Anda di halaman 1dari 9

DEFINISI

Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur baik dikarenakan
oleh trauma maupun oleh non-trauma. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya
kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang
disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan
fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha..
Cedera ortopedi pada anak yang paling umum dan memerlukan rawat inap adalah fraktur femur.
Fraktur dan reaksi jaringan terhadap fraktur pada anak berbeda dengan dewasa. Perbedaan tersebut
berupa jenis fraktur, periosteum yang kuat dan lebih aktif, penyembuhan fraktur yang cepat, variasi
radiographic appereance, perbedaan komplikasi, perbedaan metode tatalaksana, robek dan
dislokasi lebih jarang pada anak, dan toleransi kehilangan darah lebih rendah.

PATOFISIOLOGI

Ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian korteks, sumsum tulang dan
jaringan lunak mengalami cidera yang dapat menyebabkan keadaan yang menimbulkan syok
hipovolemik. Pendarahan yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan sekitar daerah
cidera yang apabila di tekan atau di gerakan dapat timbul rasa nyeri yang hebat yang dapat
mengakibatkan syok neurogenik, sementara kerusakan pada sistem persarafan akan menimbulkan
kehilangan sensasi yang dapat berakibat paralisis yang menetap pada fraktur juga terjadi
keterbatasan gerak oleh karena fungsi pada daerah cidera.

Pada patah tulang, pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah. Sel darah putih dan sel
mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati di mulai. Di tempat patah terdapat fibrin hematoma fraktur dan
berfungsi sebagai jala-jala untuk membentukan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan
terbentuk tulang baru immatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang
baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati.

Fraktur akan menyatu baik di bebat atau tidak, tanpa suatu mekanisme alami untuk menyatu.
Namun tidak benar bila dianggap bahwa penyatuan akan terjadi jika suatu fraktur dibiarkan tetap
bergerak bebas. Sebagian besar fraktur dibebat, tidak untuk memastikan penyatuan, tetapi untuk
meringankan nyeri, memastikan bahwa penyatuan terjadi pada posisi yang baik dan untuk
melakukan gerakan lebih awal dan mengembalikan fungsi. Proses penyembuhan fraktur beragam
sesuai dengan jenis tulang yang terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Penyembuhan
dimulai dengan lima tahap, yaitu sebagai berikut

1. Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3 hari)

Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk hematoma di sekitar dan
di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah, akan
mati sepanjang satu atau dua milimeter. Hematom ini kemudian akan menjadi medium
pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan
fibrosis dengan kapiler di dalamnya .

2. Tahap radang dan proliferasi seluler (3 hari–2 minggu)

Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah
periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan
sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi
dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah tersebut

3. Tahap pembentukan kalus (2-6 minggu)

Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan
yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan, juga kartilago.
Populasi sel juga mencakup osteoklas yang mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang
tebal, dengan pulau-pulau tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada
permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang imatur menjadi lebih padat,
gerakan pada tempat fraktur semakin berkurang pada empat minggu setelah fraktur menyatu.

4. Osifikasi (3 minggu-6 bulan)

Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara perlahan–lahan diubah menjadi
tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan
kalus akan di resorpsi secara bertahap. Pembentukan kalus dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah
tulang melalaui proses penulangan endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang
benar-benar bersatu.
5. Konsolidasi (6-8 bulan)

Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa yang imatur berubah menjadi tulang
lamellar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos melalui
reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa
antara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal.

6. Remodeling (6-12 bulan)

Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan, atau
bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan
tulang akan memperoleh bentuk yang mirip bentuk normalnya.

