Anda di halaman 1dari 36

B.

RINGER LAKTAT

Larutan Infus Untuk Pemakaian Intravena.

Setiap liter larutan mengandung :

- Natrium Laktat. C3H5NaO3 3,10 g

- Natrium Klorida. NaCl 6,00 g

- Kalium Klorida.KCl 0,30 g

- Kalsium Klorida.CaCl2.2H2O 0,20 g

- Air untuk Injeksi ad. 1.000 ml

Osmolaritas : 270 mOsm/l

Setara dengan ion-ion :

Na+ : 130 mEq/l

K+ : 4 mEq/l

Laktat (HCO3-) : 27,5 mEq/l

Ca++ : 2,7 mEq/l

Cl : 109,5 mEq/l

Cara kerja obat :

- Merupakan larutan isotoni Natrium Klorida, Kalium Klorida, Kalsium Klorida, dan
Natrium Laktat yang komposisinya mirip dengan cairan ekstraseluler.

- Merupakan cairan pengganti pada kasus-kasus kehilangan cairan ekstraselular.

- Merupakan larutan non-koloid, mengandung ion-ion yang terdistribusi kedalam cairan


intravaskuler dan interststel (ekstravaskuler)
Indikasi : Untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.

Cara pemberian : Intravena

Disesuaikan dengan kondisi penderita

Kontra indikasi : Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati,

asidosis laktat.

Efek samping :

- Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi karena larutannya atau cara pemberiannya termasuk
timbulnya panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis vena atau flebitis yang
meluas dari tempat penyuntikan, ekstravasasi.

- Bila terjadi rekasi efek samping, pemakaian harus dihentikan dan lakukan evaluasi
terhadap penderita.

Peringatan : Jangan dicampur dengan larutan yang mengandung fosfat.

Cara penyimpanan: Pada suhu kamar / ruangan antara 25oC – 30oC.

a. Kalsium

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak didapatkan di dalam tubuh, untuk
absorpsinya diperlukan vitamin D. Kebutuhan kalsium meningkat pada masa pertumbuhan,
selama laktasi dan pada wanita pascamenopause. Bayi yang mendapat susu buatan
memerlukan tambahan kalsium. Selain itu asupan kalsium juga perlu ditingkatkan bila
makanan banyak mengandung protein dan atau fospor. Banyak peneliti yang menganjurkan
asupan sekitar 1,2 g/hari untuk pasien alkoholik, sindrom malabsorpsi dan pasien-pasien yang
mendapat kortikosteroid, isoniazid, tetrasiklin atau antasid yang mengandung aluminium.

b. Kalium

Perbedaan kadar kalium (kation utama dalam cairan intrasel) dan natrium (kation utama
dalam cairan ekstrasel) mengatur kepekaan sel, konduksi impuls saraf dan keseimbangan dan
volume cairan tubuh.
Meskipun defisiensi jarang terjadi pada individu yang mendapat makanan yang cukup,
hipokalemia dapat terjadi pada anak-anak yang makanannya tidak mengandung protein.
Penyebab hipokalemia yang paling sering adalah terapi diuretik terutama tiazid. Lain
penyebab hipokalemia adalah diare berkepanjangan terutama pada anak, hiperal
dosteronisme, tetapi cairan parenteral yang tidak tepat atau tidak mencukupi, penggunaan
kortikosteroid atau laksan jangka lama. Aritmia jantung dan gangguan neuromuskular
merupakan akibat hipokalemia yang paling berbahaya.

Hiperkalemia paling sering disebabkan gangguan ekskresi kalium oleh ginjal yang dapat
terjadi pada pasien dengan insufisiensi korteks adrenal, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik
terminal, suplementasi vitamin K yang tidak sesuai dosis atau indikasinya, atau penggunaan
antagonis aldosteron. Aritmia jantung dan gangguan konduksi merupakan gejala sisa yang
paling berbahaya. Lain manifestasi hiperkalemia termasuk kelemahan dan parestesia.

c. Natrium

Natrium penting untuk membantu mempertahankan volume dan keseimbangan cairan tubuh.
kadarnya dalam cairan tubuh diatur oleh mekanismer homeostatik. Banyak individu
mengkonsumsi natrium lebih dari yang dibutuhkan. Pembatasan natrium seringkali
dianjurkan pada pasien gagal jantung kongesif, sirosis hati dan hipertensi pada individu
tertentu. Akan tetapi pembatasan natrium pada wanita sehat selama kehamilan tidak
dianjurkan.

Hipernatremia jarang ditemui pada individu sehat tetapi pada terjadi setelah diare atau
muntah yang lama terutama pada bayi, pada gangguan ginjal, fibrosiskistik atau insufisiensi
korteks adrenal, atau pada penggunaan diuretik tlazid. Keringat yang berlebihan dapat
mengakibatkan kehilangan natrium yang banyak dan perlu diganti dalam bentuk air dan
NaCl.

d. Klorida

Klorida merupakan anion yang paling penting dalam mempertahankan keseimbangan


elektrolit. Alkalosis metabolik hipokloremik dapat terjadi setelah muntah yang lama atau
penggunaan diuretik berlebihan. Kehilangan klorida berlebihan dapat menyertai kehilangan
berlebihan natrium. Kemungkinan terjadinya hiperkalemia perlu dipertimbangkan bila
terpaksa menggunakan KCl sebagai pengganti klorida yang hilang.

http://s2kimia.blogspot.com/2009/02/larutan-infus-ringer-laktat-ringer.html

KALNEX INJEKSI 50MG


Komposisi
Tranexamic acid injeksi.
Tiap ml injeksi (5 w/v %) mengandung tranexamic acid............ 50 mg

Farmakologi
• Aktifitas antiplasminic.
KALNEX menghambat aktivitas dari activator plasminogen dan plasmin. Aktivitas
antiplasminic dari KALNEX telah dibuktikan oleh berbagai percobaan “In vito” dan
penentuan dari aktivitas plasmin dalam darah dan aktivitas setempat, setelah diberikan pada
tubuh manusia.

• Aktivitas hemostatis.
KALNEX mencegah degradasi fibrin, pemecahan platelet, menambah kerapuhan vascular
dan pemecahan faktor koagulasi. Efek ini dibuktikan secara klinis dengan berkurangnya
jumlah pendarahan, mengurangi waktu pendarahan dan periode pendarahan.

Indikasi
• Untuk fibrinolisis lokal seperti epistaksi, prostatektomi, konisasi serviks.
• Edema angioneurotik hereditas.
• Pendarahan abnormal sesudah operasi secara umum.
• Pendarahan sesudah operasi gigi pada penderita haemofilia.
• Menoragia

Dosis dan Cara pemberian


KALNEX 250 mg kapsul. Dosis lazim secara oral untuk dewasa: Sehari 3-4 kali, 1-2 kapsul.
KALNEX 500 mg tablet.Dosis lazim secara oral untuk dewasa: Sehari 3-4 kali 1 tablet.
KALNEX50 mg injeksi. Sehari 1-2 ampul (5-10 mL) disuntikkan secara intravenous atau
intramuskular, dibagi dalam 1-2 dosis. Pada waktu atau setelah operasi, bila diperlukan dapat
diberikan intravenous sebanyak 2-10 ampul (10-50 mL) dengan cara infus.
KALNEX 100 mg injeksi. 2.5-5 mL disuntikkan secara intravenous atau intramuskular,
dibagi dalam 1-2 dosis. Pada waktu atau sesudah operasi, bila perlu, 5-25 mL diberikan
intravenous dengan cara infus.

Menoragia: 1 gram (2 tablet) 3x sehari, dimulai pada hari pertama periode mestruasi,
diberikan untuk beberapa hari saat aliran darah yang banyak.

Dosis KALNEX harus disesuaikan dengan keadaan pasien masing-masing sesuai dengan
umur atau kondisi klinisnya.

Peringatan dan perhatian


• Bila diberikan secara intravenous, dianjurkan untuk menyuntikkannya perlahan-lahan
seperti halnya pemberian/penyuntikan dengan sediaan calcium (10 mL/1-2 menit).
• Hati-hati penggunaan pada penderita insufisiensi ginjal karena resiko akumulasi.
• Pedoman untuk pasien/penderita insufisiensi ginjal berat.
Serum creatine Dosis Frekuensi dosis
120-250 umoL/L 15mg/kg 2 x sehari
250-500 umoL/L 15mg/kg setiap 24 jam
>500 umoL/L 7,5mg/kg setiap 24 jam

• Tranexamic acid tidak diindikasikan pada haematuria yang disebabkan oleh parenkim renal,
pada kondisi ini sering terjadi presipitasi fibrin dan mungkin memperburuk penyakit.
• Tranexamic acid digunakan pada wanita hamil hanya jika secara jelas diperlukan.
• Hati-hati pemakaian pada ibu menyusui untuk menghindari resiko pada bayi.

Efek samping
• Gangguan-gangguan gastrointestinal, mual, muntah-muntah, anorexia, pusing, exanthema,
dan sakit kepala dapat timbul pada pemberian secara oral. Gejala-gejala ini menghilang
dengan pengurangan dosis atau penghentian pengobatannya.
• Dengan injeksi intra vena yang cepat dapat menyebabkan dizziness dan hipotensi.

Interaksi Obat
Larutan injeksi Tranexamic acid tidak ditambahkan pada tranfusi atau untuk injeksi yang
mengandung penicillin.

Kemasan
KALNEX®Injeksi (5 w/v %) 5 mL. Doos isi 10 ampul.

Keterangan Umum
KALNEX merupakan zat hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau dengan rasa pahit,
serta mempunyai struktur kimia sebagai berikut : KALNEX ® larut dalam air pada 25 derajat
Celsius dengan konsentrasi kira-kira 11%, sedikit larut dalam methanol, etanol dan benzene
dan sangat sedikit larut dalam eter dan acetone.
http://apotik.berkahanugrah.net/produk-1184-kalnex-injeksi-500mg.html

2. Tranexamic Acid
Nama Dagang : KALNEX (kalbe), Plasminex ( sanbe), Trasamin (otto).

Cara kerja obat :


Aktifitas antiplasminik
Menghambat aktifitas dari aktifaktor plasmonogen dan plasmine. Aktifitas anti plasminik
telah dibuktikan dengan berbagai percobaan “ in vitro” penemuan aktifitas plamin dalam
darah dan aktifitas plasma setempat, setelah diberikan pada tubuh manusia.
Aktifitas Hemostatis
Mencegah degradasi fibrin, pemecahan trombosit, peningkatan kerapuan faskuler dan
pemecahan factor koagulasi. Efek ini terlihat secara klinis dengan berkurangnya waktu
pendarahan dan lama pendarahan.

Indikasi
a. Untuk fibrinolosis local seperti: epistaksi, prostaktetomi, konisasi servik,
b. Edema angioneurotonik herediter
c. Pendarahan abnormal sesudah operasi
Pendaragan sesudah operasi gigi dan penderita hemophilia

Dosis dan cara pemberian


a. Klanex kapsul 250 mg
Dosis lazim secara oral untuk dewasa: 3-4 kali sehari, 1-2 kapsul
b. Klanex tablet 500 mg
Dosis lazim secara oral untuk dewasa: 3-4 kali sehari, 1 tablet
c. Kalmex 50 mg injeksi
Sehari 1-2 ampul (5-10ml) disuntikan secara intravena atau intramuscular, dibagi dalam 1-2
disis. Pada waktu atau setelah operasi, bila diperlukan dapat diberikan 2-10 ampul (10-50 ml)
dengan infuse intravena.
d. Kalmex 100 mg injeksi
2.5 – 5 ml perhari disuntikan secara intravena atau intra muscular dibagi dalam 1-2 dosisi.
Pada waktu atau setelah operasi bila dperlukan dapat diberiklan sebanyak 5-25 ml dengan
cara infuse intravena.

