Anda di halaman 1dari 12

Clinical Science Session

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease 2018 Report


(GOLD 2018)

Oleh:
Indra Budi Permana
No.BP 1110312156

Perseptor:
Dr. dr. Masrul Basyar, Sp.P (K), FISR
dr. Afriani, Sp.P

BAGIAN PARU
RSUP DR. M. DJAMIL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018
2

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan masalah kesehatan


masyarakat yang dianggap penting karena PPOK menjadi salah satu penyumbang
terbanyak morbiditas kronis dan mortalitas di seluruh dunia. Pada saat ini PPOK
merupakan penyebab kematian terbanyak peringkat keempat di dunia dan
diperkirakan pada tahun 2020, PPOK akan menjadi penyebab kematian terbanyak
peringkat ketiga di dunia. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena kasus PPOK
pada tahun 2012. Jumlah tersebut merupakan enam persen dari total seluruh
kematian di dunia pada tahun tersebut. Secara global, beban PPOK diperkirakan
akan meningkat pada dekade selanjutnya disebabkan paparan faktor resiko yang
bekelanjutan dan polpulasi yang semakin menua.1
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD),
PPOK adalah penyakit yang umum, dapat dicegah dan dapat ditangani yang
memiliki karakteristik gejala pernapasan yang menetap dan keterbatasan aliran
udara, dikarenakan abnormalitas saluran napas dan/atau alveolus yang biasanya
disebabkan oleh pajanan gas atau partikel berbahaya.1 PPOK adalah penyakit paru
kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik
dan emfisema atau gabungan keduanya.2
Gejala pernapasan yang paling umum adalah dyspnea, batuk dan/atau
produksi sputum. Gejala tersebut bisa saja tidak dikeluhkan pasien. Faktor risiko
paling utama dari PPOK adalah rokok namun penyebab lingkungan lainnya
seperti polusi udara juga dapat menjadi salah satu penyebabnya. Selain
lingkungan, faktor individu serta predisposisi lainnya juga dapat menimbulkan
PPOK, seperti faktor genetik, abnormalitas perkembangan paru dan faktor
penuaan. PPOK dapat diselingi dengan periode gejala pernafasan akut yang
memburuk, yang disebut dengan eksaserbasi. Pada sebagian besar pasien, PPOK
dikaitkan dengan penyakit kronis penyerta, yang meningkatkan morbiditas dan
mortalitasnya.1
3

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
PPOK adalah penyakit yang umum, dapat dicegah dan dapat ditangani
yang memiliki karakteristik gejala pernapasan yang menetap dan keterbatasan
aliran udara, dikarenakan abnormalitas saluran napas dan/atau alveolus yang
biasanya disebabkan oleh pajanan gas atau partikel berbahaya.1

2.2 Epidemiologi
Pada saat ini PPOK merupakan penyebab kematian terbanyak peringkat
keempat di dunia dan diperkirakan pada tahun 2020, PPOK akan menjadi
penyebab kematian terbanyak peringkat ketiga di dunia. Lebih dari 3 juta orang
meninggal karena kasus PPOK pada tahun 2012. Jumlah tersebut merupakan 6%
dari total seluruh kematian di dunia pada tahun tersebut. Secara global, beban
PPOK diperkirakan akan meningkat pada dekade selanjutnya disebabkan paparan
faktor resiko yang bekelanjutan dan polpulasi yang semakin menua.

