Anda di halaman 1dari 14

Kajian atas Kitab Tafsir Sabi>l al-Huda> Karya Kyai Muzayyin Samsuddin

(W. 2013 M)

Oleh:
Afrokhul Banat
NIM: 15010198

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah
Tafsir Nusantara

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUNAN PANDANARAN
YOGYAKARTA
2018
Abstrak
1

Tafsir al-Qur’an dengan nuansa lokal tidak bisa dihindari


dari dirkursus kajian al-Qur’an di Nusantara.
Signifikansinya tidak hanya pada kesinambungan jaringan
keilmuan Islam di Nusantara, akan tetapi juga kreatifitas
ekspresi bahasa dan kandungan kearifan budaya lokal
dalam tafsir Nusantara sesuai dengan kebutuhan
masyarakat atau sasaran tafsir. Kajian ini mencoba
mengungkap kearifan lokal yang terkandung dalam salah
satu karya tafsir Nusantara berbahasa lokal, Sa>bil al-
Huda>.

Kata kunci: Tafsir Nusantara, bahasa, aksara, Sa>bil al-


Huda>

A. Pendahuluan
Tafsir merupakan produk akal manusia yang relatif, konteksual,
temporal, dan personal.1 Nas}r H}a>mid menyebutkan bahwa al-Qur’an
merupakan produk budaya.2 Tafsir merupakan anak zaman. Perkembangannya
senantiasa berkorespondensi dengan zeitgeist (semangat zaman). Tafsir lahir dari
proses dialektika antara penafsir dengan realitas budaya di satu pihak dan
dialognya dengan al-Qur’an di pihak lain. Oleh karena itu tafsir sifatnya dinamis
dan penafsiran pun menjadi beragam, sebagai respon dari beragamnya budaya.
Terlebih lagi di Indonesia yang kaya akan budaya, hal itu menjadi wajar jika di
Indonesia memiliki berbagai karya tafsir dengan beragam bahasa, bahasa daerah
dari masing-masing penafsir.
Pembahasaan lokal terhadap al-Qur’an, entah itu sebatas penerjemahan
atau berupa penafsiran, pada dasarnya merupakan upaya yang dilakukan oleh
Muslim yang memiliki kemampuan lebih untuk menyampaikan dan menjelaskan
pesan-pesan Tuhan yang ingin disampaikan melalui nas} al-Qur’a>n kepada
Muslim secara luas. Ia tidak hanya menjelaskan makna di balik ayat, tetapi juga
berupaya menyelaraskan konsep dan nilai ajarannya ke dalam alam pikir

1
Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneuika dan Tafsir al-Qur’an
(Jakarta: Gema Insani, 2007), hlm. 17.
2
Nas}r H}a>mid Abu> Zayd, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an,
terj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 1.
2

budayanya.3 Dengan demikian terjadi persentuhan antara konsep dan nilai ajaran
yang terkandung dalam al-Qur’an dengan kebudayaan lokal yang kemudian perlu
didialogkan.
Salah satu khazanah tafsir Nusantara yang ikut meramaikan
perkembangan tafsir di era modern-kontemporer adalah Sabi>l al-Huda>, yang
juga merupakan salah satu penafsiran yang menggunakan bahasa daerah. Tafsir
al-Qur’an ini menggunakan bahasa Jawa dan aksara Arab yang ditulis oleh Kyai
Muzayyin (w. 2013). Kitab ini disusun dengan menggunakan bahasa yang sangat
mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat sekitar sang penulis. Karena
menggunakan bahasa sehari-hari masyarakat di daerah Purworejo.
Penulis memiliki beberapa alasan mengapa kajian ini penting untuk
diteliti. Pertama, kitab tafsir Sabi>l al-Huda> merupakan kitab tafsir sederhana
yang lahir bukan dari lingkungan pesantren maupun akademisi, seperti kitab tafsir
pada umumnya. Kedua, pada era modern-kontemporer kajian tafsir di Indonesia
sangat jarang yang masih menggunakan bahasa lokal. Selain itu kitab tersebut
belum terjamah oleh penggerak studi al-Qur’an dan tafsir. Atas dasar tersebut
penelitian ini dirasa sangat penting untuk dilakukan.

