Anda di halaman 1dari 28

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

Pengertian remaja menurut WHO pada Astri (2008), adalah kelompok

penduduk yang berusia antara 10-19 tahun yang mempunyai ciri-ciri sedang

mengalami transisi biologis (fisik), psikologis (jiwa), maupun sosial ekonomi

(dalam keluarga dan masyarakat). Pada tahun 1998, WHO mengkatagorikan

remaja menjadi adolescence usia 10-19 tahun, youth usia 15-24 tahun, dan young

people 10-24 tahun (2).

Menurut (Stanley Hall 1991 dalam Dewi, 2008) masa remaja merupakan

masa dimana dianggap sebagai masa topan badai dan stress (Storm and Stress).

Karena mereka mereka telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib

sendiri, kalau terarah dengan baik maka ia akan menjadi seorang individu yang

memiliki rasa tanggungjawab, tetapi kalau tidak terbimbing maka bisa menjadi

seorang yang tak memiliki masa depan dengan baik (5).

Menurut (Yulia S. D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, 1991 dalam Dewi,

2008) istilah asing yang sering digunakan untuk menunjukkan masa remaja antara

lain :

1. Puberty (bahasa Inggris) berasal dari istilah latin pubertas yang berarti kelaki-

lakian, kedewasaan yang dilandasi oleh sifat dan tanda kelaki-lakian.

Pubescence dari kata pubis (pubic hair) yang berarti rambut (bulu) pada daerah
7

kemaluan (genetal) maka pubescence berarti perubahan yang dibarengi dengan

tumbuhnya rambut pada daerah kemaluan.

2. Adolescentia berasal dari istilah latin adolescentia yang berarti masa muda

yang terjadi antara 17 – 30 tahun yang merupakan masa transisi atau peralihan

dari masa kanak-kanak menunju masa dewasa yang ditandai dengan adanya

perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial. Proses perkembangan psikis

remaja dimulai antara 12 – 22 tahun.

Secara teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batas-batas

umur remaja, tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak dapat

menjelaskan secara pasti tentang batasan usia remaja karena masa remaja ini

adalah masa peralihan.(1)

Pada umumnya masa remaja dapat dibagi dalam 2 periode (2):

1. Periode Masa Puber usia 12-18 tahun

a. Masa Pra Pubertas: peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke masa awal

pubertas. Cirinya:
• Anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi
• Anak mulai bersikap kritis
b. Masa Pubertas usia 14-16 tahun: masa remaja awal. Cirinya:
 Mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya
 Memperhatikan penampilan
 Sikapnya tidak menentu/plin-plan
 Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib
c. Masa Akhir Pubertas usia 17-18 tahun: peralihan dari masa pubertas ke masa

adolesen. Cirinya:
 Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya

belum tercapai sepenuhnya


8

Selama periode remaja, kebutuhan zat besi meningkat secara dramatis

sebagai hasil dari ekspansi total volume darah, peningkatan massa lemak tubuh,

dan terjadinya menstruasi pada remaja putri (Beard 2000). Pada wanita,

kebutuhan yang tinggi akan besi terutama disebabkan kehilangan zat besi selama

menstruasi (Wiseman 2002). Secara keseluruhan, kebutuhan zat besi meningkat

dari kebutuhan saat sebelum remaja sebesar 0.7-0.9 mg Fe/hari menjadi 2.2 mg

Fe/hari atau mungkin lebih saat menstruasi berat. Peningkatan kebutuhan ini

berhubungan dengan waktu dan ukuran growth spurt sama seperti kematangan

seksual dan terjadinya menstruasi. Hal ini mengakibatkan wanita lebih rawan

terhadap anemia besi dibandingkan pria (Beard 2000) (3).

Wanita cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah

dibandingkan pria, membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi

saat asupan zat besi kurang atau kebutuhan meningkat. Jika zat besi yang

dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau makanan

berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi

kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan digunakan dan hal

tersebut dalam menimbulkan defisiensi zat besi (Gleason & Scrimshaw 2007).

Pada masa remaja, seseorang akan mengalami perubahan baik kognitif,

sosial-emosional, dan gaya hidup yang dapat menciptakan dampak yang sangat

besar dalam kebiasaan makan remaja. Survei yang dilakukan Hurlock (1997)

menunjukkan bahwa remaja suka sekali jajan makanan ringan. Jenis makanan

ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang manis dan golongan pastry serta

permen sedangkan golongan sayur-sayuran dan buah-buahan jarang dikonsumsi


9

sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin, dan lain-lain. Selain itu

hasil survei menunjukkan bahwa remaja menyukai minuman ringan, teh, dan kopi

yang frekuensinya lebih sering dibandingkan konsumsi susu (3).

