Anda di halaman 1dari 44

Tugas UAS Landasan Pedagogik

RESUME BUKU “PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS”

KARYA PAULO FREIRE

OLEH
Nyoman Ari Cahyani Damawati
1302351

PRODI PENDIDIKAN IPA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2014

1
BAB I
PENDAHULUAN

Saat ini Indonesia berada pada titik kritis dimana seluruh jajaran pemeritahan
sedang bergulat menentukan dan membuat regulasi yang dianggap dapat membantu
mewujudkan tujuan bangsa Indonesia seperti yang tertera pada pembukaan UUD 1945,
yaitu untuk memajukan kesejahteraan bangsa dan mencerdasakan kehidupan bangsa.
Kedua hal tersebut dapat diwujudkan melalui pendidikan yang baik, dimana manusia
atau terdidik dipandang sebagai manusia seutuhnya, makhluk yang „mengada‟, yang
memiliki hak yang hakiki yang tidak dapat dirampas keberadaannya.
Sistem pendidikan yang dapat „meng-adakan‟ peserta didiknya dikemukan oleh
Paulo Freire seorang tokoh pendidikan asal Brazil dalam bukunya yang berjudul
“Pedagogy of The Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas)”. Paulo Freire lahir pada 19
September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Brasil yang terletak pada bagian
timur laut negara tersebut. Wilayah Recife dapat dikatakan sebagai wilayah yang
terbelakang dan identik dengan kemiskinan. Sejak kecil Paulo Freire sudah terbiasa
hidup dan bersosialisasi bersama “kaum-kaum tertindas”, dan berkat pergumulan
sosialnya yang sangat panjang bersama “kaum-kaum tertindas” lahirlah buah-buah
pemikiran yang brilian dan kontroversial. Freire mempunyai latar belakang pendidikan
di bidang hukum dan sempat berkarier dalam jangka waktu yang pendek sebagai
seorang pengacara. Kemudian Freire menjadi guru bahasa Portugis selama 6 tahun
(1941-1947). Sekitar tahun 1944 Freire menikah dengan seorang guru bernama Elza
Maia Costa Olievera. Pernikahan inilah yang memantapkan pergeseran interesnya dari
bidang hukum ke bidang pendidikan.
Tahun 1959, Freire menyerahkan disertasi doktoral di Universitas Recife dengan
judul Educacao e Atualidade Brasileira (Pendidikan dan Keadaan Masa Kini di Brasil).
Di kemudian hari, Freire bahkan diangkat sebagai guru besar bidang sejarah dan filsafat
pendidikan di universitas tersebut. Pada tahun 1961-1964, Freire menjadi Direktur
Pertama dari Departemen Perluasan Kebudayaan Universitas Recife. Karena
keberhasilannya dalam program pemberantasan buta huruf di daerah Angicos, Rio
Grande do Norte, Freire diangkat sebagai Presiden dari Komisi Nasional untuk

2
Kebudayaan Populer.
Pada tahun 1964 terjadi kudeta militer di Brasil. Rezim yang berkuasa saat itu
menganggap Freire seorang tokoh yang berbahaya, karena itu mereka menahannya
selama tujuh puluh hari sebelum akhirnya “mempersilakan” Freire untuk meninggalkan
negeri itu. Freire memulai masa lima belas tahun pembuangannya dan tinggal untuk
sementara waktu di Bolivia. Dari Bolivia Freire pindah ke Chili dan berkerja selama
lima tahun untuk organisasi internasional Christian Democratic Agrarian Reform
Movement. Dalam masa lima tahun ini, Freire dianggap sangat berjasa menghantar
Chili menjadi satu dari lima negara terbaik di dunia yang diakui UNESCO sukses dalam
memberantas buta huruf. Pada tahun 1969 Freire sempat menjadi visiting professor di
Universitas Harvard. Antara tahun 1969-1979, Freire pindah ke Jenewa dan menjadi
penasihat khusus bidang pendidikan bagi Dewan Gereja Dunia. Pada akhir tahun 1960-
an inilah Freire menulis salah satu bukunya yang paling terkenal, Pedagogy of the
Oppressed.
Pada tahun 1979, Freire kembali ke Brasil dan menempati posisi penting di
Universitas Sao Paulo. Tahun 1988 Freire ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan untuk
kota Sao Paulo, sebuah posisi yang memberinya tanggung jawab untuk mereformasi dua
pertiga dari seluruh sekolah negeri yang ada. Freire meninggal pada 2 Mei 1997, dalam
usia 75, akibat penyakit jantung. Selama hidupnya, Freire menerima beberapa gelar
doktor honoris causa dari berbagai universitas di seluruh dunia. Freire juga menerima
beberapa penghargaan, di antaranya: UNESCO‟s Peace Prize tahun 1987, dan dari The
Association of Christian Educators of the United States sebagai The Outstanding
Christian Educator, pada tahun 1985. Di Indonesia, persebaran pemikiran Freire dapat
dilihat dari begitu banyaknya karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
terutama setelah tumbangnya Orde Baru. Buku-bukunya yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia antara lain: Pendidikan yang Membebaskan; Belajar Bertanya;
Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan; Pendidikan Kaum
Tertindas; Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan; Dialog Bareng Paulo Freire:
Sekolah Kapitalisme yang Licik; dan Pendidikan Sebagai Proses: Surat Menyurat
Pedagogis Dengan Para Pendidik Guinea Bissau.
Paulo Freire menyumbangkan filsafat pendidikan yang datang bukan hanya dari
pendekatan yang klasik dari Plato, tetapi juga dari para pemikir Marxis dan anti

3
kolonialis. Malah, dalam banyak cara , bukunya Pendidikan Kaum Tertindas dapat
dibaca sebagai perluasan dari atau jawaban terhadap buku Frantz Fanon, The Wretched
of the Earth, yang memberikan penekanan yang kuat tentang perlunya memberikan
penduduk pribumi pendidikan yang baru dan modern (jadi bukan yang tradisional) dan
anti kolonial (artinya, bukan semata-mata perluasan budaya para kolonis).
Buku yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas ini merupakan terjemahan dari
buku yang berjudul Pedagogy of The Oppressed, yang diterbitkan oleh LP3ES. Pada
buku versi bahasa Inggris, kata pengatar diberikan oleh Richard Shaull, sedangkan pada
buku terjemahannya terdapat prawacana yang diberikan oleh F Danuwinata. Pada buku
yang berjudul Pedagogy of the Oppressed inilah Freire menuangkan buah pikirannya
mengenai bagaimana seharusnya pelaksanaan pendidikan bagi kaum tertindas.
Buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini dibagi menjadi 4 bab. Bab pertama
berbicara mengenai pentingnya pendidikan bagi kaum tertindas. Untuk menyadarkan
kaum tertindas tentang betapa pentingnya merebut kembali hak-hak mereka yang telah
dirampas oleh para penindas, maka dibutuhkan suatu pendidikan bagi “kaum-kaum
tertindas”. Dengan adanya pendidikan ini, diharapkan kaum tertindas dapat mengetahui
situasi yang mereka hadapi sekarang. Menurut Paulo Freire, pendidikan kaum tertindas
sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap. “Pada tahap
pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis
melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas
penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas
tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan
yang langgeng”, (hal 27-28). Dari kedua tahap tersebut, dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa Paulo Freire ingin mengajarkan kepada masyarakat agar berjuang
untuk membebaskan diri dari kaum penindas tetapi kemudian memanusiakan kaum
penindasnya, dan tidak berlaku menjadi penindas ketika kaum tertindas berhasil
mengambil alih kekuasaan. Karena keadaan tidak akan menjadi lebih baik ketika
kekuasaaan hanya berpindah kutub. Agar tidak berbalik menjadi penindas maka kaum
tertindas yang berjuang harus dibekali paradigma tentang kemanusiaan dan keadilan.
Nilai-nilai humanis yang harus dikembangkan dalam pendidikan, agar pendidikan dapat
membawa perubahan ke arah yang lebih baik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan.

4
Pada bab dua, Paulo Freire menbicarakan tentang proses pendidikan yang dialami
oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini. Paulo Freire mengatakan, “pendidikan yang
dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini tak ubahnya seperti pendidikan dengan
“sistem bank”. Dalam pendidikan “sistem bank”, dimana ruang gerak yang disediakan
bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencacat, dan menyimpan”,
(hal 52). Guru merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada
murid, sedangkan murid hanya sebuah deposit belaka. Sangat jelas sekali pendidikan
seperti ini tak ubahnya adalah suatu penindasan terselubung terhadap kreatifitas murid,
murid dituntut untuk mengikuti jalan pemikiran guru tanpa diberi kesempatan untuk
berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah yang ada. Untuk lepas dari penindasan
gaya pendidikan “sistem bank”, Paulo Freire memberikan suatu alternatif baru yaitu
dengan suatu metode yang diberinya nama metode “pendidikan hadap masalah”.
“Pendidikan yang membebaskan berisi laku-laku pemahaman (acts of cognition),
bukannya pengalihan-pengalihan informasi. Dia merupakan sebuah situasi belajar di
mana obyek yang dapat dipahami (sama sekali bukan titik akhir dari dari laku
pemahaman) menghubungkan para pelaku pemahaman, guru di satu sisi dan murid di
sisi lain, (hal 64).
Dalam bab 3 Paulo Freire menjelaskan betapa pentingnya adanya dialog di dalam
pendidikan kaum tertindas. “Jika dalam mengucapkan kata-katanya sendiri manusia
dapat mengubah dunia dengan jalan menamainya, maka dialog menegaskan dirinya
sebagai sarana di mana seseorang memperoleh makna sebagai manusia, (hal 77).
Dengan adanya dialog diharapkan tidak ada lagi keadaan dimana satu orang aktif
“menabungkan” gagasannya kepada orang lain, sementara yang lain cuma pasif
menerima apa yang diberikan orang lain kepada dirinya.
Pada bab terakhir, Paulo Freire coba membandingkan antara model pendidikan
antidialogis dengan model pendidikan dialogis. Model pendidikan antidialogis selalu
ditandai dengan usaha menguasai manusia, sedangkan model pendidikan dialogis selalu
bersifat kooperatif. Di dalam buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini desebutkan bahwa,
teori-teori tindakan antidialogis dikenal istilah-istilah seperti penaklukan, pecah dan
kuasai, manipulasi, dan serangan budaya. Sedangkan teori-teori tindakan dialogis
dikenal istilah-istilah seperti kerja sama, persatuan untuk pembebasan, organisasi, dan
sintesa kebudayaan.

5
BAB II
ISI

A. Identitas Buku
Judul Buku : Pendidikan Kaum Tertindas
Pengarang : Paulo Freire
Penerbit : Pustaka LP3ES Indonesia
Cetakan : Ketujuh
Halaman : 215

B. Resume
Pendidikan Kaum Tertindas
Pendidikan bagi kaum tertindas merupakan hasil pengamatan Freire selama enam
tahun dalam pengasingan politik. Freire menganalisis peran „penyadaran‟ untuk
mewujudkan pendidikan yang membebaskan manusia. Untuk dapat membebaskan diri,
kaum tertindas harus terlebih dulu menghilangkan ketakutannya akan kebebasan
melalui usaha penyadaran. Tanpa memlalui hal tersebut, ketika kaum tertindas itu dapat
mandiri ia akan cenderung berperilaku sama dengan penindasnya.

6
Buku ini berakar langsung dari kondisi nyata yang mewakili reaksi kaum pekerja
serta masyarakat kelas menengah yang telah diamati secara langsung maupun tidak
langsung sepanjang masa pekerjaan mendidik yang dilakukan oleh Freire. Paulo Freire
berharap lewat halaman-halaman buku “Pendidikan Kaum Tertindas” yang dia ciptakan
ini dapat melestarikan hal-hal berikut: “keyakinannya kepada rakyat jelata,
keyakinannya kepada manusia, dan kepada penciptaan sebuah dunia tempat manusia
dapat lebih mudah mencintai sesamanya”, (hal. 9).

