Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi
prevelansinya terutama pada penduduk di daerah tropik seperti di Indonesia,
dan merupakan masalah yang cukup besar bagi bidang kesehatan masyarakat.
Hal ini dikarenakan Indonesia berada dalam kondisi geografis dengan
temperatur dan kelembaban yang sesuai, sehingga kehidupan cacing
ditunjang oleh proses daur hidup dan cara penularannya.
Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam
membedakan sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga
memerlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak
yang mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit juga bergantung pada
persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup
maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung
dari jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan
di periksa adalah tinja atau feses, sedangkan parasit darah dan jaringan
dengan cara biopsi, kerokan kulit maupun imunologis.
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur
cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan
untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di
periksa fesesnya.
Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan
kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode natif, metode apung,
metode harada mori, dan Metode kato. Metode ini digunakan untuk
mengetahui jenis parasit usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan dengan
metode kato untuk menentukan jumlah cacing yang ada didalam usus.
Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat
dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting
untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan

1
dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan.
Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau
menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat
dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejala klinik
kurang dapat dipastikan. Misalnya, infeksi yang disebabkan oleh cacing
gelang (Ascaris lumbricoides). Infeksi ini lebih bamyak ditemukan pada
anak-anak yang sering bermain di tanah yang telah terkontaminasi, sehingga
mereka lebih mudah terinfeksi oleh cacain-cacing tersebut. Biasanya hal ini
terjadi pada daerah di mana penduduknya sering membuang tinja
sembarangan sehingga lebih mudah terjadi penularan. Pengalaman dalam hal
membedakan sifat berbagai spesies parasit , kista, telur, larva, dan juga
pengetahuan tentang bentuk pseudoparasit dan artefak yang dikira parasit,
sangat dibutuhkan dalam pengidentifikasian suatu parasit.

1.2. Tujuan Praktikum


Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengidentifikasi adanya
telur cacing pada feases.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemeriksaan Makroskopis


Pemeriksaan makroskopik tinja meliputi pemeriksaan jumlah, warna,
bau, darah, lendir dan parasit.
a. Jumlah
Dalam keadaan normal jumlah tinja berkisar antara 100-250 gram per hari.
Banyaknya tinja dipengaruhi jenis makanan bila banyak makan sayur
jumlah tinja meningkat.
b. Konsistensi
Tinja normal mempunyai konsistensi agak lunak dan bebentuk. Pada diare
konsistensi menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan sebaliknya tinja
yang keras atau skibala didapatkan pada konstipasi. Peragian karbohidrat
dalam usus menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas.
c. Warna
Tinja normal kuning coklat dan warna ini dapat berubah mejadi lebih tua
dengan terbentuknya urobilin lebih banyak. Selain urobilin warna tinja
dipengaruhi oleh berbagai jenis makanan, kelainan dalam saluran
pencernaan dan obat yang dimakan. Warna kuning dapat disebabkan
karena susu,jagung, lemak dan obat santonin. Tinja yang berwarna hijau
dapat disebabkan oleh sayuran yang mengandung khlorofil atau pada bayi
yang baru lahir disebabkan oleh biliverdin dan porphyrin dalam
mekonium. Kelabu mungkin disebabkan karena tidak ada urobilinogen
dalam saluran pencernaan yang didapat pada ikterus obstruktif, tinja
tersebut disebut akholis. Keadaan tersebut mungkin didapat pada defisiensi
enzim pankreas seperti pada steatorrhoe yang menyebabkan makanan
mengandung banyak lemak yang tidak dapat dicerna dan juga setelah
pemberian garam barium setelah pemeriksaan radiologik. Tinja yang
berwarna merah muda dapat disebabkan oleh perdarahan yang segar
dibagian distal, mungkin pula oleh makanan seperti bit atau tomat. Warna