KLASIFIKASI

A. Fraktur khusus pada anak


1. Fraktur Epifisial Plate
Area terlemah dari epifisial plate adalah zona kalsifikasi cartilago. Ketika epifisis
terpisah akibat injuri, garis patahan melewati area ini. Epifisis yang terlihat radiolusen
mengacu pada epifisial plate. Suplai darah epifisial plate masuk melalui permukaan.
Jika epifisis kehilangan suplai dan menjadi nekrotik, plate juga menjadi nekrotik dan
pertumbuhan menjadi berhenti. Pada epifisis daerah proksimal femoral dan proksimal
radial, pembuluh darah melewati sepanjang leher femur dan melintas epifisis plate.
Akibatnya pemisahan epifisis didaerah ini sering merusak suplai darah dan
mengakibatkan avaskular nekrosis epifisis dan epifisis plate berhenti tumbuh.
Kita harus menduga terjadi fraktur epifisial plate pada anak yang secara klinis
menunjukkan tanda pembengkakan terlokalisir dan nyeri tekan pada fraktur di daerah
akhir tulang panjang, trauma dislokasi, atau ligamen injuri seperti sprain. Diagnosa
tergantung dari pemeriksaan radiografi minimal 2 proyeksi. Jika tidak yakin apakah
garis radiolusen merupakan garis fraktur atau hanya epifisial plate, sebaiknya ditambah
proyeksi pembanding dengan ekstremitas normal didaerah yang sama.
Klasifikasi Salter-Harris
Pengelompokan cidera fisis yang sering digunakan adalah klasifikasi Shalter Harris
(SH), yang mendriskipsikan dalam 5 (lima) tipe yaitu :

Gambar 1. Fraktur Salter-Harris


1. SH I : Fraktur pada zona hipertropi kartilago fisis, memisahkan epifisis dan
metafisis secara longitudinal. Prognosis baik karena periosteal masih intact,
biasanya hanya dengan closed reduction.
2. SH II : Fraktur sebagian mengenai fisis dan fragmen segitiga metafisis; 75% dari
semua fraktur fisis. Closed reduction dapat dilakukan. Masih adanya bagian
periosteal yang intact dan fragmen metafisis dapat mencegah terjadinya
overreduction. Prognosis baik karena masih ada suplai darah ke epifisis yang utuh.
3. SH III : Fraktur pada fisis dengan diskontinuitas artikular. Mengenai sebagian fisis,
epifisis, dan permukaan sendi. Tipe ini sering terjadi pada remaja dimana salah satu
bagian epipisial plate telah menutup dan bagian lain masih terbuka. Sering
memerlukan ORIF untuk memastikan realignment anatomis dan memperbaiki
permukaan sendi. Prognosis baik akibat masih ada suplai darah ke bagian yang
terpisah dari epifisis yang masih baik.
4. SH IV: Fraktur berjalan oblik melewati permukaan sendi, epifisis, epifisial plate,
dan metafisis. Paling banyak terjadi pada fraktur condilus lateral humerus. ORIF
harus dilakukan untuk memperbaiki permukaan sendi dan posisi epifisial plate.
Prognosis pertumbuhan jelek kecuali dilakukan reduction secara sempurna.
5. SH V: Lesi kompresi pada fisis; sulit untuk mendiagnosis pada saat cidera. Tidak
tampak garis fraktur pada awal rontgen; jarang terjadi; Risiko besar terjadi
gangguan pertumbuhan.

2. Birth Fracture
Birth fracture pada tulang femur sering terjadi pada persalinan bayi dengan letak
sungsang tipe frank breech. Bentuk klinis berupa adanya deformitas dan terkulainya
kaki bayi dikonfirmasi dengan radiografi adanya fraktur yang umumnya terjadi di
midshaft. Bryant’s skin traksi pada kedua kaki dapat menyatukan fraktur selama 3
minggu. Sebagai alternatif, penggunaan hip spica cast untuk bayi cukup bulan atau
pavlik harness untuk bayi premature.

