Fiqih Makan Dan Minuman 6
Fiqih Makan Dan Minuman 6
Akan tetapi sebagian orang tidak memperdulikan status hukum makanan yang masuk dalam tubuhnya.
Asal lezat, ni’mat, dan murah langsung dikonsumsi, tanpa memperhatikan kehalalan dan ke[thayyib]an-
nya. Padahal kwalitas kehalalan dan ke[thayyib]an makanan yang mendarah daging dalam jasad sangat
berpengaruh pada kehidupan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Makanan yang kandungannya
tidak thayyib dipastikan akan merusak fisik. Adapun makanan yang tidak halal cara menghasilkannya
akan berdampak pada kwalitas iman dan ruhani seseorang sampai menghalangi terkabulnya do’a.
Tulisan ini akan membahas persoalan makanan dan minuman menurut Islam. Sebab, sebagai Muslim
kita harus selalu menyikapi segala sesuatu dengan nazar islami (pandangan Islam). Kita musti
menjadikan Islam sebagai kerangka acuan dalam segala hal. Termasuk dalam urusan makanan.
Sebelum lebih jauh membahas jenis-jenis makanan dan minuman yang halal atau haram, maka ada
beberapa kaidah penting yang seharusnya dipahami dalam persoalan makanan dan minuman ini.
Diantaranya:
Kaidah Pertama; Asalnya semua makanan adalah halal dan boleh sampai ada dalil yang
mengharamkannya. Artinya selama tidak ada dalil al-Qur’an atau hadits Nabi yang mengabarkan
bahwa makanan itu haram, maka makanan tersebut hukumnya halal. Oleh karena itu, anda tidak akan
pernah menemukan daftar makanan atau minuman halal dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Kaidah ini
berdasarkan wahyu Allah dalam surah al-Baqarah [2] ayat 29 dan al-An’am [6] ayat 119:
ق لجككرم جماً مفيِ ارلجرر م
ًض ججمميِععا هكجو اللمذيِ جخلج ج
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untukmu”. (QS.2: 29)
ضطكمرررتكرم إملجريِمه
صجل لجككرم جماً جحلرجم جعلجريِككرم إملل جماً ا ر
جوقجرد فج ل
“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa
yang terpaksa kamu memakannya”. (QS. 6: 119)
Ayat pertama [2:29] menunjukkan bahwa segala sesuatu baik yang berupa makanan, minuman, pakaian
yang ada di bumi adalah halal dan suci, kecuali yang diharamkan melalui dalil khusus dalam al-Qur’an
dan al-hadits. (Lihat: Aisarut Tafasir, hlm. 39-40, Taisirul Karimir Rahman, hlm. 48). Semakna dengan
itu ayat kedua [6;:119] menerangkan jenis-jenis makanan yang diharamkan, yang menunjukan bahwa
semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syari’at berarti adalah halal.
Kaidah Kedua; Manhaj Islam dalam menghukumi ke-halal-an dan ke-haram-an suatu makanan dan
minuman adalah ke-thayyib-an dan kesucian serta tidak mengandung unsur yang merusak. Sebaliknya
Islam mengharamkan makanan yang khabits (kotor) serta mengandung dzat merusak dan berbahaya
bagi tubuh. Kaidah ini merujuk kepada ayat Allah dalam surah al-Baqarah [2] ayat 68 dan 72 dan Al-
Maidah ayat
طييبباً جوجل تجتلبمكعوا كخطكجوا م
ت اللشريِ ج
[٢:١٦٨] طاًمن ۚ إمنلهك لجككرم جعكدوو يَممبيِنن س كككلوا مملماً مفيِ ارلجرر م
ض طحطلبل ط جياً أجيَيجهاً اللناً ك
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu. (2:168)
[٢:١٧٢] ت جماً جرجزرقجناًككرم جوارشكككروا مللم مإن ككنتكرم إملياًهك تجرعبككدوجن جياً أجيَيجهاً اللمذيجن آجمكنوا كككلوا ممن ط
طييطباً ت
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan
kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.
Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan
bagimu yang baik-baik
Makna thayyib dalam ayat-ayat tersebut segala sesuatu yang secara dzat nya baik, suci, bersih, mudah
dicerna, mengandung gizi yang bermanfaat bagi jasad serta tidak mengandung dzat yang merusak dan
membahayakan badan dan akal. Sementara yang dimaksud dengan halal adalah segala sesuatu yang
secara dzat telah dibolehkan oleh Allah untuk dikonsumsi [thayyib] dan diperoleh dari penghasilan
yang halal, tidak mencuri serta tidak berasal dari mu’amalah yang haram. Jadi, halal dalam ayat
tersebut terkait dengan proses dan mekanisme mendapatkannya. Sedangkan thayyib terkait dengan
dzatnya yang baik, bermanfaat, dan tidak berbahaya.
Kaidah ketiga; semua jenis makanan yang berupa tumbuh-tumbuhan seperti biji-bijian dan buah-
buahan atau yang diolah dari keduanya adalah halal. Kecuali yang mengandung unsur yang merusak
tubuh dan akal. Demikian pula dengan makanan yang berupa hewan darat, semuanya halal kecuali jenis
hewan tertentu yang dijelaskan pengharamannya dalam al-Qur’an dan al-Hadits (Perinciannya pada
pembahasan tersenidiri). Adapun hewan laut semuanya halal tanpa kecuali. Kaidah ini merujuk kepada
dua hal. [1]dalil-dalil umum tentang kebolehan mengonsumsi apa saja yang baik dan bermanfaat serta
tidak mengandung mudharat, sebagaimana dijelaskan dalam dua kaidah sebelumnya. [2] Ayat Qur’an
dan hadits Nabi yang menunjukan kehalalan seluruh makhluq laut, seperti surah al-Maidah ayat 96:
ۖ أكمحلل لجككرم ج
صريِكد ارلبجرحمر جوطججعاًكمهك جمجتاًععاً للككرم جوملللسليِاًجرمة
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan
yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan;
Dalam sebuah hadits shahih diterangkan pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menyatakan halalnya hewan laut. Bahkan meskipun sudah menjadi bangkai. Beliau mengatakan bahwa,
“Laut itu thahur (suci dan menyucikan) airnya dan halal bangkainya”. (terj. HR. Abu Daud, Tirmidizy,
Nasai, dan Ibnu Majah). Yakni bangkai hewan yang hidup di laut halal dikonsumsi.
Kaidah dan kriteria makanan halal menurut Islam seperti diterangkan di atas menunjukan kemudahan
syari’at Islam dalam masalah ini. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghalalkan semua
makanan yang baik dan mengharamkan segala jenis makanan yang tidak baik bagi tubuh dan diperoleh
dari cara yang tidak benar. Artinya unsur kehalalan makanan dalam Islam tidak hanya dilihat dari aspek
dzatnya yang baik dan halal. Tapi dilihat juga dari sisi proses dan cara mendapatkannya. Semoga Allah
menuntut hati kita untuk ridha dengan rezki-Nya yang halal yang kita dapatkan melalui cara yang halal
pula.Allahumma aghniyna bi halalika ‘an haramika. (Bersambung insya Allah). Depok, 3/01/1435 H).-
sym–
Pada tulisan ini insya Allah akan dijelaskan jenis-jenis makanan yang diharamkan. Namun sebelumnya
akan disebutkan terlebih dahulu beberapa sebab suatu makanan dan minuman menjadi haram. Syekh
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim dalam kitabnya Shahih Fiqih Sunnah menyebutkan bahwa
makanan dan minuman menjadi haram karena salah satu dari lima sebab berikut;
1. Membawa mudharat pada badan dan akal (sebagaiman disinggung pada kaidah ketiga di edisi lalu),
2. Memabukkan. Merusak akal, dan menghilangkan kesadaran (seperti khamr dan narkoba),
3. Najis atau mengandung najis,
4. Menjijikkan menurut pandangan orang kebanyakkan yang masih lurus fitrahnya, dan
5. Tidak diberi idzin oleh syariat karena makanan/minuman tersebut milik orang lain. Artinya haram
mengkonsumsinya tanpa seidzin pemiliknya.
