Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

TUBERCULOSIS SISTEM SARAF PUSAT PADA ANAK

Disusun Oleh :

Nur Indah Septiani

201720401011151

Pembimbing :

dr. Taufiqur Rahman,Sp.A.

SMF ILMU ANAK


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MALANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas

rahmatNya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus anak yang mengambil

topik “TB Sistem Saraf Pusat pada Anak”.

Laporan ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik bagian

Ilmu Kesehatan Anak di RS Muhammadiyah Lamongan. Tidak lupa penulis

ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam

penyusunan responsi kasus ini, terutama kepada dr.Taufiqur Rahman, Sp.A selaku

dokter pendamping yang telah memberikan bimbingan kepada saya dalam

penyusunan dan penyempurnaan laporan kasus ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari

sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam bidang

kedokteran khususnya Bagian Ilmu Kesehatan Anak.

Lamongan, Maret 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................

Daftar Isi...........................................................................................................

Bab 1. Pendahuluan ..........................................................................................

Bab 2. Laporan Kasus ......................................................................................

Bab 3. Pembahasan ..........................................................................................

Bab 4. Kesimpulan ...........................................................................................

Daftar Pustaka ..................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ.

Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat

menimbulkan komplikasi yang berbahaya bahkan dapat menimbulkan kematian.

Setiap tahun diperkirakan terdapat 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta

diantarannya adalah kasus anak usia <15 tahun. Proporsi kasus TB anak di antara

semua kasus TB di Indonesia mengalami peningkatan dan penurunan: tahun 2010

mencapai 9,4%, pada tahun 2011 menjadi 8,5%, tahun 2012 menjadi 8,2%, tahun

2013 menjadi 7,9%, tahun 2014 menjadi 16% dan tahun 2015 menjadi 9%.

Mayoritas anak tertular TB dari TB dewasa sehingga dalam penanggulangan

TB anak, penting untuk gambaran epidemiologi TB pada dewasa. Diagnosis TB

pada orang dewasa mudah ditegakkan dari pemeriksaan seputum yang positif.

Berbeda dengan TB anak yang memiliki gejala tidak terlalu khas, sehingga sulit

untuk mendiagnosisnya. Penyakit TB dibedakan menjadi dua bagian yaitu TB

intra paru dan ekstra paru. Pada ekstra paru, gejala dan keluhan tergantung pada

organ yang terkena. TB sistem saraf pusat merupakan infeksi Mycobacterium

tuberculosis pada sistem saraf pusat yang meliputi meningitis tuberkulosis,

tuberkuloma intrakranial, araknoiditis tuberkula spinal dan ensefalopati

tuberkulosis. Gambaran gejala yang paling berat pada TB SPP yaitu kelainan

neurologis seperti koma, kejang, peningkatan tekanan intrakranial, hemiparese.


Perlunya pemahaman petugas tenaga kesehatan tentang sign dan symptoms

dalam mendiagnosis penting untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas

TB SSP pada anak. Oleh karena itu, penulis bertujuan untuk membahas diagnosis,

gejala klinis dan penatalaksanaan pada pasien anak dengan TB sistem saraf pusat.
BAB II

LAPORAN KASUS

An. W, jenis kelamin perempuan, usia 13 tahun dengan berat badan

aktual 32kg datang ke Instalansi Gawat Darurat Rumah Sakit Muhammadiyah

Lamongan dengan keluhan nyeri kepala. Nyeri kepala dirasa sejak 1 hari Sebelum

Masuk Rumah Sakit (SMRS). Pasien mengeluhkan nyeri kepala terasa berdenyut

diseluruh kepala dan paling sakit bagian kiri, keluhan memperberat setiap saat

(baik ketika batuk ataupun mengedan) dan tidak berkurang sama sekali walau

dibuat istirahat maupun diberi obat nyeri kepala. Keluhan semakin memperberat

sampai pasien tidak bisa tidur nyenyak dimalam hari, pasien sering terbangun

karena nyeri kepala.

Selain itu pasien mengeluhkan demam sejak 15 hari SMRS, demam

dirasa sumer-sumer dan naik turun. Selama keluhan tersebut, pasien sudah

mendapatkan obat penurun panas dan sakit kepala dari mantri, akan tetapi keluhan

tidak kunjung berkurang. Sebelumnya pasien sering merasa kelelahan dan lemas

yang dirasa sejak 1 bulan SMRS, dalam kesehariannya pasien termasuk anak yang

periang dan aktif. Pasien mulai merasa nafsu makan berkurang semenjak keluhan

demam muncul. Ibu pasien merasa berat badan pasien menurun selama 1 bulan

terakhir. Keluhan batuk lama, mual, dan muntah disangkal oleh pasien. Buang air

besar dan buang air kecil dalam batas normal.

