PENDAHULUAN
Sirosis hepatis atau hati masih menjadi salah satu problem kesehatan di dunia.
Penyakit ini menjadi penyebab kematian terbesar pada penderitanya. Sirosis hati
merupakan dampak tersering dari perjalanan klinis yang panjang dari semua penyakit
hati kronis yang ditandai dengan kerusakan pada parenkin hati.1
Prevalensi sirosis hati di Amerika Serikat adalah sekitar 0.27 % pada 633.323
orang dan 69 % melaporkan bahwa mereka tidak sadar memiliki penyakit hati.2 Di
Indonesia prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan dari beberapa pusat
pendidikan saja. Penelitian yang dilakukan oleh Yunellia ZP, dkk di RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado pada tahun 2012-2014 terdapat 95 pasien sirosis hati. Dari
penelitian tersebut berdasarkan jenis kelamin pasien sirosis hati terbanyak pada laki-
laki (62,7%), kelompok umur 50-59 tahun (31.4%), penyebab terbanyak virus hepatitis
B (37,3%), gejala klinis yang paling sering didapatkan adalah asites dan distensi
abdomen (20%) serta komplikasi terbanyak pada varises esofagus (23.,%).3
2
B. LAPORAN KASUS
Seorang pasien laki-laki Tn. HS, berumur 61 tahun, pekerjaan petani, suku
Minahasa, alamat Poigar, dirawat di irina C1 RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
pada tanggal 25 Februari 2019 datang dengan keluhan utama mual dan muntah.
Keluhan di rasakan sejak 5 hari muntah pasien berisi makanan dengan frekuensi 1-2
kali sehari dan volumenya 100cc, muntah warna hitam disangkal. Pasien juga
mengatakan perutnya terasa nyeri di bagian ulu hati serta semakin hari semakin
membesar dan cembung, perut cembung dirasakan sejak 4 tahun yang lalu dan disertai
dengan penurunan nafsu makan. Pasien juga merasakan lemah badan sejak 2 minggu
yang lalu. Demam dan sesak disangkal, buang air besar (BAB) berwarna hitam
disangkal dan buang air kecil (BAK) tidak ada keluhan. Pada 2 bulan yang lalu, pasien
pernah dirawat di C1 RSUP Prof Dr. R. D. Kandou Manado dengan diagnosis sirosis
hepatis dekompensata et causa hepatitis B. Riwayat penyakit dahulu pasien menderita
hepatitis B sejak 4 tahun yang lalu dan sudah rutin kontrol di poli hepatologi RSUP
Prof Dr. R,D Kandou Manado. Riwayat asam urat sejak umur 25 tahun dan telah
mengkonsumsi obat anti nyeri namun dibawah pengawasan dokter, riwayat penyakit
diabetes disangkal. Riwayat pengobatan pasien rutin minum obat entecavir 0,5mg
perhari. Riwayat keluarga dengan penyakit seperti ini disangkal. Riwayat merokok dan
konsumsi alkohol disangkal.
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang
dengan kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 100/60 mmHg, Nadi 91 kali per
menit, regular, kuat angkat, isi cukup, respirasi 24 kali per menit, suhu badan 37.8°C,
saturasi 95 %. Berat badan 56 kg, tinggi badan 163 cm, dengan status gizi IMT 21
(normal). Pada kepala ditemukan konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat
isokor, refleks cahaya normal. Pada pemeriksaan leher tidak ditemukan pembesaran
kelenjar getah bening. Pada inspeksi thoraks tampak dinding dada simetris saat statis
maupun dinamis, ginekomastia tidak ada. Palpasi didapatkan stem fremitus kiri sama
dengan kanan, perkusi didapatkan sonor pada kedua lapang paru dan auskultasi
didapatkan suara pernapasan vesikuler, sedangkan ronkhi dan wheezing tidak
3
ditemukan. Pada pemeriksaan jantung didapatkan iktus kordis tidak terlihat, palpasi
tidak teraba. Batas jantung masih dalam batas normal. Bising dan gallop tidak
ditemukan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi perut cembung, tegang,
terdapat caput medusa, spider navi negatif, pada auskultasi bising usus normal, pada
palpasi perut teraba supel dengan nyeri tekan ulu hati hepar tidak teraba, limpa tidak
teraba. Pada perkusi terdapat shiffting dullness positif, serta pembesaran limpa setinggi
Schuffner 3. Pada pemeriksaan ekstremitas inferior didapatkan edema, eritema
palmaris tidak ada, white nails (+).