Efek samping
a. Gangguan-gangguan gastrointestinal, mual, muntah, anaroreksia, pusing, ekstantema dan
sakit kepala dapat timbul pada pemberian secara oral
Gejala-gejala ini menghilang dengan pengurangan dosis atau penghentian pengobatannya
b. Dengan injeksi intravena yang cepat dapat menyebabakan pusing dan impotensi
http://annasalsabilah.blogspot.com/2012/10/anti-pendarahan.html

RANITIDIN

Ranitidin merupakan salah satu obat yang cukup dikenal dikalangan masyarakat umum, yang
disebabkan pemanfaatan obat ini yang cukup tinggi. Dokter umum dan spesialis penyakit dalam
umumnya akan sering meresepkan obat ini. Secara umum, masyarakat mengenal ranitidin untuk
indikasi ulkus duodenum, ulkus lambung, dan kondisi hipersekresi gastrointestinal (GI) patologikal.
Penyakit-penyakit yang mengindikasi penggunaan ranitidin ini prevalensinya cukup tinggi
dimasyarakat, sehingga wajar jika penggunaan ranitidin juga cukup tinggi jumlahnya. Dalam
peresepannya, dokter dapat meresepkan ranitidin ini baik sebagai terapi utama maupun terapi
pendukung. Tulisan ini akan sedikit mengulas semua hal yang berhubungan dengan ranitidin.
Semoga bermanfaat.

NAMA, STRUKTUR KIMIA DAN DESKRIPSI

Ranitidin memiliki rumus molekul C13H22N4O3S dengan bobot molekul 314,4 g/mol. Ranitidin adalah
salah satu senyawa yang mengantagonis reseptor histamin H2 yang menghambat sekresi asam
lambung. Selain digunakan dalam terapi penyakit ulkus peptikum dan gastroesophageal refluks,
ranitidin juga dapat digunakan sebagai antihistamin pada berbagai kondisi alergi pada kulit.
Rumus Struktur Ranitidin

Struktur 3 Dimensi Ranitidin

Ranitidin memiliki nama ilmiah NN-Dimethyl-5-[2-(1-methylamino-2-


nitrovinylamino)ethylthiomethyl]furfurylamine. Ranitidin yang tersedia umumnya adalah ranitidin
hidroklorida. Ranitidin merupakan serbuk kristalin berwarna putih hingga kuning pucat, praktis tidak
berbau, mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam alkohol. Larutan 1% ranitidin dalam air
mempunyai pH 4,5-6,0. Setiap 168 mg ranitidin hidroklorida setara dengan 150 mg ranitidin base.

KEGUNAAN

Ranitidin diunakan secara oral dalam terapi ulkus duodenum dan ulkus lambung yang aktif,
gasthroesophageal reflux desease (GERD), esofagitis erosif dengan endoskopi, dan sebagai terapi
pemeliharaan pada ulkus duodenum dan ulkus lambung. Ranitidin oral juga digunakan dalam
manajemen kondisi hipersekresi gastrointestinal (GI) patologis dan sebagai terapi pemeliharaan
untuk mencegah kambuhnya esofagitis erosif. Ranitidin juga dapat digunakan secara parenteral
pada pasien rawat inap dengan kondisi hipersekresi patologis pada saluran GI, atau sebagai terapi
jangka pendek jika terapi oral belum memberikan respon yang optimum.

Ulkus Duodenum
Terapi Ulkus Duodenum Akut
Ranitidin oral digunakan dalam terapi jangka pendek pada ulkus duodenum aktif yang dikonfirmasi
dengan endoskopi atau radiografi. Ranitidin parenteral digunakan pada pasien dewasa dengan
diagnosa ulkus duodenum parah yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit atau pada terapi
jangka pendek jika terapi oral tidak memadai. Ranitidin intravena juga digunakan pada pasien anak-
anak (lebih dari bulan) dengan diagnosa ulkus duodenum. Antasida dapat digunakan bersamaan
dengan terapi ini untuk menghilangkan rasa nyeri ulkus duodenum. Kombinasi antasida dan ranitidin
ini terbukti mampu mengurangi kesakitan pada pasien.
Khasiat dan keamanan ranitidin untuk terapi jangka panjang ulkus duodenum belum diketahui.
Keamanan dan khasiat ranitidin ini baru diketahui untuk penggunaan selama 8 minggu. Dan
masalahnya bahwa pengobatan jangka pendek ulkus duodenum aktif (hingga 8 minggu) ini tidak
mencegah kekambuhannya.

Terapi Pemeliharaan Ulkus Duodenum


Ranitidin digunakan dalam dosis rendah untuk terapi pemeliharaan setelah proses penyembuhan
ulkus duodenum untuk mencegah kekambuhan. Dalam studi terkontrol angka kekambuhan ulkus
duodenum setelah 4, 8 dan 12 bulan masing-masing adalah 21-24, 28-35, dan 59-68% untuk
kelompok plasebo, dan angka kekambuhan pada kelompok yang diterapi dengan ranitidin 1 kali
sehari 150 mg sebelum tidur masing-masing adalah 12-20, 21-24 dan 28-35%. Dalam studi tersebut
juga diketahui bahwa efektivitas ranitidin dalam mencegah kekambuhan ulkus duodenum menurun
pada kelompok pasien dengan kebiasaan merokok.

Kondisi Hipersekresi GI Patologis


Ranitidin oral maupun intravena juga digunakan pada kondisi hipersekresi GI patologis (misal pada
pasien Zolinger Ellison Syndrome (ZES), mastositosis sistemik, hipersekresi pasca reseksi usus.
Ranitidin mengurangi sekresi asam lambung yang berkaitan dengan gejala diare, anoreksia dan nyeri
dan mempercepat penyembuhan ulkus. Infus intravena ranitidin kontinue hingga 15 hari pada
pasien ZES menghasilkan efek pengendalian asam lambung hingga 10 mEq/jam atau lebih rendah.
Antasida dapat digunakan bersama untuk mengatassi rasa nyeri. Antimuskarinik seperti
propanthelin bromida dan iodida isopropamide juga dapat digunakan bersama guna
memperpanjang masa kerja ranitidin.

Pada pasien hipersekresi GI patologis, ranitidin terbukti mampu menyembuhkan ulkus pada 42%
pasien yang tidak merespon terapi simetidin. Pasien dengan ZES yang gagal dengan terapi simetidin
berhasil diobati dengan ranitidin 600-900 mg perhari selama 1-12 bulan.

Ranitidin IV juga berhasil mengobati hipersekresi pasca operasi pada pasien yang tampaknya
resisten terhadap simetidin.

Ulkus Lambung
Terapi Ulkus Lambung Akut
Ranitidin oral digunakan dalam terapi ulkus lambung jinak. Antasida dapat digunakan bersama untuk
menghilangkan nyeri. Efektivitas ranitidin dalam hal ini hampir sama dengan simetidin. Ranitidin
menyembuhkan ulkus lambung pada 60-70% pasien setelah terapi selama 4 minggu, 70-80% setelah
6 minggu terapi.

Kini epidemiologi dan bukti klinis mendukung bahwa infeksi lambung oleh bakteri Helicobacter pylori
(HP) berhubungan dengan patogenesis ulkus lambung. Sehingga dalam kondisi ini direkomendasikan
penggunaan antibakteri untuk eradikasi bakterinya.

Terapi Pemeliharaan
Ranitidin dosis rendah digunakan dalam terapi pemeliharaan dan mencegah kekambuhan ulkus
lambung. Terapi pemeliharaan ranitidin 150 mg sebelum tidur terbukti efektif mencegah
kekambuhan ulkus lambung.

Gastroeshophageal Reflux Desease (GERD)


Dalam terapi GERD dosis yang umum pada dewasa adalah 2x150 mg perhari. Sedangkan dosis terapi
GERD pada anak-anak (1 bulan sampai 16 tahun) adalah 5-10 mg/Kg BB perhari dalam dosis terbagi
2. Gejala GERD sering muncul dalam waktu 24 jam setelah dumulainya terapi dengan ranitidin ini.
Durasi optimum pengobatan GERD dengan ranitidin belum diketahui.

Esofagitis Erosif
Dosis lazim untuk terapi esofagitis erosif yang terdiagnosa dengan endoskopi pada pasien dewasa
adalah 4x150 mg perhari. Sedangkan pada pasien anak 1 bulan sampai 16 tahun dosis yang
direkomendasikan adalah 5-10 mg/Kg BB perhari dalam dosis terbagi 2. Sedangkan dalam fase
pemeliharaan dosis ranitidin adalah 2x150 mg perhari.

Swamedikasi
Dalam swamedikasi ranitidin digunakan untuk mengatasi atau mencegah gejala mulas, perih akibat
gangguan keseimbangan asam lambung pada orang dewasa atau anak diatas 12 tahun, dosis yang
dianjurkan adalah 75-150 mg 1-2 kali sehari. Untuk pencegahan mulas akibat konsumsi makanan
yang dapat menyebabkan mulas maka ranitidin sebaiknya diminum 30-60 menit sebelum
mengkonsumsi makanan atau minuman yang dapat menyebabkan mulas. Untuk keperluan
swamedikasi, ranitidin sebaiknya digunakan tidak lebih dari 2 dosis perhari dan tidak lebih dari 2
minggu. Penggunaan ranitidin harus segera dihentikan jika gejala tidak membaik atau bahkan
semakin parah.

DOSIS PARENTERAL
Dosis Dewasa
Dosis intravena intermiten atau intramuskular pada dewasa adalah 50 mg setiap 6-8 jam. Jika perlu
dosis dapat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi pemberian, namun tidak boleh
melebihi 400 mg perhari. Jika ranitidin diberikan dengan infus intravena lambat maka kecepatannya
6,25 mg/jam selama 24 jam. Sedangkan infus kontinue lambat bagi pasien ZES atau hipersekresi GI
patologis umumnya infus dimulai dengan kecepatan 1 mg/Kg BB perjam, dan jika setelah 4 jam infus,
pasien masih menunjukan gejala hipersekresi GI, maka dosis harus dititrasi ke atas dengan
penambahan sebesar 0,5 mg/Kg BB perjam, dengan konsentrasi asam lambung harus terus dipantau.
Dosis maksimum hingga 2,5 mg/Kg BB perjam dan tingkat infus 220 mg/jam.

Dosis Pediatrik
Dosis pada anak usia 1 bulan hingga 16 tahun, untuk pengobatan ulkus duodenum aktif adalah 2-4
mg/Kg perhari dalam dosis terbagi setiap 6-8 jam. Sedangkan penggunaannya pada pasien neonatus
(kurang dari 1 bulan) dosis 2 mg/Kg BB intravena setiap 12-24 jam sebagai infus intravena kontinue.

