Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Acute Lung Oedema (ALO) / edema paru akut merupakan kondisi di mana
cairan terakumulasi di dalam paru-paru, biasanya diakibatkan oleh ventrikel kiri
jantung yang tidak memompa secara adekuat. Edema paru akut terjadi oleh karena
adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli
paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik.
Bertambahnya cairan dalam ruang di luar pembuluh darah paru-paru disebut
edema paru akut. Edema paru akut merupakan komplikasi yang biasa dari penyakit
jantung dan kebanyakan kasus dari kondisi ini dihubungkan dengan kegagalan jantung.
Edema paru akut dapat menjadi kondisi kronik atau dapat berkembang dengan tiba-tiba
dan dengan cepat menjadi ancaman hidup. Tipe yang mengancam hidup dari edema
paru terjadi ketika sejumlah besar cairan tiba-tiba berpindah dari pembuluh darah paru
ke dalam paru, dikarenakan masalah paru, serangan jantung, trauma, atau bahan kimia
toksik. Ini dapat juga menjadi tanda awal dari penyakit jantung koroner.
Penyakit jantung merupakan problem kesehatan utama. Badan Kesehatan
Dunia World Health Organization (WHO) pada tahun 2002 mencatat lebih dari 55,9
juta orang meninggal karena akibat penyakit jantung diseluruh dunia dan akan terus
meningkat, ini setara dengan 30,3% dari total kematian didunia (Yahya, 2008).
Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat penyakit jantung menduduki
peringkat pertama penyebab kematian. Kematian akibat Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah (PJPD) di seluruh Amerika Serikat pada tahun 1996 mencapai
959.227 orang, yakni 41,4% dari seluruh kematian. Setiap hari 2600 penduduk
meninggal akibat penyakit ini. Meskipun berbagai pertolongan mutakhir telah
diupayakan, namun setiap 33 detik tetap saja seorang warga Amerika meninggal akibat
penyakit ini. Dari jumlah tersebut, 476.124 kematian disebabkan oleh gagal jantung.
Pada tahun 1999 diperkirakan 1.100.000 warga Amerika mengalami gagal
jantung (Ulfah, 2008).
Saat ini penyakit kardiovaskular yang didalamnya termasuk gagal jantung telah
menjadi penyebab kematian nomor satu di Indonesia. Penyebab selurah kematian yaitu
16 persen pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992. Pada SKRT 1995
meningkat menjadi 18,9 persen. Hasil Suskernas 2001 malahan memperlihatkan angka

1
26,4 persen (Yahya, 2008). Budiarso dkk, melaporkan prevalensi penyakit jantung di
Indonesia adalah 18,3/100,000 penduduk pada golongan umur 15-24 tahun, dan
meningkat menjadi 174,6/100,000 penduduk pada umur 55 tahun (Kabo, 2008). Di
Sumatera Selatan jumlah prevalensi penyakit jantung pada tahun 2005 sebanyak 39,6
per 10.000 penduduk, termasuk didalamnya penyakit jantung koroner (Dinkes Provinsi
Sumsel, 2005 ).

Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu keadaan terjadinya kerusakan


