Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Fisiologi Pankreas


Pankreas adalah suatu organ yang terdiri dari jaringan eksokrin dan endokrin.
Bagian eksokrin mengeluarkan larutan encer alkalis serta enzim pencernaan melalui
duktus pankreatikus ke dalam lumen saluran cerna. Dia antara sel-sel eksokrin di
seluruh pankreas tersebar kelompok-kelompok atau “pulau” sel endokrin yang dikenal
sebagai pulau (islets) Langerhans. Sel endokrin pankreas yang terbanyak adalah sel β
(beta), tempat sintesis dan sekresi insulin, dan sel α (alfa) yang menghasilkan glukagon.
Sel D (delta), yang lebih jarang adalah tempat sintesis somatostatin (Sherwood L,
2009)

Gambar 2.1 Letak pankreas (Netter, 2006)

6
7

Gambar 2.2 Struktur pankreas (Netter, 2006)


Insulin memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.
Hormon ini menurunkan kadar glukosa, asam lemak dan asam amino darah serta
mendorong penyimpanan bahan-bahan tersebut. Sewaktu molekul nutrien ini masuk ke
darah selama keadaan absorptif, insulin mendorong penyerapan bahan-bahan ini oleh
sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen, trigliserida dan protein.
Insulin melaksanakan banyak fungsinya dengan mempengaruhi transpor nutrien darah
spesifik masuk ke dalam sel atau mengubah aktivitas enzim-enzim yang berperan
dalam jalur-jalur metabolik tertentu (Sherwood L, 2009).
(1) Efek pada karbohidrat
Insulin memiliki empat efek yang menurunkan kadar glukosa darah dan
mendorong penyimpanan karbohidrat:
a. Insulin mempermudah trasnpor glukosa ke dalam sebagian besar sel.
b. Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa di otot
rangka dan hati.
c. Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa.
Dengan menghambat penguraian glikogen menjadi glukosa maka insulin
cenderung menyebabkan penyimpanan karbohidrat dan mengurangi
pengeluaran glukosa oleh hati.
d. Insulin juga menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan menghambat
glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa di hati. Insulin
8

melakukannya dengan mengurangi jumlah asam amino di darah yang tersedia


bagi hati untuk glukoneogenesis dan dengan menghambat enzim-enzim hati
yang diperlukan untuk mengubah asam amino menjadi glukosa.
Karena itu, insulin mengurangi konsentrasi glukosa darah dengan mendorong
penyerapan glukosa oleh sel dari darah untuk digunakan dan disimpan, dan secara
bersamaan menghambat dua mekanisme pembebasan glukosa oleh hati ke dalam
darah (glikogenolisis dan glukoneogenesis) (Sherwood L, 2009).
(2) Efek insulin pada lemak
Insulin memiliki banyak efek untuk menurunkan asam lemak darah dan
mendorong penyimpanan trigliserida (Sherwood L, 2009):
a) Insulin meningkatkan pemasukan asam lemak dari darah ke dalam sel
jaringan lemak.
b) Insulin meningkatkan transpor glukosa ke dalam sel jaringan lemak melalui
rekriutmen GLUT-4. Glukosa berfungsi sebagai prekursor untuk
pembentukan asam lemak dan gliserol, yaitu bahan mentah untuk membentuk
trigliserida.
c) Insulin mendorong reaksi-reaksi kimia yang akhirnya menggunakan turunan
asam lemak dan glukosa untuk sintesis trigliserida.
d) Insulin menghambat lipolisis (penguraian lemak), mengurangi pembebasan
asam lemak dari jaringan lemak ke dalam darah.
Secara kolektif, efek-efek ini cenderung mengeluarkan asam lemak dan
glukosa dari darah dan mendorong penyimpanan keduanya sebagai trigliserida.
(3) Efek insulin pada protein
Insulin menurunkan kadar asam amino darah dan meningkatkan sintesis protein
melalui beberapa efek:
a) Insulin mendorong transpor aktif asam amino dari darah ke dalam otot dan
jaringan lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah dan
menyediakan bahan-bahan untuk membentuk protein di dalam sel.
b) Insulin meningkatkan laju inkorporasi asam amino menjadi protein oleh
perangkat pembentuk protein yang ada di sel.
9

c) Insulin menghambat penguraian protein.


Hasil keseluruhan dari efek-efek ini adalah efek anabolik protein. Karena itu,
insulin esensial bagi pertumbuhan normal (Sherwood L., 2009).
2.2. Anatomi dan Fisiologi Ginjal
2.2.1. Lokasi dan Deskripsi Ginjal
Kedua ginjal berwarna coklat kemerahan dan terletak di belakang peritoneum,
pada dinding posterior abdomen di samping kanan dan kiri columna vetebralis dan
sebagian besar tertutup oleh arcus costalis.

Gambar 2.3 Dinding posterior abdomen, memperlihatkan ren dan ureter in situ.
(Snell, 2007)
10

Ginjal bagian kanan terletak sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal bagian kiri,
karena adanya lobus hepatis dexter yang besar. Setiap ginjal mendapat satu arteri
renalis dan satu vena renalis, yang masing-masing masuk dan keluar ginjal di indentasi
(cekungan) media ginjal yang menyebabkan organ ini berbentuk seperti kacang. Ginjal
bekerja pada plasma yang mengalir melaluinya untuk menghasilkan urin, menghemat
bahan-bahan yang akan dipertahankan di dalam tubuh dan mengeluarkan bahan-bahan
yang tidak diinginkan melalui urin.

Gambar 2.4 Ginjal (Sherwood L, 2009)


Nefron merupakan unit fungsional dasar, yang secara kolektif bertanggung
jawab untuk pembersihan sisa metabolik dan mempertahankan kesetimbangan air dan
elektrolit. Masing-masing ginjal mengandung 1 – 1,5 juta nefron. Glomerulus dari tiap
nefron bermula dalam kortek. Nefron kortikal mempunyai lengkung Henle (Loops of
Henle) pendek yang tetap berada dalam kortek, nefron juxtamedular mempunyai
lengkung henle panjang yang memanjang ke dalam medulla. Lengkung henle yang
lebih panjang membuat kemampuan nefron untuk mereabsorbsi air lebih besar,
sehingga menghasilkan urin yang lebih pekat (Shargel et al., 2005).
11

2.2.2. Fungsi Ginjal


Ginjal melakukan fungsi-fungsi spesifik berikut, yang sebagian besar membantu
mempertahankan stabilitas lingkungan cairan internal (Sherwood L, 2009).
1) Mempertahankan keseimbangan H2O di tubuh
2) Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, terutama melalui
regulasi keseimbangan H2O. Fungsi ini penting untuk mencegah fluks-fluks
osmotik masuk atau keluar sel, yang masing-masing dapat menyebabkan
pembengkakkan atau penciutan sel yang merugikan.
3) Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk natrium
(Na+), klorida (Cl-), kalium (K+), kalsium (Ca2+), ion hidrogen (H+), bikarbonat
(HCO3-), fosfat (PO43-), sulfat (SO42-), dan magnesium (Mg2+). Bahkan fluktuasi
kecil konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam CES dapat berpengaruh besar.
Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K+ CES dapat menyebabkan disfungsi
jantung yang mematikan.
4) Mempertahankan volume plasma yang tepat, yang penting dalam pengaturan
jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran
regulatorik ginjal dalam keseimbangan garam (Na+ dan Cl-) dan H2O.
5) Membantu mempertahankan keseimbangan asam-basa tubuh yang tepat dengan
menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- di urin.
6) Mengeluarkan (mengekskresikan) produk-produk akhir (sisa) metabolisme
tubuh, misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk maka
bahan-bahan sisa ini menjadi racun, terutama bagi otak.
7) Mengeluarkan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makanan, pestisida,
dan bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh.
8) Menghasilkan eritropoietin, suatu hormon yang merangsang produksi sel darah
merah.
9) Menghasilkan renin, suatu hormon enzim yang memicu suatu reaksi berantai
yang penting dalam penghematan garam oleh ginjal.
10) Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
12

2.3. Diabetes Mellitus


2.3.1. Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolisme yang
ditandai dengan hiperglikemia (Dipiro et al., 2015). Hal ini dihubungkan dengan
abnormalitas pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin (sensitivitas) atau keduanya (Triplitt et al., 2008 dalam
Suprapti & Nilamsari, 2013). Penyakit ini merupakan penyakit tidak menular yang
memberikan kontribusi pada morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup yang buruk.
Selain itu, DM juga memberikan beban ekonomi pada sistem perawatan kesehatan
(Kumar et al., 2016)
2.3.2. Epidemiologi Diabetes Mellitus
Menurut WHO, data terbaru menunjukkan sekitar 150 juta orang menderita
diabetes melitus di seluruh dunia dan dapat menjadi dua kali lipat pada tahun 2025.
Sebagian besar peningkatan ini akan terjadi di negara berkembang. Pada tahun 2025
yang akan datang sementara sebagian besar penderita diabetes di negara-negara maju
berada di kelompok usia 65 tahun atau lebih, di negara-negara berkembang sebagian
besar akan berada pada kelompok usia 45-64 tahun. Bahkan jumlah penderita diabetes
mengalami peningkatan dari 108 juta pada tahun 1980 menjadi 422 juta penderita pada
tahun 2014. Selain itu, diabetes adalah penyebab utama kebutaan, gagal ginjal,
serangan jantung, stroke dan amputasi tungkai bawah.
Indonesia adalah salah satu dari 10 negara dengan jumlah penderita diabetes
terbesar (Mihardja et al., 2014). Berdasarkan data IDF (International Diabetes
Federation) tahun 2015 terdapat 10 juta kasus diabetes yang terjadi di Indonesia.
Sementara itu, data Riskesdas 2013 yang diolah oleh Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI mencatat bahwa dari 28.855.895 orang dengan usia >14
tahun di Provinsi Jawa Timur, terdapat sebanyak 605.974 penduduk yang pernah
didiagnosis menderita diabetes oleh dokter dan 115.424 penduduk yang belum pernah
didiagnosis menderita diabetes oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami
gejala sering lapar, sering haus, sering buang air kecil dalam jumlah banyak dan berat
badan menurun.
13