Dari riwayat penyakit dahulu pasien pernah mengalami dan mengeluhkan

hal yang sama pada tahun 2014. Pasien pernah rawat inap di RSML selama +2

minggu dengan diagnosis Tuberculosis Sistem Saraf Pusat. Saat dirawat di RSML
pasien sempat tidak sadarkan diri selama 1 minggu. Pasien menjalani pengobatan

TB pada tahun 2014 selama 6 bulan dan dinyatakan sudah tuntas. Dari riwayat

keluarga didapatkan kakek pasien menderita TB paru, pasien tidak tinggal

serumah dengan kakek akan tetapi pasien sering bertemu dan kontak langsung

dengan kakeknya. Dari riwayat sosial pasien didapatkan tetangga pasien yang

berjarak satu rumah dengan pasien menderita TB paru. Pasien lahir normal

ditolong oleh bidan, lahir langsung menangis dengan berat badan lahir 2700gr,

ketuban jernih. Riwayat imunisasi lengkap, riwayat minum asi dan susu formula

sejak 3 bulan dari usia kelahiran.

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup, kesadaran

compos mentis, GCS 456 dan kesan gizi kurang dengan BB 32kg dan TB 150cm.

Pada pemeriksaan vital sign didapatkan nadi 118x/menit (reguler, kuat),

respiratory rate 20x/menit, reguler. suhu axilla 370C. Pada pemeriksaaan kepala

dan leher didapatkan anemis (-), sclera mata ikterik (-), sianosis (-), dyspneu (-),

mukosa bibir basah warna merah muda, pernapasan cuping hidung (-), meningeal

sign (-), RC +/+ PBI Ф 3mm/3mm. Pada pemeriksaan thoraks, didapatkan kedua

dada bergerak secara simetris, retraksi intercostalis (-). Pada pemeriksaan paru,

tidak didapatkan suara napas Rhonki, wheezing juga tidak ditemukan. Pada

pemeriksaan jantung suara jantung S1 dan S2 normal, suara murmur dan gallop

tidak ditemukan. Pada pemeriksaan abdomen, tampak flat, pada palpasi abdomen

terasa soepel, hepar dan lien tidak teraba, tak teraba massa. Pada auskultasi bising

usus normal dan pada perkusi terdengar suara tymphani . Pada pemeriksaan akral

teraba hangat, kering, merah, tidak diapatkan edema tungkai.


Hasil pemeriksaan status neurologis didapatkan reflek meningeal sign

negatif, kaku kuduk (-), bruzinski 1 (-), bruzinski 2 (-), kernik sign (-), Nervus

kranialis dalam batas normal, Refleks patologis (-), refleks fisiologis: BPR +2/+2,

KPR +2/+2, TPR +2/+2, APR +2/+2. Kekuatan tonus otot kuat angkat dan dapat

melawan tahanan baik ekstremitas atas maupun bawah.

Hasil CT-scan kepala menunjukkan dilatasi ventrikel lateral dan ventrikel

3, ventrikel 4 normal. Nampak kalsifikasi pada daerah temporo-parietal kiri, tak

tampak midline shif. Sulkus gyrus tampak baik, pons dan cerebellum tak tampak

kelainan, orbita dan mastoid kanan kiri tampak baik. Sinus tak tampak kelainan,

calvaria tampak baik. Kesimpulan obstruksi hydrocephalus. Cerebral calsification

di temporo-parietal kiri. Hasil foto thorax menunjukkan gambaran fibroinfiltrat

suprahiler kiri, kesimpulan koch pulmonum atau TB paru-paru.

Di dapatkan hasil mantoex test : + (14mm x 16mm).

Berdasarkan data diatas didapatkan clue and cue sebagai berikut:

perempuan 13th, keluhan cephalgia 3 hari SMRS dan keluhan febris 15 hari

dengan pengobatan tidak kunjung sembuh, nafsu makan menurun, lemas dan

sering merasa kelelahan, berat badan menurun 1 bulan terakhir. Riwayat penyakit

dahulu TB sistem saraf pusat tahun 2014, riwayat kontak TB dengan kakek dan

tetangga terdekat+, hasil mauntoux tes (+) dengan indurasi 14mm x 16mm. Hasil

CT scan kepala hidrocephalus obstruktif dan terdapat gambaran fibroinfiltrat pada

suprahiler kiri.