Ayat tersebut sekaligus menjadi dalil keharaman jenis makanan yang akan disebutkan selanjutnya.
Faidah (1) Termasuk bangkai adalah bagian tubuh yang terpotong dari hewan yang masih hidup.
Maksudnya;hewan tersebut tidak disembelih. Tapi hanya dipotong tubuh tertentu saja, paha misalnya.
Maka bagian tubuh yang dipotong itu termasuk bangkai dan tidak halal dimakan. Hal ini berdasakan
sabda Nabi yang mengatakan bahwa, “Ma Quthi’a minal bahimati wa hiya hayyah fa huwa maytatun,
Bagian tubhuh yang terpotong dari hewan yag masih hidup termasuk bangkai”. (HR. Abu Daud dan
Ibnu Majah).
Faidah (2) Ada dua bangkai yang dikecualikan (tidak haram), yakni ikan (hewan laut) dan belalang.
Dasarnya adalah perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Telah dihalalkan untuk kita dua macam
bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalang, . . “
(Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad). Lalu bagaimana jika kita menemukan ikan atau hewan
laut lainnya yang terapung di atas permukaan air? Apakah halal dikonsumsi atau tidak? Dalam masalah
ini ada dua pendapat ulama. Namun yang paling rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan ke-
halal-an nya. Kecuali jika terbukti secara medis bahwa ikan yang terapung itu sudah rusak dan
membahayakan kesehatan atau mengeluarkan bau busuk, maka mengindari dan meninggalkannya lebih
utama. Karena hal itu lebih selaras dengan kaidah syari’ah yang mengaramkan setiap makanan yang
buruk dan menjijikkan.
2. Darah yang mengalir
Tidak halal mengkonsumsi darah yang dialirkan atau ditumpahkan. Ha ini berdasarkan firman Allah
pada surah al-Maidah ayat 3 dan Al-An ‘am ayat 146;
ت جعلجريِكككم ارلجمريِتجةك جواللدكم
… كحيرجم ر.. ۚ
““Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, . . . “ (Terj. Qs:5:3).
طاًمعرم يج ر
ًطجعكمهك إملل جأن يجككوجن جمريِتجةع أجرو جدعماً لمرسكفوعحا كقل لل أجمجكد مفيِ جماً كأومحجيِ إملج ل. . . .
يِ كمجحلرعماً جعلجىى ج
“. . ., kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir. . . “ (Terj. Qs. 6:146)
Adapun darah yang sedikit semisal yang tersisa pada daging sembelihan, maka hal itu dimaafkan.
Selain itu dikecualikan pula hati dan limpa, sebagaimana dalam atsar Ibnu Umar yang diriwayatkan
Ibnu Maajah dan Ahmad diatas, “Telah dihalalkan untuk kita dua macam bangkai dan dua macam
darah. . . . Dan adapun dua macam darah adalah hati dan limpa “ (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
Ahmad).
3. Daging Babi
Berdasarkan firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 3 dan Al-An’am ayat 146:
ت جعلجريِكككم ارلجمريِتجةك جواللدكم جولجرحكم ارلمخنمزيمر
……… كحيرجم ر. ۚ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, …” (Terj. Qs. 5:3),
طجعكمهك إملل جأن يجككوجن جمريِتجةع أجرو جدعماً لمرسكفوعحاً أجرو لجرحجم مخنمزيرر طاًمعرم يج ر … كقل لل أجمجكد مفيِ جماً كأومحجيِ إملج ل.. ۚ
يِ كمجحلرعماً جعلجىى ج
“,. . kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, daging babi, . . “ (Terj. Qs. 6: 146).
