Anda di halaman 1dari 19

BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI

Oleh:

dr.Elvira Cesarena

dr. Christopher Kusumajaya

Pembimbing:

dr. Raden Yohana, SpB(K)Onk.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN

BANDUNG

2019
BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI

Pendahuluan

Biopsi adalah tindakan pengambilan dan pemeriksaan dari jaringan tubuh


yang hidup, yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis pasti. Peran dari biopsi
antara lain sebagai sarana diagnostik yang bisa menentukan histologi tumor dan
gradasi serta membantu perencanaan terapi definitif. Biopsi menjadi tahap awal
pada pendekatan terapi multimodal, tentu saja harus dilakukan sesuai dengan
prosedur yang benar. Sebaliknya biopsi dapat menimbulkan komplikasi pada
perawatan pasien jika tidak dilakukan dengan benar. Sampai saat ini beberapa
tehnik biopsi yang digunakan oleh klinisi antara lain: biopsi aspirasi jarum halus
(Fine Needle Aspiration Biospy), biopsi core-needle, biopsi insisi, dan biopsi
eksisi. Untuk lesi di kulit dapat dipakai tehnik shave biopsy, saucerization biopsy,
dan punch biopsy. Untuk lesi mukosa biasanya biopsi dilakukan secara endoskopi
(contoh via kolonoskop, bronkoskop, sistoskop). Lesi yang mudah dipalpasi,
seperti lesi di kulit, dapat dieksisi atau dilakukan punch biopsi. Lesi yang lebih
dalam dapat dilokalisasi dengan CT atau ultrasonografi untuk biopsi. Untuk
menentukan pilihan biopsi yang akan dilakukan tergantung dari ukuran dan lokasi
massa dan pengalaman patologis.

Berbagai teknik biopsi :


1. Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB)
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy/FNAB)
meliputi aspirasi sel-sel dan fragmen jaringan melalui jarum yang telah dipandu
ke dalam suspect tissue. FNAB mudah, atraumatik, dan relatif aman. Untuk tumor
yang dalam dapat dilakukan dengan panduan CT atau USG. Kekurangan teknik
ini antara lain tidak memberikan informasi mengenai arsitektur jaringan. Sebagai
contoh, biopsi jarum halus pada massa payudara dapat mendiagnosis keganasan,
tetapi tidak dapat membedakan antara tumor yang invasif atau tidak invasif.
FNAB juga memerlukan sitopatologis yang terlatih untuk interpretasi spesimen.
1
Sensitivitas FNAB bervariasi dari 80% sampai 95% dan aspirat positif palsu
terlihat kurang dari 1% kasus, dan hasil negatif palsu terlihat pada 4% sampai
10% kasus tumor payudara.
FNAB menggunakan jarum halus (21-25 gauge) tanpa stylet dan syringe
kecil. Tidak digunakan anestesi. Idealnya, spesimen dipertahankan di dalam
jarum. Isi jarum kemudian disebarkan di atas gelas obyek. Gelas obyek kemudian
difiksasi dan/atau dikeringkan, tergantung dari keinginan patologis.

Gambar 1. Fine-needle aspiration biopsy (FNAB)

2. Core needle biopsy


Core biopsy seperti aspirasi jarum halus, relatif aman dan dapat dilakukan
dengan palpasi langsung (contoh, massa payudara atau massa jaringan lunak) atau
dapat dipandu dengan pencitraan (contoh stereotactic core biopsy of the breast).
Core biopsy seperti aspirasi jarum halus, memiliki kekurangan sampling error.
Core needle biopsy menghasilkan jaringan tipis (kurang lebih 1x10 mm). Ukuran
sampel yang kecil dapat menyulitkan patologis untuk mendiagnosis tumor secara
akurat, atau jaringan mungkin tidak representatif untuk seluruh tumor,
menyebabkan kesulitan dalam gradasi tumor.
Biopsi ini memakai jarum yang dirancang khusus seperti True-cut, Core-
cut, dan lain-lain. Pada sumbu jarum terdapat kait terbalik, setelah sumbu masuk
ke dalam jaringan barulah sarung jarum dimasukkan, lalu sumbu dan sarung
dikeluarkan secara bersamaan, sehingga diperoleh suatu pita kecil jaringan untuk
2
pemeriksaan patologi, maka disebut juga biopsi potong. Karena tabung jarum
lebih besar, kemungkinan terjadi implantasi tumor sepanjang jalur jarum lebih
besar dibandingkan aspirasi jarum halus.

