Anda di halaman 1dari 20

CLINICAL SCIENCE SESSION

* Kepaniteraan Klinik Senior/ Juli 2019

** Pembimbing

LUKA KRONIK

Relia Seftiza, S.Ked.* dr. Pritha ,Sp.BP-RE**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN BEDAH RSUD MATTAHER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019
HALAMAN PENGESAHAN
CLINICAL SCIENCE SESSION

LUKA KRONIK

Oleh:

Relia Seftiza, S.Ked.

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas

Bagian Bedah RSUD Mattaher

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Jambi, Juni 2019

Pembimbing,

dr. Pritha, Sp.BP-RE


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Science Session
yang berjudul “Luka Kronik” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Bedah RSUD Mattaher.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Pritha, Sp.BP-RE., yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan.
Selanjutnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menambah
ilmu bagi para pembaca.

Jambi, Juni 2019

Penulis,
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN...................................................... . ii
KATA PENGANTAR................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................. 2
2.1 Definisi ................................................................................. 2
2.2 Penyembuhan Luka .............................................................. 2
2.3 Etiologi ................................................................................ 5
2.4 Gejala Klinis ........................................................................ 6
2.5 Persiapan Wound Bed .......................................................... 6
2.6 Modern Wound Dressing ..................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN

Luka dapat diklasifikasikan atas dasar Usia Luka ( Wound Age ), yaitu luka
akut dan luka kronik. Luka kronik adalah luka yang tidak sembuh dalam waktu yang
diharapkan. Ada yang mengatakan bila luka tidak sembuh dalam waktu 3 bulan maka
disebut luka kronik. Hal yang penting adalah pada luka kronik proses penyembuhan
melambat atau berhenti dan luka tidak bertambah kecil atau tidak bertambah dangkal.
Meskipun dasar luka tampak merah, lembab dan sehat tetapi bila proses penyembuhan
luka tidak mengalami kemajuan maka dikategorikan sebagai luka kronik.
Aterosklerosis merupakan penyebab paling umum dari iskemia kronis pada tungkai.1,2,3

Menurut Cohen,dkk luka akut akan mencapai penyembuhan normal melalui


proses penyembuhan yang diharapkan dalam waktu tertentu untuk mencapai
pemulihan integritas anatomi dan fungsi. Pada luka kronik maka terjadi kegagalan
untuk mencapai penyembuhan yang diharapkan dalam waktu tertentu untuk
menghasilkan pemulihan integritas anatomi dan fungsi. Penyembuhan luka kronik
biasanya berkepanjangan dan tidak lengkap. Luka akut biasanya terjadi pada individu
yang normal, sehat dan dapat dilakukan penutupan luka secara primer atau dibiarkan
menyembuh secara sekunder. Sebagian besar luka yang terjadi akibat trauma pada
organ atau jaringan dapat dikatagorikan sebagai luka akut. Luka kronik terjadi karena
kegagalan proses penyembuhan luka akibat ada kondisi patologis yang mendasarinya.
Luka kronik tidak akan sembuh bila penyebab yang mendasarinya tidak dikoreksi.
Seringkali luka kronik mengalami rekurensi. Diantara kondisi patologis tersebut adalah
penyakit vaskuler, oedema, diabetes melitus, malnutrisi dan tekanan (pressure). Torre
menyebutkan penyebab luka kronik diantaranya infeksi, hipoksia jaringan, trauma
berulang, adanya jaringan nekrotik/debris dan sebab sistemik seperti diabetes melitus,
malnutrisi, imunodefisiensi dan pemakaian obat-obatan tertentu.3,4,5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Luka kronik adalah luka yang tidak sembuh dalam waktu yang diharapkan. Ada
yang mengatakan bila luka tidak sembuh dalam waktu 3 bulan maka disebut luka
kronik. Hal yang penting adalah pada luka kronik proses penyembuhan melambat atau
berhenti dan luka tidak bertambah kecil atau tidak bertambah dangkal. Meskipun dasar
luka tampak merah, lembab dan sehat tetapi bila proses penyembuhan luka tidak
mengalami kemajuan maka dikatagorikan sebagai luka kronik.1,2,3

Menurut Cohen,dkk luka akut akan mencapai penyembuhan normal melalui


proses penyembuhan yang diharapkan dalam waktu tertentu untuk mencapai
pemulihan integritas anatomi dan fungsi. Pada luka kronik maka terjadi kegagalan
untuk mencapai penyembuhan yang diharapkan dalam waktu tertentu untuk
menghasilkan pemulihan integritas anatomi dan fungsi. Penyembuhan luka kronik
biasanya berkepanjangan dan tidak lengkap. 4,5

