Kajian Atas Kitab Tafsir Sabilul Huda Karya Kyai Muzayyin Samsuddin (W. 2013 M)
Kajian Atas Kitab Tafsir Sabilul Huda Karya Kyai Muzayyin Samsuddin (W. 2013 M)
(W. 2013 M)
Oleh:
Afrokhul Banat
NIM: 15010198
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah
Tafsir Nusantara
A. Pendahuluan
Tafsir merupakan produk akal manusia yang relatif, konteksual,
temporal, dan personal.1 Nas}r H}a>mid menyebutkan bahwa al-Qur’an
merupakan produk budaya.2 Tafsir merupakan anak zaman. Perkembangannya
senantiasa berkorespondensi dengan zeitgeist (semangat zaman). Tafsir lahir dari
proses dialektika antara penafsir dengan realitas budaya di satu pihak dan
dialognya dengan al-Qur’an di pihak lain. Oleh karena itu tafsir sifatnya dinamis
dan penafsiran pun menjadi beragam, sebagai respon dari beragamnya budaya.
Terlebih lagi di Indonesia yang kaya akan budaya, hal itu menjadi wajar jika di
Indonesia memiliki berbagai karya tafsir dengan beragam bahasa, bahasa daerah
dari masing-masing penafsir.
Pembahasaan lokal terhadap al-Qur’an, entah itu sebatas penerjemahan
atau berupa penafsiran, pada dasarnya merupakan upaya yang dilakukan oleh
Muslim yang memiliki kemampuan lebih untuk menyampaikan dan menjelaskan
pesan-pesan Tuhan yang ingin disampaikan melalui nas} al-Qur’a>n kepada
Muslim secara luas. Ia tidak hanya menjelaskan makna di balik ayat, tetapi juga
berupaya menyelaraskan konsep dan nilai ajarannya ke dalam alam pikir
1
Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneuika dan Tafsir al-Qur’an
(Jakarta: Gema Insani, 2007), hlm. 17.
2
Nas}r H}a>mid Abu> Zayd, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an,
terj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 1.
2
budayanya.3 Dengan demikian terjadi persentuhan antara konsep dan nilai ajaran
yang terkandung dalam al-Qur’an dengan kebudayaan lokal yang kemudian perlu
didialogkan.
Salah satu khazanah tafsir Nusantara yang ikut meramaikan
perkembangan tafsir di era modern-kontemporer adalah Sabi>l al-Huda>, yang
juga merupakan salah satu penafsiran yang menggunakan bahasa daerah. Tafsir
al-Qur’an ini menggunakan bahasa Jawa dan aksara Arab yang ditulis oleh Kyai
Muzayyin (w. 2013). Kitab ini disusun dengan menggunakan bahasa yang sangat
mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat sekitar sang penulis. Karena
menggunakan bahasa sehari-hari masyarakat di daerah Purworejo.
Penulis memiliki beberapa alasan mengapa kajian ini penting untuk
diteliti. Pertama, kitab tafsir Sabi>l al-Huda> merupakan kitab tafsir sederhana
yang lahir bukan dari lingkungan pesantren maupun akademisi, seperti kitab tafsir
pada umumnya. Kedua, pada era modern-kontemporer kajian tafsir di Indonesia
sangat jarang yang masih menggunakan bahasa lokal. Selain itu kitab tersebut
belum terjamah oleh penggerak studi al-Qur’an dan tafsir. Atas dasar tersebut
penelitian ini dirasa sangat penting untuk dilakukan.
3
Jajang A. Rohmana, “Memahami al-Qur’an dengan Kearifan Lokal: Nuansa Budaya
Sunda dalam Tafsir al-Qur’an Budaya Sunda”, Journal of Qur’an and Hadith Studies, Vol. 3, No.
1, 2014, hlm. 81.
4
Wawancara dengan bapak Masudi Yusuf, pada Jumat, 16 Maret 2018, di Pp. Lu’lu’il
Qur’anil Maknun, Kutoarjo, Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah.
3
5
Ibid.