2.3.3. Etiologi Diabetes Mellitus


DM tipe 1 disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas
(Ozougwu et al., 2013). Sebagian besar hal ini disebabkan oleh destruksi sel β pankreas
yang dimediasi oleh sistem imun. Selain itu, kerusakan β pankreas oleh sebab yang
tidak diketahui atau proses idiopatik juga dapat terjadi, namun jarang. Proses autoimun
diperantarai oleh makrofag dan sel limfosit T dengan autoantibodi yang bersirkulasi
terhadap antigen sel β. Pengukuran autoantibodi yang lain adalah insulin autoantibodi,
antibodi terhadap glutamic acid decarboxylase, insulin antobodi terhadap islet tyrosin
phosphate dan lain-lain. Lebih dari 90% pasien yang terdiagnosis DM tipe 1
mempunyai satu dari beberapa antibodi tersebut (Power, 2007; Triplitt et al., 2008
dalam Suprapti & Nilamsari, 2013).
DM tipe 2 disebabkan oleh menurunnya sesitifitas jaringan target terhadap
insulin. Menurunnya sesitivitas jaringan target terhadap insulin sering disebut
resistensi insulin yang dapat disebabkan oleh (Ozougwu et al., 2013): (1)
Obesitas/kegemukan; (2) Glukokortikoid berlebih (cushing’s syndrome atau terapi
steroid); (3) Hormon pertumbuhan berlebih (akromegali); (4) Kehamilan, diabetes
gestasional; (5) Penyakit ovarium polikistik; (6) Lipodistrofi (diperoleh atau genetik,
berhubungan dengan akumulasi lipid dalam hati); (7) Autoantibodi terhadap insulin;
(8) Mutasi dari reseptor insulin; (9) Mutasi peroxisome proliferator’s activator
receptor γ (PPAR γ); (10) Mutasi yang menyebabkan obesitas genetik (misalnya
mutasi reseptor melanocortin); (11) Hemokromatosis (penyakit keturunan yang
menyebabkan akumulasi zat besi jaringan).
Sebagian besar pasien DM tipe 2 menunjukkan obesitas abdomen, yang mana
obesitas abdomen tersebut menyebabkan resistensi insulin. Selain itu, hipertensi,
dislipidemia (peningkatan TG dan penurunan HDL), peningkatan plasminogen
activator inhibitor type 1 (PAI-1) sering menyertai pasien DM tipe 2. Sekumpulan
ketidaknormalan ini disebut insulin resistance syndrome atau metabolic syndrome.
Ketidaknormalan tersebut, menyebabkan pasien DM tipe 2 berada pada risiko yang
tinggi terkena komplikasi mikrovaskular (Triplitt et al., 2008 dalam Suprapti &
Nilamsari, 2013).
14

2.3.4. Klasifikasi Diabetes Mellitus


Menurut Power dan Triplitt dalam Suprapti dan Nilamsari, berdasarkan
etiologinya, diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi empat macam (Suprapti dan
Nilamsari, 2013).
1) DM tipe 1, yaitu adanya destruksi sel beta dan menjurus pada defisiensi insulin
absolut. DM tipe 1 meliputi autoimun (immune mediated) dan idiopatik. Terjadi
5-10% kasus dari sindrom diabetes.
2) DM tipe 2, yaitu penyebabnya faktor kombinasi genetik dan non genetik yang
menyebabkan resistensi insulin dan defisiensi insulin. Gen spesifik penyebab
belum diketahui (dalam tahap penelitian), sedangkan faktor non genetik
penyebabnya meliputi usia, intake kalori berlebih, kegemukan, berat bayi lahir
rendah dan adiposit sentral. Terjadi hampir 90-95% kasus dari sindrom
diabetes.
3) DM tipe spesifik lain, yaitu disebabkan etiologi yang bervariasi dimana etiologi
tersebut telah diketahui, meliputi: (a) defek genetik fungsi sel beta, (b) defek
genetik kerja insulin, (c) penyakit eksokrin pankreas, (d) endokrinopati, (e)
karena obat/zat kimia menyebabkan perubahan pankreas, (f) infeksi, (g) sebab
imunologi yang jarang, dan (h) sindrom genetik lain yang berkaitan dengan
DM. Terjadi hampir 1-2% dari kasus sindroma diabetes.
4) DM Gestasional, yaitu disebabkan adanya resistensi dan defisiensi insulin
relatif yang menyertai proses kehamilan. Terjadi hampir 3-5% kasus pada
kehamilan.
2.3.5. Patofisiologi Diabetes Mellitus
Destruksi autoimun sel beta pankreas menyebabkan defisiensi sekresi insulin
yang mengakibatkan gangguan metabolik yang terkait dengan IDDM. Selain hilangnya
sekresi insulin, fungsi sel α juga tidak normal dan terdapat sekresi glukagon yang
berlebihan pada pasien IDDM. Pada kondisi normal, hiperglikemia menyebabkan
berkurangnya sekresi glukagon, namun pada pasien dengan IDDM sekresi glukagon
tidak ditekan oleh hiperglikemia. Sebagai akibat dari peningkatan kadar glukagon,
memperburuk kerusakan metabolik akibat defisiensi insulin. Contoh yang paling
15

menonjol dari gangguan metabolisme ini adalah pasien dengan IDDM dapat
berkembang cepat menjadi diabetik ketoasidosis dengan tidak adanya pemberian
insulin. Meskipun kekurangan insulin adalah masalah utama dalam IDDM, ada juga
masalah dalam pemberian insulin. Ada beberapa mekanisme biokimia yang
menjelaskan penurunan respon jaringan terhadap insulin. Kekurangan insulin
menyebabkan lipolisis yang tidak terkendali dan peningkatan kadar asam lemak bebas
dalam plasma yang menekan metabolisme glukosa di jaringan perifer seperti otot
skeletal. Hal ini mengganggu penggunaan glukosa dan kekurangan insulin juga
menurunkan tanggapan dari sejumlah gen yang diperlukan jaringan target untuk
memberikan respon secara normal terhadap insulin seperti glukokinase di hati dan
transporter glukosa GLUT 4 dalam jaringan adiposa (Ozougwu et al., 2013).
Pada individu dengan NIDDM, kadar insulin yang beredar dapat dideteksi tidak
seperti pasien dengan IDDM. Berdasarkan oral glucose tolerance test (OGTT),
elemen-elemen penting dari NIDDM dapat dibagi menjadi empat kelompok berbeda:
1. Penderita dengan toleransi glukosa normal
2. Chemical diabetes (disebut gangguan toleransi glukosa)
3. Diabetes dengan hiperglikemia puasa minimal (glukosa plasma puasa kurang
dari 140 mg/dL)
4. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan hiperglikemia puasa yang jelas
(glukosa plasma puasa lebih besar dari 140 mg/dL)
Individu dengan gangguan toleransi glukosa memiliki hiperglikemia meskipun
memiliki kadar insulin plasma paling tinggi, hal ini menunjukkan bahwa terjadi
resistensi terhadap aksi insulin. Dalam perkembangan dari gangguan toleransi glukosa
menuju diabetes mellitus, tingkat penurunan insulin menunjukkan bahwa pasien
dengan NIDDM mengalami penurunan sekresi insulin. Resistensi insulin dan defisiensi
insulin adalah hal umum yang terjadi pada rata-rata pasien NIDDM (Ozougwu et al.,
2013).
16

2.3.6. Diagnosis Diabetes Mellitus


Diagnosis diabetes mellitus terdiri dari empat kriteria:
1) Hemoglobin A1c (HbA1c) ≥ 6,5% (≥ 0,065; ≥ 48 mmol/mol Hb).
2) Glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL (≥ 7 mmol/L)
3) Glukosa darah 2 jam dari 75 g oral glucose tolerance test (OGTT) ≥ 200
mg/dL (≥ 11,1 mmol/L)
4) Gula darah acak ≥ 200 mg/dL (≥ 11,1 mmol/L) dengan gejala
hiperglikemia.
Dengan tidak adanya hiperglikemia yang jelas, kriteria 1 sampai 3 harus
dikonfirmasi dengan tes ulang (Dipiro, et. al., 2015).
2.3.7. Penatalaksanaan Terapi Diabetes Mellitus
Tujuan utama dari manajemen terapi DM adalah untuk mengurangi risiko
komplikasi mikrovaskular makrovaskular, mengurangi gejala, menurunkan angka
kematian dan meningkatkan kualitas hidup. Kadar gula darah mendekati normal akan
menurunkan risiko perkembangan komplikasi mikrovaskular, tetapi manajemen
agresif faktor risiko kardiovaskular tradisional (sebagai contoh: penghentian merokok,
terapi dyslipidemia, kontrol tekanan darah secara intensif dan terapi antiplatelet)
diperlukan untuk menurunkan kemungkinan perkembangan komplikasi makrovaskular
(Triplitt et al., 2008 dalam Suprapti & Nilamsari, 2013).
2.3.7.1. Terapi Non Farmakologi
Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien.. Untuk DM tipe 1,
berfokus pada fisiologis yang mengatur pemberian insulin dengan diet seimbang untuk
mencapai dan mempertahankan berat badan yang sehat. Rencana makan harus
moderate pada karbohidrat dan rendah pada lemak jenuh dengan fokus pada makanan
seimbang. Pasien dengan DM tipe 2 sering membutuhkan pembatasan kalori untuk
meningkatkan berat badan. Latihan aerobik dapat meningkatkan sensitivitas insulin
dan kontrol glikemik dan dapat mengurangi faktor risiko kardiovaskular, kontribusi
untuk penurunan berat badan atau pemeliharaan dan meningkatkan kesehatan (Dipiro
et al., 2015).
17

2.3.7.2. Terapi Farmakologi


2.3.7.2.1. Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM tipe 1. Pada DM
tipe 1, sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas rusak, sehingga tidak lagi dapat
memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita membutuhkan insulin
eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat
berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita DM tipe 2 tidak memerlukan
terapi insulin, namun hampir 30% memerlukan terapi insulin disamping terapi
hipoglikemik oral (Depkes RI., 2005).
2.3.7.2.1.1. Indikasi Pemberian Insulin
Berikut adalah indikasi pemberian insulin menurut Pharmaceutical Care Untuk
Penyakit Diabetes Mellitus.
1. Semua penderita DM tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin
endogen oleh sel-sel beta kelenjar pankreas tidak ada atau hampir tidak ada.
2. Penderita DM tipe 2 tertentu kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin apabila
terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
3. Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark
miokard akut atau stroke.
4. DM Gestasional dan penderita DM yang hamil membutuhkan terapi insulin, apabila
diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
5. Ketoasidosis diabetik.
6. Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma hiperglikemia
hyperosmolar non-ketotik.
7. Penderita DM yang mendapat nutrisis parenteral atau yang memerlukan suplemen
tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energy yang meningkat, secara bertahap
memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah
mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan
kebutuhan insulin.
8. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
9. Kontraindikasi atau alergi terhadap OHO (Obat Hipoglikemik Oral).
18

2.3.7.2.1.2. Penggolongan Insulin


1) Insulin masa kerja singkat (Short Acting), disebut juga insulin regular.
Insulin regular adalah insulin zinc kristal yang larut air yang saat ini dibuat dengan
teknik rekombinan DNA untuk menghasilkan molekul yang identik insulin manusia
(Katzung dalam Suprapti dan Nilamsari., 2013). Insulin regular memiliki onset
relatif lambat ketika diberikan secara subkutan, membutuhkan injeksi 30 menit
sebelum makan untuk mencapai kontrol glukosa postprandial yang optimal dan
mencegah hipoglikemia postmeal yang tertunda (Dipiro et al., 2015)
2) Insulin masa kerja sedang (Intermediate Acting)
Insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn) adalah insulin yang absorpsi dan mula
kerjanya ditunda dengan cara mengkombinasikan insulin dengan protamine
sehingga tidak satupun yang berbentuk “uncomplexed atau isophane”. Setelah
injeksi subkutan, enzim proteolitik jaringan akan mendegradasi protamine sehingga
memudahkan absorpsi insulin. Insulin NPH memiliki mula kerja 2-5 jam dan lama
kerja 4-12 jam. Biasanya insulin ini dicampur dengan insulin lispro, aspart atau
glulisin dan diberikan 2-4 kali sehari. Aksi insulin ini tidak dapat diprediksi, dan
variabilitas absorpsi lebih dari 50%. Penggunaan klinis insulin ini mengalami
penurunan karena farmakokinetiknya yang tidak terperediksi dan disamping itu
karena ketersediaan insulin lama kerja panjang yang lebih terperediksi dan
mendekati aksi insulin endogen (Katzung dalam Suprapti dan Nilamsari., 2013).
3) Insulin Kerja Cepat (Rapid Acting)
Terdapat tiga jenis insulin kerja cepat yaitu insulin lispro, insulin aspart dan insulin
glulisin. Insulin kerja cepat ini lebih menyerupai insulin prandial yang dikeluarkan
secara fisiologis dibandingkan insulin regular, karena mula kerjanya yang cepat dan
waktu puncaknya yang cepat menyerupai insulin prandial. Insulin kerja cepat juga
mempunyai keuntungan tambahan yaitu dapat disuntikkan segera sebelum makan
tanpa memperburuk kontrol glukosa. Lama kerja insulin ini jarang lebih dari 4-5
jam, dengan demikian menurunkan risiko hipeglikemi (Katzung dalam Suprapti dan
Nilamsari., 2013).
19

4) Insulin masa kerja panjang (Long Acting)


Insulin yang termasuk long acting adalah insulin glargine dan detemir. Insulin
glargine adalah insulin analog kerja panjang yang tidak mempunyai puncak
(peakless) dan larut. Produk ini didesain untuk menghasilkan insulin yang
reprodusibel dan nyaman.Sedangkan insulin detemir merupakan analog insulin
kerja panjang yang dikembangkan akhir-akhir ini. Asam amino treonin dihilangkan
dari posisi B30 dan asam miristat dipasangkan pada posisi B29 lisisn. Modifikasi
ini memperpanjang ketersediaan insulin dengan meningkatkan kemampuan
agregasi dan pengikatan oleh albumin secara reversibel. (Katzung dalam Suprapti
dan Nilamsari., 2013 dan Dipiro et al., 2015).
5) Insulin Campuran
Oleh karena insulin dengan masa kerja menengah memerlukan waktu beberapa jam
untuk mencapai kadar terapeutik yang memadai, penggunaannya pada diabetes
memerlukan suplemen insulin kerja cepat atau insulin kerja panjang. Insulin lispro,
aspart dan glulisin dapat dicampurkan segera sebelum injeksi dengan injeksi NPH
tanpa memengaruhi kecepatan absorpsinya. Namun sediaan premix diketahui tidak
stabil. Untuk mengatasi hal tersebut, saat ini dikembangkan insulin kerja menengah
dengan cara mencampur insulin lispro dengan protamine, begitu juga dengan insulin
aspart. Insulin kerja menengah ini disebut NPL (Neutral Protamine Lispro) dan
NPA (Neutral Protamine Aspart) dan mempunyai lama kerja yang sama dengan
insulin NPH. Kedua insulin ini mempunyai keuntungan yaitu dapat diformulasi
sebagai premix/campuran yaitu kombinasi NPL dengan insulin lispro kombinasi
NPA dengan insulin aspart. Kedua campuran tersebut telah menunjukkan keamanan
dan efektifitasnya. FDA telah menyetujui kombinasi NPL dengan insulin lispro
50%/50% dan 75%/25%, campuran kombinasi NPA dengan insulinaspart
70%/30%. Insulin detemir dan insulin glargine tidak boleh dicampur baik segera
(akut) sebelum injeksi maupun dalam bentuk premix dengan insulin lain (Katzung
dalam Suprapti dan Nilamsari., 2013).
20

2.3.7.2.1.3. Farmakokinetik Insulin Dengan Pemberian Secara Subkutan


Tabel II.1 Farmakokinetik Insulin Subkutan

Waktu Durasi Lama


Tipe Penampakan
Onset Puncak (Lama Kerja
Insulin fisik
(jam) Kerja) Maksimal
Insulin Kerja Cepat
Aspart 15 – 30 menit 1-2 3–5 5–6 Jernih
Lispro 15 – 30 menit 1-2 3–4 4–6 Jernih
Glulisine 15 – 30 menit 1-2 3-4 5-6 Jernih
Insulin Kerja Pendek
Reguler 30 – 60 menit 2-3 3-6 6-8 Jernih
Insulin Kerja Menengah
NPH 2 – 4 jam 4-6 8 - 12 14 - 18 Berkabut
Insulin Kerja Panjang
Detemir 2 jam 6-9 14 - 24 24 Jernih
Glargine 4 – 5 jam - 22 - 24 24 Jernih
(Dipiro et al., 2015)

2.3.7.2.2. Terapi Obat Hipoglikemik Oral


Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan
pasien DM tipe 2. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan
keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi
pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu
jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan rejimen
hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes
(tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-
penyakit lain dan komplikasi yang ada (Depkes RI., 2005).
Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi
menjadi 3 golongan, yaitu:
a) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik
oral golongan sulfoniurea dan glinida (metilglinida dan turunan fenilalanin).
b) Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel
terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan
21

tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin


secara lebih efektif.
c) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor alfa-glukosidase yang
bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk
mengendalikan hiperglikemia postprandial. Disebut juga “starch-blocker”.
Tabel II.2. Golongan, Contoh senyawa dan mekanisme Obat Hipoglikemik Oral
Golongan Contoh Senyawa Mekanisme kerja
Gliburida/ Merangsang sekresi insulin di kelenjar
Glibenclamida pankreas, sehingga hanya efektif pada
Glipizida penderita diabetes yang sel-sel beta
Sulfonilurea
Glikazida pankreasnya masih berfungsi dengan
Glimepirida baik.
Glikuidon
Merangsang sekresi insulin kelenjar
Meglitinida Repaglinide
pancreas
Meningkatkan kecepatan sintesis insulin
Turunan fenilalanin Nateglinide
oleh pancreas
Bekerja langsung pada hati (hepar),
menurunkan produksi glukosa hati. Tidak
Biguanida Metformin
merangsang sekresi insulin oleh kelenjar
pancreas
Rosiglitazone Meningkatkan kepekaan tubuh terhadap
Troglitazone insulin. Berikatan dengan PPARy
(peroxisome proliferator activated
Tiazolidindion
receptror-gamma) di otot, jaringan lemak
Pioglitazone
dan hati untuk menurunkan resistensi
insulin
Acarbose Menghambat kerja enzim-enzim
pencernaan yang mencerna karbohidrat,
Inhibitor glukosidase
Miglitol sehingga memperlambat absorpsi
glukosa ke dalam darah.
(Depkes RI., 2005)
Terdapat pula beberapa rekomendasi terapi berdasarkan bukti (evidence based)
oleh ADA (American Diabetes Association) (tabel II.3 dan tabel II.4).
22