2.2 Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka bersifat dinamis dengan tujuan akhir pemulihan


fungsi dan integritas jaringan. Dengan memahami biologi penyembuhan luka, kita
dapat mengoptimalkan lingkungan jaringan dimana luka berada.5

Proses penyembuhan luka merupakan hasil akumulasi dari proses-proses yang


meliputi koagulasi, inflamasi, sintesis matriks dan substansi dasar, angiogenesis,
fibroplasia, epitelisasi, kontraksi dan remodeling. Tetapi secara garis besar proses
kompleks ini dibagi menjadi tiga fase penyembuhan luka : Fase inflamasi, fase
proloferasi dan fase maturasi.5
Gambar I : Proses Penyembuhan Luka

Gambar II. Proses Penyembuhan Luka


Gambar III : Proses Penyembuhan Luka

A. Fase Inflamasi
Fase inflamasi secara klinis ditandai dengan cardinal sign: Rubor, calor, tumor,
dolor serta function laesa. Proses ini terjadi segera setelah trauma. Secara simultan
kaskade pembekuan, arachidonic pathways dan pembentukan growth factors serta
sitokin bekerjasama memulai dan mempertahankan fase ini.5

Setelah cedera jaringan pembuluh darah segera mengalami vasokonstriksi,


produk tromboplastik jaringan menjadi terpapar dan dimulailah kaskade komplemen
dan koagulasi. Platelet yang terperangkap dalam luka mengalami degranulasi,
melepaskan substansi biologis yang penting untuk penyembuhan luka. Setidaknya ada
tiga jenis substansi yang dilepaskan : a) Alpha granules yang mengandung growth
factors seperi TGFbeta, PDGF, dan Insuline Like Growth Factors-1 ( IGF-1), b) Dense
bodies yang mengandung amine vasoaktif seperti serotonin yang berfungsi
meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler dan c) Lisosom yang mengandung
hidrolase dan protease.6

B. Fase Proliferasi
Fase proliferasi penyembuhan luka dimulai kira-kira 2-3 hari setelah terjadinya
luka, ditandai dengan munculnya fibroblast. Fibroblast bermigrasi dari tepi luka
menggunakan matrix fibrin-based provisional yang dibentuk selama fase inflamasi.
Dalam minggu pertama luka fibroblast dikendalikan oleh makrofag: b-FGF, TGF-beta
dan PDGF yang berperan dalam proliferasi dan sintesis glycosaminoglycans dan
proteoglycans, serta kollagen.4,5

Pada fase ini fibroblast merupakan tipe sel dominan, dan mencapai puncaknya
pada hari ke 7-14. Setelah sekresi kolagen fibroblast kemudian bergabung membentuk
fibro-kolagen. Peningkatan jumlah jaringan kolagen pada luka berbanding lurus
dengan kekuatan regangan luka.4,5

Pada fase ini juga terjadi stimulasi jumlah keratinosit dan populasi sel endotel.
Secara simultan dengan proliferasi seluler terjadi perkembangan angiogenesis yang
diawali dari pembuluh darah dari tepi luka, selanjutnya disebut neovaskularisasi.4,5

C. Fase Maturasi
Produksi kolagen baru masih merupakan proses dominan penyembuhan luka
dari minggu pertama sampai keenam. Kolagen ditempatkan secara random pada
jaringan granulasi luka akut. Remodeling kolagen menjadi struktur yang lebih
terorganisasi terjadi selama proses maturasi, meningkatkan kekuatan regangan luka.
Selama pembentukan parut, kolagen tipe III jaringan granulasi digantikan oleh kolagen
tipe I sampai perbandingannya 4:1.5

Luka akhirnya ditutup oleh migrasi sel-sel epitel yang berasal dari tepi luka,
mengisi defek sampai terjadi kontak dengan epitel dari sisi berlawanan dan
menghentikan proses migrasi ketika kontak terjadi. Proses epitelisasi ini tidak
memberikan kontribusi pada kekuatan penyembuhan luka,karena proses remodeling
terjadi dibawahnya.5