Berdasarkan clue and cue serta problem list¸ maka pada pasien ini dapat

didiagnosis sebagai Tuberculosis sistem saraf pusat. Planning therapy pada kasus
ini adalah pasien diberikan pengobatan infeksi TB menggunakan Rifampisin

150mg/hari, INH 75mg/hari, Pirazinamid 400mg/hari dan Ethambutol 275mg/hari

yakni dengan FDC dewasa 1x2 tablet selama fase intensif (2 bulan) dan ditambah

prednison 3x4tab 5mg selama 1 bulan. Selanjutnya pasien direncanakan mendapat

terapi lanjutan Rifampisin 150mg/hari dan INH 150mg/hari menggunakan FDC

1x2tab selama 10 bulan. Monitoring pada pasien ini adalah respon pengobatan.

Adapun prognosis pasien pada kasus ini (infeksi tuberculosis sistem saraf

pusat) adalah quo ad vitam dunia ad bonam, quo ad sanationam dubia ad bonam,

quo ad functionam dubia ad bonam. Edukasi yang diberikan kepada keluarga

pasien adalah menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit, etiologi,

rencana pengobatan, serta prognosis. Selain itu keluarga pasien juga diberikan

edukasi tentang penularan penyakit TB sehingga pengobatan TB menjadi lebih

maksimal. Kemudian juga dijelaskan untuk memberikan nutrisi yang cukup untuk

pasien dengan makan makanan yang bergizi.


BAB III

PEMBAHASAN

Anak perempuan umur 13 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala yang

dirasa sejak 1 hari SMRS, nyeri terasa berdenyut diseluruk kepala. Keluhan

semakin bertambah parah bila dibuat mengedan dan batuk, pasien tidak bisa

melakukan aktivitas apa-apa dan hanya bisa berbaring diatas tempat tidur saja,

pasien susah tertidur dan terbangun dimalam hari karena nyeri kepala, keluhan

tidak berkurang walau dibuat istirahat. Selain itu pasien mengeluhkan demam

sumer-sumer sejak 15 hari SMRS. Pasien sudah mengkonsumsi obat untuk

menghilangkan keluhan demam dan nyeri kepala, akan tetapi keluhan tidak

berkurang.

Nyeri kepala merupakan keluhan yang sering dialami anak-anak maupun

orang dewasa. Sebagian besar nyeri kepala yang dialami pada anak-anak dibagi

atas nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder (trauma, infeksi, sinusitis,

influenza, tumor otak primer). Sebagian besar nyeri kepala primer yang sering

dirasakan anak-anak meliputi migrain dengan aura, migrain tanpa aura, tension

headache. Adapun kriteria nyeri kepala primer menurut International Headache

Society for pediatric antara lain:


Tabel 3.1 Migrain tanpa aura (International Headache Society for pediatric)

Tabel 3.2 Migrain dengan


aura (International
Headache Society for
pediatric)

Tabel 3.3 Tension Headache


Nyeri kepala pada penyakit intrakranial merupakan nyeri kepala sekunder

yang harus dipahami dan harus diwaspadai, apabila didapatkan gejala-gejala yang

memenuhi penyakit intrakranial pada anak-anak maka harus dilakukan tindakan

yang cepat dan penanganan yang tepat. Adapun kriteria yang bisa kita gunakan

dalam memastikan penyebab cephalgia yang dirasakan pasien apakah berasal dari

intrakranial atau bukan, pembagiannya dibagi atas “Red flags” dan “Relatively

red flags”. Sebagai pemeriksa hal penting yang bisa digunakan dalam

memastikan penyebab cephalgia adalah dengan pemeriksaan fisik dan menilai

status neurologis dari pasien.