Gambar 2. Core needle biopsy

3. Shave biopsy
Shave biopsy dilakukan pada lesi kulit yang menonjol seperti BCC
nodular, SCC, atau tumor yang berasal dari folikel. Dilakukan tindakan antiseptik,
lalu dilakukan anestesi lokal di bawah lesi. Dengan menggunakan jari telunjuk
dan ibu jari, kulit diregang agar stabil. Lalu, gunakan ujung scalpel no. 15 untuk
membatasi batas lesi. Dengan perut scalpel parallel dengan kulit, lakukan shave
biopsy. Gunakan forceps atau ujung jarum untuk mengambil lesi. Untuk
hemostasis dapat dilakukan kauterisasi elektrik atau kimia. Perawatan post operasi
mudah. Luka harus dicuci satu sampai dua kali sehari denhan sabun ringan dan
dibiarkan lembab dengan mengoleskan petroleum jelly pada balutan sampai
menyembuh.

Gambar 3. Shave biopsy


3
4. Punch biopsy
Punch biopsy cocok untuk mengambil sampel pada lesi yang datar dan
lebar, dan efektif untuk meraih sampel subkutan, dan mendapatkan informasi
mengenai kedalaman invasi tumor. Biopsi ini menggunakan anestesi lokal dan
trephine. Operator membuat insisi sirkular sampai tingkat lemak superfisial,
menggunakan trephine yang berputar. Traksi yang dilakukan tegak lurus terhadap
garis kulit yang relaks meminimalisir redundansi saat penutupan. Spesimen
diambil dengan forceps atau jarum. Hemostasis dilakukan dengan jahitan
nonabsorbable yang dapat diangkat 7-14 hari. Luka harus dicuci satu sampai dua
kali sehari denhan sabun ringan dan dibiarkan lembab dengan mengoleskan
petroleum jelly pada balutan sampai menyembuh.

Gambar 4. Punch biopsy


5. Incisional Biopsy (Biopsi Insisi)
Biopsi insisi adalah pengambilan sedikit jaringan dari massa tumor yang
lebih besar. Biopsi insisi sering diperlukan untuk diagnosis massa yang lebih
besar yang memerlukan prosedur bedah.
Instrumen yang diperlukan antara lain scalpel no. 15, forceps Adson, hak
kulit, gunting, benang jahit, dan kassa. Scalpel dipegang tegak lurus dengan
permukaan kulit. Insisi fusiform dilakukan pada pertengahan lesi. Spesimen
diambil untuk diperiksa, lalu luka dijahit.
Komplikasi biopsi insisi antara lain adalah infeksi luka, dehisensi, dan
pembentukan jaringan parut, serta hematom. Terdapat beberapa faktor penting
4
yang harus diperhatikan pada biopsy insisi. Untuk lesi di ekstremitas, insisi
dilakukan sepanjang aksis panjang ekstremitas. Untuk lesi di batang tubuh, insisi
dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat terambil bersamaan dengan seluruh
tumor yang akan diangkat. Letak biopsi harus tepat pada tumor, pada titik dimana
lesi dekat dengan kulit, dan tidak boleh ada lipatan yang meninggi atau yang
mengganggu di superfisial terhadap tumor. Sebelum penutupan luka, hemostasis
harus diperhatikan untuk meminimalisir hematoma. Drainase tidak rutin
dikerjakan, tetapi bila diperlukan, maka drain harus ditempatkan melalui atau
dekat dengan insisi biopsy. Bila didiagnosis dengan keganasan, jalur drain harus
tereksisi bersamaan dengan massa tumor.