3
coklat mungkin disebabkan adanya perdarahan dibagian proksimal saluran
pencernaan atau karena makanan seperti coklat, kopi dan lain-lain. Warna
coklat tua disebabkan urobilin yang berlebihan seperti pada anemia
hemolitik. Sedangkan warna hitam dapat disebabkan obat yang yang
mengandung besi, arang atau bismuth dan mungkin juga oleh melena.
d. Bau
Indol, skatol dan asam butirat menyebabkan bau normal pada tinja. Bau
busuk didapatkan jika dalam usus terjadi pembusukan protein yang tidak
dicerna dan dirombak oleh kuman. Reaksi tinja menjadi lindi oleh
pembusukan semacam itu. Tinja yang berbau tengik atau asam disebabkan
oleh peragian gula yang tidak dicerna seperti pada diare. Reaksi tinja pada
keadaan itu menjadi asam.
e. Darah
Adanya darah dalam tinja dapat berwarna merah muda,coklat atau hitam.
Darah itu mungkin terdapat di bagian lua rtinja atau bercampur baur
dengan tinja. Pada perdarahan proksimal saluran pencernaan darah akan
bercampur dengan tinja dan warna menjadi hitam, ini disebut melena
seperti pada tukak lambung atau varices dalam oesophagus. Sedangkan
pada perdarahan di bagian distal saluran pencernaan darahterdapat di
bagian luar tinja yang berwarna merah muda yang dijumpai pada hemoroid
atau karsinoma rektum.
f. Lendir
Dalam keadaan normal didapatkan sedikit sekali lendir dalam tinja.
Terdapatnya lendir yang banyak berarti ada rangsangan atau radang pada
dinding usus. Kalau lendir itu hanya didapat di bagian luar tinja, lokalisasi
iritasi itu mungkin terletak pada usus besar. Sedangkan bila lendir
bercampur baur dengan tinja mungkin sekali iritasi terjadi pada usus halus.
Pada disentri, intususepsi dan ileokolitis bisa didapatkan lendir saja tanpa
tinja.

4
g. Parasit
Diperiksa pula adanya cacing ascaris, anylostoma dan lain-lain yang
mungkin didapatkan dalam tinja.

2.2. Pemeriksaan Mikroskopis


Pemeriksaan mikroskopik meliputi pemeriksaan protozoa, telur cacing,
leukosit, eritosit, sel epitel, kristal dan sisa makanan. Dari semua pemeriksaan
ini yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap protozoa dan telur cacing.
a. Protozoa
Biasanya didapati dalam bentuk kista, bila konsistensi tinja cair baru
didapatkan bentuk trofozoit.
b. Telur cacing
Telur cacing yang mungkin didapat yaitu Ascaris lumbricoides, Necator
americanus, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, Strongyloides
stercoralis dan sebagainya.
c. Leukosit
Dalam keadaan normal dapat terlihat beberapa leukosit dalam seluruh
sediaan. Pada disentri basiler, kolitis ulserosa dan peradangan didapatkan
peningkatan jumlah leukosit. Eosinofil mungkin ditemukan pada bagian
tinja yang berlendir pada penderita dengan alergi saluran pencenaan.
d. Eritrosit
Eritrosi thanya terlihat bila terdapat lesi dalam kolon, rektum atau anus.
Sedangkan bila lokalisasi lebih proksimal eritrosit telah hancur. Adanya
eritrosit dalam tinja selalu berarti abnormal.
e. Epitel
Dalam keadaan normal dapat ditemukan beberapa sel epite lyaitu yang
berasal dari dinding usus bagian distal. Sel epitelyang berasal dari bagian
proksimal jarang terlihat karena sel inibiasanya telah rusak. Jumlah sel
epitel bertambah banyak kalau ada perangsangan atau peradangan dinding
usus bagian distal.

5
f. Kristal
Kristal dalam tinja tidak banyak artinya. Dalam tinja normal mungkin
terlihat kristal tripel fosfat, kalsium oksalat dan asam lemak. Kristal tripel
fosfat dan kalsium oksalat didapatkan setelah memakan bayam atau
strawberi, sedangkan kristal asam lemak didapatkan setelah banyak makan
lemak. Sebagai kelainan mungkin dijumpai kristal Charcoat Leyden Tinja
LUGOL Butir-butir amilum dan kristal hematoidin. Kristal Charcoat
Leyden didapat pada ulkus saluran pencernaan seperti yang disebabkan
amubiasis. Pada perdarahan saluran pencernaan mungkin didapatkan
kristal hematoidin.
g. Sisa makanan
Hampir selalu dapat ditemukan juga pada keadaan normal, tetapi dalam
keadaan tertentu jumlahnya meningkat dan hal ini dihubungkan dengan
keadaan abnormal. Sisa makanan sebagian berasal dari makanan daun-
daunan dan sebagian lagi berasal dari hewan seperti serat otot, serat
elastisdan lain-lain. Untuk identifikasi lebih lanjut emulsi tinja dicampur
dengan larutan lugol untuk menunjukkan adanya amilum yang tidak
sempurna dicerna. Larutan jenuh Sudan IIIatau IV dipakai untuk
menunjukkan adanya lemak netral seperti pada steatorrhoe. Sisa makanan
ini akan meningkat jumlahnya pada sindroma malabsorpsi.