# Bab 1
Secara aksiologi, masalah humanisasi dipandang sebagai permasalahan utama
manusia yang selalu berhasil menimbulkan keprihatinan. Keprihatinan terhadap
masalah humanisasi akan menuntun kita untuk mengakui adanya masalah dehumanisasi.
Dalam konteks yang kongkret dan objektif, masalah humanisasi dan dehumanisasi
merupakan kemungkinan yang selalu ada bagi seseorang sebagai makhluk tidak
sempurna yang menyadari ketidaksempurnaannya. Namun sepanjang humanisasi atau
demhumanisasi merupakan pilihan-pilihan yang nyata, maka hanya yang pertamalah
yang merupakan fitrah manusia. Fitrah inilah yang selalu diingkari namun melalui
pengingkaran tersebutlah fitrah tersebut diakui. Dehumanisasi, ditandai oleh mereka
(kaum tertindas) yang telah dirampas kemanusiaanya, namun juga dialami oleh kaum
penindas yang telah merampas kemanusiaan orang lain walaupun dalam bentuk yang
berbeda. Perampasan tersebut adalah suatu bentuk penyimpangan fitrah untuk menjadi
manusia sejati. Perjuangan untuk humanisasi, untuk emansipasi kaum pekerja, untuk
mengatasi keterasingan, untuk pengesahan manusia sebagai pribadi-pribadi akan
bermakna. Perjuangan sangat mungkin dilakukan karena dehumanisasi merupaka fakta
sejarah yang nyata yang bukan merupakan takdir yang diterima begitu saja, tetapi
merupakan hasil dari tatanan tidak adil yang melahirkan kekejaman pada kaum
penindas, yang kehudian melahirkan dehumanisasi terhadap kaum tertindas. Dengan
demikian maka cepat atau lambat keadaan yang kurang manusiawi itu akan mendorong
kaum tertindas untuk berjuang menentang mereka yang telah membuat mereka menjadi
demikian. Agar perjuangan mereka mejadi lebih bermakana, maka kaun tertindas yang
berusaha merebut kembali kemanusiaannya tidak boleh berbalik menjadi penindas
kaum penindas, namun memulihkan kembali kemanusiaan keduanya (kaum tertindas

7
dan kaum penindas)
Berbagai usaha memperlunak kekuasaan kaum penindas dengan alasa untuk lebih
menghormati kelemahan kaum tertindas hampir selamanya mewujudkan diri dalam
kemurah hati yang palsu. Untuk mengkekalkan kemurah hati yang palsu, maka kaum
penindas juga harus mengekalkan ketidakadilan. Suatu tatanan sosial yang tidak adil,
merupakan alasan yang harus ada bagi eksistensi kemurah hatian ini, yang selalu
dibayangi oleh bayangan maut keputusasaan, dan kemiskinan. Hal inilah yang
mendorong kaum penindas menjadi gelap mata terhadap ancaman paling kecil sekalipun
atas kemurah hati palsu meraka.
Kemurah hati yang sejati justru terdapat pada usaha menghancurkan sumber-
sumber penyebab yang telah menghidupi kedermawanan palsu tersebut. Kemurah hati
yang sejati terletak dalam memperjuangkan agar tangan-tangan yang terulur untuk
meminta perlindungan tidak usah diulurkan untuk memohon dan makin menjadi tangan-
tangan manusiawi yang bekerja, dan dengan bekerja dapat mengubah dunia. Kendati
demikian, pelajaran dan praktik ini haruslah datang dari kaum tertindas itu sendiri atau
dari mereka yang benar-benar berpihak pada mereka. Dengan berjuang dan menata
kembali kemanusiaan mereka, sebagai pribadi atau anggota masyarakat, mereka
sesungguhnya tengah berusaha menegakkan kembali kemurahan hati sejati. Yang dapat
memahami arti pembebasan yang lebih baik adalah melalui perjuangan pembebasan dan
juga melalui pengenalan akan arti penting dari pembebasan itu sendiri. Perjuangan
untuk kaum tertindas merupakan tindakan cinta melawan ketiadaan rasa cinta yang
bersarang dalam jantung kekejaman kaum penindas, ketiadaan cinta yang sekalipun
berkedok kemurahan hati palsu.
Sejak awal dari perjuangan ini, kaum tertindas bukannya mengusahakan
pembebasan tetapi cenderung menjadikan dirinya sebagai penindas. Struktur pikiran
mereka telah dibentuk oleh kontradiksi dalam situasi ekstensial yang kongkret. Tujuan
mereka memang menjadi manusia, tetapi bagi mereka,menjadi seorang 'manusia' adalah
menjadi seorang penindas. Inilah model harkat kemanusiaan bagi mereka. Gejala
inidapat dijelaskan dari fakta bahwa kaum tertindas pada momentum tertentu, dalam
pengalaman ekstensial mereka, cenderung mengambil sikap "melekat" pada
penindasnya. Pada taraf ini pandangan mereka terhadap diri sendiri sebagai lawan kaum
penindas belum merupakan suatu pelibatan diri dalam perjuangan untuk mengatasi

8
kontradiksi (pertentangan dialektis antara kekuatan sosial yang saling berlawanan)
tersebut, yakni sebagai sisi yang bukannya menginginkan kebebasan, tetapi
menginginkan indentifikasi dengan sisi lawan. Kaum tertindas kesulitan untuk melihat
'manusia baru',karena manusia tersebut harus dilahirkan dari pecahnya kontradiksi ini,
dalam suatu proses memudarnya penindasan untuk membuka jalan ke arah pembebasan.
Bagi mereka manusia baru tersebut adalah diri mereka sendiri yangkemudian menjadi
penindas.
Rasa "takut kebebasan" yang meninpa kaum tertindas, ketakutam yang baik
mendorong mereka untuk menginginkan peranan sebagai penindas maupun mengurung
mereka tetap sebagai orang tertindas, harus ditelaah. Adanya pemolaan merupakan salah
satu unsur dasar dari hubungan antarakaum penindas dengan kaum tertindas. Setiap
pemolaan merupakan pemaksaan pilihan seseorang terhadap orang lain, mengubah
kesadaran orang yang dipola agar cocok dengan kesadaran orang yang memilih pola itu.
Perilaku tertindas adalah perilaku terpola, menuruti apa yang telah digariskan oleh kaum
penindas. Kaum tertindas menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan
diri dengan jalan pikiran mereka, mengalami rasa takut menjadi bebas.
Untuk mengatasi situasi penindasan, manusia pertama kali harus mengenali secara
kritis sumber penyebabnya, kemudian melakukan tindakan perubahan dimana mereka
dapat menciptakan situasi baru, situasi yang mungkinkan terciptanya manusia yang
lebih utuh. Perjuangan untuk menjadi manusia seutuhnya, telah dimulai dalam
perjuangan otentik untuk mengubah situasi. Kaum tertindas yang telah menyesuaikan
diri dalam struktur penindasan dimana mereka tenggelam dan pasrah terhadapnya.
Perjuangan mereka untuk merebut kebebasan tidak saja mengancam kaum penindas,
tetapi juga rekan-rekan senasib yang takut akan kemungkinan penindasan yang lebih
hebat.
Kaum tertindas mengidap sikap mendua yang tumbuh di dalam diri mereka yang
paling dalam. Mereka menemukan bahwa tanpa kebebasan mereka tidak dapat mengada
secara otentik. Mereka adalah dirinya sendiri sekaligus para penindasnya, yang alam
pikirannya telah meteka internalisasi. Pertentangan itu terletak dalam memilih antara
menjadi diri sendiri secara utuh atau menjadi diri yang terbelah (antara melawan atau
tidak melawan kaum tertindas). Inilah dilema menyedihkan dari kaum tertindas yang
harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pendidikan untuk mereka.

9
Pendidikan kaum tertindas merupakan suatu pendidikan yang harus diolah
bersamabukan untuk kaum tertindas dalam perjuangan tanpa henti merebut kembali
kemanusiaan mereka. Pendidikan tersebut menjadikan penindas dan sebab-sebabnya
sebagai renungan bagi kaum tertindas, dan dari renungan itu akan muncul rasa wajib
untuk terlibat dalam perjuangan bagi kebebasan mereka. Pendidikan kaum tertindas
adalah sebuah perangkat agar mereka mengetahui secara kritis bahwa baik diri mereka
sendiri maupun kaum penindasnya adalah pengejawantahan dari humanisasi. Kaum
tertindas dapat mengatasi kontradiksi dimana mereka terjebak hanya jika pengetahuan
itu mendorong mereka berjuang membebaskan diri.
Salah satu rintangan terberat untuk mencapai kebebasan adalah realitas yang
menindas dapat memukau mereka yang berada di dalamnya dan karena itu
menundukkan alam pikiran mereka. Secara fungsional, penindasan berarti penjinakan.
Agar tidak berlarut-larut menjadi korban pengaruhnya, maka seseorang harus bangkit
melawannya. Hal itu hanya dapat terwujud melalui praksis: refleksi dan tindakan atas
dunia mengubahnya. Dalam pemikiran dialektis, dunia dan tindakan adalah dua hal
yang saling terkait satu sama lain. Namun, tindakan hanya manuasiawi jika bukan
semata-mata sebuah pekerjaan rutin tapi juga merupakan suatu perenungan yang
mendalam. Pendidikan kaum tertindas merupakan pendidikan bagi manusia yang
terlibat dalam perjuangan bagi kebebasan mereka berakar dari praksis.
Tidak ada pendidikan yang sungguh-sungguh membebaskan yang tetap membuat
jarak dari kaum tertindas, dengan menganggap mereka sebagai orang-orang yang tidak
beruntung dan menyajikan model pelajaran tiruan yang berasal dari kaum penindas.
Kaum tertindas harus menjadi contoh bagi diri sendiri dalam perjuangan bagi
pembebasan mereka. Pendidikan yang dimulai dengan kepentingan egoistis kaum
penindas dan menjadikan kaum tertindas sebagai objek dari humanitarianisme mereka,
justru mempertahankan dan menjelaskan penindasan itu sendiri. Hal tersebut merupakan
perangkat dehumanisasi, maka pendidikan kaum tertindas tidak dapat diselenggarakan
oleh kaum penindas. Akan menjadi kontradiksi bila kaum penindas tidak hanya
membela kaum tertindas tapi juga melaksanakan pendidikan yang membebaskan.
Pendidikan kaum tertindas sebagai pendidikan para humanis dan pembebas,
terdiri atas dua tahap. Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia
penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada

10
tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi
menjadi milik kaum tertindas tapimenjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam
mencapai kebebasan yang langgeng. Dalam kedua tahap ini diperlukan gerakan yang
mendasar agar kultur dominasi dapat dilawan secara cultural pula. Pada tahap pertama,
perlawanan terjadi dalam diri kaum tertindas yang menyadari dunia penindasan. Pada
tahap kedua, perlawanan dilkukan untuk memberantas mitos-mitos yang diciptaan dan
dikembangkan pada masa dahulu yang membayangi perubahan revolusioner.
Menghalangi seseorang untuk mencapai afirmasi diri sebagai seorang manusia
yang bertanggungjawab adalah bentuk penindasan. Tindak kekejaman selalu dimulai
oleh mereka yang menindas dan bukan oleh mereka yang menindas. Disadari atau tidak
pemberontakan kaum tertindas justru dapat menumbuhkan cinta kasih. Ketika kaum
tertindas yang berjuang untuk menjadi lebih manusiawi berusaha untuk meruntuhkan
kekuasaan kaum penindas sebagai alat untuk menguasai dan menekan sebenarnya
mereka sedang berusaha untuk menulihkan harkat kemanusiaan kaum penindas yang
telah pupus selama melakukan penindasan. Hanya kaum tertindaslah yang dapat
membebaskan dirinya sendiri dan kaum penindasnya. Jadi, tujuan kaum tertindas untuk
menjadi manusia yang seutuhnya tidak dapat dicapai hanya dengan mengubah posisi
sebagai kaum penindas saja.
Kesadaran kaum penindas cenderung untuk mengubah segala sesuatu disekitarnya
menjadi objek kekuasaan mereka yang semuanya direduksi menjadi objek yang berda di
bawah kemauannya. Kaum penindas mengembangkan semacam keyakinnan bahwa
adalah mungkin bagi mereka mengubah segala sesuatu menjadi objek daya beli mereka.
Disinilah dasar dari konsep kehidupan materialistic mereka yang kokoh. Kaum penindas
tidak menyadari monopoli mereka untuk memiliki lebih banyak sebagai suatu hak
istimewa justru menjadikan orang lain dan diri mereka sendiri tidak manusiawi. Bagi
mereka, memiliki lebih banyak adalah hak yang tidak dapat diganggu gugat. Salah satu
cirri dari kesadaran kaum penindas dan pandangan dunia mereka yang nekrofilis adalah
sadism. Karena kesadsaran kaum penindas adalah mencoba menekan jiwa yang gelisah
dan mencari pelepasan serta daya kreatif yang menjadi ciri kehidupan, maka berarti dia
membunuh kehidupan. Kaum tertindas, sebagai objek, sebagai „benda‟. Tidak memiliki
tujuan apapun selain yang telah digariskan oleh penindasnya.
Kemurahan hati kaum penindas ditunjang oleh tatanan yang tidak adil, yang terus-

11
menerus dipertahankan agar dapat mengesahkan kemurahan hati tersebut. Kaum
tertindas tidak dapat memahami dengan jelas “tatanan” yang melayani kepentingan-
kepentingan kaum penindas yang citra dirinya telah mereka internalisasi. Tidak
menghargai diri sendiri adalah sifat lain dari kaum tertindas yang berasal dari
internalisasi pendapat penindas tentang diri mereka sendiri. Mereka sering sekali
mendengar bahwa mereka tidak berguna, tidak tahu apapun dan tidak mampu
mempelajari apapun. Hampir tidak pernah merka menyadari bahwa mereka sebenarnya
juga “mengetahui sesuatu” yang mereka pelajari dalam pergaulan mereka dengan dunia
dan orang lain. Dengan adanya lingkungan yang telah menciptakan sifat dualitas
mereka, maka wajar bila mereka tidak oercaya pada diri mereka sendiri.
Selama sikap mendua mereka bertahan, kaum tertindas segan untuk melakukan
perlawanan, dan benar-benar kekurangan kepercayaan yang berlebihan dan magis akan
kekebalan dan kekuasaan kaum penindas. Kaum tertindas harus membuktikan
kekebalan kaum penindas sehingga keyakinan sebaliknya dapat tumbuh dalam diri
mereka. Sebelum hal tersebut terjadi, maka mereka akan tetap merasa diri ketakutan,
dan kalah. Selama kaum tertindas tidak menyadari sebab-sebab dari keadaan mereka,
secara “fatalistic” mereka menerima pemerasan atas diri mereka. Bagi kaum tertindas,
pada saat-saat tertentu dalam pengalaman ekstensial mereka, mengada bukan berarti
menyerupai kaum penindas, tetapi berada dibawahnya, bergantung kepadanya. Oleh
sebab itu kaum tertindas secara emosional tergantung. Ketergantungan emosional total
semacam ini mengarahkan kaum tertindas pada perilaku nekrofilis (perusakan
kehidupan-kehidupannya sendiri atau sesame kawan tertindas).
Dalam seluruh tahap pembebasan mereka, kaum tertindas harus melihat diri
sendiri sebagai manusia yang berjuang atas dasar fitrah ontologism dan kesejarahan
untuk menjadi manusia seutuhnya. Tindakan politik yang berpihak pada kaum tertindas
harus merupakan tindakan yang mendidik dalam arti kata yang sesungguhnya, dank
arena itu merupakan tindakan yang dilakukan bersama kaum tertindas. Pembebasan,
sebuah gejala manusiaw, tidak dapat diperoleh dengan cara setengah manusiawi. Setiap
usaha memperlakukan manusia dengan cara setengah manusiawi hanya akan membuat
mereka tidak manusiawi. Cara yang tepat bagi suatu kepemimpinan revolusioner dalam
melakukan tugas pembebasan bukanlah “propaganda pembebasa”, namun terletak
dalam dialog. Keyakinan kaum tertindas bahwa mereka harus berjuang untuk

