PENDAHULUAN
1
26,4 persen (Yahya, 2008). Budiarso dkk, melaporkan prevalensi penyakit jantung di
Indonesia adalah 18,3/100,000 penduduk pada golongan umur 15-24 tahun, dan
meningkat menjadi 174,6/100,000 penduduk pada umur 55 tahun (Kabo, 2008). Di
Sumatera Selatan jumlah prevalensi penyakit jantung pada tahun 2005 sebanyak 39,6
per 10.000 penduduk, termasuk didalamnya penyakit jantung koroner (Dinkes Provinsi
Sumsel, 2005 ).
2
kronik. Nefropati hipertensi terbagi menjadi dua yakni nefropati hipertensi benigna
(Neproskelerosis benigna) dan nefropati hipertensi maligna (nefrosklerosis maligna).
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala
yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti strok untuk otak, penyakit jantung
koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit ini telah
menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di
beberapa negara yang ada di dunia. Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus
hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di
tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini
didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini.
Modifikasi gaya hidup sangat penting dalam mencegah tekanan darah tinggi
dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mengobati tekanan darah
tinggi. Merokok adalah faktor risiko utama untuk mobilitas dan
mortalitas Kardiovaskuler. Di Indonesia banyaknya penderita Hipertensi diperkirakan
15 juta orang tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol.Prevalensi 6-15%
pada orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi
sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari
dan tidak mengetahui factor risikonya, dan 90% merupakan hipertensi esensial.Saat ini
penyakit degeneratif dan kardiovaskuler sudah merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia.Dari faktor resiko di atas yang sangat erat kaitannya
dengan gizi adalah hipertensi, obesitas, displidemia, dan diabetes mellitus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1 Acute Lung Oedema (ALO)
2.1.1 Definisi
Acute Lung Oedema (ALO) adalah akumulasi cairan di paru yang terjadi secara
mendadak.
Acute Lung Oedema adalah terjadinya penumpukan cairan secara masif di rongga
alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan respirasi dan ancaman
gagal napas.
Acute Lung Oedema adalah terkumpulnya cairan ekstravaskuler yang patologis di
dalam paru.
2.1.2 Epidemiologi
Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4, juta
penderita oedema paru didunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita oedema paru yang
perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika Serikat
diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita oedema. Di Jerman 6 juta penduduk.
Penyakit oedema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak
itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah hingga sampai tahun 1980 di seluruh
Provinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan kasus menunjukkan
kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia
insiden terbesar terjadi pada 1998 dengan Incidance Rate (IR) = 35.19 per 100.000
penduduk dan CFR 2%.
2.1.3 Etiologi
Penyebab terjadinya alo dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Edema paru kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.
a. Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena
adanya deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk
gumpalan darah pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot
jantung yang disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang
mengalami gangguan tidak mampu memompa darah lagi seperti biasa.
b. Kardiomiopati
4
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut
beberapa ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat
disebabkan oleh infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan
alkohol dan efek racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi.
Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak
mampu mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa
darah lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu
mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal
inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
c. Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau
tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan
darah mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru.
d. Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada
otot ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
2. Edema paru non kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru
itu sendiri. Pada non-kardiogenik, alo dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain:
1. Infeksi pada paru
2. Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru.
3. Paparan toxic
4. Reaksi alergi
5. Acute respiratory distress syndrome (ards)
6. Neurogenik
2.1.4 Patogenesis
ALO kardiogenik dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang
mendadak tinggi di atrium kiri, vena pulmonalis dan diteruskan (peningkatan
tekanannya) ke kapiler dengan tekanan melebihi 25 mmhg. Mekanisme fisiologis
tersebut gagal mempertahankan keseimbangan sehingga cairan akan membanjiri
5
alveoli dan terjadi oedema paru. Jumlah cairan yang menumpuk di alveoli ini
sebanding dengan beratnya oedema paru. Penyakit jantung yang potensial mengalami
alo adalah semua keadaan yang menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri >25
mmhg.
Sedangkan ALO non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh kerusakan
dinding kapiler paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel kapiler paru
sehingga menyebabkan masuknya cairan dan protein ke alveoli. Proses tersebut akan
mengakibatkan terjadinya pengeluaran sekret encer berbuih dan berwarna pink froty.
Adanya sekret ini akan mengakibatkan gangguan pada alveolus dalam menjalankan
fungsinya.
6
7
Gambar 1. Patofisiologi ALO
2.1.5 Diagnosis
Anamnesa :
ALO dapat dibagi menurut stadiumnya, yaitu :
a. Stadium 1
Adanya distensi pada pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
mengganggu pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi CO.