B. Anemia
1. Pengertian
Anemia adalah keadaan dimana kadar zat merah darah atau hemoglobin (Hb)

lebih rendah dari nilai normal. Anemia berarti kekurangan sel darah merah, yang

dapat disebabkan oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu

lambatnya produksi sel darah merah (4)


Anemia pada remaja adalah suatu keadaan kadar hemoglobin dalam darah

lebih rendah dari nilai normal. Nilai batas ambang untuk anemia menurut WHO

200 1 adalah untuk umur 5-1 1 tahun < 11,5 g/dl, 11-14 tahun 12, g/dl, remaja

diatas 15 tahun untuk anak perempuan <12, g/dl dan anak laki-laki < 13, g/dl (5).
Penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan berat belum ada

keseragaman mengenai batasannya, namun untuk mempermudah pelaksanaan

pengobatan dan mensukseskan program lapangan, menurut ACC/SCN (1991),

anemia dapat digolongkan menjadi tiga (3) :

Anemia Hb (g/dl)
Ringan 10,0-11,9
Sedang 7,0-9,9
Berat <7,0

Tabel 2.1 Penggolongan Anemia Menurut Kadar Hb

2. Etiologi Anemia Defisiensi Besi


Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara perlahan-

lahan. Pada tahap awal, simpanan zat besi yang berbentuk ferritin dan

hemosiderin menurun dan absorpsi besi meningkat. Daya ikat besi (iron binding
10

capacity) meningkat seiring dengan menurunnya simpanan zat besi dalam

sumsum tulang dan hati. Ini menandakan berkurangnya zat besi dalam plasma.

Selanjutnya zat besi yang tersedia untuk pembentukan sel-sel darah merah (sistem

eritropoesis) di dalam sumsum tulang berkurang dan terjadi penurunan jumlah sel

darah merah dalam jaringan. Pada tahap akhir, hemoglobin menurun (hypocromic)

dan eritrosit mengecil (microcytic) dan terjadi anemia gizi besi (3)
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Depkes (1998),

anemia terjadi karena : (1) kandungan zat besi makanan yang dikonsumsi tidak

mencukupi kebutuhan, (2) meningkatnya kebutuhan tubuh akan zat besi, dan (3)

meningkatnya pengeluaran zat besi dari tubuh. Penyebab utama anemia yang

paling umum diketahui adalah : (1) kurangnya kandungan zat besi dalam

makanan, (2) penyerapan zat besi dari makanan yang sangat rendah, (3) adanya

zat-zat yang menghambat penyerapan zat besi, dan (4) adanya parasit di dalam

tubuh seperti cacing tambang atau cacing pita, atau kehilangan banyak darah

akibat kecelakaan atau operasi (3).


Defisiensi zat besi dari makanan biasanya menjadi faktor utama. Jika zat besi

yang dikonsumsi terlalu sedikit atau bioavailabilitasnya rendah atau makanan

berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi

kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan digunakan dan hal

tersebut dalam menimbulkan defisiensi zat besi. Defisiensi zat gizi seperti asupan

asam folat dan vitamin A, B12, dan C yang rendah dan penyakit infeksi seperti

malaria dan kecacingan dapat pula menimbulkan anemia (WHO 2001) (3).
11

Anemia gizi besi sering diderita oleh wanita dan remaja putri dan diketahui 1

diantara 3 wanita menderita anemia. Penyebab anemia gizi besi sering diderita

oleh wanita dan remaja putri yaitu dikarenakan oleh (1):


1. Wanita dan remaja putri jarang makan makanan protein hewani seperti hati,

daging dan ikan.


2. Wanita dan remaja putri selalu mengalami menstruasi setiap bulan sehingga

membutuhkan zat besi dua kali lebih banyak daripada pria, oleh karena itu

wanita cenderung menderita anemia dibandingkan dengan pria.


3. Adanya kecenderungan remaja yang ingin berdiet dengan alasan

mempertahankan bentuk tubuh yang ideal sehingga terjadi pola makan yang

salah, serta adanya pantangan dan tabu (Depkes, 1998). Dengan kata lain

bahwa pola makan akan berpengaruh terhadap status anemia.


Menurut Sunarko (2002) pada Wijiastuti (2006), anemia disebabkan oleh

factor dominan sebab langsung, sebab tidak langsung, dan sebab mendasar, yaitu

(1) :
1. Sebab langsung yaitu disebabkan oleh tidak cukupnya asupan zat gizi (Zat besi

dengan daya serap rendah, adanya zat penghambat, diet) dan penyakit infeksi

(kecacingan, malaria, TBC).


2. Sebab tidak langsung yaitu rendahnya perhatian keluarga terhadapa wanita,

aktifitas wanita yang tinggi, pola distribusi makanan dalam keluarga dimana

ibu dan anak wanita tidak menjadi prioritas.


3. Sebab mendasar yaitu masalah sosial ekonomi yaitu rendahnya pendidikan,

rendahnya pendapatan, status sosial yang rendah dan lokasi goegrafis yang

sulit.

Sumber utama zat besi adalah bahan pangan hewani dan kacang-kacangan

serta sayuran berwarna hijau tua. Kesulitan utama untuk memenuhi kebutuhan zat
12

besi adalah rendahnya tingkat penyerapan zat besi di dalam tubuh, terutama

sumber zat besi nabati hanya diserap 1-2%. Sedangkan tingkat penyerapan zat

besi makanan asal hewani dapat mencapai 10-20%.