12
pembebasan mereka bukanlah suatu hadiah yang dianugerahkan oleh kepemimpinan
revolusioner, tetapi hasil dari penyadaran diri mereka sendiri.
Kaum tertindas yang telah dibentuk oleh iklim mematikan dari suasana
penindasan harus menemukan jalan menuju humanisasi, melalui perjuangan mereka.
Dalam rangka merebut kembali harkat kemanusiannya, mereka harus berhenti menjadi
benda dan berjuang sebagai manusia. Perjuangan ini dimulai dari kesadaran bahwa
mereka selama ini telah dihancurkan. Satu-satunya perangkat efektif adalah sebuah
bentuk pendidikan yang manusiawi dimana kepemimpinan revolusioner dapat
membangun hubungan dialog yang ajek dengan kaum tertindas. Oleh karena itu seorang
pemimpin revolusi harus menerapkan pendidikan ko-intensional, Guru dan murid yang
bersama-sama mengamati realitas, keduanya adalah subje, tidak saja dalam tugas
menyingkap realitas itu untuk dapat mengetahuinya secara kritis, tetapi juga dalam
tugas menciptakan kembali pengetahuan itu. Ketika mereka mengatahui pengetahuan
tentang realitas ini melalui pemikiran dan kegiaatan bersama, mereka menyadari dirinya
sebagai pencipta kembali pengetahuan tetap . Dengan cara ini, kehadiran kaum tertindas
dalam perjuangan bagi pembebasannya akan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu
bukan merupakan keikutsertaan semu namun keterlibatan sepenuh hati.

# Bab 2
Suatu analisis yang cermat menganai hubungan antara guru-murid pada semua
tingkatan, baik di dalam maupun di luar sekolah, mengungkapkan watak bercerita
(narrative) yang mendasar di dalamnya. Hubungan ini melibatkan seorang subjek yang
bercerita (guru) dan objek-objek yang patuh dan mendengarkan (murid-murid). Isi
pelajaran yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai maupun segi-segi empiris dari
realitas, dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup. Pendidikan
berceriat-dengan guru sebagai narrator-mengarahkan murid-murid untuk menghafal
secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Semakin penuh dia mengisi wadah
itu, semakin baik pula seorang guru, Semakin patuh wadah-wadah itu untuk diisi,
semakin baik pula mereka sebagai murid. Oleh karena itu pendidikan semacam ini
merupakan sebuah kegiatan menabung, dimana para murid adalah celengan dan guru
penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi melainkan guru menyampaikan
pernyataan-pernyataan dan guru “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan dan

13
diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank”, dimanaa
ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima,
mencatat, dan menyimpan.
Dalam konsep penididikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah naugerah
yang dihibahkan oleh mereka yang mengganggap diri berpengetahuan kepada mereka
yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Menganggap bodoh orang lain
secara mutlak merupakan sebuah ciri dari ideology penindasa, berarti mengingkari
pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian. Pendidikan yang membebaskan,
sebaliknya terletak pada usaha rekonsiliasi. Pendidikan ini harus dimulai dengan
pemecahan kontradiksi guru-murid tersebut, dengan merujuk kutub-kutub kontradiksi
tersebut, sehingga kedua-duanya secara bersamaan adalah guru dan murid. Pemecahan
tersebut tidak mungkin ditemukan oada penididikan gaya bank. Sebaliknya, pendidikan
gaya bank memelihara dan bahkan mempertajam kontradiksi itu melalui cara-cara dan
kebiasaan-kebiasaan berikut yang mencerminkan suatu keadaan masnyarakat tertindas
secara keseluruhan.
1. Guru mengajar, murid belajar
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
3. Guru berpikir, murid dipikirkan
4. Guru bicara, murid mendengarkan
5. Guru mengatur, murid diatur
6. guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menurut
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan
tindakan guru
8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang
profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid
10. Guru adalah subyek proses belajar, murid hanya obyeknya.

Konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat
disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur. Kemampuan pendidikan gaya
bank untuk mengurangi atu menghapuskan daya kreasi para murid, serta menumbuhkan
sikap mudah percaya, menguntungkan kepentingan kaum penindas yang tidak
berkepentingan dengan dunia yang terkuak atau berubah. Kaum penindas

14
memanfaatkan “humanitarianisme” mereka untuk melindungi situasi menguntungkan
bagi diri mereka sendiri. Oleh karena itu mereka akan selalu menentang setiap usaha
percobaan dalam bidang pendidikan yang akan merangsang kemampuan kritis dan tidak
puas dengan pandangan terhadap dunia yang berat sebelah, tetapi selalu mencari ikatan
yang menghubungkan satu hal dengan hal lain atau satu masalah dengan masalah lain.
Sebenarnya kepentingan kaum penindas adalah “menggubah kesadaran kaum
tertindas, bukan situasi yang menindas mereka”, karena dengan lebih mudahnya kaum
tertindas dapat diarahkan untuk menyesuaikan diri dengan situasi itu maka akan lebih
mudah mereka dapat dikuasai. “Humanisme” dari pendekatan gaya bank menutupi
suatu usaha yang untuk menjadikan manusia sebagai benda terkendali (autonom), yang
merupakan suatu oenolakan fitrah ontologism mereka untuk menjadi manusia
seutuhnya. Jika manusia adalah pejuang yang yakin bahwa fitrah ontologisnya adalah
humanisasi, maka cepat atau lambat mereka akan menyadari kontradiksi yang
dipertahankan melalui pendidikan gaya bank bagi mereka, dan kemudian melibatkan
diri ke dalam perjuangan bagi pembebasan diri mereka.
Salah satu konsep dari pendidikan gaya bank adalah anggapan akan adanya
dikotomi antara manusia dengan dunia: manusia semata-mata berada di dalam dunia,
bukan bersama dunia atau orang lain: manusia adalah penonton bukan pencipta. Dalam
pandangan ini manusia bukanlah makhluk berkesadaran, dia lebih merupakan pemilik
sebuah kesadaran: suatu “jiwa” kosong yang secara pasif terbuka untuk menerima apa
saja yang disodorkan oleh realitas dunia luar. Pandangan ini tidak membedakan antara
dapat disadari dengan memasuki kesadaran.
Manusia terdidik adalah manusia yang telah disesuaiakan, karena dia lebih
“cocok” bagi dunia. Konsep ini sesuai dengan tujuan-tujuan para penindas yang
ketenteramannya tergantung pada seberapa cocok manusia bagi dunia yang telah
mereka ciptakan, dan seberapa mereka mempermasalahkan hal ini. Pendidikan gaya
bank bertolak dari suatu pengertian keliru tentang manusia sebagai objek, maka dia
tidak mampu mengembangkan biofili, tetapi justru mengembangkan nekrofili.
Penindasan merupakan nekrofilis, yang ditumbuhkan dari rasa cinta pada kematian,
bukan kehidupan. Konsep pendidikan gaya bank yang mengabdi pada kepentingan-
kepentingan penindasan merupakan tindakan nekrofilis. Berdasar pada pandangan
tentang kesadaran yang mekanistis, statis, naturalistis dan terkotak, dia menjadikan

15
murid sebagai objek yang harus menerima. Selalu berusaha untuk mengendalikan
pikiran dan tindakan, mengarahkan manusia agar menyesuaikan diri terhadap dunia dan
mengahalangi kemampuan kreatif mereka.
Pendidikan sebagai bentuk pengekangan mendorong lahirnya sikap membeo
dikalangan para murid, dengan penekanan ideologis yang mengindoktrinasi mereka agar
menyesuaikan diri dengan situasi penindasan. Hal ini bertujuan untuk menarik perhatian
para kaum humanis sejati pada fakta bahwa mereka tidak dapat menggunakan metode-
metode pendidikan gaya bank untuk mencapai kebebasan, karena metode tersebut hanya
akan mengingkari usaha tersebut. Pembebasan adalah sebuah praksis, yaitu tindakan
dan refleksi manusia atas dunia untuk dapat mengubahnya. Tujuan pendidikan sebagai
usaha tabungan harus ditinggalkan dan menggantinya dengan penghadapan pada
masalah-masalah manusia dalam hubungannya dengan dunia.
Pendidikan “hadap-masalah” (problem-posing) yang menjawab hakikat
kesadaran (intensionalitas) akan menolak pernyataan-pernyataan serta mewujudkan
komunikasi. Konsep ini mewakili sifat khas dari kesadaran, yaitu sadar akan objek-
objek tetapi juga terhadap dirinya sendiri (sadar akan kesadaran). Pendidikan yang
membebaskan berisi laku-laku pemahaman (act of cognition), bukannya pengalihan-
pengalihan informasi. Pendidikan yang membebaskan merupakan sebuah situasi belajar
dimana objek yang dapat dipahami menghubungkan para pelaku pemahaman (guru di
satu sisi dan murid di sisi lain).
Pendidikan hadap masalah, yang menolak pola hubungan vertical dalam
pendidikan gaya bank, dapat memenuhi fungsinya sebagai praktik kebebasan hanya
jika dia dapat mengatasi kontradiksi antara guru dan murid. Melalui dialog guru-nya-
murid dan murid-nya-guru tidak ada lagi dan muncul suasana barum yaitu guru-yang-
murid dengan murid-yang-guru. Guru tidak lagi menjadi orang yang mengajar, tetapi
orang yang mengajar dirinya melalui dialog dengan murid, yang pada gilirannya
disamping diajar mereka juga mengajar.Mereka semua bertanggung jawab terhadap
suatu proses tempat mereka berkembang. Dalam proses ini, pendapat-pendapat yang
didasarkan pada “wewenang” tidak berlaku lagi. Wewenang hanya dapat berfungsi bula
berpihak kepada kebebasan, bukan menentang kebebasan.
Konsep pendidikan gaya bank membedakan dua tahap kegiatan seorang pendidik.
Pertama, pendidik mengamati sebuah objek yang dapat diamati selama dia

16
mempersiapkan bahan pelajaran di kamar atau dilaboratoriummya. Kedua, dia
menceritakan kpada murid tentang objek tersebut. Para murid tidak diminta untuk
mengerti, tapi menghafal apa yang diceritakan oleh guru. Murid juga tidak berpraktik
melakukan pengamatan, karena objek yang menjadi sasaran pemahaman adalah milik
guru, dan bukan merupakan medium yang mengundang refleksi kritis dari guru
maupun murid.
Metode oendidikan hadao masalah tidak membuat dikotomi kegiatan guru-murid.
Guru selalu “menyerap”, baik ketika mempersiapkan bahan pelajaran maupun berdialog
dengan para murid. Objek yang dipamahi bukanlah milik pribadi, tapi sebagai objek
refleksi para murid dan dirinya sendiri. Dengan demikiaan, pendidika hadap-masalah
secara kontinyu dapat memperbaharui refleksinya di dalam refleksi para murid. Peran
seorang pendidik hadap-masalah adalah menciptakan, bersama dengan murid suatu
suasana dimana pengetahuan pada tahap doxa diganti dengan pengetahuan sejati pada
tahap ilmu (logos). Pendidikan hadap-masalah menyangkut suatu proses penyingkapan
realitas secara terus-menerus.
Murid, karena mereka lebih banyak dihadapkan pada masalah-masalah yang
berhubungan dengan kehadiran mereka di dan bersama dengan dunia, akan semakin
ditantang dan berkewajiban untuk menjawab tantangan ini. Jawaban mereka terhadap
tantangan itu menimbulkan tantangan-tantangan baru, kemudian disusul dengan
pemahaman baru pula, dan akhirnya secara bertahap mereka akan merasa memiliki
keterlibatan. Pendidikan sebagai praktik kebebasan , berlawanan dengan pendidikan
sebagai praktik dominasi, yang menolak anggapan bahwa manusia adalah sesuatu yang
abstrak, terpencil, berdiri sendiri, dan tidak terikat pada dunia. Pendidikan sebagai
praktik kebebasan juga menolak anggpan bahwa dunia mengada sebagai sebuah realitas
yang terpisah dari manusia. Refleksi yang sejati mengganggap bahwa tidak ada mausia
abstrak dan tidak ada dunia tanoa manusia, tetapi manusua dalam kaitannya dengan
dunia.
Dalam pendidikan hadap-masalah, manusia mengembangkan pengetahuannya
untuk memahami secara kritis cara mereka mengada dalam dunia dengan mana dan
dalam mana mereka menemukan diri sendiri. Konsep pendidika gaya bank berusaha
dengan memitoskan realitas, menyembunyikan fakta-fakta tertentu yang menjelaskan
cara manusia mengada di dunia ini, sementara itu pendidikan hadap-masalah bertujuan