ginjal atau laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 mL/menit dalam waktu 3 bulan atau
lebih. Penurunan fungsi ginjal terjadi secara berangsur-angsur dan irreversible yang
akan berkembang terus menjadi gagal ginjal terminal. Adanya kerusakan ginjal
tersebut dapat dilihat dari kelainan yang terdapat dalam darah, urin, pencitraan, atau
biopsy ginjal. CKD merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka
kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya
perawatan yang mahal. Di negara-negara berkembang CKD lebih kompleks lagi
masalahnya karena berkaitan dengan sosio-ekonomi dan penyakit-penyakit yang
mendasarinya. Perejalanan penyakit CKD tidak hanya terjadi gagal ginjal tetapi juga
dapat terjadi komplikasi lainnya karena menurunnya fungsi ginjal dan penyakit
kardiovaskular.
Peningkatan prevalens penderita CKD dari 13,8% menjadi 15,8% pada
populasi dewasa dilaporkan oleh US Renal Data System tahun 2007, sedangkan pada
populasi anak kejadian CKD < 2% dari populasi dewasa. Prevalens CKD pada anak
adalah 18 per 1 juta populasi anak. Jumlah penderita CKD yang dilakukan dialisis dan
transplantasi ginjal diproyeksikan meningkat dari 340.000 pada tahun 1999 menjadi
651.000 pada tahun 2010.
Hipertensi merupakan faktor resiko utama bagi terjadinya serangan penyakit
pembuluh darah lainnya. Namun sebagian besar masyarakat belum menyadari bahwa
hipertensi juga memiliki kaitan erat dengan kesehatan ginjal. Penyakit ginjal
merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Ditemukan peningkatan
insiden dan prevalensi di Amerika Serikat. Sedangkan di negara berkembang, insiden
ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta penduduk pertahunnya.
Hipertensi merupakan faktor pemicu utama terjadinya penyakit ginjal akut
maupun penyakit ginjal kronik. Bahkan, hipertensi merupakan penyebab kejadian
gagal ginjal tahap akhir kedua terbanyak setelah diabetes mellitus. Dari 4.000
penderita hipertensi, sekitar 17 persen di antaranya juga menyumbang penyakit gagal
ginjal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nurlaili Farida Muhajir 2010,
seseorang dengan hipertensi mempunyai kemungkinan untuk sakit Gagal Ginjal
Kronik 16,000 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak hipertensi.Untuk
penyakit ginjal kronik, peningkatan terjadi sekitar 2-3 kali lipat dari tahun sebelumnya.
Penyakit ginjal yang disebabkan karena hipertensi disebut nefropati hipertensi
(nefrosklerosis hipertensi) adalah penyakit ginjal yang disebabkan karena terjadinya
kerusakan vaskularisasi di ginjal oleh adanya peningkatan tekanan darah akut maupun

2
kronik. Nefropati hipertensi terbagi menjadi dua yakni nefropati hipertensi benigna
(Neproskelerosis benigna) dan nefropati hipertensi maligna (nefrosklerosis maligna).
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala
yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti strok untuk otak, penyakit jantung
koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit ini telah
menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di
beberapa negara yang ada di dunia. Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus
hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di
tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini
didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini.
Modifikasi gaya hidup sangat penting dalam mencegah tekanan darah tinggi
dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mengobati tekanan darah
tinggi. Merokok adalah faktor risiko utama untuk mobilitas dan
mortalitas Kardiovaskuler. Di Indonesia banyaknya penderita Hipertensi diperkirakan
15 juta orang tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol.Prevalensi 6-15%
pada orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi
sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari
dan tidak mengetahui factor risikonya, dan 90% merupakan hipertensi esensial.Saat ini
penyakit degeneratif dan kardiovaskuler sudah merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia.Dari faktor resiko di atas yang sangat erat kaitannya
dengan gizi adalah hipertensi, obesitas, displidemia, dan diabetes mellitus.

1.2. Tujuan Penulisan


1. Untuk memenuhi salah satu tugas di bagian Penyakit Dalam
2. Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan ALO dan CKD ec Hipertensi.
(definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi, patogenesa, gejala klinis,
diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi)

1.3. Manfaat Penulisan


1. Menambah wawasan mengenai diagnosis dan tata laksana ALO dan CKD ec
Hipertensi.
2. Sebagai proses pembelajaran bagi mahasiswa yang menjalan kepanitraan klinik
senior Departemen Ilmu Penyakit Dalam.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Acute Lung Oedema (ALO)
2.1.1 Definisi
Acute Lung Oedema (ALO) adalah akumulasi cairan di paru yang terjadi secara
mendadak.
Acute Lung Oedema adalah terjadinya penumpukan cairan secara masif di rongga
alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan respirasi dan ancaman
gagal napas.
Acute Lung Oedema adalah terkumpulnya cairan ekstravaskuler yang patologis di
dalam paru.

2.1.2 Epidemiologi
Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4, juta
penderita oedema paru didunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita oedema paru yang
perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika Serikat
diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita oedema. Di Jerman 6 juta penduduk.
Penyakit oedema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak
itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah hingga sampai tahun 1980 di seluruh
Provinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan kasus menunjukkan
kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia
insiden terbesar terjadi pada 1998 dengan Incidance Rate (IR) = 35.19 per 100.000
penduduk dan CFR 2%.

2.1.3 Etiologi
Penyebab terjadinya alo dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Edema paru kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.
a. Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena
adanya deposit lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk
gumpalan darah pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot
jantung yang disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang
mengalami gangguan tidak mampu memompa darah lagi seperti biasa.
b. Kardiomiopati

4
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut
beberapa ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat
disebabkan oleh infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan
alkohol dan efek racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat kemoterapi.
Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak
mampu mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa
darah lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu
mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal
inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
c. Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk
mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau
tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan
darah mengalir kembali melalui katub menuju paru-paru.
d. Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada
otot ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
2. Edema paru non kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru
itu sendiri. Pada non-kardiogenik, alo dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain:
1. Infeksi pada paru
2. Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru.
3. Paparan toxic
4. Reaksi alergi
5. Acute respiratory distress syndrome (ards)
6. Neurogenik

2.1.4 Patogenesis
ALO kardiogenik dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang
mendadak tinggi di atrium kiri, vena pulmonalis dan diteruskan (peningkatan
tekanannya) ke kapiler dengan tekanan melebihi 25 mmhg. Mekanisme fisiologis
tersebut gagal mempertahankan keseimbangan sehingga cairan akan membanjiri

5
alveoli dan terjadi oedema paru. Jumlah cairan yang menumpuk di alveoli ini
sebanding dengan beratnya oedema paru. Penyakit jantung yang potensial mengalami
alo adalah semua keadaan yang menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri >25
mmhg.
Sedangkan ALO non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh kerusakan
dinding kapiler paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel kapiler paru
sehingga menyebabkan masuknya cairan dan protein ke alveoli. Proses tersebut akan
mengakibatkan terjadinya pengeluaran sekret encer berbuih dan berwarna pink froty.
Adanya sekret ini akan mengakibatkan gangguan pada alveolus dalam menjalankan
fungsinya.

6
7
Gambar 1. Patofisiologi ALO

2.1.5 Diagnosis
Anamnesa :
ALO dapat dibagi menurut stadiumnya, yaitu :
a. Stadium 1
Adanya distensi pada pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
mengganggu pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi CO.
Keluhan pada stadium ini biasanya hanya berupa sesak napas saat melakukan aktivitas.

b. Stadium 2

8
Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus serta septa interlobularis menebal. Adanya
penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial akan lebih mempersempit saluran
napas kecil, terutama di daerah basal karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi
reflek bronkokonstriksi yang dapat menyebabkan sesak napas ataupun napas menjadi
berat dan tersengal.

c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi oedema alveolar. Pertukaran gas mengalami gangguan
secara berarti, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita tampak mengalami sesak
napas yang berat disertai batuk berbuih kemerahan (pink froty). Kapasitas vital dan
volume paru yang lain turun dengan nyata.

Pemeriksaan fisik :
1. Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
2. Ronkhi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan
paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat
bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale.
3. Takikardia dengan s3 gallop.
4. Murmur bila ada kelainan katup.

Pemeriksaan Penunjang :
 Elektrokardiografi
Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium,
tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau
aritmia bisa ditemukan.
 Laboratorium
1. Analisa gas darah po2 rendah, pco2 mula-mula rendah dan kemudian
hiperkapnia.
2. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
3. Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, ekg, enzim
jantung (ck-mb, troponin t), angiografi koroner.
 Rontgen Dada

9
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih
banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru dari pada biasanya.
Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification
(pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari
bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli
sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang
minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
 Pengukuran plasma B-type Natriuretic Peptide (BNP)
Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang
mendasari dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma b-type natriuretic
peptide (bnp) atau n-terminal pro-bnp. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan
timbul dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung.
Peningkatan dari bnp nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa
ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema.
Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan gagal
jantung sebagai penyebabnya.
 Pulmonary artery catheter (swan-ganz)
Pulmonary artery catheter (swan-ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis
(kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan
melalui ruang – ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler
paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh
darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur
tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure.
Wedge pressure dari 18 mmhg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic
pulmonary edema, sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmhg biasanya
menyokong non-cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter
swan-ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (icu).

2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari Oedema Paru Akut yaitu :

10
 Posisi ½ duduk.
 Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
 Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, pao2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmhg dengan o2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi co2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
 Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor ekg, oksimetri bila ada.
 Menurunkan preload dan mengeluarkan volume cairan intra paru. Nitrogliserin (ntg)
dan furosemide merupakan obat pilihan utama.
 Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
 Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : dopamin 2 – 5 ug/kgbb/menit
atau dobutamin 2 – 10 ug/kgbb/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
 Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard
 Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan
oksigen.
 Penggunaan aminophyline, berguna apabila oedema paru disertai bronkokonstriksi
atau pada penderita yang belum jelas oedema parunya oleh karena faktor
kardiogenik atau non-kardiogenik, karena selain bersifat bronkodilator juga
mempunyai efek inotropok positif, venodilatasi ringan dan diuretik ringan.
 Penggunaan inotropik. Pada penderita yang belum pernah mendapatkan
pengobatan, dapat diberikan digitalis seperti deslano-side (cedilanide-d). Obat lain
yang dapat dipakai adalah golongan simpatomi-metik (dopamine, dobutamine) dan
golongan inhibitor phos-phodiesterase (amrinone, milrinone, enoxumone,
piroximone)

2.2. CHRONIC KIDNEY DIASES (CKD)


2.2.1. Definisi

11
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Tabel 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik


1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG),
dengan manifestasi:
 Kelainan patologis
 Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau rutin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73 m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Tabel 1 : Kriteria penyakit ginjal kronik

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama
atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

2.2.2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal
kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan
terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara-negara berkembang
lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.

2.2.3. KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockeroft-Gault sebagai berikut :

12
(140 − umur) X berat badan
𝐿𝐹𝐺 (𝑚𝑙/𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/1,73𝑚2- = =
72 X kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi tersebut tampak pada table berikut :


Derajat Penjelasan LFG (ml/menit/1,73m2)
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
1 ≥ 90
meningkat
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
2 60 - 89
ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
3 30-59
sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun
4 15-29
berat
Gagal ginjal
5 < 15 atau dialisis

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Penyakit Tipe mayor (contoh)


Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
- Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi
sistemik, obat, neoplasia)
- Penyakit vaskuler (Penyakit pembuluh darah besar,
Penyakit Ginjal
hipertensi, mikroangiopati)
non diabetes
- Penyakit tubulointertitial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
- Penyakit kistik (ginjal polikistik)
- Rejeksi Kronik
Penyakit pada - Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
transplantasi - Penyakit recurrent (glomerular)
- Transplant glomerulopathy
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi

13
2.2.4. ETIOLOGI
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu Negara dengan
Negara lain. Tabel 4 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit ginal kronik
di Amerika Serikat. Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun
2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia
seperti pada Tabel 5.
Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya, nefritis lupus, nefropati urat,
intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak
diketahui.

Tabel 4. Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat (195-1999)


Penyebab Insiden
Diabetes Melitus 44%
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonefritis 10%
Nefritis interstitialis 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%
Penyakit sistemik (misal, lupus dan vaskulitis) 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%

Tabel 5. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialis di Indonesia Tahun 2000
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes Melitus 18,65%
Obstruksi dan Infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%

2.2.5. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi,

14
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis rennin-agiotensin-aldosteron-intravenal, ikut memeberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang
aksis rennin-agiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor β (TGF- β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminaria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya
sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan, tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30% mulai
terjadi keluhan pada pasien seperti : nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara
lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada
stadium gagal ginjal.

Secara umum terdapat tiga mekanisme patogenesis terjadinya CKD yaitu


glomerulosklerosis, parut tubulointerstisial, dan sklerosis vascular.
1. Glomerulosklerosis
Proses sklerosis glomeruli yang progresif dipengaruhi oleh sel intra
glomerular dan sel ekstra-glomerular. Kerusakan sel intra-glomerular dapat terjadi
pada sel glomerulus intrinsik (endotel, sel mesangium sel epitel), maupun sel
ekstrinsik (trombosit, limfosit, monosit/makrofag).

2. Parut tubulointerstisial
Derajat keparahan tubulointerstitial fibrosis (TIF) lebih berkorelasi dengan
fungsi ginjal dibangdingkan dengan glomerulosklerosis. Proses ini termasuk
inflamasi, proliferasi fibroblas interstisial dan deposisi ECM yang berlebih. Sel
tubular yang mengalami kerusakan berperan sebagai antigen presenting cell yang

15
mengekspresikan cell adhesion molecules dan melepaskan sel mediator inflamasi
seperti sitokin, kemokin, dan growth factor, serta meningkatkan produksi ECM dan
menginvasi ruang periglomerular dan peritubular. Resolusi deposisi ECM tergantung
pada dua jalur yaitu aktivasi matriks metalloproteinase dan aktivasi enzim proteolitik
plasmin oleh aktivator plasminogen. Parut ginjal terjadi akibat gangguan kedua jalur
kolagenolitik tersebut, sehingga teradi gangguan keseimbangan produksi ECM dan
pemecahan ECM yang mengakibatkan fibrosis yang irreversibel.
3. Sklerosis vaskular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular oleh berbagai sebab
(misalnya diabetes, hipertensi, glomerulonefritis kronis) akan menimbulkan terjadinya
eksaserbasi iskemi interstisial dan fibrosis. Iskemi serta hipoksia akan menyebabkan
sel tubulus dan fibroblas untuk memproduksi ECM dan mengurangi aktivitas
kolagenolitik. Kapiler peritubular yang rusak akan menurunkan produksi
proangiogenic vascular endothelial growth factor (VEGF) dan ginjal yang mengalami
parut akan mengekspresikan thrombospondin yang bersifat antiangiogenic sehingga
terjadi delesi mikrovaskular dan iskemi.

2.2.6. DIAGNOSIS
1. Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) dan lain sebagainya
b) Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c) Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistorfi renal,
payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida)

2. Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria

3. Gambaran Radiologis

16
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a) Foto Polos Abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b) Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c) Pielografi antegrad dan retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi

4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yg masih mendekati normal, dimana diagnosis secara
noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan
untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi
hasil terapi yg telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada
keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal
polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

2.2.7. PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
3. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6. Terapi pengganti fungsi ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Tabel 6. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya


LFG
Derajat Rencana Tatalaksana
(ml/mnt/1,73 m2)
- Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan ( progression )
1 >90
fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskuler
- Menghambat pemburukan (progression)
2 60 – 89
fungsi ginjal
3 30 – 59 - Evaluasi dan terapi komplikasi

17
4 15 – 29 - Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 -Terapi pengganti ginjal

1. Terapi Spesifik Penyakit Terhadap Penyakit Dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara uktrasonografi, biopsy dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat memntukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun samai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid


Penting sekali untuk mengkuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada
pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang
dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius,
obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksisk, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal


Factor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Skemati tentang pathogenesis perburukan fungsi ginjal dapat dilihat pada
gambar berikut :

Kompensasi
Netropati hiperfiltrasi
dan hipertrofi

Berkurangnya
jumlah netron

Hipertensi Kebocoran protein 18


Angiostensin II
hiperemik lewat glomerulus
Gambar 1. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus : Pembatasan


Asupan Protein. Pembatan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit,
sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
Protein diberikan 0,6-08/kg.bb/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan
protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35
kkal/kgBB/hari. Di butuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi protein
dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak
disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang
terutama dieksresikan mealui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein pada pasien
penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan subtansi nitrogen dan ion
anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut
uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik.

3.1 Terapi farmakologis


Pemakaian obat antihipertensi disamping bermanfaat untuk memperkecil
risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertropi
glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah
mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam
memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Dsamping itu,
sasaran terapi farmakologis sangat teraait dnegan derajat proteinuria. Saat ini
diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan factor risiko terjadinya
pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan
proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat enzim Konverting
Angiostenin, melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburuan
fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihpertensi dan
antiproteinuria.

Tabel 7. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik

19
LFG Fosfat
Asupan Protein g/kg/hari
ml/menit g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi

25-60 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥0,35 gr/kg/hr ≤10 g


Nilai biologi tinggi

5-25 0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥0,35 gr/kg/hr ≤10 g


Protein nilai biologi tinggi atau
Tambahan 0,3 g asam amino esensial atau
asam keton

<60 (sindrom 0,8/kg/hr (+1 gr protein/ g proteinuria atau ≤9 gr


nefrotik) 0,3 g/kg tambahan asam amino esensial atau
asam keton
4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupkan hal yang
penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardivaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit
kardivaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
hiperfosfstemia dan terapi teradap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.

5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi


Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya
sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
Beberapa diantara komplikasi tersebut akan dibicarakan pada bagian ini, sedangkan
sisanya dibicarakan pada bagian lain.

Table 8. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik


Derajat Penjelasan LFG(ml/mnt) Komplikasi
Kerusakan ginjal
1 ≥ 90
dengan LFG normal

20
Kerusakan gnjal
- Tekanan darah mulai
2 denan penurunan 60-89
meningkat
LFG ringan
Penruunan LFG - Hiperfosfatemia
sedang - Hipokalceia
- Anemia
3 30-59
- Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosistunemia
Penurunan LFG berat - Malnutrisi
- Asidosis Metabolik
4 15-29 - 5Cenderung
hiperkalemia
- Dislipidemia
Gagal ginjal - Gagal jantung
5 < 15
- Uremia

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

21
Nama : Tn.S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 59 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Berdagang
Alamat : Simpang Rumbio
Suku Bangsa : Minang
Tanggal Masuk : 09 Februari 2018

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Sesak nafas dirasakan meningkat sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang :


 Pasien mengeluhkan sesak napas sejak 2 jam lalu sebelum masuk rumah sakit.
Sesak tidak dipengaruhi dengan aktifitas maupun cuaca.
 Pasien mengeluhkan batuk berdahak sejak 3 minggu yang lalu, dengan septum
berwarna kuning dan tidak disertai darah. Batuk dirasakan hilang timbul dan
dirasakan semakin berat di malam hari ketika pasein berbaring.
 pasien mengelukan sering BAK, urin kuning bening.
 Napsu makan pasien baik.
 Mual tidak ada.
 Muntah tidak ada.
 Demam tidak ada.
 BAB tidak ada keluhan
 Nyeri perut tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Pasien pernah menderita sesak nafas yang sama seperti sekarang 3 bulan yll.
 Pasien memiliki riwayat Hipertensi sejak 2017 terkontrol. Pasien mengonsumsi
obat Amlodipin. TD tertinggi pasien 230 mmHg

22
 Pasien pernah menderita gagal ginjal pada september dan dirawat di RSUD
solok.
 Pasien menderita DM pada 2001
 Pasien memiliki riwayat penyakit jantung pada 2017, dan dirawat di bangsal
jantung RSUD solok.
 Pasien tidak memiliki riwayat Penyakit TB

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat hipertensi di keluarga (ayah,ibu dan saudara) ada
 Riwayat DM di keluarga (ayah, ibu, dan saudara) ada.
 Riwayat penyakit jantung di keluarga (ayah,ibu dan saudara) ada.
 Riwayat Asma di keluarga (ayah, ibu, dan saudara) tidak ada
 Riwayat TB di keluarga (ayah, ibu, dn saudara) tidak ada

Riwayat Psikososial
Pasien seorang laki-laki umur 59 tahun. Bekerja sebagai seorang pedagang. Pasien
sebelumnya mempunyai kebiasaan merokok sejak umur 16 tahun dan berhenti
merokok sejak tahun 2017. Pasien merokok ± 2 bungkus rokok perhari. Indeks
Brinkman : 43 tahun x 24 batang/hari = 1.032 (perokok berat). Pasien memiliki
kebiasaan minum kopi. Pasien tidak memiliki kebiasaan mengonsumsi alkohol,
Pasien juga jarang berolahraga.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Sakit sedang
Vital Sign :
Kesadaran : Composmentis cooperatif
Tekanan Darah : 200/100 mmHg
Frekuensi Nadi : 100 x/menit, Reguler
Frekuensi Napas : 32 x/menit
Suhu : 36.2 ºC
Status Gizi :
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 166 cm
IMT : 19.85 (BB ideal )

23
Status Generalisata
Kulit : Ikterik (-), sianosis (-)
Kepala :
Bentuk : Normochepal, rambut tidak mudah dicabut
Wajah : Dalam batas normal
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
Leher : Tidak ada benjolan/massa, JVP 5-2 cmH2O, tidak
ada pembesaran (KGB) submandibula, sepanjang M.sternocleidomastoideus,
Supra/infraclavikula kiri dan kanan.

Thorak :
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari lateral di RIC V linea
midclavicularis sinistra, ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi :
Batas kiri : 2 jari di RIC V linea midclavicularis
sinistra
Batas kanan : RIC IV linea sternalis dextra
Batas atas : RIC II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Irama murni, bising jantung (-)
Paru-paru :
Inspeksi : Dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : Hipersonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara nafas vesikular, rhonki basah halus
nyaring (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit, venektasi
(-), sikatrik (-)

24
Palpasi :Dinding perut supel, nyeri tekan (-) di
epigastrium, nyeri lepas (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Bimanual (-), ballottement (-), nyeri ketok
CVA (-)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas :
Superior :
Inspeksi : Edema (-/-), sianosis (-)
Palpasi : Perabaan hangat.
Tes sensibilitas : Sensibilitas halus normal dan sensibilitas kasar
normal.

Refleks Fisiologis Kanan Kiri


Refleks Biceps + +
Refleks Triceps + +
Refleks Brachioradialis + +

Refleks Patologis Kanan Kiri


Refleks
- -
Hoffman-Tromer

Inferior :
Inspeksi : Edema (-/-),sianosis (-/-), palmer eritem (-/-)
Palpasi : Perabaan hangat, pulsasi A.Femoralis, A.Dorsalis pedis,
A.Tibialis posterior, dan A. Poplitea kuat angkat
Tes sensibilitas : sensibilitas halus normal dan sensibilitas kasar normal.

Refleks Fisiologis Kanan Kiri


Refleks Patella + +
Refleks Achilles + +

25
Refleks Patologis Kanan Kiri
Refleks Babinski - -
Refleks Gordon - -

Refleks Oppenheim - -
Refleks Chaddoks - -

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan lab 08 februari 2018
-Hb : 8 g/dl
-Ht : 26.7 %
-Leukosit : 10.130/mm3
-Trombosit : 256.000/mm3
-Ureum : 41,3 mg/dL
-Creatinin : 1,28 mg/dL

Pemeriksaan penunjang :
 Rontgen Foto Thorax

Hasil :
 Batas kanan kiri jantung suram, jantung kesan tidak membesar.
 Aorta dan mediastinum superior tidak melebar.
 Trakea ditengah.
 Kedua hilus suram dengan cranialisasi.
 Infiltrate dikedua paru dengan gambaran fissure minor prominent.
 Hemidiagfragma licin.
 Sinus costofrenicus kanan suram, kiri baik.
Kesan :
Gambaran edema paru, saat ini tidak jelas pembesaran jantung. Edema paru
non kardiogenik.

26
 EKG :

Gambar 17. Hasil EKG pasien

3.5 Diagnosa Kerja


 Acute Lung Oedema (ALO)
 Chronic Kidney Disease (CKD)
3.6 Diagnosa Banding
 Emboli paru
 Asma bronkial

3.7 Penatalaksanaan
a. Nonfarmakologi
- Bed rest
- Diet DD1900kkal, RG II RP 40gr

27
Jumlah kebutuhan kalori per hari :
Berat Badan Ideal (BBI) = (TB-100) – 10% (TB-100)
= (166-100) – 10% (166-100)
= 59,4 kg
Status gizi = BBI : BB aktual X 100%
= 59,4 : 32 X 100%
= 169%
Kebutuhan kalori basal = BBI X 30kkal
= 59,4 X 30 kkal
= 1.782 kal