Sumber zat besi yang berasal dari hewani (heme iron) lebih dari dua kali

lebih mudah diserap dibandingkan dengan sumber nabati). Ini berarti bahwa zat

besi pangan asal hewani (heme) lebih mudah diserap dari pada zat besi pangan

asal nabati (non hem). Kecukupan intake Fe tidak hanya dipenuhi dari konsumsi

makanan sumber zat besi (daging sapi, ayam, ikan, telur, dan lain-lain), tetapi

dipengaruhi oleh variasi penyerapan zat besi. Keanekaragaman konsumsi

makanan berperan penting dalam membantu meningkatkan penyerapan zat besi di

dalam tubuh. Jenis Fe yang dikonsumsi jauh lebih penting daripada jumlah zat

besi yang dimakan. Bioavailabilitas non heme iron dipengaruhi oleh beberapa

faktor inhibitor (menghambat) dan enhancer (mempercepat). Inhibitor utama

penyerapan zat besi adalah fitat dan polifenol. Fitat terutama ditemukan pada biji-

bijian seral, kacang dan beberapa sayuran seperti bayam. Polifenol dijumpai

dalam minuman kopi, teh, sayuran dan kacang-kacangan. Enhancer penyerapan

zat besi antara lain asam askorbat atau vitamin C dan protein hewani dalam

daging sapi, ayam, ikan karena mengandung asam amino pengikat zat besi untuk

meningkatkan absorpsi zat besi. Alkohol dan asam laktat kurang mampu

meningkatkan penyerapan zat besi (1)

3. Patofisiologi
13

Untuk menjaga badan supaya tidak anemia, maka keseimbangan zat besi di

dalam tubuh perlu dipertahankan. Keseimbangan disini diartikan bahwa jumlah

zat besi yang dikeluarkan dari badan sama dengan jumlah besi yang diperoleh

tubuh dari makanan.

Makanan Usus Halus Tinja 9


10 mg Fe 1 mg mg Fe

Fe dalam Darah Hati disimpan


(turn over 35 mg) sebagai Feritrin, 1 mg

Sumsum tulang Seluruh Jaringan


34 mg

Sel-sel mati
Hemoglobin

Dikeluarkan melalui
Hilang bersama menstruasi kulit, saluran
pencernaan dan air
seni 1 mg

Gambar 2.1 Metabolisme Zat Besi


14

Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi

(feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan

meningkatnya kapasitas pengikatan zat besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa

habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya

jumlah protoporpirin yang diubah menjadi heme dan akan diikuti dengan

menurunnya kadar feritin serum. Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang

khas yaitu rendahnya kadar Hb (4).

4. .Tanda-tanda anemia

Gejala anemia biasanya Lesu, Lemah, Letih, Lelah, Lalai (5L), sering

mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang. Gejala lebih lanjut adalah kelopak

mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan menjadi pucat (Pedoman

Penanggulangan Anemia Gizi Untuk Remaja Putri dan Wanita Usia Subur dalam

situs http://www.gizi.net). Penderita anemia selain ditandai dengan mudah lemah,

letih, lesu, nafas pendek, muka pucat juga ditandai dengan susah berkonsentrasi

serta fatique atau rasa lelah yang berlebihan (1).

5. Dampak anemia

Anemia yang diderita oleh remaja putri dapat menyebabkan menurunnya

prestasi belajar, menurunnya daya tahan sehingga mudah terkena penyakit infeksi.

Selain itu pada remaja putri yang terkena anemia tingkat kebugarannya pun akan

turun yang berdampak pada rendahnya produktifitas dan prestasi olahraganya dan
15

tidak tercapai tinggi badan maksimal karena pada masa ini terjadi puncak

pertumbuhan tinggi badan (peak high velocity)

Menurut Soekirman (2000) pada Hardinsyah dkk, (2007), anemia pada

remaja dapat menimbulkan berbagai dampak antara lain menurunnya konsentrasi

belajar dan menurunnya stamina dan produktivitas kerja. Tingginya anemia pada

remaja ini akan berdampak pada prestasi belajar siswi karena anemia pada remaja

putri akan menyebabkan daya konsentrasi menurun sehingga akan mengakibatkan

menurunnya prestasi belajar (1).

Anemia gizi pada balita dan anak akan berdampak pada peningkatan

kesakitan dan kematian, perkembangan otak, fisik, motorik, mental dan

kecerdasan juga terhambat, daya tangkap belajar menurun, pertumbuhan dan

kesegaran fisik menurun dan interaksi sosial berkurang (1).

Anemia dapat menyebabkan lekas lelah,konsentrasi belajar menurun

sehingga prestasi belajar rendah dan dapat menurunkan produktivitas kerja.

Disamping itu juga menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena

infeksi. Anemia dapat mempengaruhi tingkat kesegaran jasmani seseorang.

Permaesih menemukan 25% remaja di Bandung mempunyai kesegaran jasmani

kurang dari normal, sementara Kristanti menjumpai keadaan yang kurang lebih

sama untuk remaja di Jakarta. Keadaan ini berpengaruh terhadap konsentrasi dan

prestasi belajar serta mempengaruhi produktivitas kerja di kalangan remaja.

Mengingat dampak yang terjadi sebagai akibat anemia sangat merugikan untuk

masa mendatang, maka usaha pencegahan maupun perbaikan perlu di-lakukan.

Untuk melakukan upaya pencegahan dan perbaikan yang optimum diperlukan


16

informasi yang lengkap dan tepat tentang status gizi pada remaja, serta faktor

yang mempengaruhinya (5).