4
folat 0,4 mg tiap 12 jam per oral, domperidone 10 mg tiap 8 jam per oral. Pasien
direncanakan untuk parasintesis cairan abdomen dan akan dilakukan pemeriksaan
sitologi.
5
Pemeriksaan hari ketiga tanggal 28/02/2019 pasien masih mengeluhkan perut
membesar, nyeri, dan lemah badan. Pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 110/60 mmHg, Nadi 89 kali per
menit, respirasi 22 kali per menit, suhu badan 36.4°C, saturasi oksigen 97 %.
Pemeriksaan status lokalis tidak ada perubahan. Diagnosa kerja pada pasien adalah
sirosis hepatis dekompensata et causa hepatitis B, anemia et causa penyakit kronik,
hepatitis B on treatment, acute on CKD et causa SHR, hiponatremia, hipoalbuminemia,
hepatitis B on treatment, suspek SBP. Terapi yang diberikan comafusin hepar 500 cc
per 24 jam intravena, furosemide 20 mg tiap 24 jam intravena, cefotaxim 2 g per 8 jam
intravena, spironolakton 100 tiap 12 jam per oral, propranolol 10 mg tiap 12 jam
peroral, laktulosa sirup 20 cc tiap 12 jam per oral, asam folat 0,4 mg tiap 12 jam per
oral, domperidone 10 mg tiap 8 jam per oral, metronidazole 250 mg tiap 12 jam per
oral, entecavir 0,5 mg tiap 72 jam per oral, transfusi PRC 230cc tiap 24 jam hingga hb
di atas 9 g/dL.
6
et causa penyakit kronik, hiponatremia, hipoalbuminemia, hepatitis B on treatment,
suspek SBP, suspek karsinoma sel hati (HCC). Terapi yang diberikan comafusin hepar
500 cc per 24 jam intravena, cefotaxim 2 g per 8 jam intravena, spironolakton 100 tiap
12 jam per oral, propranolol 10 mg tiap 12 jam peroral, laktulosa sirup 20 cc tiap 12
jam per oral, asam folat 0,4 mg tiap 12 jam per oral, domperidone 10 mg tiap 8 jam per
oral, metronidazole 250 mg tiap 12 jam per oral, entecavir 0,5 mg tiap 72 jam per oral,
transfusi PRC 230cc tiap 24 jam hingga hb di atas 9 g/dL.
Perawatan hari ketujuh tanggal 04/03/2019 pasien masih mengeluhkan nyeri perut dan
perut membesar. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran kompos mentis Tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 93 kali per menit,
respirasi 22 kali per menit, suhu badan 36.4°C, saturasi oksigen 98 %. Pemeriksaan
status lokalis tidak ada perubahan. Diagnosa kerja pada pasien adalah sirosis hepatis
7
dekompensata et causa hepatitis B, anemia et causa penyakit kronik, acute on CKD et
causa SHR, hiponatremia, hipoalbuminemia, hepatitis B on treatment, suspek SBP,
suspek karsinoma sel hati (HCC) .Terapi yang diberikan adalah comafusin hepar 500
cc per 24 jam intravena, cefotaxim 2 g per 8 jam intravena, spironolakton 100 tiap 12
jam per oral, propranolol 10 mg tiap 12 jam peroral, laktulosa sirup 20 cc tiap 12 jam
per oral, asam folat 0,4 mg tiap 12 jam per oral, domperidone 10 mg tiap 8 jam per
oral, metronidazole 250 mg tiap 12 jam per oral, entecavir 0,5 mg tiap 72 jam per oral.
8
100 tiap 12 jam per oral, propranolol 10 mg tiap 12 jam peroral, laktulosa sirup 20 cc
tiap 12 jam per oral, asam folat 0,4 mg tiap 12 jam per oral, domperidone 10 mg tiap 8
jam per oral, metronidazole 250 mg tiap 12 jam per oral, entecavir 0,5 mg tiap 72 jam
per oral. Telah dilakukan parasintesis dan didapatkan cairan berwarna merah gelap
sebanyak 3.500 cc.