Keluhan pada stadium ini biasanya hanya berupa sesak napas saat melakukan aktivitas.
b. Stadium 2
8
Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus serta septa interlobularis menebal. Adanya
penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial akan lebih mempersempit saluran
napas kecil, terutama di daerah basal karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi
reflek bronkokonstriksi yang dapat menyebabkan sesak napas ataupun napas menjadi
berat dan tersengal.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi oedema alveolar. Pertukaran gas mengalami gangguan
secara berarti, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita tampak mengalami sesak
napas yang berat disertai batuk berbuih kemerahan (pink froty). Kapasitas vital dan
volume paru yang lain turun dengan nyata.
Pemeriksaan fisik :
1. Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
2. Ronkhi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan
paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat
bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale.
3. Takikardia dengan s3 gallop.
4. Murmur bila ada kelainan katup.
Pemeriksaan Penunjang :
Elektrokardiografi
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium,
tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau
aritmia bisa ditemukan.
Laboratorium
1. Analisa gas darah po2 rendah, pco2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia.
2. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
3. Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, ekg, enzim
jantung (ck-mb, troponin t), angiografi koroner.
Rontgen Dada
9
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih
banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru dari pada biasanya.
Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification
(pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari
bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli
sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang
minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
Pengukuran plasma B-type Natriuretic Peptide (BNP)
Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang
mendasari dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma b-type natriuretic
peptide (bnp) atau n-terminal pro-bnp. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan
timbul dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung.
Peningkatan dari bnp nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa
ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema.
Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan gagal
jantung sebagai penyebabnya.
Pulmonary artery catheter (swan-ganz)
Pulmonary artery catheter (swan-ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis
(kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan
melalui ruang – ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler
paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh
darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur
tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure.
Wedge pressure dari 18 mmhg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic
pulmonary edema, sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmhg biasanya
menyokong non-cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter
swan-ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (icu).
2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari Oedema Paru Akut yaitu :
10
Posisi ½ duduk.
Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, pao2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmhg dengan o2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi co2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor ekg, oksimetri bila ada.
Menurunkan preload dan mengeluarkan volume cairan intra paru. Nitrogliserin (ntg)
dan furosemide merupakan obat pilihan utama.
Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : dopamin 2 – 5 ug/kgbb/menit
atau dobutamin 2 – 10 ug/kgbb/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard
Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan
oksigen.
Penggunaan aminophyline, berguna apabila oedema paru disertai bronkokonstriksi
atau pada penderita yang belum jelas oedema parunya oleh karena faktor
kardiogenik atau non-kardiogenik, karena selain bersifat bronkodilator juga
mempunyai efek inotropok positif, venodilatasi ringan dan diuretik ringan.
Penggunaan inotropik. Pada penderita yang belum pernah mendapatkan
pengobatan, dapat diberikan digitalis seperti deslano-side (cedilanide-d). Obat lain
yang dapat dipakai adalah golongan simpatomi-metik (dopamine, dobutamine) dan
golongan inhibitor phos-phodiesterase (amrinone, milrinone, enoxumone,
piroximone)
11
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama
atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
2.2.2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan
terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara-negara berkembang
lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.
2.2.3. KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockeroft-Gault sebagai berikut :
12
(140 − umur) X berat badan
𝐿𝐹𝐺 (𝑚𝑙/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/1,73𝑚2- = =
72 X kreatinin plasma (mg/dl)
13
2.2.4. ETIOLOGI
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu Negara dengan
Negara lain. Tabel 4 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit ginal kronik
di Amerika Serikat. Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun
2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia
seperti pada Tabel 5.
Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya, nefritis lupus, nefropati urat,
intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak
diketahui.
Tabel 5. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialis di Indonesia Tahun 2000
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes Melitus 18,65%
Obstruksi dan Infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%
2.2.5. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi,
14
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis rennin-agiotensin-aldosteron-intravenal, ikut memeberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang
aksis rennin-agiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor β (TGF- β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminaria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya
sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan, tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30% mulai
terjadi keluhan pada pasien seperti : nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara
lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada
stadium gagal ginjal.
