Anda di halaman 1dari 7

HUTAN MANGROVE, PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA 1

Oleh:
Urip Santoso2

Pendahuluan
Kita terhenyak begitu banyak bencana melanda negeri ini, dari Sabang sampai
ke Merauke telah kebagian bencana. Kita bertanya-tanya, mengapa begitu banyak
bencana dari longsor, banjir hingga tsunami. Mari sejenak kita merenung. Adakah
kita sebagai manusia yang dipercaya sebagai khalifah dimuka bumi telah menunaikan
amanah itu? Sudah bukan rahasia lagi, negeri kita yang dulunya terkenal dengan
hutannya, sekarang dimana-mana telah banyak hutan yang rusak. Sebagai contoh saja
kita simak hutan di Propinsi Bengkulu. Dari luasan hutan sebesar 920.964 ha,
394.414,1 ha telah mengalami kerusakan. Selain itu, dari 340.575 ha kawasan TNKS
wilayah administrasi Propinsi Bengkulu 123.534,58 ha atau sekitar 36,27% telah
rusak parah (kondisi non-hutan). Penyebab utama kerusakan hutan diduga
dikarenakan illegal logging, perambahan, penambangan, konversi hutan dll baik oleh
pengusaha, masyarakat maupun oknum tak dikenal.
Salah satu hutan yang telah rusak adalah hutan mangrove. Hutan mangrove di
sepanjang pantai barat dan timur pulau Sumatera telah rusak lebih dari 50%. Propinsi
Bengkulu memiliki laut sepanjang 525 km. Sebanyak 50% hutan mangrove yang
terdapat di 525 km pantai Bengkulu telah mengalami kerusakan dan perlu segera
direboisasi. Reboisasi hutan mangrove sangat penting, karena akan menjaga abrasi
pantai, mengembalikan habitat biota laut serta meminimalisasi terjadinya bencana
akibat gelombang tsunami.

Apa Itu Hutan Mangrove


Hutan mangrove adalah hutan yang berada di daerah tepi pantai yang dipengaruhi
oleh pasang surut air laut, sehingga lantai hutannya selalu tergenang air. Menurut
Steenis (1978) mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang
surut. Nybakken (1988) bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang
digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropic yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan
untuk tumbuh dalam perairan asin. Soerianegara (1990) bahwa hutan mangrove
adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daearah teluk dan di
muara sungai yang dicirikan oleh: 1) tidak terpengaruh iklim; 2) dipengaruhi pasang
surut; 3) tanah tergenang air laut; 4) tanah rendah pantai; 5) hutan tidak mempunyai
struktur tajuk; 6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari api-api (Avicenia sp.),
pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih
(Xylocarpus sp.), nipah (Nypa sp.) dll.
Hutan mangrove dibedakan dengan hutan pantai dan hutan rawa. Hutan pantai
yaitu hutan yang tumbuh disepanjang pantai, tanahnya kering, tidak pernah
mengalami genangan air laut ataupun air tawar. Ekosistem hutan pantai dapat terdapat
disepanjang pantai yang curam di atas garis pasang air laut. Kawasan ekosistem hutan
pantai ini tanahnya berpasir dan mungkin berbatu-batu. Sedangkan hutan rawa adalah
hutan yang tumbuh dalam kawasan yang selalu tergenang air tawar. Oleh karena itu,
hutan rawa terdapat di daerah yang landai, biasanya terletak di belakang hutan payau.

1
Disampaikan pada Acara Diskusi Pusat Studi Lingkungan Hidup dengan Lembaga Pengelola
Lingkungan Hidup Daerah tanggal 1 April 2007 di Batam.
2
Ketua Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas Bengkulu