2.3. Parasit pada Cacing


a. Necator americanus & Ancylostoma duodenale
Cacing tambang parasit adalah cacing parasit (nematoda) yang hidup
pada usus kecil inangnya, manusia. Ada dua spesies cacing tambang yang
biasa menyerang manusia, Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus. Necator americanus banyak ditemukan di Amerika, Sub-
Sahara Afrika, Asia Tenggara, Tiongkok, and Indonesia, sementara A.
duodenale lebih banyak di Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan Eropa
bagian selatan. Sekitar seperempat penduduk dunia terinfeksi oleh cacing
tambang. Infeksi paling sering ditemukan di daerah yang hangat dan

6
lembab, dengan tingkat kebersihan yang buruk. bentuk infektif dari cacing
tersebut adalah bentuk filariform. Setelah cacing tersebut menetas dari
telurnya, muncullah larva rhabditiform yang kemudian akan berkembang
menjadi larva filarifor. Vampir haus minuman ini begitu banyak
menghisap darah merah mengakibatkan adanya risiko serius anemia yang
disebabkan oleh kekurangan zat besi. Ruam, mual dan diare adalah salah
satu gejala yang terinfeksi oleh cacing tambang.
b. Ascaris
Sepupu yang lebih besar dari cacing tambang (hookworm), Ascaris
adalah cacing buladberukuran raksasa yang dapat mencapai sepanjang 40
cm, sedikit lebih besar 1cm. faktanya, 25% persen dari penduduk dunia
terinfeksi tentu saja tidak membuatnya lebih diterima di perut kita. Sakit,
demam, dan berat infestasi dengan membunuh penyumbatan usus parah
hingga 20.000 orang per tahun.
Larva ascaris sangat lah kecl dan dapat menembus kulit, namun biasanya
ascaris ini masuk kedalam tubuh lewad makanan yang kotor.(makanya
jangan makan makanan yang kotor. ascaris dapat bertelur sebnyak 100
ribu perhari.
c. Guinea Worm (cacing guinea)
Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini adalah Dracunculiasis.
Bentuk cacing ini panjang seperti spagethi bila sudah besar bahkan dapat
mencapai 1 meter. biasanya cacing ini masuk kedalam tubuh manusia dari
air yang terkontaminasi oleh telur-telur cacing Guinea yang telah di makan
oleh Kutu air. Penyakit ini kebanyakan terdapat di bgian afrika dengan
keadaan kotor dan miskin serta pendidikan akan kebersihan yang minim.
d. Cacing Pita (Tapeworm/Taenia)
Cacing pita ini sebenarnya memiliki 3 jenis berdasarkan tempat
hidupnya yaitu: pada sapi, pada babi dan pada ikan(anak biology tahu nih
pasti. Besarnya sekitar 10cm panjangat dewasa, parasit cacing pipih dapat
tumbuh hingga lebih dari 12cm di beberapa situasi. Bersenjata dengan
pengisap kuat dan gigi. caing ini hidup di saluran pencernaan manusia,

7
ternak atau binatang lain dan terdapat dalam daging" serta mengeliat dalam
tubuh.
e. Cacing Filaria
Wuchereria bancrofti itulah nama latinnya.
Cacing filaria mempunyai inang perantara hewan Arthropoda, misalnya
nyamuk, dan inang tetap yaitu manusia pada bagian pembuluh getah
bening. Pada siang hari, larva berada di paru-paru atau di pembuluh darah
besar. Pada malam hari, cacing pindah ke pembuluh arteri atas dan vena
perifer di dekat kulit. Apabila cacing yang mati menyumbat pembuluh
getah bening, maka menyebabkan pembengkakkan atau terjadinya
penyakit kaki gajah (elephantiasis). Mikrofilaria dapat masuk ke dalam
tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Culex.

8
BAB III
METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat


Adapun waktu dan tempat dilaksanakannya praktikum ini adalah:
Hari/ Tanggal : Sabtu, 19 Januari 2019
Pukul : 09.40 WITA - Selesai
Tempat : Laboratorium Terpadu 1 fakultas Kedokteran Universitas
Islam Al-Azhar.

3.2. Alat dan bahan


Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini, antara lain:
a. Alat:
1. Object Glass
2. Cover Glass
3. Lidi
4. Mikroskop
5. Pot sampel
6. Selotip
7. Kertas Minyak
8. Kawat saring
9. Kertas karton
b. Bahan:
1. Feases
2. Eosin 2%
3. Larutan Kato (Malacite green 3%, Gliserin,Aquadest)
4. Tissue

3.3. Cara Kerja


a. Sediaan Langsung (Eosin 2%)
1. Teteskan 1-2 tetes Eosin 2% pada object glass.