C. Pencegahan dan pengobatan anemia

Menurut Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi Untuk Remaja Putri dan

Wanita Usia Subur cara untuk mencegah dan mengobati anemia adalah:

1. Meningkatkan konsumsi makanan bergizi.

a. Makan makanan yang banyak mengandung zat besi dari bahan makanan

hewani (daging, ikan, ayam, hati, telur) dan bahan makanan nabati (sayuran

berwarna hijau tua, kacang-kacangan, tempe).

b. Makan sayur-sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C

(daun katuk, daun singkong, bayam, jambu, tomat, jeruk dan nanas) sangat

bermanfaat untuk meningkatkan penyerapan zat besi dalam usus.

2. Menambah pemasukan zat besi kedalam tubuh dengan minum Tablet Tambah

Darah (TTD) berupa Obat-obatan :

a Secara oral : kapsul/ tablet yang berisi garam besi (sulfat, glukonat, fumarat,

suksinat) 150 – 200 mg, 3-4 kali sehari sebelum makan.

b. Secara parenteral : besi yang dibutuhkan lebih banyak daripada oral dengan

rumus (Hb N-Hbs x BB x 2,2)

3. Mengobati penyakit yang menyebabkan atau memperberat anemia seperti:

kecacingan, malaria dan penyakit TBC.


17

Sedangkan menurut Akhmadi (2008), ada beberapa pendekatan yang

digunakan oleh pemerintah untuk mencegah atau mengurangi terhadap kejadian

kekurangan zat besi, usaha-usaha yang dilakukan tersebut antara lain:

1. Konseling untuk membantu memilih bahan makanan dengan kadar besi yang

cukup secara rutin pada usia remaja dengan cara pemberian suplemen tablet

besi.

Hal ini dilakukan untuk memperbaiki status kondisi zat besi seseorang secara

cepat. Untuk meningkatkan absorbsi besi, sebaiknya suplementasi besi tidak

diberi bersama susu, kopi, teh, minuman ringan yang mengandung karbonat,

multivitamin yang mengandung phosphate dan kalsium. Kemudian pemberian

tablet ini memperhatikan beberapa strategi sesuai dengan kelompok yang telah

ditargetkan. Penentuan target ini mempertimbangkan resiko yang dapat terjadi

bila anemia terjadi pada sesorang. Kelompok yang digolongkan rawan untuk

diprioritaskan menjadi target adalah ibu hamil, anak pra sekolah, anak sekolah,

bayi.

2. Modifikasi makanan

Pencegahan ini dilakukan dengan memastikan jumlah makanan yang

dikonsumsi oleh sesorang. Hal ini sangat terkait dengan kuantitas dan kualitas

makanan yang dimakan oleh seseorang atau masyarakat. Bila ditelusuri lebih

hal inipun sangat terkait dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat kita

dimana daya beli masyarakat yang rendah sehingga memperburuk kondisi

kesehatan khususnya kekurangan zat besi. Selain hal tersebut juga yang tak

kalah pentingnya adalah bagaimana agar makan yang kita makan tersebut
18

bersama-sama kita konsumsi dengan makanan yang membantu penyerapan zat

makanan tersebut. Dalam hal ini bila kita mengkonsumsi makanan yang cukup

zat besi tetapi bila banyak faktor penghambatnya maka penyerapan makanan

yang cukup besi lebih sedikit dari yang seharusnya kita dapatkan sehingga

perlu mengkonsumsi vitamin C agar meningkatkan penyerapan zat besi.

3. Pengawasan penyakit infeksi

Pengobatan penyakit infeksi dan penyakit karena virus sedikit banyak

membantu mengurangi kekurangan zat besi. Dengan pengobatan yang tepat

dapat mengurangi lama dan beratnya infeksi sehingga tidak memperparah

kondisi kekurangan zat besi. Dalam hal ini keluarga perlu diberikan infomasi

yang sebaik-baiknya mengenai pentingnya konsumsi makanan bila ada anggota

keluarga yang sakit ataupun memberikan dorongan kepada ibu yang menyusui

agar terus memberikan ASInya untuk mencegah penyakit infeksi.

4. Fortifikasi makanan

Fortifikasi zat atau penambahan zat besi ke dalam makanan yang di konsumsi

secara umum oleh masyarakat merupakan tulang punggung pada beberapa

negara. Hal ini sangat efektif untuk membantu mengatasi kekuarang zat besi

yang banyak terjadi di masyarakat. Kebijakan ini diambil tentunya dengan

didasarkan kepada perundang-undangan, dan keputusan yang kuat sehingga

semuanya dapat mematuhinya dengan baik khsususnya bagi konsumen (1).

5. Skrining anemia. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit masih merupakan

pilihan untuk skrining anemia defisiensi besi.


19

D. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja

putri
1. Sosial ekonomi
a. Tingkat pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang

(overt behavior). Pengalaman penelitian menyatakan ternyata perilaku yang

didasari oleh pengetahuan lebih baik daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). Menurut Lunandi (1984), pengetahuan yang

didapat oleh seseorang menyebabkan seseorang tersebut memiliki keterampilan.