1
Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Fungsi ekosistem mangrove mencakup fungsi fisik (menjaga garis pantai
agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut/abrasi, intrusi air laut, mempercepat
perluasan lahan, dan mengolah bahan limbah), fungsi biologis (tempat pembenihan
ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air, tempat bersarangnya burung,
habitat alami bagi berbagai jenis biota) dan fungsi ekonomi (sumber bahan baker,
pertambakan, tempat pembuatan garam, bahan bangunan dll. (Naamin, 1990),
makanan, obat-obatan & minuman, gula alcohol, asam cuka, perikanan, pertanian,
pakan ternak, pupuk, produksi kertas & tannin dll. Menurut Wada (1999) bahwa 80%
dari ikan komersial yang tertangkap di perairan lepas/dan pantai ternyata mempunyai
hubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem mangrove. Hal
ini membuktikan bahwa kawasan mangrove telah menjadi kawasan tempat breeding
& nurturing bagi ikan-ikan dan beberapa biota laut lainnya. Hutan mangrove juga
berfungsi sebagai habitat satwa liar, penahan angina laut, penahan sediment yang
terangkut dari bagian hulu dan sumber nutrisi biota laut.
Kusmana (1996) menyatakan bahwa hutan mangrove berfungsi sebagai: 1)
penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak yang kuat; 2) pengolah limbah
organic; 3) tempat mencari makan, memijah dan bertelur berbagai biota laut; 4)
habitat berbagai jenis margasatwa; 5) penghasil kayu dan non kayu; 6) potensi
ekoturisme.
Gosalam et al. (2000) telah mengisolasi bakteri dari ekosistem hutan
mangrove yang mampu mendegradasi residu minyak bumi yaitu Alcaligenes faecalis,
Pseudomonas pycianea, Corynebacterium pseudodiphtheriticum, Rothia sp., Bacillus
coagulans, Bacillus brevis dan Flavobacterium sp.
Hutan mangrove secara mencolok mengurangi dampak negative tsunami di pesisir
pantai berbagai Negara di Asia (Anonim, 2005a). Ishyanto et al. (2003) menyatakan
bahwa Rhizophora memantulkan, meneruskan dan menyerap energi gelombang
tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar
melalui rumpun Rhizophora (bakau). Venkataramani (2004) menyatakan bahwa hutan
mangrove yang lebat berfungsi seperti tembok alami. Dibuktikan di desa Moawo
(Nias) penduduk selamat dari terjangan tsunami karena daerah ini terdapat hutan
mangrove yang lebarnya 200-300 m dan dengan kerapatan pohon berdiameter > 20
cm sangat lebat. Hutan mangrove mengurangi dampak tsunami melalui dua cara,
yaitu: kecepatan air berkurang karena pergesekan dengan hutan mangrove yang lebat,
dan volume air dari gelombang tsunami yang sampai ke daratan menjadi sedikit
karena air tersebar ke banyak saluran (kanal) yang terdapat di ekosistem mangrove.

Hutan Mangrove di Indonesia


Luasan hutan mangrove di dunia 15,9 juta ha dan 27%-nya atau seluas 4,25
juta ha terdapat di Indonesia (Arobaya dan Wanma, 2006). SeLuasan ini
penyebarannya hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan penyebaran terluas di
Papua. Menurut Anonim (1996) bahwa luas hutan mangrove di Indonesia sebesar
3,54 juta ha atau sekitar 18-24% hutan mangrove dunia, merupakan hutan mangrove
terluas di dunia. Negara lain yang memilki hutan mangrove yang cukup luas adalah
Nigeria seluas 3,25 juta ha,

2
Tabel 1. Luas hutan mangrove di Indonesia (Supriharyono, 2000)
No. Wilayah Luas (ha)
1. Aceh 50.000
2 Sumatera Utara 60.000
3 Riau 95.000
4 Sumatera Selatan 195.000
5 Sulawesi Selatan 24.000
6 Sulawesi Tenggara 29.000
7 Kalimantan Timur 150.000
8 Kalimantan Selatan 15.000
9 Kalimantan Tengah 10.000
10 Kalimanta Barat 40.000
11 Jawa Barat 20.400
12 Jawa Tengah 14.041
13 Jawa Timur 6.000
14 Nusa Tenggara 3.678
15 Maluku 100.000
16 Irian Jaya 2.934.000
Total 3.806.119

Tabel 2. Luas hutan mangrove di Indonesia (FAO, 2002).


Wilayah Luas (ha) Persen
Bali 1.950 0,1
Irian Jaya 1.326.990 38
Jawa 33.800 1
Jawa Tengah 18.700 0,5
Jawa Barat 8.200 0,2
Jawa Timur 6.900 0,2
Kalimantan 1.139.460 32,6
Kalimantan Barat 194.300 5,6
Kalimantan Tengah 48.740 1,4
Kalimantan Timur 775.640 22,2
Kalimantan Selatan 120.780 3,5
Maluku 148.710 4,3
Nusa Tenggara 15.400 0,4
Sulawesi 256.800 7,4
Sumatera 570.000 16,3
Indonesia 3.493.110 100

Meksiko 1,42 juta ha dan Australia 1,6 juta ha. Luas hutan di dunia sekitar 17,5 juta
ha. Menurut Sarwono-Kusumaatmadja (1996) bahwa Indonesia pada tahun 1996
hanya memiliki 2,5 juta hutan mangrove, sebelum Perang Dunia II seluas 3 juta dan
sekitar 11 juta ha hutan mangrove yang telah hilang. Hal ini sejalan dengan Dahuri
(2001) bahwa hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1982 seluas 5.209.543 ha,
menurun menjadi 3.235.700 ha pada tahun 1987 dan menurun lagi menjadi 2.496.185
ha pada tahun 1993. Lebih dari 50% hutan mangrove yang tersisa telah rusak. Bahkan
terdapat data bahwa hutan mangrove yang telah di-deforestasi rusak berat 42%, 29%
rusak, < 23% yang baik dan hanya 6% yang kondisinya sangat baik. Tabel 1 dan Tabel
2 menampilkan luas hutan mangrove di Indonesia untuk setiap wilayah.

