Anda di halaman 1dari 18

REFERENSI ARTIKEL

ABSES SUBMANDIBULA

Disusun oleh:
Alvian Chandra B G99172031
Nur Fajri Rahmi G99172128
Sonya Elizabeth G99162165
Kania Deazara G99172097
Alim Nur Rohman G99162160

PEMBIMBING :
drg. Eva Sutyowati Permatasari, Sp.BM., MARS.

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret/RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Referensi artikel dengan judul:

Abses Submandibula

Hari, tanggal: Jumat, 31 Agustus 2018

Oleh:

Alvian Chandra B G99172031


Nur Fajri Rahmi G99172128
Sonya Elizabeth G99162165
Kania Deazara G99172097
Alim Nur Rohman G99162160

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Referensi Artikel

drg. Eva Sutyowati Permatasari, Sp.BM., MARS.


SIP : 33724.57126/DGS/01/449.1/0464/11/2016

2
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi leher dalam adalah salah satu kegawatdaruratan medis dalam


bidang telinga, hidung dan tenggorokan.1,2 Infeksi leher dalam terjadi pada salah
satu atau lebih ruang potensial di dalam leher sebagai akibat dari penjalaran
infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, telinga, hidung, sinus paranasal
dan tenggorokan.1,2 Saat ini, penyebab infeksi leher bagian dalam yang paling
sering ditemukan adalah oleh karena adanya infeksi pada gigi (43%).2,7,9
Infeksi leher bagian dalam yang paling sering terjadi adalah infeksi pada
ruang submandibula atau abses submandibula.3,5,8,10 Abses terjadi sebagai akibat
dari akumulasi pus, yang terbentuk sebagai respon pertahanan tubuh dari adanya
infeksi, pada rongga dalam leher.1 Sebagian besar abses leher dalam disebabkan
oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob maupun fakultatif
anaerob. Pada abses submandibula, diidentifikasi bahwa pada 61% kasus
disebabkan oleh adanya infeksi pada gigi.1
Abses leher dalam dapat mengancam kehidupan bila tidak ditatalaksana
dengan adekuat. Infeksi dapat meluas dengan cepat ke ruang leher dalam lainnya
sehingga dapat menimbulkan penyulit pada penanganannya. Penyulit yang sering
timbul berupa obstruksi jalan napas karena penekanan abses, mediastinitis karena
penyebaran infeksi ke inferior, komplikasi vaskuler (trombosis vena jugularis dan
ruptur arteri karotis), sepsis, osteomielitis, deficit neurologis dan fistel akibat
ruptur dari abses.2 Angka kematian akibat abses submandibula sebelum
dikenalnya antibiotika mencapai 50% dari seluruh kasus yang dilaporkan.7
Namun, sejalan dengan perkembangan antibiotika, perawatan bedah yang baik
dan tindakan yang cepat dan tepat, maka saat ini angka kematian hanya 5%.3

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Abses submandibula adalah salah satu jenis infeksi leher dalam
yang sering terjadi. Infeksi yang terjadi merupakan infeksi sekunder
sebagai akibat penyebaran dari infeksi lain yang terdapat pada gigi, mulut,
telinga, sinus paranasal ataupun tenggorokan.8 Abses terjadi sebagai akibat
dari akumulasi pus, yang terbentuk sebagai respon pertahanan tubuh dari
adanya infeksi, pada salah satu rongga potensial yang ada pada leher yaitu
rongga submandibula.1
Istilah abses submandibula pertama kali dideskripsikan oleh Karl
Friedrich Wilhelm von Ludwig pada tahun 1836. Dia menjelaskan bahwa
abses submandibula merupakan suatu jenis gangren selulitis yang
berkembang secara cepat, yang bermula pada ruang sekitar kelenjar
submandibula, dan menyebar secara langsung tanpa melalui kelenjar
limfe.7 Definisi dari Ludwig itu kemudian dikenal dengan Angina Ludwig.
Namun, perlu diketahui bahwa Abses Submandibula dan Angina Ludwig
sendiri merupakan kondisi yang berbeda. Disebut sebagai Angina Ludwig
jika pasien mengalami selulitis (bukan abses) pada kedua spatium
submandibular dan spatium sublingual yang menyebabkan lingua
terdorong ke arah cranioposterior sehingga mengobstruksi jalan napas.
Selulitis bukanlah abses, pada selulitis didapatkan demarkasi tidak jelas
dengan fluktuasi (-), sedangkan pada abses sebaliknya.1
B. Anatomi
Pengetahuan tentang ruang-ruang di leher dan hubungannya
dengan fascia penting untuk mendiagnosis dan mengobati infeksi.6 Ruang
yang dibentuk oleh berbagai fascia pada leher ini merupakan area yang
berpotensi untuk terjadinya infeksi. Ruang yang berpotensi di leher dalam
yang dapat mengalami infeksi yaitu ruang parotis, ruang submandibular,

