Anda di halaman 1dari 9

I.

SIKLUS SEL NORMAL


Sel eukariotik dewasa memiliki sistem yang seimbang dalam proses produksi
berkelanjutan DNA (transkripsi) dan protein (translasi). Protein secara konstan
didegradasi dan digantikan bergantung pada kebutuhan seluler yang spesifik. Sel
melalui beberapa fase yang disebut sebagai siklus sel, di mana DNA didistribusikan
ke 2 sel anakan (mitosis) dan diduplikasi oleh masing-masing (fase sintesis). Proses
ini dikontrol pada checkpoint kunci yang memantau status dari suatu sel, contohnya,
jumlah DNA yang ada. Siklus sel diregulasi oleh sejumlah kecil heterodimerik protein
kinase yang terdiri atas subunit regulatorik (cyclin) dan subunit katalitik (cyclin-
dependent kinase). Hubungan antara cyclin dengan cyclin-dependent kinase (CdkC)
menentukan protein mana yang akan difosforilasi pada titik-titik spesifik dalam proses
siklus sel.

Gambar 1. Siklus Sel


Siklus sel dibagi dalam 4 fase mayor: fase M (mitosis), fase G1 (periode antara
mitosis dan dimulai proses replikasi DNA), fase S (sintesis DNA) dan fase G2
(periode antara selesainya sintesis DNA dan mitosis). Sel yang telah bermitosis dapat
“keluar” dari siklus sel ke dalam fase yang dibseut fase G0 dan akan tetap bertahan
dalam beberapa hari, minggu atau bahkan seumur hidup tanpa adanya proliferasi
selanjutnya. Durasi dari suatu siklus sel dapat sangat bervariasi, meskipun sebagian
besar dari sel-sel pada manusia dapat mengakhiri suatu siklus sel dalam waktu kurang
lebih 24 jam. Pada siklus sel yang tipikal, proses mitosis berlangsung selama 30-60
menit, fase G1 antara 7-10 jam, fase S sekitar 10 jam dan fase G2 sekitar 5 jam.
Dengan memperhatikan siklus sel, terdapat 3 subpopulasi sel yang terlibat:
1. Sel terdiferensiasi tahap terminal tidak dapat masuk kembali dalam
siklus sel
2. Sel Quiscent (G0) dapat masuk dalam siklus sel bila distimulasi secara
tepat
3. Sel yang sedang membelah termasuk dalam siklus sel
Sel darah merah, sel otot lurik, sel otot polos uterus dan sel-sel saraf
merupakan contoh dari sel-sel terdiferensiasi tahap terminal. Sel-sel lain, seperti
fibroblas, keluar dari fase G1 ke fase G0 dan dianggap keluar dari siklus sel. Sel-sel ini
kemudian akan masuk kembali ke dalam siklus sel mengikuti adanya paparan dari
suatu stimuli atau rangsangan yang spesifik, contohnya faktor pertumbuhan (growth
factors) dan hormon steroid. Sel yang sedang membelah dapat ditemukan pada
saluran gastrointestinal, kulit dan pada servix.

Gambar 2. Faktor Eksternal dapat menyebabkan respon sel yang spesifik


1. Fase G1
Sebagai respon dari adanya suatu stimuli atau rangsangan eskternal, sel
akan memasukin siklus sel dengan berpindah dari fase G0 ke fase G1.
Proses yang terjadi pada fase G1 akan mengarah pada sintesis enzim
dan protein regulator yang dibutuhkan untuk proses sintesis DNA pada
fase S dan secara keseluruhan diregulasi oleh kompleks cyclin
dependant kinase-cyclin G1 (G1 CdkC). Kompleks G1CdkC akan
menginduksi degradasi dari inhibitor fase S pada akhir fase G1.
Pelepasan komplek CdkC fase S secara bertahap akan menstimulasi
masuknya sel dalam fase S. Variasi durasi pada fase G1 dalam siklus
sel berkisar antara kurang dari 8 jam sampai lebih dari 100 jam,
bergantung pada perbedaan pada masing-masing tipe sel.
2. Fase S
Konten atau isi dari DNA yang terdapat pada inti sel diduplikasi pada
fase S di siklus sel ini. Kompleks CdkC fase S mengaktifkan protein
pada kompleks prereplikasi DNA yang terdapat pada titik awal
replikasi DNA selama G1. Kompleks prereplikasi mengaktifkan inisiasi
dari proses replikasi DNA dan menginhibisi terbentuknya kompleks
prereplikasi yang baru. Inhibisi ini bertujuan untuk memastikan bahwa
setiap kromosom hanya digandakan atau direplikasi sekali saja pada
fase S.
3. Fase G2
Sintesis RNA dan protein terjadi pada fase G2 dalam siklus sel. Adanya
lonjakan aktivitas biosintesis menghasilkan substrat dan enzim yang
mencapai kebutuhan metabolik dari dua sel anakan. Hal penting lain
yang terjadi pada fase G2 pada proses siklus sel adalah adanya
perbaikan pada error yang terjadi pada proses replikasi DNA yang
dapat terjadi selama fase S. Kegagalan untuk mendeteksi dan
mengoreksi error genetik ini dapat menyebabkan adanya konsekuensi
tambahan secara luas pada organisme atau setidaknya pada individu sel
tersebut.
 Adanya defek pada mekanisme repair DNA berhubungan
dengan meningkatnya insidensi cancer
 Kompleks CdkC mitosis disintesis selama fase S dan G2, tapi
akan inaktif samapi proses sintesis DNA terselesaikan.
4. Fase M
Pembelahan kromosom pada inti sel terjadi pada fase mitosis atau fase
M. Pada fase ini, DNA sel akan didistribusikan secara merata pada
masing-masing sel anakan. Proses mitosis akan menghasilkan DNA
diploid (2n) untuk masing-masing sel anakan somatik. Mengikuti
proses mitosis, sel mamalia eukariotik mengandung DNA diploid,
merefleksikan kariotipe yang meliputi 44 kromosom somatik dan
sebuah komplemen kromosom sex XX atau XY. Pengecualian pada sel
diploid adalah pada sel hepatosit (4n) dan sinsitium fungsional pada
plasenta.
Mitosis kemudian dibagi lagi menjadi profase, metafase, anafase dan
telofase. Kompleks CdkC mitosis menginduksi kondesasi kromosom
pada profase, mengumpulkan apparatus spindle mitosis dan
penyusunan kromosom pada metafase. Aktivasi kompleks promosis
anafase (APC) mengarah pada inaktivasi dari kompleks protein yang
menghubungkan kromatid kembar selama metafase, menyebabkan
terjadinya onset anafase. Pada anafase, kromatid kembar akan bergerak
menuju kutub sel yang berlawanan. Kemudian membran inti sel akan
terpecah menjadi vesikel-vesikel kecil seperti pada fase awal mitosis
dan akan tersusun kembali pada masing-masing kromosom yang telah
terpisah, yang kemudian akan terkondensasi pada telofase. Sitokinesis
adalah proses dari pembelahan sitoplasma, yang juga memisahkan
retikulum endoplasma dan aparatus Golgi pada fase mitosis. Setelah
proses mitosis selesai, sel akan memasuki fase G1 dan akan kembali
masuk dalam siklus sel atau tetap dalam fase G0.