Keterampilan serta material yang tersedia akan mengarahkan seseorang pada

perubahan perilaku. (2).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa

perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng dari pada perilaku yang

tidak didasari oleh pengetahuan (4)

Menurut Rodiah (2003), terdapat hubungan yang bermakna antara

pengetahuan anemia dengan status anemia pada remaja. Pengetahuan merupakan

hasil dari tahu, dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu

obyek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

untuk terbentuknya tindakan seseorang.

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
20

pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) pada Notoatmodjo (1993),

mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru didalam diri

orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :

• Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek)

• Interest (merasa tertarik), dimana orang mulai tertarik terhadap stimulus.

• Evaluation (mempertimbangan stimulus yang diterima)

• Trial (mencoba), dimana orang telah mencoba perilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, sikap terhadap stimulus (1)

Namun demikian dari penelitian lain, Rogers menyimpulkan bahwa

perubahan perilaku tersebut tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Menurut

Bloom pada Dhesiana (2009), pengetahuan yang dicakup di dalam domain

kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu :

 Pengetahuan, diartikan sebagai mengenal dan hafal terhadap sesuatu materi

yang telah dipelajari sebelumnya.

 Memahami, diartikan sebagai kemampuan untuk mengerti dan dapat

menginterpretasikan secara benar tentang obyek yang diketahui

 Penerapan (Aplication), diartikan sebagai suatu kemampuan untk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi

sebenarnya

 Analisis, diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu obyek ke dalam komponen-komoponen dan juga dapat menjabarkan

hubungan antara suatu materi atau suatu obyek dalam komponen.


21

 Sintesis, dapat menyusun struktur atau rancangan dari unsur-unsur.

 Evaluasi, pertimbangan atas dasar fakta-fakta yang ada (1).

b. Pendidikan orang tua

Pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau mengetahui

bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana menghindari atau

mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan orang lain,

kemana seharusnya mencari pengobatan bila sakit dan sebagainya . Faktor

pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang sehubungan dengan

pemilihan makanan yang dikonsumsi. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan

mempengaruhi pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih baik

dibandingkan seseorang yang berpendidikan lebih rendah.

Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku hidup sehat. Pendidikan

yang lebih tinggi memudahkan seseorang dalam menyerap informasi dan

mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khusunya

dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan

wanita mempengaruhi derajat kesehatan.

Tingkat pendidikan ibu terutama dapat menentukan pengetahuan, sikap, dan

keterampilannya dalam menentukan makanan keluarga. Peranan ibu biasanya

peling banyak berpengaruh terhadap pembentukan kebiasaan makan anak, karena

ibulah yang mempersiapkan makanan mulai mengatur menu, berbelanja,

memasak, menyiapkan makanan, dan mendistribusikan makanan. Pendidikan dan


22

pengetahuan ibu sangat berpengaruh terhadap kualitas hidangan yang disajikan,

pengetahuan gizi berkembang secara bermakna dengan sikap positif terhadap

perencanaan dan persiapan makanan. Semakin tinggi pengetahuan gizi ibu, maka

makin positif sikap ibu terhadap kualitas gizi makanan, sehingga makin baik

asupan gizi keluarga (2).

Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam penunjang ekonomi keluarga

juga berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta pengasuhan dan

perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih

mudah menerima informasi kesehatan khususnya bidang gizi, sehingga dapat

menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari

(4)

c. Pekerjaan orang tua


Pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi besarnya pendapatan, selain itu

juga lamanya waktu yang dipergunakan seseorang ibu untuk bekerja di dalam dan

di luar rumah, jarak tempat kerja dapat mempengaruhi makanan dalam

keluarganya (Khumaidi, 1989). Kunanto (1992) mengemukakan bahwa orangtua

dengan mata pencaharian tetap, sekalipun rendah jumlahnya tetapi setidaknya

memberikan jaminan sosial keluarga yang lebih aman jika dibandingkan dengan

pekerjaan tidak tetap dengan penghasilan tidak tetap (2).


d. Pendapatan orang tua

Pendapatan keluarga merupakan salah satu peubah ekonomi yang cukup

dominan sebagai determinan konsumsi pangan. Pendapatan keluarga yang

memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat

menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun sekunder.


23

Pendapatan/ penghasilan yang kecil tidak dapat memberi cukup makan pada

anggota keluarga, sehingga kebutuhan keluarga tidak tercukupi (2)

2. Riwayat penyakit

Anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena

infeksi (Permaesih dan Herman 2005). Telah diketahui secara luas bahwa infeksi

merupakan faktor yang penting dalam menimbulkan kejadian anemia, dan anemia

merupakan konsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang tidak

memenuhi kebutuhan zat besi.

Kehilangan darah akibat schistosomiasis, infestasi cacing, dan trauma dapat

menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia. Angka kesakitan akibat penyakit

infeksi meningkat pada populasi defisiensi besi akibat efek yang merugikan

terhadap sistem imun. Malaria karena hemolisis dan beberapa infeksi parasite

seperti cacing, trichuriasis, amoebiasis, dan schistosomiasis menyebabkan

kehilangan darah secara langsung dan kehilangan darah tersebut mengakibatkan

defisiensi besi (WHO 2001).