4
ruang peritonsilar, retrofaringeal, danger space, ruang prevertebra, dan
ruang mastikator.1
Ruang submandibular merupakan ruang di atas os hyoid
(suprahyoid) dan m. mylohyoid. Di bagian anterior, m. mylohyoid
memisahkan ruang ini menjadi dua yaitu ruang sublingual di superior dan
ruang submaksilar di inferior. Adapula yang membaginya menjadi tiga
diantaranya yaitu ruang sublingual, ruang submental dan ruang
submaksillar.16

Gambar 1. Ruang sublingual di bagian superior dari m. mylohyoid.


Ruang submaksillar di inferior dari m. mylohyoid.
Ruang submaksilar dipisahkan dengan ruang sublingual di bagian
superiornya oleh m. mylohyoid dan m. hyoglossus, di bagian medialnya
oleh m. styloglossus dan di bagian lateralnya oleh corpus mandibula. Batas
lateralnya berupa kulit, fascia superfisial dan m. platysma superficialis
pada fascia servikal bagian dalam. Di bagian inferiornya dibentuk oleh m.
digastricus. Di bagian anteriornya, ruang ini berhubungan secara bebas
dengan ruang submental, dan di bagian posteriornya terhubung dengan
ruang pharyngeal.

5
Gambar 2.Ruang submaksilar dibatasi oleh m. mylohyoid, m.
hyoglossus, dan m. styloglossus.
Ruang submandibular ini mengandung kelenjar submaxillar,
duktus Wharton, n. lingualis dan hypoglossal, a. facialis, sebagian nodus
limfe dan lemak.15.
Infeksi pada ruang submandibular ini bisa menyebar hingga bagian
superior dan posterior, mengakibatkan peninggian dasar mulut dan lidah.
Os hyoid membatasi penyebaran ke inferior, sedangkan pembengkakkan
dapat menyebar hingga bagian anterior leher, menyebabkan distorsi dan
gambaran bull neck.
C. Epidemiologi
Infeksi leher dalam biasa ditemui pada anak maupun orang dewasa.
Paling sering terjadi pada usia 20 tahun dan 60 tahun, dengan
perbandingan laki-laki dan perempuan 3:1.3 Umumnya berasal dari
kelompok sosioekonomi rendah dimana pada kelompok tersebut kurang
memperhatikan kebersihan mulut dan kurangnya pengetahuan tentang
perawatan gigi.2 Boscolo-Rizzo (2009) dalam penelitiannya mendapatkan
jenis infeksi leher dalam yang paling sering adalah abses submandibula
dengan 84% kasus. Penelitian Motahari et al. (2015) juga menyebutkan
bahwa dari 815 kasus infeksi leher dalam yang ditemukan di salah satu
fasilitas kesehatan di India dalam rentang waktu 1998-2013, infeksi pada
rongga submandibula merupakan yang paling sering ditemukan dengan

6
365 kasus (45%), diikuti peritonsillar (40,5%), parafaring (7,5%), parotis
(4,3%) dan terakhir pada sublingual dan submaxillar (angina ludwig)
dengan 2,7%. Begitu juga pada penelitian yang dilakukan oleh Kutty et al.
(2017), dari 50 kasus infeksi leher dalam yang ditemukan, didapatkan
abses submandibular merupakan jenis yang paling sering ditemukan
(32%), diikuti abses peritonsillar (28%), angina ludwig (18%), abses
retrofaring (8%), abses parotis (6%) dan abses parafaring (4%). Hal ini
menunjukkan bahwa abses submandibular merupakan jenis yang sering
sekali ditemukan pada kasus infeksi leher dalam.
D. Etiologi
Etiologi infeksi leher dalam bervariasi bergantung pada area leher
yang terlibat.4 Penyebab abses submandibula yang paling sering adalah
infeksi gigi.7,9,10 Boscolo-Rizzo (2009) dalam penelitiannya menyebutkan
46,9% kasus disebabkan oleh infeksi pada gigi, diikuti oleh sialadenitis
submandibula (14,8%), faringitis (6,2%) dan parotitis (3,7%). Infeksi
odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat, pembuluh darah dan
pembuluh limfe. Jalur penyebaran yang paling sering adalah
perkontinuitatum karena adanya celah atau ruang di antara jaringan yang
berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus.2
Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora
normal dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah
steril dari tubuh baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi
atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian
tubuh tertentu maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi
berdasarkan lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh
campuran berbagai kuman (polimikroba), baik kuman aerob, anaerob,
maupun fakultatif anaerob.1,2,6
Organisme penyebab yang lazim ditemukan seperti Streptococcus
viridans, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus,
Streptococcus β-haemolyticus grup A (Streptococcus pyogenes),
Bacteroides, Fusobacterium dan Peptostreptococcus sp.3,4 Streptococcus

7
viridans adalah patogen yang paling sering ditemui (55,8%) berkaitan
dengan infeksi pada gigi.10 Hasil kultur kadang-kadang menunjukkan
suatu Neisseria, Pseudomonas, Escherichia dan Haemophilus sp. Proporsi
Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus atau MRSA terkait infeksi
ruang leher dalam secara signifikan meningkat di beberapa wilayah
Amerika Serikat. Suatu tinjauan retrospektif me-nyimpulkan bahwa
MRSA lebih cenderung menginfeksi pasien dengan usia yang lebih muda,
tapi abses dengan lokasi medial san-gat kecil kemungkinannya untuk
infeksi MRSA dan methicillin-sensitive Staphylococcus aureus.3 Pada
penelitian yang dilakukan Kutty et al. (2017) ditemukan bahwa penyebab
abses yang paling sering berhasil diisolasi adalah Staphylococcus aureus
dengan 24% (dimana 16,6% diantaranya adalah kelompok MRSA),
diikuti oleh kelompok Streptoccous β-haemolyticus (16%) dan
Streptococcus α-haemolyticus (10%).
E. Patofisiologi
Penjalaran abses submandibula ini umumnya diawali dari adanya
infeksi odontogen, yang kemudian dapat menyebar secara langsung
melalui komunikasi antara ruang-ruang pada leher dalam
(perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogen) dan pembuluh limfe
(limfogen). Penyebaran yang paling sering terjadi adalah penjalaran secara
perkontinuitatum karena adanya celah atau ruang di antara jaringan yang
berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus.2,3 Nekrosis pulpa karena
karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam merupakan
jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal.3
Faktor yang menentukan apakah infeksi gigi tersebut mengenai
ruang submandibula atau sublingual tergantung pada perlekatan akar gigi
ke m. mylohyoid terhadap garis mylohioid. Bila infeksi berkembang ke
arah medial mandibula di atas garis milohioid, maka infeksi akan
menyebar ke ruang sublingual. Biasanya ini berasal dari gigi premolar dan
molar satu. Sedangkan bila infeksi meluas ke arah medial mandibula dan
di bawah garis milohioid, maka infeksi menyebar ke ruang submandibula.2

8
Gigi molar ketiga bawah merupakan sumber infeksi tersering dari ruang
submandibula, sedangkan gigi molar kedua dapat meluas ke ruang
sublingual atau submandibula bahkan dapat meluas kedua ruang tersebut
tergantung dari panjang akarnya.2,6
Perjalanan infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses
palatal, abses submukosa, abses gingiva, thrombosis sinus kavernosus,
abses labial, dan abses fasial. Perjalanan infeksi pada rahang bawah dapat
membentuk abses sublingual, submental, abses submandibular, abses
submaseter, dan angina Ludwig. Ujung akar molar kedua dan ketiga
terletak di belakang bawah linea mylohioid yang terletak di aspek dalam
mandibular, sehingga jika molar kedua atau ketiga terinfeksi dan
membentuk abses, pus akan menyebar ke ruang submandibular dan dapat
meluas ke ruang potensial leher dan kemudian paling sering menyebar ke
mediastinum.3

Gambar 3. Pola penyebaran infeksi pada ruang potensial leher


dalam (PMS = pharyngomaxilary space/ruang parafaring, VVS = visceral
vascular space)3
F. Manifestasi Klinis
Pasien dengan infeksi leher dalam lebih sering datang dengan
keluhan demam, bengkak pada leher, odinofagia, disfagia, sakit
tenggorokan, dan penurunan intake oral. Gejala-gejala ini biasanya muncul
selama kurang lebih 3-5 hari. Kadang disertai agitasi, batuk, dehidrasi,
drooling, mendengkur, stridor, tortikolis, dan leher kaku.3,5 Gejala yang

9
ditimbulkan oleh abses leher dalam ini tergantung pada lokasi infeksi.
Abshirini et al. (2010) mendapatkan pada penelitiannya gejala yang paling
sering pada abses leher dalam adalah pembengkakan pada leher (87,1%),
trismus (53,7%), disfagia (30,6%) dan odinofagia (29,3%). Lalu, Kutty et
al. (2017) menyebutkan bahwa gejala yang paling sering muncul adalah
nyeri tenggorokan (98%), demam (84%), pembengkakan pada leher (70%)
dan odinofagia (52%).

Gambar 4. Pembengkakan pada Abses Submandibula7


Sementara pada abses submandibula, berdasarkan penelitian
Boscolo-Rizzo (2009), manifestasi klinis yang paling sering ditemukan
adalah adanya pembengkakan pada leher (98,8%) dan disfagia (35,8%).
Sementara trismus pada abses submandibula hanya ditemukan pada 17,3%
kasus dan demam pada 23,5% kasus. Pasien biasanya akan mengeluh nyeri
di rongga mulut, air liur banyak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, lidah terangkat ke atas
dan terdorong ke belakang, angulus mandibula dapat diraba. Pada aspirasi
didapatkan pus.6 Gejala yang ditemukan cukup serupa dengan Angina
Ludwig. Namun, angina Ludwig merupakan sellulitis di daerah

10
submandibula, dengan tidak ada fokal abses. Biasanya akan mengenai
kedua sisi submandibula, air liur yang banyak, trismus, nyeri, disfagia,
massa di submandibula, sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah
yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.6
G. Diagnosis
Penegakan diagnosis abses submandibula dilakukan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.2 Pemeriksaan
penunjang yang menjadi gold standard untuk menegakkan diagnosis
adanya abses pada ruang leher dalam dan membedakannya dengan
selulitis adalah CT-scan kepala dengan kontras.3,4,9 Adanya abses
ditunjukkan dengan adanya gambaran lesi hipodens dengan dinding
bergelombang yang menunjukkan adanya cairan pada ruang submandibula
berisi pus.8 Pemeriksaan CT-scan thorax juga dilakukan bila dicurigai
adanya penyebaran abses atau infeksi ke mediastinum.