Gambar 5. Biopsi Insisi

6. Excisional Biopsy (Biopsi eksisi)


Biopsi eksisi adalah eksisi seluruh jaringan tumor dengan sedikit atau
tanpa batas jaringan normal disekitarnya. Biopsi eksisi dilakukan untuk kuratif,
dengan mencakup jaringan yang adekuat di sekitar lesi untuk menjamin batas
operasi yang negatif sel tumor. Penandaan batas dengan jahitan atau klip oleh
pembedah atau mewarnai batas spesimen oleh patologis memudahkan penentuan
batas bedah dan menuntun diperlukannya reeksisi bedah bila salah satu atau lebih
batas masih mengandung sel tumor. Biopsi eksisi atau “shellout” dilakukan untuk
lesi yang berdiameter kurang dari 3-5 cm atau untu lesi yang sangat superfisial,
dimana kemungkinan keganasan rendah.

5
Sebelum anestesi dan eksisi, operator menandai batas lesi. Kemudian
dilakukan eksisi berbentuk fusiform dengan sudut 30o atau lebih sirkular.
Disrankan untuk melakukan jahitan pada posisi jam 12 pada spesimen sebagai
penanda untuk patologis. Komplikasi biopsy eksisi antara lain adalah infeksi luka,
dehisensi, dan pembentukan jaringan parut, serta hematom.

Gambar 6. Biopsi eksisi

Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh operator pada prosedur


biopsi diantaranya:
1. Jalur jarum atau jaringan parut harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga
dapat terambil pada prosedur bedah selanjutnya. Penempatan insisi biopsi
sangat penting, dan kesalahan penempatan dapat mempengaruhi perawatan
selanjutnya. Biopsi insisi harus ditandai untuk memudahkan eksisi skar biopsi
bila operasi lanjutan diperlukan. Lebih lanjut, biopsi insisi harus dilakukan
pada area yang akan dibuang, bukannya pada sisi lainnya, yang berisiko
mengkontaminasi lapangan yang lebih luas. Insisi pada ekstremitas harus
longitudinal agar pengangkatan jaringan dan penutupan yang akan dilakukan
selanjutnya lebih mudah.
2. Harus diperhatikan untuk mencegah kontaminasi jaringan lain saat biopsi.
Adanya hematom besar setelah biopsi dapat menyebabakan penyebaran tumor
dan membuat follow up pemeriksaan fisik lebih sulit. Untuk biopsi pada

6
ekstermitas, penggunaan tourniquet dapat membantu mengontrol perdarahan.
Instrument yang digunakan pada prosedur biopsi merupakan sumber
kontaminasi potensial lainnya pada jaringan sekitarnya. Tidak biasa dilakukan
mengambila biopsi dari beberapa lesi tersangka pada satu waktu. Kontak
instrumen yang telah mengenai jaringan tumor dengan jaringan normal harus
dihindari.
3. Drainase tidak rutin dikerjakan, tetapi bila diperlukan, maka drain harus
ditempatkan melalui atau dekat dengan insisi biopsi. Bila didiagnosis dengan
keganasan, jalur drain harus tereksisi bersamaan dengan massa tumor.
4. Sampel jaringan yang adekuat harus diambil untuk memenuhi kebutuhan
patologis. Untuk mendiagnosis tumor, mikroskop electron, kultur jaringan,
atau teknik lain diperlukan. Jaringan yang cukup harus diambil untuk
mengantisipasi kesulitan diagnostic tersebut.
5. Penting untuk menandai area tumor tententu untuk menjadi penanda spesimen
oleh patologist. Fiksatif tertentu baik untuk digunakan pada jenis dan ukuran
tumor tententu.
6. Penempatan klip radioopak saat biopsi dan prosedur staging terkadang penting
untuk menandai area tumor dan memandu terapi radiasi pada area ini.

