28mg/hari, yang berarti dosis sudah sesuai literatur. Lalu pasien juga mendapatkan obat
furosemid (lasix) dengan aturan pakai 2 x 20 mg dan kemudian pada tanggal 10 Januari 2019
dosis diturunkan menjadi 1 x 10 mg dikarenakan edema sudah berkurang. Menurut literatur
dosis intravena lasix adalah 1 mg/kgBB, ini berarti dosis yang didapatkan sudah sesuai dengan
literatur.

Setelah dilakukan analisis didapatkan DRP dengan kriteria interaksi obat dan ada indikasi
tanpa obat, dimana harus diperhatikan agar pengobatan pasien dapat berlangsung dengan baik
sesuai yang diharapkan. Interaksi obat yang didapat pasien An. IL adalah furosemide dengan
prednisone karena menimbulkan efek hipokalemia. Diketahui bahwa nilai t ½ furosemide
adalah 2 jam dan prednison 2.6 – 3 jam, sehingga disarankan untuk memberikan jeda waktu
minum obat. Sehingga pemantauan penggunaan obat disarankan untuk diberikan jeda waktu
2 jam , misalnya, prednison jam 07.00 pagi dan furosemid jam 09.00 pagi, serta diberikan
KSR 2-3 x 1-2 tab (MIMS) atau KCL 7.46 melalui intravena.

Pada kasus ini juga didapatkan adanya indikasi tanpa obat. Hasil data laboratorium
menunjukkan bahwa nilai kolesterol total tinggi yaitu 417 mg/dl maka disarankan untuk
menggunakan obat golongan statin seperti simvastatin dengan dosis 5mg/hari dosis tunggal
pada malam hari. Simvastatin diminum malam hari karena enzim pembentuk kolesterol lebih
aktif di malam hari. Pada tanggal 9 Januari 2019, suhu pasien An. IL mencapai 38ºC sehingga
bisa disarankan untuk memberikan paracetamol sirup 3x1 sendok teh.

Tanggal 11 Januari 2019, pengobatan yang didapatkan sudah sesuai sehingga


pengobatannya dapat memperbaiki kondisi pasien dan juga dilihat dari data laboratorium
menunjukkan hasil yang bagus sehingga dr. Udjiani Edi Pawitro, SpA memperbolehkan
pasien An. IL pulang untuk rawat jalan.
BAB IV
KESIMPULAN

Pengobatan yang diterima pasien An. IL selama di rawat di RSU Kabupaten Tangerang
sudah efektif sesuai dengan keluhan dan diagnosa yang dirasakan pasien sehingga
pengobatannya dapat memperbaiki kondisi pasien. Pengobatan yang diberikan kepada pasien
An. IL terjadi DRP’s berupa interaksi abat dan ada indikasi tanpa obat. Adanya DRP’s tersebut
maka rekomendasi yang diberikan yaitu:

1. Memberikan jeda waktu minum obat 2 jam , misalnya, prednison jam 07.00 pagi dan
furosemid jam 09.00 pagi, serta diberikan KSR 2-3 x 1-2 tab (MIMS) atau KCL 7.46
melalui intravena

2. Menggunakan obat golongan statin seperti simvastatin dengan dosis 5mg/hari dosis
tunggal pada malam hari untuk mengatasi kolesterol total yang tinggi.

3. Disarankan untuk memberikan paracetamol sirup 3x1 sendok teh guna mengatasi demam
pasien An. IL.
DAFTAR PUSTAKA

Albar, Husein. 2006. Tatalaksana Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal pada Anak Vol. 8. Sari
Pediatri (diakses pada 23Januari 2019)

American Pharmacists Association (APhA). 2008. Drug Information Handbook 17th Edition. Lexi-
Comp

Maharani, LD. 2017. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Sindrom Nefrotik di RSUD
Banyumas. Purwekerto. UMP (diakses pada 23 Januari 2019)

Medscape. 2018. Drug Interaction Checker. Medscape (online).


http://reference.medscape.com/drug-interactionchecker (diakses 21 Januari 2019)

MIMS Indonesia.com (diaskes tanggal 22 Januari 2019)

Pardede, Sudung O. 2017. Tata Laksana Non Imunosupresan Sindrom Nefrotik pada Anak.
Jakarta. Departeme Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI-RSCM (diakses pada 28
Januari 2019)

Anda mungkin juga menyukai