2. Parut tubulointerstisial
Derajat keparahan tubulointerstitial fibrosis (TIF) lebih berkorelasi dengan
fungsi ginjal dibangdingkan dengan glomerulosklerosis. Proses ini termasuk
inflamasi, proliferasi fibroblas interstisial dan deposisi ECM yang berlebih. Sel
tubular yang mengalami kerusakan berperan sebagai antigen presenting cell yang
15
mengekspresikan cell adhesion molecules dan melepaskan sel mediator inflamasi
seperti sitokin, kemokin, dan growth factor, serta meningkatkan produksi ECM dan
menginvasi ruang periglomerular dan peritubular. Resolusi deposisi ECM tergantung
pada dua jalur yaitu aktivasi matriks metalloproteinase dan aktivasi enzim proteolitik
plasmin oleh aktivator plasminogen. Parut ginjal terjadi akibat gangguan kedua jalur
kolagenolitik tersebut, sehingga teradi gangguan keseimbangan produksi ECM dan
pemecahan ECM yang mengakibatkan fibrosis yang irreversibel.
3. Sklerosis vaskular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular oleh berbagai sebab
(misalnya diabetes, hipertensi, glomerulonefritis kronis) akan menimbulkan terjadinya
eksaserbasi iskemi interstisial dan fibrosis. Iskemi serta hipoksia akan menyebabkan
sel tubulus dan fibroblas untuk memproduksi ECM dan mengurangi aktivitas
kolagenolitik. Kapiler peritubular yang rusak akan menurunkan produksi
proangiogenic vascular endothelial growth factor (VEGF) dan ginjal yang mengalami
parut akan mengekspresikan thrombospondin yang bersifat antiangiogenic sehingga
terjadi delesi mikrovaskular dan iskemi.
2.2.6. DIAGNOSIS
1. Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) dan lain sebagainya
b) Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c) Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistorfi renal,
payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida)
2. Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria
3. Gambaran Radiologis
16
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a) Foto Polos Abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b) Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c) Pielografi antegrad dan retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi
2.2.7. PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
3. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6. Terapi pengganti fungsi ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
17
4 15 – 29 - Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 -Terapi pengganti ginjal
Kompensasi
Netropati hiperfiltrasi
dan hipertrofi
Berkurangnya
jumlah netron
Tabel 7. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
19
LFG Fosfat
Asupan Protein g/kg/hari
ml/menit g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
20
Kerusakan gnjal
- Tekanan darah mulai
2 denan penurunan 60-89
meningkat
LFG ringan
Penruunan LFG - Hiperfosfatemia
sedang - Hipokalceia
- Anemia
3 30-59
- Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosistunemia
Penurunan LFG berat - Malnutrisi
- Asidosis Metabolik
4 15-29 - 5Cenderung
hiperkalemia
- Dislipidemia
Gagal ginjal - Gagal jantung
5 < 15
- Uremia
BAB III
LAPORAN KASUS
21
Nama : Tn.S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 59 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Berdagang
Alamat : Simpang Rumbio
Suku Bangsa : Minang
Tanggal Masuk : 09 Februari 2018
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Sesak nafas dirasakan meningkat sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit.
22
Pasien pernah menderita gagal ginjal pada september dan dirawat di RSUD
solok.
Pasien menderita DM pada 2001
Pasien memiliki riwayat penyakit jantung pada 2017, dan dirawat di bangsal
jantung RSUD solok.
Pasien tidak memiliki riwayat Penyakit TB
Riwayat Psikososial
Pasien seorang laki-laki umur 59 tahun. Bekerja sebagai seorang pedagang. Pasien
sebelumnya mempunyai kebiasaan merokok sejak umur 16 tahun dan berhenti
merokok sejak tahun 2017. Pasien merokok ± 2 bungkus rokok perhari. Indeks
Brinkman : 43 tahun x 24 batang/hari = 1.032 (perokok berat). Pasien memiliki
kebiasaan minum kopi. Pasien tidak memiliki kebiasaan mengonsumsi alkohol,
Pasien juga jarang berolahraga.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Sakit sedang
Vital Sign :
Kesadaran : Composmentis cooperatif
Tekanan Darah : 200/100 mmHg
Frekuensi Nadi : 100 x/menit, Reguler
Frekuensi Napas : 32 x/menit
Suhu : 36.2 ºC
Status Gizi :
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 166 cm
IMT : 19.85 (BB ideal )
23
Status Generalisata
Kulit : Ikterik (-), sianosis (-)
Kepala :
Bentuk : Normochepal, rambut tidak mudah dicabut
Wajah : Dalam batas normal
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
Leher : Tidak ada benjolan/massa, JVP 5-2 cmH2O, tidak
ada pembesaran (KGB) submandibula, sepanjang M.sternocleidomastoideus,
Supra/infraclavikula kiri dan kanan.