Metode diagnosis patologi tumor


Metode-metode diagnosis patologi tumor adalah sebagai berikut:
1. Potongan blok parafin (paraffin-embedded tissue section)
Metodenya adalah jaringan sampel didehidrasi kemudian ditanam dalam
parafin padat, lalu dipotong, diwarnai (hematosilineosin/ H-E) diperiksa dibawah
mikroskop untuk dibuat diagnosis,
2. Potongan Beku (frozen section / vriescope)
Caranya adalah mengambil sekeping kecil jaringan segar, tidak perlu
difiksasi, dibawa kebagian patologi untuk dicetak beku secara cepat, diwarnai dan
diagnosis. Umumnya proses membutuhkan waktu 30 menit.
Kegunaan potong beku adalah (1) bilamana diagnosis belum dapat
dipastikan sebelum operasi. Saat operasi perlu mengetahui sifat lesi untuk
7
menentukan teknik terapinya, (2) saat operasi perlu mengetahui secara pasti luas
infiltrasi lesi, untuk menetapkan batas operasi, (3) untuk mengetahui apakah suatu
lesi diluar tumor termasuk metastase tumor (4) untuk memastikan ada tidaknya
rudapaksa, terhadap jaringan normal (misalnya terhadap ureter dan lain-lain) atau
memastikan biopsi terlah mendapatkan jaringan tumor.
Karena potongan beku waktunya mendesak, jaringan belum sempat
difiksasi. Desikasi, dan tahapan awal lain. Hingga pewarnaan sedian kurang baik
dan lain-lain. Maka ketepatan diagnosis lebih rendah dari potongan blok parafin.
Potongan beku tidak boleh menggantikan diagnosis dari potongan blok parafin.
Biopsi spesimen kecil tidak sesuai dibuat potongan beku. Tulang dan jaringan
kalsifikasi juga tidak sesuai untuk potongan beku karena terlalu keras tidak dapat
dipotong.
3. Diagnostik sitologi
Ini adalah metode mengambil sel dari jaringan tumor, dibuat pulasan
diwarna (PAS atau H-E) kemudian diperiksa morfologinya untuk membuat
diagnosis. Menurut cara pengambilan sampel dapat dibagi menjadi sitologi
eksfoliatif untuk tumor dipermukaan tubuh, rongga tubuh, atau di dalam saluran
yang berhubungan dengan permukaan tubuh; dan sitologi pungsi untuk tumor
padat.
4. Tehnik Histokimia
Ini adalah metode menggunakan afinitas terhadap berbagai zat warna
kimiawi yang berbeda dari berbagai sel dan produknya. Dengan tehnik reaksi
kimiawi dapat diperlihatkan komponen atau produk kimiawi spesifik didalam sel
untuk membantu diagnosis dan klasifikasi terhadap suatu kelainan, tehnik
pewarnaan histokimia terdapat lebih edari 100 macam, yang sering dipakai adalah
(1) pewarnaan retikulin; (2) pewarnaan fibrin;(3) pewarnaan otot lurik;(4)
pewarnaan glikogen; (5) pewarnaan musin; (6) pewarnaan lipid (7) pewarnaan
melanin;(8) pewarnaan tahan asam, dan lain lain.
5. Tehnik imunohistokimia (IHC)
Prinsip IHC adalah reaksi antigen-antibodi, yaitu menggunakan reaksi
antibodi yang sudah diketahui bereaksi dengan antigen targer dalam jaringan yang
8
akan diperiksa. Hingga terbentuk komplek antigen-antibodi. Dengan membuat
komplek itu menampilkan warna, maka dapat dibuktikan keberadaan antigen
target itu. Peranan IHC dalam diagnosis dan terapi tumor adalah sebagai berikut:
a. Diagnosis dan diagnosis banding tumor karena adanya heterogenitas pada
tumor yang sama dan adanya banyak kemiripan pada tumor yang berbed,
banyak tumor terutama yang berdeferensiasi buruk sulit ditentukan arah
deferensiasinya secara morfologi. Misalnya tumor jenis sel kecil (dapat