Gambar 5. Hasil CT-scan yang menunjukkan gambaran abses pada


ruang submandibula dextra12

11
H. Tatalaksana
Penatalaksanaan awal kasus abses leher dalam diutamakan pada
mengatasi sumbatan jalan nafas kemudian dilakukan pemeriksaan kultur
yang dapat berupa kultur pus atau darah, pemberian antibiotik intravena
dan dilanjutkan dengan drainase abses.2,4,7,8 Kultur pus didapatkan dengan
aspirasi baik ekstraoral maupun intraoral. Pemberian antibiotik dimulai
dengan regimen empiris sampai didapatkan hasil kultur. Antibiotik
intravena yang diberikan mencakup untuk kuman aerob gram positif,
aerob gram negatif dan anaerob. Regimen empiris yang efektif digunakan
adalah gabungan antara penicillin, ceftriaxone dan metronidazol.2,5,6
Pemberian antibiotik dilakukan pada pasien dengan abses berukuran kecil
dan dievaluasi setelah 48 jam.8 Jika tidak ada respon terhadap terapi, baik
secara klinis maupun pada CT-scan dengan kontras, dilakukan drainase.5
Terapi yang dianjurkan untuk abses leher dalam yang luas dan
melibatkan beberapa ruang leher adalah aspirasi jarum atau insisi dan
drainase abses untuk mencegah perforasi yang menimbulkan ulkus yang
cenderung sulit untuk menutup. Hal ini juga bertujuan untuk kepentingan
diagnosis mencari penyebab spesifik dari abses yang terbentuk dengan
pemeriksaan kultur biakan.1,8 Insisi dilakukan pada polus membrana
pyogenik yang paling membonjol sehingga memudahkan drainase. Lokasi
insisi juga perlu memperhatikan ekstensi anatomis dari abses yang
terbentuk. Drainase abses dapat berupa aspirasi abses atau insisi dan
eksplorasi, tergantung pada luasnya abses dan komplikasi yang
ditimbulkannya.1,2,14 Drainase dapat dilakukan baik secara intraoral
maupun extraoral.13

12
Gambar 6. Langkah-langkah melakukan insisi dan drainase pada
abses submandibula11

13
Gambar 7. Langkah-langkah melakukan insisi dan drainase pada abses
submandibula11
I. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi abses leher jarang terjadi tetapi dapat membawa angka
kesakitan yang tinggi dan kematian.3,8 Hal ini biasanya terkait dengan
keterlambatan dalam diagnosis atau pengobatan.4,8 Infeksi dapat meluas ke

14
ruang leher dalam lainnya sehingga dapat menimbulkan penyulit dalam
penanganan infeksi. Penyulit yang sering timbul berupa obstruksi jalan
nafas karena penekanan dari abses, mediastinitis akibat penjalaran abses
ke inferior, komplikasi vaskuler (thrombosis vena jugularis dan ruptur
arteri karotis), sepsis, osteomielitis, defisit neurologis dan fistel akibat
rupture dari abses.2 Penderita dengan abses atau ancaman terjadinya
komplikasi terutama terhadap jalan nafas, abses yang tampak pada ruang
fasia kepala leher dan pasien yang keadaannya tidak membaik setelah
pemberian antibiotika parenteral 48 jam.5 Penyebaran infeksi sepanjang
danger space secara cepat juga dapat menyebabkan mediastinitis.3,4
Prognosis abses submandibula ini baik dan jarang sekali menimbulkan
komplikasi bila diagnosis dan tatalaksana sudah dilakukan secara
adekuat.5