2.3 ETIOLOGI

Selain sirkulasi yang buruk, neuropati, dan kesulitan bergerak, faktor yang
berkontribusi terhadap luka kronis adalah penyakit sistemik, usia, dan penyakit trauma.
Comorbid berulang yang dapat berkontribusi pada pembentukan luka kronis termasuk
vaskulitis (radang pembuluh darah), kekebalan penindasan, pioderma gangrenosum,
dan penyakit yang menyebabkan iskemia. Penekanan kekebalan dapat disebabkan oleh
penyakit atau obat medis yang digunakan dalam jangka panjang, misalnya steroid.5

Faktor lain yang dapat menyebabkan luka kronis adalah usia tua. Kulit orang
tua lebih mudah rusak, dan sel-sel yang lebih tua tidak berkembang biak secepat dan
tidak mungkin memiliki respon yang memadai terhadap stres dalam hal upregulation
gen yang terkait dengan stres protein. Fibrosis kronis, aterosklerosis, edema, penyakit
sel sabit, dan arteri insufisiensi merupakan penyakit yang terkait dengan luka kronis.
Faktor utama yang menyebabkan luka kronis, di antaranya adalah iskemia, cedera
reperfusi, dan kolonisasi bakteri.5

2.4 GEJALA KLINIS

Pasien luka kronis sering mengeluhkan nyeri yang dominan. Enam dari sepuluh
pasien dengan kaki vena ulkus mengalami nyeri. Nyeri persisten (pada malam hari, saat
istirahat, dan saat aktivitas) adalah masalah utama bagi pasien dengan ulkus kronis.5

2.5 PERSIAPAN WOUND BED

Penatalaksanaan luka kronis berbeda dengan luka akut. Pada luka kronis, terjadi
kemacetan pada fase inflamasi dan proliferasi sehingga terjadi keterlambatan
penyembuhan luka. Bagian epidermis gagal untuk melakukan migrasi melewati dasar
luka. Luka kronis menghasilkan matriks molecular yang berlebihan akibat disfungsi
selular dan disregulasi. Fibrinogen dan fibrin pada luka kronis diperkirakan
menghambat faktor pertumbuhan dan molekul lain yang berfungsi untuk penyembuhan
luka. Cairan pada luka kronis secara biokimiawi juga berbeda dengan luka akut karena
menghambat proliferasi sel. Oleh sebab itu adanya persiapan dasar luka membantu
dokter untuk melakukan fokus tersistemik pada komponen kritikal dari penyembuhan
luka sehingga didapatkan luka yang stabil dengan granulasi yang sehat dan
vaskularisasi yang bagus.5,7,8
Komponen utama pada preparasi dasar luka meliputi: manajemen jaringan,
kontrol infeksi dan inflamasi, keseimbangan kelembaban dan epitelisasi tepi luka.
Konsep TIME ini merupakan alat penting untuk menilai penghalang terjadinya
penyembuhan luka. Penting untuk mengetahui persiapan dasar luka dan perawatan
pasien secara menyeluruh. Jika luka gagal untuk sembuh biasanya terdapat gangguan
baik lokal maupun sistemik harus dilakukan peninjauan dan terapi. Penyembuhan luka
dapat diperoleh secara cepat jika kita menemukan etiologi dasarnya. Selain berfokus
pada luka itu sendiri, tidak dilupakan adalah faktor sistemik pada pasien itu sendiri.8

Pada awalnya pasien dan lingkunganannya menjadi fokus untuk mencapai


keberhasilan program. Pasien harus mengetahui penyakit dasarnya dan
penatalaksanaan rasional yang dimiliki. Penilaian dan terapi dari penyakit dasar ini
merupakan hal yang penting yang nantinya akan berpengaruh pada persiapan dasar
luka. Seperti contohnya debridemen secara tajam biasa digunakan untuk pasien dengan
kaki diabetic sedangkan terapi kompresi banyak dipakai untuk ulkus vena. Selanjutnya
adalah menilai efektifitas dari terapi yang kita lakukan. Pasien yang sudah sembuh
tidak dimasukkan dalam siklus ini, tetapi pasien yang tidak mengalami perkembangan
dan lukanya tidak mengalami perkembangan harus dinilai dengan TIME.8