B. Selayang Pandang Kyai Muzayyin


Penulis kitab Sabilul Huda bernama Muzayyin Samsudin yang berasal
dari desa Brenggong, desa yang terletak di pinggir kota kecil, Purworejo. 4 Nama
Samsudin merupakan nama yang dinukil dari orang tuanya. Lahir pada tahun
1947 M dan wafat pada tahun 2003. Karena memang orang tua Kyai Muzayyin,
yakni Samsuddin, memerintah secara khusus kepada kyai Muzayyin untuk
mengabdi kepada masyarakat, untuk memahamkan agama di lingkungan sekitar.
Dengan demikian dia menjadi imam masjid, ‘kiai kampung’ yang mendakwahkan
agama Islam dengan mengisi majlis ta’lim di daerahnya.

3
Jajang A. Rohmana, “Memahami al-Qur’an dengan Kearifan Lokal: Nuansa Budaya
Sunda dalam Tafsir al-Qur’an Budaya Sunda”, Journal of Qur’an and Hadith Studies, Vol. 3, No.
1, 2014, hlm. 81.
4
Wawancara dengan bapak Masudi Yusuf, pada Jumat, 16 Maret 2018, di Pp. Lu’lu’il
Qur’anil Maknun, Kutoarjo, Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah.
3

Kiai Muzayyin merupakan seorang tokoh agama yang di kenal baik


oleh masyarakat sekitar. Selain mahir dalam masalah agama ia juga seorang
hafidz (penghafal al-Qur’an), dan melek terhadap dunia politik.5 Selain menulis
kitab tafsir ini dia juga memiliki satu karya lagi yakni kitab T}ari>qah wa al-
I’tis}am terdiri dari lima jilid. Yang berisi tentang tasawuf dasar, tasawuf sehari-
hari sebagai pedoman hidup masyaraklat sehari-hari.6
Dalam dunia tafsir, Kyai Muzayyin tidak begitu dikenal. Kyai
Muzayyin di daerahnya (Purworejo) dikenal sebagai seorang “Kyai kampung”,
tokoh agama yang memiliki jama’ah pengajian (majlis ta’lim). Dalam banyak
literatur, nama Kyai Muzayyin dan produk penafsirannya ini terbilang belum
pernah dijamah oleh penggiat kajian tafsir, khususnya tafsir di Nusantara. Nama
Kyai Muzayyin dan Sabi>l al-Huda> hanya muncul sekali dalam sebuah artikel7
yang menyajikan berbagai karya ulama Purworejo, tanpa menelitinya lebih dalam.

C. Anatomi Kitab Tafsir Sabi>l al-Huda>


Sebagaimana yang tertuang dalam muqaddimah,8 Kyai Muzayyin
menuturkan bahwa kitab ini lahir atas dasar kegelisahannya terhadap keadaan
masyarakat di sekelilingnya, mandeknya proses belajar agama (al-Qur’an) setelah
khataman. Oleh karena itu Kyai Muzayyin menulis kitab tafsir ini sebagai materi
lanjutan setelah selesai khatam al-Qur’an. Istilah khatam di sini maksudnya adalah
selesai membaca al-Qur’an dari al-Fa>tih}ah hingga al-Na>s, dan hafal surat-
surat pendek (dari al-D{uha> hingga al-Na>s). Dalam pada itu, kitab Sabi<l al-
Huda> ini hanya berisi penafsiran surat-surat pendek, al-Fa>tih}ah, al-Duh}a>
hingga al-Na>s.
Sabi>l al-Huda> merupakan kitab yang disusun dengan ringkas,
menggunakan bahasa yang sangat sederhana dan mudah dipahami oleh semua
kalangan. Hanya menuliskan surat-surat pendek dari al-Nas [114] hingga al-