17
untuk menghapus mitos tersebut. Pendidikan gaya bank menolak dialog, sementara itu
pendidikan hadap-masalah menganggap dialog sebagai prasyarat laku pemahaman
untuk menguak realitas. Pendidikan gaya bank memperlakukan murid sebagai objek
yang harus ditolong, sementara pendidikan hadap-masalah menjadikan mereka pemikir
yang kritis. Pendidikan gaya bank menghalangi kreativitas dan menjinakkkan
intensionalitas kesadaran dengan cara mengisolasi kesadaran itu dari dunia, yang
dengan demikian menolak fitrah ontologism dan kesejarahan manusia untuk menjadi
manusia seutuhnya. Pendidikan hadap-masalah mendasari dirinya atas kreativitas serta
mendorong refleksi dan tindakan yang benar atas realitas dan dengan cara iu
menyambut fitrah manusia yang akan menjadi makhluk sejati hanya jika terlibat dalam
pencarian dan perubahan kreatif. Teori dari pendidikan gaya bank sebagai kekuatan
yang membelenggu dan menekan, tidak mampu menampilkan manusia sebagai makhluk
menyejarah, sedangkan teori dan praktik praktik pendidikan hadap-masalah menjadikan
kesejarahan manusia sebagai pangkal-tolak.
Pendidikan hadap-masalah menegaskan manusia sebagai mankhluk yang berada
dalam proses menjadi (becoming), sebagai sesuatu yang tak pernah selesai, makhluk
yang tidak pernah sempurnadalam dan dengan realitas yang juga tidak pernah selesai.
Justru dalam ketidaksempurnaa dan kesadaran akan ketidaksempurnaan itulah terletak
akar pendidikan sebagai suatu bentuk pengejawantahan yang khas manusiawi. Sifat
belum selesai dari manusia dan sifat yang terus berubah dari realitas mengharuskan
pendidika untuk menjadi kegiatan yang terus-terus berlangsung. Oleh karena itu,
pendidikan selalu diperbaharui dalam praksis.
Pendidikan hadap-masalah adalah sikap revolusioner terhadap masa depan. Oleh
karena itu, pendidikan hadap-masalah adalah nubuatan (penuh harapan), dan dengan
bigetu akan sesuai dengan watak kesejarahan manusia. Pendidikan hadap-masalah
menekankan manusia sebagai makhluk yang melampaui dirinya,melangkah maju dan
memandang kedepan, yang mengartikan kebekuan sebagai suatu ancaman berbahaya,
dan melihat masalalu hanyalah suatu sarana untuk memahami lebih jelas apa dan siapa
mereka agar dapat lebih bijak membangun masa depan. Dengan demikia, bentuk
pendidikan ini merupakan gerakan yang melibatkan manusia sebagai makhluk yang
sadar atas ketidaksempurnaannya, sebuah gerakan kesejarahan yang memiliki titik
tolak, pelaku-pelaku, serta tujuan sendiri.

18
Titik tolak gerakan ini terletak dalam diri manusia sendiri. Karena manusia tidak
mengada secara terpisah dari dunia atu terpisah dari realitas , maka gerakan itu harus
mulai dari hubungan manusia-dunia. Karena titik tolak harus selalu berupa manusia
“disini dan sekarang”, yang merupakan situasi tempat mereka tenggelam, dari mana
mereka muncul, dan dimana mereka melibatkan diri. Hanya bertolak dari itulah mereka
dapat memulai bergerak. Untuk melakukan gerakan secara murni, mereka harus
memahami keadaan diri mereka bukan sebagai sesuatu yang telah ditakdirkan.
Sementara pendidikan gaya bank secara langsung atau tidak langsung
menumbuhkan pandangan manusia yang fatalistic terhadap situasi dirinya, maka
pendidikan hadap-masalah mengajukan situasi tersebut kepada manusia sebagai suatu
permasalahan. Ketika situasi tersebut menjadi objek pemikirannya, maka padangan
magis dan naïf yang telah melahirkan sikap fatalistic mereka member jalan bagi
pandangan yang memungkinkan untuk memahami diri sendiri, bahkan ketika ia
memahami realitas, dan dengan demikan dapat bersikap kritis dan objektif terhadap
realitas tersebut.
Pendidikan sebagai suatu praksis pembebasan yang manusia, menganggap sebagai
dasariah bahwa manusia korban penindasan harus berjuang bagi pembebasan dirinya.
Untuk itu pendidikan ini mendorong para guru dan murid untuk menjadi subjek dari
proses pendidikan dengan membuang otoritarianisme serta intelektualisme yang
mengasingkan, pendidikan ini juga memungkinkan manusia untuk membenahi
pandangan mereka yang keliru terhadap realitas. Dunia tidak lagi dilukiskan dengan
kata-kata yng menipu, namun menjadi objek dari tindakan manusia yang mengubah,
yang akan menghasilkan humanisasi bagi mereka.
Hanya masyarakat revolusioner saja yang dapat menjalankan pendidikan ini
secara sistematis, maka para pemimpin revolusioner tidak perlu mendapatkan kekuasaan
penuh sebelum merekan menjalankan metode ini. Dalam proses revolusi, para
pemimpin tidak dapat menggunakan pendidikan gaya bank sebagai sarana sementara,
dengan alasan sekedar taktik, dengan niat kemudian akan memberlakukan metode yang
benar-benar revolusioner. Mereka harus revolusioner (dialogis) sejak dari awal mula.

19
# Bab 3
Hakikat dari dialog adalah kata. Kata lebih dari sekedar alata yang
memungkinkan dialog dilakukan. Di dalam kata kita menemukan dua dimensi, yaitu
refleksi dan tindakan., dalam suatu interaksi yang sangat mendasar hingga bila salah
satunya dikorbankan maka yang lain akan dirugikan. Tidak ada kata sejati yang pada
saat bersamaan juga tidak merupakan sebuah praksis. Dengan demikian mengucapkan
kata yang sejati adalah mengubah dunia. Sebuah kata yang tidak otentik tidak akan
dapat mengunah realitas yang terjelma mankala dikotomi diterapkan terhadap unsure-
unsur pembentuknya.
Mengada secara manusiawi adalah menamai dunia dan mengubahnya. Manusia
tidak diciptakan dalam kebisuan, tapi dalam kata, dalam karya, dalam tindakan refleksi.
Mengucaplkan kata yang mbenar adalah mengubah dunia, maka mengucapkan kata
tersebut bukanlah hak istimewa sejumlah kecil orang, tapi hak setiap orang. Dengan
demikian, tidak seorangpun dapat mengucapkan sebuah kata yang benar seorang diri
dan juga tidak dapat mengucapkannya untuk orang lain, dalam nada perintakh yang
merampas hak-hak orang lain atas kata-katanya sendiri.
Dialog adalah bentuk perjumpaan diantara sesame manusia, dengan perantaraan
dunia dalam rangka menamai dunia. Dialog tidak akan dapat terjadi antara orang-orang
yang hendak menamai dunia dengan orang-orang yang tidak butuh penamaan tersebut,
yakni mereka yang menolak hak orang lain untuk mengatakan kata-katanya sendiri
dengan mereka yang haknya untuk mengatakan kata-kata sendiri tidak diakui. Mereka
yang telah ditolak hak primodialnya untuk mengatakan kata-kata sendiri harus terlebih
dahulu merebut hak itu kembali dan harus mencegah berlangsungnya perbuatan
dehumanisasi itu.
Jika dengan mengucapkan kata-katanya sendiri manusia dapat mengubah dunia
dengan jalan menamainya, maka dialog menegaskan dirinya sebagai sarana dimana
seorang memperoleh makna sebagai manusia. Oleh karena itu dialog merupakan
kebutuhan eksistensial. Dialog adalah sebuah laku penciptaan, yang tidak boleh menjadi
sebuah alat dominasi seseorang terhadap orang lain. Dominasi yang tersirat dalam
dialog haruslah dominasi terhadap dunia oleh mereka yang mengikuti dialog, yakni
penguasaan atas dunia bagi pembebasan manusia. Dialog tidak dapat berlangsung tanpa
adanya rasa cinta yang mendalam terhadap dunia dan terhadap sesame manusia.

20
Penanaman dunia sebagai suatu laku penciptaan dan penciptaan-kembali adalah
mustahil jika tidak dijiwai oleh rasa cinta. Cinta sekaligus menjadi dasar dari dialog
serta diolog itu sendiri. Cinta harus melahirkan tindakan-tindakan pembebasan, dan bila
tikak, maka tindakan tersebut bukanlah cinta. Hanya dengan menghapuskan situasi
penindasan akan mungkin mengembalikan cinta yang tak mungkin dalam situasi
penindasan itu.
Dipihak lain, dialog tidak dapat terjadi tanpa kerendahan hati. Penamaan dunia,
dimana manusia secara terus-menerus menciptakan kembali dunia itu, tidak mungkin
berupan lakuk kesombongan. Seseorang yang kurang rendah hati tidak akan dapat akrab
dengan rakyat, tidak dapat menjadi kawan seiring mereka dalam rangka menamai dunia
ini. Seseorang yang tidak dapat mengenal dirinya sebagai makhluk fana sebagaimana
orang lain, akan masih memerlukan waktu lama untuk tiba dalam perjumpaan ini.
Dialog selanjutnya menuntutadanya keyakinan mendalam terhadap diri manusia,
keyakinan pada kemampuan manusia untuk membuat kembali, untuk mencipta dan
mencipta kembali, keyakinan pada fitrahnya untuk menjasi manusia seutuhnya, yang
bukan hak istimewa sekelompok orang namun hak setiap manusia. Keyakinan terhadap
diri manusia adalah prasyarat a priori bagi dialog. Manusia dialogis percaya pada orang
lain bahkan sebelum ia bertatap muka dengannya. “Manusia dialogis” bersifat kritis dan
tahu bahwa walaupun dalam diri manusia terdapat kekutan untuk mencipta dan
mengubah, namun dalam sebuah situasi keterasingan yang nyata dia mungkin saja salah
dalam menggunakan kemampuan itu. Tanpa adanya kepercayaan terhadap sesame
manusia, dialog hanyalah omong kosong yang pasti akan terjatuh menjadi manipulasi
paternalistik.
Mendasarkan diri pada cinta, kerendahan hati dan keyakinan, maka dialog akan
menjadi sebuah bentuk hubungan horizontal dimana sikap saling mempercayaidiantara
para pelakunya merrupakan konsekuensi yang logis. Jika dialog gagal, berarti ada yang
kurang dalam prasyarat tersebut. Cinta palsu, kerendahan hati palsu, dan keyakinan
yang lemah terhadap diri manusia tidak akan membuahkan rasa saling percaya. Dialog
juga tidak dapat terjadi tanpa adanya harapan. Harapan berakar pada ketidaksempurnaan
manusia, dari mana mereka secara terus-menerus melakukan usaha pencarian-pencarian
yang hanya dapat dilakukan dalam kebersamaan dengan orang lain. Ketiadaan harapan
adalah sebuah bentuk kebisuan, penolakan terhadap dunia dan sikap melarikan diri

21
darinya.
Dialog sejati tidak akan terwujud kecuali dengan melibatkan pemikiran kritis
(pemikiran yang melibatkan suatu hubungan tak terpisahkan antara manusia dan dunia
tanpa melakukan dikotomi antara keduanya), pemikiran yang memandang realitas
sebagai proses dan perubahan, bukan entitas yang statis, pemikiran yang tidak
memisahkan diri dari tindakan, tetapi senantiasa bergumul dengan masalah-masalah
keduniawian tanpa gentar menghadapi resiko.
Pendidikan yang mampu mengatasi konradiksi guru-murid berlangsung dalam
situasi dimana keduanya mengarahkan laku pemahaman mereka kepada objek yang
mengghargai keduanya. Karena itu, sifat dialogis dari pendidikan sebagai praktik
pembebasan tidak dimulai ketika guru-yang–murid berghadapan dengan murid-yang-
guru dalam suatu situasi pendidikan. Perenungan tentang isi dioalog itu adalah
sesungguhnya perenungan tentang isi program pendidikan. Bagi pendidik gaya bank,
yang anti-dialog, pertanyaan tntang bahan isi pendidikan tersebut hanya dikaitkan
dengan rencana tentang yang akan ia ceritakan kepada muridnya dan dia tmenjawab
pertanyaanya sendiri dengan menyusun rencananya sendiri. Bagi pendidik yangdialogis,
yakni guru-yang-murid dari model hadap-masalah, isi bahan pelajaran dalam
pendidikan bukanlah sebuah hadiah atau pemaksaan potongan-potongab informasi yang
ditabungkan ke dalam diri para murid, namun berupa “penyajian kembali” kepada
murid tentang hal-hal yang ingin mereka ketahui lebih banyak, secara tersusun,
sistematik dan telah dikembangkan.
Tugas kaum humanis adalah berusaha membuat kaum tertindas sadar akan fakta
bahwa sebagai makhluk yang bersifat mendua, kyakni dengan “menyerap” kaum
tertindas di dalam diri mereka, maka mereka tidak dapat menjadi manusia seutuhnya.
Tugas tersebut mengandung pengertian bahwa seorang para pemimpin revolusi
menyampaikan situasi secara objektif melalui dialog serta kesadaran kaum tertindas
tentang situasi itu, berbagai taraf pemahaman mereka terhadap diri sendiri dan dunia
dimana dan dengan mana mereka mengada.
Titik tolak penyusunan program pendidikan atau politik beranjak dari situasi
kekinian, ekstensial dan konkret yang mencerminkan aspirasi-aspirasi rakyat. Dengan
memperalat kontradiksi mendasar tertentu, kita harus menghadapkan situasi kekinian,
ekstensial dan konkret itu sebagai ssebuah permasalahan yang mendatang dan

