Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH KELOMPOK

Asthma Bronkhial

Universitas Kristen Krida Wacana

Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

KELOMPOK F1

ANGGOTA:

Page | 1
PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasan yang


dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversible dan gejala
pernapasan. Angka kejadian di Indonesia terhadap penyakit ini cukup banyak. Pengetahuan
penyakit ini dan juga risiko komplikasi masih sangat minim bagi warga Indonesia . Masyarakat
masih menganggap remeh penyakit – penyakit tersebut. Atas dasar inilah penulis menuliskan
makalah ini. Di Amerika kunjungan pasien asma pada pasien berjenis kelamin perempuan di
bagian gawat darurat dan askhirnya memerlukan perawatan di rumah sakit dua kali lebih banyak
dari pada pasien pria. Data peneilitian menunjukan bahwa 40% dari pasien yang dirawat tadi
terjadi selama fase premenstruasi Di Australia, Kanada, dan Spanyol dilaporkan bahwa
kunjungan pasien dengan asma akut di bagian gawat darurat berkisar antara 1-12%. Rata-rata
biaya tahunan yang dikeluarkan pasien yang mengalami serangan adalah $600, sedangkan yang
tidak mengalami serangan biaya sekitar $170

Page | 2
BAB 1

PEMBAHASAN

A. Anamnesa
Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian
pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan
dari anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang
bersangkutan. Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial,
dan lingkungan pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina
hubungan dokter pasien yang profesional dan optimal.
Anamnesa tentang keluhan pada thorax terdiri dari sakit pada dada, dyspnea, wheezing,
batuk, dan hemoptysis. Pertanyaan pertama harus seluas mungkin. “Adakah rasa tidak
nyaman pada dada anda?” selanjutnya tanyakan juga pada pasien bagian mana yang sakit.
Perhatikan gerak tubuh pasien yang menggambarkan adanya rasa sakit. Anda juga harus
menanyakan kepada pasien kualitas akit, quantitas rasa sakit, waktu terasa sakit,
penyebab yang memicu rasa sakit, adakah faktor yang memperberat atau meringankan
rasa sakit, dan penyakit penyerta.
Sakit pada dada. keluhan menegenai sakit dada biasanya disebabkan oleh penyait
jantung, tetapi juga dapat berasal dari paru-paru. Untuk memastikan penyebabnya, anda
harus melakukan investigasi pada kedua aspek, jantung dan paru-paru. Berikut ini adalah
sumber-sumber peyebab sakit dada :

 Myocardium. Pada angina pectoris, myocardial infark.


 Pericardium. Pada pericarditis.
 Aorta. Pada aneurisma aorta.
 Trachea dan bronkus. Pada bronchitis.
 Pleur parietal. Pada pericarditis, pneumonia.

Page | 3
 Esophagus. Pada reflux esofagitis, spasme esophageal
Jaringan paru itu sendiri tidak mempunyai saraf untuk merasa sakit. Rasa sakit yang
timbul misalnya pada pneumoni, infark paru biasanya timbul dari inflamasi dari pleura
parietal yang berdekatan. Ketegangan otot dari batuk yang lama dan rekuren juga dapat
menyebabkan sakit dada. Pericardium juga mempunyai sedikit saraf untuk meraakan
sakit.

Dyspnea dan Wheezing. Dyspnea adalah keadaan yang tidak menyakitkan, rasa tidak
nyaman dan sadar bahwa kita sedang bernafas tidak normal, biasanya disebut nafas
pendek. Tanyakan apakah pasien mengalami kesulitan bernafas. Tanyakan juga kapan
gejala muncul, saat beristirahat atau saat sedang beraktifitas, aktifitas seberat apa yang
dapat menyebabkan dyspnea. Tanyakan pula apakah dyspnea menggangu gaya hidup
pasien, dan bagaimana.

Batuk. Batuk adalah symptom umum yang dapat biasa saja, ataupun berbahaya. Batuk
adalah reflex terhadap respon stimuli yang mengiritasi receptor di larynx, trakea, atau
bronkus. Stimuli ini termasuk mucus, pus, darah, maupun agen dari luar seperti debu,
benda asing, atau bahkan udara yang sangat dingin atau panas. Penyebab lainnya adalah
inflamasi dari mukosa traktur respiratorius dan tekanan pada jalur nafas misalnya oleh
tumor atau pembesaran kelenjar limfe preibronkial. Walaupun batuk biasanya
menunnjukkan kelainan di traktus respiratorius, batuk juga bisa disebabkan oleh kelainan
cardiovascular, misalnya pada gagal jantung kiri. Durasi dari batuk sangatlah penting:
apakah batuknya akut (kurang dari 3 minggu), subakut (3-8 minggu), atau kronik (lebih
dari 8 minggu). Infeksi viral pada traktus respiratorius atas merupakan penyebab paling
sering dari batuk akut. Batuk postinfeksi, sinusitis bakteri, asma dapat menyebabkan
batuk subakut, sedangkan kronik bronchitis, asma, GERD, bronkiektasis dapat
mengakibatkan batuk kronik. Tanyakan juga, apakah batuknya kering atau bermukus.
Tanyakan pula apa warna sputumnya. Mucoid sputum berwarna putih, atau abu-abu,
sedangkan sputum purulen berwarna kuning samapi hijau. Tanyakan pula baud an
konsistensi dari sputum. Apabila sputum berbau, biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri
anaerob. Jangan lupa menanyakan quantitas dari sputum. Sputum purulen dalam jumlah
besar terdapat pada bronkiektasis atau abses paru.

Page | 4
B. PEMERIKSAAN

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Thorax Posterior
Inspeksi
Perhatikan bentuk thorax dan bagaimana pergerakan thorax, termasuk deformitas dan
asimetri, retraksi abnormal dari intercostal space pada saat inspirasi, gangguan
pergerakan respirasi pada salah satu atau kedua paru atau keterlambatan pergerakan
unilateral.1
Deformitas pada thorax dapat berbentuk :
 Barrel Chest. Terdapat peningkatan diameter anteroposterior. Bentuk ini normal pada
masa bayi, dan sering dijumpai pada proses penuaan dan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK)
 Pectus Excavatum. Depresi (masuk) pada bagian bawah sternum. Kompresi pada
jantung dan pembuluh darah besar dapat mengakibatkan murmur.
 Pigeon Chest (Pectus Carinatum). Terjadi perpindahan sternum ke anterior, sehingga
meningkatkan diameter anteroposterior. Tulang rawan costa yang berdekatan dengan
sternum yang menonjol mengalami depresi.
 Thoracic Kyphoscoliosis. Lekukan vertebra yang abnormal dan rotasi dari vertebra.
Pergeseran dari paru-paru di bawahnya dapat mengakibatkan interpretasi dari
kelainan paru menjadi sangat susah.
 Traumatic Flail Chest. Patah tulang iga multiple dapat mengakibatkan pergerakan
paradox dari thorax. Penurunan tekanan intrathoracic menurun saat terjadi penurunan
diafragma. Pada saat inspirasi area yang sakit melekuk kedalam, sedangkan pada saat
ekspirasi area tersebut menggembung ke luar.

Palpasi

Page | 5
Bersamaan pada saat melakukan palpasi, focus pada area yang lunak dan yang tampak
abnormalitas pada kulit di atasnya, pergerakan respirasi, dan fremitus. Misalnya
pelunakan intercostals space menunjukkan adanya inflamasi pada pleura.1
 Identifikasi daerah yang sakit. Palpasi dilakukan secara hati-hati dimana dilaporkan
ada sakit atau dimana tampak lesi atau memar.
 Menetapkan abnormalitas yang tampak, seperti massa.
 Tes ekspansi thorax. Letakkan kedua tangan anda pada kurang lebih iga ke-10,
meraba dengan jari yang agak longgar dan parallel terhadap lateral dari tulang rusuk.
Setelah meletakkan tangan pada posisi di atas, geser kedua tangan kea rah medial
sampai terbentuk lipatan kulit antara vertebra dengan jempol anda. Minta pasien
untuk menarik nafas dalam. Perhatikan jarak anatra kedua ibu jari anda menjauh
seiring dengan inspirasi dan rasakan simetritas tulang rusuk saat meluas dan
kontraksi.
 Rasakan tactile fremitus. Fremitus adalah getaran yang dapat diraba yang disalurkan
melalui cabang-cabang bronchopulmonary ke dinding dada pada saat pasien
berbicara. Untuk mendeteksi fremitus, mintalah pasien untuk menggulangi kata tujuh
puluj tujuh. Gunakan kedua tangan untuk membandingkan fremitus pada kedua sisi
paru. Bila fremitus yang terasa kurang jelas, minta pasien untuk mengulangi dengan
suara yang lebih kencang. Fremitus berkurang ketika suara terlalu pelan, atau ketika
transmisi vibrasi dari larynx ke permukaan dada terhambat. Causanya termasuk
obstruksi bronkus, COPD, pleural effusion, fibrosis paru, pneumothorax, atau tumor.

Perkusi
Perkusi adalah salah satu teknik yang sangat penting dalam pemeriksaan fisik. Perkusi
mengakibatkan dinding dada dan jaringan di bawahnya bergerak, menghasilkan suara
yang dapat didengar dan b=vibrasi yang dapat diraba. Perkusi sangat membantu dalam
menentukan apakah jaringan di bawah terisi oleh udara, air, atau jaringan yang solid.
Perkusi dapat menembus 5-7 cm ke dalam dada, tetapi, tidak dapat mendeteksi lesi yang
terletak di dalam.1
 Perkusi dilakukan secara “ladder-like order”. Lewatkan area di atas scapula (ketebalan
otot dan tulang menganggu bunyi perkusi paru-paru). Identifikasi dan tentukan area dan

Page | 6
suara perkusi yang abnormal. Suara redup menggantikan sonor ketika cairan atau jaringan
padat menggantikan udara yang mengisi paru-paru atau terdapat efusi pleura. Misalnya
pada lobar pneumonia, dimana alveoli diisi oleh cxairan dan sel darah, pleural effusion,
hemothorax, empyema (diisi pus), jaringan fibrous, atau tumor. Hipersonor generalisata
dapat terdengar pada paru-paru yang terlalu menggembung pada COPD atau asma.
Hipersonor unilateral menunjukkan adanya pneumothorax atau bulla besar yang terisi
oleh udara.
 Identifikasi penurunan diafragma. Pertama-tama tentukan batas redup dan sonor pada saat
respirasi biasa. Setelah menentukan batas tersebut, sekarang anda dapat menentukan
pergeseran diafragma dengan cara menentukan suara pekak pada saat pasien ekspirasi
maksimum dan pekak pada saat inspirasi maksimum. Umumnya jarak ini berkisar antara
5-6 cm.

Auskultasi
Auskultasi adalah teknik pemeriksaan yang paling penting untuk menetapkan jalan udara
melalui cabang-cabang tracheobronchial. Bersama-sama dengan perkusi, auskultasi dapat
membantu anda dalam menentukan kondisi di sekitar paru-paru dan rongga pleura.
Auskultasi termasuk dalam (1) mendengarkan suara yang dihasilkan dari bernafas, (2)
mendengarkan suara-suara tambahan, dan (3) apabila dicurogai terdapat abnormalitas,
dengarkan suara yang dikeluarkan oleh pasien saat suara ditransmisikan melalui dinding
dada.1
Suara nafas :
 Vesicular. Suara ini terdengar pada saat inspirasi, dan berlanjut terus, lalu mulai
menghilang sekitar 1/3 jalan ketika ekspirasi. Suara vesicular halus dan lemah. Suara
vesicular terdengar pada hampir seluruh lapang paru.
 Bronchovesicular. Suara ini terdengar hampir sama panjang pada saat inspirasi dan
ekspirasi. Pada saat-saat tertentu suara ini dapat terputus sejenak. Suara ini biasanya
terdengar pada sela iga 1 atau 2.

Page | 7
 Bronchial. Suara ini terdengar lebih panjang pada ekspirasi. Pada saat selesai inspirasi,
terdapat jedah sebentar sebelum terdengar suara lagi saat mulai ekspirasi. Suara bronchial
terdengar lebih keras dan tinggi.
Apabila suara bronchovesicular atau bronchial terdengar pada posisi yang jauh dari yang
disebutkan di atas, curiga bahwa paru-paru telah diisi oleh cairan atau jaringan padat.
Dengarkan suara nafas sambil menginstruksikan pasien untuk bernafas dalam melalui
mulut. Gunakan pola yang sama seperti perkusi, bergerak dari satu sisi ke sisi yang lain
dan membandingkan suara yang terdengar. Apabila anda medengar suara abnormal,
auskultasi di area sekitarnya supaya anda dapat secara jelas menggambarkan
abnormalitas tersebut.. dengarkan setidaknya satu nafas penuh pada setiap lokasi.
dan mungkin berbeda dari satu area ke area yang lainnya. Apabila suara nafas tidak jelas,
minta pasien untuk menarik nafas lebih dalam. Apabila pasien memiliki dinding dada
yang tebal, seperti pada obesitas, suara nafas bisa tetap terdengar kurang jelas.
Suara nafas dapat berkurang ketika jalan udara terhambat (seperti pada peyakit paru
obstruktif atau kelemahan otot) atau ketika transmisi suara menurun (seperti pada efusi
pleura, pneumothorax dan COPD).
Suara tambahan :
 Wheezes dan ronchi. Wheeze muncul ketika udara secara cepat melewati bronkus
yang menyempit hingga hampir tertutup. Suara ini biasanya dapat terdengar pada
mulut dan dinding dada. Penyebab wheezing antara lain, asma, bronchitis kronik,
COPD, dan gagal jantung. Pada asma, wheezing mungkin hanya terdengar pada saat
ekspirasi, atau pada kedua fase pernafasan. Ronchi menunjukkan sekresi pada jalan
nafas yang lebih lebar. Pada bronchitis kronik, wheeze dan ronchi sering hilang
setelah batuk.
Pada keadaan penyakit paru obstruktif yang parah, pasien dapat tidak mampu
mengeluarkan udara melalui jalur yang sempit. Hasilnya tidak terdengar suara pernafasan
pada pasien, ini membutuhkan perhatian segera.
Wheezing persisten local menunjukkan obstruksi partial dari bronkus, misalnya oleh
tumor atau benda asing. Suara ini dapat terdengar pada inspirasi, ekspirasi, atau
keduanya.

Page | 8
Wheezing yang dominan pada saat inspirasi disebut sebagai stridor. Suara ini sering lebih
keras pada leher dibandingkan dengan pada dinding dada. Suara ini mengindikasikan
obstruksi partial dari larynx atau trakea dan membutuhkan perhatian segera.
 Crackles. Crackles mempunyai dua penjelasan. (1) suara ini dihasilkan dari
serangkaian letusan-letusan kecil yang dihasilkan ketika jalur nafas sempit, kosong
pada saat ekspirasi, mengembang pada saat inspirasi. Mekanisme ini mungkin
menjelaskan crackles pada akhir inspirasi akibat penyakit paru interstitial dan gagal
jantung kongestif dini. (2) crackles dihasilkan dari gelembung-gelembung udara yang
melalui jalur nafas yang sedikit tertutup. Mekanisme ini mungkin menjelaskan
setidaknya beberapa crackles kasar.
Crackles dibagi 3. (1) Late inspiratory crackles muncul ketika pertengahan inspirasi dan
berlanjut sampai akhir inspirasi. Biasanya suara ini baik-baik saja, dan ada dalam setiap
nafas. Suara ini pertama muncul pada basis paru dan kemudian meluas ke atas seiring
dengan perburukan kondisi, dan dapat bergeser dengan perubahan posisi. Penyebabnya
antara lain penyakt paru interstitial (Fibrosis paru), dan gagal jantung kongesti dini. (2)
Early inspiratory crackles mucul ketika awal pernafasan dan berhenti segera setelah
inspirasi. Suara ini biasanya kasar dan relative sedikit. Crackles ekspirasi juga menyertai
kadang-kadang. Penyebabnya antara lain kronik bronchitis dan asma. (3) Midinspiratory
dan expiratory crackles dapat terdengar pada bronchiectasis tetapi tidak spesifikk untuk
diagnosis. Wheeze dan ronchi dapat menyertai suara ini.
Pada beberapa orang normal, crackles dapat terdengar pada basis paru setelah ekspirasi
maksimum.
 Pleural Rub. Suara ini dihasilkan oleh gesekan antara pleura yang mengalami
inflamasi dan menjadi lebih kasar.

Pemeriksaan Thorax Anterior


Inspeksi
Amati bentuk dari dada, dan pergerakan dinding dada.
 Deformitas atau asimetri
 Retraksi abnormal. Retraksi supraclavicular biasnya ada.
 Keterlambatan atau gangguan dari gerakan respirasi.

Page | 9
Palpasi
Palpasi mempunyai empat kegunaan :
 Identifkasi daerah yang sakit.
 Menentukan abnormalitas yang terobservasi.
 Menentukkan pengembangan dada. Letakkan masing-masing ibu jari pada batas
costa, dengan tangan mengikuti alur costa. Gerakan ibu jari kea rah medial
membentuk lipatan kulit. Minta pasien untuk inspirasi dalam. Perhatikan seberapa
jauh ibu jari bergeser dan rasakan simetritas dari gerakan pernafasan.
 Menentukan tactile fremitus.

Perkusi
Perkusi bagian anterior dan lateral dada, dan bandingkan pada kedua sisi. Jantung
umumnya memberikan suara redup pada sela iga 3 sampai 5. Pada wanita, untuk
memperjelas perkusi, geser payudara secara perlahan menggunakan tangan kiri, sambil
melakukan perkusi dengan tangan kanan. Atau anda dapat meminta pasien menggeser
payudaranya sendiri.
Tentukan batas paru hepar dengan perpindahan suara dari sonor ke pekak pada linea
midclavicula kanan. Bila anda meneruskan perkusi ke bawah, suara perkusi akan berubah
menjadi timpani karena dilakuakn perkusi pada daerah abdominal (gastric).

Auskultasi
Dengarkan pada dada anterior dan lateral dan mintalah pasien bernafas melalui mulut,
dalam dari biasanya. Bandingkan simetritas kedua sisi, dengan pola yang sama dengan
auskultasi. Dengarkan suara nafas dan suara nafas tambahan, dan tentukan.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiologi

Page | 10
Radiography thorax adalah pemetaan awal untuk mengevaluasi symptom asma pada
kebanyakan indivdu. Kegunaan dari radiography thorax adalah dalam mengetahui
komplikasi atau penyebab alternative lain dari wheezing.
Walaupun penebalan bronchial, penggembangan paru yang berlebih, dan atelectasis focal
yang mengarah ke asma ada, gambaran radiography thorax dapat normal, yang
mengurangi sensitivitas radiography sebagai alat diagnosis

Pemeriksaan Faal Paru

Ada empat volume paru-paru standart dan empat standart kapasitas paru, yang terdiri dari
dua atau lebih kombinasi volume paru-paru.2
Tidal Volume, adalah volume udara yang memasuki atau meninggalkan hidung atau
mulut per satu kali nafas. Volume ini ditentukan oleh aktivitas dari pusat control respirasi
di otak, yang mengatur otot-otot pernafasan, dan kerja paru-paru dan dinding dada. Pada
keadaan normal, Tidal volume dari orang dewasa 70 kg adalah 500 ml sekali nafas.
Tetapi volume ini dapat bertambah secara drastic, misalnya, pada saat berolahraga.
Residual Volume, adalah volume udara yang tertinggal di paru-paru setelah ekspirasi
maksimum. Nilai rata-ratanya adalah 1200 ml, tetapi dapat meningkat drastic pada
penyakit tertentu seperti emfisema. Volume residual penting karena volume ini yang
mempertahankan paru-paru dari kolaps pada saat volume paru-paru sangat rendah.

Page | 11
Volume residual tidak dapat diukur dengan spirometer, karena volume ini tidak keluar
masuk paru. Namun, volume ini dapat diukur secara tidak langsung melalui teknik dilusi
gas berupa penghirupan (inspirasi) gas pelacak (tracer gas) yang tidak berbahaya dalam
jumlah tertentu, misalnya, helium.3
Volume cadangan inspirasi, adalah volume tambahan yang dapat secara maksimal
dihirup melebihi tidal volume istirahat. Volume ini dihasilkan oleh kontraksi maksimum
diafragma, otot intercostals eksternal, dan otot inspirasi tambahan. Nilai rata-ratanya
adalah 3000 ml.
Volume cadangan ekspirasi. Volume tambahan udara yang dapat secara aktif dikeluarkan
oleh kontraksi maksimum melebihi udara yang dikeluarkan secara pasif pada akhir tidal
volume. Nilai rata-ratanya adalah 1000 ml.
Kapasitas inspirasi. Volume maksimum udara yang dapat dihirup pada akhir ekspirasi
normal tenang. (KI = VCI + TV). Nilai rata-ratanya adalah 3.500 ml.
Kapasitas residual fungsional. Volume udara di paru pada akhir ekspirasi pasif normal.
(KRF = VCE + VR). Niali rata-ratanya adalah 2.200 ml.
Kapasitas Vital. Volume maksimum udara yang dapat dikeluarkan selama satu kali
pernafasan setelah inspirasi maksimum. Subyek mula-mula melakukan inspirasi
maksimum, kemudian melakukan ekspirasi maksimum (KV = VCI + TV + VCE). KV
mencerminkan perubahan volume maksimum yang dapat terjadi di paru. Volume ini
jarang dipakai karena kontraksi otot maksimum yang terlibat menimbulkan kelelahan,
tetapi bermanfaat untuk menilai kapasitas fungsional paru. Nilai rata-ratanya adalah
4.500 ml.
Kapasitas paru total. Volume udara maksimum yang dapat ditampung oleh paru-paru.
(KPT = KV + VR). Nilai rata-ratanya adalah 5.700 ml.
Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV 1). Volume udara yang dapat diekspirasi
selama detik pertama ekspirasi pada penentuan KV. Biasanya FEV 1 adalah sekitar 80%;
yaitu, dalam keadaan normal 80% udara yang dapat dipaksa keluar dari paru yang
mengembang maksimum dapat dikeluarkan dalam 1 detik pertama. Pengukuran ini
memberikan indikasi laju aliran udara maksimum yang dapat terjadi di paru.

Spirometri

Page | 12
Perubahan-perubahan volume yang terjadi selama bernafas dapat diukur dengan
menggunakan spirometer. Pada dasarnya, spirometer terdiri dari sebuah tong yang berisi
udara yang mengapung dalam wadah berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan
menambahkan udara ke dalam tong tersebut melalui selang yang menghubungkan mulut
ke wadah udara, tong akan naik dan turun di wadah air. Naik turunnya tong tersebut
dapat dicatat sebagai spirogram, yang dikalibrasikan ke perubahan volume. Pena
mencatat inspirasi sebagai defleksi ke atas dan ekspirasi sebagai defleksi ke bawah.
VR, KRF, dan KPT tidak dapat diukur dengan menggunakan spirometri karena pasien
tidak dapat mengeluarkan semua gas yang ada di paru-paru.

Nitrogen-Washout technique
Pada teknik nitrogem-wahout, pasien dibiarkan bernafas dengan oksigen murni melalui
selang satu arah dan udara yang diekspirasi dikumpulkan. Konsentrasi nitrogen dari udara
yang diekspirasi dimonitor menggunakan nitrogen analyzer sampai mencapai 0. Pada
keadaan ini nitrogen telah dikeluarkan dari seluruh paru. Kemudian total seluruh gas
yang diekspirasi oleh pasien dihitung. Di dalam udara yang diekspirasi, kandungan
nitrogen adalah 80% (udara bebas mengandung 80% nitrogen). Dengan mengetahui
kadar nitrogen, maka kita dapat menentukan volume udara pada paru dengan cara
mengalikan volume udara yang diekspirasi tadi dengan 1,25. Apabila tes dimulai pada
akhir ekspirasi biasa, maka volume yang didaptkan adalah volume kapasitas residual.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hitung Leukosit
Pemeriksaan terhadap keadaan leukosit dilakukan dengan melakukan hitung jenis
leukosit. Pemeriksaan ini dilakukan pada bagian sediaan yang cukup tipis dengan
penyebaran leukosit yang merata, pemeriksaan dimulai dari pinggir atas sediaan dan
berpindah ke arah pinggir bawah dengan menggunakan mikromanipulator mikroskop.
Setelah mencapaipinggir bawah sediaan, geserlah lapang pandang ke arah klanan,
kemudian ke arah pinggir atas lagi dan seterusnya sampai 100 sel leukosit terhitung
menurut jenisnya. Selain melakukan hitung jenis leukosit, perlu xicata pula kelainan
morfologi yang mungkin dijumpai pada inti dan atau sitoplasma leukosit.4

Page | 13
Jenis leukosit % …/uL
Basofil 0-1 0-100
Eosinofil 1-3 50-300
Batang 1-5 50-500
Segmen 50-70 2500-7000
Limfosit 20-40 1000-4000
Monosit 1-6 50-600

Hasil pemeriksaan hitung jenis leukosit terhadap 100 sel hanya bermakna bila jumlah
leukosit dalam keadaan normal yaitu antar 5000-10000/uL darah. Pada keadaan dimana
jumlah leukosit meningkat (leukositosis) hitung jenis leukosit dilakukan terhadap lebih
dari 100 sel. Hitung jenis sel dilakukan terhadfap 200 sel bila jumlah leukosit antara
10.000-20.000/uL, terhadap 300 sel bila jumlah leukosit antara 20.000-20.000/uL dan
terhadap 400 sel bila jumlah leukosit lebih dari 50.000/uL.
Adanya eritrosit berinti dilaporkan per 100 leukosit dan tidak diikut sertakan dalam
hitung jenis. Bila ditemukan eritrosit berinti lebih dari 10/100 leukosit, perlu dilakukan
koreksi atas pemeriksaan hitung leukosit. Contoh : hasil pemeriksaan hitung leukosit
125.000/uL. Pada sediaan hapus darah tepi dijumpai 25 eritrosit berinti/ 100 leukosit.
Maka jumlah leukosit sebenarnya adalah (100/125) X 125.000 = 100.000/uL.

Keadaan trombosit.
Dengan opemeriksaan sediaan hapud darah tepi dapat diperkirakan jumlah trombosit.
Dalam keadaan normal terdapat 4-8 trombosit/ 100 eritrosit. Selain itu perlu diperhatikan
pula ada tidaknya kelainan mofologi trombosit seperti giant trombosit atau atypical
trombosit.

C. EPIDEMIOLOGI
Terdapat kesulitan dalam mengetahui sebab dan cara mengontrol asma. Pertama-tama
timbul akibat perbedaan perspektif mengenai definisi asma serta metode dan data
penelitiannya. Ke dua. diagnosis asma biasanya berdasarkan hasil kuesioner tentang
adanya serangan asma dan mengi raja tanpa disertai hasil tes faal paru untuk mengetahui

Page | 14
adanya hiperreaksi bronkus (HRB). Ke tiga, untuk penelitian dipakai definisi asma
berbedabeda. Woodcock (1994) menyebut asma akut (current asthma) bila telah ada
serangan dalam 12 bulan terakhir dan terdapat HRB: asma persisten, bile terus menerus
terdapat gejala dan HRB: sedangkan asma episodik bila secara episodik dijumpai gejala
asma tanpa adanya HRB pada tes provokasi.Ke empat, angka kejadian dari penelitian
dipengaruhi oleh berbagai faktor dan objek penelitian yaitu faktor lokasi (negara, daerah.
kota atau desa), populasi pasien (masyarakat atau sekolah/rumah sakit, rawat inap atau
rawat jalan) usia (anak, dewasa) cuaca (kering atau lembab), predisposisi (atopi,
pekerjaan), pencetus (infeksi, emosi, suhu, debu dingin, kegiatan fisik), dan tingkat berat
serangan asma.5
Dilaporkan adanya peningkatan prevalensi asma di seluruh dunia secara umum dan
khususnya peningkatan frekuensi perawatan pasien di RS atau kunjungan ke emergensi.
Penyebab terjadinya hal ini diduga disebabkan peningkatan kontak dan interaksi alergen
di rumah (asap, merokok pasif) dan atmosfir (debu kendaraan). Kondisi sosioekonomis
yang rendah menyulitkan pemberian tempi yang haikc". Prevalensi asma di seluruh dunia
adalah sebesar 8–10% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini
meningkat sebesar 50%(4). Prevalensi asma di Jepang dilaporkan meningkat 3 kali
dibanding tahun 1960 yaitu dari 1,2% menjadi 3,14%, lebih banyak pada usia muda°1.
Penelitian prevalensi asma di Australia 1982-1992 yang didasarkan kepada data atopi,
mengi dan HRH menunjukkan kenaikan prevalensi asma akut di daerah lembab
(Belmont) dari 4,4%(1982) menjadi 11,9% (1992). Singapura dari 3,9% (1976) menjadi
13,7%(1987), di Manila 14,2% menjadi 22.7% (1987). Data dari daerah perifer yang
keying adalah sebesar 0,5% dari 215 anak dengan bakat atopi sebesar 20,5%, mengi 2%,
HRH 4%. Serangan asma juga semakin berat, terlihat dari meningkatnya angka kejadian
asma rawat inap dan angka kematian. Asma juga merubah kualitas hidup penderita dan
menjadi sebab peningkatan absen anak sekolah dan kehilangan jam kerja. Biaya asma
sebesar F. 7.000 Milyard di Perancis yaitu 1% dari biaya pemeliharaan kesehatan
langsung ataupun tidak langsung. meningkat terus. Penelitian di Indonesia tersering
menggunakan kuesioner dan jarang dengan pemeriksaan HRB. Hampir semuanya
dilakukan di lingkungan khusus misalnya di sekolah atau rumah sakit dan jarang di
lingkungan masyarakat. Dilaporkan pasien asma dewasa di RS Hasan Sadikin berobat

Page | 15
jalan tahun 1985- 1989 sebanyak 12.1% dari jumlah 1.344 pasien dan 1993 sebanyak
14,2% dari 2.137 pasien. Pada perawatan inap 4,3% pada 1984/ 1985 dan 7,5% pada
1986–1989. Pasien asma anak dan dewasa di Indonesia diperkirakan sekitar 3–8%,
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 mengajukan angka sebesar 7,6%. Hasil
penelitian asma pada anak sekolah berkisar antara 6,4% dari 4.865 anak (Rosmayudi,
Bandung 1993), dan 15,15% dari 1.515 anak (multisenter, Jakarta).

D. ETIOLOGI
Asma sangatlah umum, diperkirakan melanda kurang lebih 4-5% populasi di Amerika
Serikat. Kejadian yang sama juga dilaporkan di negara-negara yang lain. Asma terjadi di
semua umur, tetapi lebih dominan pada usia dewasa muda. Sekitar 1,5% kasus terjadi
pada anak sebelum 10thn, dan 3% sisanya terjadi sebelum usia 40thn. Sedangkan
prevalensi laki-laki dan perempuan adalah 1:2.6
Walaupun prevalensi kejadian asma pada populasi cukup besar, sampai sekarang etiologi
asma belum dapat ditetapkan dengan pasti. Faktor yang dapat memicu asma antara lain:
allergen, polusi udara, infeksi saluran napas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat,
atau ekspresi yang berlebihan. Sebagian besar orang membagi jenis asma menjadi 2
yaitu: alergi dan idiosinkratik.6
Pada sebagian besar penderita asma sering ditemukan riwayat alergi, selain itu serangan
asmanya sering dipicu oleh pemajanan terhadap allergen. Pada pasien yang mempunyai
komponen alergi, apabila ditelusuri biasanya sering ditemukan riwayat asma atau alergi
pada keluarganya, seperti rhinitis, urtikaria, eczema. Penderita asma ini disebut “Asma
alergi”. Selain itu akan timbul efek kemerahan dan bengkak setelah dilakukan suntikan
ekstrak airbone antigen, dengan diikuti peningkatan IgE serum yang berlebihan.
Seseorang yang mempunyai predisposisi memproduksi IgE berlebihan disebut
mempunyai efek atopik. Sedangkan keadaan tersebut disebut “atopy”.
Namun, ada juga penderita yang tidak atopy, serangan asmanya tidak dipicu oleh
allergen, serta tidak memiliki riwayat keluarga alergi. Pada penderita ini disebut “Asma
idiosinkratik”. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas, dan pada
permulaannya seperti gejala flu biasa, tetapi bebarapa hari kemudian berkembang
menjadi hebat disertai wheezing dan dyspnea.

Page | 16
E. PATOFISIOLOGI
Salah satu mekanisme dalam diatesis asma adalah hiperiritabilitas nonspesifik dari
percabangan tracheobronchial. Pada saat reaktivitas udara yang melalui jalan napas
meningkat, akan timbul gejala yang lebih berat dan persisten, dan beberapa terapi
dibutuhkan untuk mengontrol pasien. Pada keadaan tertentu, besarnya fluktuasi diurnal
pada fungsi paru akan meningkat dan pasien akan terbangun pada malam hari atau pada
saat bangun tidur akan mengalami sesak napas.6
Pada orang normal dan juga pada individu yang menderita asma, biasanya reaktivitas
jalan napas akan meningkat setelah adanya infeksi virus(pada traktus respiratorius) dan
adanya paparan oleh polutan seperti ozone dan Nitrogen dioxide (bukan Sulfur dioxide).
Infeksi virus dapat menyebabkan konsekuensi gejala yang lebih nyata, dan respon pada
jalan nafas mungkin akan terus meningkat untuk beberapa minggu apabila diperberat
oleh infeksi ringan. Tetapi, reaktivitas jalan napas akan meningkat hanya untuk beberapa
hari setelah terpapar oleh ozone. Allergen dapat menyebabkan respon pada jalan napas
meningkat dalam beberapa menit dan dapat bertahan selama beberapa minggu. Jika dosis
paparan antigen cukup tinggi, episode obstruktif akut dapat terjadi tiap hari dalam jangka
waktu yang lama, walaupun hanya terpapar sekali saja.

Hipotesis yang paling popler sekarang dalam patogenesis dari asma adalah asma terjadi
oleh karena adanya suatu proses inflamasi subakut yang persisten pada jalan napas. Suatu

Page | 17
proses inflamasi aktif, dapat ditemukan pada saat dilakukan biopsi endobronchial
walaupun dikerjakan pada orang yang menderita asma asimptomatis. Jalan napas dapat
mengalami edema dan terdapat infiltrat-infiltrat eosinofil, neutrofil, dan limfosit, dengan
atau tanpa peningkatan kolagen pada epitel membran basal. Dapat juga ditemukan
hipertrofi kelenjar regional. Yang pasti ditemukan pada pemeriksaan biopsi penderita
asma adalah peningkatan densitas kapiler. Kadang-kadang dapat juga ditemukan
penggundulan dari epitel-epitel.

Walaupun penjelasan tentang adanya hubungan antara observasi histologi dengan proses
penyakit belum dapat dijelaskan secara matang, diyakini bahwa fisiologi dan manifestasi
klinik dari asma merupakan interaksi dari sel-sel inflamasi lokal, sel-sel infiltrat pada
permukaan epitelium, mediator inflamasi, dan sitokin. Nsel-sel yang berperan penting
dalam proses inflamasi pada asma adalah sel mast, eosinofil, limfosit, dan sel epitelial.
Setiap sel-sel tersebut dapat mengeluarkan mediator-mediator kimiawi dan sitokin-sitokin
untuk menginisiasi dan menguatkan proses inflamasi akut dan perubahan-perubahan
patologis pada penyakit asma. Mediator-mediator kimiawi yang dapat dilepaskan antara
lain adalah histamin, bradikinin, leukotrien C,D, dan E, Platelet Activating Factor, dan
prostaglandin E2, F2α, dan D2-yang akan menginduksi inflamasi secara kuat,
mempercepat proses reaksi inflamasi termasuk bronkokonstriksi, kongesti vascular,dan
edema. Selain mediator-mediator kimiawi dapat menyebabkan kontraksi otot polos pada
jalan napas dan edema mukosa, leukotrien juga dapat meningkatkan produksi mukus dan
menyebabkan gangguan fungsi silia. Faktor-faktor kemotaksis (Eosinophil and
Neutrophil Chemotactic Factors of Anaphylaxis and Leuoktrien B4) akan menarik

Page | 18
eosinofil, platelet, dan polimorfonuklear leukosit ke tempat peradangan. Sel-sel infiltrat,
seperti makrofag dan sel epitelium secara potensial akan menigkatkan fase cepat dan
fase seluler. Pada proses selanjutnya, sel epitelium akan memperkuat bronkokonstriksi
dengan mengelaborasikan endothelin-1 dan faktor vasodilatasi(Nitrit oxcide, PGE2, dan
15-hydroxyeicosatetraenoic acid. Selain itu, sel-sel tersebut akan melepaskan sitokin
seperti Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor(GM-CSF), interleukin(IL-8),
rantes, dan eotaxin.7
Seperti sel mast pada reaksi awal, eosinofil juga akan berperan pada komponen inflitrat.
Granula-granula pada eosinofil(major basic protein dan eosinophilic cationic protein) dan
radikal bebas akan menghancurkan epitel-epitel pada jalan napas, dimana kemudian
epitel-epitel tersebut akan masuk ke lumen bronkus dan membentuk Creola Bodies.
Dengan hancurnya epitel-epitel pada jalan napas, penghancuran tersebut akan
menginduksi lebih banyak sitokin yang akan memperburuk inflamasi.
Limfosit T juga berperan penting dalam proses inflamasi. Jumlah limfosit T akan
meningkat pada pasien asma dan akan membantu produksi sitokin yang akan
mengaktivkan Cell-medicated immunity, dan juga humoral imune response (IgE).
Proses inflamasi pada asma, sebenarnya dimulai dengan adanya sensitisasi oleh allergen.
Sel dendrit, yang merupakan Antigen Presenting Cell, akan migrasi ke nodul limfatikus
regional dimana kemudian antigen akan dikenali oleh Limfosit T dan B sebagai benda
asing. Limfosit B kemudian akan diinduksi untuk memproduksi IgE. Penginduksian ini
melibatkan IL-4 dan IL-13 yang dihasilkan oleh Limfosit T setelah mengenali antigen
tersebut. IgE kemudian akan berikatan dengan reseptornya di sel mast.
Pada saat terjadi paparan lagi, IgE akan mengikat allergen dan akan mengaktivasi sel
mast. Pengaktivasian sel mast akan diikuti dengan pelepasan histamin, leukotrien, dan
sitokin yang akan berperan dalam mediasi timbulnya efek pada asma dan terjadinya
inflamasi.
Di antara sitokin-sitokin, GM-CSF, IL-4, dan IL-5 akan menarik eosinofil ke paru-paru,
meningkatkan survival time, dan menstimulasi produksi mediator-mediator kimiawi lain
seperti Major Basic Protein (MPB) yang dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa
bronkus, bronkospasm, dan terjadinya status proinflamasi.

Page | 19
CD4+ dapat dibedakan menjadi Th1, dimana akan memproduksi IL-2 dan IFNγ untuk
berpartisipasi pada cell mediated immunitu, dan Th2 yang memproduksi IL-4, IL-5, IL-
10, dan IL-13, dan menyebabkan inflamasi langusng.

Aspek Genetika
Walaupun ada sedikit keraguan bahwa asma memiliki komponen keluarga yang kuat,
identifikasi mekanisme genetik yang mendasari penyakit telah terbukti sulit untuk
beberapa alasan, termasuk masalah mendasar seeperti kurangnya perjanjjian dalam
definisi penyakit, ketidakmampuan untuk mendefinisikan fenotipe tunggal, Non-
Mendelian herediter, dan pemahaman yang tidak lengkap tentang bagaimana faktor
lingkungan mengubah ekspresi genetik. Skrining keluarga untuk gen kandidat telah
mengidentifikasi beberapa daerah kromosong yang berhubungan dengan atopy,
peningkatan kadar IgE, dan hiperrespon dari jalan napas. Bukti keterkaitan genetik dalam
peningkatan tingkat IgE total serum dan Atopy telah diamati pada kromosom 5q,, 11q
dan 12q di sejumlah populasi tersebar di seluruh dunia.

Faktor-faktor penginduksi Asma


Rangsangan yang memicu episode asma akut dapat dikelompokkan menjadi tujuh
kategori utama: allergenik, farmakologi, lingkungan, pekerjaan, olahraga, dan emosional.
1. Allergen
Asma yang disebabkan oleh alergi tergantung pada respon IgE yang dikendalikan oleh
Limfosit T dan B, dan diaktifkan oleh interaksi antigen dengan molekul IgE yang
sebelumnya terlat terikat dengan sel mast. Epitel saluran napas dan submukosa
mengandung sel dendritik yang berfungsi menangkap antigen dan memproses antigen.
Setelah mengikat antigen, sel-sel ini bermigrasi ke kelenjar getah bening lokal di mana
mereka memperkenalkan antigen ke reseptor sel T. Dalam pengaturan genetik normal,
interaksi antigen dengan sel THO, dengan adanya IL-4, akan menyebabkan diferensiasi
menjadi subset Th2. Proses ini tidak hanya membantu memfasilitasi peradangan asma
tetapi juga menyebabkan limfosit B untuk beralih dari produksi antibodi IgG dan IgM
menjadi IgE

Page | 20
Setelah disintesis dan dilepaskan oleh sel B, IgE beredar dalam darah sampai menempel
pada reseptor sel mast dengan afinitas tinggi dan afinitas rendah untuk reseptor
basophil. Sebagian besar alergen yang memicu asma berada di udara, dan untuk
menginduksi sensitivitas, alergen harus cukup banyak untuk waktu yang cukup
lama. Setelah sensitisasi terjadi, pasien dapat menunjukkan responsivitas tinggi, sehingga
dalam jumlah sedikit pun dapat menghasilkan eksaserbasi yang signifikan.
Mekanisme dimana penyebab alergi yang berasal dari udara, yang memprovokasi episode
akut asma sebagian bergantung pada interaksi antara antigen-antibody pada permukaan
sel mast paru dan pelepasan mediator hipersensitivitas cepat. Hipotesis saat ini
berpendapat bahwa partikel antigen yang sangat kecil dapat menembus pertahanan paru-
paru dan bersentuhan dengan sel mast yang menyatu dengan epitel di permukaan luminal
dari saluran udara pusat.

Stimulus Farmakologi
Obat yang paling berhubungan dengan induksi episode asma akut adalah aspirin, pewarna
buatan seperti Tartrazine, β-adrenergic antagonist, dan agen sulfur. Sangatlah penting
untuk menyadari secara cepat dan cermat asma yang diinduksi oleh obat, karena tingkat
morbiditas yang tinggi. Selanjutnya, kematian kadang-kadang diikuti pada saat setelah
menelan aspirin (atau agen anti-inflamasi nonsteroid) atau antagonis β-adrenergik.
Sindrom pernafasan speisifik karena sensitif terhadap aspirin terutama menyerang pada
orang dewasa, meskin mungkin terjadi pada anak-anak. Masalah ini biasanya dimulai
oelh rinitis vasomotor yang kronik lalu diikuti oleh rinosinusitis hiperplastik dengan poli
nasal, kemudian baru terjadi asma progresif. Paparan aspirin sekalipun dalam jumlah
yang sangat kecil, kongesti hidung dan mata yang akut dapat terjadi pada individu yang
rentan, sering diikuti oleh episode obstruksi saluran napas yang berat.
Prevalensi terhadap sensitisasi oleh aspirin sangat bervariasi. Diyakinin terdapat
hubungan reaksi silang yang kuat antara aspirin dengan NSAID dalam menghambat
prostaglandin G/H synthase 1 (COX-1). Indomethacin, fenoprofen, naproxen, zomepirac
sodium, ibuprofen, asam mefenamat, dan fenilbutazon juga mempunyai peran penting
pada penyakit asma. Sedangkan asetaminofen, sodium salisilat, kolin salisilat,
salisilamid, dan propoksifen dapat ditoleransi dengan baik.

Page | 21
Pasien yang sensitif dengan aspirin dapat ditanggulangi dengan administrasi obat yang
baik setiap hari.
- Lingkungan dan Polusi Udara
Pengaruh lingkungan dalam menyebabkan serangan asma, biasanya berhubungan dengan
kondisi iklim dimana akan memengaruhi polusi atmosfer dan antigen. Kondisi seperti ini,
condong terjadi pada daerah perindustrian dan populasi penduduk yang tinggi dan
berhubungan dengan inversi termal atau keadaan lain yang menimbulkan massa udara
yang stagnan. Pada keadaan seperti ini, walaupun secara umum dapat menyebabkan
gejala-gejala umum, pasien dengan asma dan penyakit respirasi lainnya dapat mengalami
efek yang lebih berat. Polusi udara yang dapat memberikan efek antara lain adalah ozone,
nitrogen dioksida, dan sulfur dioksida. Apabila pasien mengalami ventilasi udara yang
tinggi terhadap gas-gas tersebut, maka efek yang ditimbulkan akan lebih berat. Pada
kondisi seperti ini, pemberian profilaksis obat antiinflamasi sebelum masuknya iklim
tersebut, dapat membantu memperbiki dan mencegah efek-efek yang ditimbulkan.

- Pekerjaan
Occupational-related Asthma atau asma yang disebabkan oleh pekerjaan merupakan
masalah kesehatan yang serius, dan prevalensi terjadinya obstruksi saluran napas akut
dan bawah dilaporkan sangat dipengaruhi oleh proses-proses pada beberapa industri.
Secara umum, agen penyebab dapat dikaslifikasikan menjadi High-Molecular-Weight
Compounds, yang dapat menginduksi asma melalui mekanisme imunologi dan Low-
Molecular-Weight Agents yang dapat merangsang pelepasan faktor bronkokonstriksi.
High-Molecular-Weight Compounds meliputi debu kayu dan tumbuhan(gandum, oak,
kacang, biji kopi, mako, karay, dan tragacanth), agen yang berkenaan dengan farmasi
(antibiotik, piperazine, dan cimetidine), enzyme biologi(deterjen, enzim pankrease, dan
enzim B.subtilis), dan debu binatang atau serangga, serum, dan hasil sekresi. Low-
Molecular-Weight Agents meliputi garam-garam metal (platinum, chrome, vanadium,
dan nikel) dan kimiawi industri dan plastik(toluene diisocyanate, phthalic acid anhydride,
trimetllitic anhydride, persulfates, ethylenedyamine, p-phenylenediamine, western red
cedar, azidrocarbonamide, dll). Formaldehide dan urea formaldehide termasuk juga
dalam grup ini. Sangatlah penting untuk mengetahui bahan kimia apa yang digunakan

Page | 22
oleh pasien sebelum terjadi serangan, misalnya seperti bahan cat, plastik dan bahan-
bahan yang digunakan pada saat kerja.

- Infeksi
Infeksi respiratorius merupakan rangsangan yang paling umum dalam menimbulkan
eksaserbasi akut pada asma. Virus merupakan faktor etiologi yang paling banyak. Pada
anak kecil, agen infeksius yang paling penting adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV)
dan parainfluenza virus. Pada anak yang lebih tua dan dewasa, rhinovirus dan influenza
virus merupakan patogen yang predominan pada dewasa. Kolonisasi sederhana pada
percabangan trakeobronkial cukup untuk menimbulkan episode akut dari bronkospasme,
dan serangan asma hanya terjadi ketika gejala-gejala dari infeksi traktus respiratoris
sedang atau telah terjadi. Infeksi virus dapat secara aktif dan kronik melabilkan keadaan
asma, dan mungkin merupakan stimuli satu-satunya yang dapat memproduksi gejala yang
konstan untuk beberapa minggu. Mekanisme dimana infeksi dapat menyebabkan
eksaserbasi asma aku mungkin berhubungan dengan produksi sel T, dimana
menghasilkan sitokin yang merupakan mediator utama dalam inflamasi sel.

- Olahraga
Olahraga merupakan perangsang yang umum yang menyebabkan episode asma akut.
Stimulus ini membedakan dari provokasi alami yang lain, seperti antigen, infeksi virus,
dan polusi udara., dalam hal apapun tidak menimbulkan gejala sisa jangka panjang, juga
tidak meningkatkan reaktivitas saluran napas. Biasanya serangan mengikuti pada saat
terjadi pengerahan tenaga. Variabel penting yang menentukan tingkat keparahan dari
obstruksi saluran napas adalah tingkat pencapaian ventilasi dan suhu dan kelembaban
udara inspirasi. Ventilasi semakin tinggi dan semakin rendah kadar panasnya udara,
semakin besar respon yang dihasilkan. Untuk kondisi udara yang sama terinspirasi,
berlari menghasilkan serangan asma yang lebih parah daripada berjalan karena ventilasi
yang lebih besar. Sebalknya, untuk suatu tugas tertentu, menghirup udara dingin nyata
meningkatkan respons, sedangkan udara hangat, udara lembab tidak meningkatkan
respons. Akibatnya, kegiatan seperti hoki es dan ice skating lebih provokatif daripada
yang berenang di kolam renang, dalam ruangan dengan penghangat. Mekanisme ini,

Page | 23
dimana latihan menghasilkan obstruksi mungkin berhubungan dengan hiperemia termal
yang dihasilkan dan kebocoran kapiler di dinding saluran napas.

- Stres Emosional
Faktor-faktor psikologis dapat memperburuk atau memperbaiki asma. Perubahan saluran
napas kaliber tampaknya dimediasi melalui modifikasi kegiatan eferen vagal, tapi
endorphin juga mungkin memainkan peran. Sejauh mana faktor psikologis berpartisipasi
dalam induksi dan / atau kelanjutan dari setiap eksaserbasi akut, faktor-faktor tersebut
mungkin bervariasi dari pasien ke pasien dan di pasien yang sama dari episode ke
episode.

F. PATOLOGI

Kelainan anatomik pada asma menyangkut semua lapisan dinding saluran nafas,
termasuk lumen, mukosa, submukosa dan otot polos.8
1.Lumen.– Sering ditemukan adanya sumbatan mukus yang kental dan liat, yang sulit
untuk dikeluarkan, yang terdiri dari bagian mukus, serus dan seluler. Bagian seluler
berasal dari sel eosinofil, kristal Charcot-Leyden yang berasal dari sel eosinofil dan epitel
bronkus yang disebut "creola bodies".
2. Mukus.– Mukus trakeobronkial terdiri dari golongan glikoprotein. Pada penderita asma
terjadi peninggian sintesis dari mukopolisakaride. Mekanisme mukosilier pada asma
terganggu karena ada kelambatan pada tranpor mukosilier. Mukus penderita asma
mengandung lebih banyak protein serum. Hal hal tersebut merupakan sebab utama dari
perubahan sifat fisik yang menimbulkan kelambatan "clearance". Zat-zat kolinergik
meninggikan produksi mukus dari kelenjar sub-mukosa, merangsang frekuensi "ciliary
beat" dan membantu transpormukosilier. Zat-zat adrenergik Beta juga menstimulir

Page | 24
transpor pada penderita asma, tapi bagaimana mekanismenya dalam meninggikan
"Clearance" belum diketahui.
3. Epitel bronkus.— Pada status asmatikus tidak ditemukan adanya silia, karena terlepas
oleh desakan sel ke lumen dan diganti dengan sel goblet hiperplastik yang membentuk
mukus. Juga terjadi infiltrasi sel, terutama eosinofil dan edem mukosa. Mungkin epitel
orang atopik lebih permeabel terhadap molekul protein dari pada orang normal. 4.
Submukosa. – Edem dan infiltrasi sel lebih sering dijumpai pada sub mukosa
dibandingkan dengan epitel, di sini sel-selnya lebih heterogen, seperti limfosit, histiosit,
sel plasma dan eosinofil. Kelenjar submukosa membesar, seperti juga halnya pada
bronkitis kronis dan penebalan membran basal adalah khas untuk asma. Hal ini
disebabkan karena timbunan kolagen di bawah membran basal. Callerame dkk
menemukan deposit IgA, IgG dan IgM dimembran basal. IgE hanya ditemukan dalam sel
mononuklir yang disangka sel plasma. Gerber dkk menemukan deposit IgE di epitel
mukosa orang asma dan diduga bahwa mukosa adalah jaringan target dan tempat
terjadinya reaksi imun pada asma. Harus pula dipikirkan, bahwa adanya Ig dalam paru
dapat disebabkan sebagai akibat infeksi. Mastosit hampir tidak ditemukan pada status
asmatikus, yang kemungkinan besar disebabkan karena degranulasi. Degranulasi dapat
pula disebabkan karena hipoksia dan edem submukosa yang mengencerkan mastosit.
Mastosit yang ada di lumen dan epitel dapat mengeluarkan bahan mediator yang merubah
permeabilitas mukosa sehingga memungkinkan masuknya antigen sampai mastosit di
submukosa.
5. Otot polos bronkus.– Ada bukti jelas bahwa pada asma, otot polos bronkus bertambah
akibat hiperplasi dan hipertrofi. Hal ini dapat terjadi akibat adanya bronkokonstriksi yang
lama. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan adanya perbedaan antara otot polos
pada orang asma dan orang normal. Szantivanyi berpendapat bahwa otot polos orang
asma mengandung lebih sedikit reseptor adrenergik Beta sehingga akan lebih cepat
terjadi bronkokonstriksi karena rangsangan kolinergik atau mediator yang dikeluarkan
pada reaksi alergi. Mungkin pula, bahwa IgE merubah faal dari otot polos.