5
Ibid.
6
Wawancara dengan pak Najib (putra Kiai Muzayyin), pada Kamis, 22 Maret 2018, di
rumah Kiai Muzayyin Samsuddin alm., Brenggong, Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah.
7
Artikel tersebut merupakan Novita Siswayanti, “Karakteristik Karya Ulama Purworejo”,
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015, hal. 555-574.
8
Muzayyin Samsuddin, Sabi>l al-Huda> (Purworejo: t.p, t.t.).
4

Dhuh}a> [93] (sesuai urutan tartib mushafi), dengan diawali surat al-Fa>tih}ah
[1]. Sistematika penulisan kitab ini seperti pada umumnya, diawali dengan
muqaddimah dari pengarang, yang isinya menyampaikan alasan penulisan kitab.
Setelah itu langsung masuk ke dalam penjelasan surat-surat pendek yang dimulai
dengan surat al-Fa>tih}ah.
Dalam menjelaskan masing-masing surat, Kyai Muzayyin selalu
menuliskan terlebih dahulu nama surat dan nomor urut surat sesuai dengan tartib
mushafi, setelah itu ditulis semua ayat da lam surat itu dengan menuliskan
basmalah terlebih dahulu. Setelah itu memberi arti perkata dengan makna
gandhul, dengan aksara pegon dengan maksud makna gandhul tersebut bisa
membantu proses pemahaman para jamaah yang ngaji kitab tersebut. Setelah itu
Kyai Muzayyin menuliskan tuntunan hidup yang diambil dari isi kandungan surat-
surat tersebut. Terakhir Kyai Muzayyin mencantumkan pengetahuan Bahasa Arab
ringkas, sebagai pengetahuan awal tentang gramatika Arab. Yang mana kawruh
Bahasa Arab ini seringnya bukan merupakan penjelasan i’rab atau tarkib dari
surat yang dijelaskan. Akan tetapi seringnya berupa penjelasan secara ringkas
istilah-istilah yang ada dalam ilmu nahwu atau sharaf. Terkadang juga kawruh
bahasa Arab ini berisi tentang tarkib dari beberapa ayat dalam surat yang telah
dijelaskan.
Kitab tafsir ini sangat sederhana ditulis dengan tangan dan hanya
terdiri dari 100 halaman. Inilah salah satu keunikan tafsir ini, di zaman yang sudah
sangat maju teknologinya Kyai Muzayyin masih saja nguri-uri budaya lama
dengan menulis kitab dengan tulisan tangan langsung. Dengan bahasa yang sangat
sederhana dan susunannya pun ringkas. Berbeda dengan kitab tafsir pada
umumnya, kitab ini dalam menyampaikan penafsirannya langsung masuk kepada
pemahaman ayat. Tanpa menyebutkan tempat diturunkannya surat, sangat jarang
juga ditemukan asbab al-nuzul-nya.
Sedangkan sumber penafsiran yang diambil kiai Muzayyin dalam
kitabtafsirnya mengguakan bi al-ra’yi. Hal ini sangat jelas karena memang kiai
Muzayyin hampir sama sekali tidak menyebutkan rujukan penafsiran, baik itu
berupa hadis, atau kitab-kitab sebelumnya.
5