Adanya infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada dinding

usus, meskipun sedikit tetapi terjadi terus menerus sehingga dapat mengakibatkan

hilangnya darah atau zat besi. Infeksi cacing merupakan kontributor utama

terjadinya anemia dan defisiensi besi. Cacing tambang dapat menyebabkan

pendarahan usus yang memicu kehilangan darah akibat beban cacing dalam usus.

Intensitas infeksi cacing tambang yang menyebabkan anemia defisiensi zat besi

bervariasi menurut spesies dan status zat besi populasi. Cacing tambang yang
24

menyebabkan kehilangan darah terbesar adalah A. duodenale (Dreyfuss et al

2000).

Peningkatan kejadian akibat malaria pada penderita anemia gizi besi dapat

memperberat keadaan anemia. Malaria adalah infeksi parasit yang ditimbulkan

oleh satu dari empat spesies dari genus Plasmodium yaitu P. vivax, P. falciparum,

P. ovale, dan P. malariae. Pada malaria P. falciparum, anemia sering ditemukan

dan menggambarkan anemia berat (Shulman et al 1994).

Menurut hasil penelitian Wijianto (2002), penyakit infeksi seperti malaria

dapat menyebabkan rendahnya kadar Hb yang terjadi akibat hemolisis

intravaskuler. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada wanita hamil di Nepal,

terdapat bukti bahwa malaria berhubungan dengan defisiensi besi. Konsentrasi

serum ferritin pada wanita yang terjangkit P.vivax lebih rendah dan proporsi

wanita dengan serum ferritin rendah cenderung meningkat (Dreyfuss et al 2000).

Peradangan dan pemanfaatan hemoglobin oleh parasit memegang peranan

penting dalam etiologi anemia pada malaria. Peradangan tersebut terlihat dalam

studi pada anak-anak India (2-11 tahun) yang menderita malaria parah, sedang,

asimtomatik, dan tidak malaria. Hasil penelitian menunjukkan malaria

asimtomatik memiliki konsentrasi hemoglobin yang lebih rendah dibandingkan

dengan yang tidak menderita malaria. Walaupun persentase sel darah merah yang

terinfeksi malaria biasanya lebih sedikit, anemia dapat timbul akibat blokade

penempatan sel darah merah oleh faktor penghambat seperti hematopoiesis

(Thurnham & Northrop-Clewes 2007) (3).


25

3. Konsumsi Pangan

Tubuh mendapatkan zat besi melalui makanan. Kandungan zat besi dalam

makanan berbeda-beda, dimana makanan yang kaya akan kandungan zat besi

adalah makanan yang berasal dari hewani (seperti ikan, daging, hati dan ayam).

Makanan nabati (seperti sayuran hijau tua) walaupun kaya akan zat besi, namun

hanya sedikit yang bisa diserap dengan baik oleh usus (4)

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan

yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.

Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis

pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung

jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan)

merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan

dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang

dikonsumsi. Pangan sebagai sumber berbagai zat gizi merupakan kebutuhan yang

harus dipenuhi setiap hari (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).

Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang bioavailabilitasnya

tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara berkembang, yang

kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk nabati. Di Indonesia,

ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola konsumsi makan

masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber zat besi yang
26

sulit diserap. Sementara itu, daging dan bahan pangan hewani sebagai sumber zat

besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan.

Menurut Almatsier (2001) diperkirakan hanya 5-15 persen besi makanan

diabsorpsi oleh seseorang yang berada dalam status besi baik dan jika

dalamkeadaan defisiensi besi, absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk

besi berpengaruh terhadap absorpsi besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan

hewani dapat diserap dua kali lipat daripada besi nonheme.

Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme (dalam hemoglobin

dan mioglobin makanan hewani) dan besi nonheme (dalam makanan nabati).

Sumber besi nonheme yang baik diantaranya adalah kacang-kacangan. Asam fitat

yang terkandung dalam kedelai dan hasil olahannya dapat menghambat

penyerapan besi. Namun karena zat besi yang terkandung dalam kedelai dan hasil

olahannya cukup tinggi, hasil akhir terhadap penyerapan besipun biasanya akan

positif. Sayuran daun berwarna hijau memiliki kandungan zat besi yang tinggi

sehingga jika sering dikonsumsi maka akan meningkatkan cadangan zat besi di

dalam tubuh. Beberapa jenis sayuran hijau juga mengandung asam oksalat yang

dapat menghambat penyerapan besi, namun efek menghambatnya relatif lebih

kecil dibandingkan asam fitat dalam serealia dan tanin yang terdapat dalam teh

dan kopi.

Bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor

pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi dapat bervariasi dari 1-40 persen

tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam makanan (WHO

2001). Menurut FAO/WHO (2001), faktor pendorong penyerapan zat besi


27

diantaranya :

 Besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan, dan seafood

 Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan

 Makanan fermentasi seperti asinan dan kecap

Sedangkan faktor penghambat penyerapan zat besi :

 Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-kacangan

 Makanan dengan kandungan inositol tinggi

 Protein di dalam kedelai

 Besi yang terikat phenolic (tannin); teh, kopi, coklat, beberapa bumbu (seperti

oregano)

 Kalsium, terutama dari susu dan produk susu

Sumber baik zat besi berasal dari pangan hewani seperti daging, unggas, dan

ikan karena mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi. Pangan hewani seperti

daging sapi, daging unggas, dan ikan memiliki Meat, Fish, Poultry Factor (MFP

Factor) yang dapat meningkatkan penyerapan besi. Hasil pencernaan ketiga

pangan tersebut menghasilkan asam amino cysteinedalam jumlah besar.