C. PEMBAHASAN
9
abdomen, perut terasa kembung, perdarahan dapat terjadi di hidung, gusi, kulit serta
saluran cerna, perubahan status mental, hilangnya rambut badan, pada laki-laki dapat
terjadi impotensi serta hilangnya dorongan seksual. Pada anmnesis juga perlu
ditanyakan riwayat penyakit dahulu apakah pernah menderita hepatitis, mengonsumsi
obat-obatan hepatotoksik ataupun pernah melakukan transfusi darah, riwayat penyakit
keluarga ada tidaknya keluarga yang menderita penyakit hepatitis serta penyakit
autoimun, dan riwayat kebiasaan pasien minum alkohol.9 Pada kasus ini didapatkan
anamnesis pasien dengan keluhan utama perut membesar dan terasa nyeri sejak 4 tahun
yang lalu. Namun saat masuk rumah sakit bengkak pada kaki sudah berkurang. Pasien
juga mengeluh lemah badan sejak 3 bulan yang lalu dan tidak menghilang dengan
isitrahat. Pada 4 bulan yang lalu pasien masuk rumah sakit nyeri perut serta lemah
badan serta didiagnosis dengan sirosis hepatis dekompensata et causa hepatitis B.
Riwayat penyakit dahulu memiliki penyakit hepatitis B sejak 4 tahun yang lalu serta
rutin kontrol di poli hepatologi. Pasien mengatakan tidak ada keluarga pasien yang
memiliki penyakit yang sama. Riwayat mengonsumsi alkohol disangkal.
Pemeriksaan fisik yang bisa didapatkan pada pasien dengan sirosis hati adalah
pada pemeriksaan tanda-tanda vital suhu tubuh dapat meningkat. Pada pemeriksaan
kepala terjadi kerontokan rambut. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan asites, caput
medusa, ukuran hati dapat membesar, mengecil, atau normal, splenomegali yang
disebabkan oleh hiperternsi portal. Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan edema
pada tungkai clubbing finger, white nails. Pemeriksaan neurologis dapat ditemukan
perubahan pada fungsi mental, flapping tremor. Pada pasien ditemukan pemeriksaan
fisik asites, caput medusa, white nails, splenomegali, dan flapping tremor. 1,8
10
alkoholik kronik karena alkohol dapat menginduksi GGT mikrosomal hepatis dan juga
menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit. Konsentrasi bilirubin dapat ditemukan
normal pada sirosis hati kompensata, tetapi bisa meningkat pada sirosis hati yang
lanjut. Konsentrasi albumin yang sintesisnya terjadi di jaringan parenkim hati, akan
mengalami penurunan sesuai dengan derajat perburukan sirosis. Sedangkan
konsentrasi globulin meningkat karena adanya pintasan antigen bakteri dari sistem
porta ke jaringan limfoid yang selanjutnya menginduksi produksi imunoglobulin.
Pemeriksaan waktu protrombin akan memanjang karena penurunan produksi faktor
pembekuan darah pada hati. Untuk mencari penyebab dari sirosis dapat juga dilakukan
pemeriksaan serologi.1,9 Pada kasus ini pemeriksaaan laboratorium yang didapatkan
adalah SGOT meningkat dengan SGPT nornmal, GGT meningkat, hipoalbuminemia,
globulin yang meningkat, alkaline fosfatase meningkat, bilirubin total dan bilirubin
direk meningkat, anti HCV non reaktif, HBsAG elisa reaktif .