D : Debridement

I : Infection/inflammation

M : Moisture imbalance

E : Edge, which is not advancingor undermining

a) Debridement
Karakteristik dari jaringan pada dasar luka memegang peranan penting
pada penyembuhan luka. Deskripsi yang akurat terhadap jaringan ini memiliki
peranan penting nantinya. Jika tissue non viable atau deficient maka
penyembuhan luka akan terhambat. Seperti diketahui adanya infeksi
menyebabkan inflamasi akan diperpanjang sehingga secara mekanis akan
menghambat proses kontraksi dan re-epitelisasi.5,8
Dasar luka yang nekrotik, eskar, slough merupakan gambaran non
viable. Sel epidermal dapat migrasi melalui permukaan luka diperlukan matriks
extraselular, oleh sebab itu penghilangan jaringan avital merupakan hal yang
penting. Jaringan nekrosis atau eskar diidentifikasi melalui jaringan berwarna
hitam atau abu-abu gelap, kering, teraba keras atau seperti kulit.5,8
Eskar merupakan jaringan tebal, kering dan avital yang tumbuh akibat
iskemia yang berkelanjutan. Jaringan ini merupakan jaringan granulasi setelah
kematian dari fibroblast dan sel endotel yang juga mengandung sel inflamatorik
dan menghambat pembentukan matriks ekstraselular. Jaringan nekrotik
berperan sebagai penghalang fisik untuk migrasi sel dan hidrasi pada
permukaan kulit terhambat.5,8
Slough merupakan materi fibrous lengket berasal dari protein, fibrin dan
fibrinogen, berwarna kekuningan seperti krim dan ditemukan menempel pada
dasr luka atau terlepas, lebih lembab. Adanya jaringan avital pada luka
menyebabkan klinisi susah untuk melakukan penilaian kedalaman luka.
Debridement diperlukan disini untuk mengetahui kedalaman luka. Tetapi pada
awalnya kita perlu mengetahui aliran darah pada area ini terutama jika luka
berada di kaki. Jika dibutuhkan revaskularisasi, maka tidak dianjurkan untuk
melakukan debridemen sampai viabilitas jaringan ditegakkan.5,8
Debridemen merupakan proses penghilangan jaringan avital ataupun
material luar dari luka. Pada luka kronis dapat dilakukan debridemen lebih dari
sekali karena proses penyembuhan luka dapat terhambat pada jaringan avital
yang terus bertumbuh. Metode yang digunakanan dapat berupa surgical, tajam,
autolysis, enzimatik, larva atau mekanikal.5,8
 Surgikal
Merupakan cara debridemen yang cepat untuk menghilangkan jaringan
avital sehingga merubah dari luka kronis menjadi luka akut. Tindakan ini
dilakukan jika terdapat jaringan avital yang luas dan terdapat resiko infeksi.
Pengetahuan tengang anatomi, identifikasi viable atau non viable tissue,
penanganan komplikasi seperti perdarahan penting dalam hal ini
 Autolitik
Merupakan proses selektif yang melibatkan makrofag dan enzim
proteolitik endogenus yang mencairkan dan membebaskan jaringan nekrotik
atau eskar dari jaringan sehat. Proses alami ini dipercepat dengan dressing
oklusiv atau semi oklusive untuk menciptakan lingkungan yang lembab dan
mempercepat granulasi
 Enzimatik
Jarang digunakan untuk debridemen tetapi efektif untuk penghilangan
jaringan nekrotik seperti eskar, jika surgical bukan merupakan pilihan. Enzim
eksogenus dipaparkan pada dasar luka sehingga akan bersatu dengan enzim
endogenus dan menghancurkan jaringan avital.
 Larva
Cepat dan efisien untuk menghilangkan slough dan debris pada luka,
tetapi secara social belum dapat diterima oleh banyak kalangan. Larva steril
menghasilkan enzim untuk memecah jaringan avital tanpa menghancurkan
jaringan granulasi sehat.
 Mekanikal
Dengan irigasi atau dressing , tetapi jarang digunakan karena nyeri dan
merusak jaringan granulasi baru. Jika debridement sudah efektif , proses
penyembuhan luka dapat berlanjut.
b) Infeksi/ Inflamasi
Infeksi akan menyebabkan nyeri dan rasa tidak nyaman pada pasien,
penyembuhan luka yang lama, dan mengancam jiwa. Jika ditemukan infeksi
maka biaya untuk perawatan luka juga meningkat. Semua luka memiliki
bermacam macam bakteri baik itu dari tingkat kontaminasi sampai ke
kolonisasi kritis (bacterial burden or occult infection) sampai infeksi.
Peningkatan bacterial burden dapat terbatas pada permukaan dasar luka atau
sampai dalam ke bagian kompartemen,jaringan sekitarnya atau batas luka.
Faktor lokal dan sistemik dapat menyebabkan perkembangan infeksi.
Tidak dapat dilupakan adalah kondisi imun dari pasien yang menentukan
terjadinya infeksi. Adanya resistensi host akibat perfusi jaringan yang rendah,
nutrisi yang buruk, edema, atau merokok dan alcohol mengganggu
penyembuhan luka;. Sedangkan faktor sistemik lainnya seperti penggunaan
steroid atau obat imunosupresive mengingkatkan komorbiditas. Faktor lokal
seperti nekrotik tissue, materi luar, frakmen kasa, dressing dapat menyebabkan
infeksi. Jika luka terinfeksi, maka mikroorganisme akan bereplikasi dan
menurunkan respon dari host.
Pada infeksi akut, respon imun diperoleh dengan pelepasan sitokin dan
faktor peertumbuhan, dan kemudian dilanjutkan dengan kaskade inflamasi
yang menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke
bagian yang luka, sehingga menfasilitasi penghancuran mikroorganisme,
jaringan luar, toksin bakteri dan enzim oleh sel fagosit, komplemen dan
antibody. Koagulasi diaktifasi di tempat infeksi untuk melindungi host. Pada
luka kronis , mikroorganisme yang virulen menyebabkan fase inflamasi
diperpanjang sehingga terjadi cedera pada host. Produksi persisten mediator
inflamasi dan migrasi netrofil yang terus menerus menghasilkan enzim sitolitik
dan oxygen free radikal. Trombosis lokal dan pelepasan metabolit
vasokonstriksi menyebabkan hipoksia dan meningkatkan terjadinya proliferasi
bakteri dna penghancuran jaringan.
Adanya bakteria pada luka kronis bukan merupakan tanda infeksi masih
berlanjut. Mikroorganisme dapat tumbuh pada luka kronis dan pada level
rendah, bakteri memfasilitasi penyembuhan luka dengan memproduksi enzim
seperti hyaluronidase yang berkonstribusi pada debrideent luka dan release
protease. Diagnosis infeksi diperlukan ketajaman pemeriksaan dan data
mikrobiologi dengan tandan nyeri, kemerahan, edema, discharge purulent,
hangat. Pada luka kronis ditambahkan penyembuhan luka yang terhambat,
eksudat , granulasi, jaringan yang rapuh, slough, undermining, malodor.
Penatalaksanaan infeksi harus berfokus pada pengoptimalan resistensi
host dengan meningkatkan kekebalan dengan nutrisi adekuat, hindari merokok
dan penatalaksanaan komorbid. Antibiotik sistemik belum tentu diperlukan
untuk menangani luka yang superfisial. Penanganan pertama dengan
debridemen, pembersihan luka dan penggunaan antimikrobial topical. Hal
yang harus diperhatikan sekarang adalah peningkatan resistensi antibiotika.
Silver dan povidone iodine memiliki efek terhadap MRSA. Tanda sistemik dari
infeksi seperti demam, selulitis yang meluas >1 cm dari tepi luka dan luka yang
dalam memerlukan pemberian antibiotika sistemik.
c) Moisture balance
Kelembaban diperlukan untuk penyembuhan luka. Eksudat dihasilkan
sebagai respon terhadap kerusakan jaringan dan bergantung pada tekanan
jaringan. Luka yang melewati fase penyembuhan normal biasanya cukup
lembab untuk merangsang epitelialisasi , proliferasi dan devitalisasi jaringan
dengan autolysis. Jika luka menjadi infeksi maka eksudat akan diproduksi
akibat vasodilatasi.
Pada luka akut, cairan luka merangsang stimulasi fibroblast dan
pembentukan sel endothelial yang kaya lekosit dan nutrient. Pada luka kronis
ditemukan protease tinggi yang akan menghambat penyembuhan luka dan
menghambat proliferasi. Sehingga enzim proteolitik dan penurunan faktor
pertumbuhan menghambat pertumbuhan matrix ekstraselular dan migrasi
permukaan terhambat. Kelembaban pada luka merupakan proses otolitik alami
dan transport faktor pertumbuhan selama epitelialisasi. Jika kering maka akan
muncul kerak yang menghambat pertumbuhan jaringan sehingga matrik
kolagen dan jaringan sekitarnya kering. Tetapi dilain pihak jika eksudat
berlebih maka luka menjadi jenuh dan terjadi maserasi dan eksoriasi shingga
meningkatkan resiko terjadinya infeksi.
Penilaian eksudat penting dalam manajemen luka. Tipe, jumlah,
kejernihan perlu dicatat dan pemilihan dressing harus didasarkan dari tipe
eksudat. Jika luka terlalu kering maka harus dilakukan rehidrasi. Dressing
oklusive menjaga kelembaban luka. Jika luka menyembuh maka produksi
eksudat juga agak berkurang.
Pemilihan dressing dapat berupa foam, hidrokoloid, alginate,
hidrofiber, cadexomer iodine sampai dressing capillary. Semua bertujuan untuk
menghilangkan cairan berlebih dari permukaan luka. VAC terapi atau Tekanan
negatif total yang menarik cairan dari permukaan luka juga dapat dipakai.
Kondisi sekitar kulit juga penting untuk kulit yang rapuh yang dengan eksudat
berlebih menyebabkan maserasi , eksoriasi, dermatitis iritat. Aplikasi dari skin
barrier dapat mengurangi resiko ini.