Selanjutnya asam amino tersebut mengikat besi dan membantu penyerapannya.

Konsumsi pangan yang rendah kandungan zat besi dapat menyebabkan

ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Selain itu, tingginya konsumsi pangan

yang dapat menghambat penyerapan besi dan rendahnya konsumsi pangan yang

dapat membantu penyerapan besi di dalam tubuh juga dapat menyebabkan


28

ketidakseimbangan besi di dalam tubuh. Jika hal tersebut berlangsung dalam

jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan defisiensi besi.

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi

pangan adalah metode frekuensi pangan yang dalam pelaksanaannya dilakukan

pencatatan frekuensi atau banyak kali penggunaan pangan yang biasanya

dikonsumsi untuk suatu periode waktu tertentu. Metode ini bertujuan untuk

memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif

tentang pola konsumsi. Dengan metode ini dapat dilakukan penilaian frekuensi

penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (sumber lemak, sumber

protein, sumber zat besi, dan lain sebagainya) selama kurun waktu yang spesifik

(per hari, minggu, bulan, tahun) dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat

gizinya. Kuisioner biasanya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan

dan frekuensi penggunaan pangan) (3)

Dalam masa remaja, khususnya remaja putri sering sangat sadar akan bentuk

tubuhnya, sehingga banyak yang membatasi konsumsi makanannya. Bahkan

banyak yang berdiit tanpa nasehat atau pengawasan seorang ahli kesehatan dan

gizi, sehingga pola konsumsinya sangat menyalahi kaidah-kaidah ilmu gizi.

Banyak pantang atau tabu yang ditentukan sendiri berdasarkan pendengaran dari

kawannya yang tidak kompeten dalam soal gizi dan kesehatan, sehingga terjadi

berbagai gejala dan keluhan yang sebenarnya merupakan gejala kelainan gizi.

Banyak remaja putri yang sering melewatkan dua kali waktu makan dan

lebih memilih kudapan. Padahal sebagian besar kudapan bukan hanya hampa

kalori, tetapi juga sedikit sekali mengandung zat gizi, selain dapat mengganggu
29

(menghilangkan) nafsu makan. Selain itu remaja khususnya remaja putri semakin

menggemari junk food yang sangat sedikit (bahkan ada yang tidak ada sama

sekali) kandungan kalsium, besi, riboflavin, asam folat, vitamin A dan vitamin.

Keanekaragaman makanan dapat dilihat dalam susunan menu makanan yang

dikonsumsi. Keanekaragaman makanan dalam jumlah dan proporsi yang sesuai

dapat dijumpai dalam susunan menu yng seimbang, sehingga memenuhi

kebutuhan gizi seseorang guna pemeliharaan dan perbaikan sel-sel tubuh dan

proses kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan. Kehadiran atau

ketidakhadiran suatu zat gizi esensial dapat mempengaruhi ketersediaan, absorbs

metabolisme atau kebutuhan zat gizi lain. Adanya saling keterkaitan antar zat-zat

gizi ini menekankan keanekaragaman makanan dalam menu sehari-hari.kanan

atau minuman tertentu dapat mengganggu penyerapan zat besi di dalam tubuh.

Asam fitat dan faktor lain di dalam serat serealia dan asam oksalat di dalam

sayuran menghambat penyerapan besi. Asam fitat dan asam oksalat yang

terkandung dalam sayuran akan mengikat zat besi, sehingga mengurangi

penyerapan zat besi. Karena hal inilah, bayam meski tinggi kandungan zat besinya

bukan merupakan sumber zat besi yang baik. Oleh karena itu, jika hendak

mengonsumsi bayam dan sayuran lain, sebaiknya disertai dengan mengonsumsi

buah-buahan yang tinggi kandungan vitamin C nya, seperti jambu biji, jeruk dan

nanas. Namun lebih dianjurkan untuk meminumnya dalam bentuk jus. Sebab jika

dalam bentuk buah segar, yang kandungan seratnya masih tinggi, juga akan

menghambat penyerapan zat besi (4)


30

4. Menstruasi

Kematangan seksual pada remaja putri ditandai dengan terjadinya

menstruasi, menstruasi yang pertama disebut menarche, usia menarche yang

normal bervariasi antara 10-16 tahun. Pengertian menstruasi (haid) adalah

perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamsi

endometri). Menurut Manuaba (1998) pada Feriani (2004) jumlah darah yang

dikeluarkan saat menstruasi rata-rata 50-80 cc dan kehilangan zat besi sebesar 0-

40 mg. Menurut pedoman penanggulangan anemia gizi untuk remaja putri dan

wanita usia subur, pengeluaran darah saat menstruasi menyebabkan wanita

membutuhkan zat besi tiga kali lebih banyak dari pria sehingga kejadian anemia

pada wanita lebih tinggi di banding pria. Salah satu faktor penyebab anemia pada

wanita adalah terjadinya kehilangan darah yaitu pada saat menstruasi. Banyaknya

darah yang keluar berperan pada kejadian anemia karena wanita tidak mempunyai

persediaan Fe yang cukup dan absorpsi Fe ke dalam tubuh tidak dapat

menggantikan hilangnya Fe saat menstruasi (1).