Tabel 3.4 Red flags dan Relatively red flags pada riwayat cephalgia pasien.
Keluhan nyeri kepala yang dirasakan pasien banyak memenuhi kriteria “red

flags”, besar kemungkinan nyeri kepala yang di rasakan pasien berasal dari

intrakranial. Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut seperti CT-scan

kepala untuk mengetahui kondisi intrakranial pasien. Dari hasil pemeriksaan CT-

scan kepala pasien didapatkan adanya obstruksi hydrocephalus dan tampak

gambaran kalsifikasi pada temporo-parietal kiri. Hidrocephalus merupakan

kelainan yang sering terjadi pada bayi maupun anak-anak. Dari hasil penelitian

yang dilakukan Denisa dkk, 2017 yang berjudul Profil klinis dan Faktor resiko

Hidrosefalus Komunikan dan Non Komunikas pada anak di RSUD dr. Soetomo

menunjukkan bahwa, dari 19 faktor resiko yang menyebabkan hidrosefalus,

infeksi meningen atau meningitis termasuk faktor resiko yang paling besar

menyebabkan terjadinya hidrosefalus pada anak-anak. Pasien sudah menjalani

operasi pemasangan VP sunt pada tanggal 5 Maret 2019 untuk mengurangi

kelebihan CSS.
Trias gejala yang timbul pada penyakit meningitis antara lain, nyeri kepala,

demam dan adanya kaku kuduk. Pada pasien, gejala yang memenuhi ialah demam

yang dirasa sejak 15 hari dan nyeri kepala yang dirasa sangat luar biasa,

sedangkan kaku kuduk negatif. Dari riwayat penyakit dahulu pasien, diketahui

bahwa pasien pernah mengeluhkan hal yang sama dan terdiagnosis TB SSP selain

itu pasien pernah mengalami kontak dengan penyakit TB paru.

Pada gejala klinis TB terbagi atas 2 bagian:

1. Gejala umum/sistemik

a) Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi

gagal tumbuh meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik

dalam waktu 1-2 bulan.

b) Demam lama (>2minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang jelas

(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria dan lain-lain).

Demam umumnya tidak tinggi.


c) Batuk lama >2 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda

atau intensitasnya semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk

dapat disingkirkan.

d) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain

2. Gejala spesifik terkait organ

a) Tuberkulosis sistem saraf pusat

i. Meningitis TB merupakan salah satu bentuk TB pada Sistem Saraf

Pusat yang sering ditemukan pada anak, dan merupakan TB dengan

gejala klinis yang berat dan mengancam nyawa. Gejala yang umum

ditemukan adalah demam lama, sakit kepala, diikuti kejang dan

kesadaran menurun.

Gejala meningitis TB timbul lambat selama beberapa minggu dan

dibagi atas 3 stadium:

− Stadium 1 berlangsung 1-2 minggu dengan gejala tidak spesifik

seperti panas badan, sakit kepala, mengantuk, dan malaise, tidak

terdapat gangguan neurologis (glasgow coma scale/GCS: 15)

− Stadium 2 dengan gejala timbul tiba-tiba, seperti penurunan

kesadaran, kejang, kaku kuduk, muntah, hipertoni, gangguan saraf

otak, Brudzinski dan Kernig (+), serta gejala neurologis lainnya

(GCS 11-14)

− Stadium 3 terdapat gangguan kesadaran yang lebih dalam (GCS

<10), hemiplegi atau paraplegi, hipertensi, deserebrasi, dan sering

menimbulkan kematian.

ii. Tuberkuloma oatak: gejala-gejala adanya lesi desak ruang


Uji tuberkulin (-) pada 50% kasus dan foto thooras normal

ditemukan pada 20-50% kasus. Pemeriksaan dan kultur CSS penting

untuk diagnosis TB meningitis. Hasil dari analisis CSS jumlah leukosit

10-500 sel/mm3 (pada awal penyakit lebih didominasi oleh PMN, namun

umumnya dominasi limfosit), glukosa <40mg/dL namunjarang yang

<20mg/dL, protein meningkat (400-5000 mg/dL). Pemeriksan BTA dari

CSS positif pada 30% kasus dan kultur positif pada 50-70% kasus.

Dibutuhkan bahan pemeriksaan cairan CSS sebanyak 5-10ml untuk

pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan BTA dan kultur juga dapat diperiksa

dari cairan lambung.

b) Tuberkulosis kelenjar

i. Biasanya didaerah leher (regio colli)

ii. Pembesaran KGB, tidak nyeri, konsistensi kenyal, multiple dan

kadang-kadang melekat (konfluens)

iii. Ukuran besar (lebih dari 2x2cm), biasanya pembesaran KGB terlihat

jelas bukan hanya teraba

iv. Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika

v. Bisa terbentuk rongga dan discharge

c) Tuberkulosis sistem skeletal

i. Spondilitis: penonjolan tulang belakang (gibbus)

ii. Tulang panggul (koksitis): pincang, gangguan berjalan, atau tanda

peradangan di daerah panggul

iii. Tulang lutut (gonitis): pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa

sebab jelas
iv. Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis)