berupa karsinoma sel kecil, berbagai sarkoma sel kecil. Limfoma maligna,
melanoma maligna, dan lain-lain). Tumor sel peomorfik atau sel spindel
sulit sekali diagnosisnya. Dengan tehnik IHC. Diagnosis dan klasifikasi
tumor demikian dapat menjadi lebih jelas, misalnya saluran pencernaan
mempunyai berbagai jenis tumor sel spindel. Dengan antibodi CD117,
CD34, S-100, desmin, dapat dibedakan tumor stroma gastrointestinal
(GIST) yang mengekspresikan CD 117, CD 34, leiomioma/arkoma yang
mngekspresikan desmin, neurilemoma/neurilemoma maligna yang
mengekspresikan protein S-100 .
b. Menentukan lokasi primer kanker matastatik: tumor matastatik kelenjar
limfe atau bagian lainnya kadangkala hanya mengandalkan morfologi.
Dibawah mikroskop suara cahaya sulit ditentukan lokasi primernya . IHC
dapat membantu menentukan asal sebagian tumor tersebut, misalnya
tiroglobulin (TG), antigen spesifik prostat (PSA), alfafetoprotein (AFP)
fosfatase alkali plasenta (PLAP) dan lain-lain. Memastikan matastasis dari
karsinoma tiroid, karsinoma prostat, hepatoma atau tumor sel germinal.
Antigen spesifik jaringan seperti ini masih sedikit jumlahnya.
c. Diagnosis dan klasifikasi limfoma maligna: kecuali limfoma hodgkin dan
limfoma folikular yang bentuknya sangat tipikal, dalam hal diagnosis dan
klasifikasi limfoma maligna terutama limfoma non hodgkin nyaris tidak
dapat meninggalkan IHC. Metode klasifikasi paling umum dewasa ini
adalah metode klasifikasi menurut WHO tahun 2000. Berdasarkan
klasifikasi Lukes yang megklasifikasikan tumor jaringan hematolimfoid
berdasarkan gabungan perubahan morfologi, manifestasi imunitas,
9
kelainan genetik, manifestasi klinis dan prognosis. Diantaranya, limfoma
non hodgkin dapat diklasifikasikan menjadi limfoma pra-sel B dan sel T.
Limfoma sel B matur. Limfoma sel T matur dan sel NK. Dan limfoma
histiositik dan sel dendritik yang lebih jarang ditemukan. Limfoma
hodgkin diklasifikasikan menjadi dua golongan besar, yaitu tipe
predominan limfosit nodular dan tipe klasik (termasuk tipe
nodulosklerosis, tipe sel campuran, tipe predominan limfosit, tipe deplesi
limfosit). Sudah tersedia 100 lebih jenis antibodi seri CD dan antibodi lain
yang tepat yang dapat dipakai untuk diagnosis dan klasifikasi limfoma.
d. Memperkirakan tabiat biologis tumor dan memberikan dasar bagi
penentuan terapi secara klinis: misalnya pemeriksaan terhadap ekskresi
berbagai onkogen, gen resisten obat multiple (MDR) dan gen reseptor
hormon.
6. Diagnosis mikroskopik elektron
Mikroskop elektron dapat dipakai untuk diagnosis dan diagnosis banding,
misalnya (1) untuk membedakan antara karsinoma dan sarkoma yang sulit
dibedakan dengan mikrokop cahaya. (2) untuk membedakan jaringan asal dari
tumor sel spindel, tumor sel bulat kecil, tumor sel pleomorfik, yang secara
morfologik sulit ditentukan (3) untuk membedakan antara mesetelioma dan
adenokarsinoma (4) untuk diagnosis dan menbedakan berbagai jenis tumor
neuroendokrin (5) memastikan asal tumor metastasis (6) membantu klasifikasi
limfoma.
7. Autopsi
Dalam patologi tumor, autopsi memiliki makna penting untuk memahami
perkembangan, metastasis dan sebab kematian, diagnosis dan diagnosis banding,
ada diagnosis banding tumor yang sangat sulit, misalnya sebagian melanoma
organ dalam, hanya dengan autopsi yang teliti dapat dipastikan apakah sifatnya
primer.