9
2. Ambil sedikit Feases dengan menggunakan lidi.
3. Letakkan pada object glass yang sudah ditetesi eosin 2% kemudian
dicampur.
4. Tutup dengan cover glass.
5. Amati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x.
b. Teknik Kato
1. Rendam Selotip pada larutan kato selama kurang lebih 24 jam
sebelum dipakai
2. Letakkan kertas minyak diatas meja kerja
3. Ambil kurang lebih seruas jari tangan feases menggunakan lidi
kemudian ditaruh kertas minyak
4. Letakkan kawat saring diatas feases lalu ditekan dengan dua batang
lidi sehingga naik ke atas melalui kawat saring.
5. Pindahkan feases yang sudah ada diatas kawat saring sebesar biji
kacang merah (20-50 mg) keatas objek glass.
6. Tutup dengan selotip yang sudah direndam dengan larutan kato,
usahakan perekat selotip menghadap feases diobjek glass.
7. Ratakan feases ke seluruh penjuru di bawah selotip dengan object
glass lainnya hingga cukup tipis.
8. Biarkan sediaan selama 20-30 menit diatas tissue.
9. Periksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x.

10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
No Jenis telur cacing Gambar Keterangan
1 Trichuris Trichura Sediaan
Langsung (Eosin
2%)
Perbesaran 40x

2 Ascaris Sediaan
Limbricoides Langsung (Eosin
2%)
Perbesaran 40x

Teknik Kato
Perbesaran 10x

4.2. Pembahasan
a. HELMINTES (Trichuris trichura)
Trichuris trichura merupakan penyakit endemic yang sering
ditemukan pada daerah tropis dan sub tropis. Trichuris trichura juga
merupakan infeksi dengan prevalensi tertinggi pada soil-transmitted

11
helmintes sejak tahun 1970. Prevalensi infeksi cacing ini berkisar 65.4%
pada tahun 1971, namun berkurang sebesar 0.02% pada tahun 2004
sebagai akibat kegiatan pengontrolan terhadap parasit ini.
Trichuris trichura lebih dikenal dengan nama cacing cambuk karena
bentuknya yang meneyerupai cambuk dan biasanya disertai dengan
infeksi cacing ascaris. Cacing ini dapat menyebabkan gangguan
kesehatan pada manusia dan mengnfeksi tubuh manusia dengan jumlah
yang banyak. Itulah sebabnya apabila jumlah parasit di dalam tubuh
sedikit, pasien biasanya tidak akan terpengaruh dengan adanya cacing
ini. Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut tichuriasis atau
trichocephaliasis.
Siklus hidup dimulai ketika seseorang menelan telung cacing
ini yang telah fertile di dalam tanah. Telur yang tertelan kemudian
akan menetas di usus kecil dan akhirnya melekat pada mukosa usus
besar. Cacing dewasa akan menjadi matur kira-kira dalam 3 bulan dan
mulai memproduksi telur. Cacing ini akan membenamkan anteriornya
di mukosa usus dan mulai memproduksi telur sebanyak 2000-7000
telur/hari, dan dikeluarkan beberapa melalui tinja. Bila telur ditempat
yang mendukung untuk dapat hidup, maka akan berubah menjadi bentuk
infektif, dan akan mengulani siklus hidup jika kembai tertelan oleh
manusia.

Gambar 1, Siklus Hidup Cacing Cambuk

12
Morfologi telur pada trichuris trichura ialah:
Ukuran ± 50x22 mikron, berbentuk seperti tempayan
dengan kedua ujung telur yang menonjol, berdinding tebal dan
berisi larva. Kulit bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan
bagian dalamnya jernih.

Gambar 2. Morfologi Telur Trichuris trichura

b. Ascaris lumbricoides
A. lumbricoides jantan memiliki ukuran panjang tubuh 15-30 cm,
sedangkan cacing betina 20–35 cm. Stadium dewasa A.
lumbricoides hidup di dalam rongga usus kecil. Seekor cacing betina
dapat bertelur sebanyak 100.000–200.000 butir sehari, terdiri atas telur
yang dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi memiliki panjang
60-75 µm dan lebar berkisar 40-50 µm.
Telur cacing memiliki dinding telur yang tebal dan sangat kuat.
Bagian luar terdapat lapisan albumin yang permukaannya tidak rata
(mamillation) berwarna cokelat karena menyerap zat warna empedu.
Bagian tengah dinding telur cacing terdapat selubung hialin yang
bersifat kuat untuk memberi bentuk telur. Bagian dalam dinding telur
masih terdapat suatu selubung vitelin tipis yang lebih kuat daripada
bagian telur cacing yang lain untuk pelapis sel telur. Telur yang dibuahi
mengandung sel telur (ovum) yang tidak bersegmen. Setiap
kutub telur berbentuk lonjong atau bulat dan terdapat rongga udara