22
menentukan jawaban, bukan hanya pada tingkat pemikiran, tetapi juga pada tingkat
tindakan. Tugas para pemimpin revolusi adalah untuk melakukan dialog dengan mereka
tentang pandangan mereka sendiri. Pemimpin harus mampu menjelaskan bahwa
pandangan dunia mereka, yang tercermin dalam berbagai bentuk tindakan mereka
adalah cerminan situasi mereka di dunia. Agar dapat berkomunikasi dengan efektif,
pendidik dan politisi harus memahami kondisi-kondisi terstruktur dimana pemikiran dan
bahasa rakyat itu tersusun secara dialektis.
Penelitian pendidikan sebagai kompleks dari “tema-tema generatif” mengesahkan
dialog pendidikan sebagai praktik kebebasan. Konsep tema generatif bukanlah
penemuan yang asal jadi dan juga bukan sebuah hipotesa yang harus dibuktikan. Jika ia
merupakan sebuah hipotesa yang harus dibuktikan, maka penelitian awalnya bukan
untuk menemukan sifat dasar dari tema itu sendiri. Sebagai makhluk yang tidak
sempurna, manusia adalah satu-satunya makhluk yang tidak hanya memperhatikan
tindakan-tindakannya tetapi juga dirinya sendiri sebagai objek pemikiran. Kemampuan
inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Dalam perbedaan yang terlihat
dangkal inilah terdapat garis batas yang membedakan antara tindakan manusia dan
tindakan binatang dalam lingkup kehidupan masing-masing. Tindakan binatang adalah
sekedar eksistensi dirinya sendiri, maka hasil tindakan tersebut juga tidak terpisahkan
dari diri mereka sendiri. Binatang tidak mampu member tujuan bagi tindakannya atau
member makna terhadap perubahan dunia yang dilakukan di luar dunianya sendiri.
Apabila pandangan kritis telah diwujudkan dalam tindakan, maka suasana penuh
pengharapan dan kepercayaan diri akan berkembang dan menuntut manusia agar agar
berusaha mengatasi situasi-situasi batasnya. Hasil seperti ini hanya akan dapat dicapai
melalui tindakan atas realitas kongkret yang menyejarahkan dimana situasi-situasi batas
ditemukan. Apabila realitas telah dirubah dan situasi itu telah diatasi, yang kemudian
mengundang tindakan-tindakan batas yang baru pula.
Sebagai makhluk yang kreatif dan pengubah sesuatu, dalam hubungannya yang
ajek dengan realitas, manusia menghasilkan tidak saja benda-benda material tetapi juga
pranata-pranata sosial. Gagasan-gagasan, dan konsep-konsep. Melalui praksisnya yang
terus-menerus, manusia sekaligus menciptakan sejarah dan menjadi makhluk sosial
yang menyejarah. Dihadapkan dengan “dunia tema-tema” dalam kontradiksi dialektis,
manusia mengambil posisi yang juga kontradiktif. Situasi-situasi batas mencakup baik

23
orang yang diuntungkan atau dirugikan baik secara langsung ataupun tidak langsung
dikendalikan oleh situasi tersebut. Orang-orang yang dirugikan memandang situasi
tersebut sebagai garis batas antara hidup dan hidup lebih manusiawi, bukannya natara
hidup dan mati, maka mereka mengarahkan tindakan-tindakan yang kian kritis kepada
pelaksanaan kemungkinan yang belum dicoba yang terkandung pada pandangan
tersebut. Pihak yang diuntungkan oleh situasi batas menganggap kemungkinan yang
belum dicobasebagai situasi batas yang mengancam yang tidak boleh dibiarkan
terwujud, dan bertindak untuk mempertahankan status quo. Sehingga tindakan
pembebasan dalam suatu lingkup sejarah harus sesuai tidak hanya dengan tema
generatif tapi juga dengan cara bagaimana tema-tema tersebut dipahami.
Umumnya kesadaran yang tertindas yang tidak memahami situasi-situasi batas
dalam totalitasnya hanya melihat gejala permukaannnya saja serta menempatkan disini
kekuatan penahan yang merupakan ciri-ciri situasi-batas. Jika manusia tidak memahami
secara kritis realitas mereka, melihatnya dalam bagian-bagian yang tidak mereka
pahami sebagi unsure-unsur pembentuk yang saling berkaitan dari keseluruhan, mereka
tidak mengerti realitas itu secara benar. Untuk memahaminya secara benar, mereka husr
membalik titik tolaknya. Mereka harus memiliki pandangan menyeluruh dari persoalan,
kemudian memisahkan dan melepaskan unsure-unsur pembentuknya dan dengan cara
analisis ini memperoleh pemahamn lebig jelas secara keseluruhan.
Metodologi penelitan tema dan pendidikan hasap-masalah adalah usaha
menyajikan dimensi bermakna dari konteks realitas seseorang dengan menganalisisnya
akan memungkinnkan orang tersebut dapat melihat interaksi dari berbagai unsure.
Dimensi bermakna yang terdiri dari bagian-bagian interaksi, harus dipahami sebagai
dimensi-dimensi dari realitas secara keseluruhan. Dengan cara ini, suatu analisis kritis
terhadap dimensi ekstensial bermakna memungkinkan lahin=rnya sikap baru yang kritis
terhadap situasi-batas.
Cara berpikir dialektis ini dicontohkan dengan sempurna dalam analisis terhadap
suatu siatuasi kongkret, ekstensial, dan “tersandi” (coded). Untuk “mendadar sandi”
(decode) orang harus bergerak dari abstrak ke kongkret, bergerak dari bagian ke
keseluruhan dan kembali ke bagian-bagian. Jika decode dilakukan dengan baik, maka
gerakan membalik dan membalik lagi dari abstrak ke kongkret yang berlangsung dalam
analisis terhadap situasi tersandi akan berakhir pada pergantian abstraksi oleh

24
pemahaman kritis terhadap yang kongkret, yang tidak lagi merupakanrealitas yang ketat
dan tidak tertenmus.Sandi adalah representasi dari situasi ekstensial, maka pendadar
cenderung untuk memulai dari represntasi itu ke situasi yang kongkret dimana dan
dengn apa dia menemukan dirinya.
Tema generatif tidak dapat ditemukan dalam diri manusia yang terlepas dari
realitas, dan juga tidak dalam ralitas yang terpisah dari manusia. Dia hanya dapat
dipahami dari hubungan manusia-dunia. Untuk meneliti tema generatif, berarti meneliti
pemikiran manusia tentang realitas dan tindakan manusia terhadap realitas, yakni
praksisnya. Semakin katif sikap manusia dalam mencari tema-tema mereka, semakin
dalam kesadaran kritis mereka terhadap realitas dan dalam memecahkan tema-tema
tersebut, maka mereka akan semakin memahami realitas itu. Tema terdapat dalam
manusia dalam hubungannya dengan dunia, dalam pergaulan dengan fakta-fakta
kongkret. Fakta objektif yang sama dapat menimbulkan kompleks-kompleks tema
generatif yang berbeda dalam baian zaman yang berbeda. Jadi, terdapat hubungan
antara fakta objektif yang ada, pemahaman manusia terhadap fakta itu, serta tema
generatif.
Dari sudut pandang peneliti, hal yang paling penting adalah menemukan titik
tolak dimana manusia memiliki gambaran tentang “yang ada”, kemudian membuktikan
apakah selama penelitian berlangsung terjadi perubahan dalam cara mereka memahami
realitas.Bila pandangan terhadap ralitas berubah selama penelitian, fakta itu tidak
mempengaruhi keabsahan penelitian. Sebaliknya, bahaya tersebut terletak pada resiko
bergesernya pokok masalah penelitian dari tema-tema bermakna kepada manusia itu
sendiri, sehingga memperlakukan manusia sebagai objek-objek penelitian. Karena
penelitian ini berperan sebagai landasan bagi suatu program pendidikan dimana guru-
yang-murid serta murid-yang-guru memadukan pemahaman mereka terhadap obyek
yang sama, maka penelitian itu sendiri harus juga didasarkan atas kegiatan timbale-
balik. Penelitian akan menjadi sanga mendidik jika ia sangat kritis, dan sangat kritis jika
dia menghindari patokan-patokan sempit dari oandangan terhadap realitas yang berat
sebelah atau “terkotak”, serta tetap menerapkan pemahaman terhadap realitas secara
keseluruhan. Dengan demikian proses pencarian tema bermakna harus mencakup
maslah perkaitan antartema, masalah pengungkapan tema-tema itu sebagai
permasalahan, dan masalah konteks sejarah dan kebudayaan.

25
Penelitian tema melibatkan penelitian manusia, pemikiran yang hanya terjadi
didalam dan di antara manusia untuk memahami realitas bersama-sama. Manusia
sebagai makhluk “dalam situasi tertentu” menemukan diri berakar dalam lingkungan
ruang dan waktu yang mewarnai mereka serta mereka warnai. Manusia mengada karena
dia berada dalam situasi. Dia akan semakin mengada bila semakin tidak hanya berpikir
kritis terhadap ekstensialnya, tetapi juga bertindak secara kritis terhadpnya. Manusia
muncul dari ketenggelaman mereka dan memperoleh kemampuan untuk melibatkan diri
dalam ralitas setelah dia disingkap. Penyadaran merupakan pendalaman dari sikap
kesadaran yang menjadi cirri-ciri semua pemuncilan.
Berlawanan dengan “tabungan” yang antidialogis dan tidak komunikatif dari
metode pendidikan gaya bank, isi program dari metode hadap-masalah-yang dialogis,
terdiri dari dan disususn menurut pandangan dunia para murid, dimana tema generatif
mereka ditemukan. Tugas guru yang dialogis dalam kelompok kerja antardisiplin yang
menggarap dunia tema yang diungkapkan dalam penelitaian meraka adalah
“menyajikan kembali” dunia itu bukan sebagai kuliah, tetapi sebagai masalah. Satu-
satunya dimensi dari nilai-nilai yang diharapkan dapat diserap oleh orang-orang yang
sedang diteliti tema-tema iniadalah pandangan kritis terhadap dunia, yang mencakup
metode yang benar dan mendekati realitas agar dapat menyingkapkannya. Pandangan
kritis tidak dapat ditularkan. Dengan demikian, sejak awal, penelitian tema diwujudkan
sebagai suatu usaha pendidikan, sebagai gerakan kebudayaan. Melalui proses ini mereka
mengembangkan pengetahuna tentang bagaimana berbagai bagian saling berinteraksi
yang akhirnya akan membantu mereka menembus totalitas itu sendiri.
Analisis terhadap realitas dilakukan oleh setiap pendadar mengembalikan mereka
semua, memalui dialog kepada keseluruhan yang terlepas-lepas yang mengundang
analisis baru para peneliti, yang setelah itu suatu pertemuan evaluative dan kritis yang
baru akan diadakan. Dengan menegtahui inti kontradiksi, para peneliti dapat mulai
menyusun program pendidikan yang sesuai. Secara intrinsic, kontradiksi ini merupakan
situasi-batas, yang melibatkan tema-tema dan menunjukkan tugas-tugas. Walaupun
situasi batas adalah realitas objektif yang menampakka kerurangan-kekurangan pada
pribadi-pribadi, orang harus tetap meneliti bersama pribadi-pribadi ini tingkat kesadaran
mereka terhadap situasi-situasi ini.
Dengan selalu bekerja sebagai sebuah kelompok, para peneliti memilih sejumlah

26
kontradiksi sebagai bahan untuk menyususn kondifikasi untuk dipakai dalam penelitian
tema. Kondifikasi adalah objek-objek yang mengatarai para pendadar dalam analisis
krtis mereka, maka penyiapan kondifikasi harus berpatokan pada prinsip-prinsip tertentu
yang berbeda dengan yang biasanya dipakai utnuk membuat peragaan visual. Syarat
pertama bahwa kondifikasi ini harus mewakili situasi yang karab dengan pribadi-pribadi
yang tema-temanya sedang ditelaah, sehingga mereka dengan mudah mengenali situasi
itu. Syarat yang sama pentingnya dalam menyiapkan kondifikasi adalah bahwa inti tema
mereka tidak boleh terlalu kabur atau terlalu jelas. Bila terlalu jelas maka dapat berubah
menjadi sekedar propaganda saja, namun bila terlalu kabur maka akan tampil sebagai
sebuah teka-teki atau permainan tebak-tebakan. Karena mewakili situasi ekstensial,
kondifikasi hendaknya sederhana dalam kompleksitasnya dan menawarkan berbagai
kemungkinan pemecahan untuk menghindari kecenderungan pencucian otak dari
propagansa.
Kondifikasi hendaknya disusun sebagai “kipas tema”. Ketika pendadar
merefleksinya, kondifikasi harus membuka diri ke arah tema-tema lainnya. Karena itu,
kondifikasi yang mencerminkan situasi ekstensial harus secara objektif merupakan
totalitas. Unsur-unsurnya harus saling berinteraksi dalam bentuk keseluruhan. Dalam
proses pendadaran, peserta mengungkapkan tema-temanya dan dengan demikaian
mempertegas “kesadaran nyata”-nya terhadap dunia. Dengan meluaskan “pandangan
terhadap pandangan sebelumnya” serta “pengetahuan tentang pengetahuan sebelumya”,
maka pendadaran mendorong terwujudnya suatu pandangan baru dan pengembanga
pengetahuan baru. Pandangan dan pengetahuan baru secara sistematik dikembangakan
dengan dimulainya rencana poendidikan yang mengubah kemungkina yang belum
dicoba menjadi tindakan mencoba, ketika kesadaran potensial menggantikan kesadaran
nyata.
Setelah kondifikasi pokok terpecajhkan, pendidik tetap berpegang pada citra yang
diproyeksikan sebagai acuan bagi para peserta, kemudian secara berurutan
memproyeksikan berbagai kondifikasi pembantu. Dengan peralatan kondifikasi
pembantu itu, yang secara langsung dihubungkan dengan kondifikasi pokok, dapat
memelihara minat yang besar bagi para peserta, yang dengan demikian dapat mencapai
suatu sintesa. Melalui dialetika antara kondifikasi pokok dan pembantu, penyampaian
totalitas kepada para peserta akan dapat dilakukan.