6
Wawancara dengan pak Najib (putra Kiai Muzayyin), pada Kamis, 22 Maret 2018, di
rumah Kiai Muzayyin Samsuddin alm., Brenggong, Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah.
7
Artikel tersebut merupakan Novita Siswayanti, “Karakteristik Karya Ulama Purworejo”,
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015, hal. 555-574.
8
Muzayyin Samsuddin, Sabi>l al-Huda> (Purworejo: t.p, t.t.).
4
Dhuh}a> [93] (sesuai urutan tartib mushafi), dengan diawali surat al-Fa>tih}ah
[1]. Sistematika penulisan kitab ini seperti pada umumnya, diawali dengan
muqaddimah dari pengarang, yang isinya menyampaikan alasan penulisan kitab.
Setelah itu langsung masuk ke dalam penjelasan surat-surat pendek yang dimulai
dengan surat al-Fa>tih}ah.
Dalam menjelaskan masing-masing surat, Kyai Muzayyin selalu
menuliskan terlebih dahulu nama surat dan nomor urut surat sesuai dengan tartib
mushafi, setelah itu ditulis semua ayat da lam surat itu dengan menuliskan
basmalah terlebih dahulu. Setelah itu memberi arti perkata dengan makna
gandhul, dengan aksara pegon dengan maksud makna gandhul tersebut bisa
membantu proses pemahaman para jamaah yang ngaji kitab tersebut. Setelah itu
Kyai Muzayyin menuliskan tuntunan hidup yang diambil dari isi kandungan surat-
surat tersebut. Terakhir Kyai Muzayyin mencantumkan pengetahuan Bahasa Arab
ringkas, sebagai pengetahuan awal tentang gramatika Arab. Yang mana kawruh
Bahasa Arab ini seringnya bukan merupakan penjelasan i’rab atau tarkib dari
surat yang dijelaskan. Akan tetapi seringnya berupa penjelasan secara ringkas
istilah-istilah yang ada dalam ilmu nahwu atau sharaf. Terkadang juga kawruh
bahasa Arab ini berisi tentang tarkib dari beberapa ayat dalam surat yang telah
dijelaskan.
Kitab tafsir ini sangat sederhana ditulis dengan tangan dan hanya
terdiri dari 100 halaman. Inilah salah satu keunikan tafsir ini, di zaman yang sudah
sangat maju teknologinya Kyai Muzayyin masih saja nguri-uri budaya lama
dengan menulis kitab dengan tulisan tangan langsung. Dengan bahasa yang sangat
sederhana dan susunannya pun ringkas. Berbeda dengan kitab tafsir pada
umumnya, kitab ini dalam menyampaikan penafsirannya langsung masuk kepada
pemahaman ayat. Tanpa menyebutkan tempat diturunkannya surat, sangat jarang
juga ditemukan asbab al-nuzul-nya.
Sedangkan sumber penafsiran yang diambil kiai Muzayyin dalam
kitabtafsirnya mengguakan bi al-ra’yi. Hal ini sangat jelas karena memang kiai
Muzayyin hampir sama sekali tidak menyebutkan rujukan penafsiran, baik itu
berupa hadis, atau kitab-kitab sebelumnya.
5
Kitab tafsir Sabi>l al-Huda> ini lahir di dunia tafsir era modern-
kontemporer, tepatnya di awal abad ke-21 M. Nurdin Zuhdi mengatakan bahwa
pada era ini kajian tafsir muncul karena adanya kegelisahan sosial, karena adanya
isu-isu sosial, banyaknya problem-problem aktual yang berkembang di
masyarakat.9 Oleh karena itu pada era ini produk-produk tafsir yang hadir pun
mencoba menjawab kegelisahan-kegelisahan yang ada. Jika era sebelumnya yang
kebanyakan menafsirkan dengan utuh al-Qur’an 30 juz, berbeda dengan era
modern-kontemporer dimana kajian tafsir dengan model tematik lebih marak
berkembang.