Page | 25
G. DIAGNOSIS
Manifestasi Klinik
Gejala yg timbul biasa berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus.
Obstruksi jalan nafas dapat reversible secara spontan maupun dengan pengobatan. Gejala
– gejala asma antara lain :6
1. Bising mengi ( wheezing ) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop
2. Batuk produktif, sering pada malam hari
3. Nafas atau dada seperti tertekan
dalam bentuk yang paling khas, Asma adalah penyakit episodik, dan ketiga gejala
berjalan berdampingan. pada awal serangan, pasien mengalami rasa penyempitan di dada,
sering dengan batuk produktif. Ekspirasi menjadi berkepanjangan, dan sering pasien telah
tachypnea, tachycardia dan hipertensi sistolik ringan. Paru-paru cepat menjadi
overinflated, dan diameter anteroposterior torak meningkat. Jika serangan tersebut parah
atau berkepanjangan, mungkin akan ada kehilangan suara napas adventitial, dan mengi
menjadi sangat tinggi melengking. Lebih lanjut, otot-otot aksesori menjadi terlihat aktif,
dan pulsa paradoks sering berkembang. ini dua tanda yang sangat penting dalam
menunjukkan tingkat keparahan obstraction. Di depan baik, fungsi paru cenderung lebih
terganggu secara signifikan dibandingkan dengan ketidakhadiran mereka. penting untuk
dicatat utamanya pengembangan paradoksal pulsa tergantung pada generasi besar
tekanan intrathoracis negatif. demikian, jika pasien bernapas dangkal, ini tanda dan / atau
penggunaan otot aksesori bisa tidak ada meskipun halangan cukup parah. tanda-tanda lain
dan gejala asma hanya sempurna mencerminkan perubahan fisiologis yang ada. memang,
jika hilangnya keluhan subjektif atau bahkan mengi, digunakan sebagai titik akhir di
mana terapi untuk serangan akut berakhir, reservoir penyakit residual besar akan hilang.
Pada akhir gejala sering ditandai dengan batuk yang menghasilkan lendir tebal dan
seperti benang. yang sering mengambil bentuk saluran-saluran udara distal (spiral
curschmann) dan, ketika diperiksa mikroskopis, sering menunjukkan eosinofil dan kristal
Charcot-Leyden. dalam situasi ekstrim, mengi dapat berkurang tajam atau bahkan hilang,
batuk dapat menjadi sangat tidak efektif, dan pasien dapat memulai jenis pola pernafasan
terengah-engah. Temuan ini menyiratkan lendir luas plugging dan mati lemas. bantuan
ventilasi dengan cara mekanis mungkin diperlukan. atelektasis karena sekresi inspissated

Page | 26
accours kadangkala dengan serangan astmatic. spontan pneumotorax dan / atau accour
pneumomediastinum tapi jarang.
Jarang, pasien dengan asma mungkin mengeluhkan gejala sesekali batuk produktif atau
dyspnea exertional. tidak seperti orang lain dengan asma, ketika pasien tersebut diperiksa
selama periode gejala, mereka cenderung memiliki suara napas normal tetapi mungkin
siut setelah pernafasan dan terpaksa diulang dan / atau dapat menunjukkan gangguan
ventilasi ketika di laboratorium. karena tidak ada tanda-tanda kedua, tes
bronchoprovocation mungkin diperlukan untuk membuat diagnosis. Gejala bersifat
poroksismal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada malam hari.
Klasifikasi derajat asma
Derajat asma Gejala Gejala malam Fungsi paru
Intermiten mingguan < 1 minggu ≤ 2x sebulan VEPI atau APE ≥ 80%
Tanpa gejala diluar
serangan
Serangan singkat
Fungsi paru asimtomatik
dan normal luar serangan
Persisten ringan >1x/ minggu tapi <1x/ > 2x seminggu VEPI atau APE ≥ 80%
mingguan hari normal
Serangan dapat
menggangu aktifitas dan
tidur
Persisten sedang harian Gejala harian  Sekali seminggu VEPI atau APE ≥ 60%
tetapi ≤80% normal
Menggunakan obat setiap
hari
Serangan menggangu
aktifitas dan tidur
Serangan 2x/minggu, bisa
berhari-hari
Persisten berat kontinu Gejala terus menerus sering VEPI atau APE < normal
80%
Aktifitas fisik terbatas
Sering serangan

Tingkat – tingkat asma

Page | 27
Berdasarkan tingkat kegawatan asma maka asma dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yakni:
a. Asma bronkiale
Yakni suatu bronkospasme yang sifatnya reversible denga latar belakang alergik
b. Status asmatikus
Yakni suatu asma yang sukar disembuhkan dengan obat – obat konvensional
c. Asmatikus emergency
Yakni asma yang dapat menyebabkan kematian
Kriteria yang dipergunakan untuk menentukan tingkat kegawatan asma adalag sebagai
berikut :
- Bila asma dengan kegagalan pernafasan (respiratory failure)
- Bila terdapat komplikasi berupa hipoksia serebri atau gangguan hemodinamik
maupun gangguan pada cairan tubuh dan elektrolit.
- Interval dari beberapa serangan. Makin pendek intervalnya, makin tinggi nilai
kegawatannya.
- Derajat serangan asma. Lebih lama serangannya, makin tinggi nilai kegawatannya.
- Intensitas. Makin tinggi intensitas serangan yang ditandai dengan makin rendahnya
nilai FEV1, makin tinggi nilai kegawatannya.
- Bila terdapat komplikasi infeksi.
- Bila asma tidak dapat memberikan respon terhadap obat – obat konvensional.
Tingkat kegawatan asma dapat menyebabkan keadaan yang fatal dimana dapat ditentukan
oleh faktor – faktor sebagai berikut :
- Episode serangan terjadi dalam interval yang pendek
- Vital capacity kurang dari 1 liter
- Oksigen yang berkurang di serebral sehingga mengakibatkan penurunan kesadaran
- Peningkatan CO2 dalam darah dan ditandai pulda dengan terjadinya sianosis
- Mulai terjadi iskemik otot jantung
- Terdapatnya komplikasi pneumotoraks dan pneumomediastinum
- Terjadinya penurunan pH darah.
-
WORKING DIAGNOSTIC

Page | 28
Asma didefinisikan sebagai penyakit peradangan kronis saluran udara yang ditandai
dengan peningkatan responsivitas tracheobronchial ke multiplisitas dari stimulus.
Manisfestasi fisiologis oleh karena adanya penyempitan luas dari saluran pernafasan,
yang mana dapat dihilangkan secara spontan atau sebagai akibat dari terapi, dan klinis
oleh paroxysms dari dyspnea, batuk dan wheezing.9
Asma adalah penyakit episodik, dengan eksaserbasi akut diselingi dengan periode bebas
gejala. biasanya, sebagian besar serangan berumur pendek, menit berlangsung jam, dan
klinis pasien tampak begitu sembuh sepenuhnya setelah serangan. Namun, mungkin ada
fase di mana pasien mengalami beberapa derajat obstruksi jalan napas sehari-hari. tahap
ini dapat ringan, dengan atau tanpa adanya gejala parah, atau jauh lebih serius, dengan
obstruksi berat bertahan selama berhari-hari atau berminggu-minggu. kondisi terakhir ini
dikenal sebagai status asthmaticus, dalam kondisi yang tidak biasa, gejala akut dapat
menyebabkan kematian.
Anamnesis yang teliti merupakan bagian terpenting termasuk gambaran dan banyaknya
serangan, wizing atau batuk, serta lama, frekuensi, intensitas serangan dan waktu-waktu
tanpa serangan. Perlu diketahui sampai mana simtomnya mengganggu aktivitas sehari-
hari, seperti pekerjaan, sekolah, ataupun main-main dan tidur. Pada pemeriksaan fisik
perlu diperhatikan adanya rinitis alergik, polip, observasi dada, kualitas suara nafas,
wizing, ronki, dan ikut bekerjanya otototot pembantu pernapasan. Pada asma yang berat
sekali, karena aliran udara yang sangat kecil, sering tidak ditemukan wizing (silent chest).
Derajat obstruksi perlu diketahui dan dapat diukur dengan spirometer. Meskipun
penderita tidak mempunyai keluhan dan tidak menunjukkan wizing pada pemeriksaan
fisik, gangguan obstruksi sering dapat ditemukan. Bila terdapat obstruksi, sedapatnya
gangguan faal paru tersebut dicoba untuk dikembalikan ke keadaan senormal mungkin
dengan pemberian bronkodilator. Pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan. Eosinofilia
dalam darah dan atau sputum ditemukan baik pada asma jenis alergik maupun pada asma
yang bukan alergik. Selanjutnya tes kulit perlu dilakukan untuk memperkuat diagnosis
dan menentukan rencana pengobatan. IgE biasanya meninggi, dan akan lebih tinggi lagi
pada komplikasi aspergilosis bronkopulmoner.
Dalam keadaan yang berat, perlu dilihat perbaikan faal paru sebagai hasil pengobatan,
dan kalau tidak ada perbaikan perlu dilakukan analisa gas darah. Bila pada pemeriksaan

Page | 29
tidak ditemukan wizing, dan diduga ada asma, dapat dilakukan tes provokasi misalnya
dengan :
– tes latihan jasmani
– tes histamin
– tes metakolin
Diagnosis asma dapat ditegakkan kalau tes tersebut menimbulkan penurunan dalam
FEV1 ≥ 20%. Selanjutnya asma akibat lingkungan kerja makin banyak dikenal. Ada pula
sindrom yang terdiri dari polip hidung, asma dan sensitivitas terhadap aspirin dan atau
bahan antiinflamasi- nonsteroid. Ternyata cukup banyak dijumpai penderita asma yang
menunjukkan penurunan FEV1 sesudah makan aspirin.

DIFFERENTIAL DIAGNOSTIC
1. Bronkitis Kronik
Yang dimaksud dengan bronchitis kronik adalah batuk berulang dan berdahak selama
lebih dari 3 bulan setiap tahun dalam periode paling sedikit tahun. Sebab utamanya
adalah merokok, berbagai penyakit akibat pekerjaan, polusi udara dan usia tua, terutama
pada laki-laki. Hipersekresi dan tanda-tanda adanya penyumbatan saluran napas yang
kronik merupakan tanda dari penyakit ini.10
Berdasarkan ada tidaknya penyempitan bronkus maka penyakit ini dapat dibagi menjadi
2, yakni:
- Yang tidak disertai dengan penyempitan bronkus dimana dasar penyakitnya semata-
mata oleh karena hipersekresi dari kelenjar mucus bronkus tanpa atau dengan adanya
infeksi bronkus.
- Yang disertai dengan penyempitan bronkus, batuk, produksi sputum, disertai dengan
dispne dan wheezing (mengi). Pada yang kedua ini prognosisnya lebih buruk dari
yang pertama.
Pada tingkat permulaan hanya cabang-cabang bronkus dengan diameter kurang dari 2
mm saja yang terkena. Pada fase selanjutnya maka cabang bronkus besar juga terkena
dan dapat dibuktikan dengan pemeriksaan faal paru dimana terjadi penurunan dari fungsi
obstruktif.
Berbagai gejala klinis yang didapatkan:

Page | 30
- Batuk terutama pada pagi hari pada perokok.
Sputum kental dan mungkin juga purulen, terutama bila terinfeksi oleh Haemophilus
influenza. Pada tingkat permulaan didapatkan adanya dispne yang sesaat.
- Dispne makin lama makin berat dan sehari penuh, terutama pada musim dimana
udara dingin dan berkabut. Selanjutnya sesak napas terjadi bila bergerak sedikit saja
dan lama-kelamaan dapat terjadi sesak napas yang berat, sekalipun dalam keadaan
istirahat.
- Pada sebagian pasien sesak justru datangnya pada malam hari, terutama pada pasien
yang berusia tua sehingga menyebabkan tidur pasien menjadi terganggu. Keadaan ini
sama seperti pada gambaran dekompensasi kordis kiri. Tanda yang paling dominan
pada usia lanjut adalah sesak napas pada waktu bekerja ringandan sesak napas ini
bersifat progresif.
- Pink puffer dan blue blotter.
Baik bronchitis maupun emfisema dapat dibagi menjadi pink puffer dan blue blotter.
Pada pink puffer, ditandai dengan sesak yang sangat berat dan terdapatnya hiperinflasi
paru dan sianosis, sehingga muka pasien terlihat berwarna merah biru (pink) dan
bengkak (puffer). Analisis darah, baik PaO2 dan PaCO2 relatif normal. hiperinflasi
paru ini dapat menyebabkan terjadinya gejala-gejala dekompensasi jantung kanan,
yakni berupa edema dan asites, tekanan vena jugularis yang meningkat dan
berdilatasi. Pokoknya pada tipe pink puffer gambaran utamanya adalah kor
pulmonale. Berbeda dengan blue blotter yang menjadi masalah utamanya justru
hipoksemia dan bila kronik maka didapatkan pula hiperkapnia. Kadar O2 dalam darah
menurun, terutama ketika tidur malam dan kadang-kadang penurunan kadar O2 darah
yang sangat tinggi ini dapat tidak terlihat pada pink puffer. Kenapa terjadi perbedaan
pada kedua tipe ini sampai sekarang tidak diketahui.

2. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah suatu kelainan yang permanen dimana terjadi dilatasi dari bronkus.
Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus bagian lobus bawah (lobus inferior),
terutama lobus kanan bawah. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena letak anatomis dari

Page | 31
lobus ini yang lebih mudah terkena infeksi. Bagian yang lebih banyak mengalami ektasi
adalah bronkus subsegmental.10
Bronkus yang terkena dapat fokal, dapat pula difus atau bilateral. Yang fokal pada
umumnya terjadi oleh karena terdapatnya pembesaran kelenjar limfe yang menyumbat
bronkus atau dapat pula disebabkan oleh karena benda asing. Sedangkan yang difus pada
umumnya terjadi bila bronkus mengalami infeksi yang berulang, baik oleh karena
aspirasi cairan lambung maupun akibat dari inhalasi gas.
Pada bronkus yang rusak adalah otot bronkusnya sehingga bronkus kehilangan
fleksibilitasnya. Selain itu pada bronkus dapat pula terjadi luka yang dapat menimbulkan
infeksi sehingga menyebabkan fibroblast membentuk jaringan parut di bronkus. Antara
bronkus dan parenkim paru dapat pula saling mempengaruhi, artinya infeksi bronkus
pada bronkiektasis dapat menyebabkan pneumonia lobaris dan sebaliknya pneumonia
lobaris yang berulang dapat pula menyebabkan terjadinya bronkiektasis. Beberapa hal
mengenai penyebab dari bronkiektasis yang perlu dipertimbangkan, antara lain:
- Infeksi yang disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, atau jamur yang berulang. Pada
anak-anak dapat menyebabkan terjadinya bronkiektasis pada masa dewasanya.
- Obstruksi pada bronkus, baik yang disebabkan oleh karena benda asing maupun
karena pembesaran kelenjar limfe, dapat menyebabkan terjadinya bronkiektasis lokal.
- Berbagai kelainan kongenital, baik dari saluran pernapasan, berupa anomali
trakeobronkial maupun kelainan pembuluh darah dan limfe, juga dapat menyebabkan
terjadinya bronkiektasis.
Penyebab bronkiektasis yang lainnya adalah akibat dari penurunan daya tahan tubuh dan
berbagai penyakit keturunan, seperti sindroma Kartagener dimana gerakan-gerakan silia
menjadi berkurang, bronkiektasis situs inversus, dan fibrosis kista dari pancreas.
Beberapa hal yang perlu diketahui pada bronkiektasis adalah bahwa sel silia bukan saja
kehilangan fungsinya oleh karena kentalnya mucus, akan tetapi juga sel-sel tersebut pada
beberapa keadaan menjadi kehilangan silianya. Kentalnya sputum disebabkan oleh
karena banyaknya komponen DNA yang terkandung dan tingginya konsentrasi dari
sulfide.

Page | 32
Terdapatnya shunt left to the right ataupun oleh karena anastomosis antara arteri
bronchial dan arteri pulmonalis dapat menyebabkan terjadinya dekompensasi jantung
kiri, disamping dapat memperhebat perdarahan yang ada.
Dua tanda utama yang terdapat pada bronkiektasis, yakni batuk pada pagi hari dan
sputum yang purulen, adalah merupakan tanda yang karakteristik dan selain itu dapat
pula terjadi hemoptisis, pneumonia yang berulang, dan sinusitis yang dapat merupakan
keluhan tambahan. Separuh dari pasien dengan bronkiektasis akan mengalami batuk
darah.
Disamping itu beberapa gejala klinis yang mungkin terdapat bersamaan dengan
bronkiektasis adalah clubbing fingers, poliposis, ronki basah yang terdengar keras pada
inspirasi dan menghilang pada saat ekspirasi.
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas dan
beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanyakomplikasi lanjut. Cirri
khas penyakit ini adalah batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis dan
pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada penyakit
yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan.
Bronkiektasis yang mengenail bronkus pada lobus atas sering dan memberikan gejala.

Keluhan-keluhan
Batuk. Batuk pada bronkiektasis mempunyai cirri antara lain batuk produktifberlangsung
kronik dan frekuens mirip seperti pada bronkitis kronik (bronchitic-like symptoms),
jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah
ada perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur. Kalau tidak ada infeksi sekunder
sputumnya mukoid, sedang apabila ada infeksi sekunder sputumnya purulen, dapat
memberikan bau mulut yang tidak sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman
anaerob, akan menimbulkan sputum sangat berbau busuk. Pada kasus yang ringan, pasien
dapat tanpa batuk atau hanya timbul batuk apabila ada infeksi sekunder. Pada kasus yang
sudah berat. Misalnya pada saccular type bronchlectesis, sputum jumlahnya banyak
sekali, purulen, dan apabila ditampung beberapa lama, tampak terpisah menjadi 3 lapisan:
a). Lapisan teratas agak keruh, terdiri atas mucus, b). Lapisan tengah jernih, terdiri atas

Page | 33
saliva (ludah), dan c). Lapisan terbawah keruh, terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis
dari bronkus yang rusak (cellular debris).
Hemoptisis. Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis.
Kelainan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh
darah dan timbul perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi, mulai yang paling
ringan sampai perdarahan yang cukup banyak yaitu apabila nekrosis yang mengenai
mukosa amat hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis (daerah
berasal dari peredaran darah sistemik). Pada dry bronchiectasis (bronkiektasis kering),
hemoptisis justru merupakan gejala satu-satunya, karena bronkiektasis jenis ini letaknya
di lobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah menumpuk, dan kurang
menimbulkan refleks batuk, pasien tanpa batuk atau batuknya minimal. Dapat diambil
pelajaran, bahwa apabila ditemukan kasus hemoptisis hebat tanpa adanya gejala-gejala
batuk sebelumnya atau tanpa kelainan fisis yang jelas hendaknya diingat dry
bronchiectasis ini. Hemoptisis pada bronkiektasis walaupun kadang-kadang hebat jarang
fatal. Pada tuberculosis paru, bronkiektasis ini merupakan penyebab utama komplikasi
hemoptisis.
Sesak napas (Dispnea). Pada sebagian besar pasien (50% kasus) ditemukan keluhan
sesak napas. Timbul dan beratnya sesak napas tergantung pada seberapa luasnya bronkitis
kronik yang terjadi serta seberapa jauh timbulnya kolaps paru dan destruksi jaringan paru
yang terjadi sebagai akibat infeksi berulang (ISPA), yang biasanya menimbulkan fibrosis
paru dan emfisema yang menimbulkan sesak napas tadi. Kadang-kadang ditemukan pula
suara wheezing, akibat adanya obstruksi bronkus. Wheezing dapat lokal atau tersebar
tergantung pada distribusi kelainannya.
Demam berulang. Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering
mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul
demam (demam berulang).

3. Emfisema
Emfisema kronik adalah penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang
diikuti oleh destruksi dari dinding alveoli. Biasanya terdapat bersamaan dengan
bronchitis kronik, akan tetapi dapat pula berdiri sendiri. Penyebabnya juga sama dengan

Page | 34
bronchitis, antara lain pada perokok. Akan tetapi pada yang herediter, dimana terjadi
kekurangan pada globulin alfa antitrypsin yang diikuti dengan fibrosis, maka emfisema
muncul pada lobus bawah pada usia muda tanpa harus terdapat bronchitis kronik.
Emfisema paru dapat pula terjadi setelah atelektasis atau setelah lobektomi, yang disebut
dengan emfisema kompensasi dimana tanpa didahului dengan bronchitis kronik terlebih
dahulu. Kebanyakan emfisema terjadi pada daerah distal dari bronkus, terutama pada
asma bronchial. Penyempitan bronkus kadangkala menimbulkan perangkap udara (air
tapering), dimana udara dapat masuk tetapi tidak dapat keluar, sehingga menimbulkan
emfisemayang akut. Frekuensi emfisema lebih banyak pada pria daripada wanita.
Yang menjadi pokok utama pada emfisema adalah adanya hiperinflasi dari paru yang
bersifat ireversibel dengan konsekuensi rongga toraks berubah menjadi gembung atau
barrel chest. Gabungan dari alveoli yang pecah dapat menimbulkan bula yang besar yang
kadang-kadang memberikan gambaran seperti pneumotoraks.
Secara klinis diagnosis emfisema didasarkan atas:
- Pelebaran yang permanen dari sakus alveolaris. Pelebaran yang reversibel, seperti
pada asma, yang disebabkan oleh karena terperangkapnya udara dan dapat kembali
menjadi normal tidak digolongkan ke dalam emfisema.
- Pelebaran dari sakus alveolaris (asinus) dan rusaknya dinding alveoli merupakan
gambaran normal pada usia lanjut dan perubahan fisiologi ini bukan merupakan
emfisema.
- Yang terpenting pada emfisema adalah terdapatnya destruksi dari jaringan alveoli.
Secara faal menyebabkan paru kehilangan recoilnya dan kehilangan pembuluh darah
yang terdapat di unit paru tersebut, sehingga sebagian unit paru ini tidak berfungsi
lagi dan diambil alih oleh unit paru lainnya.
Berdasarkan efek emfisema pada asinus maka emfisema dapat dibagi menjadi 4 tipe,
yakni:
- Emfisema asinus distal atau emfisema paraseptal.
Lesi ini biasanya terjadi di sekitar septum lobules, bronkus, dan pembuluh darah atau
di sekitar pleura. Bila terjadi di sekitar pleura maka mudah menimbulkan
pneumotoraks pada orang muda.

Page | 35
- Emfisema sentrilobular disebut juga emfisema asinus proksimal atau emfisela
bronkiolus respiratorius. Biasanya terjadi bersama-sama dengan pneumoconiosis atau
penyakit-penyakit oleh karena debu lainnya, penyakit ini erat hubungannya dengan
perokok, bronchitis kronik, dan infeksi saluran napas distal. Penyakit ini paling sering
didapat bersamaan dengan obstruksi kronik dan berbahaya bila terdapat pada bagian
atas paru.
- Emfisema panasinar.
Biasanya terjadi pada seluruh asinus. Secara klinis berhubungan erat dengan
defisiensi alfa antitrypsin, serta bronkus dan bronkiolus obliterasi. Salah satu
bentuknya adalah sindroma Swyer-James atau Mac Leod dimana sebelah paru
menjadi hiperlusen dan karenanya disebut dengan unilateral pulmonal
hypertransradiansi. Disebut dengan bronkiektasis tanpa atelektasis oleh karena udara
terperangkap pada tiap ekspirasi dan diperkirakan terdapat sistem kolateral ventilasi
yang mencegah terjadinya atelektasis pad bagian distal dari bronkus yang tersumbat.
Emfisema jarang terjadi akan tetapi bila terjadi tipenya adalah tipe panasinar.
- Emfisema irregular atau emfisema jaringan parut.
Biasanya terlokalisir, bentuknya irregular dan tanpa gejala klinis. Salah satu bentuk
emfisema yang lain adalah emfisema jaringan parut yang berbentuk irregular.
Jaringan parut yang menyebabkan irregular dari emfisema ini berhubungan dengan
tuberkulosa, histoplasmosis, dan pneumoconiosis. Begitu pula eosinofilik granuloma
dalam bentuk irregular dan limfangileiomiomatosis.
4. TB Paru
TB paru adalah penyakit infeksi kronik pada paru-paru yang sering dihubungkan dengan
tempat tinggal urban atau lingkungan yang padat. Kuman penyebabnya adalah
Mycobacterium tuberculosis, yakni bakteri tahan asam gram, batang gram (-). Dinding
kuman ini mengandung lipid yang membuat bakteri ini tahan terhadap asam, lingkungan
yang kering, dan kuman ini dapat hidup di dalam makrofag. Kuman ini juga sering
mengalami dormant, dan bisa menjadi aktif lagi kapan saja. Sifat kuman ini aerob (suka
oksigen), sehingga predileksinya pada apex paru-paru yang mengandung banyak oksigen.
Keluhan pasien TB juga bermacam-macam, diantaranya adalah: demam subfebris, batu
darah, sesak napas, nyeri dada, malaise. Pada pemeriksaa fisik ditemukan anemia, berat

Page | 36
badan turun, demam subfebris, kurus. Gambaran radiologinya ada infiltrate/cavitas pada
paru yang awalnya terlihat bercak-bercak opaque. Untuk memastikan diagnosis perlu
dilakukan pengambilan sputum. Bila ditemukan adanya kuman BTA pasien bisa
dikatakan positif TB paru. Lalu untuk uji resistensi obat bisa dilakukan kultur dari
bakteri. Pada anak-anak, cara untuk menegakkan diagnosis pernah/sedang terinfeksi
kuman tuberculosis bisa dilakukan tes Tuberculin / Matoux. Dan untuk pencegahannya
dapat menggunakan vaksin yang diberi nama BCG (Bacillus Calmette Guerin).

H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan asma secara garis besar dapat dibagi dua yaitu tindakan pengobatan dan
usaha pencegahan. Tindakan pengobatan dilakukan pada keadaan serangan, dapat dilakukan
dengan atau tanpa pengobatan. Pencegahan bertujuan agar serangan yang berikut menjadi
berkurang atau berkurang sama sekali. Suatu serangan yang ringan kadang-kadang dapat
menjadi berat dan berkepanjangan serta membutuhkan penanganan yang khusus. Keadaan ini
disebabkan oleh karena penderita asma sering mempunyai pandangan yang salah terhadap
penyakitnya. Pandangan yang salah tersebut adalah :11
1. Tidak ada sesak berarti tidak ada serangan
2. Batuk terutama malam hari bila tidak disertai mengi, bukan gejala asma
3. Obat-obatan hanya digunakan bila ada sesak atau bila sesaknya berat
4. Berbahaya bila makan obat terus menerus atau bila terlalu lama
5. Obat asma yang disemprot (inhaler) berbahaya dan digunakan hanya bila perlu sekali.
Untuk mengatasi keadaan diatas dan mengusahakan agar pengobatan lebih berhasil, maka
perlu kerja sama antara dokter dengan penderita serta keluarganya. Mereka hendaklah diberi
tanggung jawab untuk mengontrol penyakit.
Tujuan terapi :
1. Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah kekambuhan
3. Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta mempertahankannya
4. Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal termasuk melakukan exercise

Page | 37
5. Menghindari efek samping obat asma
6. Mencegah obstruksi jalan napas yang irreversible

 Obat-obatan :12
1. Bronkodilator
Obat ini adalah obat utama yang mengatasi obstruksi saluran napas, tiga golongan
bronkodilator adalah xantin, simpatomimetik, dan antikolinergik.
Teofilin adalah derivat xantin yang paling kuat efek bronkodilatornya dibandingkan derivat
xanthin yang lain, tetapi efek bronkodilatornya lebih lemah dibandingkan dengan inhalasi
beta 2 agonis. Teofilin dapat menurunkan bronkospasme karena provokasi beban kerja, juga
dapat mengurangi hiperreaktivitas bronkus non spesifik, tetapi kedua efek ini kurang kuat
dibandingkan obat inhalasi beta2 agonis. Teofilin juga menghambat degranulasi sel mast
dengan akibat mencegah pelepasan mediator yang dapat menimbulkan bronkospasme dan
inflamasi saluran napas. Selain itu teofilin meningkatkan kontraktilitas diafragma. Pemakaian
teofilin dengan bronkodilator lain bersifat aditif. Efek terapeutik dicapai dengan kadar obat
dalam serum antara 10-20 mcg/ml. Dosis toksik menimbulkan gejala-gejala mual, muntah ;
gelisah, kejang, dan penurunan kesadaran.
Golongan simpatomimetik adalah bronkodilator utama oleh karena mempunyai efek
bronkodilatasi yang kuat dan disamping itu juga meningkatkan kecepatan aliran lendir
disaluran napas. Obat yang bekerja relatif selektif terhadap reseptor disaluran napas disebut
beta2 agonis. Termasuk golongan ini adalah fenoterol, terbutalin, metaproterenol, dan
salbutamol. Obat ini paling baik diberikan secara inhalasi oleh karena memberikan efek
terapeutik yang cepat dan efek samping seperti tremor dan palpitasi minimal .
Obat antikolinergik seperti ipratropium bromid mempunyai efek bronkodilatasi yang lemah
beta2agonis dan lebih mempunyai efek pada bronkitis kronik atau PPOM dibandingkan
dengan penderita asma, obat ini memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan obat
bronkodilator lain.

Kortikosteroid
Hanya kortikosteroid merupakan obat yang secara langsung mempunyai efek terhadap
komponen inflamasi saluran napas. Manfaat anti asma terjadi melalui penekanan inflamasi

Page | 38
dan menghambat penglepasan mediator dari sel mast. Obat ini juga meningkatkan kerja obat
beta 2 agonis dengan mensitisasi beta2 reseptor. Kortikosteroid sangad efektif untuk
mengontrol asma kronik dan obat ini harus diberikan pada asma akut berat, karena akan
memberikan efek terapi yang jelas serta menurunkan angka kematian.
Selain obat diatas obat lain seperti antibiotik , mukolitik, dan ekspektoran diberikan atas
indikasi . Sedangkan pemberian obat penenang tidak dianjurkan karena dapat menekan pusat
pernapasan. Anti histamin akan mengentalkan sekret, sebaiknya tidak diberikan kecuali bila
jelas ada tanda-tanda alergi.
Disamping terapi obat-obatan perlu juga diperhatikan nutrisi panderita. Hidrasi harus cepat
agar reak menjadi encer. Makanan hendaklah cukup gizi agar daya tahan meningkat,
pemberian bronkodilator sering menimbulkan mual, oleh sebab itu makan dalam porsi kecil
lebih dianjurkan. Hal lain yang tidak kurang pentingnya adalah menanggulangi penyakit-
penyakit yang sering berhubungan dengan asma. Penyakit tersebut adalah rinitis, polip nasal,
sinusitis, dan dermatitis atopik. Penanganan yang simultan perlu dipertimbangkan .
Pada asma yang ringan diberikan bronkodilator inhalasi sebagai pilihan pertama, bila asma
menjadi lebih berat dapat diberikan kombinasi bronkodilator oral. Pada serangan asma akut
berat obat-obat diberikan secara sistemik dan penderita perlu dirawat.

Table 1.1. Pengobatan asma jangka panjang berdasarkan berat penyakit


Derajat Asma Obat pengontrol (Harian) Obat Pelaga
Asma Persisten Tidak Perlu  Bronkodilator aksi singkat, yaitu
inhalasi agonis beta 2 bila perlu
 Intensitas pengobatan tergantung
berat eksaserbasi
 Inhalasi agonis beta 2 atau kromolin
dipakai sebelum aktivitas atau
pajanan alergen
Asma Persisten  Inhalasi Kortikosteriod 200-500  Inhalasi agonis beta 2 aksi singkat
Ringan μg/kromolin/nedokromil atau teofilin lepas bila perlu dan tidak melebihi 3-4
lambat kali sehari
 Bila perlu ditingkatkan sampai 800 μg atau
ditambahkan bronkodilator aksi lama
terutama untuk mengontrol asma malam.

Page | 39
Dapat diberikan agonis beta 2 aksi lama
inhalasi atau oral atau teofilin lepas lambat.
Asma Persisten  Inhalasi kortikosteroid 800-2.000 μg  Inhalasi agonis beta 2 aksi singkat
Sedang  Bronkodilator aksi lama terutama untuk bila perlu dan tidak melebihi 3-4
mengontrol asma malam, berupa agonis beta sehari
2 aksi lama inhalasi atau oral atau teofilin
lepas lambat
Asma Persisten  Inhalasi kortikosteroid 800-2.000 μg atau
Berat lebih
 Bronkodilator aksi lama, berupa agonis beta
2 inhalasi atau oral atau teofilin lepas lambat
 Kortikosteroid oral jangka panjang

Tabel 1.2 Terapi serangan asma akut


BERATNYA TERAPI LOKASI
SERANGAN
RINGAN Terbaik :  Di rumah
Aktivitas hampir normal  Agonis beta-2 isap (MDI) 2 isap boleh
Bicara dalam kalimat diulangi 1 jam kemudian atau tiap 20
penuh menit dalam 1 jam
Denyut nadi < 100/menit Alternatif :
(APE > 60%)  Agonis beta-2 oral dan atau 3x > -1
tablet (2mg) oral
 Teofilin 75-150 mg
 Lama terapi menurut kebutuhan
SEDANG Terbaik :  Puskesmas
 Hanya mampu  Agonis beta-2 secara nebulisasi 2,5-5  Klinik rawat jalan
berjalan jarak dekat mg, dapat diulangi sampai dengan 3 kali  Unit gawat darurat
 Bicara dalam kalimat dalam 1 jam pertama dan dapat  Praktek dokter umum
terputus- putus dilanjutkan setiap 1-4jam kemudian  Dirawat RS bila tidak respons dalam
 Denyut nadi 100- Alternatif : 2-4 jam
120/menit  Agonis beta 2 i.m/adrenalin s.k.
 (APE 40 – 60%)  Teofilin iv 5 mg/kg BB/iv pelan – pelan
dan
 Steroid iv/ kortison 100-200 mg,
deksametason 5 mg iv

Page | 40
 Oksigen 4 liter/menit
BERAT Terbaik :  Unit gawat darurat
 Sesak pada istirahat  Agonis beta-2 secara nebulisasi dapat  Rawat bila tidak respons dalam 2 jam
 Bicara dalam kata- diulangi s.d. 3 kali dalam 1 jam pertama maksimal 3 jam
kata terputus selanjutnya dapat diulang setiap 1-4jam  Pertimbangkan rawat ICU bila
 Denyut nadi > 120 kemudian cenderung memburuk progresif
L/menit  Teofilin iv dan infus
 (APE < 40% atau 100  Steroid iv dapat diulang/8-12 jam
L/menit)  Agonist beta-2 sk/iv/6 jam
 Oksigen 4 liter/menit
 Pertimbangkan nebulisasi ipratropium
bromide 20 tetes
MENGANCAM JIWA Terbaik :  ICU
 Kesadaran menurun  Lanjutkan terapi sebelumnya
 Kelelahan  Pertimbangkan intubasi dan ventilasi
 Sianosis mekanik
 Henti napas  Pertimbangkan anestesi umum untuk
terapi pernapasan intensif. Bila perlu
dilakukan kurasan bronko alveolar
(BAL)

Yang termasuk obat antiasma adalah :


1. Bronkodilator
a. Obat ini mempunyai efek bronkodilator.Terbutalin, salbutamol, dan feneterol
memiliki lama kerja 4-6 jam , sedangkan agonis B 2 long acting bekerja lebih dari 12
jam, seperti salmeterol, formoterol, bambuterol, dan lain-lain. Bentuk aerosol dan
inhalasi memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan dosis yang jauh lebih
kecil yaitu sepersepuluh dosis oral dan pemberiannya lokal.
b. Metilxanthin
Teofilin termasuk golongan ini. Efek bronkodilatasi berkaitan dengan konsentrasinya
didalam serum. Efek samping obat ini dapat ditekan dengan pemantauan kadar
teofilin serum dalam pengobatan jangka panjang.
c. Antikolinergik
Golongan ini menurunkan tonus vagus intrinsik dari saluran napas.

Page | 41
2. Anti inflamasi
Antiinflamasi menghambat inflamasi jalan napas dan mempunyai efek supresi dan
profilaksis.
a. Kortikosteroid
b. Natrium kromolin (sodium cromoglycate) merupakan antiinflamasi non steroid.
Terapi awal, Yaitu :
1. Oksigen 4-6 liter/menit
2. Agonis B2 (salbutamol 5 mg atau feneterol 2,5 mg atau terbutalin 10 mg) inhalasi
nebulasi dan pemberiannya dapat diulang setiap 20menit sampai 1 jam. Pemberian agonis
B2 dapat secara subkutan atau iv dengan dosis salbutamol 0,25 mg atau terbutalin 0,25
mg dalam larutan dekstrosa 5% dan diberikan perlahan.
3. Aminofilin bolus iv 5-6 mg/kgBB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam
sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis.
4. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg iv jika tidak ada respons segera atau pasien
sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.
 Respon terhadap terapi awal baik, jika didapatkan keadaan berikut :
1. Respon menetap selama 60 menit setelah pengobatan
2. Pemeriksaan fisik normal
3. Arus puncak respirasi (APE) > 70% , jika respon tidak ada atau tidak baik terhadap terapi
awal maka pasien sebaiknya dirawat dirumah sakit.
 Terapi asma kronik adalah sebagai berikut :
1. Asma ringan: agonis B 2 inhalasi bila perlu atau agonis B2 oral sebelum exercise atau
terpapar alergen
2. Asma sedang : anti inflamasi setiap hari dan agonis B2 inhalasi bila perlu
3. Asma berat : Steroid inhalasi setiap hari, teofilin slow release atau agonis B2 long acting,
steroid oral selang sehari atau dosis tunggal harian dan agonis B2 inhalasi sesuai
kebutuhan.

I. Preventif

Page | 42
Semua serangan penyakit asma harus dicegah. Serangan penyakit asma dapat dicegah jika
faktor pemicunya diketahui dan bisa dihindari. Serangan yang dipicu oleh olah raga bisa
dihindari dengan meminum obat sebelum melakukan olah raga.
Ada usaha-usaha pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah datangnya serangan
penyakit asma, antara lain :
1. Menjaga kesehatan
2. Menjaga kebersihan lingkungan
3. Menghindarkan faktor pencetus serangan penyakit asma
4. Menggunakan obat-obat antipenyakit asma
Setiap penderita harus mencoba untuk melakukan tindakan pencegahan. Tetapi bila
gejala-gejala sedang timbul maka diperlukan obat antipenyakit asma untuk
menghilangkan gejala dan selanjutnya dipertahankan agar penderita bebas dari gejala
penyakit asma.
Menjaga Kesehatan
Menjaga kesehatan merupakan usaha yang tidak terpisahkan dari pengobatan penyakit
asma. Bila penderita lemah dan kurang gizi, tidak saja mudah terserang penyakit tetapi
juga berarti mudah untuk mendapat serangan penyakit asma beserta komplikasinya.
Usaha menjaga kesehatan ini antara lain berupa makan makanan yang bernilai gizi baik,
minum banyak, istirahat yang cukup, rekreasi dan olahraga yang sesuai. Penderita
dianjurkan banyak minum kecuali bila dilarang dokter, karena menderita penyakit lain
seperti penyakit jantung atau ginjal yang berat.
Banyak minum akan mengencerkan dahak yang ada di saluran pernapasan, sehingga
dahak tadi mudah dikeluarkan. Sebaliknya bila penderita kurang minum, dahak akan
menjadi sangat kental, liat dan sukar dikeluarkan.
Pada serangan penyakit asma berat banyak penderita yang kekurangan cairan. Hal ini
disebabkan oleh pengeluaran keringat yang berlebihan, kurang minum dan penguapan
cairan yang berlebihan dari saluran napas akibat bernapas cepat dan dalam.

Menjaga kebersihan lingkungan


Lingkungan dimana penderita hidup sehari-hari sangat mempengaruhi timbulnya
serangan penyakit asma. Keadaan rumah misalnya sangat penting diperhatikan. Rumah

Page | 43
sebaiknya tidak lembab, cukup ventilasi dan cahaya matahari.
Saluran pembuangan air harus lancar. Kamar tidur merupakan tempat yang perlu
mendapat perhatian khusus. Sebaiknya kamar tidur sesedikit mungkin berisi barang-
barang untuk menghindari debu rumah.
Hewan peliharaan, asap rokok, semprotan nyamuk, atau semprotan rambut dan lain-lain
mencetuskan penyakit asma. Lingkungan pekerjaan juga perlu mendapat perhatian
apalagi kalau jelas-jelas ada hubungan antara lingkungan kerja dengan serangan penyakit
asmanya.