Kitab tafsir Sabi>l al-Huda> ini lahir di dunia tafsir era modern-
kontemporer, tepatnya di awal abad ke-21 M. Nurdin Zuhdi mengatakan bahwa
pada era ini kajian tafsir muncul karena adanya kegelisahan sosial, karena adanya
isu-isu sosial, banyaknya problem-problem aktual yang berkembang di
masyarakat.9 Oleh karena itu pada era ini produk-produk tafsir yang hadir pun
mencoba menjawab kegelisahan-kegelisahan yang ada. Jika era sebelumnya yang
kebanyakan menafsirkan dengan utuh al-Qur’an 30 juz, berbeda dengan era
modern-kontemporer dimana kajian tafsir dengan model tematik lebih marak
berkembang.
Pada era tersebut di Indonesia lahir karya-karya tafsir, diantaranya
Tafsir Maudhu’i al-Muntaha,10 Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani atas Masalah
Sosial Kontemporer,11 Tafsir al-Hidayah: Ayat-ayat Aqidah, 12Tafsir al-Misbah,13
Tafsir Ayat-ayat Ahkam,14 Tafsir Temaik al-Qur’an dan Masyarakat: Membangun
Demokrasi dalam Peradaban Nusantara,15 Tasir Qur’an Aktual,16 Ayat-ayat
Semesta: Sisi al-Qur’an yang Terlupakan,17 dan masih banyak lagi. Pada era ini
memang kebanyakan karya tafsir yang hadir adalah tafsir-tafsir yang
menggunakan bahasa nasional (bahasa Indonesia), bukan bahasa daerah.
Meskipun ada akan tetapi sangat langka, misalnya adalah Tafsir Juz ‘Amma dan
Maknanya yang ditulis oleh Aliy As’ad.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tafsir Sabi>l al-Huda>
juga berangkat dari kegelisahan penulis, dan sangat relefan dengan sasaran

9
Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia: dari Kontestasi Metodologi hingga
Kontekstualisasi (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014).
10
Tim Sembilan, Tafsir Maudhu’i al-Muntaha (Yogyakarta: Pustaka Pesantran, 2004).
11
Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial
Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar:2001).
12
Sa’ad Abdul Wahid, Tafsir al-Hidayah: Ayat-ayat Aqidah (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2003).
13
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2000).
14
E. Syibili Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Ahkam (Jakarta: Rajawali Press, 2008).
15
Hasyim Muhammad, Tafsir Tematik al-Qur’an dan Masyarakat: Membangun
Demokrasi dalam Peradaban Nusantara (Yogyakarta: Teras, 2007).
16
A. Musta’in Syafi’ie, Tafsir Qur’an Aktual (Jombang: Asrama Munzalan, 2000).
17
Agus Purwanto, Ayat-ayat Semesta: Sisi al-Qu’an yang Terlupakan (Bandung: Mizan,
2008.
6

pembaca yang diharapkan Kyai Muzayyin, yakni untuk masyarakat sekitar.


Lingkungan tempat tinggal Kyai Muzayyin merupakan sebuah pedesaan.

Gambar 1: Sampul depan Gambar 2: Halaman penafsiran


surah al-Quraisy

Gambar 3: Kawruh bahasa Arab

D. Nuansa Budaya Jawa dalam Kitab Tafsir Sabi>l al-Huda>


8

Dalam kitab ini, sedikitnya terdapat dua aspek nuansa budaya Jawa
yang menjadi ciri khas dalam menafsirkan al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa, yakni
tatakrama bahasa dan gambaran alam Jawa, khususnya daerah Purworejo.

1. Tatakrama Bahasa
Tatakrama bahasa atau unggah ungguh basa (tingkatan bahasa)
merupakan sistem tingkatan tutur dalam bahasa Jawa menyangkut perbedaan-
perbedaan yang harus digunakan dalam hal usia, kedudukan, pangkat, tingkat
keakraban serta situasi di antara yang disapa dan yang menyapa, atau antara
pembicara, lawan bicara, dan yang dibicarakan.18 Tatakrama bahasa menunjukkan
kuatnya prinsip hormat dalam etika Jawa.19
Penafsir berupaya menginterpretasikan bahasa al-Qur’an yang
cenderung egaliter untuk disesuaikan dengan latar budayanya. Di dalam kitab ini
unsur tatakrama bahasa nampak misalnya khusus dalam terjemah pegon maupun
penafsiran pada sural al-Ikhla>s} [112] Kyai Muzayyin menggunakan bahasa
Jawa krama inggil (bahasa Jawa level paling atas) padahal di surat yang lain
menggunakan bahasa Jawa ngoko:
Gusti Allah punika namung setunggal, hakikatipun ing alam punika
mboten wonten punapa-punapa ingkang wonten namung Allah piyambak. Dene
sanesipun Allah punika namung dipun entenaken. Sanesipun Allah punika
namung makhluk ingkang saget risak lan ical, namung Gusti Allah ingkang
mboten risak lan mboten ical. Sinten ingkang tawakal dateng Allah bade bejo,
dene ingkang tawakal dateng sanesipun bade kapusan.20
Surat al-Ikhlas} merupakan surat yang berbicara tentang keesaan Allah
swt., pada penerjemahan dan penafsiran surat al-Ikhlas} ini Kyai Muzayyin
menggunakan bahasa Jawa krama inggil sebagai wujud pengagungan kepada
Allah, menunjukkan rasa hormat ia kepada Allah swt.

18
Jajang A. Rahmana, “Memahami al-Qur’an dengan Kearifan Lokal”, hlm. 87.
19
Frans Magnis-Suseno, Etika Jawa (Jakarta: PT. Gramedia, 1991), hlm. 60.
20
Muzayyin Samsuddin, Sabi>l al-Huda>, hlm. 8-9.
9

Gambar 4: Halaman penafsiran surah al-Ikhlas}

2. Gambaran Alam
Aspek lain dari unsur budaya Jawa, Purworejo khususnya berkaitan
dengan gambaran alam. Tidak semua mufasir berani menyebutkan gambaran alam
dalam karya tafsirnya. Dalam kitab tafsir ini Kyai Muzayyin menyebutkan
beberapa gambaran alam di lingkungan ia tinggal. Misalnya pada penafsiran surat
al-Falaq [113]:
Perkara kang ala mau tekane bisa seka ngendi bae, bisa seka alam
kaya ta: gunung, topan, tanah longsor, bisa teka ing wektu bengi, bisa teka
tukang sihir bisa teka saka hasutane wongkang drengki, lan liya-liyane.21
Penyebutan bencana alam pada penafsiran di atas pastinya tidak
terlepas dari kondisi geografis lingkungan sekitar Kyai Muzayyin. Purworejo,
tepatnya kecamatan Kaligesing dimana Kyai Muzayyin tinggal adalah sebuah

21
Ibid., hlm. 7.
10

daerah pegunungan yang jauh dari daerah pantai. Oleh karena itu bencana alam
yang biasa terjadi adalah tanah longsor, gunung meletus dan angin topan.

E. Tafsir dan Tradisi Pesantren


Penyebaran dan perkembangan Islam di Jawa berbeda dengan wilayah
Nusantara yang lain seperti Sumatra. Orang Jawa terkenal dengan sikapnya yang
lebih terbuka dan cair dengan berbagai kebudayaan dari luar tetepi bukan berarti
mereka melepas begitu saja tradisi yang sudah dipegang. Hal tersebut yang
kemudian dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk menyebarkan Islam dengan lebih
mudah dan ramah di wilayah Jawa. Pada abad ke-19 perkembangan Islam di Jawa
sangat diwaspadai oleh Belanda. Kekuatan Belanda memuncak sejak pecah
perang Jawa yang dipimpin oleh Pamgeran Diponegoro pada tahun 1825-1830.22
Kemudian Hurgonje sebagai penasehat penguasa Belanda, melakukan
pemetaan sosial terkait dengan perkembangan Islam di Jawa sebagai acuan
kebijakan Belanda. Ia membagi tiga wilayah utama terkait dengan masyarakat
Islam, yakni: pertama, pesantren yang secara umum berada di wilayah pesisir.
Kedua, kauman yang biasanya berada di masjid pusat kota dan kraton. Ketiga,
putihan yakni di daerah pedesaan.23 Kemudian Islah Gusmian mengembangkan
pemetaan yang dilakukan Hurgronje tersebut ke dalam ranah tafsir al-Qur’an di
Jawa. Menurut Islah, di tiga basis sosial yang dipetakan oleh Hurgronje tersebut
tafsir al-Qur’an bahasa Jawa lahir dan ditulis oleh para kiai, yang mana masing-
masing penafsiran memiliki dialektika dengan komunitas para sasaran atau
pembaca tafsir, serta tujuan dan fungsi yang digerakkan oleh masing-masing
mufasir. Tiga pemetaan tersebut ialah: 1) basis sosial pesantren, beberapa
karakteristik dalam basis ini misalnya penulisan tafsir menggunakan aksara pegon
dan penulisan makna teks berbahasa Arab dengan makna gandhul; 2) basis sosial
kauman, tradisi penulisan di lingkungan kauman atau kraton biasanya
menggunakan aksara Jawa; 3) basis sosial putihan, pada basis sosial di putihan

22
Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad
XX (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. 56.
23
Snaouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, terj. S. Gunawan (Jakarta: Bhratara,
1973), hlm. 20-21.
11

penulisan tafsir biasanya menggunakan bahasa Jawa dengan aksara latin.24


Dengan begitu penafsiran yang dihasilkan memiliki kekhasan masing-masing
sesuai dengan dialektika antara mufasir dan para pembaca tafsir.
Aksara pegon dan makna gandhul merupakan dua hal yang menjadi ciri
khas dunia pesantren. Dalam tradisi pesantren, pengajian kitab klasik (kitab
kuning) menjadi elemen yang tidak bisa dipisahkan dengan itu sendiri. Pengajian
kitab tefsir tersebut menggunkan makna gandhul dan aksara pegon. Orientasi dari
pengajaran tersebut tidak lain adalah agar para santri bisa memahami agama
langsung dari sumber asli berbahasa Arab.25 Di lingkungan pesantren tradisional
bahasa Arab dipandang sebagai bahasa agama, atau paling tidak penulisan teks-
teks keagamaan menggunakan tulisan Arab atau aksara pegon dianggap lebih
utama. Oleh karena itu pengajaran menggunakan kitab-kitab klasik lebih banyak
dibanding dengan pelajaran pengetahuan umum.
Selain dua gambaran budaya Jawa yang terkandung dalam kitab tafsir
Sabi>l al-Huda> juga terdapat tradisi pesantren yang nampak pada gaya
penulisan. Jika dilihat dari pemetaan perkembangan tafsir yang dilakukan Islah,
maka tafsir Sa>bi>l al-Huda> termasuk ke dalam tafsir yang ditulis dalam
kungkungan sosial pesantren, yakni dengan menggunakan bahasa Jawa dan aksara
pegon, dengan sistematika penulisan makna menggunakan makna gandhul.

F. Penutup
Kitab tafsir Sabi>l al-Huda> tidak bisa diabaikan dalam dirkursus kajian
Al-Qur’an di Nusantara. Tafsir Sabi>l al-Huda> sebuah penafsiran yang berpihak
pada masyarakat lokal yang tidak terjamah dengan pemahaman al-Qur’an dengan
pendekatan sosio-kultural. Pemahaman al-Qur’an dengan pendekatan sufi dan
menggunakan bahasa lokal merupakan upaya yang harus tetap dilestarikan dan
terus ditumbuh kembangkan dalam meningkatkan pemahaman wahyu.