d) Edge
Tepi epidermis dari luka yang gagal migrasi ke tepi luka menyebabkan
luka gagal mengalami kontraksi dan berkurang ukurannya. Oleh sebab itu harus
dinilai ulang wound bed dan penyebab luka kronis. Tahap akhir luka adalah
epitelialisasi yang aktif mengalami pembelahan, migrasi dan maturasi. Faktor
yang yang mempengaruhinya adalah jaringan granulasi tervaskularisasi untuk
dapat terjadinya proliferasi sel epidermal dan migrasi, oksigen dan nutrisi
adekuat sehingga dapat terjadi pembelahan sel. Pada senescent, terjadi
kelambatan pertumbuhan atau benar-benar terhenti pembelahannya akibat
kerusakan dna atau prolong hipoksia, infeksi, kekeringan, trauma,
hiperkratosis, kalus.
Hipoksia menyebabkan gangguan lekosit membunuh bakteri dan
menurunkan produksi kolagen dan menurunkan epitelialisasi. Luka
membutuhkan aliran mikro dan makrosirkulasi yang baik.

2.6 MODERN WOUND DRESSING


Dalam memilih jenis dressing untuk menutup luka, ada beberapa pedoman dan
aturan yang harus dipenuhi. Kriteria di bawah ini adalah sebuah kriteria untuk suatu
dressing / penutup luka yang baik, diantaranya:

1) Memelihara lingkungan yang lembab.


2) Dapat memfasilitasi autolytic debridement
3) Dapat digunakan untuk berbagai macam tipe luka
4) Tersedia dalam berbagai macam ukuran
5) Bersifat adsorbent / menyerap
6) Memiliki sifat menahan / suhu
7) Menahan bakteri
8) Dapat mereduksi nyeri, tidak nyeri saat dibuka
Alogritma Pemilihan Wound Dressing
DAFTAR PUSTAKA

1. Brown DL. Wound. In: In: Brown DL, Borschel GH, editors. Michigan Manual
of Plastic Surgery. 1st ed. Philadelphia, USA: Lippincott Williams &
Wilkins;2004.p.1-9
2. K. Wayne Johnston, MD: Rutherford: Vascular Surgery, 6th ed., Copyright ©
2005 Saunders, An Imprint of Elsevier
3. Judd H. Wound Care made Incredibly Easy.1sted.Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2003.p.30-34
4. Cohen IK, Diegelmann RF, Yager DR, Wornum IL, Graham MF, Crossland
MC. Wound Care and Wound Healing. In : Schwartz SI, Shires GT, Spencer
FC, Daly JM, Fischer JE, Galloway AC, editors. Principles of Surgery. 7th ed.
NewYork: Mc-Graw Hill; 1999.p263-294
5. Torre JDL, Sholar A. Wound Healing, Chronic Wounds. e-Medicine from
WebMD (serial online) 2006 (cited 2006 May 26);1(477) Available from URL:
HYPERLINK http://www.emedicine.com/plastic/topic477.htm
6. Adzick NS. Wound healing: Biological and Clinical features. In: Sabiston DC,
Lyerly HK, editors. Textbook of Surgery: The biological basis of modern
surgical practice. 15th edition. Philadelphia:W.B Saunders Company, 1997.p.
207-15
7. Chronic Wound Care Guidelines, Copyright ©2007. The Wound Healing
Society 341 N. Maitland Ave: Florida.
8. Werdin, Frank, MD. Evidenced-based Management Strategies for Treatment of
Chronic Wounds. Eplasty. 2009: 9-e19.

Anda mungkin juga menyukai