1) Diabetes mellitus tipe 1


Tabel II.3 Rekomendasi terapi untuk DM Tipe 1
Evedence
Rekomendasi Terapi
Level
Kebanyakan orang dengan diabetes tipe 1 harus ditangani dengan injeksi
insulin multiple-dose (tiga atau empat injeksi per hari untuk insulin basal A
dan prandial) atau infusi insulin subkutan yang kontinu
Pertimbangkan untuk mengedukasi individu dengan DM tipe 1 dalam hal
menyesuaikan dosis insulin prandial untuk asupan karbohidrat, glukosa E
darah pra-makan dan antisipasi aktivitas.
Kebanyakan individu dengan DM tipe 1 harus menggunakan insulin
A
analog untuk mengurangi risiko hipoglikemia
Individu yang telah berhasil menggunakan infusi insulin subkutan yang
E
kontinu harus terus menggunakannya hingga usia 65 tahun
American Diabetes Association. 2016
2) Diabetes mellitus tipe 2
Tabel II.4 Rekomendasi terapi untuk DM Tipe 2
Evedence
Rekomendasi Terapi
Level
Metformin, jika tidak terdapat kontraindikasi dan jika ditoleransi, adalah
A
agen farmakologis awal yang lebih disukai untuk DM tipe 2
Pertimbangkan memulai terapi insulin (dengan atau tanpa agen tambahan)
pada pasien dengan DM tipe 2 yang baru didiagnosis dan memiliki gejala E
yang jelas dan/atau terjadi peningkatan kadar glukosa darah atau A1c
Jika monoterapi insulin pada dosis toleransi maksimum tidak mencapai atau
mempertahankan target A1c lebih dari 3 bulan, maka selanjutnya tambahkan
A
second oral agent, glucagon-like peptide 1 receptor agonist atau insulin
basal.
Pendekatan yang berpusat pada pasien (patient-centered) harus digunakan
sebagai pedoman pemilihan agen farmakologis. Pertimbangan termasuk
E
efikasi, biaya, efek samping potensial, berat badan, morbiditas, resiko
hipoglikemia dan preferensi pasien
Untuk pasien dengan DM tipe 2 yang tidak mencapai tujuan glikemik,
B
terapi insulin tidak seharusnya ditunda
American Diabetes Association. 2016
23

2.3.8. Komplikasi Diabetes Mellitus


Pada penyakit diabetes mellitus terdapat dua komplikasi yakni komplikasi
mikrovaskular dan komplikasi makrovaskular. Komplikasi makrovaskular meliputi
penyakit jantung koroner, stroke, dan peripheral vascular disease. Sedangkan
komplikasi mikrovaskular meliputi retinopati, neuropati dan nefropati (Dipiro, et. al.,
2015).
2.4. Nefropati Diabetik
2.4.1. Definisi Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik atau diabetic kidney disease (DKD) adalah sindrom yang
ditandai oleh adanya ekskresi albumin dalam urin dalam jumlah patologis, diabetik lesi
glomerulus, dan menurunnya laju filtrasi glomerulus (GFR) pada penderita diabetes
(Lim, 2014). Nefropati diabetik juga dikenal sebagai sindrom Kimmelstiel-Wilson atau
nodular diabetic lomerulosclerosis atau intercapillary glomerulonephritis. Nefropati
diabetik yang ditandai dengan albuminuria persisten adalah penyebab utama penyakit
ginjal stadium akhir (Pathak dan Dass, 2015).
2.4.2. Faktor Resiko Nefropati Diabetik
Menurut penelitian, beberapa faktor resiko pada nefropati diabetik yang
signifikan yakni: jenis kelamin laki-laki, penurunan literasi, diabetes durasi panjang,
riwayat keluarga nefropati diabetik dan kontrol glikemik yang buruk (HbA1c tinggi)
(Alrawahi et al., 2012). Sementara itu, penelitian lain yang dilakukan pada populasi
perkotaan di India Selatan menunjukkan bahwa durasi/lama menderita diabetes, A1c
dan tekanan darah sistolik merupakan faktor risiko umum pada nefropati dan
mikroalbuminuria (Unnikrishnan et al., 2007).
2.4.3. Tingkatan Nefropati Diabetik
Pada jurnal The Stages in Diabetic Renal Disease. With Emphasis on the Stage
of Incipient Diabetic Nephropathy, Mogensen et al menyebutkan ada lima tingkatan
dalam perkembangan perubahan ginjal pada diabetes. Tingkatan tersebut kemudian
dibahas kembali oleh Roshan dan Stanton (2013) sebagai berikut:
(1) Tingkat 1 Hiperfiltrasi Glomerulus. Observasi paling awal pada
perkembangan nefropati adalah peningkatan GFR hingga 50%. Pada tahap ini,
24

hiperfiltrasi glomerulus tidak berdampak pada berkembangnya


mikroalbuminuria pada diabetes tipe 1 selama hampir 15 tahun follow up.
(2) Tingkat 2 Penebalan basement membrane (BM) kapiler glomerulus
ditemukan secara histologi.
(3) Tingkat 3 Perkembangan mikroalbuminuria (20-200 mcg/min atau 30 – 300
mg/24 jam, tidak terdeteksi dengan dipstik urin rutin)
(4) Tingkat 4 Nefropati diabetik dan makroalbuminuria (>200 mcg/min atau >300
mg/24 jam, terdeteksi dengan dipstik urin rutin).
(5) Tingkat 5 Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) (biasanya 25-30 tahun setelah
didiagnosis) dengan penutupan glomerulus dan penurunan resultan
proteinuria)
2.4.4. Patofisiologi Nefropati Diabetik
Patogenesis dimulai dengan penyakit pembuluh darah kecil. Patofisiologi
kompleks, melibatkan glikosilasi protein, secara hormonal dipengaruhi pelepasan
sitokin (misalnya, mengubah growth factor-beta), deposisi matriks mesangial dan
perubahan hemodinamik glomerulus. Hiperfiltrasi, kelainan fungsional awal, hanya
prediktor relatif untuk perkembangan gagal ginjal. Hiperglikemia menyebabkan
glikosilasi protein glomerulus, yang mungkin bertanggung jawab untuk poliferasi sel
mesangial dan ekspansi matriks dan kerusakan endotel vaskular. Membran basal
(basement membrane) menjadi menebal (Jaipaul, 2016).
Nefropati diabetik dimulai dengan hiperfiltrasi glomerulus (GFR meningkat);
GFR umumnya dengan cedera ginjal awal dan hipertensi ringan, yang memburuk dari
waktu ke waktu. Selanjutnya terjadi mikroalbuminuria, ekskresi albumin dalam kisaran
30 – 300 mg albumin/hari. Albumin urin pada konsentrasi tersebut disebut
mikroalbuminuria karena deteksi proteinuria dengan dipstick pada urinalisis rutin
biasanya > 300 mg albumin/hari. Mikroalbuminuria berkembang menjadi
makroalbuminuria (proteinuria > 300 mg/hari), biasanya lebih dari setahun. Sindrom
nefrotik (proteinuria ≥ 3 g/hari) mendahului penyakit ginjal stadium akhir, rata-rata,
sekitar 3 sampai 5 tahun, tapi waktu tersebut juga sangat bervariasi (Jaipaul, 2016).
Patofisiologi lebih detail dibahas oleh Lim dan Toth-Manikowski & Atta melibatkan
25

faktor hemodinamik, faktor metabolik, faktor inflamasi, dan faktor-faktor lain.


Korelasi antar kedua jurnal dapat dilihat pada gambar 2.6 dan 2.7 (Lim., 2014 dan Toth-
Manikowski & Atta., 2015).
2.4.4.1. Jalur Hemodinamik
Aktivasi RAS menyebabkan peningkatan kadar angiotensin II yang kemudian
menyebabkan eferen vasokonstriksi arteri. Peningkatan kadar angiotensin II berkaitan
dengan peningkatan albuminuria dan nefropati baik pada manusia dan tikus. ACEI dan
ARB memiliki track record panjang dalam mengurangi dua kali lipat kadar kreatinin,
albuminuria, dan pengembangan menjadi nefropati, ESRD, dan kematian.
Vasokonstriktor kuat lain dari arteriol eferen adalah endotelin-1 (ET-1). ET-1 memiliki
berbagai fungsi fisiologis di dalam ginjal yang meniru RAS termasuk mediasi
vasokonstriksi dan karenanya memainkan peran pada hipertensi, disfungsi endotel,
peradangan, dan fibrosis. Peningkatan ET-1 dan urotensin II juga berkontribusi pada
terjadinya vasokonstriksi. Selain itu, peningkatan ET-1 mengaktifkan kaskade sinyal
yang mengarah ke mesangial hipertrofi sel dan proliferasi serta matriks ekstraselular
produksi (ECM). Hal ini juga mengaktifkan reseptor yang secara langsung
meningkatkan permeabilitas glomerulus, sehingga menyebabkan memburuknya
albuminuria dan perkembangan nefropati diabetik (Lim., 2014 dan Toth-Manikowski
& Atta., 2015).
2.4.4.2. Jalur Metabolik
Jalur ini pertama kali dijelaskan detail oleh Brownlee di Nature pada tahun 2001.
Hiperglikemia menyebabkan peningkatan glikolisis yang kemudian meregulasi empat
entitas yang berbeda: jalur poliol, jalur hexosamine, produksi advanced glycation end
products (AGEs), dan aktivasi protein kinase C (PKC). Glikolisis adalah jalur biokimia
di mana glukosa dipecah oleh sel untuk membuat energi. glukosa intraseluler pertama
dipecah menjadi glukosa-6-fosfat dan kemudian fruktosa-6-fosfat. Kemudian
gliseraldehida-3-fosfat menjadi 1,3-difosfogliserat dengan bantuan dehidrogenase
gliseraldehida-3-fosfat (GADPH) (Gambar 2.5). Hal ini penting karena GADPH
dihambat oleh kelebihan superoksida yang dihasilkan oleh rantai transpor elektron
yang terjadi pada pengaturan hiperglikemia. Penghambatan GADPH mencegah
26

glikolisis dan menyebabkan peningkatan regulasi komponen hulu glikolisis, khususnya


glukosa, glukosa-6-fosfat, dan fruktosa-6-fosfat (Gambar 2.6) (Toth-Manikowski &
Atta., 2015).

Gambar 2.5 Glikolisis pada kondisi normoglikemia (Toth-Manikowski & Atta.,


2015)

2.4.4.2.1. Jalur Polyol (Polyol Pathway)


Jalur poliol diregulasi sebagai akibat dari kelebihan hiperglikemia. Glukosa
pertama dikonversi menjadi sorbitol melalui enzim NADPH-dependent, reduktase
aldosa; sorbitol kemudian diubah menjadi fruktosa menggunakan NAD+ sebagai
kofaktor (Gambar 2.6). Penurunan glukosa menjadi sorbitol menyebabkan tingkat
NADPH intraseluler menurun, kofaktor yang terlibat dalam regenerasi antioksidan,
menurunkan glutation (GSH). Penurunan tingkat GSH dianggap berkontribusi untuk
peningkatan stres oksidatif intraseluler yang pada gilirannya menyebabkan
peningkatan stres sel dan apoptosis. Selain itu, oksidasi sorbitol menjadi fruktosa
menyebabkan peningkatan rasio NADH intraseluler : NAD + yang juga menghambat
aktivitas GADPH, sehingga menyebarkan penghambatan glikolisis. Peningkatan rasio
NADH : NAD+ juga meningkatkan pembentukan methylglyoxal dan diasilgliserol,
27

prekursor dari AGE dan jalur PKC yang dibahas pada bagian selanjutnya. Akhirnya,
produk akhir dari jalur poliol, fruktosa, juga baru-baru muncul sebagai nephrotoxin
potensial. Dalam murine model diabetes, produksi endogen dari fruktosa melalui jalur
poliol menyebabkan peningkatan proteinuria, mengurangi GFR, dan meningkatkan
cedera glomerulus dan tubulus proksimal bila dibandingkan dengan tikus dengan
tingkat fruktosa endogen yang lebih rendah (Toth-Manikowski & Atta., 2015).

Gambar 2.6 Reaksi pada kondisi hiperglikemia (Toth-Manikowski & Atta., 2015)

2.4.4.2.2. Jalur Hexosamine (Hexosamine Pathway)


Jalur hexosamine berasal dari langkah ketiga dari glikolisis, fruktosa-6-fosfat,
yang diubah menjadi glukosamin-6-fosfat oleh enzim glutamin: amidotransferase
fruktosa-6-fosfat (GFAT) (Gambar 2.6). Glukosamin-6-fosfat kemudian digunakan
sebagai substrat untuk meningkatkan transkripsi inflammatory cytokines tumor
necrosis factor-𝛼 (TNF-α) dan mengubah faktor pertumbuhan-β1 (TGF-β1).
Peningkatan kadar TGF-β1 diketahui dapat mendorong hipertrofi sel ginjal dan
28

meningkatkan komponen matriks mesangial, dua ciri patologis dari DKD, sedangkan
TNF-α merupakan sitokin inflamasi (Toth-Manikowski & Atta., 2015).

Gambar 2.7 Gambaran jalur patologis pada nefropati diabetik (Lim., 2014)

2.4.4.2.3. Advanced Glycation End Products (AGEs)


Advanced glycation end products (AGEs) adalah hasil dari glikasi protein
ireversibel yang terjadi ketika terdapat hiperglikemia intraseluler. Tiga jalur utama
yang bertanggung jawab untuk produksi prekursor AGE: oksidasi glukosa untuk
membuat glyoxal, degradasi produk Amadori, dan glikolisis menyimpang yang
melangsir gliseraldehida-3-fosfat menjadi pembentuk methylglyoxal (Gambar 2.6).
Setelah terbentuk, AGEs merusak sel dengan memodifikasi atau merusak fungsi dari
kedua protein intraseluler dan ekstraseluler. Sebagai contoh, AGE memodifikasi baik
laminin dan kolagen tipe IV dan ditunjukkan untuk meningkatkan permeabilitas
glomerular basement membrane (GBM). Selain itu peningkatan konsentrasi AGE
29

diketahui secara dosis-dependen meningkatkan ekspresi fibronectin dan kolagen tipe I


dan IV yang diduga menyebabkan peningkatan kepadatan dan perluasan matriks
ekstraselular (Toth-Manikowski & Atta., 2015).
2.4.4.2.4. Jalur PKC (PKC Pathway)
Jalur PKC, seperti jalur AGE, berasal dari langkah keempat dalam glikolisis
(Gambar 2.6). Hiperglikemia mendorong konversi gliseraldehida-3-fosfat menjadi
dihidroksiaseton fosfat (DHAP) dan akhirnya diasilgliserol (DAG) yang merupakan
kofaktor untuk aktivasi PKC. Pada kondisi adanya hiperglikemia, DAG secara kronis
diregulasi dan memberikan kontribusi pada aktivasi PKC berkelanjutan. PKC diduga
berkontribusi DKD dalam berbagai cara. Hal ini meningkatkan level aktivitas
prostaglandin E2 dan oksida nitrat menyebabkan vasodilatasi dari arteriol aferen dan
pembesaran tindakan angiotensin II pada arteriol eferen; tindakan ini secara kolektif
berkontribusi pada hiperfiltrasi glomerulus. Pada stadium akhir dari nefropati diabetik,
ada keadaan defisiensi progresif pada nitric oxide yang telah dikaitkan dengan
proteinuria berat, penurunan fungsi ginjal, dan hipertensi. PKC juga menengahi VEGF
yang, seperti disebutkan di atas, terkait dengan aliran darah intrarenal abnormal dan
permeabilitas kapiler dan diduga berperan dalam pengembangan mikroalbuminuria.
Aktivasi PKC juga meningkatkan kadar CTGF dan TGF-β serta produksi fibronektin
dan kolagen tipe IV dan memberikan kontribusi untuk penebalan GBM dan akumulasi
ECM (Toth-Manikowski & Atta., 2015).
2.4.4.3. Jalur Inflamasi
Jalur inflamasi mendukung gagasan bahwa DKD bukan semata-mata hasil dari
hemodinamik yang tidak terkontrol dan hiperglikemia tetapi juga merupakan
konsekuensi dari sistem kekebalan tubuh bawaan yang diaktifkan secara kronis dan
keadaan low-grade inflammatory pada pasien dengan diabetes. NF-kB merupakan
faktor transkripsi yang mengatur ekspresi beberapa gen yang berhubungan dengan
peradangan, kekebalan, apoptosis, dan chemoattractant protein-1, antara lain, dan
melokalisasi ke glomerulus, interstitial, dan sel-sel epitel tubular di ginjal manusia.
kondisi hiperglikemik diketahui meningkatkan ekspresi NF-kB. Pada DKD, aktivasi
NF-kB berkorelasi dengan proteinuria dan infiltrasi sel interstitial. Proteinuria
30

diketahui lebih merangsang NF-kB dan memberikan kontribusi untuk proteinuria


persisten secara siklik. Janus kinase/sinyal transduser dan aktivator transkripsi (JAK /
STAT) signaling pathway adalah cara untuk sinyal kimia di luar sel yang akan
disampaikan kepada promotor gen pada tingkat DNA. JAK2 hadir dalam jaringan
ginjal dan pembuluh darah. Hal ini diaktifkan oleh ROS yang disebabkan oleh tahap-
tahap hiperglikemik dan berhubungan dengan hipertrofi sel mesangial. Berthier et al.
menunjukkan bahwa tingkat JAK2 mRNA berbanding terbalik dengan perkiraan laju
filtrasi glomerulus (eGFR) pada pasien dengan nefropati diabetik. Sitokin inflamasi
seperti TNF-α dan interleukin 1, 6, dan 18 (IL-1, IL-6, dan IL-18, resp.) disajikan dalam
proporsi yang lebih besar pada model ginjal diabetes jika dibandingkan dengan kontrol
nondiabetes. Dalam model tikus diabetes, peningkatan ekspresi TNF-α dan IL-6 juga
dikaitkan dengan peningkatan berat badan ginjal dan ekskresi albumin urin. Pada
pasien dengan DKD, serum IL-18 dan TNF-α tingkat yang lebih tinggi pada pasien
dengan diabetes dibandingkan kontrol nondiabetes. IL-18 dan tingkat TNF-α juga
berkorelasi positif dengan tingkat albuminuria pada pasien dengan diabetes. Pada
tingkat sel, sitokin ini diyakini akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sel
endotel, berkontribusi hypercellularity glomerulus dan GBM penebalan, menginduksi
apoptosis sel endotel, dan bisa langsung racun bagi sel-sel ginjal (Toth-Manikowski &
Atta., 2015).
2.4.5. Penatalaksanaan Terapi Nefropati Diabetik
Pengobatan untuk menunda perkembangan nefropati diabetik melibatkan kontrol
yang adekuat pada kelainan metabolik dan hemodinamik. Seara praktis, ini berarti
menurunkan glukosa darah yang memadai dan kontrol hipertensi. Adapun treatment
untuk nefropati diabetik dibagi ke dalam kelompok pembahasan sebagai berikut (Lim.,
2014) :
2.4.5.1. Kontrol Glikemik
Kontrol glikemik yang baik efektif dalam menurunkan komplikasi
mikrovaskular dari diabetes. Suatu studi DCCT yang mencakup 1,365 pasien DM tipe
1 dan normoalbuminuria menunjukkan bahwa setelah hampir 10 tahun, pasien dengan
kontrol glukosa intensif memiliki insiden yang lebih rendah untuk terjadinya
31