24
Lihat lebih lengkap Islah Gusmian, “Tafsir al-Qur’an Bahasa Jawa: Peneguhan
Identitas, Ideologi, dan Politik”, Suhuf, Vol. 9 No. 1, Juni 2016, hlm. 146-151.
25
Muhammad Asif, “ Tafsir dan Tradisi Pesantren: Karakteristik tafsir al-Ibriz Karya
Bisri Mustofa”, Suhuf, Vol. 9, No. 1, Desember 2016, hlm. 255.
12

Metode ini cukup membantu para pemula yang memiliki keinginan kuat
untuk memahami al-Qur’an dari tingkat dasar. Dengan pemaparan yang jelas,
singkat, dengan terjemah pegon, dan didukung dengan pembahasan surat-surat
pendek yang selalu dilafalkan setiap hari serta penafsiran dengan menyampaikan
pedoman hidup, akan lebih terjamin kedekatannya dengan lapisan masyarakat
bawah.
Karakteristik yang ditemukan dalam kitab tafsir Sa>bi>l al-Huda> pada
dasarnya merupakan implementasi dari proses dialektika Kiai Muzayyin terhadap
basisi sosial di lingkungannya. Selain itu gaya penulisan yang sesuai dengan
tradisi pesantren memiliki kemungkinan besar bahwa Kiai Muzayyin pernah
bersinggungan langsung dengan kehidupan pesantren, meskipun penulis belum
bisa mengungkap secara lengkap riwayat pendidikan mufasir.
13

Daftar Pustaka

Asif, Muhammad, “ Tafsir dan Tradisi Pesantren: Karakteristik tafsir al-Ibriz


Karya Bisri Mustofa”, Suhuf, Vol. 9, No. 1, Desember 2016.

Baidan, Nashruddin, Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial


Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar:2001).

Gusmian, Islah, “Tafsir al-Qur’an Bahasa Jawa: Peneguhan Identitas, Ideologi,


dan Politik”, Suhuf, Vol. 9 No. 1, Juni 2016.

Husaini, Adian dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-


Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 2007).

Magnis-Suseno, Frans, Etika Jawa (Jakarta: PT. Gramedia, 1991).

Muhammad, Hasyim, Tafsir Tematik al-Qur’an dan Masyarakat: Membangun


Demokrasi dalam Peradaban Nusantara (Yogyakarta: Teras,
2007).

Purwanto, Agus, Ayat-ayat Semesta: Sisi al-Qu’an yang Terlupakan (Bandung:


Mizan, 2008.

Rohmana, Jajang A., “Memahami al-Qur’an dengan Kearifan Lokal: Nuansa


Budaya Sunda dalam Tafsir al-Qur’an Budaya Sunda”, Journal of
Qur’an and Hadith Studies, Vol. 3, No. 1, 2014.

Saleh, Fauzan, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia


Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004).

Samsuddin, Muzayyin, Sabi>l al-Huda> (Purworejo: t.p, t.t.).

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an


(Jakarta: Lentera Hati, 2000).

Siswayanti, Novita, “Karakteristik Karya Ulama Purworejo”, Jurnal Lektur


Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015.

Syafi’ie, Ahmad Musta’in, Tafsir Qur’an Aktual (Jombang: Asrama Munzalan,


2000).

Syarjaya, E. Syibili, Tafsir Ayat-ayat Ahkam (Jakarta: Rajawali Press, 2008).

Tim Sembilan, Tafsir Maudhu’i al-Muntaha (Yogyakarta: Pustaka Pesantran,


2004).
14

Wahid, Sa’ad Abdul, Tafsir al-Hidayah: Ayat-ayat Aqidah (Yogyakarta: Suara


Muhammadiyah, 2003).

Zayd, Nas}r H}a>mid Abu>, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul


Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, 2005).

Zuhdi, Nurdin, Pasaraya Tafsir Indonesia: dari Kontestasi Metodologi hingga


Kontekstualisasi (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014).

Wawancara
Najib (putra Kiai Muzayyin), pada Kamis, 22 Maret 2018, di rumah Kiai
Muzayyin Samsuddin alm., Brenggong, Kaligesing, Purworejo,
Jawa Tengah.

Masudi Yusuf (pengasuh pondok pesantren di Purworejo), pada Jumat, 16 Maret


2018, di Pp. Lu’lu’il Qur’anil Maknun, Kutoarjo, Purworejo, Jawa
Tengah.

Anda mungkin juga menyukai