15
BAB III
KESIMPULAN

Abses Submandibula adalah salah satu jenis infeksi leher dalam yang
cukup sering ditemukan. Infeksi terjadi pada ruang submandibula yang
merupakan salah satu ruang potensial yang terdapat di leher bagian dalam. Infeksi
yang terjadi umumnya merupakan infeksi sekunder yang berasal dari gigi, mulut,
telinga, sinus paranasal, faring dan parotis, yang umumnya menyebar secara
perkontinuitatum, dan menimbulkan akumulasi pus pada ruang submandibula.
Pada orang dewasa, penyebab tersering adalah adanya infeksi odontogen.
Manifestasi klinis yang ditimbulkan antara lain pembengkakan pada leher dan
disfagia. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. CT-scan dengan kontras merupakain pemeriksaan
penunjang yang dianjurkan untuk dapat mengetahui adanya abses pada ruang
leher dalam. Penatalaksaan utama pada abses submandibula adalah menjaga jalan
napas tetap paten, dilanjutkan dengan pemberian antibiotik dan drainase pus
sebagai terapi definitifnya. Prognosis abses submandibula ini baik dan jarang
sekali menimbulkan komplikasi bila diagnosis dan tatalaksana sudah dilakukan
secara adekuat. Angka kematian akibat abses submandibula sebelum dikenalnya
antibiotika mencapai 50% dari seluruh kasus yang dilaporkan. Namun, sejalan
dengan perkembangan antibiotika, perawatan bedah yang baik dan tindakan yang
cepat dan tepat, maka saat ini angka kematian hanya 5%.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Lizar EN, Yotosudarmo H dan Imanto M. 2017. Abses parafaringeal,


submandibular dan subtracheal dengan komplikasi fistula faringokutan.
Majority. 6(3): 69-74.
2. Novialdi dan Triana W. 2011. Abses leher dalam multipel dengan
kesulitan intubasi dan komplikasi fistula faringokutan. Bagian THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Diunduh dari url:
http://repository.unand.ac.id/18174. Diakses tanggal 29 Agustus 2018.
3. Santosa A. 2017. Abses submandibula dengan komplikasi mediastinitis.
Warmadewa Medical Journal. 2(2): 77-81.
4. Kutty SR, Balakrishnan, Chandran SJ dan Mary L. 2017. Clinical
presentation and bacteriological study of deep neck space abscess. Journal
of Evolution of Medical and Dental Scientist. 6(3): 193-201.
5. Motahari et al. 2014. Treatment and prognosis of deep neck infections.
Indian Journal of Otolaryngology and Head&Neck Surgery. 67(1): 134-
137.
6. Novialdi, Pulungan MR. Pola kuman abses leher dalam. Bagian THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2010. Diunduh dari url:
http://repository.unand.ac.id/18384. Diakses tanggal 29 Agustus 2018.
7. Sharma J, Patnaik AR, Banerjee N dan Sood R. 2017. Management of
submandibular abscess with limited resources. Karnataka Anesthesia
Journal. 3(2): 37-39.
8. Boscolo-Rizzo P dan Da Mosto MC. 2009. Submandibular space
infection: a potentially lethal infection. International Journal of Infectious
Diseases. 13: 327-333.
9. Parhiscar A dan Har-El G. 2001. Deep neck abscess: a retrospective
review of 210 cases. The Annals of Otology, Rhinology and Laringology.
110(11): 1051-1054.

17
10. Abshirini H et al. 2010. Predisposing factors for the complications of deep
neck infection. Iranian Journal of Otolaryngology. 22(60): 97-102.
11. French K, Brown E, Collin J dan Bell C. Extra-oral drainage of
submandibular abscess under local anaesthetic: review of the literature and
case series. Oral Surgery. 10(1): 20-29.
12. Yamagata K, Takeda M, Onizawa K dan Yoshida H. 2006. Submandibular
abscess caused by Salmonella. International Journal of Oral and
Maxillofacial Surgery. 35(10): 969–971.
13. Ardehali MM, Jafari M dan Hagh AB. 2012. Submandibular space
abscess: a clinical trial for testing new techinique. Otolaryngology-Head
and Neck Surgery. 146(5): 716–718.
14. Probst FA, Otto S, Sachse R dan Conelius C. 2012. Minimally-invasive
catheter drainage of submandibular abscesses. British Journal of Oral and
Maxillofacial Surgery. 51(7): e199–e200.
15. Bailey B. Odontogenic Infection. Head and Neck Surgery. 4th ed.
Pennsylvanya: Elsener Mosby; 2005.
16. Fachruddin D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala, dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.

18

Anda mungkin juga menyukai