Pada era tersebut di Indonesia lahir karya-karya tafsir, diantaranya
Tafsir Maudhu’i al-Muntaha,10 Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani atas Masalah
Sosial Kontemporer,11 Tafsir al-Hidayah: Ayat-ayat Aqidah, 12Tafsir al-Misbah,13
Tafsir Ayat-ayat Ahkam,14 Tafsir Temaik al-Qur’an dan Masyarakat: Membangun
Demokrasi dalam Peradaban Nusantara,15 Tasir Qur’an Aktual,16 Ayat-ayat
Semesta: Sisi al-Qur’an yang Terlupakan,17 dan masih banyak lagi. Pada era ini
memang kebanyakan karya tafsir yang hadir adalah tafsir-tafsir yang
menggunakan bahasa nasional (bahasa Indonesia), bukan bahasa daerah.
Meskipun ada akan tetapi sangat langka, misalnya adalah Tafsir Juz ‘Amma dan
Maknanya yang ditulis oleh Aliy As’ad.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tafsir Sabi>l al-Huda>
juga berangkat dari kegelisahan penulis, dan sangat relefan dengan sasaran
9
Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia: dari Kontestasi Metodologi hingga
Kontekstualisasi (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014).
10
Tim Sembilan, Tafsir Maudhu’i al-Muntaha (Yogyakarta: Pustaka Pesantran, 2004).
11
Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial
Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar:2001).
12
Sa’ad Abdul Wahid, Tafsir al-Hidayah: Ayat-ayat Aqidah (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2003).
13
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2000).
14
E. Syibili Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Ahkam (Jakarta: Rajawali Press, 2008).
15
Hasyim Muhammad, Tafsir Tematik al-Qur’an dan Masyarakat: Membangun
Demokrasi dalam Peradaban Nusantara (Yogyakarta: Teras, 2007).
16
A. Musta’in Syafi’ie, Tafsir Qur’an Aktual (Jombang: Asrama Munzalan, 2000).
17
Agus Purwanto, Ayat-ayat Semesta: Sisi al-Qu’an yang Terlupakan (Bandung: Mizan,
2008.
6
Dalam kitab ini, sedikitnya terdapat dua aspek nuansa budaya Jawa
yang menjadi ciri khas dalam menafsirkan al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa, yakni
tatakrama bahasa dan gambaran alam Jawa, khususnya daerah Purworejo.
1. Tatakrama Bahasa
Tatakrama bahasa atau unggah ungguh basa (tingkatan bahasa)
merupakan sistem tingkatan tutur dalam bahasa Jawa menyangkut perbedaan-
perbedaan yang harus digunakan dalam hal usia, kedudukan, pangkat, tingkat
keakraban serta situasi di antara yang disapa dan yang menyapa, atau antara
pembicara, lawan bicara, dan yang dibicarakan.18 Tatakrama bahasa menunjukkan
kuatnya prinsip hormat dalam etika Jawa.19
Penafsir berupaya menginterpretasikan bahasa al-Qur’an yang
cenderung egaliter untuk disesuaikan dengan latar budayanya. Di dalam kitab ini
unsur tatakrama bahasa nampak misalnya khusus dalam terjemah pegon maupun
penafsiran pada sural al-Ikhla>s} [112] Kyai Muzayyin menggunakan bahasa
Jawa krama inggil (bahasa Jawa level paling atas) padahal di surat yang lain
menggunakan bahasa Jawa ngoko:
Gusti Allah punika namung setunggal, hakikatipun ing alam punika
mboten wonten punapa-punapa ingkang wonten namung Allah piyambak. Dene
sanesipun Allah punika namung dipun entenaken. Sanesipun Allah punika
namung makhluk ingkang saget risak lan ical, namung Gusti Allah ingkang
mboten risak lan mboten ical. Sinten ingkang tawakal dateng Allah bade bejo,
dene ingkang tawakal dateng sanesipun bade kapusan.20
Surat al-Ikhlas} merupakan surat yang berbicara tentang keesaan Allah
swt., pada penerjemahan dan penafsiran surat al-Ikhlas} ini Kyai Muzayyin
menggunakan bahasa Jawa krama inggil sebagai wujud pengagungan kepada
Allah, menunjukkan rasa hormat ia kepada Allah swt.