Pada pasien ini gejala umum yang ditemukan adalah, pasien mengeluhkan

demam sumer-sumer selama 15 hari dan tak kunjung sembuh walau diberi obat

penurun panas, pasien merasa lemas, tidak memiliki tenaga untuk bermain selama

+1 bulan SMRS. Ibu pasien merasa selama 1 bulan terakhir berat badan pasien

semakin menurun tanpa sebab yang jelas. Selain itu gejala spesifik terkait organ

yang ditemukan pada pasien ini adalah, pasien mengeluhkan nyeri kepala akut

terasa berdenyut sejak 1 hari SMRS dan tidak berkurang walaupun dibuat istirahat

atau diberi obat nyeri kepala. Pada pasien tidak ditemukan adanya kelainan kejang

dan penurunan kesadaran.

Diagnosis pasti TB adalah dengan mengisolasi Mycobacterium tuberculosis

dari sputum, bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau biopsi

jaringan. Spesimen untuk kultur yang paling baik pada anak adalah cairan

lambung pagi hari yang diambil sebelum anak bangun dari tidur. Akan tetapi

semua hal tersebut sulit untuk dilakukan pada anak, sehingga sebagian besar

diagnosis berdasarkan gejala klinis, gambaran radiografi thorax, dan tuberkulin

test.

Pada pasien ini pemeriksaan tambahan yang bisa dilakukan dengan cara tes

tuberkulin pada tanggal 07 Maret 2019. Tuberkulin adalah komponen protein

kuman TBC yang mempunyai sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikan secara

intrakutan pada seseorang yang telah terinfeksi TBC (kompleks primer pada

tubuhnya) akan memberikan indurasi di lokasi suntikan yang terjadi karena

vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin dan meningkatnya sel radang lain di
daerah suntikan. Uji tuberkulin mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama

pada anak dengan sensitivtas dan spesitifitas lebih dari 90%.

Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara

mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada

½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, dengan menyuntikkan PPD

(Purified Protein Derivate) 5 IU sebanyak 0,1 cc secara intrakutan (ke dalam

kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan

diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.

Tabel 3.5 Intepretasi mantoux tes


Interpretasi hasil mantoux
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi M. tuberculosis.

2. Pembengkakan (Indurasi) : 3–9mm, uji mantoux meragukan.


Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi
silang dengan M. atipik atau setelah vaksinasi
BCG.

3. Pembengkakan (Indurasi) : ≥ 10mm, uji mantoux (+). Arti klinis : sedang


atau pernah terinfeksi M. tuberculosis.

Definisi positif uji tuberculin pada bayi, anak dan dewasa


Indurasi ≥ 5 mm
 Kontak dengan penderita atau suspek penyakit TB
 Anak-anak dengan tanda klinis dan gambaran radiologi penyakit TB
 Anak-anak dengan keadaan imunosupresi seperti HIV dan
tranplantasi organ
 Pasien dalam pengobatan immunosupresif seperti kortikosteroid ( ≥
15 mg/24 jam prednison atau sejenisnya selama ≥ 1 bulan )
Indurasi ≥ 10 mm
 Bayi dan anak-anak usia ≤ 4 tahun
 Anak-anak dengan kondisi medis lemah yang meningkatkan resiko
(penyakit ginjal, gangguan hematologi, diabetes melitus, malnutrisi,
pengguna obat suntik)
 Anak-anak yang kontak erat dengan orang dewasa yang beresiko
tinggi TB
 Lahir atau baru pindah ( ≤ 5 tahun ) dari negara dengan angka
prevalensi TB tinggi
Indurasi ≥15 mm
 Anak-anak usia > 4 tahun atau lebih tanpa ada faktor resiko

Pada pasien ini didapatkan hasil indurasi 13mmx16mm yang memiliki

interpretasi uji mantoux (+). Arti klinis: sedang atau pernah terinfeksi M.

tuberculosis.