2.3 Etiologi
PPOK merupakan penyakit dengan penyebab yang multifaktor dengan
penyebab tersering di seluruh dunia adalah rokok tembakau. Polusi udara luar,
lingkungan kerja, dan gas hasil pembakaran adalah penyebab tersering lainnya
dari PPOK.
Orang yang tidak merokok juga memiliki resiko untuk menderita PPOK.
PPOK adalah hasil dari akumulasi paparan partikel dan gas beracun
dikombinasikan dengan berbagai macam faktor dari penjamu (host), termasuk
genetik, hipersensitivitas jalan nafas, dan perkembangan paru-paru yang buruk
pada masa kanak - kanak.
4

2.4 Diagnosis
Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada pasien yang memiliki gejala
dispnea, batuk kronis atau produksi sputum yang kronis, dan/atau riwayat paparan
faktor resiko PPOK. Anamnesis riwayat medis yang detail tentang pasien baru
dengan suspek PPOK sangat penting. Spirometri dibutuhkan untuk dapat
membuat diagnosis pada konteks klinis ini. Hasil tes yang menunjukkan
FEV1/FVC < 0.70 setelah pemberian bronkodilator, mengkonfirmasi adanya
limitasi aliran udara sehingga tegaknya diagnosis PPOK pada pasien dengan
gejala yang sesuai dan riwayat paparan faktor resiko. Spirometri adalah
pengukuran limitasi aliran udara yang paling objektif dan mudah dilakukan.
Meskipun pengukuran peak ekspiratory flow memiliki sensitivitas yang bagus,
namun tidak dapat digunakan sebagai tes diagnostik tunggal karena kelemahan
spesifisitasnya.

Gejala PPOK adalah sebagai berikut:


 Dispnea kronis dan progresif
 Batuk kronis
 Produksi sputum kronis
 Wheezing dan sesak di dada
 Gejala tambahan, termasuk kelelahan, penurunan BB, anorexia, sinkop,
fraktur costae, depresi, anxietas.
5

Berikut ini riwayat medis yang perlu diperhatikan pada pasien dengan PPOK:
 Paparan dengan faktor resiko
 Riwayat penyakit sebelumnya
 Riwayat PPOK atau penyakit respirasi kronis lainnya di keluarga.
 Pola perkembangan gejala
 Riwayat eksaserbasi atau MRS sebelumnya karena gangguan respirasi
 Keberadaan komorbiditas
 Dampak penyakit pada kehidupan pasien
 Dukungan sosial dan keluarga untuk pasien.
 Kemungkinan untuk mengurangi faktor resiko termasuk penghentian merokok

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi PPOK berdasarkan limitasi aliran udara:

Scoring pada PPOK dapat menggunakan metode modified medical


research council (mMRC) questionnaire atau CAT assessment.
6

Klasifikasi PPOK berdasarkan eksaserbasi:


 Ringan (diobati hanya dengan SABDs)
 Sedang (diobati dengan SABDs plus antibiotik dan/atau kortikosteroid oral)
 Berat (MRS dan masuk IGD). Eksaserbasi berat dapat juga berhubungan
dengan acute respiratory failure.

2.6 Assessment
Pedoman dari GOLD yang terbaru tentang assessment dan klasifikasi pasien
PPOK diperbarui pada tahun 2017. Pedoman ini mempertimbangkan scoring
dari mMRC questionnaire/CAT assessment dikombinasikan dengan riwayat
eksaserbasi pasien.
7

2.7 Tatalaksana PPOK Stabil


2.7.1 Tatalaksana Farmakologis
Tatalaksana farmakologis diberikan berdasarkan hasil assessment ABCD
yang terbaru. Pasien diklasifikasikan menjadi empat grup yaitu grup A, grup B,
grup C, atau grup D.
Berikut ini bagan tatalaksana farmakologis menurut grup.
8