Thorak :
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari lateral di RIC V linea
midclavicularis sinistra, ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi :
Batas kiri : 2 jari di RIC V linea midclavicularis
sinistra
Batas kanan : RIC IV linea sternalis dextra
Batas atas : RIC II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Irama murni, bising jantung (-)
Paru-paru :
Inspeksi : Dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : Hipersonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara nafas vesikular, rhonki basah halus
nyaring (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit, venektasi
(-), sikatrik (-)
24
Palpasi :Dinding perut supel, nyeri tekan (-) di
epigastrium, nyeri lepas (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Bimanual (-), ballottement (-), nyeri ketok
CVA (-)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas :
Superior :
Inspeksi : Edema (-/-), sianosis (-)
Palpasi : Perabaan hangat.
Tes sensibilitas : Sensibilitas halus normal dan sensibilitas kasar
normal.
Inferior :
Inspeksi : Edema (-/-),sianosis (-/-), palmer eritem (-/-)
Palpasi : Perabaan hangat, pulsasi A.Femoralis, A.Dorsalis pedis,
A.Tibialis posterior, dan A. Poplitea kuat angkat
Tes sensibilitas : sensibilitas halus normal dan sensibilitas kasar normal.
25
Refleks Patologis Kanan Kiri
Refleks Babinski - -
Refleks Gordon - -
Refleks Oppenheim - -
Refleks Chaddoks - -
Pemeriksaan penunjang :
Rontgen Foto Thorax
Hasil :
Batas kanan kiri jantung suram, jantung kesan tidak membesar.
Aorta dan mediastinum superior tidak melebar.
Trakea ditengah.
Kedua hilus suram dengan cranialisasi.
Infiltrate dikedua paru dengan gambaran fissure minor prominent.
Hemidiagfragma licin.
Sinus costofrenicus kanan suram, kiri baik.
Kesan :
Gambaran edema paru, saat ini tidak jelas pembesaran jantung. Edema paru
non kardiogenik.
26
EKG :
3.7 Penatalaksanaan
a. Nonfarmakologi
- Bed rest
- Diet DD1900kkal, RG II RP 40gr
27
Jumlah kebutuhan kalori per hari :
Berat Badan Ideal (BBI) = (TB-100) – 10% (TB-100)
= (166-100) – 10% (166-100)
= 59,4 kg
Status gizi = BBI : BB aktual X 100%
= 59,4 : 32 X 100%
= 169%
Kebutuhan kalori basal = BBI X 30kkal
= 59,4 X 30 kkal
= 1.782 kal
Distribusi makanan
Karbohidrat = 60% x 2.138kalori : 4 = 320,7 gr
Protein = 20% x 2.138kalori : 4 = 106,9 gr
Lemak = 20% x 2.138kalori : 9 = 47,5 gr
b. Farmakologi
- Oksigen 3l/i
- IVFD Nacl 0,9 % 12 jam/kolf
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr (IV) Skin test
- Ambroxol 3x30mg
- Paracetamol 3x500mg
- Amlodipin 1x5mg
- Candesartan 1x8mg
28
Analisa gas darah
Ekokardiografi
Pememeriksaan Ophtalmologi
Tes HbA1C
3.9 Prognosis
Quo ad vitan : Dubia ad malam
Quo ad fungtionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
29
1.1. KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berumur 59 tahun dirawat di bangsal
Penyakit Dalam pria RSUD Solok pada tanggal 9 februari 2018 dengan diagnosa
Acute Lung Oedema dan Chronic Kidney Disease. Diagnosa ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan Sesak napas sejak ± 2 jam SMRS, sesak dirasakan
terus menerus, Sesak tidak dipengaruhi aktifitas ataupun cuaca, seperti cuaca dingin.
Pasien pernah merasakan sesak nafas yang sama 3 bulan yang lalu, namun hilang
dengan sendirinya. Nyeri pingang tidak ada, namun pasien pernah merasakan nyeri
pinggang 6 bulan yang lalu, dan di diagnosa gagal ginjal. Pasen mengeluhkan batuk
berdahak sejak 3 minggu yang lalu, dahak sukar dikeluarkan. Septum berwarna
kuning kental, tidak bercampur darah. Nafsu makan pasien baik, namun pasien jarang
minum. Sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), nyeri saat berkemih (-).
pasien mengatakan memiliki riwayat DM pada 2001 dan sudah tidak ada keluhan,
pasien juga memiliki riwayat hipertensi yang pertama kali diketahui pada tahun 2017,
terkontrol dan mengonsumsi obat Amlodipin.
Pasien diberikan terapi non farmakologis Nonfarmakologi Bed rest,Diet rendah garam
II (600- 800 mg + 1 gr garam dapur. Farmakologi IVFD Easprimer : Dextrose 10 % =
1:1 12 jam/ kolf, Inj cefotaxim 2 x 1 amp ( skintest ), Inj Amlodipn 1 x 1, Asam
folat 1 x 1, Paracetamol 3 x 1, Condesartan 1x16mg, Bicnat 3x1 tab.
30