11
Pemeriksaan lain juga yang dapat dilakukan pada pasien sirosis hati adalah
fibroscan yang merupakan alat penggambaran yang paling sering digunakan di
Amerika yang dapat mendeteksi tanda dari sirosis, fibroscan bekerja dengan cara
mengukur tingkat kekakuan jaringan hati dalam kilopascal (kPa), pada sistem
klasifikasi METAVIR didapatkan bahwa 7.1kPa merupakan F≥2 , 9.5 kPa F≥3 dan
12.5 kPa untuk F=4. Pada pasien didapatkan nilai median dari pemeriksaan fibroscan
pada tanggal 15/05/2018 yaitu 71.7 kPa sehingga didapatkan kesimpulan F4 yaitu
sirosis hepatis.1,9,10,11
Penatalaksanaan untuk sirosis hati tergantung etiologi dari sirosis hati. Terapi
yang diberikan bertujuan untuk mengurangi progresifitas penyakit. Prinsip dasar
penanganan kasus sirosis yaitu menghindari bahan-bahan yang dapat menambah
kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Pasien dengan penyebab virus
hepatitis diberikan terapi antiviral.1,8 Terapi yang diberikan pada kasus ini yaitu
comafusin hepar untuk mempertahankan kesadaran dan gangguan fungsi hati,
lacktulosa syrup 10 cc tiap 6 jam tujuan pemberian obat ini untuk menghambat
produksi ammonia usus yang dapat menyebabkan ensefalopati hepatikum akibat terlalu
banyaknya ammonia yang masuk ke dalam peredaran darah dikombinasikan dengan
pemberian metronidazole 250 mg tiap 12 jam. Pemberian propranolol 2x10mg untuk
menghindari terjadinya perdarahan saluran cerna akibat pecahnya varises esofagus.
Non selective beta blocker dapat menurunkan curah jantung dan menyebabkan
vasokonstriksi splenik sehingga mengurangi aliran portal serta penurnan tekanan
varises.8 Pemberian obat-obatan pelindung mukosa lambung seperti, sucralfat 10 cc
tiap 6 jam, lansoprazole 2x30mg untuk mencegah agar tidak terjadi perdarahan akibat
gastropati hipertensi portal. Domperidon 3x10mg diberikan untuk mengurangi keluhan
mual muntah. Pada pasien juga didapatkan asites. Pasien asites harus dilakukan terapi
tirah baring dan diet rendah garam. Konsumsi garam sebanyak 5.2 gram/hari. Selain
itu juga perlu diberikan diuretik. Diuretik yang diberikan awalnya dapat dipilih
spironolakton 100-200mg/hari. Respon diuretik dapat dimonitor dengan penurunan
berat badan 0.5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema
12
kaki. Apabila pemberian spironolakton tidak adekuat dapat diberikan kombinasi
berupa furosemide dengan dosis 20-40 mg/hari. Parasintesis asites dapat dilakukan
apabila asites sangat besar. Pengeluarannya biasa mencapai 4-6 liter sehingga perlu
juga pemberian albumin. Pada pasien ini diberikan spironolakton 100 mg per hari.
Selain itu juga diberikan human albumin 20% 100cc/hari. Pada pasien ini juga ada
dilakukan parasintesis asites.1,10
Indikasi terapi hepatitis B kronik dibedakan atas terapi pada kelompok pasien
non sirosis dengan HBeAg positif, pasien non sirosis dengan HBeAg negatif, dan
pasien sirosis.2 Secara umum, pada pasien dengan sirosis dekompensata terapi dapat
dimulai terlepas dari kadar asam deoksiribonukleat virus hepatitis B (HBV DNA),
status HBeAg, atau kadar ALT untuk menurunkan risiko perburukan penyakit.