27
Sifat dialogis dalam pendidikan dimulai dari penelitian tema. Pengenalan terhadap
tema-tema ini terbukti perlu dan sesuai dengan sifat dialogis dan pendidikan. Tema-
tema tersebut dapat memudahkan hubungan antara dua tema yang terdapat dalam satuan
program, yakni mengisi celah yang mungkin ada diantara keduanya, atau dapat member
gambaran mengenai hubungan-hubungan antara isi program secara umum dan
pandangan dunia yang dimiliki penduduk. Konsep antropologis mengenai kebudayaan
merupakan salah satu dari tema-tema penghubung yang menjelaskan peranan manusia
di dunia dan dengan dunia sebagai makhluk pengubah dabn bukan menyesuaikan diri.
Hal yang penting dari sudut pandangan pendidikan yang membebaskan adalah
agar manusia merasa sebagai tuan bagi pemikirannya sendiri dengan berdiskusi
mengenai pemikiran dan pandangan tentang dunia yang secara jelas atau tersamar
terungkap di dalam tanggapan-tanggapan mereka sendiri dan kawan-kawannya. Oleh
karena itu pandangan terhadap pendidikan ini bertolak dari keyakinan bahwa dia tidak
dapat menyajikan programnya sendiri, tapi harus menyususn program ini secara dialogis
dengan masyarakat, maka dia berperanan untuk memperkenalkan pendidikan bagi kaum
tertindas, dalam perkembangannya kaum tertindas harus mengambil bagian.

# Bab 4
Manusia sebagai makhluk praksis, berbeda dengan binatang yang merupakan
makhluk yang sekadar berbuat. Binatang tidak berpikir tentang dunia dan tenggelam
didalamnyan. Sebaliknya manusia muncul dari dunia, mengenalinya dan dengan cara itu
dapat memahami dan mengubah dunia dalam karya mereka. Aktivitas manusia adalah
teori dan praktik, itulah yang disebut dengan refleksi dan tindakan yang tidak dapat
direduksi menjadi verbalisme dan aktivisme saja.
Suatu revolusi akan terlaksana tanpa verbalisme dan aktivisme, tetapi dengan
praksis, yakni dengan refleksi dan tindakan yang diarahkan pada struktur–struktur yang
hendak diubah. Para pemimpin revolusi tidak boleh memperlakukan kaum tertindas
hanya sebagai pelaku yang tidak diberi kesempatan untuk berefleksi serta dibiarkan
dalam ilusi bertindak, padahal sesungguhnya mereka tetap menjadi korban manipulasi-
dalam hal ini oleh mereka yang dianggap musuh manipulasi. Dengan memaksakan
perkataan kepada orang lain, maka mereka memalsukan perkataan itu serta
menimbulkan kontradiksi antara metode dan tujuan mereka. Jika mereka benar

28
mengabdi kepada pembebasan, maka tindakan dan refleksi mereka tidak berlaku tanpa
tindakan dan refleksi orang lain.
Keikutsertaan kaum tertindas adalah mutlak esensial dalam proses seiring dengan
semakinkritisnya kesadaran terhadap peranan mereka sebagai pelaku dari perubahan.
Bila mereka terseret dalam proses sebagai manusia yang mendua dan bila mereka
kemudian berkuasa dan masih menunjukkan sifat mendua yang dipaksakan kepada
mereka oleh siatuasi penindasan tersebut, maka mereka hanya akan mengira telah
meraih kekuasaan. Dualisme ekstensial mereka bahkan mungkin memudahkan
timbulnya iklim sectarian yang mengarah pada tumbuhnya birokrasi yang akan
merongrong revolusi. Bila kaum tertindas tidak menyadari sifat mendua ini selam
jalannya proses revolusi, mereka mungkin ikut serta dalam proses tersebut dengan
semangat lebih sebagai pembalas-dendam dari para revolusiaoner. Dia mungkin
menganggap revolusi sebagai jalan untuk meraih kekuasaan dan bukan pemebebasan.
Dialog dengan rakyat dangat diperlukan bagi setiap revolusi sejati. Inilah yang
memberinya sifat sebagai suatu revolusi, untuk dibedakan dengan kudeta mititer.
Semakin cepat dialog dimulai, gerakan revolusi akan menjasi semakin murni. Dialog
teramat penting dalam revolusi ini, sesuai dengan kebutuhan dasar lain: keb utuhan
manusia sebagai makhluk yang tidak akan menjadi benar-benar manusiawi tanpa adsnya
komunikasi, sebab mereka pada hakikatnya adalah makhluk komunikatif. Menghalangi
manusia berkomunikasi berarti mereduksi mereka menjadi “benda” dan itu merupakan
tindakan dari kaum penindas bukan kaum revolusioner.
Revolusi tidak dilaksanakan baik oleh para pemimpin untuk rakyat atau oleh
rakyat untuk para pemimpin, melainkan oleh keduanya yang bertindak bersama-sama
dalam solidaritas yang tidak tergoyahkan. Solidaritas ini hanya lahir bila para
pemimpin menyaksikannya dari perjumpaan mereka yang rendah hati, penuh kasih,
serta berani, dengan rakyat. Revolusi sejati berusaha mengubah realitas yang
melahirkan masalah-masalah yang menafikan manusia. Kebenaran ini harus melahirkan
konsekuensi mendasar, yakni para pemimpin harus mewujudkan perubahan itu melalui
persekutuan dengan rakyat.
Kepercayaan terhadap aktivisme sebagai jalan menuju revolusi adalah suatu
anggapan keliru. Manusia kana menjadi sungguh-sungguh kritis bila mereka hidup
dalam praksis, yakni bila tindakan mereka mencakup refleksi kritis yang dapat semakin

29
mengatur pikiran mereka dan dengan demikian mengarahkan mereka bergerak dari
pengetahuan yang sangat naïf mengenai realitas menuju tingkatan yang lebih tinggi
memungkinkan mereka memahami perkara-perkara realitas. Dalam proses penindasan,
kaum elite hidup di atas “kehidupan mati” kaum tertindasa dan menemukan kesejatian
dirinya dalam hubungan vertical antara mereka dengan kaum tertindas. Dalam proses
revolusi hanya ada satu jalan bagi para pemimpin untuk mencapai kesejatian: mereka
harus “mati” agar dapat lahir kembali melalui dan bersama dengan kaum tertindas.
Ketidakmanusiawian kaum penindas serta kemanusiawian revolusi keduanya
memanfaatkan ilmu pengetahuan. Tapi ilmu pengetahuian dan teknologi yang melayani
kaum penindas digunakan untuk mereduksi manusia kepada status “benda”: yang
melayani revolusi digunakan untuk memajukan humanisasi. Kaum tertindas harus
menjadi pelaku dalam proses revolusi agar jangan sampai mereka terus dianggap
sebagai sekadar objek dari kepentingan ilmiah.
Revolusi lahir sebagai gejala sosial dalam masyarakat penindas; sejauh dia
merupakan aksi kebudaayaan, maka di atidak mungkin tidak berkaitan dengan potensi-
potensi dari wujud sosial dimana dia muncul. Setiap gejala berkjembangn dalam dirinya
sendiri, melalui saling pengaruh dalam kontradiksi-kontradiksinya. Revolusi berusaha
untuk menggeser siatuasi penindasan dengan membangunsuatu masyarakat manusia
dalam proses pembebasan yang berlangsung terus-menerus. Sifat mendidik dan dialogis
dari revolusi juga menjadikan “revolusi kebudayaan”, harus terdapat dalam setiap
tahap-tahapnya. Sifat mendidik ini adalah salah satu alat yang paling efektif untuk
menghindarkan revolusi dari bahaya menjadi terlembaga dan berjenjang dala, suatu
birokrasi yang kontra-revolusioner dilaksanakan oleh kaum revolusiaoner yang menjadi
reaksioner.
Proses revolusi harus dinamis dalam dinamika yang terus-menerus ini, dalam
praksis rakyat dan pemimpin belajar berdialog dan menggunakan kekuasaan. Jalan
menuju revolusi meliputi keterbukaan terhadap rakyat, bukan ketidakpedulian terhadap
mereka. Dia meliputi persekutuan dengan rakyat, bukan kecurigaan. Sebagaimana
dikatakan Lenin, semakin suatu revolusi membutuhkan teori, semakinpara
pemimpinnya harus bersama rakyat agar daopat berhadapan melawan kekuasaan
penindas. Berdasarkan proporsi umum tersebut, berikut merupakan analisis mengenai
teori-teori tindakan yang antidialogis dan dialogis.

30
Penaklukan
Watak pertama dari tindakan antidialogis adalah keharusan adanya penaklukan.
Manusia antidialogis, dalam berhubunganndengan manusia lain, bertujuan untuk
menaklukan merereka sedikit demi sedikiy dan dengan segala cara, dari yang paling
kasar sampai yang paling halus, dari yang paling menekan sampai yang paling tidak
terasa. Pembebasan harus merupakan kondisi yang ajek, maka dialog menjadi suatu
aspek yang berkesinambungan dalam tindakan pembebasan. Nafsu untuk menaklukan
sentantiasa terdapat dalam tindakan antidialogis.
Merupakan keharusan bagi kaum penindas untuk mendekati rakyat agar dapat
membuat mereka tetap pasif melalui penaklukan. Pendekatan ini, tentu saja tidak
berunsur ada bersama rakyat, maupun menuntut adanya komunikasi sejati. Hal ini
dilakukan dengan cara menabungkan mitos-mitos kaum penindas yang tidak terelakkan
bagi keberlangsungann status quo.
Singkatnya semua realitas menindas merupakan tindakan yang antidialogis dan
tidak ada antidialog dimana kaum penindas tanpa mengendor mempertaruhkan dirinya
bagi penaklukan secara ajek terhadap kaum tertindas. Elite penguasa pada saat ini,
seperti halnya pada zaman apapun, berlanjut membutuhkan penaklukan terhadap orang
lain. Isi dan metode penaklukan berbeda-beda sepanjang sejarah, yang tidak berubah
adalah nafsu nekrofilis untuk menindas.

Pecah dan Kuasai


Cara ini merupakan dimensi penting yang lain dari teori tindakan menindas yang
seumur dengan penindasan itu sendiri. Setelah minoritas penindasan menaklukan dan
menguasai mayoritas rakyat, mereka harus memecah belah dan menjaga agar tetap
terpecah, supaya dapat terus berkuasa. Kaum penindas nenatahkan mereka dengan
segala cara, setiap aksi yang sekalipun masih pada tahap dini dapat membangkitkan rasa
butuh persatuan di kalangan rakyat. Konsep-konsep seperi halnya kesatuan, organisasi,
dan perjuangan dicap berbahaya. Sesungguhnya konsep-konsep ini memang
membahayakan bagi kaum penindas oleh karena realisasi dari semua itu merupakan
keniscayaan bagi aksi-aksi pembebasan.
Untuk melehahkan kaum tertindas lebih lanjut adalah dengan mengucilkan
mereka, menciptakan dan memperdalam jurang pemisah di antara mereka merupakan

31
kepentingan kaum penindas yang dilakukan dengan berbagai cara. Penekanan pada
pemahaman terhadap berbagai masalah secara terkotak dan bukan memahaminya
sebagai dimensi-dimensi dari satu totalitas. Dalam proyek-proyek “pengembangan
masyarakat” , semakin suatu wilayah dipecah menjadi “masyarakat-masyarakat local”
tanpa pengkajian terhadap masyarakatnya maka semakin jauh keterasingan tercipta.
Semakin jauh rakyat terasing, semakin mudah pula memecah belah mereka serta
memelihara perpecahan itu. Bnetuk-bentuk aksi yang terkotak ini, dengan menekankan
cara hidup yang terkotak-kotak dari kaum tertindas, menghalangi kaum tertindas untuk
memahami realitas secara kritis dan membuat mereka tetap jauh dari masalah-masalah
penindasan manusia di daerah lain.
Efek pemecah yang lain terjadi dalam hubungan yang disebut “pelatihan-pelatihan
kepemimpinan”. Kaum penindas tidak mau memajukan masyarakat secara keseluruhan,
tetapi hanya para pemuka yang terpilih. Dengan memelihara keterasingan, menghambat
muncuklnya kesadaran serta keterlibatan kritis dalam suatu realitas total. Tanpa adanya
keterlibatan kritis, akan senantiasa sulit untuk mempersatukan kaum tertindas sebagai
suatu kelas. Semua tindakan kelas penguasa mennunjuk kepada kepentingannya untuk
memecah-belah dan mempermudah pelangsungan kedudukan penindas. Memberi
hadiah orang-orang tertentu dan member hukuman kepada yang lain merupakan cara
memecah-belah untuk melestarikan sistem yang menguntungkan kaum elite. Semua itu
adalah bentuk-bentuk tindakan yang memanfaatkan baik langsung ataupun tidak
langsung salah satu kelemahan dari kaum tertindas, yaitu kerwanan inti mereka. Kaum
tertindas rawan dalam dualitas mereka sebagai yang “menyerap” penindas kedalam
dirinya.
Manusia menjadi makhluk yang selesai hanya sejauh mereka menciptakan
dunianya dan menciptakannya dengan karya mereka yang mengubah. Keselesaian
manusia sebagai manusia terletak dalam keselesaian dunia. Jika bagi manusia mengada
di dunia karya berarti tergantung secara total, rawan dan senantiasa terancam, bila karya
mereka tidak menjadi miliknya, maka manusia tidak akan menjadi selesai. Karya yang
tidak bebeas tidak lagi merupakan suatu usaha kea rah keselesaian dan menjadi sarana
efektif bagi dehumanisasi.
Kesatuan dan organisasi memungkinkan mereka mengubah kelemahannya
menjadi suatu tenaga pengubah dengan apa mereka dapat mencipatakan kembali dunia,

32
menjadikannya lebih manusiawi. Dunia yang lebih manusiawi seperti yang mereka
inginkan, andalah antitesa dari “dunia manusiawi” kaum penindas, yaitu dunia yang
merupakan milik khusus kaum penindas, yang berkhotbah tentang tidak mungkin
terwujudnya keserasian antara diri mereka dengan kaum tertindas. Karena kaum
tertindas dan kaum penindas bertentangan, maka apa yang menguntungkan kepentingan
satu kelompok berlawananan dengan kepentingan kelompok lain.
Memecah-belah agar dapat melangsungkan status quo, dengan demikian niscaya
merupakan tujuan dasar dari teori tindakan antidialogis. Kaum penguasa berusaha
menampilkan diri sebagai penyelamat dari orang-orang yang mereka hilangkan
kemanusiawiannya dan memecah belahnya. Mesianisme ini, akhirnya tidak dapat
menyembunyikan maksud yang sesungguhnya, yaitu menyelamatkan diri sendiri.
Kesalahan mereka adalah bahwa manusia tidak dapat menyelamatkan diri sendiri, baik
secara pribadi maupun sebagai kelas penindas. Keselamatan hanya dapat diperoleh
bersama dengan orang lain. Sejauh kaum elite menindas, mereka tidak dapat bersama
dengan kaum tertindas, oleh karena bertentangan dengan mereka adalah esensi
penindasan.