10
Pembacaan gambaran makroskopis
Dengan penglihatan mata biasa diperhatikan jaringan tumor tersebut.
Bagaimana bentuk dan morfologi tumor, warna, adanya nekrotik, adanya
perdarahan. Secara makroskopik juga dapat ditentukan ada tidaknya sampai
tumor, adanya pertumbuhan yang infiltratif, konsistensinya, apakan jaringan
tumor rapuh atau tidak, dan ukuran tumor.

Pembacaan gambaran mikroskopis


Perbedaan mikroskopis khas antara tumor jinak dan ganas dapat dilihat
pada tabel berikut:
Gambaran morfologi Jinak Ganas
Jaringan Tersusun Tidak tersusun
Arsitektur Mirip jaringan asal Kurang atau sama sekali
tidak mirip dengan
jaringan asal
Perubahan sekunder Jarang atau tidak ada Nekrosis, perdarahan
Sel Berdeferensiasi baik Berdeferensiasi buruk
Ukuran, bentuk Seragam Pleomorfik
Inti Serupa dengan normal Atipik
Ukuran, bentuk Reguler Ireguler
Kromatin Tersebar merata
Nukleolus Tidak jelas Menonjol, banyak
Mitosis Sedikit Banyak, ireguler
Dengan mikroskop elektron, sel-sel tumor jinak memiliki sitoplasma yang
berkembang baik dan mengandung organel-organel yang biasa ditemukan pada
jaringan normal yang sesuai. Tumor ganas terdiri dari sel-sel yang hanya sedikit
mirip dengan sel normal inti sel-sel ini pleomorfik dan bervariasi dalam ukuran,
bentuk, dan distribusi kromatinnya. Sitoplasma sel tumor maligna biasanya
mengandung lebih sedikit organel dari sitoplasma sel normal.

11
Derajat deferensiasi tumor ganas dapat dinilai secara hsitologis, dan tumor
dapat ditentukan derajatnya (tingkatan, grade)menjadi deferensiasi baik (derajat
I), berdeferensiasi sedang (derajat II), atau berdeferensiasi buruk (derajat III)
misalnya adenokarsinoma berdeferensiasi baik mempunyai kelenjar yang
berbentuk teratur. Pada adenokarsinoma yang berdeferensi sedang kelenjar kurang
begitu teratur dan pada tumor yang berdeferensiasi buruk (derajat III).

Staging kanker
Staging kanker merupakan sistem yang digunakan untuk menggambarkan
penyebaran anatomic pada proses keganasan pada pasien. Sistem ini berhubungan
dengan faktor prognostik, seperti ukuran tumor, lokasi, ekstensi, gradasi, dan
diseminasi pada KGB regional, atau tempat jauh. Staging yang akurat penting
untuk menentukan regimen terapi yang tepay untuk pasien.
Sistem staging pentimg untuk perbandingan pada institusi berbeda di
seluruh dunia. Sistem staging yang diusulkan oleh American Joint Committee on
Cancer (AJCC) dan Union Internationale Contre Cancer (International Union
Against Cancer, UICC) merupakan system yang banyak digunakan. Keduanya
mengadaptasi system TNM yang menentukan ekstensi anatomik kanker
berdasarkan 3 komponen berikut: tumor primer (T), ada/tidaknya metastasis KGB
regional (N), dan adanya metastasis jauh (M).
Sistem TNM diaplikasikan hanya untuk kasus yang secara mikroskopik
ganas. Staging TNM standar (klinis dan patologis) dilakukan pada saat diagnosis
awal. Staging klinis (cTNM atau TNM) berdasarkan informasi sampai terapi
definitive pertama. Staging patologis (pTNM) mencakup informasi klinis dan
informasi dari pemeriksaan patologi pada tumor primer dan KGB yang direseksi.
Klasifikasi lain adalah re-treatment (rTNM), dan autopsy (aTNM).
Clark dan Breslow mendefinisikan kedalaman invasi melanoma primer:
Clark level I : melanoma in situ, terbatas pada epidermis atau dermal/epidermal
junction
Clark level II : melanoma menginvasi papilla dermis
Clark level III : melanoma mengisi papilla dermis
12
Clark level IV : melanoma menginvasi retikula dermis
Clark level V : melanoma menginvasi lemak subkutan
Breslow T2 : ketebalan lesi 1-2 mm
Breslow T3 : ketebalan lesi 2-4 mm
Breslow T4 : ketebalan lesi > 4 mm

Klasifikasi Dukes untuk tumor kolorektal:


Dukes A : tumor terbatas pada, tetapi tidak menembus dinding usus
Dukes B : penetrasi ke dinding usus
Dukes C : penyebaran ke KGB lokal regional
Dukes D : metastasis jauh

MACAM BIOPSI

 Biposi insisional yaitu pengambilan sampel jaringan melalui pemotongan


dengan pisau bedah. Anda akan dibius total atau lokal tergantung lokasi
massa, lalu dengan pisau bedah, kulit disayat hingga menemukan massa
dan diambil sedikit untuk diperiksa.

13
 Biopsi eksisional yaitu pengambilan seluruh massa yang dicurigai untuk
kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Metode ini dilakukan di bawah
bius umum atau lokal tergantung lokasi massa dan biasanya dilakukan bila
massa tumor kecil dan belum ada metastase atau penyebaran tumor.

 Biopsi jarum yaitu pengambilan sampel jaringan atau cairan dengan cara
disedot lewat jarum. Biasanya cara ini dilakukan dengan bius lokal (hanya
area sekitar jarum) dan bisa dilakukan langsung atau dibantu dengan
radiologi seperti CT scan atau USG sebagai panduan bagi dokter untuk
membuat jarum mencapai massa atau lokasi yang diinginkan. Bila biopsi
jarum menggunakan jarum berukuran besar maka disebut core biopsi,
sedangkan bila menggunakan jarum kecil atau halus maka disebut fine
needle aspiration biopsi.

14
 Biopsy jarum dengan bantuan endoskopi. Prinsipnya sama yaitu
pengambilan sampel jaringan dengan aspirasi jarum, hanya saja metode ini
menggunakan endoskopi sebagai panduannya. Cara ini baik untuk tumor
dalam saluran tubuh seperti saluran pernafasan, pencernaan dan
kandungan. Endoskopi dengan kamera masuk ke dalam saluran menuju
lokasi kanker, lalu dengan jarum diambil sedikit jaringan sebagai sampel.

15
Digunakan triple test, meliputi:

1. A. ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK


Hal-hal yang harus ditanyakan kepada penderita adalah letak benjolan,
sejak kapan mulai timbul benjolan, dan kecepatan tumbuhnya. Selain itu,
perlu juga ditanya berbagai gejala penyerta, seperti ada tidaknya nyeri, jenis
dan jumlah cairan yang keluar dari puting, perubahan bentuk dan besar
payudara, hubungannya dengan haid, perubahan pada kulit, dan retraksi
puting susu. Faktor risiko yang perlu diketahui antara lain: riwayat keluarga
yang terkena kanker payudara dan atau kanker ovarium, riwayat obstetri dan
ginekologi, terapi hormonal (termasuk kontrasepsi hormonal), riwayat
operasi/aspirasi benjolan di payudara sebelumnya.
B. Pemeriksaan fisik

16
Pastikan pasien dalam keadaan nyaman, hangat dan hadirnya seorang
pendamping. Lakukan inspeksi payudara: apakah simetris, benjolan yang
jelas, perlekatan kulit, periksa dengan kedua lengan terangkat. Lakukan
palpasi : setiap kuadran termasuk ujung jaringan payudara di aksila. Adakah
benjolan, dimana letaknya, konsistensinya, nyeri tekan atau tidak, cari
kemungkinan adanya metastatis.

2. A. PEMERIKSAAN PENUNJANG MAMOGRAFI


Sedapat mungkin dilakukan sebagai alat bantu diagnostik utama, terutama
pada usia di atas 30 tahun. Walaupun mamografi sebelumnya normal, jika
terdapat keluhan baru, maka harus dimamografi ulang.
B. ULTRASONOGRAFI
Ultrasonografi sangat berguna untuk membedakan lesi solid dan kistik
setelah ditemukan kelainan pada mamografi . Pemeriksaan ini juga dapat
digunakan pada kondisi klinis tertentu, misalnya pada wanita hamil yang
mengeluh ada benjolan di payudara sedangkan hasil mamografi nya tidak
jelas walaupun sudah diulang, dan untuk panduan saat biopsi jarum atau core
biopsy.

3. BIOPSI
Tidak terhadap semua kasus benjolan payudara dilakukan biopsi. Beberapa
panduan terkini lebih menganjurkan core biopsy sebagai pilihan pertama. Apabila
tidak ada fasilitas ini, maka biopsi insisi/ekstirpasi sebagai gantinya. Biopsi
aspirasi dengan jarum halus tidak dianjurkan, kecuali dilakukan oleh ahli yang
berpengalaman.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Libutti SK, Saltz LB, Tepper JE. Colon cancer, in De Vita V.T. Jr. Hellman
S, Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology, vol 1. 8th ed,
Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008
2. Rosenberg AS. Principles of surgical oncology, in De Vita V.T. Jr. Hellman
S, Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology, vol 1. 8th ed,
Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008
3. Sidransky D. Cancer of the head and neck, in De Vita V.T. Jr. Hellman S,
Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology, vol 1. 8th ed,
Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008
4. Conzen SD, Grushko TA, Olopade OI. Cancer of the breast. in De Vita V.T. Jr.
Hellman S, Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology, vol 1.
8th ed, Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008
5. Thomas VD, Aasi SZ, Wilson LD, Lefell DJ. Cancer of the skin, in De Vita V.T.
Jr. Hellman S, Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology, vol
1. 8th ed, Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008
6. Fisher DE, Kwong LN, Chin L. Melanoma, in De Vita V.T. Jr. Hellman S,
Rosenberg A.A.: Cancer principles and practice of oncology, vol 1. 8th ed,
Philladelphia. Lippincott Raven Publisher. 2008
7. Chang A, Sondak VK. Clinical evaluation and treatment of soft tissue tumors, in
Weiss SW, Goldbum JR: Enzinger and Weiss’s Soft tissue tumors, 4th edition, St
Louis. Mosby, 2001
8. Ddesen W, Japaries W. Onkologi Klinis, Edisi 2. Jakarta, FK-UI. 2008
9. Nouri K, Patel AA, Vejjabhinanta V. Biopsy techniques, in Nouri K: Skin cancer.
New York, Mc Graw Hill. 2008
10. Bernstam FM, Pollock RE. Oncology, in Brunicardi et al.: Schwartz’s principles
of surgery. 8th ed. New York: Mc Graw Hill. 2005

18

Anda mungkin juga menyukai