Menghindari Faktor Pencetus


Alergen yang tersering menimbulkan penyakit asma adalah tungau debu sehingga cara-
cara menghindari debu rumah harus dipahami. Alergen lain seperti kucing, anjing,
burung, perlu mendapat perhatian dan juga perlu diketahui bahwa binatang yang tidak
diduga seperti kecoak dan tikus dapat menimbulkan penyakit asma.
Infeksi virus saluran pernapasan sering mencetuskan penyakit asma. Sebaiknya penderita
penyakit asma menjauhi orang-orang yang sedang terserang influenza. Juga dianjurkan
menghindari tempat-tempat ramai atau penuh sesak.
Hindari kelelahan yang berlebihan, kehujanan, penggantian suhu udara yang ekstrim,
berlari-lari mengejar kendaraan umum atau olahraga yang melelahkan. Jika akan
berolahraga, lakukan latihan pemanasan terlebih dahulu dan dianjurkan memakai obat
pencegah serangan penyakit asma.
Zat-zat yang merangsang saluran napas seperi asap rokok, asap mobil, uap bensin, uap
cat atau uap zat-zat kimia dan udara kotor lainnya harus dihindari.
Perhatikan obat-obatan yang diminum, khususnya obat-obat untuk pengobatan darah
tinggi dan jantung (beta-bloker), obat-obat antirematik (aspirin, dan sejenisnya). Zat
pewarna (tartrazine) dan zat pengawet makanan (benzoat) juga dapat menimbulkan
penyakit asma.

Menggunakan obat-obat antipenyakit asma

Page | 44
Pada serangan penyakit asma yang ringan apalagi frekuensinya jarang, penderita boleh
memakai obat bronkodilator, baik bentuk tablet, kapsul maupun sirup. Tetapi bila ingin
agar gejala penyakit asmanya cepat hilang, jelas aerosol lebih baik. Pada serangan yang
lebih berat, bila masih mungkin dapat menambah dosis obat, sering lebih baik
mengkombinasikan dua atau tiga macam obat. Misalnya mula-mula dengan aerosol atau
tablet/sirup simpatomimetik (menghilangkan gejala) kemudian dikombinasi dengan
teofilin dan kalau tidak juga menghilang baru ditambahkan kortikosteroid. Pada penyakit
asma kronis bila keadaannya sudah terkendali dapat dicoba obat-obat pencegah penyakit
asma. Tujuan obat-obat pencegah serangan penyakit asma ialah selain untuk mencegah
terjadinya serangan penyakit asma juga diharapkan agar penggunaan obat-obat
bronkodilator dan steroid sistemik dapat dikurangi dan bahkan kalau mungkin dihentikan
Terapi profilaksis :
Obat-obatan pencegahan asma bertujuan mencegah serangan asma, tetapi tidak
mempunyai manfaat pada saat timbul serangan . Obat ini dapat mencegah serangan asma
karena mempunyai efek menurunkan hiperreaktivitas bronkus dan mencegah penglepasan
mediator dari sel mast.
1. Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal yang diberikan secara inhalasi mempunyai manfaat untuk
pencegahan asma. Pemberian bodesonide selama 8 minggu dengan dosis 2x200 mcg
memberikan perbaikan yang sangat bermakna pada penderita asma. Obat ini selain
menurunkan hiperreaktivitas bronkus, meningkatkan fungsi paru juga dapat mencegah
terjadinya serangan karena beban kerja fisik pada penderita exercise induced asthma.
Pemberian secara inhalasi dalam waktu lama kadang-kadang dapat menimbulkan efek
samping. ES yang timbul dapat berupa perubahan suara dan infeksi jamur dimulut dan
saluran napas atas.
2. Kromolin
Disodium cromoglycate(DSCG) tidak mempunyai manfaat menghilangkan gejala asma
pada waktu serangan. Obat ini bekerja menstabilkan sel mast dan mengurangi
penglepasan mediator humoral penyebab bronkokonstriksi. Obat ini terutama digunakan
untuk asma kronik yang ringan. Pada anak-anak manfaatnya lebih banyak terlihat
dibandingkan pada orang dewasa.

Page | 45
3. Ketotifen.
Obat ini tergolong anti histamin, mempunyai efek menghambat penglepasan mediator
dari sel mast dan juga sangat kompetitif antagonis dengan histamin. Obat ini terutama
mempunyai efek profilaksis pada asma ekstrinsik dan pada anak-anak, efek samping yang
timbul adalah mengantuk. Peneliti di RS Persahabatan menunjukkan bahwa ketotifen
juga menurunkan hipereaktivitas bronkus yang diprovokasi dengan histamin.

J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering terjadi pada penyakit asma adalah infeksi sekunder.
Infeksi sekunder dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, dll. Semua jenis infeksi
pada paru-paru dapat merupakan komplikasi dari asma. Pneumonia merupakan jenis
infeksi sekunder yang terbanyak ditemukan pada penderita asma, terutama pada usia
lanjut.13
•Emfisema
Emfisema ditandai dengan pembesaran permanen rongga udara yang terletak distal dari
bronkiolus terminal disertai destruksi dinding rongga tersebut. Terdapat beberapa
penyakit dengan pembesaran rongga udara yang tidak disertai destruksi; hal ini lebih
tepat disebut overinflation.
Emfisema didefinisikan tidak saja berdasarkan sifat anatomik lesi, tetapi juga oleh
distribusinya di lobulus dan asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak distal dari
bronkiolus terminal dan mencakup bronkiolus respiratorik, duktus alveolaris, dan
alveolus. Terdapat tiga jenis emfisema:
a. Emfisema sentriasinar (sentrilobular)
b. Emfisema panasinar (panlobular)
c. Emfisema asinar distal (paraseptal)
Gejala pertama dari emfisema biasanya adalah dispnea, gejala ini muncul perlahan, tetapi
progresif. Pada pasien yang sudah mengidap bronkitis kronis atau bronkitis asmatik

Page | 46
kronis, keluhan awal mungkin adalah batuk dan mengi. Berat badan pasien sering turun
dan mungkin cukup banyak seolah-olah pasien mengidap keganasan. Uji fungsi paru
memperlihatkan penurunan FEV1 dengan FVC normal atau mendekati normal.
Gambaran kalasik pada individu yang tidak memiliki komponen bronkitis adalah dada
berbentuk tong dan dispnea, dengan ekspirasi yang jelas memanjang, dan pasien duduk
maju dalam posisi membungkuk ke depan, berupaya memeras udara keluar dari paru
setiap kali ekspirasi. Pada para pasien ini, ruang udara sangat membesar dan kapasitas
difusi rendah. Dispnea dan hiperventilasi tampak jelas sehingga sampai pada stadium
lanjut penyakit pertukaran gas masih adekuat dan nilai gas darah relatif normal. Karena
dispnea menonjol sementara oksigenasi hemoglobbin adekuat, para pasien kadang-
kadang disebut pink puffer.
• Kor Pulmonale Menahun
Kor pulmonale adalah penyakit rongga jantung kanan akibat hipertensi pulmonal yang
disebabkan oleh penyakit pembuluh darah paru atau parenkim paru. Yang tidak termasuk
dalam definisi ini adalah kasus hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh gagal ventrikel
kiri atau penyakit primer lain di sisi kiri jantung serta hipertensi pulomnal yang
disebabkan oleh penyakit jantung kongenital. Penyakit dapat bersifat aku dan kronis.14
Kor pulmonale kronis dapat disebabkan oleh:
1. Penyakit paru: penyakit paru obstruktif kronis, fibrosisi interstitium paru difus,
atelektasis luas persisten, dan fibrosis kistik.
2. Penyakit pembuluh darah paru: embolisme paru, skelrosis primer pembuluh paru,
arteritis pulmonalis ekstensif
3. Penyakit yang memengaruhi gerakan dada: kifokoliosos, kegemukan berat
(pickwickian syndrome), dan penyakit neuromuskulus
4. Gangguan yang memicu konstriksi arteriol paru: asidosis metabolik, hipoksemia.
Penyakit-penyakit di atas dapat menyebabkan hipertensi pulmonal. Dari penyakit
tersebut, penyebab tersering adalah penyakit obstruktif kronis. Pada kor pulmonale
kronis, berbeda dengan kor pulmonale akut, hipertensi pulmonal yang menetap
memungkinkan terjadinya hipertrofi ventrikel kanan kompensatorik. Ventrikel kanan
kurang mampu mengakomodasi peningkatan beban tekanan dibandingkan ventrikel kiri.
Seiring degan waktu, ventrikel kanan secaraprogeresif mengalami dilatasi dan akhirnya

Page | 47
tidak mampu mempertahankan curah jantung pada tingakat normal. Apabila hal ini
terjadi, timbul gekala dan tanda khas gagal jantung kongestif sisi kanan. Dekompensasi
akut dapat terjadi setiap saat pada pasien dengan kor pulmonale kronis. Pasien kor
pulmonale juga berisiko tinggi mengalami aritmia ventrikel yang mematikan.
• Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan dilatasi (ektasis) dan
distorsi bronkus local yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten, ireversibel.
Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan pada dinding bronkus berupa
hilangnya elastisitas otot polos bronkus, tulang rawan, dan pembuluh darah.
Bronkiektasis biasanya terjadi sebagai penyerta pada bronchus yang obstruksi. Pada
bagian distal obstruksi tersebut akan terjadi infeksi, destruksi bronkus, dan akhirnya
bronkiektasis. Ciri khas penyakit ini adalah: sesak napas, demam berulang, batuk kronik
disertai produksi sputum, adanya hemoptisis, dan didapatkan sputum 3 lapis. Gambaran
radiologi yang khas adalah adanya kista-kista kecil dengan fluid level, mirip seperti
gambaran sarang tawon (honey comb appearance) pada daerah yang terkena.

K. PROGNOSIS
Sulit untuk meramalkan prognosis dari asma bronkial yang tidak disertai komplikasi. Hal
ini akan tergantung pula dari umur, pengobatan, lama observasi dan definisi. Prognosis
selanjutnya ditentukan banyak faktor. Dari kepustakaan didapatkan bahwa asma pada
anak menetap sampai dewasa sekitar 26% - 78%.8
Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma, prognosis lebih baik, kecuali
kalau mulai pada umur kurang dari 2 tahun. Adanya riwayat dermatitis atopik yang
kemudian disusul dengan rinitis alergik, akan memberikan kemungkinan yang lebih besar
untuk menetapnya asma sampai usia dewasa. Asma yang mulai timbul pada usia lanjut
biasanya berat dan sukar ditanggulangi. Smith menemukan 50% dari penderitanya mulai
menderita asma sewaktu anak. Karena itu asma pada anak harus diobati dan jangan
ditunggu serta diharapkan akan hilang sendiri.

Page | 48
KESIMPULAN

Hipotesa diterima, pasien dengan sesak nafas, batuk berdahak dan tanpa demam,
menderita Asma Bronkial. Untuk menghindari adanya komplikasi, diperlukan diagnose
tepat dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mengurangi terjadinya komplikasi
bahkan kematian

Page | 49
Bab III
Daftar Pustaka
1. Bickley LS. Guide to phisical examination. 10th ed. Philadelphia:Wolters Kluwer
Lippincott Williams & Wilkins, 2009.p.296-319.
2. Levitzky MG. Pulmonary physiology. 6th ed. New York: Mc Graw Hill, 2003.p.55-61.
3. Sherwood L. Human physiology: from cells to systems. 6thed. Thomson, Wets Virginia,
2007.h.430-2.
4. Gandasoebrata R. Penuntun laboratorium klinik. Jakarta:Dian Rakyat, 2006.h.156.
5. Dahlan Z. Masalah asma di Indonesia dan penanggulangannya. Cemin Dunia Kedokteran
2005; 125:5-6.
6. McFadden ER. Asthma. In: Kasper DL, Braunwal E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL,
Jameson JL, editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York: Mc
Graw Hill, 2005.p.1508-11.
7. Welsh DA, Thomas DA. Obstructive lung disease. In: Ali J, Summer W, Levitzky M,
editors. Pulmonary Pathophysiology. 2nd ed. New York: Mc Graw Hill, 2005.p.86-7.
8. Baratawidjaja K, Sundaru H. Asma bronkial: patofisiologi dan terapi. Cemin Dunia
Kedokteran 2005; 121:29-30
9. Arif M, Kuspuji T, Rakhmi S, dkk. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapius, 2001.h.476-8.
10. Rab HT. Bronkitis kronik. Ilmu penyakit paru, Jakarta: EGC, 1996.h.181-3,207-10,213-5.

Page | 50
11. Asma bronkial. Dalam: Manjoer A, Suprohaita, wardhani WI, Setiowulan W, editor.
Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aescupularis Fakultas Kedokteran
Uiversitas Indonesia, 2005. h. 476-80.
12. Setiawati A, Gan S. Obat adrenergik . Dalam: sulistia gan gunawan, editor. Farmakologi
dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta : Departermen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran – Universitas Indonesia; 2008.h.71-81.
13. Maitra A, Kumar V. Paru dan saluran napas atas. Dalam: Kumar V, Cotran RZ, Robbins
SL. Buku Ajar Patologi Robbins Volume 2. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2003.h. 515-8.
14. Burns DK, Kumar V. Jantung. Dalam: Kumar V, Cotran RZ, Robbin SL. Buku Ajar
Patologi Robbins Volume 2. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2003.h.418-9.

Page | 51

Anda mungkin juga menyukai