Penyebutan ‘daging’ mencakup seluruh bagian tubuhnya, baik daging, lemak, tulang, rambut, dan
sebagainya. “Tidak ada perselisihan diantara ulama tentang haramnya babi; dagingnya, lemaknya, dan
seluruh bagian tubuhnya”, demikian penegasan Penulis kitab Shahih Fiqih Sunnah. Ini termasuk dalam
kaidah ‘dzikrul ba’dh yuradu bihil kull’, Menyebutkan sebahagian, tapi yang dimaksud adalh
keseluruhan. Jadi hanya disebutkan daging, yang dimaksud seluruh bagian tubuh babi. Karena biasanya
yang dimakan dari hewan adalah dagingnya.
4. Hewan yang disembelih Tanpa Menyebut nama Allah atau Menyebut Selain Nama Allah
Dasar pengharamannya adalah surah al-maidah ayat 3 dan Al-An’am ayat 121:
ام بممهت جعلجريِكككم ارلجمريِتجةك جواللدكم جولجرحكم ارلمخنمزيمر جوجماً أكمهلل لمجغريِمر ل … كحيرجم ر.. ۚ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas
nama selain Allah,. . . “ (Terj. Qs:5:3)
ق جوجل تجأركككلوا مملماً لجرم يكرذجكمر ارسكم ل
ام جعلجريِمه جوإمنلهك لجفمرس ن
“Dan janganlah kamu memakan -hewan-hewan- yang tidak disebut nama Allah saat menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan semacam itu termasuk kefasikan”. (Terj. Qs. 6:121).
Oleh karena itu, tidak dihalakan mengkonsumsi semeblihan orang kafir, orang musyrik, atau orang
Majusi. Sebab sembelihan mereka tidak sah karena tidak menyebut nama Allah. Adapun sembelihan
Ahli Kitab boleh dimakan, selama tidak diketahui bahwa mereka menyembelih dengan menyebut nama
selain Allah. “Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagimu”, kata Allah
dalam surah Al-Maidah ayat 5 (Lih. Terj. Qs.5:5).
Bagaimana dengan daging dan makanan olahan dari daging yang diimpor dari negeri non Muslim?
a. Jika yang diimpor dari negeri non Muslim berupa daging-daging hewan laut, maka halal dimakan.
Karena hewan laut boleh dimakan tanpa disembelih, baik ditangkap oleh Muslim maupun non Muslim.
b. Apabila yang diimpor adalah unggas dan daging hewan darat yang halal dimakan, seperti ayam,
bebek, sapi, kambing, kelinci, dan sebagainya; maka dilihat negara asalnya. Jika berasal dari negeri
yang mayoritas penduduknya menganut paham atheis, beragama majusi, penyembah berhala
(paganisme), maka daging-daging dari negeri tersebut tidak halal.
Adapun jika berasal dari negeri-negeri yang penduduknya mayoritas penganut Yahudi dan Nasrani
(Ahli Kitab), dihalakan dengan dua syarat: Pertama, Disembelih secara syar’i (sembelihan ahli kitab
halal dimakan); Kedua, Tidak diketahui, mereka menyebut selain nama Allah ketika menyembelihnya.
Akan tetapi; Sebagian negara eksportir yang biasa mengekspor ke negeri Muslim melibatkan ummat
Islam dalam proses penyembelihan dan disembelih secara syar’i. Oleh karena itu jika ada pengakuan
(yang telah dichek kebenarannya) dari negara pengekspor, bahwa hewan tersebut disembelih secara
syariat, halal memakannya. Tetapi jika terbukti, dari berbagai temuan dan fakta yang ada, negara-
negara tersebut tidak menyembelihnya menurut syari’at Islam, tidak halal dimakan. Adapun sekadar
label halal atau tulisan ‘disembelih menurut syari’at Islam” yang tertemepel pada kemasan daging
tersebut, maka tidak dapat dijadikan standar.
c. Keju impor yang berasal dari negeri ahli kitab yang memproduksi keju dari lemak hewan yang halal
dikonsumsi, maka boleh bagi kaum Muslimin memakannya. Tetapi jika mereka memproduksi keju dari
lemak hewan yang haram dimakan seperti Babi, maka keju dari negeri tersebut haram dikonsumsi.