II. KONTROL PEMBELAHAN DAN APOPTOSIS SEL


Proliferasi sel harus terjadi untuk menyeimbangkan kehilangan sel normal dan
menjaga integritas jaringan dan organ. Proses ini membutuhkan ekspresi yang
terkoordinasi dari banyak gen pada waktu yang berbeda-beda selama siklus sel. Saaat
terdapat faktor pertumbuhan, sel-sel quiscent ini melewati apa yang disebut titik
restriksi 14 hingga 16 jam kemudian dan memasuki fase S pada 6 hingga 8 jam
sesudahnya. Titik restriksi atau batas G1 / S menandai titik di mana sel melakukan
proliferasi. Pos pemeriksaan kedua adalah batas G2 / M, yang menandai titik di mana
perbaikan kerusakan DNA harus diselesaikan. Untuk berhasil menyelesaikan siklus
sel, sejumlah gen siklus pembelahan sel (cdc) harus diaktifkan.
 Gen yang berperan pada pembelahan sel
Di antara faktor-faktor yang mengatur titik pemeriksaan pada siklus
sel, protein yang dikodekan oleh kelompok gen cdc2 dan protein cyclin
tampaknya memainkan peran yang sangat penting. Sel mamalia yang
distimulasi oleh faktor pertumbuhan mengekspresikan gen respons awal atau
gen respons tertunda, tergantung pada urutan kronologis kemunculan RNA
spesifik. Gen respons awal dan lambat bertindak sebagai faktor transkripsi inti
dan merangsang ekspresi kaskade gen lain. Gen respons awal seperti c-Jun
dan c-Fos meningkatkan transkripsi gen respons tertunda seperti E2Fs. Faktor
transkripsi E2F diperlukan untuk ekspresi berbagai gen siklus sel dan secara
fungsional diatur oleh protein retinoblastoma (Rb). Pengikatan Rb ke E2F
mengubah E2F dari aktivator transkripsi menjadi penekan transkripsi.
Fosforilasi Rb menghambat fungsi penekananya dan memungkinkan aktivasi
gen yang dimediasi E2F yang diperlukan untuk masuk ke fase S. Kompleks
Cdk4-cyclin D, Cdk6 cyclin D, dan Cdk2-cyclin E menyebabkan fosforilasi
Rb, yang tetap terfosforilasi di seluruh S, G2, dan berbagai fase dari siklus sel.
Setelah selesai mitosis, penurunan tingkat Cdk-cyclins menyebabkan
defosforilasi Rb oleh fosfatase dan, akibatnya, penghambatan E2F pada fase
G1 awal.
Cdk saat ini sedang dievaluasi sebagai target untuk terapi kanker
karena sifatnya yang sering terlalu aktif dalam penyakit kanker dan tidak
berfungsinya protein penghambat Cdk. Ketika sel mendekati transisi fase G1-
S, sintesis cyclin A dimulai. Kompleks Cdk2-cyclin A dapat memicu inisiasi
sintesis DNA dengan membentuk kompleks prereplikasi. Protein p34 cdc2 dan
cyclin spesifik membentuk heterodimer kompleks yang disebut faktor
penunjang mitosis (MPF), yang mengkatalisis fosforilasi protein dan
mendorong sel mengalami mitosis. Cdk1 menyatu dengan cyclin A dan cyclin
B dalam fase G2 dan mendorong aktivitas MPF. Mitosis dimulai dengan
aktivasi gen cdc di titik pemeriksaan G2-M. Setelah pos pemeriksaan G2-M
dilewati, sel mengalami mitosis. Pada kromosom yang mengalami replikasi
secara abnormal, tidak dapat berkembang melewati titik pemeriksaan G2-M.
Gen penekan tumor p53 berrperan dalam kontrol siklus sel. Sel yang
terpapar dengan terapi radiasi akan berhenti pada fase-S yang disertai dengan
adanya peningkatan ekspresi p53. Penundaan ini memungkinkan perbaikan
kerusakan DNA yang diinduksi radiasi. Saat terdapat mutasi p53,
pemberhentian fase-S yang biasanya terjadi setelah terapi radiasi tidak terjadi.
Gen p53 tipe liar dapat dinonaktifkan oleh protein E6 dari human
papillomavirus, mencegah pemberhentian pada fase-S dalam menanggapi
kerusakan DNA.
 Apoptosis
Pengaturan dan pemeliharaan jaringan normal membutuhkan
keseimbangan antara proliferasi sel dan kematian sel terprogram, atau
apoptosis. Ketika proliferasi melebihi kematian sel yang diprogram, hasilnya
adalah hiperplasia. Ketika kematian sel yang diprogram melebihi proliferasi,
hasilnya adalah atrofi. Kematian sel yang diprogram merupakan hal penting
dalam perkembangan embriologis normal. Mekanisme ini menjelaskan
penghapusan jaringan interdigital, fusi palatal, dan perkembangan mukosa
usus. Kematian sel yang terprogram juga merupakan fenomena penting dalam
fisiologi normal. Pengurangan jumlah sel endometrium setelah perubahan
kadar hormon steroid selama siklus menstruasi, sebagian, merupakan
konsekuensi dari kematian sel yang diprogram. Sebagai respons terhadap
androgen, sel granulosa juga menjalani kematian sel terprogram (mis., Atresia
folikuler).
Kematian sel terprogram, atau apoptosis, adalah proses aktif yang
bergantung pada energi dan diprakarsai oleh ekspresi gen tertentu. Proses ini
berbeda dari nekrosis sel, meskipun kedua mekanisme menghasilkan
pengurangan jumlah sel total. Pada kematian sel terprogram, sel menyusut dan
akan difagositosis. Sebaliknya, sel akan membesar dan lisis ketika mengalami
nekrosis sel. Prosesnya tidak membutuhkan dan terjadi sebagai akibat dari
adanya rangsangan bahaya dari luar. Kematian sel terprogram dipicu oleh
berbagai faktor, termasuk sinyal intraseluler dan rangsangan eksogen seperti
paparan radiasi, kemoterapi, dan hormon. Sel yang mengalami kematian sel
terprogram dapat diidentifikasi berdasarkan perubahan histologis, biokimiawi,
dan biologi molekuler. Secara histologis, sel-sel apoptosis menunjukkan
kondensasi seluler dan fragmentasi nukleus. Korelasi biokimiawi dari
kematian sel terprogram termasuk peningkatan ekspresi transglutaminase dan
fluks konsentrasi kalsium intraseluler.
Kematian sel terprogram muncul sebagai faktor penting dalam
perkembangan neoplasma. Secara historis, pertumbuhan neoplastik ditandai
oleh proliferasi sel yang tidak terkontrol yang menghasilkan peningkatan
progresif pada massa tumor. Diketahui bahwa peningkatan beban tumor terkait
dengan penyakit progresif, yang mencerminkan ketidakseimbangan antara
proliferasi sel dan kematian sel. Sel kanker gagal merespon sinyal normal
untuk berhenti berproliferasi, dan juga mungkin gagal mengenali sinyal
fisiologis yang memicu kematian sel yang terprogram.