mikroalbuminuria dan makroalbuminuria. Penelitian lain pada penderita dengan


diagnose awal DM tipe 2 yang mendapatkan perawatan glukosa intensif cenderung
tidak berkembang menjadi gagal ginjal. Pada penelitian yang membandingkan HbA1C
pada pasien DM tipe 2, menunjukkan pasien dengan terapi intensif (mean HbA1C ≤
6,5%) juga menurunkan insiden terjadinya nefropati dibandingkan dengan kontrol
standar (mean HbA1C 7,3%) (Lim, 2014).
2.4.5.2. Antihipertensi
Pada sebuah penelitian rertrospektif, dinyatakan bahwa ARB (Losartan dan
Telmisartan) lebih efektif dalam menunda perkembangan nefropati diabetik dan juga
dalam memberikan efek renoprotektif jika dibandingkan dengan ACE inhibitor
(Ramipril). Selain itu, ARB juga menurunkan tekanan darah sistolik dan albuminuria
bila dibandingkan dengan ACE inhibitor (Ramipril) (Pathak dan Dass, 2015).
2.4.5.2.1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
ACEI memiliki track record yang kuat dalam memperlambat perkembangan penyakit
pada DM tipe 1 dan DM tipe 2. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ACEI adalah
Benazepril, Captopril, Enalapril, Fosinopril, Lisinopril, Moexipril, Perindopril,
Quinapril dan Ramipril. Pada tahun 1990-an, captopril menunjukkan kemampuan
inhibitor ACE dalam mengurangi perkembangan albuminuria dan penurunan fungsi
ginjal pada penderita DM tipe 1, independen dari penurunan tekanan darah. Pada
sebuah Collaborative Study Group trial pada 409 pasien DM tipe 1, terapi captopril
mengurangi risiko dua kali lipat dari kreatinin serum sebesar 48% dan mengurangi hasil
gabungan dari kematian, dialysis dan transplantasi sebesar 50% dibandingkan dengan
placebo. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa remisi berkelanjutan nephrotic-range
proteinuria adalah mungkin dengan ACEI (Lim, 2014).
2.4.5.2.2. Angiotensin Receptor Blocker
Obat-obat yang termasuk dalam golongan ARB adalah Candesartan, Eprosartan,
Irbesartan, Losartan, Omesartan, Telmisartan dan Valsartan. Dalam percobaan IDNT,
1,715 pasien DM tipe 2 dengan hipertensi dan nefropati secara random diberikan terapi
irbesartan, amlodipine atau placebo. Irbesartan menurunkan resiko ESRD atau
doubling serum kreatinin dengan 20% - 30% dibandingkan dengan amlodipine atau
32

placebo. Pada percobaan lain, losartan menurunkan resiko ESRD atau doubling serum
kreatinin 25% - 28% dibandingkan dengan placebo. Seperti studi penggunaan captopril
pada DM tipe 1, penurunan level albuminuria dihubungkan dengan penurunan resiko
ESRD. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa olmesartan lebih efektif dalam
menunda onset mikroalbuminuria dibandingkan dengan placebo. Namun, olmesartan
hanya sedikit menurunkan tekanan darah dan terdapat tingkat yang lebih tinggi dari
kejadian kardiovaskular fatal pada pasien dengan riwayat penyakit arteri koroner (Lim,
2014).
2.4.5.3. Anti-lipid Agent
Pada sebuah penelitian pada pasien DM tipe 2, level apolipoprotein B dan
kolesterol HDL adalah faktor risiko independen untuk progresi yang mengarah ke
nefropati dalam 7 tahun follow up. Menurut data Joslin Diabetes Center dari 439 DM
tipe 1 juga menunjukkan bahwa kadar kolesterol tinggi (>220 mg/dL) dikaitkan dengan
perkembangan nefropati diabetik. Saat ini, obat golongan statin sudah
direkomendasikan untuk nefropati diabetik di atas usia 40 tahun, terlepas dari tingkat
lipid dasar mereka. Hal ini terutama untuk kepentingan kardiovaskular daripada
penyakit ginjal (Lim, 2014).
2.4.5.4. Transplantasi
Transplantasi pankreas / ginjal simultan adalah treatment yang efektif untuk
penderita DM tipe 1 dengan ESRD, dengan sebagian besar mencapai insulin
independence dan mencegah kekambuhan nefropati diabetik pada allograft. Pada
pasien dengan CKD setelah 10 tahun transplantasi pankreas saja, pasien dengan
normoglikemia berkelanjutan menunjukkan penurunan albuminuria dan pembalikan
lesi nefropati diabetik pada biopsi serial, termasuk regresi penebalan membran basal
glomerulus dan deposisi matriks mesangial. Beberapa manfaat tersebut dapat
diimbangi dengan fibrosis interstisial fibrosis dan arteriol hyalinosis karena
penggunaan calcineurin inhibitor (misalnya, siklosporin). Namun, perlu dicatat bahwa
remodeling turbulointerstitial pada 10 tahun telah diperbaiki beberapa deposisi kolagen
interstitial dicatat pada 5 tahun, meskipun perubahan vaskular tidak terpengaruh (Lim,
2014).
33

Selain itu, terdapat beberapa rekomendasi terapi berdasarkan bukti (evidence


based) oleh ADA (American Diabetes Association) sebagai berikut:
Tabel II.5 Rekomendasi terapi untuk nefropati diabetik

Evedence
Rekomendasi Terapi
Level
Optimalkan kontrol glukosa untuk mengurangi risiko atau memperlambat
A
perkembangan penyakit Diabetic Kidney Disease
Optimalkan kontrol tekanan darah (< 140/90 mmHg) untuk mengurangi
A
risiko atau memperlambat perkembangan penyakit Diabetic Kidney Disease
Untuk pasien dengan Diabetic Kidney Disease nondialysis-dependent,
asupan protein harus 0,8 g/kg berat badan per hari. Untuk pasien yang
A
menjalani dialysis, asupan protein dengan tingkat yang lebih tinggi harus
dipertimbangkan.
Baik ACE inhibitor atau ARB direkomendasikan untuk terapi pada pasien
yang tidak hamil dengan diabetes dan peningkatan ekskresi albumin dalam B
urin (30-299 mg/hari)
Baik ACE inhibitor atau ARB sangat direkomendasikan untuk pasien
dengan ekskresi albumin dalam urin ≥ 300 mg/hari dan/atau taksiran GFR A
2
< 60 mL/min/1,73 m
Monitoring secara periodik serum kreatinin dan kadar kalium untuk
mengetahui adanya peningkatan kreatinin atau perubahan pada kadar E
kalium ketika ACE inhibitor, ARB atau diuretik digunakan.
Monitoring secara berkelanjutan rasio albumin-kreatinin urin pada pasien
dengan albuminuria yang diterapi dengan ACE inhibitor atau ARB adalah
E
hal yang rasional untuk menilai respon terhadap terapi dan perkembangan
penyakit Diabetic Kidney Disease
ACE inhibitor dan ARB tidak direkomendasikan untuk prevensi primer
pada DKD pada pasien dengan diabetes yang memiliki tekanan darah
B
normal, rasio albumin kreatini normal (< 30 mg/g) dan taksiran GFR yang
normal.
Ketika taksiran GFR < 60 mL/min/1,73 m2, mengevaluasi dan mengelola
E
potensi komplikasi DKD
Pasien harus dirujuk untuk evaluasi untuk terapi renal replacement jika
A
mereka memiliki taksiran GFR < 30 mL/min/1,73 m2.
Segera merujuk ke dokter berpengalaman dalam perawatan penyakit ginjal
untuk ketidakpastian tentang etiologi penyakit ginjal, masalah manajemen B
yang sulit dan perkembangan penyakit ginjal yang cepat
(American Diabetes Association., 2016)
34

2.5. Albumin
2.5.1. Informasi Umum dan Sifat Biologis Albumin
Yang dimaksud dengan albumin dalam skripsi ini adalah albumin (human) 5%,
albumin (human) 20%, albumin (human) 25%. Sinonim albumin adalah human
albumin dan normal human serum albumin. Albumin adalah protein plasma yang
paling banyak dalam darah manusia (35-50 g/L serum manusia) dengan berat molekul
66,5 kDa. Albumin disintesis dalam hepatosit hati dengan ~ 10-15 g albumin
diproduksi dan dilepaskan ke ruang vaskuler setiap harinya. Sirkulasi di dalam darah
diproses untuk jangka ~ 19 hari. Waktu paruh yang panjang ini diperkirakan terutama
karena neonatal Fc receptor (FcRn)-mediated recycling, dan pembebasan
Megalin/Cubilin-complex dari klirens ginjal. Penghentian sirkulasi biasanya
disebabkan oleh katabolisme albumin di organ seperti kulit dan otot. Modifikasi
albumin, misalnya dengan glikosilasi non-enzimatik, diperkirakan memicu degradasi
lisosomal. Albumin berisi beberapa kantong ikatan hidropobik dan secara alami
berfungsi sebagai transporter dari berbagai ligan yang berbeda seperti asam lemak dan
steroid serta obat-obatan yang berbeda. Selain itu, permukaan albumin bermuatan
negatif sehingga sangat larut dalam air (PPARSDS, 2003 dan Larsen et al, 2016).
2.5.2. Ekivalensi Albumin dengan Plasma
Berikut adalah nilai ekivalensi albumin dengan plasma (PPARSDS, 2003)
1) 25 g Albumin ekivalen osmotik dengan lebih kurang 2 unit (500 ml) plasma
beku segar (fresh frozen plasma).
2) 100 ml albumin 25% sama dengan yang dikandung oleh protein plasma dari
500 ml plasma atau 2 unit darah utuh (whole blood).
2.5.3. Penggunaan Albumin Dalam Klinik
Albumin dipakai sebagai terapi suplemen pada kejadian hipoproteinemia (yang
disebabkan oleh penurunan produksi maupun oleh peningkatan destruksi/kehilangan
albumin) yang membahayakan jiwa penderita akibat terjadinya gangguan
keseimbangan cairan/tekanan onkotik dan rangkaian penyakit atau kelainan yang
ditimbulkannya. Keadaan hipoproteinemia (hipoalbuminemia) saja bukan merupakan
indikasi pemberian albumin. Hal ini perlu dipertimbangkan sebelum memberikan
35