Semua pasien grup A harus diberikan tatalaksana bronkodilator


berdasarkan efeknya. Bronkodilator yang digunakan dapat long acting atau short
acting. Tatalaksana ini harus dilanjutkan jika terdapat perbaikan gejala pasien.
Pada pasien grup B, terapi awal harus terdiri dari bronkodilator long acting.
Bronkodilator long acting inhaler lebih bagus daripada yang short acting jika
digunakan pro re nata (prn). Tidak ada evidence untuk merekomendasikan suatu
golongan long acting bronkodilator tertentu. Pilihan bronkodilator tergantung
pada persepsi pasien terhadap perbaikan gejalanya. Untuk pasien yang tetap sesak
dengan monoterapi, penggunaan kombinasi 2 bronkodilator dianjurkan. Untuk
pasien yang sangat sesak, terapi awal dengan 2 bronkodilator direkomendasikan.
Jika pemberian bronkodilator kedua tidak memperbaiki gejala, direkomendasikan
9

kembali gunakan 1 bronkodilator. Pasien pada grup B memiliki kemungkinan


komorbidtas yang dapat mempengaruhi prognosis, maka hal ini harus dicari tahu.

Pada pasien grup C, terapi awal harus terdiri dari satu bronkodilator long
acting. LAMA lebih direkomendasikan karena efeknya yang lebih bagus dalam
mencegah eksaserbasi dibandingkan LABA pada grup ini. Pasien dengan
eksaserbasi persisten dapat menggunakan tambahan 1 long acting bronkodilator
atau menggunakan kombinasi LABA dan ICS. Karena ICS memiliki resiko
terjadinya pneumonia pada beberapa golongan pasien, direkomendasikan tetap
menggunakan LABA/LAMA.

Pada pasien grup D, direkomendasikan penggunaan kombinasi


LAMA/LABA karena kombinasi LABA/LAMA lebih bagus dalam memperbaiki
gejala pasien. Jika pilihan terapi hanya monoterapi, LAMA lebih
direkomendasikan Kombinasi LAMA/LABA lebih direkomendasikan daripada
LABA/ICS juga karena dapat mencegah eksaserbasi lebih baik. Pasien grup D
lebih rentan menderita pneumonia pada penggunaan ICS. Pada beberapa pasien
LABA/ICS dapat digunakan. Pasien harus memiliki riwayat overlap asma-
PPOK.Eosinofil darah yang tinggi juga dapt dijadikan parameter penggunaan
LABA/ICS, namun hal ini masih diperdebatkan.

Pada pasien yang mengalami eksaserbasi lebih lanjut dengan kombinasi


LAMA / LABA direkomendasikan dua pilihan yaitu eskalasi ke LAMA/ LABA/
ICS atau mengganti terapi menjadi LABA/ICS. Meskipun belum ada evidence
yang menunjukkan kombinasi lebih baik dalam mencegah eksaserbasi. Jika masih
terjadi eksaserbasi tambahan LAMA pada kombinasi dapat diberikan.

Jika pasien dengan LAMA/LABA/ICS masih mengalami eksaserbasi,


pilihannya berikut. Yang pertama yaitu penambahan roflumilast. Pada pasien
dengan FEV1 < 50% predicted dan bronkitis terutama jika eksaserbasinya
menyebabkan MRS di tahun sebelumnya. Yang kedua yaitu menambah
makrolida. Evidence yang terbaik adalah pada azitromicin. Harus
dipertimbangkan juga berkembangnya resistensi organisme akibat penggunaan
10

ini. Yang ketiga yaitu penghentian ICS. Laporan tentang kurangnya efikasi,
peningkatan resiko efek samping (termasuk pneumonia) dan evidence yang
menunjukkan tidak adanya bahaya dalam penghentian ICS menguatkan
rekomendasi ini.

2.7.2 Tatalaksana Nonfarmakologis

Tatalaksana nonfarmakologis terdiri dari:


 Edukasi dan pengendalian diri
 Aktivitas fisik
 Latihan olahraga
 Program rehabilitasi paru
 Perawatan paliatif
 Nutrisi
 Vaksinasi
 Terapi oksigen

Gambar berikut menunjukkan ringkasan tatalaksana nonfarmakologis PPOK.


11
12

DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2018. Global


Strategy for The DIAGNOSIS, MANAGEMENT, AND PREVENTION Of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease 2018 REPORT
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai