Anda di halaman 1dari 20

CASE BASE DISCUSSION

TINEA KRURIS ET INGUINALIS KRONIK EKSASEBASI AKUT

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat dalam
Menempuh Program Pendidikan Dokter
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin RISA

Disusun Oleh :
Aqida Mulyaning Tyas

Pembimbing :
dr. Pasid Harlisa, Sp.KK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2019

HALAMAN PENGESAHAN

1
Nama : Aqida Mulyaning Tyas

NIM : 30101306879

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Judul Laporan : Tinea Kruris et Ingunilis Kronik Eksaserbasi Akut

Pembimbing : dr. Pasid Harlisa, Sp.KK

Semarang, Maret 2019

Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

RSI SULTAN AGUNG SEMARANG

dr. Pasid Harlisa, Sp.KK

BAB I

2
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tinea kruris adalah mikosis superfisial atau disebut juga Eczema


marginatum, Dobie itch, Jockey itch, Ringworm of the groin yang termasuk
golongan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.
Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah
genitokrural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut
bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.
Tinea kruris (jock itch) merupakan dermatofitosis pada sela paha,
genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal. Trichophyton rubrum (T. Rubrum)
merupakan penyebab utama, diikuti oleh Trichophyton mentagrophytes dan
Epidermophyton floccosum (E. Floccosum). Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes dan Epidermophyon floccosum merupakan dermatofit yang
menyukai daerah yang hangat dan lembab pada intertriginosa dan kulit yang
mengalami oklusi seperti disela paha.
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas
tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata dari pada bagian tengahnya. Efloresensi
terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila
penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik.
Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan

1.2 Epidemiologi

Di indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis


dan tinea kruris dan tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Insidensi
dermatomikosis di berbagai rumah sakit pendidikan dokter di Indonesia yang
menunjukkan angka persentase terhadap seluruh kasus dermatofitosis bervariasi dari
2,93% (Semarang) yang terendah sampai 27,6% (Padang) yang tertinggi. Laki-laki pasca

3
pubertas lebih banyak terkena dibanding wanita, biasanya mengenai usia 18-25 tahun
serta 40-50 tahun.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tinea kruris adalah mikosis superfisial atau disebut juga Eczema
marginatum, Dobie itch, Jockey itch, Ringworm of the groin yang termasuk
golongan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.
Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah
genitokrural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut
bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.

2.2 Etiologi dan Faktor Penctus

Penyebab tinea kruris terutama adalah Epidermophyton floccosum dan


Trichophyton rubrum. Selain itu juga dapat disebabkan oleh Trichophyton
mentagrophytes dan walaupun jarang di sebabkan oleh microsporum gallinae.

2.2.3. Faktor Pencetus

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini adalah iklim


panas, lembab, higiene sanitasi, pakaian serba nilon, pengeluaran keringat yang
berlebihan, trauma kulit, dan lingkungan. Maserasi dan oklusif pada regio kruris
memberikan kontribusi terhadap kondisi kelembaban sehingga menyebabkan
perkembangan infeksi jamur. Tinea kruris sangat menular dan epidemik minor
dapat terjadi pada lingkungan sekolah dan komunitas semacam yang lain. Tinea
kruris umumnya terjadi akibat infeksi dermatofitosis yang lain pada individu yang
sama melalui kontak langsung dengan penderita misalnya berjabat tangan, tidur
bersama, dan hubungan seksual. Tetapi bisa juga melalui kontak tidak langsung
melalui benda yang terkontaminasi,”pakaian, handuk, sprei, bantal dan lain-lain”.

5
2.3 Patogenesis

Tinea kruris biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau binatang yang
terinfeksi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian dan
sebagainya. Tinea kruris umumnya terjadi pada pria. Maserasi dan oklusi kulit
lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit sehingga
memudahkan infeksi, selain itu dapat pula terjadi akibat penjalaran infeksi dari
bagian tubuh lain.

Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi dermatofita


melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi melalui dan
diantara sel, dan perkembangan respon pejamu.

a. Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa


melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban,
kompetisi dengan flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh
keratinosit. Asam lemak yang di produksi oleh kelenjar sebasea juga
bersifat Fungistatik.
b. Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan
menembus stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada
proses desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase
dan enzim, mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur.
Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit.
Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam
epidermis.
c. Perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status
imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe
IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang
sangat penting dalam melawan dermatofita. Pasien yang belum pernah
terinfeksi dermatofita sebelumnya, Infeksi primer menyebabkan inflamasi
dan tes trichopitin hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema
dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit.

6
Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh
sel langerhans epidermis dan di presentasikan dalam limfosit T di nodus
limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang
terinfeksi untuk menyerang jamur. Saat ini, lesi tiba-tiba menjadi
inflamasi, dan barier epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan
sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan
menyembuh.

2.4 Gambaran Klinis


Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas tegas
terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit (polimorfik). Bentuk lesi yang
beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi menahun.
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas
tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di
tepi lesi. Daerah di tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih
aktif yang sering disebut dengan central healing. Kadang-kadang terlihat erosi dan
krusta akibat garukan. Kelainan kulit juga dapat dilihat secara polisiklik, karena
beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberikan
gambaran yang tidak khas terutama pada pasien imunodefisiensi

2.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan mikologi ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan
kulit dengan mikroskopik langsung memakai larutan KOH 10-20%. Pemeriksaan
KOH paling mudah diperoleh dengan pengambilan sampel dari batas lesi. Hasil
pemeriksaan mikroskopis KOH 10 % yang positif, yaitu adanya elemen jamur
berupa hifa yang bercabang dan atau artrospora. Pemeriksaan mikologik untuk
mendapatkan jamur di perlukan bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit,
rambut, dan kuku.

7
2. Pewarnaan gram dengan pemeriksaan lampu wood.
Ketika lesi diterangi dengan lampu Wood, akan tampak fluoresensi yang berwarna
kemerahan yang merupakan hasil dengan adanya porfirin yang dihasilkan oleh bakteri.
Pewarnaan Gram menunjukan filamen dan batang Gram-positif. Corynebacteria dapat
dibiakan dengan menggunakan media Tissue Culture Medium 199

2.6 Diagnosis
I. Anamnesis
Dari autoanamnesis pasien tinea kruris biasanya mengeluh adanya rasa
gatal yang terus menerus dan mengganggu
II. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan plak eritema ditutupiskuama berlapis-
lapis, kasar dan berwarna putih, serta transparan. Plak eritematous yang tebal
menandakan adanya hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, pelebaran pembuluh
darah dan inflamasi. Pada stadium penyembuhannya sering eritema yang di
tengah menghilang dan hanya terdapat di pingir. Besar kelainan bervariasi dari
milier, lentikular, numular, sampai plakat, dan berkonfluensi, dengan gambaran
yang beraneka ragam, dapat arsinar, sirsinar, polisiklis atau geografis. Tempat
predileksi pada ekstremitas bagian ekstensor terutama &siku, lutut, lumbosakral,
daerah intertigo &lipat paha, perineum, aksila, skalp, perbatasan skalp dengan
muka, telapak kaki dan tangan, tungkai atas dan bawah, umbilikus, serta kuku.
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Koebner
(isomorfik). Fenomena Tetesan Lilin dimana bila lesi yang berbentuk skuama
dikerok maka skuama akan berubah warna menjadi putih yang disebabkan oleh
karena perubahan indeks bias. Auspitz Sign ialah bila skuama yang berlapis-lapis
dikerok akan timbul bintik-bintik pendarahan yang disebabkan papilomatosis
yaitu papilla dermis yang memanjang tetapi bila kerokan tersebut diteruskan maka
akan tampak pendarahan yang merata. Fenomena Koebner ialah bila kulit
penderita psoriasis terkena trauma misalnya garukan maka akan mun4ul kelainan
yang sama dengan kelainan psoriasis umumnya akan muncul setelah 3 minggu.
III. Pemeriksaan Penunjang

8
Diagnosis biasanya dapat langsung ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi
kulit dapat dilakukan untuk mempertegas gambaran epidermis pada psoriasis.