Kebutuhan aktivitas ditambah 20% = 20% x 1.782kalori


= 356 kalori
Total kebutuhan kalori : 1.782+ 356 = 2.138 kalori

Distribusi makanan
Karbohidrat = 60% x 2.138kalori : 4 = 320,7 gr
Protein = 20% x 2.138kalori : 4 = 106,9 gr
Lemak = 20% x 2.138kalori : 9 = 47,5 gr

b. Farmakologi
- Oksigen 3l/i
- IVFD Nacl 0,9 % 12 jam/kolf
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr (IV) Skin test
- Ambroxol 3x30mg
- Paracetamol 3x500mg
- Amlodipin 1x5mg
- Candesartan 1x8mg

3.8 Pemeriksaan Anjuran


 EKG
 Rontgen Foto thorax PA
 Spirometri

28
 Analisa gas darah
 Ekokardiografi
 Pememeriksaan Ophtalmologi
 Tes HbA1C

3.9 Prognosis
Quo ad vitan : Dubia ad malam
Quo ad fungtionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

29
1.1. KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berumur 59 tahun dirawat di bangsal
Penyakit Dalam pria RSUD Solok pada tanggal 9 februari 2018 dengan diagnosa
Acute Lung Oedema dan Chronic Kidney Disease. Diagnosa ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan Sesak napas sejak ± 2 jam SMRS, sesak dirasakan
terus menerus, Sesak tidak dipengaruhi aktifitas ataupun cuaca, seperti cuaca dingin.
Pasien pernah merasakan sesak nafas yang sama 3 bulan yang lalu, namun hilang
dengan sendirinya. Nyeri pingang tidak ada, namun pasien pernah merasakan nyeri
pinggang 6 bulan yang lalu, dan di diagnosa gagal ginjal. Pasen mengeluhkan batuk
berdahak sejak 3 minggu yang lalu, dahak sukar dikeluarkan. Septum berwarna
kuning kental, tidak bercampur darah. Nafsu makan pasien baik, namun pasien jarang
minum. Sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), nyeri saat berkemih (-).
pasien mengatakan memiliki riwayat DM pada 2001 dan sudah tidak ada keluhan,
pasien juga memiliki riwayat hipertensi yang pertama kali diketahui pada tahun 2017,
terkontrol dan mengonsumsi obat Amlodipin.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sedang, Kesadaran : CMC,


TD : 200/100 mmHg, Nadi : 100 x/i ,Nafas : 32 x/i, suhu : 36,2 0C. pada wajah
ditemukan edem (+) konjungtiva tanpak pusat (+) Pada Paru Inspeksi: Dinding
simetris kiri dan kanan. Orthopnea, Palpasi: Fremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi: Sonor. Auskultasi : Suara nafas bronkial, rhonki basah halus nyaring (+),
wheezing (-). Pada pemeriksaan abdomen nyeri tekan (-), nyeri lepas (-).

Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb: 8,4 g/dl, Ht :23,7%,


Leukosit: 8.120 /mm3, Trombosit: 214.000/mm3, Ureum: 191,6 mg/dL, Creatinin :
12,06 mg/dL.

Pasien diberikan terapi non farmakologis Nonfarmakologi Bed rest,Diet rendah garam
II (600- 800 mg + 1 gr garam dapur. Farmakologi IVFD Easprimer : Dextrose 10 % =
1:1 12 jam/ kolf, Inj cefotaxim 2 x 1 amp ( skintest ), Inj Amlodipn 1 x 1, Asam
folat 1 x 1, Paracetamol 3 x 1, Condesartan 1x16mg, Bicnat 3x1 tab.

Pemeriksaan anjuran yaitu Pemeriksaaan urinalisa Faal ginjal, Pemeriksaan


EKG sensitifitas % spesifisitas %, Foto Rontgen Thorax PA, Foto Polos Abdoment
sensitifitas 22 % spesifisitas 68 % ,Pemeriksaan USG ginjal sensitifitas 59,5%
spesifisitas 77,8%,Pemeriksaan renal aretriografi , Biopsi ginjal, CT scan abdomen
dengan sensitifitas 69% spesifisitas 88,9%, dan MRI abdomen dengan sensitifitas
80% spesifisitas 95-100%.

30

Anda mungkin juga menyukai