13
yang tampak sebagai daerah yang terang berbentuk bulan sabit. Telur
yang sudah dibuahi tersebut apabila tertelan dapat menginfeksi manusia.
Sedangkan, telur yang tidak dibuahi ditemukan di dalam tinja. apabila di
dalam tubuh hospes hanya terdapat cacing betina. Telur yang tidak
dibuahi lebih lonjong dari telur yang dibuahi dan memiliki ukuran
sekitar 80 x 55 µm. Telur yang tidak dibuahi tidak dijumpai rongga udara.
Dinding telur tipis, dan berwarna cokelat dengan lapisan albumin yang
tidak teratur. Sel telur mengalami atrofi, yang tampak dari
banyaknya butir-butir refraktil.

Fertil Infertil
Gambar 3. Telur Ascaris lumbricoides
Telur yang sudah dibuahi ketika keluar bersama tinja
manusia bersifat tidak infektif. Tetapi apabila telur tersebut terdapat
dalam tanah yang memiliki suhu 20-30oC, dalam waktu 2-3
minggu telur akan menjadi matang yang disebut telur infektif yang
di dalam telur tersebut terdapat larva. Apabila telur infektif tertelan
manusia akan menetas di dalam usus halus dan menjadi larva.
Larva tersebut akan menembus dinding usus, masuk ke dalam kapiler-
kapiler darah, kemudian melalui hati, jantung bagian kanan,

14
paru-paru, bronkus, dan trakea, tertelan masuk ke dalam esofagus,
kemudian rongga usus halus dan tumbuh menjadi cacing dewasa.

Gambar 4. Siklus hidup A. lumbricoides


Siklus hidup A. lumbicoides sebagai berikut, Cacing dewasa
bertelur di dalam usus manusia, kemudian telur keluar bersama feses,
berkembang menjadi bentuk infektif di tanah, telur infektif tersebut
tertelan, menetas dalam usus menjadi bentuk larva, kemudian larva
menembus usus bermigrasi melalui aliran darah ke jantung dan alveoli
paru, selanjutnya masuk ke dalam trakea dan tertelan kembali.
Gangguan karena larva biasanya terjadi di dalam paru. Pendarahan
kecil dapat terjadi pada dinding alveolus sehingga menyebabkan
timbulnya gangguan pada paru yang disertai batuk, demam dan eosinofilia.
Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan, penderita akan
mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang,
dan diare atau konstipasi. Infeksi berat, terutama pada anak dapat
menyebabkan malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi
dan penurunan status kognitif pada anak tingkat Sekolah Dasar. Efek
yang serius terjadi apabila cacing menggumpal dalam usus sehingga
meyebabkan obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu cacing
dewasa mengembara ke dalam saluran empedu, apendiks, atau ke

15
dalam bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga
perlu dilakukan tindakan operasi.

16
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari hasil pengamatan ditemukan adanya cacing trichuris trichura dan
ascariasis lumbricoides. Yang dimana morfologi dari cacing trichuris trichura
adalah berbentuk seperti tempayan dengan kedua ujung telur yang
menonjol, berdinding tebal dan berisi larva. Kulit bagian luar berwarna
kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih sedangkan morfologi dari
cacing ascariasis lumbricoides adalah Dinding telur tipis, dan berwarna
cokelat dengan lapisan albumin yang tidak teratur. Sel telur mengalami
atrofi, yang tampak dari banyaknya butir-butir refraktil.

17
DAFTAR PUSTAKA

Gandahusada, S.W. Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi


Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.

Rusmanto, Dwi, J Mukono. 2012. Hubungan Personal Higyene Siswa Sekolah


Dasar dengan Kejadian Kecacingan. The Indonesian Journal of Publick
Health. Vol. 8: 105-111

Safar R. 2009. Parasitologi kedokteran: prozoologi, entomologi dan helmintologi.


Edisi 1. Cv. Yrama Widya. Bandug.

Waluyo, 2005, Pengantar Mikrobiologi, Tarsito, Bandung.

Widoyono. 2008. Penyakit tropis. Erlangga: Surabaya. Hal: 130-132.

18

Anda mungkin juga menyukai