albumin, pada keadaan seperti: multitrauma dan sakit kritis, luka bakar, gangguan
peredaran darah otak, preeklamsia/eklamsia, asites, sindroma nefrotik, gagal ginjal
dengan asites, penyakit ginjal anak, penyakit hati anak, hipotensi saat hemodialisa,
pankreatitis akut (PPARSDS, 2003).
2.5.4. Fungsi dan Penggunaan Albumin
Fungsi fisiologis utama Albumin adalah membantu mempertahankan tekanan
osmotik koloid darah, namun beberapa fungsi lain juga telah ditemukan. Fungsi
tersebut termasuk sebagai protein transpor dari beberapa macam substansi, sebagai
antioksidan dan antiinflamasi. Berdasarkan fungsi tersebut, albumin dapat digunakan
pada beberapa kondisi klinis seperti pasien dengan sirosis dan pasien dengan End-stage
Liver Disease, sindroma nefrotik, kondisi luka bakar yang berat (Shargel et al., 2005
dan Lee, 2012).
Berkaitan dengan ikatan obat dengan protein, sebagian besar obat terikat protein
plasma secara reversibel sampai tingkat tertentu. Apabila seorang pasien mempunyai
konsentrasi protein plasma rendah, maka untuk setiap pemberian dosis obat,
konsentrasi, obat bioaktif bebas kemungkinan lebih tinggi dari yang diharapkan.
Konsentrasi protein plasma dikendalikan oleh sejumlah variable yang meliputi (1)
sintesis protein; (2) katabolisme protein; (3) distribusi albumin di antara ruang
intravaskuler dan ekstravaskuler dan (4) eliminasi protein plasma yang berlebihan
terutama albumin (Shargel et al., 2005).
Kekurangan albumin dalam serum dapat mempengaruhi pengikatan dan
pengangkutan senyawa-senyawa endogen dan eksogen, termasuk obat-obatan, karena
distribusi obat ke seluruh tubuh pengikatannya melalui fraksi albumin (Nugroho,
2012). Kurangnya albumin dari rentang normal disebut hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia adalah kondisi dimana level albumin dalam serum < 35 g/L
(Dziedzic et al., 2007). Hipoalbuminemia seringkali ditangani dengan pemberian
human albumin (HA). HA secara luas digunakan untuk penggantian volume atau
koreksi hipoalbuminemia. Peran HA masih kontroversial dan penggunaannya lebih
didasarkan pada kebiasaan dari pada dasar ilmiah (Boldt, 2010).
36

2.5.5. Struktur, domain dan binding sites Albumin


Struktur keseluruhan tiga dimensi HAS yang ditunjukkan dengan X-ray
crystallography adalah berbentuk hati (Gambar 2.8). Secara struktural, albumin terdiri
dari tiga domain homolog I, II dan III. Setiap domain berisi dua sub-domain (A dan B),
yang masing-masing berisi 4 dan 6 α-heliks. Dua situs utama ikatan obat diberi nama
Sudlow site I dan Sudlow site II. Situs I, diposisikan di subdomain IIA, mengikat obat
antikoagulan warfarin secara reversibel. Sudlow site II berada di subdomain IIIA. Situs
tersebut dikenal sebagai benzodiazepine dan diazepam binding site yang berikatan
dengan afinitas tinggi. Situs I dan situs II adalah binding sites utama meskipun telah
ditemukan beberapa obat terikat ditempat lain dalam protein. Selain itu, obat dan
metabolit obat juga dapat berikatan secara kovalen dengan albumin (Larsen et al.,
2016).
Albumin mengandung 35 residu sistein yang 34 membentuk jembatan disulfida
secara internal pada struktur. Hal ini berkontribusi pada stabilitas albumin yang tinggi.
Ketersediaan residu sistein bebas pada posisi 34 (cys34) untuk ikatan kovalen obat
adalah fitur yang menarik untuk pengiriman obat karena mengikat gugus tiol yang
bebas (-SH) memperhitungkan 80% tiol dalam plasma. Cys34 terletak pada permukaan
luar dari albumin jauh dari pusat ikatan obat interior utama dan oleh karena itu, menjadi
fokus untuk konjugasi kovalen obat (Larsen et al., 2016).

Gambar 2.8 Struktur kristal HAS (Human Serum Albumin) (Larsen et al, 2016)
37

2.5.6. Tinjauan Fisikokimia Larutan Albumin Manusia


Menurut Farmakope Indonesia Edisi V, larutan albumin adalah larutan protein
dalam air yang diperoleh dari plasma, serum atau plasenta normal dan segera
dibekukan setelah dikumpulkan. Plasma, serum atau plasenta diperoleh dari donor
sehat. Sedapat mungkin disertai pemeriksaan klinik, uji laboratorium dan telah
diketahui riwayat mediknya, bebas dari infeksi yang dapat tertular melalui transfusi
darah atau derivate darah. Pemeriksaan dan pengujian ditetapkan oleh instansi yang
berwenang, terutama uji antigen hepatitis B (HbsAg) permukaan dan antibodi HIV
dengan metode yang sensitif dan memberikan hasil negatif terhadap kedua hal tersebut
(Kemenkes RI, 2013).
Larutan Albumin tersedia sebagai larutan pekat mengandung 15,0% - 25,0%
protein total atau sebagai larutan isotonik mengandung 4,0% - 5,0% protein total.
Untuk menghindari pengaruh pemanasan dapat ditambahkan stabilisator yang sesuai
seperti natrium kaprilat dengan kadar tertentu, tapi tidak boleh ditambahkan pengawet
yang bersifat antimikroba pada setiap tahap pembuatan. Larutan disterilkan dengan
penyaringan dan dibagikan secara aseptik ke dalam wadah steril dan ditutup kedap
untuk mencegah kontaminasi mikroba. Larutan dalam wadah akhir dipanaskan pada
suhu 59,5o – 60,5o selama 10 jam. Kemudian diinkubasi pada suhu 30o-32o selama tidak
kurang dari 14 hari atau pada suhu 20o-25o selama tidak kurang dari 4 minggu dan
amati secara visual adanya kontaminasi mikroba (Kemenkes RI, 2013).
Larutan albumin memiliki pemerian cairan jernih agak kental; tidak berwarna
hingga berwarna kekuningan tergantung kadar protein dengan pH adalah antara 6,7 dan
7,3. Sediaan disimpan pada suhu 2o – 25o terlindung dari cahaya Bila disimpan pada
suhu 2o – 8o diharapkan memenuhi syarat selama 5 tahun sejak sediaan dipanaskan
pada suhu 60,0o selama 10 jam. Bila disimpan pada suhu tidak lebih dari 25o diharapkan
memenuhi syarat selama 3 tahun sejak sediaan dipanaskan pada suhu 60,0 o selama 10
jam. Bila telah terbuka harus dipakai sebelum 4 jam, bila tersisa harus dibuang
(PPARSDS., 2003 dan Kemenkes RI, 2013).
38

2.5.7. Tinjauan Farmakokinetika Albumin


Albumin adalah protein dengan berat molekul 65.000 – 69.000 Da yang disintesis
dalam hati dan merupakan komponen utama protein plasma yang bertanggung jawab
untuk ikatan obat reversibel. Dalam tubuh, albumin didistribusikan dalam plasma dan
cairan ekstravaskuler kulit, otot dan beberapa jaringan lain. Konsentrasi albumin dalam
cairan interstisial kurang lebih 60% dari yang ada dalam plasma. Waktu paruh
eliminasi albumin adalah 17 – 18 hari. Secara normal konsentrasi albumin
dipertahankan pada kadar yang relatif konstan kira-kira 3,5 – 5,5 % (b/v). Albumin
bertanggung jawab untuk mempertahankan tekanan osmotik darah dan untuk transpor
bahan-bahan endogen dan eksogen. Sebagai suatu protein transpor, albumin
membentuk kompleks dengan asam lemak bebas (FFAs), bilirubin, berbagai hormon
(seperti kortison, aldosteron, dan tiroksin), triptopan, dan senyawa-senyawa lain.
Beberapa obat asam lemah (anionik) mengikat albumin dengan ikatan elektrostatik dan
hidrofobik. Obat-obat asam lemah seperti salisilat, fenilbutazon dan penisilina terikat
kuat dengan albumin. Akan tetapi, kekuatan ikatan obat berbeda untuk masing-masing
obat (Shargel et al., 2005).
2.5.8. Efek Samping Pemberian Albumin
Tabel II.6 Efek Samping Pemberian Albumin
Efek Samping Keterangan
Disebabkan karena albumin mengikat kalsium serum, sehingga
Depresi kalsium total meningkat tetapi kalsium serum rendah (ratio kalsium
miokardial serum : total menurun), dan hal ini yang menyebabkan kegagalan
jantung dan edema paru.
Pada pemberian albumin dan plasma protein fraction yang cepat
Hipotensi dapat terjadi hipotensi, kejadian hipotensi oleh PPF jauh lebih besar
daripada oleh albumin.
Pemberian albumin intravena yang cepat harus dimonitor terjadinya
hypervolemia dari tanda klinisnya (edema paru, gagal jantung),
Hipervolemia
terutama pada pasien yang volume sirkulasinya normal atau
meningkat.
39

Lanjutan Tabel II.6


Gejala alergi: panas, menggigil, urtikaria, tensi turun, mual, muntah
Insiden: rendah
Hipersensitivitas
Episode: dapat terjadi 1-2 jam hingga 1-5 hari pasca pemberian
albumin.
Pemberian albumin pada renjatan hipovolemik menyebabkan retensi
Na. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan RBF dan perfusi
Na ginjal, sedangkan GFR menurun. Hal ini akan menurunkan filtrasi
Na dan pelepasan Na di nefron distal. Klirens Na akan sangat
Ginjal
menurun, dengan akibat terjadi peningkatan Na dan reabsorbsi air
bebas, peningkatan CVP dan PAWP dan gangguan oksigenasi,
hingga memerlukan tambahan diuretic dan dukungan terhadap
miokardium.
(PPARSDS., 2003)

2.5.9. Keterangan Penggunaan Albumin


Tabel II.7 Keterangan Penggunaan Albumin
Penggunaan
Keterangan
Albumin

Kekuatan sediaan di 5 % (0,05 g/ml) , 20 % (0,20 g/ml), 25 % (0,25 g/ml) (MIMS.,


pasaran 2012 ISO., 2013-2014)

IV administration Hanya untuk IV, digunakan dalam 4 jam setelah vial dibuka,
larutan yang telah dibuka lebih dari 4 jam harus dibuang.
Albumin 25% bisa diberikan tanpa dilarutkan atau dengan
dilarutkan pada NS (PPARSDS., 2003)

Dosis dan Laju infusi Rekomendasi laju infus secara umum adalah 2 ml/menit dalam
(infusion rate) 4 jam (Zhou et al., 2013).