DOSIS PADA PASIEN DENGAN PENURUNAN FUNGSI GINJAL


Pada pasien dengan klirens kreatinin kurang dari 50 mL/menit maka dosis ranitidin yang
direkomendasikan adalah 150 mg setiap 24 jam peroral, 50 mg setiap 18-24 jam untuk pemberian
parenteral.
PERHATIAN
Ranitidin dapat menimbulkan efek-efek yang kurang menyenangkan diantaranya:

1. Efek pada sistem syaraf pusat dapat berupa: sakit kepala, rasa tidak enak badan (malaise),
pusing, mengantuk, insomnia, vertigo, kebingungan mental, agitasi, depresi mental dan
halusinasi terutama pada pasien geriatri lemah. Penggunaan ranitidin dosis tinggi dan dalam
jangka panjang pada anak-anak (8 mg/Kg BB perhari selama 10 bulan) dapat menyebabkan
perubahan pada pola kesadaran, disartria, hiporefleksia, mengantuk, gejala Babinski,
diaforesis, dan bradikardia yang mana gejala-gejala tersebut akan menghilang dengan
sendirinya setelah penggunaan ranitidin dihentikan dalam 24 jam.
2. Efek pada GI: konstipasi, mual, muntah, nyeri dan ketidaknyamanan pada perut, dan pada
sebagian kecil pasien dapat mengalami pankreatitis.
3. Reaksi sensitivitas dan dermatologi: ruam, urtikaria, pruritus, dan urtikaria ditempat
penyuntikan. Reaksi hipersensitivitas seperti bronkospasme, demam, ruam, eosinofilia
jarang terjadi. Anafilaksis yang ditandai dengan urtikaria berat dan penurunan tekanan
darah dalam satu kali pemberian dosis tunggal dapat terjadi namun jarang. Eksaserbasi
astma dan angiodema juga dapat terjadi.
4. Efek pada Hematologi: dapat terjadi leukopenia, agranulositopenia, trombositopenia,
anemia aplastik dan pansitopenia yang disertai hipoplasia sumsum tulang belakang namun
jarang.
5. Efek pada ginjal dan saluran kemih: peningkatan kreatinin serum tanpa disertai peningkatan
BUN dapat terjadi namun jarang. Penurunan libido juga pernah terjadi pada pria yang
diterapi dengan ranitidin.
6. Efek pada hati: dapat terjadi peningkatan konsentrasi aminotransferase serum (AST, SGOT,
SGPT, ALT), alkalin fosfatase serum, LDH, bilirubin total, gama-glutamiltranspeptidase.
Beberapa kasus juga diketahui bahwa terapi ranitidin dapat menyebabkan hepatitis baik
hepatoseluler atau pun hepatokanalikuler dan kolestasis yang umumnya bersifat reversibel.
7. Efek pada penglihatan: dapat terjadi kekaburan penglihatan yang bersifat reversibel,
eksaserbasi nyeri mata dan kaburnya penglihatan yang berhubungan dengan peningkatan
tekanan intraokuler dan glaukoma kronis, dan buta warna.
8. Efek pada endokrin: belum ada efek yang diketahui secara pasti sehubungan penggunaan
ranitidin pada sistem endokrin. Namun telah diketahui adanya pasien pria yang mengalami
impotensi seksual akibat penggunaan ranitidin yang segera sembuh seiring penghentian
penggunaan obat, dan impotensi berulang saat penggunaan obat diulang. Nyeri
ginekomastia juga dapat terjadi pada pria.
9. Efek pada sistem kardiovaskuler: aritmia jantung jarang terjadi, bradikardia yang
berhubungan dengan dispnea dapat terjadi.
10. Efek pada sistem pernafasan: ranitidin dan antagonis reseptor H2 lainnya berpotensi
meningkatkan resiko infeksi pneumonia pada komunitas pneumonia.
11. Efek lain: dapat terjadi arthralgia, myalgia dan porphyria akut. Penggunaan ranitidin harus
dihindari pada pasien dengan riwayat porphyria.

PERINGATAN DAN KONTRAINDIKASI


Ranitidin yang digunakan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal harus digunakan dengan hati-
hati dan disertai dengan pengurangan dosis, karena sebagian besar ranitidin diekskresikan melalui
ginjal. Demikian pun pada pasien dengan penurunan fungsi hati, karena ranitidin dimetabolisme
melalui hati. Penggunaan ranitidin juga harus dihindari pada pasien dengan riwayat porphyria.

Ranitidin tidak boleh digunakan untuk swamedikasi jika pasien mengalami kesulitan menelan dan
tidak boleh digunakan dalam kombinasi dengan obat penekan sekresi asam lambung lainnya. Pasien
dengan gejala mulas yang menetap lebih dari 3 bulan tidak boleh menggunakan ranitidin untuk
swamedikasi. Ranitidin juga tidak boleh digunakan untuk swamedikasi pada pasien dengan keluhan
nyeri dada dan atau bahu, sesak nafas, dan rasa nyeri yang menyebar.

Kondisi-kondisi berikut dalam penggunaan ranitidin harus disertai dengan peringatan dan
kewaspadaan:

1. Pada pasien pediatrik; penggunaan ranitidin oral maupun parenteral pada pediatrik ( 1 bulan
sampai 16 tahun) untuk indikasi ulkus duodenum dan lambung aktif, GERD dan esofagitis
erosif telah diketahui khasiat dan keamanannya. Namun penggunaan ranitidin oral ataupun
parenteral untuk kondisi hipersekresi GI patologis dan untuk terapi pemeliharaan dan
pencegahan kekambuhan esofagitis erosif pada anak-anak belum diketahui, demikian juga
penggunaannya pada neonatus, sehingga penggunaan pada kondisi tersebut harus dengan
kewaspadaan penuh.
2. Pada pasien geriatrik; pada pasien geriatrik (berusia lebih dari 65 tahun keatas)
kemungkinan resiko hipersensitivitasnya akan meningkat, disamping itu kemungkinan
adanya penurunan fungsi ginjal pada pasien geriatrik akan berpotensi meningkatkan resiko
toksisitas.
3. Mutagenisitas dan karsinogenisitas; tidak ada bukti pengaruh ranitidin terhadap efek
mutagenisitas dan karsinogenisitas pada manusia
4. Pada kehamilan; hingga dosis 160 kali dosis oral biasa, ranitidin belum menunjukan adanya
bahaya pada fetus
5. Pada kesuburan/fertilitas; tidak ada bukti yang menunjukan pengaruh ranitidin pada
fertilitas
6. Pada laktasi (wanita menyusui); ranitidin terdistribusi ke dalam susu, sehingga penggunaan
ranitidin pada wanita menyusui harus sangat berhati-hati.
7. Ranitidin dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitif terhadap ranitidin atau
komponen lain dalam formula sediaan obat.

INTERAKSI OBAT
Ranitidin dapat berinteraksi dengan makanan, obat lain maupun parameter klinis.

1. Makanan dan Antasida. Konsumsi bersama makanan atau antasida dengan ranitidin dapat
menyebabkan penurunan absorpsi ranitidin hingga 33% dan konsentrasi puncak dalam
serum menurun hingga 613-432 ng/mL.
2. Propantelin bromida. Propantelin bromida menghambat penyerapan dan meningkatkan
konsentrasi puncak serum ranitidin, melalui mekanisme penghambatan pengosongan
lambung dan perpanjangan waktu transit. Bioavalabilitas ranitidin meningkat 23% jika
digunakan bersama propantelin bromida.
3. Merokok. Kebiasaan merokok menghambat penyembuhan ulkus duodenum dan mengurangi
khasiat ranitidin. Perbandingan kesembuhan ulkus duodenum pada perokok dan bukan
perokok dengan terapi ranitidin adalah 62 dan 100%.
4. Efek ranitidin pada hati. Ranitidin berinteraksi dengan sistem enzim sitokrom P450 dihati.
Ranitidin hanya sedikit menghambat metabolisme hepatik beberapa obat seperti kumarin,
antikoagulan, teofilin, diazepam dan propranolol. Ranitidin membentuk ligand-kompleks
dengan enzim sitokrom P450 sehingga menghambat aktivitas enzim tersebut. Penggunaan
bersama ranitidin dan warfarin dapat menurunkan atau meningkatkan waktu protrombin
(PT). Pada dosis ranitidin hingga 400 mg perhari, penggunaan bersamanya dengan warfarin
relatif tidak berpengaruh terhadap bersihan warfarin dan atau PT. Namun penggunaan
ranitidin lebih dari 400 mg perhari bersama dengan warfarin belum diketahui pengaruhnya.
Sedangkan penggunaan bersama ranitidin 2x200 mg dan warfarin 2,5-4,5 mg telah terbukti
memperpanjang PT secara signifikan. Pengunaan bersama ranitidin dan teofilin
menyebabkan penurunan bersihan plasma teofilin. Pengunaan bersama ranitidin dan
diazepam maupun lorazepam relatif tidak saling berinteraksi. Penggunaan bersama 100 mg
metoprolol dan ranitin menyebabkan AUC metoprolol meingkat hingga 80% dan rata-rata
konsentrasi serum puncak meningkat hingga 50%, dan waktu paruh eliminasi metoprolol
meningkat hingga 4,4-6,5 jam.
5. Alkohol. Penggunaan bersama alkohol dan ranitidin menyebabkan peningkatan konsentrasi
alkohol serum.
6. Nifedipin. Penggunaan ranitidin bersama nifedipin dapat menyebabkan peningkatan AUC
nifedipin hingga 30%.
7. Vitamin B12. Penggunaan ranitidin dapat mengakibatkan defisiensi vitamin B12 karena
malabsorpsi vitamin B12.

TOKSISITAS AKUT
Overdosis ranitidin dapat terjadi pada konsumsi ranitidin hingga 18 gram peroral yang dapat
mengakibatkan terjadinya kelainan cara jalan dan hipotensi. Pengobatan overdosis ranitidin dapat
dilakukan dengan cara mengeluarkan ranitidin tak terserap dalam saluran cerna, pemantauan klinis,
dan terapi suportif. Hemodialisis dapat dilakukan bila perlu.

FARMAKOLOGI

Efek farmakologi ranitidin dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.

1. Efek pada GI. Ranitidin menghambat kompetitif reseptor histamin H2 pada sel parietal
menurunkan sekresi asam lambung pada kondisi basal maupun terstimulasi makanan,
insulin, asam amino, histamin maupun pentagastrin.
2. Efek pada gonad dan endokrin. Ranitidin memberikan sedikit pengaruh pada konsenrasi
prolaktin serum. Peningkatan kadar prolaktin serum akan terjadi pada pemberian ranitidin
200 atau 300 mg IV.
3. Efek lain. Ranitidin dan simetidin dapat menurunkan aliran darah hati. Ranitidin tidak
menghambat metabolisme antipirin dihati. Ranitidin meningkatkan reduksi nitrat oleh flora
normal GI.

FARMAKOKINETIK

1. Absorpsi. Ranitidin diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna maupun pada pemberian
secara intramuskular. Bioavailabilitas absolut ranitidin pada pemberian secara oral adalah
sekitar 50%, demikian pula pada anak-anak. Sedangkan pada geriatrik bioavailabilitasnya
rata-rata 48%.
2. Distribusi. Ranitidin terdistribusi secara luas pada cairan tubuh dan sekitar 10-19% berikatan
dengan protein serum. Volume distribusi ranitidin rata-rata 1,7 L/Kg dengan kisaran 1,2-1,9
L/Kg. Sedangkan volume distribusi pada anak sekitar 2,3-2,5 L/Kg dengan kisaran 1,1-3,7
L/Kg. Pada pemberian secara oral ranitidin juga terdistribusi ke CSF. Ranitidin juga
terdistribusi ke susu.
3. Eliminasi. Waktu paruh eliminasi rata-rata pada orang dewasa adalah 1,7-3,2 jam, dan dapat
berkorelasi positif dengan usia. Waktu paruh eliminasi akan meningkat pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Pada pasien lanjut usia waktu paruh eliminasi umumnya meningkat
seiring berkurangnya fungsi ginjal. Ranitidin sebagian besar diekskresikan dalam urin melalui
filtrasi glomerular dan sekresi tubular.
4. Metabolisme. Ranitidin dimetabolisme dihati menjadi ranitidin N-oksida, desmetil ranitidin,
dan ranitidin S-oksida. Pada pemberian oral, ranitidin juga mengalami metabolisme lintas
pertama dihati. Pada pasien dengan sirosis hati, konsentrasi serum akan meningkat akibat
rendahnya metabolisme lintas pertama dihati dan bioavailabilitasnya rata-rata 70%.

SEDIAAN

Tersedia dalam produk generiknya berupa sediaan:

Kapsul 75, 150 dan 300 mg

Tablet 150 dan 300 mg

Sirup 15 mg/mL

Injeksi 25 mg/mL

http://ruangdiskusiapoteker.blogspot.com/2012/07/ranitidin.html

Ranitidin

Posted by: farmakoterapi on: Juni 16, 2012

 In: Uncategorized
 Tinggalkan sebuah Komentar

Deskripsi

- Nama & Struktur Ranitidin : NN-Dimethyl-5-[2-(1-methylamino-2-


Kimia : nitrovinylamino)ethylthiomethyl]furfurylamine ; Ranitidin hidroklorida.
(C13H22N4O3S), C13H22N4O3S,HCl. (1)

- Sifat Fisikokimia Ranitidin hidroklorida (USP 29) : serbuk kristalin berwarna putih sampai
kuning pucat, praktis tidak berbau. Sangat mudah larut dalam air, agak
: sukar larut dalam alkohol. Larutan 1% dalam air mempunyai pH 4,5-6,0.
Penyimpanan (serbuk) : dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya

- Keterangan :-

Golongan/Kelas Terapi
Obat Untuk Saluran Cerna

Nama Dagang

- Aldin - Anitid - Chopintac/Chopintac Forte - Conranin

- Fordin - Gastridin - Hexer - Radin

- Rancus - Ranin - Ranitidin Hexpharm - Ranticid

- Rantin - Ratinal - Renatac - Scanarin 150/Scanarin 300

- Tricker 150 - Ulceranin - Wiacid - Xeradin

- Zantadin - Zumaran - Zantac/Acran

Indikasi

1. Terapi jangka pendek dan pemeliharaan untuk tukak lambung, tukak duodenum, tukak
ringan aktif

2. Terapi jangka pendek dan pemeliharaan untuk refluks gastroesofagus dan esofagitis
erosif.

3. Terapi jangka pendek dan pemeliharaan kondisi hipersekresi patologis.

4. Sebagai bagian regimen multiterapi eradikasi H. pylori untuk mengurangi risiko


kekambuhan tukak.

5. Meringankan heartburn, acid indigestion, dan lambung asam.

Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian

(a)Tukak lambung dan duodenum:anak (1 bulan-16 tahun) oral:2-4 mg/kg/hari dibagi


menjadi 2 kali sehari; dosis terapi maksimum:300 mg/hari. Dosis pemeliharaan:2-4 mg/kg
sekali sehari; dosis pemeliharaan maksimum:150 mg/hari. IV:2-4 mg/kg/hari dibagi setiap
6-8 jam, maksimum 150 mg/hari. Tukak duodenum:dewasa:oral:150 mg 2 kali sehari atau
300 mg sekali sehari setelah makan malam atau sebelum tidur malam. Dosis
pemeliharaan:150 mg sekali sehari sebelum tidur malam. Tukak lambung
ringan:dewasa:oral:150 mg 2 kali sehari; dosis pemeliharaan 150 mg sekali sehari sebelum
tidur malam

(b) Refluks gastroesofagus dan esofagitis erosif:anak 1 bulan-16 tahun:oral:5-10 mg/kg/hari


dibagi menjadi 2 kali sehari; dosis maksimum:refluks gastroesofagus:300 mg/hari,
esofagitis erosif:600 mg/hari. IV:2-4 mg/kg/hari dibagi tiap 6-8 jam, maksimum:150
mg/hari atau sebagai suatu alternatif infus kontinu:dosis awal:1 mg/kg/dosis untuk satu
dosis diikuti oleh infus 0,08-0,17 mg/kg /jam atau 2-4 mg/kg/hari. Esofagitis
erosif:dewasa:oral:150 mg 4 kali/hari; dosis pemeliharaan 150 mg 2 kali sehari.

(c) Dewasa:oral:150 mg 2 kali sehari, dosis atau frekuensi disesuaikan dengan petunjuk
dokter; dapat digunakan dosis sampai dengan 6g/hari.

(d) Eradikasi Helicobacter pilory:150 mg 2 kali sehari; membutuhkan terapi kombinasi.

(e) Untuk mencegah heartburn:anak>=12 tahun dan dewasa:75 mg 30-60 menit sebelum
mengkonsumsi makanan atau minuman yang dapat memicu heartburn; maksimum:150
mg/24 jam;jangan digunakan lebih dari 14 hari.

(f) Untuk pasien yang tidak dapat menggunakan obat secara oral:IM:50 mg tiap 6-8
jam;IV:intermittent bolus atau infus:50 mg tiap 6-8 jam; Infus IV kontinu:6,25 mg/jam.

(g) Injeksi ranitidin dapat diberikan IM atau IV. Injeksi IM diberikan tanpa pengenceran.
Injeksi IV harus diencerkan, dapat diberikan melalui IVP (intravenous pyelogram) atau
IVPB (intravenous piggy back) atau infus IV kontinu. Untuk IVP:ranitidin(biasanya 50
mg)harus diencerkan sampai total 20 ml dengan normal saline atau larutan dekstrosa 5%
dalam air dan diberikan selama minimal 5 menit. IVPB:diberikan selama 15-20 menit. Infus
IV kontinu:diberikan dengan kecepatan 6,25 mg/jam dan titrasi dosis berdasarkan pH
lambung selama 24 jam. Unlabeled/investigational use:tukak yang kambuh setelah operasi;
perdarahan saluran cerna bagian atas; pencegahan penumonitis aspirasi asam selama
pembedahan, dan pencegahan tukak yang disebabkan oleh stres.

Farmakologi

Absorpsi oral : 50%. Distribusi : volume distribusi untuk fungsi ginjal normal : 1,7 L/kg;
Clcr 25-35 ml/menit:1,76 L/kg; penetrasi melalui sawar darah otak minimal; berdistribusi ke
dalam ASI; ikatan dengan protein 15%; dimetabolisme di hati menjadi metabolit N-oksida,
S-oksida, dan N-desmetil. Bioavailabilitas oral : 48%. Waktu paruh eliminasi oral : untuk
fungsi ginjal normal : 2,5-3 jam; Clcr 25-35 ml/menit:4-8 jam; waktu paruh eliminasi IV
untuk fungsi ginjal normal : 2-2,5 jam. Waktu untuk mencapai kadar puncak dalam serum :
oral : 2-3 jam, IM : <=15 menit. Ekskresi : di dalam urin : oral = 30%, IV = 70%(dalam
bentuk tak berubah), feses (sebagai metabolit). (3)

Stabilitas Penyimpanan

Vial injeksi disimpan pada suhu antara 4°C-30°C, terlindung dari cahaya. Larutan jernih tak
berwarna sampai berwarna kuning; warna yang agak tua tidak mempengaruhi potensi.
Kantung premixed disimpan pada suhu antara 2°C-25°C, terlindung dari cahaya. Sirup
disimpan pada suhu antara 4°C-25°C, terlindung dari cahaya. Tablet disimpan di tempat
kering pada suhu antara 15°C-30°C, terlindung dari cahaya. Larutan injeksi dalam vial
dapat dicampur dengan normal saline atau larutan dekstrosa 5% dalam air, larutan stabil
selama 48 jam pada suhu kamar. Injeksi bolus intermiten diencerkan sampai maksimum 2,5
mg/ml. Infus intermiten diencerkan sampai dengan maksimum 0,5 mg/ml. jangan
menambahkan obat lain ke dalam kantung premixed
Kontraindikasi

Hipersensitivitas terhadap ranitidin atau bahan-bahan lain dalam formulasi.

Efek Samping

Terbatas dan tidak berbahaya: aritmia, vaskulitis, pusing, halusinasi, sakit kepala, confusion,
mengantuk, vertigo, eritema multiforme, kemerahan, pankreatitis, anemia haemolitic
acquired, agranulositosis, anemia aplastik, granulositopenia, leukopenia, trombositopenia,
pansitopenia, gagal hati, anafilaksis, reaksi hipersensitivitas

Interaksi

– Dengan Obat Lain : Meningkatkan efek/toksisitas siklosporin (meningkatkan serum


kreatinin), gentamisin (blokade neuromuskuler), glipizid, glibenklamid, midazolam
(meningkatkan konsentrasi), metoprolol, pentoksifilin, fenitoin, kuinidin, triazolam.
Mempunyai efek bervariasi terhadap warfarin. Antasida dapat mengurangi absorpsi
ranitidin. Absorpsi ketokonazol dan itrakonazol berkurang; dapat mengubah kadar
prokainamid dan ferro sulfat dalam serum, mengurangi efek nondepolarisasi relaksan otot,
cefpodoksim, sianoklobalamin (absorpsi berkurang), diazepam dan oksaprozin, mengurangi
toksisitas atropin. Penggunaan etanol dihindari karena dapat menyebabkan iritasi mukosa
lambung.

– Dengan Makanan : Makanan tidak mengganggu absorpsi ranitidin.

Pengaruh

– Terhadap Kehamilan : Kategori B. Ranitidin menembus plasenta, efek teratogenik pada


fetus belum dilaporkan. Hati-hati bila digunakan pada kehamilan.

– Terhadap Ibu Menyusui : Ranitidin berdistribusi ke dalam ASI; gunakan dengan


berhati-hati.

– Terhadap Anak-anak : -

– Terhadap Hasil Laboratorium : Berinteraksi dengan tes sekresi asam lambung, tes
alergi pada kulit menggunakan ekstrak alergen, serum kreatinin, tes protein urin.

Parameter Monitoring

AST, ALT, serum kreatinin, fungsi ginjal, foecal occult blood.

Bentuk Sediaan

Tablet 75 mg, 150 mg, Kaplet 300 mg, Sirup 75 mg/5ml (60 ml, 100 ml, 150 ml), Ampul 25
mg/ml (2 ml)
Peringatan

Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati; dibutuhkan
penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal; hindari penggunaan pada
pasien dengan sejarah porfiria akut (dapat memicu serangan); terapi jangka panjang
mungkin berhubungan dengan defisiensi vitamin B12; keamanan dan efikasi belum
ditetapkan untuk pasien anak-anak usia<1 bulan.

Kasus Temuan Dalam Keadaan Khusus

Informasi Pasien

Dosis oral ranitidin dapat diminum dengan atau tanpa makanan. Bila obat ini digunakan
untuk mencegah heartburn, obat diminum 30-60 menit sebelum makan atau minum apapun
yang dapat menyebabkan heartburn. Pasien seharusnya tidak menggunakan obat ini bila
alergi terhadap ranitidin, simetidin, atau nizatidin

Mekanisme Aksi

Menghambat secara kompetitif histamin pada reseptor H2 sel-sel parietal lambung, yang
menghambat sekresi asam lambung; volume lambung dan konsentrasi ion hidrogen
berkurang. Tidak mempengaruhi sekresi pepsin, sekresi faktor intrinsik yang distimulasi
oleh penta-gastrin, atau serum gastrin.

Monitoring Penggunaan Obat

Gejala dan tanda-tanda gangguan tukak peptik, efek samping obat, darah lengkap, perbaikan
endoskopi

Daftar Pustaka

Martindale The Complete Drug Reference 35th edition

MIMS-Official Drug Reference for Indonesian Medical Proffesion. 105th ed.

Drug Information Handbook International

AHFS Drug Information 2006


http://danifarmakoterapi.wordpress.com/2012/06/16/ranitidin/
KETOROLAC

KEMASAN & NO REG :


Ketorolac 10 mg injeksi (1 box berisi 6 ampul @ 1 mL), No. Reg. : GKL0808514843A1
Ketorolac 30 mg injeksi (1 box berisi 6 ampul @ 1 mL), No. Reg. : GKL0808514843B1
Farmakodinamik
Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan obat
anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-
inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap
sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat.
Farmakokinetik
Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian intramuskular
dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit
pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa muda
dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun). Lebih dari 99% Ketorolac terikat
pada konsentrasi yang beragam. Farmakokinetik Ketorolac pada manusia setelah pemberian
secara intramuskular dosis tunggal atau multipel adalah linear. Kadar steady state plasma
dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam dalam sehari. Pada dosis jangka panjang tidak
dijumpai perubahan bersihan. Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume
distribusinya rata-rata 0,25 L/kg. Ketorolac dan metabolitnya (konjugat dan metabolit para-
hidroksi) ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata-rata 6,1%) diekskresi
dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral tidak mengubah hemodinamik pasien.
INDIKASI
Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang
sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari.
Ketorolac secara parenteral dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Harus diganti ke
analgesik alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5 hari.
Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetri atau untuk
analgesia obstetri karena belum diadakan penelitian yang adekuat mengenai hal ini dan
karena diketahui mempunyai efek menghambat biosintesis prostaglandin atau kontraksi
rahim dan sirkulasi fetus.
KONTRA INDIKASI
Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena ada kemungkinan
sensitivitas silang.
Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian Asetosal atau obat anti-
inflamasi nonsteroid lain.
Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif.
Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti.
Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi.
Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau bronkospasme.
Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.
Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain.
Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum >160 mmol/L).
Riwayat asma.
Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau hemostasis inkomplit,
pasien dengan antikoagulan termasuk Heparin dosis rendah (2.500–5.000 unit setiap 12 jam).
Terapi bersamaan dengan Ospentyfilline, Probenecid atau garam lithium.
Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi.
Anak < 16 tahun.
Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Steven-Johnson atau ruam vesikulobulosa.
Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal).
Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif jika hemostasis benar-benar
dibutuhkan karena tingginya risiko perdarahan.
DOSIS
Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus intravena. Dosis
untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15 detik. Ketorolac ampul tidak boleh
diberikan secara epidural atau spinal. Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV
maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga
2 jam. Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya disesuaikan
dengan keparahan nyeri dan respon pasien. Lamanya terapi : Pemberian dosis harian multipel
yang terus-menerus secara intramuskular dan intravena tidak boleh lebih dari 2 hari karena
efek samping dapat meningkat pada penggunaan jangka panjang.
Dewasa
Ampul : Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 10–30 mg tiap 4
sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif terendah. Dosis harian total tidak
boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien
gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg. Lamanya terapi tidak
boleh lebih dari 2 hari. Pada seluruh populasi, gunakan dosis efektif terendah dan sesingkat
mungkin. Untuk pasien yang diberi Ketorolac ampul, dosis harian total kombinasi tidak boleh
lebih dari 90 mg (60 mg untuk pasien lanjut usia, gangguan ginjal dan pasien yang berat
badannya kurang dari 50 kg).

Instruksi dosis khusus


Pasien lanjut usia
Ampul : Untuk pasien yang usianya lebih dari 65 tahun, dianjurkan memakai kisaran dosis
terendah: total dosis harian 60 mg tidak boleh dilampaui (lihat Perhatian).
Anak-anak : Keamanan dan efektivitasnya pada anak-anak belum ditetapkan. Oleh karena itu,
Ketorolac tidak boleh diberikan pada anak di bawah 16 tahun. Gangguan ginjal : Karena
Ketorolac tromethamine dan metabolitnya terutama diekskresi di ginjal, Ketorolac
dikontraindikasikan pada gangguan ginjal sedang sampai berat (kreatinin serum > 160
mmol/l); pasien dengan gangguan ginjal ringan dapat menerima dosis yang lebih rendah
(tidak lebih dari 60 mg/hari IV atau IM), dan harus dipantau ketat. Analgesik opioid (mis.
Morfin, Phetidine) dapat digunakan bersamaan, dan mungkin diperlukan untuk mendapatkan
efek analgesik optimal pada periode pasca bedah awal bilamana nyeri bertambah berat.
Ketorolac tromethamine tidak mengganggu ikatan opioid dan tidak mencetuskan depresi
napas atau sedasi yang berkaitan dengan opioid. Jika digunakan bersama dengan Ketorolac
ampul, dosis harian opioid biasanya kurang dari yang dibutuhkan secara normal. Namun efek
samping opioid masih harus dipertimbangkan, terutama pada kasus bedah dalam sehari.
EFEK SAMPING
Efek samping di bawah ini terjadi pada uji klinis dengan Ketorolac IM 20 dosis dalam 5 hari.
Insiden antara 1 hingga 9% :
Saluran cerna : diare, dispepsia, nyeri gastrointestinal, nausea.
Susunan Saraf Pusat : sakit kepala, pusing, mengantuk, berkeringat.
PERINGATAN DAN PERHATIAN
Seperti obat analgesik anti-inflamasi nonsteroid lainnya, Ketorolac dapat menyebabkan
iritasi, ulkus, perforasi atau perdarahan gastrointestinal dengan atau tanpa gejala sebelumnya
dan harus diberikan dengan pengawasan ketat pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit
saluran gastrointestinal. Ketorolac tidak dianjurkan untuk digunakan selama kehamilan,
persalinan, kelahiran, dan pada ibu menyusui.

Peringatan khusus mengenai inkompatibilitas:


Ketorolac ampul tidak boleh dicampur dalam volume kecil (mis. dalam spuit) dengan Morfin
sulfat, Phetidine hydrochloride, Promethazine hydrochloride atau Hydroxyzine hydrochloride
karena akan terjadi pengendapan Ketorolac tromethamine. Ketorolac ampul kompatibel
dengan larutan normal saline, 5% dekstrosa, Ringer, Ringer-laktat, atau larutan Plasmalyte.
Kompatibilitas dengan obat lain tidak diketahui.
Perhatian
Efek Renal : Sama seperti obat lainnya yang menghambat biosintesis prostaglandin, telah
dilaporkan adanya peningkatan urea nitrogen serum dan kreatinin serum pada uji klinis
dengan Ketorolac tromethamine.
Efek Hematologis : Ketorolac menghambat agregasi trombosit dan dapat memperpanjang
waktu perdarahan. Ketorolac tidak mempengaruhi hitung trombosit , waktu protrombin (PT)
atau waktu tromboplastin parsial (PTT). Pasien dengan gangguan koagulasi atau yang sedang
diberi terapi obat yang mengganggu hemostasis harus diawasi benar-benar saat diberikan
Ketorolac.
Efek Hepar : Bisa terjadi peningkatan borderline satu atau lebih tes fungsi hati. Pasien dengan
gangguan fungsi hati akibat sirosis tidak mengalami perubahan bersihan Ketorolac yang
bermakna secara klinis. Ketorolac tromethamine tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai
medikasi prabedah, untuk mendukung anestesi atau analgesia obstetri. Belum ada data klinis
mengenai keamanan dan efektivitas pemberian bersama Ketorolac tromethamine dengan obat
anti-inflamasi nonsteroid lainnya. Ketorolac tidak dianjurkan digunakan secara rutin bersama
dengan obat anti-inflamasi nonsteroid lain, karena adanya kemungkinan efek samping
tambahan.
Untuk pasien gangguan ginjal ringan : Fungsi ginjal harus dipantau pada pasien yang diberi
lebih dari dosis tunggal IM, terutama pada pasien tua.
Retensi cairan dan edema: Pernah dilaporkan terjadinya retensi cairan dan edema pada
penggunaan Ketorolac. Oleh karena itu, Ketorolac harus hati-hati diberikan pada pasien gagal
jantung, hipertensi atau kondisi serupa.
INTERAKSI OBAT
Pemberian Ketorolac bersama dengan Methotrexate harus hati-hati karena beberapa obat
yang menghambat sintesis prostaglandin dilaporkan mengurangi bersihan Methotrexate,
sehingga memungkinkan peningkatan toksisitas Methotrexate.
Penggunaan bersama NSAID dengan Warfarin dihubungkan dengan perdarahan berat yang
kadang-kadang fatal. Mekanisme interaksi pastinya belum diketahui, namun mungkin
meliputi peningkatan perdarahan dari ulserasi gastrointestinal yang diinduksi NSAID, atau
efek tambahan antikoagulan oleh Warfarin dan penghambatan fungsi trombosit oleh NSAID.
Ketorolac harus digunakan secara kombinasi hanya jika benar-benar perlu dan pasien tersebut
harus dimonitor secara ketat.
ACE inhibitor karena Ketorolac dapat meningkatkan risiko gangguan ginjal yang
dihubungkan dengan penggunaan ACE inhibitor, terutama pada pasien yang telah mengalami
deplesi volume.
Ketorolac mengurangi respon diuretik terhadap Furosemide kira-kira 20% pada orang sehat
normovolemik.
Penggunaan obat dengan aktivitas nefrotoksik harus dihindari bila sedang memakai Ketorolac
misalnya antibiotik aminoglikosida.
Pernah dilaporkan adanya kasus kejang sporadik selama penggunaan Ketorolac bersama
dengan obat-obat anti-epilepsi.
Pernah dilaporkan adanya halusinasi bila Ketorolac diberikan pada pasien yang sedang
menggunakan obat psikoaktif.
Anak-anak
Keamanan dan efektivitas pada anak belum ditetapkan.

Lanjut usia
Pasien di atas 65 tahun dapat mengalami efek samping yang lebih besar daripada pasien
muda. Risiko yang berkaitan dengan usia ini umum terdapat pada obat yang menghambat
sintesis prostaglandin. Seperti halnya dengan semua obat, pada pasien lanjut usia harus
dipakai dosis efektif yang terendah.
Penyalahgunaan dan ketergantungan fisik
Ketorolac tromethamine bukan merupakan agonis atau antagonis narkotik. Subjek tidak
memperlihatkan adanya gejala subjektif atau tanda objektif putus obat bila dosis intravena
atau intramuskular dihentikan tiba-tiba.
LAIN-LAIN
Penyimpanan:
Simpan pada suhu di bawah 30°C, lindungi dari cahaya.
HARUS DENGAN RESEP DOKTER

http://duniakesehatan-abunur.blogspot.com/2013/05/ketorolac.html

TORASIC
Komposisi:
Ketorolac tromethamine

Bentuk Sediaan:
Tablet salut selaput 10 mg
Ampul 10 mg dan 30 mg

Farmakologi:
Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini
merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik
yang lemah dan anti-inflamasi.
Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap
sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap
reseptor opiat.
Farmakokinetik (oral) k etorolac tromethamine diabsorpsi dengan cepat dan lengkap
setelah pemberian oral dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar
0,87 mcg/mL setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 10 mg. Waktu paruh plasma
terminal 5,4 jam pada dewasa muda dan 6,2 jam pada orang lanjut usia. Total
bersihan pada orang usia lanjut sedikit lebih rendah daripada dewasa muda.
Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian
intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma sebesar 2,2
mcg/mL setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal
plasma 5,3 jam pada dewasa muda dan 7 jam pada orang lanjut usia. Lebih dari
99% ketorolac terikat pada konsentrasi yang beragam. Farmakokinetik Ketorolac
pada manusia setelah pemberian secara intramuskular dosis tunggal atau multipel
adalah linear. Kadar steady state plasma dicapai setelah diberikan dosis tiap 6 jam
dalam sehari.

Indikasi:
Untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat
setelah prosedur bedah.

Dosis:
- Dosis oral yang dianjurkan adalah 10 mg tiap 4 - 6 jam untuk nyeri sesuai yang
dibutuhkan, dosis melebihi 40 mg/hari tidak dianjurkan.
- Interval dosis yang lebih panjang, c.g. 6 - 8 jam, disarankan pada pasien tua.
- Kisaran dosis terendah direkomendasikan untuk pasien-pasien yang usianya diatas
65 tahun.
- Pasien dengan gangguan ginjal ringan dapat menerima dosis yang lebih rendah
dan kondisi ginjalnya harus dipantau ketat.
- Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus
intravena, dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15 detik.
- Ketorolac ampul tidak boleh diberikan secara epidural atau spinal.
- Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian IV maupun IM serupa, sekitar 30
menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 - 2 jam.
- Durasi median analgesia umumnya 4 - 6 jam.
- Dosis sebaiknya disesuaikan dengan keparahan nyeri dan respons pasien.
- Lamanya terapi, pemberian dosis harian multipel yang terus-menerus secara
intramuskular dan intravena tidak boleh lebih dari 2 hari karena efek samping dapat
meningkat pada penggunaan jangka panjang.

Kontraindikasi:
Pasien hipersensitif dengan obat ini, karena ada kemungkinan sensitivitas silang,
Ketorolac juga dikontraindikasikan pada pasien :
- Penderita ulkus peptikum aktif.
- Penyakit serebrovaskuler yang dicurigai maupun yang sudah pasti.
- Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi.
- Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau bronkospasme.
- Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain.
- Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain.
- Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum > 160 mmol/L).
- Riwayat asma.
- Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau hemostasis
inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk heparin dosis rendah (2500 – 5000
unit setiap 12 jam).
- Terapi bersamaan dengan ospentyfilline, probenecid atau garam lithium.
- Selama kehamilan, persalinan, melahirkan atau laktasi.
- Anak < 16 tahun.
- Pasien yang mempunyai riwayat sindrom Stevens-Johnson atau ruam
vesikulobulosa.
- Pemberian neuraksial (epidural atau intratekal).
- Pemberian profilaksis sebelum bedah mayor atau intra-operatif jika hemostasis
benar-benar dibutuhkan karena tingginya resiko perdarahan.

Peringatan dan Perhatian:


- Telah dilaporkan adanya peningkatan urea nitrogen serum dan kreatinin serum
- Ketorolac menghambat agregasi trombosit dan dapat memperpanjang waktu
perdarahan.
- Bisa terjadi peningkatan borderline fungsi hati.
- Pernah dilaporkan terjadinya retensi cairan dan edema, hati-hati pada pasien
gagal jantung, hipertensi atau kondisi serupa.

Efek Samping:
- Saluran cerna : diare, dispepsia, nyeri gastrointestinal, nausea.
- Susunan Saraf Pusat : sakit kepala, pusing, mengantuk, berkeringat (nsiden 1%
atau kurang), depresi, mulut kering, euforia, haus berlebihan, parestesia, stimulasi,
vertigo.
- Gastrointestinal : konstipasi, rasa penuh, kelainan fungsi hati, melena, ulkus
peptikum, perdarahan rektal, stomatitis, muntah, flatus.
- Respirasi : asma, dispnea.
- Dermatologik : pruritus, urtikaria.
- Kardiovaskular : vasodilatasi, pucat.
http://www.kalbemed.com/Products/Drugs/Branded/tabid/245/ID/4488/Torasic.aspx

BAB I

PENDAHULUAN

Ceftriaxone merupakan cephalosporin spektrum luas semisintetik yang diberikan secara IV


atau IM. Kadar plasma rata-rata cetriaxone setelah pemberian secara tunggal infus intravena
0,5;1 atau 2 gr dalam waktu 30 menit dan IM sebesar 0,5 atau 1 g pada orang dewasa sehat.
Ceftriaxone juga serupa dengan seftizoksim dan sefotaksim, mempunyai waktu paruh yang
sangat panjang sehingga diberikan sekali / dua kali sehari.

BAB II

FARMAKOLOGI OBAT

“ CEFTRIAXONE “

FARMAKOKINETIK

Ceftriaxone diabsorpsi lengkap setelah pemberian IM dengan kadar plasma maksimum rata-
rata antara 2-3 jam setelah pemberian. Dosis multipel IV atau IM dengan interval waktu 12-
24 jam, dengan dosis 0,5-2g menghasilkan akumulasi sebesar 15-36 % diatas nilai dosis
tunggal.

Sebanyak 33-67 % ceftriaxone yang diberikan, akan diekskresikan dalam uring dalam
bentuk yang tidak diubah dan sisanya diekskresikan dalam empedu dan sebagian kecil dalam
feses sebagai bentuk inaktif. Setelah pemberian dosis 1g IV, kadar rata-rata ceftriaxone 1-3
jam setelah pemberian adalah : 501 mg/ml dalam kandung empedu, 100 mg/ml dalam saluran
empedu, 098 mg dalam duktus sistikus, 78,2 mg/ml dalam dinding kandung empedu dan 62,1
mg
/ml dalam plasma.
Setelah pemberian dosis 0,15-3g, maka waktu paruh eliminasinya berkisar antara 5-8
jam, volume distribusinya sebesar 5,70-13,5 L, klirens plasma 0,50-1,45 L/jam dan klirens
ginjal 0,32-0,73 L/jam.

Ikatan protein ceftriaxone bersifat reversibel dan besarnya adalah 85-95 %.


Ceftriaxone menembus selaput otak yang mengalami peradangan pada bayi dan anak-anak
dan kadarnya dalam cairan otak setelah pemberian dosis 50 mg/kg dan 75 mg/kg IV, berkisar
antara 1,3-18,5 ug/ml dan 1,3-44 ug/ml

Dibanding pada orang dewasa sehat, farmakokinetik ceftriaxone hanya sedikit sekali
terganggu pada usia lanjut dan juga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal/hati, karena
itu tidak diperlukan penyesuaian dosis.

FARMAKODINAMIK

Efek bakterisida ceftriaxone dihasilkan akibat penghambatan sintesis dinding kuman.


Ceftriaxone mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap beta-laktanase, baik terhadap
penisilinase maupun sefalosporinase yang dihasilkan oleh kuman gram-negatif, gram-positif.

INDIKASI DAN CARA PENGGUNAAN

Ceftriaxone diindikasikan untuk pengobatan pada infeksi-infeksi dibawah ini yang


disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif seperti :

Infeksi saluran napas bawah

Infeksi kulit dan jaringan lunak

Goneore tanpa komplikasi

Penyakit radang rongga panggul

Septikemia bakterial

Infeksi tulang dan sendi

Infeksi intra-abdominal

Meningitis

Profilaksis operasi yaitu 1g dosis tunggal ceftriaxone dapat mengurangi angka


kejadian infeksi pasca operasi pada pasien yang dioperasi dan dianggap terkontaminasi atau
secara potensial terkontaminasi, misalnya : histerektoni vaginal atau abdominal dan pada
pasien yang dioperasi dimana infeksi pada operasi tersebut menyebabkan risiko yang serius (
misal : selama operasi lintas arteri koroner ).

KONTRAINDIKASI

Ceftriaxone dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi terhadap golongan


cephalosporin.
EFEK SAMPING

Secara umum ceftriaxone dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dapat
ditemukan adalah :

• Reaksi lokal : Sakit, indurasi atau nyeri tekan pada tempat suntikan dan phlebitis setelah
pemberian intravena.

• Hipersensitivitas : Ruam kulit dan kadang-kadang pruritus, demam atau menggigil

• Hematologik : Eosinofilia, trombositosis, lekopenia dan kadang-kadang anemia, anemia


hemolitik, netropenia, limfopenia, trombositopenia dan pemanjangan waktu protrombia.

• Saluran cerna : Diare dan kadang-kadang mual, muntah, disgeusia.

• Hati : Peningkatan SGOT atau SGPT dan kadang-kadang peningkatan fosfatase alkali dan
bilirubin.

• Ginjal : Peningkatan BUN dan kadang-kadang peningkatan kreatinin serta ditemukan


silinder dalam urin.

• Susunan saraf pusat : Kadang-kadang timbul sakit kepala atau pusing.

• Saluran kemih dan genital : Kadang-kadang dilaporkan timbulnya monitiasis atau vaginitis

DOSIS DAN CARA PEMBERIAN

Ceftriaxone dapat diberikan secara intravena atau intramuskular

Dewasa : Dosis lazim harian untuk orang dewasa adalah 1-2g sekali sehari (atau dibagi
dalam 2 dosis) tergantung dari jenis dan beratnya infeksi. Dosis
total harian tidak boleh melebihi 4g. Untuk pengobatan infeksi
gonokokal tanpa komplikasi, dosis yang dianjurkan adalah 250 mg
intramuskular sebagai dosis tunggal, untuk profilaksis opersai,
dosis yang dianjurkan adalah 1g sebagai dosis tunggal dan
diberikan 0,5-2 jam sebelum operasi.

Anak-anak : Untuk pengobatan infeksi kulit dan jaringan lunak, dosis total harian yang
dianjurkan adalah 50-75 mg/kg sekali sehari (atau dibagi 2 dosis),
dosis total harian tidak boleh melebihi 2g. Untuk pengobatan
meningitis dosis harian adalah 100 mg/kg dan tidak boleh melebihi
4g, dosis diberikan dengan atau tanpa dosis muat 75mg/kg

Keterangan Umum Dosis : Secara umum terapi dengan ceftriaxone harus dilanjutkan paling
tidak 2 hari setelah tanda dan gejala infeksi menghilang. Lama
pengobatan terapi umumnya adalah 4-14 hari, dimana pada
infeksi yang disertai dengan komplikasi terapi yang diperlukan
akan lebih lama.

BAB III
“ INFEKSI SALURAN KEMIH “

Pengertian

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu penyakit yang biasa terjadi pada saat
organisme naik dari uretra ke kandung kemih. Sekali organisme mencapai kandung
kemih, organisme ini akan berkembang biak dan meningkat, sehingga menyebabkan
infeksi pada ureter dan ginjal. (Brunner and Sudarth).

Etiologi

ISK mempunyai kerentanan terhadap infeksi organisme yang biasanya tidak


patogenik masih sukar dimengerti. Organisme yang biasanya menyerang adalah bakteri
terutama escherichia coli pada wanita. Sumber bakteri umumnya adalah flora feces
penderita. Anomali struktur kongenital saluran kemih terutama yang menghambat aliran
kemih, hal ini merupakan predisposisi terjadinya infeksi. Akan tetapi sebagian infeksi
saluran kemih tidak ada hubungannya dengan abnormalitas fungsional atau struktural
primer. Sebaliknya, beberapa abnormalitas anatomis/fungsional seperti penebalan
dinding kandung kemih, refluks vesikoureter atau pola berkemih abnormal, merupakan
gejala sisa infeksi.

Patofisiologi

Infeksi rekuren pada kandung kemih dapat berakibat perubahan peradangan yang
merusak hubungan anatomis ureter pada saat menembus dinding kandung kemih,
sehingga terjadi inkompetensi katup vesikoureter. Keadaan ini memungkinkan refluks
kemih ke dalam ureter terutama sewaktu berkemih, dengan akibat dilatasi ureter dan
masuknya organisme kedalam saluran bagian atas. Sebagian besar merupakan infeksi
asenden pada wanita. Jalur yang biasa terjadi adalah mula-mula kuman dari anal
berkoloni di vulava, kemudian masuk ke kandung kemih melalui uretra yang pendek
secara spontan/mekanik akibat hubungan seksual. Pada pria setelah prostat terkoloni
maka akan terjadi infeksi asenden. Mungkin juga terjadi akibat pemasangan alat seperti
kateter, terutama pada usia lanjut.

Wanita lebih sering menderita ISK, karena uretra yang pendek, masuknya kuman
dalam hubungan seksual, dan mengakibatkan perubahan PH dan flora vulva dalam siklus
menstruasi.

Manifestasi Klinis

Gejala-gejala ISK dibedakan antara infeksi saluran kemih bagian bawah, dimana
kandung kemih/uretra terinfeksi, dan infeksi saluran kemih atas yang meliputi infeksi
pada ureter dan ginjal. Gejala ISK bawah biasanya, disuria, sering berkemih, nokturia
atau nyeri pada pelvik atau suprapubis. Pasien dengan ISK atas, sering menunjukan
gejala sistemik meliputi, demam, mual, muntah, sakit kepala dan lemah sesuai dengan
keluhan spesifik dari nyeri di daerah panggul punggung bawah, dan abdomen

Diagnosis

Diagnosis ISK umumnya tergantung pada identifikasi mikroorganisme, misalnya:


sel darah putih dalam spesimen urine yang diambil langsung atau urine yang terdapat di
kateter, urin yang langsung diambil tersebut sangat sulit diambil tanpa adanya
kontaminasi, jumlah dari organisme digunakan untuk menggambarkan kemungkinan
infeksi yang biasanya yaitu ada 100.000 unit koloni per milimeter (CFU/ml). secara
umum ada sel darah putih (biasanya 710 wbc/mm3) dalam spesimen urine merupakan
diagnostik kuat, dimana sel ini merupakan diagnostik kuat, dimana sel ini menandakan
respons peradangan penjamu terhadap organisme. Adanya organisme tanpa adanya sel
darah putih dipertimbangkan sebagai bakteriuria daripada dianggap sebagai infeksi.

BAB IV

KESIMPULAN

Ceftriaxone merupakan cepnalosporin spektrum luas semisintetik yang diberikan secara


intravena atau intramuskular.

Ceftriaxone diindikasikan untuk pengobatan pada infeksi-infeksi yang disebabkan oleh


mikroorganisme yang sensitif seperti :

Infeksi saluran napas bawah

Infeksi saluran kemih

Infeksi kulit dan jaringan lunak

Infeksi tulang dan sendi

Infeksi intra-abdominal

Berikatan dengan protein yang bersifat reversibel dan besarnya 85-95 %

Memiliki waktu paruh yang sangat panjang dan diekskresikan dalam urine dalam
bentuk yang tidak diubah dan sisanya diekskresikan dalam empedu dan sebagian kecil
feses.

BUKU SUMBER

Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta 1996

Farmakologi, Pendekatan Proses Keperawatan

Joyce L. Kee dan Evelyn R. Hayes

Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner dan Suddarth

Edisi 8. Penerbit Buku Kedokteran 2001

DOI
Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta 1986

IPI (Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia)

Dr. Henny Lukmanto

http://makalahgumato.blogspot.com/2009/05/makalah-farmakologi-obat-ceftriaxone.html

PRODUCTS OF PROMEDIK
INCEPHIN Ceftriaxone 1,0 gr
Komposisi:
Tiap vial berisi ceftriaxone disodium 3,5 H2O setara dengan ceftiaxone
1,0 g.

Indikasi :
• Infeksi saluran nafas ( antara lain Pneumonia) akibat Streptococcus
pneumonia, Streptococcus pyogenes & Streptococcus aureus, E. Coli, H. influenza, Proteus sp,
Enterobacter sp.
• Infeksi ginjal, saluran kemih & organ kelamin akibat Enterococcus S. epidemis, S. aureus,
Citrobacter sp, Enterobacter Klebsiella sp, Proteus mirabilis, N. gonorrheae penghasil pinisilinase.
• Infeksi ginekologik & inflamasi pelvis, endometritis & selulitiss pelvis akibat Staphilococcus,
Streptococcus, Enterococcus, Enterobacter sp, Klebsiella sp, Proteus sp, Bacteriodes sp, Clostridium
sp, anaerob kokus.
• Bakteriemia/Septikemia akibat E. coli, Serratia sp, Klebsiella sp, S. aureus, Streptococcus sp.
• Infeksi kulit , termasuk luka & jaringan rusak.
• Infeksi intra-abdominal termasuk peritonitis, infeksi kantong empedu.
• Infeksi tulang sendi akibat bakteri Gram (+) kokus Pseudomonas sp & Proteus mirabilis.
• Infeksi SSP seperti meningistis & ventrikulitis akibat N. meningitides, H. influenza, Streptococcus
pneumonia, E. coli, Klebsiella pneumonia.
• Pencegah infeksi pra dan pasca bedah.

Dosis :
? Dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun :
1-2 g sekali sehari secara intravena, pada infeksi berat dosis dapat ditingkatkan sampai 4 g 1x sehari.
? Bayi dan anak-anak dibawah 12 tahun:
• Bayi 14 hari : 20-50mg/kg berat badan sehari sekali.
• Bayi 15 hari s/d 12 tahun : 20-80mg/kg berat badan sehari sekali.
• Anak anak dengan berat badan 50 kg atau lebih : dapat digunakan dosis dewasa dengan melalui
infuse selama 30 menit.
• Penderita dengan gangguan fungsi ginjal, kliren kreatinin kurang dari 10 ml/menit, dosis tidak
boleh lebih dari 2 g sehari
? Instruksi dosis khusus
• Meningitis
Bayi dan anak-anak : dimulai dengan dosis 100 mg/kg berat badan. Jangan melebihi 4 g sehari sekali .
Segera setelah organisme penyebab telah diketahui dan sensitifitas ditentukan dosis dapat
diturunkan.
Lama pengobatan untuk :
• Neiisseria meningitis = 4 hari.
• Haemophyllus influenzae = 6 hari.
• Streptococcus pneumoniae = 7 hari.
• Gonore : untuk strain penghasil atau bukan penghasil penisilinase, dosis tunggal 250 mg intra
muskuler.
• Pencegahan pre operatif :
Tergantung dari resiko infeksi : 1-2 g dosis tunggal diberikan 30-90 menit sebelum operasi.
• Lama Pengobatan.
Tergantung dari penyebab penyakit, umumnya pemberian obat harus diteruskan paling sedikit
sampai 48-72 jam setelah penderita bebas panas atau telah bebas dari infeksi.

Peringatan dan Perhatian, Konta Indikasi, Efek Samping, Interaksi Obat


Lihat Petunjuk Penggunaan Produk

Kemasan :
INCEPHINE @1,0 gr, kotak berisi 1 Vial serbuk kering 1 gr ampul air untuk injeksi 10 ml

http://smac.promomedika.com/product.php?module=product&id=82

ONDANSENTRON 8MG TABLET

Ondansetron, Obat Anti Mual Paling Kuat

Ondansetron termasuk kelompok obat Antagonis serotonin 5-HT3, yang bekerja


dengan menghambat secara selektif serotonin 5-hydroxytriptamine (5HT3) berikatan
pada reseptornya yang ada di CTZ (chemoreseceptor trigger zone) dan di saluran
cerna.

Serotonin 5-hydroxytriptamine (5HT3) merupakan zat yang akan dilepaskan jika terdapat
toksin dalam saluran cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang saraf vagus
menyampaikan rangsangan ke CTZ dan pusat muntah dan kemudian terjadi mual dan
muntah.

Ondansetron dibandingkan dengan obat anti mual dan muntah yang lain adalah:
Sangat efektif mengatasi mual dan muntah yang hebat. Relatif lebih aman karena tidak
menimbulkan reaksi ekstrapyramidal,
Relatif aman digunakan untuk anak dan kasus hyperemesis gravidarum pada ibu hamil.
Mempercepat pengosongan lambung

Efek samping Ondansetron yang relatif sering ditemukan adalah sakit kepala, pusing dan
susah buang air besar. Tetapi terkadang efek samping ini hilang dengan sendirinya tanpa
perlu pengobatan khusus.
Jika obat anti mual dan muntah yang lain tidak dapat mengatasi mual dan muntah, maka
Ondansetron adalah obat yang paling tepat untuk mengatasi derita akibat mual dan muntah

Ondansetron dalam bentuk sediaan injeksi 4mg/2 ml dan 8 mg/4ml dikategorikan sebagai
produk baru Indofarma (INAF). Padahal jika kita bandingkan Ondansetron INAF dengan
produk lain dengan komposisi yang sama telah hadir di pasar farmasi sejak awal tahun 2000-
an, sehingga sebenarnya Ondansetron INAF bukan merupakan produk baru di pasar farmasi.
Ondansetron dengan sediaan tablet 4 mg dan 8 mg.

Ondansetron adalah antagonis reseptor 5HT3 yang poten dan selektif.


Pemberian obat-obat kemoterapi dan radioterapi dapat menyebabkan pelepasan 5HT3 ke
dalam usus halus yang akan merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan serabut afferen
vagal lewat reseptor 5HT3. Ondansetron menghambat dimulainya refleks ini. Aktifasi serabut
afferen vagal juga dapat menyebabkan pelepasan 5HT3 dalam area postrema, yang berlokasi
di dasar ventrikel keempat.dan ini juga dapat merangsang emesis/muntah melalui mekanisme
sentral. Karenanya efek Ondansetron dalam penanganan mual dan muntah yang diinduksi
oleh kemoterapi dan radioterapi sitotoksik ini mungkin disebabkan oleh antagonisme reseptor
5HT3 pada neuron yang berlokasi di sistem saraf pusat maupun di sistem saraf tepi. Pada
percobaan psikomotor, Ondansetron tidak mengganggu tampilan dan juga tidak
menyebabkan sedasi. Ondansetron tidak mengganggu konsentrasi prolaktin dalam plasma.

Indikasi Ondansenteron adalah :

 Untuk untuk menangani mual dan muntah yang diinduksi oleh obat kemoterapi dan
radioterapi sitotoksik.
Pencegahan mual dan muntah pasca operasi.
sebaiknya tidak digunakan pada keadaan mual atau muntah karena sebab lain.

Kontra indikasi

 jangan diberikan kepada penderita yang hipersensitif atau alergi terhadap


Ondansetron.

Efek samping

Efek samping yang biasanya terjadi adalah sakit kepala, sensasi kemerahan atau hangat pada
kepala dan epigastrium.
Efek samping yang jarang terjadi dan biasanya hanya bersifat sementara adalah peningkatan
aminotransferase yang asimtomatik.
Ondansetron juga dapat meningkatkan waktu transit usus besar dan dapat menyebabkan
konstipasi pada beberapa penderita.
Ada beberapa laporan tentang terjadinya reaksi hipersensitif yang cepat.

Kehamilan. Pada hewan percobaan Ondansetron tidak bersifat teratogenik. Belum ada
percobaan yang dilakukan pada manusia. Sama seperti obat-obat lainnya, sebaiknya
Ondansetron tidak digunakan pada kehamilan, terutama pada trimester pertama, kecuali bila
manfaat yang di dapat melebihi dan resiko yang mungkin akan terjadi.
Wanita menyusui. Percobaan pada tikus membuktikan adanya ekskresi Ondansetron pada
ASI. Oleh karena itu, ibu-ibu yang mendapat Ondansetron dianjurkan untuk tidak menyusui.

Kemasan
Ondansetron : 4 mg tablet, dus,2 strip @ 6 tablet.
Ondansetron : 8 mg tablet, dus,1 strip @ 12 tablet.
Ondansetron : 4 mg injeksi, dus, 5 ampul @ 4 ml
Ondansetron : 8 mg injeksi, dus, 5 ampul @ 4 ml.

Simpan pada suhu di bawah 25°C di tempat kering, terlindung dari cahaya, dan jauhkan dari
jangkauan anak-anak.

Ondansetron dapat menimbulkan gangguan irama jantung

Obat ondansetron, salah satu antiemetik pada kemoterapi, terbukti memiliki risiko untuk
gangguan irama jantung. FDA melaporkan bahwa pada kondisi-kondisi tertentu penggunaan
ondansetron harus lebih hati-hati dan perlu dilakukan monitoring dengan memantau
gambaran EKG. Kondisi-kondisi yang disarankan lebih hati-hati dalam menggunakan
ondansetron antara lain pasien dengan bakat gangguan irama jantung yaitu pasien dengan
kongenital long QT syndrome, gangguan mineral misalnya hipokalemia, hipomagnesia, gagal
jantung, bradikardia dan penggunanaan bersama obat-obatan yang mengakibatkan
pemanjangan interval QT.

http://apotik.berkahanugrah.net/produk-1752-ondansentron-8mg-tablet.html

Dari sekian banyak obat anti pilek semuanya mengandung satu unsur utama, yaitu Parasetamol
(paracetamol) atau Asetaminofen. Parasetamol sebenarnya sudah ditemukan sekitar 1880 saat
ilmuwan bekerja mencari penanggulangan malaria, namun penemuan tersebut masih diabaikan.
Pada tahun 1956 perusahaan Inggris Frederick Stearns & Co memproduksi Parasetamol dalam
bentuk merek dagang Panadol (saya baru tahu kalo nama ini merek dagang yang sudah lama), dan
dua tahun kemudian Panadol Elixir diproduksi sebagai obat untuk anak-anak. Di tahun 1963 paten
Parasetamol berakhir dan menjadi nama generik hingga sekarang.

Hingga kini, paracetamol telah berkembang pesat dalam berbagai bentuk sediaan, teblet chewable,
eliksir, drops dan suspensi drops yang dikemas khusus untuk bayi dan anak-anak. Umumnya obat ini
diberikan untuk meringankan gejala demam, nyeri, dan rasa tak nyaman karena masuk angin, flu,
atau karena imunisasi dan pertumbuhan gigi.

Dalam golongan obat analgetik, parasetamol atau nama lainnya asetaminofen memiliki khasiat sama
seperti aspirin atau obat-obat non steroid antiinflamatory drug (NSAID) lainnya. Seperti aspirin,
parasetamol berefek menghambat prostaglandin (mediator nyeri) di otak tetapi sedikit aktivitasnya
sebagai penghambat postaglandin perifer.

Namun, tak seperti obat-obat NSAIDs, obat ini tidak memiliki aktivitas antiinflamasi (antiradang) dan
tidak menyebabkan gangguan saluran cerna maupun efek kardiorenal yang tidak menguntungkan.
Karenanya cukup aman digunakan pada semua golongan usia.
Selama bertahun-tahun digunakan, informasi tentang cara kerja parasetamol dalam tubuh belum
sepenuhnya diketahui dengan jelas hingga pada tahun 2006 dipublikasikan dalam salah satu jurnal
Bertolini A, et. al dengan topik Parasetamaol : New Vistas of An Old Drug, mengenai aksi pereda
nyeri dari parasetamol ini. Ternyata di dalam tubuh efek analgetik dari parasetamol diperantarai
oleh aktivitas tak langsung reseptor canabinoid CB1. Di dalam otak dan sumsum tulang belakang,
parasetamol mengalami reaksi deasetilasi dengan asam arachidonat membentuk N-
arachidonoylfenolamin, komponen yang dikenal sebagai zat endogenous cababinoid. Adanya N-
arachidonoylfenolamin ini meningkatkan kadar canabinoid endogen dalam tubuh, disamping juga
menghambat enzim siklooksigenase yang memproduksi prostaglandin dalam otak. Karena efek
canabino-mimetik inilah terkadang parasetamol digunakan secara berlebihan.

Paracetamol sebernarnya jarang memberi efek samping yang serius apabila digunakan sesuai
dengan petunjuk. Beberapa isu yangmenyebutkan bahwa obat ini terkait dengan asma pada anak-
anak juga belum terbukti secara klinis. Hanya kadang obat ini bisa menimbulkan ruam atau gatal-
gatal pada beberapa orang tertentu. Penggunaan yang berlebihan dan dalam jangka panjang perlu
diwaspadai karena bisa memicu kerusakan hati. Perlu diperhatikan juga beberapa tanda overdosis
dari parasetamol misalnya jika terdapat gejala mual, muntah, lemas dan keringat berlebih.

Beberapa poin penting yang perlu dicermati dalam penggunaan paracetamol :

- Hentikan penggunaan parasetamol bila demam berlangsung lebih dari 3 hari atau nyeri semakin
memburuk lebih dari 10 hari, kecuali atas saran dokter.

- Bagi ibu hamil dan menyusui, konsultsikan dengan dokter jika hendak menggunakan obat ini.

- Orang dengan penyakit gangguan liver sebaiknya tidak menggunakan obat ini.

- Konsultasikan dengan dokter sebelum mengkombinasi parasetamol dengan obat-obat NSAID,


antikoagulan (warfarin), ataupun kontrasepsi oral.

- Penggunaan parasetamol bersama alkohol dpat meningkatkan toksisitas hati.

- Konsumsi vitamin C dosis tinggi dapat meningkatkan kadar parasetamol dalam tubuh.

Paracetamol termasuk aman dikonsumsi tanpa efek candu seperti obat narkotika. Untuk orang
dewasa umumnya dosis dikonsumsi sebesar 500mg, bisa dilihat pada komposisi berbagai merek obat
pilek kandungan Asetaminofen ini antara 400-600mg selain kandungan lain dalam kadar rendah,
tergantung merek obatnya. Meskipun aman jangan mengkonsumsi Parasetamol lebih dari 5 gram
(weh, siapa yang minum 10 tablet lebih?) dalam sehari, apalagi untuk seorang pecandu alkohol,
malah bisa menyebabkan kerusakan liver.
Jadi, jika anda pilek jangan ragu untuk minum obat jenis ini, karena aman dan anda tidak akan
kecanduan, tidak seperti antibiotik yang harus hati-hati (HARUS dimakan habis dosisnya) dan harus
atas resep dokter.

http://kir-31.blogspot.com/2011/03/penjelasan-seputar-paracetamol-dan-cara.html

Parasetamol
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Parasetamol atau asetaminofen adalah


obat analgesik dan antipiretik yang
populer dan digunakan untuk melegakan
sakit kepala, sengal-sengal dan sakit
ringan, serta demam. Digunakan dalam
sebagian besar resep obat analgesik
selesma dan flu. Ia aman dalam dosis
standar, tetapi karena mudah didapati,
overdosis obat baik sengaja atau tidak Asetaminofen (parasetamol)
sengaja sering terjadi.
N-acetyl-para-aminophenol
Berbeda dengan obat analgesik yang lain
seperti aspirin dan ibuprofen, Berat molekul 151.16
parasetamol tak memiliki sifat
antiradang. Jadi parasetamol tidak
Rumus empiris C8H9NO2
tergolong dalam obat jenis NSAID.
Dalam dosis normal, parasetamol tidak
(Metabolisme) Hati (Hepar)
menyakiti permukaan dalam perut atau
mengganggu gumpalan darah, ginjal,
atau duktus arteriosus pada janin. B (AS)
Golongan hamil (farmasi)
A (Aus)
Daftar isi

 1 Asal kata
 2 Sejarah
 3 Penggunaan
o 3.1 Demam
o 3.2 Nyeri
o 3.3 Efek Samping
o 3.4 Kelebihan Dosis
 4 Mekanisme Aksi

Asal kata

Kata asetaminofen dan parasetamol berasal dari singkatan nama kimia bahan tersebut:

Versi Amerika N-asetil-para-aminofenol asetominofen


Versi Inggris para-asetil-amino-fenol parasetamol

Sejarah

Sebelum penemuan asetaminofen, kulit sinkona digunakan sebagai agen antipiretik, selain
digunakan untuk menghasilkan obat antimalaria, kina.

Karena pohon sinkona semakin berkurang pada 1880-an, sumber alternatif mulai dicari.
Terdapat dua agen antipiretik yang dibuat pada 1880-an; asetanilida pada 1886 dan fenasetin
pada 1887. Pada masa ini, parasetamol telah disintesis oleh Harmon Northrop Morse melalui
pengurangan p-nitrofenol bersama timah dalam asam asetat gletser. Biarpun proses ini telah
dijumpai pada tahun 1873, parasetamol tidak digunakan dalam bidang pengobatan hingga dua
dekade setelahnya. Pada 1893, parasetamol telah ditemui di dalam air kencing seseorang
yang mengambil fenasetin, yang memekat kepada hablur campuran berwarna putih dan
berasa pahit. Pada tahun 1899, parasetamol dijumpai sebagai metabolit asetanilida. Namun
penemuan ini tidak dipedulikan pada saat itu.

Pada 1946, Lembaga Studi Analgesik dan Obat-obatan Sedatif telah memberi bantuan kepada
Departemen Kesehatan New York untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan agen
analgesik. Bernard Brodie dan Julius Axelrod telah ditugaskan untuk mengkaji mengapa agen
bukan aspirin dikaitkan dengan adanya methemoglobinemia, sejenis keadaan darah tidak
berbahaya. Di dalam tulisan mereka pada 1948, Brodie dan Axelrod mengaitkan penggunaan
asetanilida dengan methemoglobinemia dan mendapati pengaruh analgesik asetanilida adalah
disebabkan metabolit parasetamol aktif. Mereka membela penggunaan parasetamol karena
memandang bahan kimia ini tidak menghasilkan racun asetanilida.

Penggunaan

KEMASAN

Paracetamol tablet 500 mg.


Paracetamol sirup 125 mg/5 ml.
Paracetamol sirup 160 mg/5 ml.
Paracetamol sirup 250 mg/5 ml.
Paracetamol suppositoria.

DOSIS DAN ATURAN PAKAI Paracetamol Tablet

Dewasa dan anak di atas 12 tahun : 1 tablet, 3 – 4 kali sehari.


Anak-anak 6 – 12 tahun : ½ – 1, tablet 3 – 4 kali sehari.

Paracetamol Sirup 125 mg/5 ml

Anak usia 0 – 1 tahun : ½ sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.


Anak usia 1 – 2 tahun : 1 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
Anak usia 2 – 6 tahun : 1 – 2 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
Anak usia 6 – 9 tahun : 2 – 3 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.
Anak usia 9 – 12 tahun : 3 – 4 sendok takar (5 mL), 3 – 4 kali sehari.

Demam
Parasetamol telah disetujui sebagai penurun demam untuk segala usia. WHO hanya
merekomendasikan penggunaan parasetamol sebagai penurun panas untuk anak-anak jika
suhunya melebihi 38.5 C. Namun efektivitas parasetamol sendiri untuk demam anak masih
dipertanyakan, jika dibandingkan dengan efektivitas ibuprofen.

Nyeri

Parasetamol digunakan untuk meredakan nyeri. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai
analgesik, tetapi aktivitas antiinflamasinya sangat lemah. Parasetamol lebih dapat ditoleransi
oleh pasien yang mempunyai riwayat gangguan pencernaan, seperti pengeluaran asam
lambung berlebih dan pendarahan lambung, dibandingkan dengan aspirin.

Efek Samping

Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi lambung, memengaruhi


koagulasi darah, atau memengaruhi fungsi ginjal. Namun, pada dosis besar (lebih dari 2000
mg per hari) dapat meningkatkan risiko gangguan pencernaan bagian atas. Hingga tahun
2010, parasetamol dipercaya aman untuk digunakan selama masa kehamilan.

Kelebihan Dosis

Penggunaan parasetamol di atas rentang dosis terapi dapat menyebabkan gangguan hati.
Pengobatan toksisitas parasetamol dapat dilakukan dengan cara pemberian asetilsistein (N-
asetil sistein) yang merupakan prekusor glutation, membantu tubuh untuk mencegah
kerusakan hati lebih lanjut.

Mekanisme Aksi

Mekanisme aksi utama dari parasetamol adalah hambatan terhadap enzim siklooksigenase
(COX: cyclooxigenase), dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa obat ini lebih selektif
menghambat COX-2. Meskipun mempunyai aktivitas antipiretik dan analgesik, tetapi
aktivitas antiinflamasinya sangat lemah karena dibatasi beberapa faktor, salah satunya adalah
tingginya kadar peroksida dapat lokasi inflamasi. Hal lain, karena selektivitas hambatannya
pada COX-2, sehingga obat ini tidak menghambat aktivitas tromboksan yang merupakan zat
pembekuan darah.

http://id.wikipedia.org/wiki/Parasetamol

Anda mungkin juga menyukai