2.7 Diagnosis Banding


Pada diagnosis banding perlu diingat bahwa pada psoriasis didapatkan
tanda-tanda khas yaitu skuama kasar, transparan serta berlapis lapis, fenomena
lilin, dan fenomena auspits. Psoriasis dapat dibedakan dengan beberapa kelainan
dibawah ini:
1. Pitiriasis Rosea
Biasanya keluhan berjalan subakut, lesi berebntuk oval, tepi sedikit
meninggi dan ditutupi skuama halus. Predileksi biasanya di daerah
badan yang tertutup pakaian.
2. Dermatitis Seboroik
Biasanya menyerang kulit dengan kelenjar sebasea yang banyak.
Skuama berwarna kekuningan dan tidak berlapis lapis.

2.8 Penatalaksanaan
Dalam kepustakaan terdapat banyak cara pengobatan. Pengobatan
psoriasis ada 2 macam meliputi pengobatan topikal dan sistemik. Pengobatan
Topikal diindikasikan pada psoriasis ringan dan sedang. Sediaan topikal yang
digunakan antara lain:
• Salep campuran asam salisilat 3-5% dan tar (LCD 3-5%)

• Antralin 0.2-0.6% salep/krim. Mempunyai efek antiinflamasi dan


menghambat proliferasi keratinosit. Efek sampingnya adalah bersifat
iritasi dan mewarnai kulit dan pakaian.
• Kortikosteroid topikal potensi sedang hingga tinggi sebagai anti
inflamasi dan anti mitosis. Jika telah terjadi perbaikan potensinya dan
frekuensinya dikurangi.

• Kalsipotriol krim

9
Pengobatan sistemik diindikasi pada psoriasi berat. Sediaan untuk pengobatan
sistemik antara lain:
• Metrotreksat 7.5-25 mg p.o/minggu selama 4-6 minggu

• Retinoid berupa acitretin 0.3-1 mg/kg/hari selama 2-4 bulan

Pengobatan sistemik dapat dikombinasi dengan fototerapi dengan menggunakan


narrow band UVB atau broad band UVB atau menggunakan fotokemoterapi
memakai psoralen (PUVA).
Antihistamin dapat diberikan untuk pengobatan simptomatik yakni untuk
mengurangi rasa gatal dan steroid sistemik hanya digunakan apabila terjadi
eritroderma atau psoriasis pustola generalisata.
Selain itu dilakukan juga eksplorasi untuk mencari infeksi lokal atau
sistemik. Apabila ditemukan maka infeksinya diobati. Pasien juga perlu diedukasi
untuk mengurangi stres atau mengurangi trauma fisik dengan mengenakan
bantalan pada daerah yang sering terbentur atau mengalami truma tekan

2.9 Prognosis
Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, tetapi bersifat kronis
dan residif. Belum ada cara yang efektif dan memberi penyembuhan yang
sempurna.

BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

Umur : 49 Tahun

Alamat : Jl. Padi Tengah XI/E 530 Genuk, Semarang

Agama : Islam

No.RM : 01208xxx

10
Tanggal Pemeriksaan : 26 Desember 2018

B. ANAMNESIS

Autoanamnesa dilakukan di Poli Kulit RSISA pada tanggal 26 Desember

2018 pukul 10.00 hingga 10.30 WIB.

Keluhan Utama

 Keluhan Subjektif : Rasa tebal tidak nyaman di beberapa bagian tubuh

 Keluhan Objektif : Bercak kemerahan bersisik tebal

Riwayat Penyakit Sekarang

 Onset : Sejak kurang lebih 2 tahun.

 Lokasi : punggung kaki kanan dan kiri, lipat lutut, dahi dan alis.

 Kronologi : Keluhan bercak bersisik tebal sudah dirasakan sejak lama

kurang lebih 2 tahun. Keluhan timbul tiba tiba awalnya di daerah lipat

lutut kemudian diikuti dengan munculnya sisik yang lain di daerah

punggung kaki kanan dan kiri dahi serta di bagian alis. Pasien rutin

menjalani pengobatan dan merasakan keluhan mereda namun sering

kambuh saat kondisi stress dan saat obat habis.

 Kualitas : bercak bersisik tebal menyebabkan rasa tidak nyaman dan

malu

 Kuantitas : bercak muncul dibeberapa bagian tubuh dan sering kambuh

 Faktor memperberat : stress

 Faktor memperingan : Setelah diberi obat oles maupun yang ditelan dari

dokter

Riwayat Penyakit Dahulu

11
 Sebelumnya belum pernah sakit serupa

 Riwayat alergi disangkal

 Riwayat DM dan hipertensi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat penyakit serupa disangkal

 Riwayat alergi disangkal

Riwayat Kebiasaan

 Pasien mandi sehari 2 kali sehari

 Pasien tidak biasa menggunakan celana ketat

 Pasien tinggal bersama anggota keluarga di rumah

 Pasien bekerja sehari hari sebagai karyawan bagian IT di perusahaan

Riwayat Alergi obat / makanan

 Alergi obat dan makanan disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi

 Pasien berobat dengan BPJS Non PBI

 Kesan ekonomi pasien cukup

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Komposmentis, GCS 15

Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan

Nadi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Suhu : Tidak dilakukan pemeriksaan

RR : Tidak dilakukan pemeriksaan

12
BB : 66 kg

TB : 170 cm

IMT : 22,8 kg/𝑚2

Status Generalis

Kepala : Tidak dilakukan pemeriksaan

Mata : Tidak dilakukan pemeriksaan

Telinga : Tidak dilakukan pemeriksaan

Hidung : Tidak dilakukan pemeriksaan

Leher : Tidak dilakukan pemeriksaan

Thorax : Tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan

Genital : Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Dermatologi

Lokasi I : Punggung kaki kanan dan kiri

UKK : Lesi eritem dengan skuama berlapis warna putih batas tegas disertai

eksoriasi.

13
Lokasi II : Lipat lutut kanan dan kiri

UKK : Lesi eritem dengan skuama berlapis warna putih batas tegas disertai

eksoriasi.

Lokasi III: dahi dan kedua alis

UKK : Lesi eritem dengan skuama berlapis warna putih batas tegas.

D. RESUME

Nama : Tn. S

Umur : 49 tahun

Jenis kelamin : laki- laki

 Keluhan Subjektif : Rasa tebal tidak nyaman di beberapa bagian tubuh

 Keluhan Objektif : Bercak kemerahan bersisik tebal

Telah dilaporkan kasus pasien Tn. S umur 49 tahun, datang berobat ke Poli

Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang pada tanggal 26

Desember 2018 pukul 10.00 WIB dengan keluhan utama bercak kemerahan

bersisik tebal. Keluhan muncul di punggung kaki kanan dan kiri, dahi serta, kedua

alis. Keluhan sudah dirasakan sejak 2 tahun. Keluhan menyebabkan rasa tidak

nyaman serta kadang terasa pedih. Pasien mengaku terkadang menggaruk bagian

bersisik karena merasa terganggu dengan rasanya yang tebal. Bercak tidak nyeri,

panas, maupun gatal. Bercak bersisik bertambah apabila stress dan obat dari

dokter habis. Riwayat penyakit tekanan darah tinggi dan gula darah disangkal.

14
Riwayat alergi makanan disangkal. Pasien alergi terhadap obat antibiotik

amoksisilin dan tetrasiklin. Riwayat keluhan serupa dan alergi dalam keluarga

disangkal.

E. DIAGNOSIS BANDING

 Psoriasis vulgaris

 Dermatitis seboroik

 Ptiriasis rosea

F. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Pemeriksaa histopatologi kulit

G. DIAGNOSIS KERJA

 Psoriasis vulgaris

H. TATALAKSANA

R/ Clobetasol propionate cream 0,05 % tube No. I

s.2.d.d. s.u.e

R/ Calsipotrient cream 0,005% % tube No I

s.2.d.d. s.u.e

R/ Astaxhantin caps 6 mg No. XXX

s.1.d.d. caps 1

R/ Loratadin tab 10 mg No. X

s.1.d.d. tab 1

I. PROGNOSIS

15
Ad vitam : Ad bonam

Ad sanam : Dubia Ad bonam

Ad kosmetika : Dubia Ad bonam

J. EDUKASI

Aspek klinis

 Hindari faktor pencetus (karena dalam kasus pasien stress pekerjaan maka

bisa bercerita dan minta bantuan teman dekat)

 Minum dan menggunakan obat teratur

 Jika obat habis segera kontrol

Aspek agama

 Sabar, ikhlas, dan tawakal serta selalu ikhtiar dalam menghadapi penyakit

yang diderita

 Senantiasa berusaha mengobati penyakit tersebut dan berdoa untuk

kesembuhan.

16
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien didiagnosis dengan psoriasis vulgaris berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pasien merupakan laki-laki berusia 49 tahun yang datang
dengan keluhan bercak kemerahan bersisik terasa tebal yang sudah dirasakan
sejak 2 tahun. Bercak bersisik tidak gatal, panas atau nyeri namun dirasakan
mengganggu karena terasa tebal serta membuat pasien tidak percaya diri atau
malu. Dari gejala yang dialami oleh pasien diagnosis mengarah pada psoriasis
vulgaris yang secara definisi merupakan penyakit autoimun, bersifat kronik dan
residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama kasar, berlapis-lapis dan transparan. Kondisi yang residif dan kronik
ditunjukan dari pengakuan pasien yang sudah sudah mengalami keluhan kurang
lebih selama 2 tahun dan masih menjalani pengobatan hingga saat ini. Pasien
juga mengaku bahwa keluhan semakin memberat saat pasien dalam kondisi

17
stress. Hal ini menunjukan kemungkinan penyakit yang dialami pasien
berhubungan dengan faktor psikologis yang merupakan salah satu faktor
pencetus dari psoriasis.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan lesi di punggung kaki kanan dan kiri, lipat
lutut kanan dan kiri, serta dahi dan kedua alis dengan ujud kelainan kulit eritem
dengan skuama berlapis batas tegas warna putih yang disertai ekskoriasi
distribusi simetris generalisata dengan konfigurasi anular. Ditemukan adanya
fenomena tetesan lilin. Adanya pengakuan dari pasien yang mengakatakan saat
sisiknya terangkat akibat garukan terdapat bintik berwarna merah kemungkinan
menunjukan tanda auspitz yang positif. Hal ini merupakan gejala klinis dari
psoriasis vulgaris selain itu lokasi lesi sesuai dengan daerah predileksi dari
psoriasis vulgaris.
Diagnosis banding pasien meliputi ptiriasis rosea wujud lesi yang berupa
eritema dan skuama. Namun pada ptiriasis rosea didapatkan skuama yang halus
serta dapat ditemukan gambaran khas dengan munculnya lesi pertama (herald
patch) dengan bentuk oval atau anular, susunannya sejajar dengan kosta sehingga
menyerupai pohon cemara terbalik. Diagnosis banding lainnya adalah dermatitis
seboroik terkait dengan adanya skuama serta lesi yang ditemukan pada bagian
dahi dan alis. Namun pada dermatitis seboroik skuama berwarna kuning
berminyak yang disertai rasa gatal dan menyengat. Dermatitis seboroik memiliki
predileksi yaitu daerah kaya akan kelenjar sebasea.
Pada pasien ini diberikan terapi topikal maupun sistemik yaitu :
 Clobetason propionate 0,05% yang merupakan kortikosteroid potensi kuat
sebagai antiinflamasi. Penggunaan kortikosteroid potensi kuat berhubungan
dengan onset penyakit yang berlangsung kronik yaitu 2 tahun.
 Antioksidan berupa astaxanthin berhubungan dengan kasus psoriasis yang
terkait dengan peningkatan ROS (Reactive Oxygen Species) akibat proses
inflamasi kronik sehingga dibutuhkan zat antioksidan agar terjadi
keseimbangan sel keratinosit maupun limfosit yang mnecegah disfungsi dan
kerusakan sel.

18
 Loratadin sebagai antihistamin non sedative untuk mengurangi kebiasaan
pasien menggaruk lesi akibat adanya reaksi inflamasi
 Calsipotrient yang merupakan analog vitamin D bekerja sebagai agen
antiproliferasi keratinosi dan menghambat produksi sitokin yang berasal dari
keratinosit maupun limfosit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 7. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta (2015).
2. Siregar, R. S.: Atlas Berwarna Saripati penyakit Kulit. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta (1996).
3. Sularsito, Sri Adi. Dkk.: Dermatologi Praktis. Perkumpulan Ahli Dermato –
Venereologi Indonesia, Jakarta (1986).
4. Wirya Duarsa. Dkk.: Pedoman Diagnosis Dan Terapi Penyakit Kulit Dan
Kelamin RSUP Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar (2011).

19
20

Anda mungkin juga menyukai