Kontraindikasi Riwayat alergi terhadap albumin, anemia berat, gagal jantung,


volume intravaskuler yang normal atau meningkat, sindroma
nefrotik kronik (albumin tidak memperbaiki edema kronik
maupun lesi yang mendasari) (PPARSDS., 2003)

Rumus perhitungan Albumin yang dibutuhkan (g) = (albumin normal – albumin


kebutuhan albumin pasien) x BB x 0,8 (PPARSDS., 2003)
40

2.5.10. Sediaan Albumin yang beredar di Indonesia


Tabel II.8 Contoh sediaan slbumin di Indonesia

Nama Dagang Kekuatan Kemasan Produsen


Dexa Medica
Albapure 20 % 50 ml, 100 ml
CSL Behring
Albuminar 20 % 100 ml Dexa Medica
Dexa Medica
Albuminar-25 25% 50 ml, 100 ml
CSL Behring
Albumin-Human 20% 20 % 50 ml, 100 ml Kimia Farma
20 % 50 ml, 100 ml
Albutein Tempo Scan Pacific
25 % 50 ml, 100 ml
Cealb 20 % 50 ml, 100 ml Graha Farma
Farmin 20 % 50 ml, 100 ml Fahrenheit
Human Albumin 20% Dexa Medica
20 % 50 ml, 100 ml
Behring ZLB Behring
20 % 50 ml, 100 ml
Octalbin Kalbe Farma
25 % 50 ml, 100 ml
Dipa Pharmalab
Plasbumin-20 20 % 50 ml, 100 ml
Intersains
20 ml, 50 ml, Dipa Pharmalab
Plasbumin-25 25 %
100 ml Intersains
Dipa Pharmalab
Pasbumin-5 5% 50 ml, 250 ml
Intersains
20 % 50 ml, 100 ml
Robumin Novell Pharma
25 % 50 ml
Zenalb 20 % 50 ml, 100 ml Ikapharmindo
(MIMS, 2012 dan ISO, 2013-2014)

2.6. Penggunaan Kombinasi Albumin dan Furosemide Pada Penyakit Ginjal


Telah diketahui bahwa diuretik dan albumin akan menginduksi diuresis dan
natriuresis pada pasien dengan edema dan hipoalbuminemia. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa infus albumin saja menginduksi terjadinya diuresis dan natriuresis
yang kemungkinan dengan meningkatkan volume intravaskular dengan penekanan
sistem hormonal. Namun respon terhadap albumin belum diamati secara seragam.
Diuretik dosis tinggi saja atau dalam kombinasi dengan diuretik lain dapat memiliki
41

beberapa efek metabolik selain ototoksisitas. Untuk alasan ini, banyak dokter meyakini
untuk menggabungkan loop diuretik dosis rendah sampai sedang dengan albumin
untuk menginduksi diuresis, natriuresis dan penurunan berat badan (Duffy et al., 2015).
Berdasarkan PPARSDS 2003, pada pasien dengan nefrotik sindrom albumin
dikombinasikan dengan furosemide (20 ml albumin 20% untuk 60 mg furosemide,
dicampur). Pada pasien CKD dengan hipoalbuminemia, kombinasi furosemide dan
albumin memiliki efikasi superior jangka pendek yang lebih dibandingkan dengan
furosemide saja dalam meningkatkan diuresis air dan natrium (Phakdeekitcharoen dan
Boonyawat, 2012). Loop diuretik seperti furosemide terikat kuat dengan albumin
(>90%) dan karena itu furosemide tidak disaring di glomerulus. Namun, disekresi di
tubulus proksimal melalui transporter asam organik ke dalam lumen. Pada pasien
dengan hipoalbuminemia (konsentrasi albumin serum <2 g/dL), furosemide kurang
terikat dengan albumin dan obat bebas berdifusi ke dalam jaringan dengan peningkatan
resultan volume distribusi. Hal ini menyebabkan kurangnya pengiriman ke tubulus
proksimal untuk sekresi ke dalam lumen. Dengan tujuan untuk mengirimkan jumlah
substansial obat ke tubulus proksimal, pencampuran furosemide dengan albumin
diasumsikan untuk meningkatkan pengiriman untuk sekresinya (Duffy et al., 2015).
Dengan alasan yang sama berdasarkan penelitian yang lain menyatakan bahwa setelah
pemberian resusitasi cairan pertama, diberikan infus albumin 20% (0,2 g/ml) iv diikuti
dengan furosemide setelah pemberian infus albumin (Marzuillo et al., 2016).
2.7. Alternatif Pengganti Albumin
Hipoalbuminemia menyebabkan 90% pasien rawat inap di rumah sakit lebih
lama di rumah sakit dibandingkan pasien dengan status gizi yang baik. Upaya untuk
mengobati hipoalbuminemia adalah pemberian Serum Albumin Manusia (HSA), yang
sampai saat ini masih merupakan pilihan yang mahal. Ekstraksi albumin ikan gabus
(Channa striatus) untuk memproduksi konsentrat protein albumin diharapkan menjadi
alternatif sumber albumin yang lebih murah untuk penggunaan klinis (Mustafa et al.,
2012 dan Asfar et al., 2014).
Ekstrak ikan gabus (Channa striatus) secara signifikan meningkatkan kadar
albumin pada kondisi hipoalbuminemia dan mempercepat proses penyembuhan luka
42

pada pasien pasca operasi. Potensi ekstrak dalam sintesis jaringan, penyembuhan luka,
dan menghambat produksi radikal bebas yang penting dalam pengobatan regeneratif
serta agen anti-penuaan. Topik ini baru-baru ini sebagian besar dibahas, termasuk
dalam "The 7 Konferensi Asia Pasifik Anti-Aging dan Regenerative Medicine", di Bali
Oktober 2008. Ekstrak ikan gabus mengandung protein dengan albumin sebagai fraksi
mayor, lemak, glukosa dan beberapa mineral (Zn, Cu dan Fe) (Gambar 2.9) (Mustafa
et al., 2012).

Gambar 2.9 Komposisi gizi ekstrak ikan gabus dalam 100 ml


2.8. Keto/Amino Acid
Akibat pertumbuhan eksponensial dari nefropati diabetik (sebagai salah satu
penyebab utama penyakit ginjal tahap akhir), strategi alternatif konvensional- termasuk
terapi keto acid- untuk penatalaksanaan nefropati diabetik diindikasikan secara mutlak.
Terapi keto/acid sebagai bagian dari program penatalaksanaan pada pasien nefropati
diabetik berdasarkan literatur yang dipublikasikan dianggap sepenuhnya aman dan
memberikan efek. Adapun komposisi oral keto/amino acid dapat dilihat pada Tabel
II.9. Sebuah studi prospective, randomized controlled clinical study mengenai
perbandingan efek suplemen diet rendah protein alpha-keto/amino acid dan diet
diabetes pada pasien nefropati diabetik menemukan bahwa alpha-keto/amino acid
dapat mengurangi proteinuria lebih efektif sekaligus memperbaiki fungsi ginjal dan
status gizi pada pasien nefropati diabetik (Qiu et al., 2012). Keto/amino acid dapat
memperlambat perkembangan insufisiensi ginjal, mengurangi proteinuria, dan
meningkatkan sensitifitas insulin (Lin, 2009 dan Aguirre, 2009). Selain itu, keto/amino
43

acid aman digunakan, tidak menyebabkan malnutrisi dan dapat memperbaiki kelainan
metabolik yang terkait dengan insufisiensi ginjal (Aparicio, 2005).

Tabel II.9. Komposisi oral keto/amino acid

No Komposisi Jumlah
1 (RS)- -3-methyl-2-oxo-valerate
67 mg
(DL-a-isoleucine ketoanalog) the calcium salt
2 (DL-Izolosin a-ketoanalogu) kalsiyum tuzu 4-
methyl-2-oxo-valeric acid 101 mg
(A-ketoanalog Leucine), calcium salt
3 2-oxo-3-phenyl propionic acid
68 mg
(A-ketoanalog Phenylalanine), calcium salt
4 3-methyl-2-oxo-butyric acid
86 mg
(A-ketoanalog Valine), calcium salt
5 RS-2-hydroxy-4-(methylthio)-butyric acid
(Alpha-hydroxy analog of Methionine), 59 mg
calcium salt
6 L-lysine acetate
105 mg
(75 mg L-lysine-eq)
7 L-threonine 53 mg
8 L-tryptophan 23 mg
9 L-histidine 38 mg
10 L-tyrosine 30 mg
11 Total nitrogen content for each tablet 36 mg
12 The amount of calcium for each tablet 1.25 mmoL = 50 mg
(Sarikaya et al., 2015)

Anda mungkin juga menyukai