Manipulasi
Manipulasi adalah dimensi lain dari teori tindakan antidialogis, yang merupakan
alat untuk menaklukkan, Dengan cara memanipulasi, elite penguasa berusaha membuat
rakyat meyesuikan diri dengan tujuan-tujuan mereka. Semakin rendah kesadaran politik
rakyat semakin mudah pula mereka dimanipulasi oleh mereka yang tidak ingin
kehilangan kekuasaannnya. Manipulasi menjadi alat penting untuk melestarikan
dominasi. Sebelum munculnya kesadaran rakyat terjadi manipulasi, melainkan
penindasan total. Bila kaum tertindas hampir sama sekali tenggelam dalam realitas,
maka tidak ada keharusan memanipulasinya. Dalam teori tindakan antidialogis,
manipulasi merupakan jawaban kaum penindas terhadap kondisi kongkret yang baru
dari proses sejarah. Melalui manipulasi, elite penguasa dapat menggiring rakyat kepada
“organisasi” palsu dan dengan demikian dapat menghindari alternative mengancam:
organisasi murni dari rakyat yang telah sadar dan mulai menyadari.
Obat penawar bagi manipulasi terdapat pada kesadaran kritis dalam organisasi
revolusi, yang akan menghadapkan sebagai masalah kepada rakyat kedudukan mereka
dalam proses sejarah, realitas nasiaonal, dan manipulasi diri sendiri. Salah satu metode

33
manipulasi adalah menanamkan cita rasa borjuis kepada orang-orang untuk mencapai
sukses pribadi. Manipulasi ini kadangkala dilakukan secara langsung dilakukanoleh
kaum elite dan kadangkala tidak langsung melalui para pemimpin populis. Setiap
pemimpin populis mendekati rakyat untuk keperluan selain sebagai perantara antara
kelompok oligarki, akan dikekang oleh kaum elit yang reaksioner, bila mereka memiliki
kekuatan yang cukup untuk mengahalanginya. Para pemimpin revolusi harus
mengambil manfaat dari kontradiksi dalam manipulasi dengan menghadapkannya
sebagai masalah kepada kaum tertindas dengan tujuan mengorganisasi mereka.

Serangan Budaya
Serangan budaya, seperti halnya taktik memecah belah dan memanipulasi juga
melayani tujuan-tujuan penaklukan. Dalam gejala ini, para penyerang menyusup ke
dalam lingkungan kebudayaan kelompok lain, dan tanpa menghiraukan potensi
kebudayaan tersebut, mereka memaksakan pandangan dunianya sendiri kepada orang-
orang yang mereka serang dan menghambat kreativitas kaum terserang dengan
mengendalikan ungkapan-ungkapan kejiwaan mereka. Dalam serangan budaya para
penyerang adalah perancang dan pelaku dari proses tersebut. Mereka yang diserang
adalah objeknya.
Penaklukan kebudayaan mengakibatkan ketidakmurnian kebudayaan dari mereka
dyang diserang. Mereka kemudian melayani nilai-nilai, patokan-patokan, serta tujuan-
tujuan para penyerang. Para penyerang bermaksudn untuk mengetahui bagaimana
orang-orang yang telah mereka serang memahami realitas, dan hanya dengan cara
demikian mereka dapat menguasai pihak yang diserang dengan cara yang lebih efektif.
Jika mereka yang diserang kemudian melihat reakitas dari sudut pandang penyerang dan
bukan dari sudut pandangnya sendiri, maka akan semakin banyak mereka meniru para
penyerang, dan akan semakin mantaplah kedududkan para penyerang tersebut.
Agar serangan kebudayaan berhasil, maka hak yang esensial adalah membuat
yakin mereka yang diserang akan inferioritas intrinsic dirinya. Oleh karena segala
sesuatu memiliki kebalikannya, maka bila mereka yang diserang menganggap diri
inferior, mereka niscaya akan mengakui superioritas para penyerang. Serangan budaya
di satu pihak merupakan alat dominasi dan dilain pihak merupakan akibat dari
dominasi. Dengan demikian, tindakan budaya dari seseorang yang mendominasi,
disamping suatu kesengajaan dan telah direncanakan, adalah dalam aeti lain merupakan

34
suatu hasil dari realitas menindas.
“Revolusi kebudayaan” mengambil masyarakat secara total untuk direkonstruksi,
termasuk semua aktivitas manusia, sebagai objek aksi pencetakan kembali. Masyarakat
yang tidak dapat direkonstruksi secara mekanistis, kebudayaan yang diciptakan kembali
secara kebudayaan melalui revolusi adalah sarana dasar bagi rekonstruksi ini. “revolusi
kebudayaan” adalah usaha maksimum rezim reolusioner bagi penyadaran yang harus
mencapai setiap orang, tanpa memperhatikan jabatannya.
Pendidikan manusia untuk bidang pekerjaan apapun menghendaki pemahaman
terhadap kebudayaan sebagai superstuktur yang dapat menyimoan “puing-puing” masa
lalu, yang terus hidup dalam substruktur yang sedang mengalami perubahan
revolusiorer, dan kemudian pekerjaan itu sendiri sebagai suatu sarana bagi perubahan
kebudayaan. Sebagai orang yang “menyerap” penindas, mereka merintangi, seolah-olah
penindas itu sendiri, langkah-langkah penting selanjutnya yang harus diambil bagian
revolusi. Sebagai makhluk yang mendua mereka juga menerima kekuasaan yang
kemudian menjadi birokrasi dan dengan kuat menindas mereka.
Serangan budaya yang melayani tujuan-tujuan penaklukan serta kelangsungan
penindasan, selalu melibatkan padandangan terbatas terhadap realitas, pemahaman statis
terhadap dunia, serta pembebanan suatu pandangan dunia terhadap yang lain. Serangn
budaya lebih lanjut berarti bahwa letak keputusan untuk bertindak bagi mereka yang
diserang tidak berada pada diri mereka sendiri, melainkan berada pada para
penyerangnya. Kontradiksi utama dari masyarakata yang mendua adalah hubungan
ketergantungan antara dirinya sendiri dengan masyarakat metropolitan. Setelah
kontradiksi dapat diatasi, maka oerubahan yang selama ini berjalan melalui “bantuan:,
yang terutama menguntungkan masyarakat metropolitan, kini menjadi perkembangan
sejati yang menguntungkan “makhluk untuk dirinya”.

Kerja Sama
Dalam teori tindakan antidialogis, penaklukan melibatkan semua pelaku yang
menaklukkan orang lain, dan mengubahnya menjadi suatu “benda”. Dalam teori
tindakan dialogis, para pelaku berkumpul dalam kerja sama untuk mengubah dunia.
Teori tindakan dialogis tidak melibatkan suatu pelaku, yang menguasai oleh karena
penaklukan, serta objek yang dikuasai. Dalam tugas dialogis tidak ada peran bagi
kepemimpinan revolusi. Itu hanya berarti bahwa pemimpin tidak memiliki rakyat

35
danbtidak berhak untuk menyetir rakyat sekehendaknya menuju penyelamatan.
Kerja sama sebagi suatu ciri dari tindakan dialogis hanya dapat tercapai melalui
komunikasi. Dialog sebagai komunikasi esensial, harus mendasari setiap kerja sama.
Dalam teori tindakan dialogis, tidak ada tempat bagi penaklukan rakyat atas nama
urusan revolusi., tetapi hanya untuk memperoelh dukungan mereka. Dialog tidak
memaksakan, tidak memanipulasi, tidak menjinakkan, tidak “berslogan”. Namun tidak
berarti teori tindakan dialogis tidak memiliki tujuan, tidak memiliki gagasan yang jelas
mengenai apa yang dikehendakinya, atau tujuan-tujuan yang menjadi kepentingannya.
Pengabdian pemimpin revolusi kepada kaum tertindas adalah sekaligus
pengabdian terhadap kebebasan. Dan oleh karena oengabdian itu, para pemimpin tidak
boleh menaklukkan kaum tertindas, tetapi harus memperoleh dukungan mereka bagi
pembebasan. Dengan demikian kerja sama mengarahkan pelaku-pelaku dialog
memusatkan perhatian pada realitas yang mengantarai mereka dan yang menantang
mereka. Jawaban terhadap tantangan itu berupa tindakan pelaku-pelaku dialog terhadap
realitas duntuk mengubahnya. Kepercayaan rakyat kepada para pemimpin
mencerminkan keyakinan pemimpin kepada rakyat. Para pemimpin harus percaya
kepada potensi rakyat yang tidak boleh mereka perlakukan sebagai sekadar objek dari
tindakan mereka. Mereka harus percaya bahwa rakyat mampu berperan serta dalam
perjuangan pembebasan.
Dalam teori dialogis, pada tahap manapun aksi revolusi tidak dapat
mengesampingkan persekutuan dengan rakyat. Persekutuan pada gilirannya melahirkan
kerja sama, yang membawa para pemimpin dan rakyat kepada penggabungan.
Penggabungan ini dapat terjadi hanya bila aktivitas revolusi benar-benar manusiawi,
empatik, penuh cintam komunikatif, dan rendah diri agar mampu membebaskan.
Revolusi mencintai dan menciptakan kehidupan, untuk menciptakan kehidupan maka
wajiblah untuk mencegah sejumlah orang dari perbuatan membatasi kehidupan.
Disamping terdapat siklus kehidupan kemanusiaan yang hakiki bagi alam, terdapat pula
sesuatu yang tidak alami dalam kehidupan mati, yaitu kehidupan yang dipotong
pemenuhannya.

Persatuan untuk Pembebasan


Dalam teori dialogis para pemimpin harus menyerahkan dirinya bagi usaha tanpa
kenal lelah bagi persatuan kaum tertindas untuk mencapai kebebasan. Kesulitannya

36
adalah bahwa kategori tindakan dialogis ini tidak dapat terwujud diluar praksis. Praksis
penindadas itu mudah bagi elite penguasa, namun tidak mudah bagi para pemimpin
revolusi untuk melaksanakan praksis pembebasan. Untuk memecah-belah kaum
tertindas, maka suatu ideology penindasan pasti diperlukan. Sedangkan untuk
menciptakan persatian diantara mereka memerlukan suatu bentuk aksi kebudayaan yang
kaan membuat mereka mengetahui mengapa dan bagaimana mereka melekat kepada
realitas (memerlukan deideologisasi). Dengan demikian, usaha untuk mempersatuakan
kaum tertindas tidak sekadar memerlukan “penyloganan” ideologis.
Objek tindakan dialogis adalah membuka kemungkinana bagi kaum tertindas,
dengan memahami pelekatan mereka, agar mau mengubah suatu realitas yang tidak adil.
Oleh karena persatuan kaum tertindas menyangkut solidaritas di antara mereka, tanpa
memepedulikan kedudukan mereka masing-masing, persatuan in pastilah memerlukan
adanya kesadaran kelas. Agar kaum tertindas dapat bersatu, mereka harus memotong
tali pusar magis dan mitos yang mengikat mereka dengan dunia penindasan terlebih
dahulu. Persatuan yang mengikat mereka satu sama lain harus memiliki watak yang
lain. Untuk mewujudkan persatuan yang tidak terelakkan ini, maka proses revolusi dari
sejak awal harus merupakan aksi kebudayaan. Metode-metode yang digunakan untuk
mewujudkan persatuan kaum laman sejarah dan tertindas akan tergantung kepada
pengalaman sejarah dan ekstensial mereka sendiri di dalam struktur sosial. Bentuk-
bentuk aksi kebudayaan dalam situasi-situasi yang sedemikian berbeda seperti ini
bagaimanapun juga mempunyai tujuan yang sama, yaitu menjelaskan kepada kaum
tertindas mengenai situasi obyektif yang menjerat mereka pada kaum penindas, baik
kelihatan maupun tidak.