Anemia pada remaja putri disebabkan masa remaja adalah masa

pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi lebih tinggi termasuk zat besi. Selain itu

pada masa remaja, seseorang akan mengalami menstruasi. Menstruasi ialah

perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus disertai pelepasan endometrium.

Lama menstruasi biasanya antara 3-5 hari dan ada yang 1-2 hari. Beberapa faktor

yang mengganggu kelancaran siklus menstruasi yaitu factor stres, perubahan berat
31

badan, olahraga yang berlebihan, dan keluhan menstruasi. Panjang daur dapat

bervariasi pada satu wanita selama saat-saat yang berbeda dalam hidupnya.

Menstruasi adalah suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh banyak

faktor antara lain lingkungan, musim, dan tingginya tempat tinggal dari

permukaan laut. Faktor lain yang penting adalah faktor sosial misalnya status

perkawinan dan lamanya menstruasi ibu. Usia dan ovulasi mempengaruhi

lamanya menstruasi. Rata-rata lama perdarahan pada kebanyakan wanita setiap

periode kurang lebih tetap. Saat menstruasi terjadi pengeluaran darah dari dalam

tubuh. Hal ini menyebabkan zat besi yang terkandung dalam hemoglobin, salah

satu komponen sel darah merah, juga ikut terbuang. Semakin lama menstruasi

berlangsung, maka semakin banyak pengeluaran dari tubuh. Hal tersebut

mengakibatkan pengeluaran besi meningkat dan keseimbangan zat besi dalam

tubuh terganggu.

Menstruasi menyebabkan wanita kehilangan besi hingga dua kali jumlah

kehilangan besi laki-laki). Apabila darah yang keluar saat menstruasi cukup

banyak, berarti jumlah zat besi yang hilang dari tubuh juga cukup besar. Setiap

orang mengalami kehilangan darah dalam jumlah yang berbeda-beda. Hal ini

dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keturunan, keadaan kelahiran, dan besar

tubuh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah darah yang hilang selama

satu periode menstruasi berkisar antara 20-25 cc dan dianggap abnormal jika

kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml. Jumlah 20-25 cc menyiratkan

kehilangan zat besi sebesar 12.5-15 mg/bulan atau kira-kira sama dengan 0.4-0.5
32

mg sehari. Jika jumlah tersebut ditambah dengan kehilangan basal maka jumlah

total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg perhari.

Wanita usia muda relatif lebih sedikit kehilangan darah menstruasi

dibandingkan dengan wanita usia lanjut yang masih mendapat menstruasi.

Kebanyakan wanita dengan tingkat menstruasi yang berat sangat mungkin terkena

anemia ringan (3).sSiklus menstruasi adalah suatu bentuk keseimbangan yang

rumit antara tubuh, pikiran dan emosi. Diatur oleh hormon-hormon dan bulan

siklus mentruasi bisa menjadi suatu sumber kesehatan menyeluruh (membantu

untuk menyeimbangkan tubuh dan emosi dan berperan sebagai sebuah kompas

bagi kehidupan wanita) atau sumber dari ketidaknyamanan dan penderitaan

utama. Ketidakseimbangan hormon-hormon yang berperan dalam siklus

mentruasi bias menimbulkan sejumlah masalah sebagai berikut:

1. Pendarahan terlalu sedikit atau terlalu banyak

2. Masa berlangsungnya menstruasi (perdarahan) yang terlalu singkat atau terlalu

lama

3. Siklus menstruasi terlalu pendek atau terlalu panjang

Sejumlah masalah siklus dan perdarahan pada menstruasi tersebut dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

1. POLIMENORE Polimenore adalah terjadinya perdarahan yang kurang lebih

sama atau lebih banyak dari volume perdarahan menstruasi normal dengan

panjang siklus menstruasi kurang dari 21 hari per siklusnya. Penyebabnya

adalah gangguan hormonal yang mengakibatkan gangguan pada proses

ovulasi.
33

2. OLIGOMENORE Oligomenore adalah volume perdarahan yang lebih sedikit

dari volume perdarahan menstruasi normal dengan panjang siklus menstruasi

lebih dari 35 hari per siklusnya.

3. AMENORE Amenore adalah berhentinya/tidak terjadinya perdarahan haid,

minimal 3 bulan berturut-turut dengan siklus haid memanjang dari siklus haid

klasik (oligomenore).

4. HIPERMENORE Hipermenore adalah terjadinya perdarahan haid yang

terlalu banyak dan berlangsung lebih lama dari normalnya (lebih dari 8 hari).

Penyebabnya adalah tumor uterus (mioma uteri), gangguan kontraksi uterus,

polip endometrium uteri, gangguan pelepasan lapisan endometrium uteri pada

saat terjadinya perdarahan haid.

5. HIPOMENORE Hipomenore adalah perdarahan haid yang lebih sedikit dari

biasanya, tetapi tidak mengganggu fertilitasnya. Penyebabnya adalah

gangguan hormonal endokrin dan kelainan uterus (2).

Anda mungkin juga menyukai