18
Jajang A. Rahmana, “Memahami al-Qur’an dengan Kearifan Lokal”, hlm. 87.
19
Frans Magnis-Suseno, Etika Jawa (Jakarta: PT. Gramedia, 1991), hlm. 60.
20
Muzayyin Samsuddin, Sabi>l al-Huda>, hlm. 8-9.
9
2. Gambaran Alam
Aspek lain dari unsur budaya Jawa, Purworejo khususnya berkaitan
dengan gambaran alam. Tidak semua mufasir berani menyebutkan gambaran alam
dalam karya tafsirnya. Dalam kitab tafsir ini Kyai Muzayyin menyebutkan
beberapa gambaran alam di lingkungan ia tinggal. Misalnya pada penafsiran surat
al-Falaq [113]:
Perkara kang ala mau tekane bisa seka ngendi bae, bisa seka alam
kaya ta: gunung, topan, tanah longsor, bisa teka ing wektu bengi, bisa teka
tukang sihir bisa teka saka hasutane wongkang drengki, lan liya-liyane.21
Penyebutan bencana alam pada penafsiran di atas pastinya tidak
terlepas dari kondisi geografis lingkungan sekitar Kyai Muzayyin. Purworejo,
tepatnya kecamatan Kaligesing dimana Kyai Muzayyin tinggal adalah sebuah
21
Ibid., hlm. 7.
10
daerah pegunungan yang jauh dari daerah pantai. Oleh karena itu bencana alam
yang biasa terjadi adalah tanah longsor, gunung meletus dan angin topan.
22
Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad
XX (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. 56.
23
Snaouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, terj. S. Gunawan (Jakarta: Bhratara,
1973), hlm. 20-21.
11
F. Penutup
Kitab tafsir Sabi>l al-Huda> tidak bisa diabaikan dalam dirkursus kajian
Al-Qur’an di Nusantara. Tafsir Sabi>l al-Huda> sebuah penafsiran yang berpihak
pada masyarakat lokal yang tidak terjamah dengan pemahaman al-Qur’an dengan
pendekatan sosio-kultural. Pemahaman al-Qur’an dengan pendekatan sufi dan
menggunakan bahasa lokal merupakan upaya yang harus tetap dilestarikan dan
terus ditumbuh kembangkan dalam meningkatkan pemahaman wahyu.
24
Lihat lebih lengkap Islah Gusmian, “Tafsir al-Qur’an Bahasa Jawa: Peneguhan
Identitas, Ideologi, dan Politik”, Suhuf, Vol. 9 No. 1, Juni 2016, hlm. 146-151.
25
Muhammad Asif, “ Tafsir dan Tradisi Pesantren: Karakteristik tafsir al-Ibriz Karya
Bisri Mustofa”, Suhuf, Vol. 9, No. 1, Desember 2016, hlm. 255.
12
Metode ini cukup membantu para pemula yang memiliki keinginan kuat
untuk memahami al-Qur’an dari tingkat dasar. Dengan pemaparan yang jelas,
singkat, dengan terjemah pegon, dan didukung dengan pembahasan surat-surat
pendek yang selalu dilafalkan setiap hari serta penafsiran dengan menyampaikan
pedoman hidup, akan lebih terjamin kedekatannya dengan lapisan masyarakat
bawah.
Karakteristik yang ditemukan dalam kitab tafsir Sa>bi>l al-Huda> pada
dasarnya merupakan implementasi dari proses dialektika Kiai Muzayyin terhadap
basisi sosial di lingkungannya. Selain itu gaya penulisan yang sesuai dengan
tradisi pesantren memiliki kemungkinan besar bahwa Kiai Muzayyin pernah
bersinggungan langsung dengan kehidupan pesantren, meskipun penulis belum
bisa mengungkap secara lengkap riwayat pendidikan mufasir.
13
Daftar Pustaka
Wawancara
Najib (putra Kiai Muzayyin), pada Kamis, 22 Maret 2018, di rumah Kiai
Muzayyin Samsuddin alm., Brenggong, Kaligesing, Purworejo,
Jawa Tengah.