III. PATOGENESIS SEL KANKER SERVIKS


Infeksi HPV terdeteksi pada hingga 99% wanita dengan karsinoma serviks
skuamosa. HPV adalah agen penyebab, baik pada skuamosa dan adenokarsinoma
serviks, tetapi masing-masing tumor mungkin memiliki jalur karsinogenik yang
berbeda. Ada lebih dari 100 jenis HPV, lebih dari 30 di antaranya dapat memengaruhi
saluran genital bawah. Ada 14 subtipe HPV berisiko tinggi; dua subtipe berisiko
tinggi, 16 dan 18, ditemukan pada 62% karsinoma serviks. Sebagian besar wanita bisa
saja memiliki HPV dalam tubuhnya, tetapi mereka dengan infeksi terus-menerus
dapat mengembangkan lesi serviks displastik preinvasive. Dari lesi tersebut,
karsinoma sel skuamosa pada serviks biasanya muncul di persambungan epitel
skuamokolumnar. Secara umum, perkembangan displasia menjadi kanker invasif
memerlukan beberapa tahun, meskipun waktu dapat sangat bervariasi. Perubahan
molekuler yang terlibat dengan karsinogenesis serviks adalah kompleks dan tidak
sepenuhnya dipahami. Karsinogenesis saat ini diduga merupakan hasil interaksi antara
paparan lingkungan, imunitas, dan variasi genom sel somatik.
Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa onkoprotein HPV mungkin
merupakan komponen penting pada perkembangan sel kanker. Tidak seperti serotipe
risiko rendah, serotipe HPV onkogenik dapat berintegrasi ke dalam DNA manusia.
Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh merupakan awal dari proses yang
mengarah pada transformasi. Integrasi DNA virus dimulai pada daerah E1-E2,
memungkinkan virus untuk bereplikasi di dalam sel serviks. Integrasi menyebabkan
E2 tidak berfungsi dan tidak berfungsinya E2 menyebabkan rangsangan terhadap E6
dan E7.
Gambar 3. Interaksi faktor risiko dengan sel serviks
Mekanisme HPV mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi sel adalah
melalui interaksi protein virus E6 dan E7 dengan masing-masing gen penekan tumor
p53 dan Rb. Protein E7 berikatan dengan protein penekan tumor retinoblastoma (Rb),
sedangkan E6 berikatan dengan protein penekan tumor p53. Penghambatan p53
mencegah penghentian siklus sel dan apoptosis seluler, yang biasanya terjadi ketika
DNA rusak, sedangkan penghambatan Rb mengganggu faktor transkripsi E2F, yang
mengakibatkan proliferasi seluler yang tidak diregulasi. Kedua langkah ini berperang
penting dalam transformasi maligna sel epitel serviks dengan proliferasi sel yang
tidak terkontrol dan kegagalan sel dalam memicu apoptosis sel.
Gambar 4. Peran Onkoprotein HPV E6 dan E7

DAFTAR PUSTAKA
1. Berek JS. 2012. Berek & Novak’s Gynecology. Fifteenth Edition.
Philadelphia: Lippincolt Williams & Wilkins.
2. Hoffman BL, Schorge JO, Bradshaw KD, Halvorson LM, Schaffer JI,
Corton MM. 2016. Williams Gynecology. Third Edition. New York:
McGraw-Hill Education.
3. Ibeanu OA. 2011. Molecular pathogenesis of cervical cancer. Cancer
Biology & Therapy. 11:3; 295-306.

Anda mungkin juga menyukai