Organisasi
Dalam teori tindakan dialogis organisasi rakyat merupakan lawan antagonistis dari
manipulasi. Organisasi bukan hanya berkaitan langsung dengan persatuan, namun juga
merupakan perkembangan yang wajar dari persatuan. Oleh karena itu, usaha para
pemimpin dalam dalam hal persatuan adalah niscaya juga suatu usaha untuk
mengorganisasi rakyat, yang menuntut kesaksian bagi kenyataan bahwa perjuangan bagi
pembebasan adalah tugas bersama. Unsur-unsur esensial dari kesaksian yang tidak
berbeda sepanjang sejarah mencakup konsistensi antara kata dan tindakan, tekad yang
mendorong kesaksian untuk mengahadapi kehidupan sebagai resiko yang ajek,

37
radikalisasi yang membimbing baik kesaksian maupun orang yang menerima kesaksian
itu untuk bertindak lebih banyak, keberanian untuk mencintai, serta keyakinan terhadap
rakyat, karena untuk merekalah kesaksian dibuat.
Dalam tindakan antidialogis, manipulasi membius rakyat dan memudahkan
penguasaan terhadap mereka, dalam tindakan yang dialogis manipulasi diagntikan
dengan organisasi sejati. Dalam tindakan antidialogis, manipulasi melayani tujuan-
tujuan penaklukkan, sedangkan dalam tindakan dialogis kesaksian yang berani dan
penuh cinta melayani tujuan-tujuan organisasi. Mengorganisasi rakyat adalah proses
dimana pemimpin revolusi, yang juga dihambat untuk mengucapkan perkataan sendiri,
mengawali pengalaman belajar bagaimana menamai dunia. Ini merupakan pengalaman
belajar sejati dan dialogis. Demikianlah bahwa para pemimpin revolusi tidak dapat
mengucapkan perkataannya sendirina, namun harus mengatakannya bersama rakyat.
Kenyataan bahwa para pemimpin yang mengorganisasi rakyat tidak memiliki hak
sekehendaknya untuk memaksakan perkataan mereka, tidak berarti bahwa mereka harus
dengan demikan mengambil posisi sebagai orang liberalis yang menganjurkan
kebebasan berlebihan, dan dengan begitu menegaskan otoritarianisme maupun
kebebasan berlebihan., dan dengan begitu menegaskan otoritas dan kebebasa. Tidak ada
kebebasan tanpa otoritas, namun juga tidak ada otoritas tanpa kebebasan. Segala
kebebasan mengandung kemungkinan bahwa dalam keadaan tertentu dia dapat menjadi
otoritas. Kebebasan dan otoritas tidak dapat dipisahkan, melainkan harus dipahami
dalam hubungan satu sama lain.
Dalam teori tindakan dialogis, organisasi menuntut otoritas, hingga dia tidak
menjadi otoriter, dia menuntut kebebasan sehingga dia tidak akan menjadi kebebasan
yang berlebihan. Organisasi, sebalikanya adalah suatu proses yang sangat mendidik
dimana para pemimpin dan rakyat bersama-sama mengalami otoritas dan kebebasan
sejati, yang kemudian mereka usahakan penjelmaannya di dalam masyarakat dengan
mengubah realitas yang mengantarai mereka.
Sintesa Kebudayaan
Aksi kebudayaan dapat melayani dominasi atau juga dapat melayani pembebasan
manusia. Oleh karena kedua macam aksi kebudayaan yang berlawanan secara dialektis
ini berlangsung di dalam dan ditunjukkan kepada struktur sosial, maka keduannya
menciptakan hubungan dialektis antara keajekan dan perubahan. Aksi kebudayaan

38
dialogis tidak mempunyai sasaran hilangnya dialetika kajekan-perubahan, melainkan
sasarannya adalah mengatasi berbagai kontradiksi antagonistis dalam struktur sosial
tersebut, yang dengan demikina mencapai pembebasan manusia.
Aksi kebudayaan yang antidialogis bertujuan pada pemitosan kontradiksi dan
dengan demikian berharap dapat menghindari perubahan radikal dari realitas. Watak
dari tindakan ini meliputi penaklukan terhadap rakyat, memecah-belah, manipulasi,
serta serangan kebudayaan. Dia niscaya dan pada dasarnya merupakan suatu tindakan
berpamrih. Tindakan dialogis, sebalikanya mengatasi segala sifat berpamrih. Ketidak
mampuan aksi kebudayaan antidialogis untuk mengatasi sifat berpamrihnya disebabkan
oleh tujuannya, yaitu dominasi. Sementara aksi kebudayaan dialogis untuk melakukan
hal itu terletak pada tujuannya, yaitu pembebasan.
Sintesa kebudayaan dengan demikian merupakan satu cara bertindak untuk
menghadapi kebudayaan itu sendiri, sebagai penjaga dari struktur-struktur yang
membentuk dirinya. Aksi kebudayaan, sebagai aksi sejarah, adalah sarana untuk
menggeser kebudayaan kaum pengusaja yang terasing serta mengasingkan. Dalam
artian inilah, setiap revolusi sejati merupakan revolusi kebudayaan. Dalam sintesa
kebudayaan terdapat kemungkinana untuk mengatasi kontradiksi antara pandangan
dunia para pemimpin dengan pandangan dunia rakyat, yang kaan memperkaya
keduanya. Sintesa kebudayaan tidak mengingkari perbedaan antara kedua pandangan
tersebut, dia justru didasarkan pada perbedaan tersebut. Dia memang menolak serangan
dari yang satu kepada yang lain, namun menegaskan dukungan yang diberikan oleh
masing-masing kepada satu sama lain.
Untuk mencapai kesadaran kritis mengenai kenyataan bahwa sangat penting
artinya untuk menjadi “pemilik dari karya sendiri”, bahwa karya “merupakan bagian
dari pribadi manusia” dan bahwa “seorang manusia tidak dapat dijual ataupun menjual
dirinya sendiri”, berarti harus maju selangkah keluar dari khayalan penyelesaian semu.
Melakukanperubahan sejati atas realitas, dengan memanusiakan realitas itu, akan berarti
memanusiakan manusia. Dalam teori tindakan antidialogis serangan kebudayaan
melalui tujuan-tujuan memanipulasi, yang pada gilirannya melayani tujuan-tujuan
dominasi. Sintesa kebudayaan melayani tujuan-tujuan organisasi, dan organisasi
melayani tujuan pembebasan.

39
BAB III
PENUTUP

Dalam memahami pendidikan kaum tertindas, Freire mencoba memaparkan siswa


sebagai subjek dalam proses pembebasan dari kekuasaan. Siswa yang selalu diposisikan
sebagai objek selalu disebut sebagai kaum yang tertindas. Dan dalam pandangannya
kaum tertindas tidak berusaha untuk mengupayakan pembebasan, tetapi cenderung
menjadikan dirinya penindas, atau penindas kecil. Dalam pikirannya selalu melekat
ketidakmungkinan untuk terlepas dari belenggu kekuasaan, dan oleh karena itu upaya
untuk menindas kembali merupakan suatu hal yang dapat sedikit meringankan beban
mereka. Semua ini terjadi karena pada momentum tertentu, dalam pengalaman
eksistensial mereka cenderung mengambil sikap “melekat” kepada penindasnya. Dalam
keadaan seperti itu kaum tertindas tidak akan dapat melihat “manusia baru” karena
manusia itu harus dilahirkan dalam pemecahan kontradiksi ini, dalam suatu proses
memudarnya penindasan untuk membuka jalan kearah pembebasan dalam konteks
kesadaran kritis benda-benda dan fakta-fakta ditampilkan secara empirik, dalam
kausalitas dan saling berhubungan dengan lingkungan sekitar. Dalam pengertian lain,
kesadaran kritis berupaya untuk mengintegrasikan diri dengan realitas, yang pada
akhirnya lambat-laun akan diikuti oleh aksi atau tindakan. Karena sekali manusia
menemukan dan menangkap adanya tantangan, memahaminya, dan merumuskan
kemungkinan-kemungkinan memecahkannya, maka ia akan bertindak.
Konsep pendidikan melalui kesadaran kritis merupakan suatu bentuk “kritisisme
sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa
dihindari secara sosial dan historis; individu-individu berhubungan dengan masyarakat
yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman,
agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan
dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya, sehingga pendidikan harus kritis
terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang
bernuansa sosiohistoris.
Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan
wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri
seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak hanya berisi

40
individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tetapi
juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan
tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak
individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem
sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan
adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam
masyarakat.
Upaya menggerakkan kesadaran ini dapat menggeser dinamika dari pendidikan
kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Menurut Freire, pendidikan revolusioner
adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan
(selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi
kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang
nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai
oleh kaum borjuis, kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih
dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial
yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat
keseluruhan.
“Menjadi manusia berarti menjalin hubungan dengan sesama dan dengan dunia.
Menjadi manusia adalah mengalami dunia sebagai realitas objektif, yang tidak
bergantung pada siapapun. Sedang binatang tenggelam dalam realitas dan tidak dapat
berhubungan dengan dunia…mereka (manusia) tidak hanya di dalam dunia, tetapi ada
bersama dengan dunia…Manusia berhubungan dengan dunia secara kritis. Mereka
memahami data-data objektif dari realitas melalui refleksi dan bukan refleks seperti
halnya binatang…dan dalam setiap aktivitasnya manusia selalu berhubungan dengan
dimensi waktu yang membentuk sejarah kebudayaan manusia.Pembebasan yang sejati
terletak pada kesadaran individu itu sendiri terhadap keberadaannya dan pemahaman
ektensial tentang hubungan dunia-manusianya.
Bagi Freire, penindasan apapun alasannya, tidak manusiawi karena menafikan
harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi ini bersifat mendua. Pertama terjadi
atas diri mayoritas kaum tertindas; kedua terjadi juga atas diri minoritas kaum penindas.
Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Karena itu perlu ikhtiar memanusiakan
kembali manusia. Dan ini satu-satunya pilihan. Sebab meskipun penindasan ini

41
merupakan kenyataan, tetapi ia bukan sebagai keharusan sejarah. Kenyataan ini telah
menyimpang dari keharusan. Maka menjadi tugas semua orang untuk mengubahnya
agar sesuai dengan yang seharusnya. Bagi Freire, fitrah manusia sejati adalah manjadi
pelaku atau subyek. Panggilan manusia adalah menjadi pelaku yang sadar, yang
bertindak mengatasi dunia dan realitas yang menindas atau yang mungkin menindasnya.
Realitas dunia ini bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya”.
Manusia harus menggeluti dunia dan realitasnya dengan penuh sikap kritis dan
daya-cipta, dan hal itu berarti mengandaikan perlunya sikap orientatif yang merupakan
pengembangan bahasa pikiran yakni bahwa hakekatnya manusia mampu memahami
keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya, yang dengan bekal pikiran dan
tindakannya ia merubah dunia dan realitas. Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan
karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Ini tujuan akhir dari
upaya humanisasinya Freire. Dengan demikian, humanisasi, juga berarti pemerdekaan
atau pembebasan manusia. Dimana pembebasan manusia itu hanya dapat diwujudkan
melalui refleksi dan ditindaklanjuti dengan praksis.
Buku pendidikan kaum tertindas ini member banyak insprirasi mengenai
bagaimana sebenarnya praktik pendidikan yang membebaskan manusia. Walaupun
buku ini disusun berdasarkan pengalaman nyata yang terjadi di Brazil, namun kondisi
tersebut sebenarnya dapat dijadikan cerminan siatuasi politik dan pendidikan yang ada
di Indonesia yang tidak jauh berbeda terutama kondisi pendidikan yang disebut dengan
“pendidikan gaya bank” oleh Freire.
Dalam proses belajar mengajar, pemerintah Republik Indonesia telah
mengupayakan untuk menerapkan pendekatan cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi
hanya metodenya sajalah yang CBSA. Sementara materi yang disampaikan masih
merupakan barang asing yang tidak lahir dari dalam konteks dimana manusia itu ada
sehingga pada akhirnya siswa kembali menjadi “bank” penyimpanan sejumlah
pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan mungkin berdiskusi dalam kelas tetapi
yang didiskusikan dan dipelajari dalam kelas adalah sejumlah dalil dan rumus yang
tidak punya hubungan dengan kehidupannya. Lagi pula relasi guru-siswa adalah
pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang belum tahu dan harus diberitahu sedangkan
guru adalah yang sudah tahu dan akan memberitahukan. Bukankah itu semua yang
disebut oleh Paulo Freire dengan pendidikan “gaya bank”? Kendati demikian

42
pemerintah melalui Kemendikbud terus berupaya untuk memperbaiki sistem pendidikan
di Indonesia melalui perbaikan kurikulum. Pada perkembangannya kurikulum yang
menonjolkan CBSA telah digantikan dengan kurikulum baru yaitu Kurikulum 2013,
dimana secara teori pengembangan kurikulum ini sangat memperhatikan aspek
pedagosis dalam pelaksanaannya. Jadi, melalui perubahan kurikulum 2013 yang lebih
pedagosis ini diharapkan dapat mewujudkan tujuan pendidikan yang seutuhnya, yaitu
memanusiakan manusia atau menjadikan peserta didik menjadi manusia yang
seutuhnya.

43
DAFTAR PUSTAKA

Bovinsa, Baba. 2012. Paulo Freire “Pendidikan Kaum Tertindas”. Terdapat pada
http://bababovinsa.blogspot.com/2012/12/pqulo-freire-pendidikan-kaum-
tertindas-.html. Diakses pada tanggal 20 Desember 2013.
Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta : Penerbit Pustaka LP3ES
Indonesia.
Ramchesmerdeka. 2012. Pendidikan Kritis Kaum Tertindas. Terdapat pada
http://wordpress.com/2012/10/17pendidikan-kritis-kaum-tertindas-html. Diakses
pada tanggal 20 Desember 2013
Wikipedia. Paulo Feire. Terdapat pada http://id.m.wikipedia.org/wiki/Paulo_Freire
Diakses pada tanggal 20 Desember 2013

44

Anda mungkin juga menyukai