Gambar 1. Spica cast

Trauma lahir yang menyebabkan terpisahnya epifisis femur distal lebih sulit ditemukan
dengan klinis dan mungkin tidak terdeteksi hingga lutut tumbuh besar oleh karena proses
pembentukan tulang baru ekstensif yang memerlukan waktu 10 hari disertai bengkak pada
lutut. Bryant’s skin traksi dapat dipakai selama 10 hari dan memberikan prognosis baik.
Trauma lahir yang menyebabkan terpisahnya epifisis femur proksimal sulit dibedakan secara
klinis dengan dislokasi panggul, tetapi lebih jarang disebabkan karena proses trauma lahir.
Secara radiografi, perbedaan juga sulit disebabkan saat lahir, kepala, leher, dan trochanter
major belum terosifikasi sempurna. Untuk membedakan dengan dislokasi hip saat lahir dapat
menggunakan MRI atau orthrogram setelah 3 minggu akan terlihat ossifikasi tulang baru.
Tatalaksana dengan imobilisasi hip dengan abduksi dilanjutkan fleksi dengan spica cast
selama 2 minggu. Prognosis pertumbuhan baik karena saat lahir, terpisahnya epifisis
proksimal femur yang terdiri atas kepala, leher, dan trokanter major tidak membahayakan
suplai darah.

B. Fraktur femur pada anak


1. Fraktur Batang Femur (Femoral Shaft Fracture)
Etiologi fraktur batang femur bergantung pada usia. Pada infant, diafisis tulang
femur relative lemah dan mungkin patah karena beban karena terguling. Pada usia
anak taman kanak – kanak dan usia sekolah, sekitar setengah dari fraktur batang
femur disebabkan oleh kecelakaan berkecepatan rendah seperti terjatuh dari
ketinggian, misalnya dari sepeda, pohon, tangga atau sesudah tersandung dan
terjatuh pada level yang sama dengan atau tanpa tabrakan. Seiring dengan
meningkatnya kekuatan tulang femur, dengan maturitas selanjutnya pada masa
anak – anak dan remaja, trauma berkecepatan tinggi sering mengakibatkan fraktur
pada femur.
Fraktur pada batang femur jarang terjadi akibat trauma kelahiran, dengan
pengecualian tersebut, maka fraktur ini dapat juga disebabkan oleh arthrogryposis
multiplex congenital, myelomeningocele, dan osteogenesis imperfect. Kontraktur
yang kaku pada panggul dan lutut pada anak – anak dengan arthtogrypotic dapat
menyebabkan fraktur batang femur selama proses persalinan atau selama
penanganan selanjutnya. Kelompok risiko lainnya adalah bayi baru lahir dengan
penyakit neuromuscular seperti myelomeningocele, osteopenia. Dan osteogenesis
imperfect yang menyebabkan fraktur multiple.
2. Fraktur Subtrokanter Femur
Ketika terjadi fraktur femur daerah subtrokanter, otot masuk ke dalam fragmen
proximal, terutama sebagian illiopsoas dan otot gluteus sehingga membentuk posisi
fleksi, eksternal rotasi, dan abduksi.
Untuk mengkoreksi alignmen fraktur, skeletal traksi secara kontinyu harus
diberikan untu menarik bagian distal ke dalam in line posititon. Posisi skeletal traksi
masuk ke dalam tulang distal metafisis femur dengan paha posisi fleksi, eksternal
rotasi, dan abduksi. Kebanyakan fraktur femur subtrokanter terjadi pada anak yang
usianya lebih dari 10 tahun. Di usia ini, dapat menggunakan locked intramedullary
rod atau ORIF dengan nail plate
3. Fraktur Leher Femur
Leher femur pada anak sangat kuat tidak seperti orang dewasa, hanya trauma yang
hebat yang dapat menyebabkan fraktur. Fraktur leher femur adalah jenis fraktur
yang jarang tetapi memerlukan penanganan serius. Fraktur disekitar sendi panggul
disebabkan suatu paksaan seperti trauma energi tinggi atau pada keadaan yang
jarang sering dikaitkan dengan kondisi patologis. Fraktur leher femur juga sering
dikaitkan dengan kekerasan terhadap anak (child abuse). Insidensi fraktur leher
femur pada anak – anak adalah kurang dari 1%. Fraktur ini dapat terjadi pada anak
– anak semua usia, tetapi insidensi tertinggi pada usia 11 tahun dan 12 tahun,
dengan 60 – 70% terjadi pada anak laki – laki. Di negara berkembang penyebab
paling sering adalah kecelakaan lalu lintas sedangkan pada negara maju umunya
penyebabnya adalah jatuh dari ketinggian seperti dari pohon dan atap rumah. 30%
pasien – pasien ini mengalami cedera yang berkaitan dengan dada, kepala, dan
abdomen. Cedera pada ekstremitas seperti fraktur femur, tibia – fibula, dan pelvik
juga sering. Hal lain yang sering menyebabkan fraktur femur pada anak adalah
child abuse.
Fraktur panggul pada anak – anak diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan
morfologi. Cromwell pertama sekali menjelaskan fraktur pada leher femur pada
anak. Delbet mempublikasikan klasifikasi standar dari fraktur femur proksimal
pada tahun 1907. Klasifikasi ini tidak dikenal dengan baik hingga Collona (1929)
melaporkan 12 kasus dengan menggunakan klasifikasi Delbet. Klasifikasi Delbet
digambarkan dalam Tabel 1. Tabel 2 menggambarkan karakterisitik penting pada
fraktur femur pediatric berdasarkan tipe Delbet.