3
Kompas (2000) menyatakan bahwa luas hutan mangrove di Sumatera Barat
36.550 ha, tersebar di kabupaten Pasaman (3.250 ha) dengan tingkat kerusakan 30%,
Kabupaten Pesisir Selatan 325,7 ha dengan tingkat kerusakan 70%, Kabupaten
Kepulauan Mentawai 32.600 ha dengan tingkat kerusakan 20%, Kabupaten Agam 55
ha dengan tingkat kerusakan 50%, Kota Padang 120 ha dengan tingkat kerusakan
70%, Kabupaten Padang Pariaman 200 ha dengan tingkat kerusakan 80%. Tingkat
kerusakan hutan mangrove di Sumatera Barat adalah 53,34%. Akibatnya terjadi
penurunan hasil tangkapan ikan menjadi hanya 8.320 ton/tahun. Data lain
menyebutkan bahwa luas jutan mangrove di Sumatera Barat adalah 39.832 ha
Pantai Timur Lampung yang semula hutan mangrovenya 20.000 ha telah
menurun menjadi hanya 2.000 ha. Pantai Timur Tulangbawang (Lampung) dari
12.000 ha telah 85% nya rusak berat. Menurut data tahun 1980, luas hutan mangrove
Propinsi Lampung adalah 17.000 ha.
Kompas (2006) menyatakan bahwa dari 36.000 ha hutan mangrove di Aceh
hampir 75% nya telah punah karena ditebang. Menurut data PT Inhutani, setiap tahun
sekitar 500 ha hutan mangrove dibuka dan sekitar 216.000 m3 kayu mangrove
dijadikan arang.

Hutan Mangrove di Bengkulu


Lima puluh persen hutan mangrove yang terdapat di sepanjang 525 km pantai
Barat telah mengalami kerusakan. Diperkirakan luas hutan mangrove di sepanjang
pantai Barat sekitar 5.250 ha. Hutan mangrove yang relative masih utuh adalah di
pulau Enggano. Hutan mangrove di Enggano sebagian besar tersebar di bagian pantai
sebelah timur Pulau Enggano, termasuk ke dalam kawasan hutan koservasi, seperti
Cagar Alam Teluk Klowe, Cagar Alam Sungai Bahewa dan Taman Buru Gunung
Nanua; luasnya 1.536,8 ha. Sebagian hutan mangrove juga terletak di sebelah barat
Pulau Enggano, yaitu di Cagar Alam Tanjung Laksaha dan secara spot-spot terletak di
sebelah selatan kawasan Cagar Alam Kioy (Senoaji dan Suminar, 2006). Hutan
mangrove di Enggano mempunyai ketebalan antara 50-1500 m. Komposisi jenis
penyusun hutan mangrove di Enggano terdiri dari 16 jenis yaitu Rhizophora
apicullata, R. mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, Xyloacarpus granatum, Sonneratia
alba, Ceriops tagal, Oncosperma filamentosa, Palmae sp., Terminalia catapa,
Calamus ornitus, Hibiscus tiliacerus, Ficus sp., Baringtonia asiatica, Cerbera
manghas, Scaevola taccada dan Pongamia pinnata. Tiga jenis pertama merupakan
jenis-jenis yang dominant dan banyak menyebar di setiap kawasan Cagar Alam Suaka
Alam Tanjung Laksaha. Lebar hutan mangrove di daerah ini bervariasi mulai dari 50-
1000 m. Potensi hutan mangrove di cagar alam ini cukup tinggi yaitu 320 m3/ha
dengan jumlah pohon 350 pohon/ha. Pohon-pohon yang berdiameter di atas 50 cm
mencapai 30%, dengan rata-rata diameter pohon 36 cm dan tinggi 9 m.

Faktor Penyebab Rusaknya Hutan mangrove


1. Pemanfaatan yang tidak terkontrol, karena ketergantungan masyarakat yang
menempati wilayah pesisir sangat tinggi.
2. Konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan (perkebunan, tambak,
pemukiman, kawasan industri, wisata dll.) tanpa mempertimbangkan
kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.

4
Akibat Rusaknya Hutan Mangrove
1. Instrusi air laut
Instrusi air laut adalah masuknya atau merembesnya air laut kea rah daratan
sampai mengakibatkan air tawar sumur/sungai menurun mutunya, bahkan menjadi
payau atau asin (Harianto, 1999). Dampak instrusi air laut ini sangat penting, karena
air tawar yang tercemar intrusi air laut akan menyebabkan keracunan bila diminum
dan dapat merusak akar tanaman. Instrusi air laut telah terjadi dihampir sebagian
besar wilayah pantai Bengkulu. Dibeberapa tempat bahkan mencapai lebih dari 1 km.

2. Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi sampah organic, minyak bumi dll.

3. Penurunan keanekaragamanhayati di wilayah pesisir

4. Peningkatan abrasi pantai

5. Turunnya sumber makanan, tempat pemijah & bertelur biota laut. Akibatnya
produksi tangkapan ikan menurun.

6. Turunnya kemampuan ekosistem dalam menahan tiupan angin, gelombang air laut
dlll.

7. Peningkatan pencemaran pantai.

Pemecahan Masalah Rusaknya Mangrove


Untuk konservasi hutan mangrove dan sempadan pantai, Pemerintah R I telah
menerbitkan Keppres No. 32 tahun 1990. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu
sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi pantai, sedangkan kawasan hutan mangrove adalah kawasan pesisir
laut yang merupakan habitat hutan mangrove yang berfungsi memberikan
perlindungan kepada kehidupan pantai dan lautan. Sempadan pantai berupa jalur hijau
adalah selebar 100 m dari pasang tertinggi kea rah daratan.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan melestarikan
hutan mangrove antara lain:
1. Penanaman kembali mangrove
Penanaman mangrove sebaiknya melibatkan masyarakat. Modelnya dapat
masyarakat terlibat dalam pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta
pemanfaatan hutan mangrove berbasis konservasi. Model ini memberikan
keuntungan kepada masyarakat antara lain terbukanya peluang kerja sehingga terjadi
peningkatan pendapatan masyarakat.

2. Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi, dll. Wilayah
pantai dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai wisata
pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya.
3. Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan
mangrove secara bertanggungjawab.

4. Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi.

5. Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan local tentang konservasi

5
6. Peningkatan pendapatan masyarakat pesisir

7. Program komunikasi konservasi hutan mangrove

8. Penegakan hukum

9. Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat.


Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat penting
dilibatkan yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Selain itu juga mengandung pengertian bahwa konsep-konsep lokal (kearifan lokal)
tentang ekosistem dan pelestariannya perlu ditumbuh-kembangkan kembali sejauh
dapat mendukung program ini.

Daftar Pustaka

Arobaya, A dan A. Wanma. 2006. Menelusuri sisa areal hutan mangrove di


Manokwari. Warta Konservasi Lahan Basah,14 (4): 4-5.

Gosalam, S., N. Juli dan Taufikurahman. 2000. Isolasi bakteri dari ekosistem
mangrove yang mampu mendegradasi residu minyak bumi. D113-122.
Prosiding Konperensi Nasional II Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Indonesia. Makasar.

Harianto, S. P. 1999. Konservasi mangrove dan potensi pencemaran Teluk Lampung.


Jurnal Manajemen & Kualitas Lingkungan, 1 (1): 9-15.

Kompas. 2000. Separuh hutan bakau Sumatera Barat Rusak. Kompas 28 Februari
2000.

Munisa, A. A. H. Oli, A. K. Palaloong, Erniwati, Golar, G. D. Dirawan, M. S.


Hamidua dan R. G. P. Panjaitan. 2003. Partisipasi masyarakat mangrove di
Sulawesi Selatan. http://tumoutou,net/702_07134/71034_13.htm.

Onrizal. 2005. Hutan mangrove selamatkan masyarakat Pesisir Utara Nias dari
tsunami. Warta Konservasi Lahan Basah,13 (2): 5-7.

Onrizal. 2006. Hutan mangrove. Bagaimana memanfaatkannya secara lestari? Warta


Konservasi Lahan Basah, 14 (4): 6-8.

Santoso, U. 2007. Permasalahan dan solusi pengelolaan lingkungan hidup di Propinsi


Bengkulu. Pertemuan PSL PT se-Sumatera tanggal 20 Februari 2006 di
Pekanbaru.

Senoaji, G. dan R. Suminar. 2006. Daya dukung lingkungan pulau Enggano Propinsi
Bengkulu. Bapedalda dan PSL Universitas Bengkulu. Bengkulu.

6
7

Anda mungkin juga menyukai