Hasil foto thorax menunjukkan adanya gambar gambaran fibroinfiltrat

superhiler kiri, hasil pemeriksaan kedua sinus phrenicocostalis tajam, tulang dan

soft tissue tak tampak kelainan, hasil pemeriksaan jantung tampak besar dan

bentuk normal, kesimpulan koch pulmonum atau TB paru-paru. Penentuan status


gizi diperlukan dalam memenuhi kriteria skoring TB. Pasien ini memiliki BB

32kg dan TB 150cm. Perhitungan atropometri yang digunakan pada pasien ini

menggunakan standar WHO 2005 karena terkait usia pasien yang lebih dari 6

tahun dan menggunakan kategori indeks massa tubuh terhadap usia. Dari

perthitungan IMT pasien didapatkan hasil 14,2, apabila dimasukkan kedalam tabel

WHO 2005 IMT/U pasien termasuk -2SD hingga -3SD. Berdasarkan ploting

tersebut pasien termasuk kedalam kategori kurus.

Alur diagnosis TB anak digunakan untuk penegakkan diagnosis TB pada

anak yang bergejala TB, baik dengan maupun tanpa kontak TB. Pintu masuk alur

ini adalah anak dengan gejala TB. Langkah awal pada alur diagnosis TB adalah

pengambilan dan pemeriksaan sputum. Berikut alur diagnosis TB pada anak:


Keterangan:
*) Dapat dilakukan bersamaan dengan seputum
**) Kontak TB paru dewasa dan kontak TB paru anak terkonfirmasi
bakteriologis
***) Evaluasi respon pengobatan. Jika tidak ada respon dengan pengobatan
adekuat, evaluasi ulang diagnosis TB dan adanya komorbiditas atau
rujuk
Tabel 3.6 Penegakan diagnosis TB berdasarkan SISTEM SKORING
DIAGNOSIS TUBERKULOSIS ANAK, didapatkan hasil:
Parameter 0 1 2 3
Laporan keluarga
Kontak TB tidak Kavitas (+)
BTA (-) BTA (+)
(3) jelas BTA tidak jelas
Tidak tahu
Positif (≥ 10mm
Uji Tuberkulin atau ≥5mm pada
Negatif
(3) keadaan
imunosupresi)
Klinis gizi
Berat badan /
BB/TB <90% buruk
keadaan gizi
BB/U <80% BB/TB <70%
(1)
BB/U <60%
Demam tanpa
sebab jelas ≥2 minggu
(1)
Batuk
≥3 minggu
(0)
Pembesaran
≥1 cm
KGB colli,
Jumlah >1
axilla, inguinal
Tidak nyeri
(0)
Pembengkakan
tulang/sendi
Ada
panggul, lutut,
pembengkakan
falang
(0)
Infiltrat
Pembesaran Kalsifikasi+infi
N/
Foto rontgen KGB ltrat
tidak
(1) Konsolidasi Pembesaran
jelas
segmental/lobar KGB+infiltrat
Atelektasis

Pada pasien ini didapatkan skor 9, sehingga dapat ditegakkan diagnosis anak

terinfeksi TB, oleh karena pasien memiliki gejala dominan cephalgia tanpa defisit

neurologis dan kejang selain itu didapatkan hasil CT-scan yang mendukung

(Hydrocephalus). Sehingga dapat dipastika pasien ini terdiagnosis TB ekstraparu

bagian sistem saraf pusat yaitu Meningitis TB stadium 1.


 Catatan:

- Didiagnosis TB jika jumlah skor ≥6, (skor maksimal 14)

- Jika dijumpai skrofuloderma langsung di diagnosis TBC

- Foto rontgen bukan alat diagosis utama pada TBC anak

Patogenesis Meningits TB dimulai dari bakteri Mycobacterium tuberculosis

masuk ke tubuh melalui inhalasi, setelah masuk ke dalam tubuh bakteri tersebut

difagosit oleh makrofag. Sistem imun tubuh mulai mengenali antigen bakteri dan

tubuh mulai mengaktifkan sistem pertahanan dengan memanggil limfosit. Terjadi

reaksi hipersensitivitas dan pelepasan mediator-mediator inflamasi hasil yang

didapatkan dari reaksi tersebut ialah terbentuknya nekrosis perkijuan atau yang

disebut dengan Karseosa. Sebagian bakteri akan mati, akan tetapi bebrapa bakteri

yang terperangkap di dalam makrofag masih bertahan dan dalam kondisi inaktif.

Bakteri tersebut menyebar ke pembuluh limfe regional dan sebagian masuk ke

pembuluh darah sistemik mencapai organ-organ lainnya.

Bakteri mencapai selaput meningen, apabila jumlah bakteri banyak maka

langsung dapat menyebabkan meningitis. Apabila jumlah bakteri yang sampai di

meningen hanya sedikit maka bakteri akan berkolonisasi, bereplikasi dan

membentuk tuberkel atau yang disebut dengan Fokus Rich di supial atau

subependimal. Setelah sekian tahun Fokus rich dapat ruptur ke berbagai ruang,

apabila ruptur terjadi di ruang subarachnoid maka dapat terjadi meningitis

tuberculosi. Apabila ruptur ke ruang parenkim otak makan dapat terbentuk

tuberkeloma atau abses serebri. Ruptur Fokus rich mengeluarkan eksudat

gelatinosa sebuah cairan yang sangat lengket dan menimbulkan reaksi

hipersensitivitas di basal otak. Cairan tersebut dapat menyumbat aliran CSS dan
menyebabakna hidrosefalus komunikan. Eksudat tersebut dapat menginfiltrasi

pembuluh darah di korteks dan meningen yang dapat menyebabkan vaskulitis,

obstruksi infark korteks dan edema serebri. Batang otak juga dapat terkena dan

mempenaruhi sistem saraf, menyebabkan paresis saraf kranial, terutama N. III, IV,

VI, dan VII di area basal. Sindrom of Inapropiate Antidiuretic Hormone (SIADH)

sering terkena, menyebabkan retensi cairan dan dapat menyebabkan edema

serebri.

Tata laksana kasus TB pada anak merupakan kesatuan yang tidak

terpisahkan antara pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan

penyakit penyerta. Selain itu, penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi,

dan bila ditemukan sumber infeksi juga harus mendapatkan pengobatan.

Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada

masyarakat atau kepada orangtua pasien mengenai pentingnya menelan obat

secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, pengawasan terhadap jadwal

pemberian obat, keyakinan bahwa obat yang diminum.

Pemberian 4 macam OAT pada fase intensif hanya diberikan kepada anak

dengan BTA positif, TB berat dan TB dewasa. Tetapi TB pada anak dengan BTA

negatif menggunakan panduan INH, Rimfapisin, dan Pirazinamid pada fase inisial

(2 bulan pertama) diikuti Rimfapisin dan INH pada 4 bulan fase lanjut.

Tabel 3.7 Panduan OAT dan lama pengobatan TB pada anak


Fase Fase
Kategori Diagnostik
Intensif Lanjutan
TB klinis
TB kelenjar 2RHZ 4RH
Efusi Pleura
TB terkonfirmasi Bakteriologis
TB paru dengan kerusakan luas
2RHZE 4RH
TB ekstraparu (selain TB Meningitis
dan TB Tulang/ Sendi)
TB tulang/ sendi
TB milier 2RHZE 10RH
TB meningitis

Berbeda dengan orang dewasa, OAT anak diberikan setiap hari, bukan 2

atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan

menelan obat yang lebih sering terjadi pada anak-anak. Dosis obat juga haus

disesuaikan berat badan anak. Prisip dasar pengobatan TBC harus dapat

menembus berbagai jaringan termasuk selaput otak

Fixed Dose Combination (FDC) adalah sediaan obat kombinasi dalam dosis

yang telah ditentukan. Untuk menjaga kepatuhan pasien dalam menjalani

pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak.

Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB :

 Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan

resep

 Meningkatkan penerimaan dan keteraturan pasien

 Mempermudah pengelolaan obat (proses pengadaan, peyimpanan,

dan distibusi obat)


 Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (mooterapi) sehingga

mengurangi resistensi

 Mengurangi kegagalan pengobatan dan terjadinya kekambuhan.

Tabel 4.7 Dosis kombinasi FDC TBC pada anak


Berat badan (kg) 2 bulan 4 bulan
RHZ (75/50/150 mg) RH (75/50 mg)
5–7 1 tablet 1 tablet
8-11 2 tablet 2 tablet
12 – 16 3 tablet 3 tablet
17-22 4 tablet 4 tablet
23 – 30 5 tablet 5 tablet
>30 OAT Dewasa

Catatan:

 Bila BB naik, maka dosis atau jumlah tablet yang diberikan sesuai

dengan BB saat itu

 Bila bayi BB < 5 kg sebaiknya dirujuk ke RS.

 Obat harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah).

 Obat diberikan saat perut kosong ata 1 jam setelah makan

Tabel 4.8 Dosis kombinasi FDC TBC pada orang dewasa kategori 1
Fase Intensif Fase lanjut

BB tiap hari selama 56 hari 3x/mngg selama 16 mngg

RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)

30-37kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

71kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Pada kondisi khusus pemberian kortikosteroid dapat diberikan untuk pasien

TB anak dengan kondisi seperti, TB meningitis, sumbatan jalan napas akibat TB

kelenjar (endobronkhial TB), perikarditis TB, TB milier dengan gangguan napas

yang berat, efusi pleura TB, dan TB abdomen dengan asites. Obat yang sering

digunakan adalah prednison dengan dosis 2mg/kg/hari-4mg/kg/hari pada kasus

berat dengan dosis maksimal 60mg/hari selama 4 minggu. Tappering-off

dilakukan secara bertahap setelah 2 minggu pemberian kecuali pada TB

meningitis pemberian selama 4 minggu sebelum tappering-off.

Pada pasien ini pengobatan TB yang digunakan menggunakan FDC yang

berisi RHZE sebanyak 2 tablet dikonsumsi selama 2 bulan, lalu dilanjutkan FDC

isi RH 2 tablet yang dikonsumsi selama 10 bulan. Selain itu pasien mendapatkan

terapi prednison 3x4tab 5mg. Terapi OAT yang digunakan pada pasien

menggunakan terapi orang dewasa dikarenakan berat badan pasien yang >30kg.

Terapi yang diberikan pasien sudah sesuai dengan ketentuan terapi OAT Pedoman

Nasional Pengendalian Tuberkulosis Kemenkes 2011. Dosis kortikosteroid yang

digunakan masih sesuai dengan dosis yang dianjurkan yaitu maksimal 60mg/hari.
BAB IV

KESIMPULAN
Pada laporan kasus ini telah dibahas pasien anak W, perempuan usia 13

tahun dengan keluhan nyeri kepala yang dirasa sejak 1 hari SMRS, keluhan nyeri

terasa berdenyut dan tidak membaik walau dibuat istirahat dan mengkonsumsi

obat nyeri kepala, penurunan kesadaran (-), kejang (-), keluhan lain disertai

penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, lemas dan tidak bertenaga sejak 1

bulan SMRS, adanya kontak positif dengan penderita TB paru aktif yaitu kakek

pasien dan tetangga pasien yang berjarak 1 rumah, berdasarkan skoring tb

didapatkan hasil 9, hasil mantorx test (+), foto thorax menunjukkan adanya

gambaran fibroinfiltrat suprahiler kiri, kesimpulan koch pulmonum atau TB paru-

paru, hasil CT scan menunjukkan hidrosefalus maka dapat didiagnosis dengan

tuberkulosis meningitis TB stadium 1. Pasien diberikan OAT dengan empat

macam obat pada fase intensif yakni dengan diberikannya FDC dewasa fase

intensif (2 bulan) sebanyak 2 tablet yang disesuaikan dengan berat badan pasien

saat ini dan akan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (10 bulan

atau lebih). Terapi yang diberikan selama fase intensif akan dievaluasi saat

kontrol berikutnya untuk menilai perbaikan klinis (respon dari OAT). Selain itu

pasien mendapatkan terapi tambahan predniso 3 x 4 tablet 5mg selama 4 bulan,

setelah itu dilakukan tappering-off.

DAFTAR PUSTAKA
Giok pemula dan Ety apriliana, 2016, Penatalaksanaan yang Tepat pada

Meningitis Tuberkulosis, J Medula Unila, Vol. 6 No. 1, hal 50-54.

Kemenkes, 2011, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, Kemenkes RI

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,

hal. 24.

Kemenkes, 2016, Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak,

Kemenkes RI Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit,

hal. 1-32.

Kemenkes, 2011, Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, Kemenkes RI

Direktorat Jendral Bina Gizi Kesehatan Ibu dan Anak, Direktorat Bina

Gizi, hal. 38.

Lilihata, G., dan Handriastuti, S., 2014, Kapita Selekta: Meningitis Tuberkulosis,

Jakarta: Media Aesculapius, hal. 111-113.

Rahmayanti, D.D., Gunawan, P.I., dan Utomo, B., 2017, Profil klinis dan Faktor

Resiko Hidrosefalus Komunikand dan Non Komunikans pada Anak di

RSUD dr. Soetomo, Sari Pediatri, Vol. 19, No. 1, hal. 25-31.

Roser,T., Bonfert, M., Ebinger, F., et all , 2013, Primary versus Secondary

Headache in Children: A Frequent Diagnostic Challenge in Clinical

Routine, New york, Neuropediatrics 2013;, Vol. 44, No.1. pp 34-39.

Anda mungkin juga menyukai