Pemeriksaan HBV DNA tetap direkomendasikan untuk dikerjakan namun tidak boleh
menunda terapi dan pertimbangkan transplantasi hati apabila tidak terjadi perbaikan.12
Penggunaan interferon (IFN) pada pasien dengan sirosis dekompensata terkait virus
hepatitis B dapat menyebabkan dekompensasi dan meningkatkan risiko infeksi bakteri,
bahkan pada dosis kecil. Secara umum, terapi IFN dikontraindikasikan pada pasien
dengan sirosis dekompensata. Saat ini, analog nukleos(t)ida seperti lamivudin,
entecavir, telbivudin, dan tenovofir terlah disetujui sebagai terapi pada sirosis
dekompensata.13,14 Saat ini pasien pada kasus rutin mengkonsumsi obat entecavir 0,5
mg diminum sehari sekali. Pada pasien sirosis dekompensata, pemberian entecavir 0,5
mg/hari selama 12 bulan menunjukan perbaikan skor child turcotte pugh (CTP),
negativitas HBV DNA, serokonversi HBeAg, dan normalisasi ALT.15
Komplikasi yang dapat terjadi pada sirosis hepatis yaitu hipertensi porta,
ascites, varises esofagus, peritonitis bakterial spontan (SBP), ensefalopati uremikum,
serta sindrom hepato renal (SHR). Asites disebabkan karena adanya hipoalbuminemia
dan disfungsi ginjal mengakibatkan penumpukan cairan didalam peritoneum. SBP
merupakan komplikasi yang sering terjadi pada asites yang ditandai dengan infeksi
spontan pada cairan asites tanpa adanya fokus infeksi. Pada pasien dicurigai adanya
SBP, meskipun diagnosis pasti SBP melalui pemeriksaan sitologi cairan asites namun
13
pemberian antibiotik sebagai profilaksis direkomendasikan yaitu pemberian cefotaxim
3 x 2gr intravena. SHR merupakan kelainan organik ginjal yang ditemukan pada sirosis
hepatis tahap lanjut dimana pada sirosis hepatis terjadi perubahan hemodinamik yang
menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang dan terjadi kerusakan pada ginjal. Pada
pasien ditemukan adanya asites, nyeri pada perut yang dicurigai SBP, serta penurunan
laju filtrasi glomerulus (15.6mL/min/1.73m2).1,10
Karsinoma sel hati merupakan kanker tersering pada hati, di dunia dengan rasio
laki-laki banding perempuan 5:1 dengan usia tersering pada umur 45-60 tahun.
Hepatitis B kira-kira menginfeksi hingga 50% penderita HCC dimana sirosis
merupakan salah satu faktor resiko paling sering terjadinya HCC. Diantara pasien HCC
ditemukan 80-90% sirosis hepatis pada otopsi pasien. Pada pasien dicurigai HCC, pada
hasil usg abdomen didapatkan gambaran sirosis hepatis disertai massa padat jaringan
lunak karakteristik maligna di lobus kiri hepar DD/ nodul karsinoma sel hati. Namun
penegakan diagnosis tetap memerlukan biopsi.10
Kriteria 1 2 3
Asites Nihil Mudah dikontrol Sulit dikontrol
Ensefalopati Nihil Grade I atau II Grade III atau IV
Bilirubin (mg/dL) <2 2-3 >3
Albumin (mg/dL) > 3.5 2.8 – 3.5 <2.8
Waktu prothrombin 1-3 4-6 >6
Klasifikasi A B C
14
Jumlah poin total 5-6 7-9 10-15
Persentase hidup dalam 1 tahun 100 % 80 % 45 %
pertama
D. RINGKASAN
Telah dilaporkan sebuah kasus laki-laki umur 61 tahun dengan sirosis hepatis
dekompensata et causa hepatitis B, sindrom hepatorenal, hiponatremia, hipokalemia,
hepatitis B on treatment, suspek SBP dan hipoalbuminemia berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Terapi secara konservatif dan suportif
diberikan pada kasus ini. Prognosis pada kasus ini adalah dubia ad malam karena sirosis
hati merupakan stadium akhir dari semua penyakit hati kronis serta bersifat progresif.
15
DAFTAR PUSTAKA
16
11. Abdulla s. Al-Ghamdi. Fibroscan: A Noninvasive Test of Liver Fibrosis
Assessment, Saudi Arabia. The Saudi Journal of Gastroenterology. 2007:13(3):
147-9.
12. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Hepatitis B, Jakarta: 2017
13. Lee H, Suh D. Laminovudine Therapy for decompensated liver cirrhosis related
to hepatitis B virus infection. Intervirology 2004;46:388-93.
14. Guan R. Lui H. treatment of hepatitis B in decompensated liver cirrhosis. Int J
Hepatol. 2011; article ID 918917;1-11.
15. Shim J, Lee H, Kim K et al. efficacy of enteclavir in treatment-native patiens
with hepatitis B virus-related decompensated cirrhosis. J hepato.
2010;52(2):176-82.
17
LAMPIRAN
18
Gambar 3. Hasil pemeriksaan Fibroscan
19