Tabel 1. Klasifikasi pada fraktur panggul pada anak – anak (Delbet)

Tipe I Pemisahan transepiphyseal (dengan atau tanpa dislokasi kepala


femur dari asetabulum)
Tipe II Transervikal
Tipe III Servikotrochantrik
Tipe IV Intertrokanter

Tabel 2. Fraktur leher femur pediatric – tipe dan karakteristik pentingnya

Tipe Insidens Penyebab Karakteristik penting


Delbet i
Tipe I 8% Trauma energi  50% kasus terjadi dengan dislokasi kaput
tinggi epifisis
Child abuse  Risiko tinggi AVN (20 – 100%) jika
Persalinan letak dikaitakan dengan dislokasi epifisis
sungsang yag  Diagnosis banding septik artritis,
sulit dislokasi panggul, lepasnya kaput femur
epifisis.
Tipe II 45% Trauma berat  Variasi yang paling banyak
 70 – 80% terjadi displace
 Risiko tinggi AVN (sampai 50%)
 Pada fraktur displace, hilangnya reduksi,
malunion, non- union, deformitas varus,
Tipe III 35% Trauma berat  AVN 20 – 25% tergantung pada
penempatan saat waktu cedera.
Tipe 12% Trauma  Nonunion dan AVN jarang
IV
Gambar 3. Klasifikasi dari fraktur femur proksimal pada anak,
berdasarkan klasifikasi Colonna dan Delbet.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arif, Mansjoer, et al. 2000.Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jakarta:FKUIMedica


Aesculpalus
2. Nayagam, Selvadurai. 2010. Apley’s System of Orthopedic and Fracture; 9th ed. London:
Hodder Arnold.
3. Loder RT, O’Donnell PW, Feinberg JR. Epidemiology and mechanisms of femur fracture
in children. J Pediatr Orthop 2006; 26(5):561-6.
4. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta: EGC
5. Smelthzer, Suzanne C.Bare,Brenda G. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner and Suddart, Edisi 8, Jakarta: EGC
6. Egol KA, Koval KJ, Zuckerman JD.2010. Hand Book of Fracture. Philadelphia : Lippincot
Williams and Wilkins. p. 400 – 418
7. Helmi, Noor Zairin. 2012 Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal, jilid 1, Jakarta:Salemba
Medika
8. Black, JM, Hawks JH. 2006.Medical Surgical Nursing, Clinical Management for Positive
Outcomes 8th Edition, Philadelpia: WB. Saunders Company
9. Benson M, Fixsen J, Macnicol M, Parsch K. 2010. Femoral Shaft Fracture In : Parsch K
(eds) Children’s Orthopaedics and Fractures Third Edition. London : Springer. p. 765 –
771
10. Bucholz FW. HeckmanJD, Court-Brown. CM. Tornetta P. 2010. Rockwood and Green’s
Fracture in Adults.7ed. USA: Lippincot William and Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai