Anda di halaman 1dari 32

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi yang resisten terhadap obat dapat didefinisikan sebagai kegagalan
uji coba dari dua jadwal obat antiepilepsi yang dipilih dengan tepat dan digunakan
(baik sebagai monoterapi atau kombinasi) untuk mencapai bebas kejang.1 Istilah
bebas kejang mengacu pada kebebasan dari semua kejang, termasuk aura. Epilepsi
resisten obat yang tidak tertangani meningkatkan risiko trauma fisik dan kematian
mendadak.2
Pada salah satu penelitian didapatkan epilepsi resisten obat sebesar 17%
pada anak di bawah 14 tahun.3 Enam puluh dua persen kasus resisten terhadap obat
berusia di bawah 4 tahun, 73% mengalami keterlambatan perkembangan, 42%
memiliki penyebab struktural epilepsi yang dapat diidentifikasi dan 32% memiliki
sindrom epilepsi spesifik. Untuk pasien yang resistan terhadap obat yang mencoba
rejimen terapeutik tambahan, probabilitas mencapai keadaan bebas kejang tanpa
kekambuhan lebih lanjut adalah 23% dan 27% pada tiga dan lima tahun.3
Pengobatan antiepilepsi mengendalikan 75% pasien epilepsi; 25% lainnya
terus mengalami serangan epilepsi meskipun ada kombinasi beberapa obat
antiepilepsi.4 Pilihan terapi untuk anak-anak dengan epilepsi refrakter terhadap
terapi obat antiepilepsi terbatas.5 Saat ini, di samping obat antiepilepsi, digunakan
diet ketogenik, imunoglobulin, steroid dan stimulasi saraf vagus.6 Pilihan ini
mungkin tidak berlaku untuk setiap pasien, terutama bayi dan anak-anak yang lebih
muda.
Hormon adrenocorticotrophic (ACTH) pertama kali dilaporkan memiliki
efek menguntungkan dalam pengobatan anak-anak dengan kejang yang tidak dapat
diatasi pada tahun 1950.7 Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa ACTH dan
prednisone memiliki efek potensial yang serupa. Ada kekhawatiran tentang
keamanan, biaya, dan ketersediaan ACTH bila dibandingkan dengan prednisolon,
terutama pada bayi dan anak kecil. Oleh karena itu, metilprednisolon intravena
dapat menjadi alternatif yang lebih praktis dan hemat biaya.8

1
Tingkat keberhasilan dari pengobatan kortikosteroid terhadap epilepsi
resisten obat pada anak bervariasi dari beberapa penelitian. Penelitian dari Sinclair
menyebutkan 46% anak bebas kejang.9 Efek samping yang mungkin terjadi,
terutama selama terapi berkepanjangan tetap menjadi perhatian utama.

1.2 Tujuan
Untuk membahas efek terapi metilprednisolon pulse intravena terhadap
epilepsi resisten obat pada anak.

2
BAB 2
EPILEPSI RESISTEN OBAT

2.1 Definisi Epilepsi


Secara konseptual, epilepsi ada setelah minimal satu kejang yang tidak
disengaja, bila ada risiko tinggi terhadap risiko lainnya, walaupun risiko yang
sebenarnya diperlukan dapat diperdebatkan. Setelah satu periode yang tidak
beralasan, risiko yang lain adalah 40-52%.10 Dengan dua serangan tanpa demam
yang tidak beralasan, kemungkinan 4 tahun memiliki yang lain adalah 73%, dengan
interval kepercayaan 95% sebesar 59-87%.11
Secara praktis definisi epilepsi digunakan pada:10
1. Episode dua kejang yang tanpa pencetus dengan jangka waktu lebih dari 24
jam.
2. Satu kejang tanpa pencetus dan kemungkinan kejang lebih lanjut yang
serupa dengan risiko kekambuhan (60%) setelah dua kejang sebelumnya
tanpa pencetus, terjadi dalam 10 tahun berikutnya.
3. Sindroma epilepsi
Definisi epilepsi dua kejang tanpa pencetus telah membantu dalam
menegakkan diagnosis dengan baik, namun tidak memadai dalam beberapa situasi
klinis. Seorang pasien mungkin datang dengan satu serangan tanpa pencetus setelah
trauma otak, seperti stroke, infeksi sistem saraf pusat, atau trauma. Seorang pasien
dengan kelainan otak semacam itu memiliki risiko serangan kejang kedua yang
sebanding dengan risiko kejang lebih lanjut setelah dua kejang yang tidak
beralasan.12
Epilepsi didiagnosis pada pasien yang telah mengalami kejang dan
menunjukkan kecenderungan patologis atau menetap untuk mengalami kejang
berulang. setidaknya dua kejang tanpa pencetus terjadi> 24 jam.13 Istilah kejang
dengan pencetus dapat dianggap identik dengan kejang reaktif.14 Etiologi tidak
boleh disalahartikan dengan faktor pencetus, karena beberapa etiologi akan
menghasilkan kecenderungan tetap untuk mengalami kejang, contohnya tumor otak
dapat menyebabkan seseorang mengalami serangan epilepsi.13 Jika ada bukti untuk
sindrom epilepsi, maka epilepsi mungkin dianggap ada,

3
Diagnosis epilepsi poin ke-2 menunjuk pada kekambuhan yang tinggi dari
kejang. Tujuannya adalah untuk mencakup keadaan dimana beberapa praktisi dan
ahli epilepsi menatalaksana pasien sebagai epilepsi setelah satu periode kejang
tanpa pencetus karena risiko kekambuhan yang sangat tinggi.13
Jika ada bukti untuk sindrom epilepsi, maka epilepsi mungkin dianggap ada,
bahkan jika risiko kejang berikutnya rendah.13 Pada kasus sindroma tertentu
mungkin ada di mana kejang tidak terjadi sama sekali, seperti pada kasus
continuous spike and waves during sleep (CSWS) dan sindroma Landau-Kleffner.15

2.2 Definisi Epilepsi Resisten Obat


Epilepsi yang resisten terhadap obat didefinisikan sebagai kegagalan uji
coba yang sesuai dari dua jenis obat antiepilepsi yang dipilih dengan tepat dan
digunakan (baik sebagai monoterapi atau kombinasi) untuk mencapai kebebasan
kejang yang berkelanjutan. 1
Istilah bebas kejang mengacu pada kebebasan dari semua kejang, termasuk
aura. Diakui bahwa jenis kejang yang berbeda pada individu yang berbeda dapat
dikaitkan dengan tingkat dampak yang bervariasi, yang akan diperhitungkan oleh
dokter yang merawat saat menentukan tindakan tindakan yang paling tepat untuk
pasien.1
Faktor eksternal seperti kurang tidur, menstruasi, penyakit demam berulang,
dan seterusnya, menimbulkan kesulitan dalam kategorisasi karena hubungan sebab
akibat antara faktor eksternal dan kejang seringkali tidak pasti. Secara umum,
kejang yang terjadi dalam keadaan ini masih harus dianggap sebagai bukti adanya
kontrol kejang yang tidak memadai dan karenanya kegagalan pengobatan.1
Dalam mempertimbangkan periode tanpa kejang bagi seorang pasien untuk
dianggap bebas dari kejang, dua faktor utama dipertimbangkan. Pertama, durasi
tindak lanjut yang diperlukan untuk menentukan apakah intervensi terapeutik
memiliki dampak yang cukup besar pada kejadian kejang tergantung pada frekuensi
sebelum intervensi. Misalnya, tidak mengherankan jika seorang pasien yang hanya
memiliki satu kejang pada tahun sebelumnya untuk tetap bebas dari kejang selama
6 bulan berikutnya setelah memulai suatu intervensi baru. Namun, akan terlalu dini

4
untuk mengklaim bahwa intervensi terapeutik yang memberikan manfaat atas
kebebasan pasien dari kejang sampai waktu yang cukup berlalu.1
Berdasarkan pertimbangan, kebebasan kejang didefinisikan sebagai
kebebasan dari kejang minimal tiga kali interval antarkejang terpanjang (ditentukan
dari kejang yang terjadi dalam 12 bulan terakhir) atau 12 bulan, mana yang lebih
lama. Di sisi lain, kegagalan pengobatan didefinisikan sebagai kejang berulang
setelah intervensi diterapkan secara memadai (seperti yang didefinisikan
sebelumnya). Jika pasien telah bebas kejang selama tiga kali interval interseizure
tetapi untuk <12 bulan, kontrol kejang harus dikategorikan sebagai undefined.
Namun, jika pasien mengalami kejang lain sebelum akhir Periode 12 bulan,
perawatan dianggap gagal, meski frekuensi kejang berkurang dibanding dengan
baseline.1
Jumlah obat antiepilepsi (anti-epileptic drug / AED) yang gagal karena
epilepsi didefinisikan sebagai obat resisten diperdebatkan secara luas. Penelitian
kohort observasional terhadap epilepsi pada anak-anak mengemukakan bahwa
sekali pasien telah gagal dalam uji coba dua obat antiepilepsi yang sesuai,
kemungkinan untuk mencapai bebas kejang dengan perawatan obat antiepilepsi
berikutnya rendah.1
Sebuah laporan dari sebuah studi prospektif pada anak-anak menunjukkan
bahwa pasien yang telah gagal dua obat antiepilepsi memiliki periode kebebasan
kejang dengan uji coba obat lebih lanjut.16
Selain jumlah obat antiepilepsi yang gagal, dua unsur lainnya paling sering
disertakan dalam definisi epilepsi resisten terhadap obat dalam literatur, yaitu
frekuensi kejang dan durasi tindak lanjut. Dalam definisi kegagalan dan kebebasan
kejang yang berkelanjutan adalah sebagaimana didefinisikan di tingkat 1
(kategorisasi hasil intervensi), yang telah mencakup frekuensi kejang dan durasi
pengobatan, resistensi obat didefinisikan sebagai hasil kategori 2 untuk uji coba
setidaknya dua obat antiepilepsi (monoterapi atau kombinasi). Resistensi obat harus
didefinisikan hanya dengan uji coba informatif, yaitu, kedua obat antiepilepsi
seharusnya dipilih dengan tepat dan disimpulkan dengan memadai. Beberapa
pasien mungkin gagal banyak obatantiepilepsi sebelum mereka gagal dua obat yang
sesuai dan dengan cara yang informatif.1

5
Epilepsi seseorang mungkin tidak memenuhi kriteria definisi untuk epilepsi
yang resisten terhadap obat. Dalam keadaan seperti itu, kepekaan obat harus
diklasifikasikan sementara sebagai tidak terdefinisi. Hal ini terjadi misalnya pada
pasien yang baru didiagnosis yang belum diketahui durasi untuk menentukan
kebebasan kejang, atau pada pasien yang telah gagal dalam uji coba informatif
kurang dari dua obat antiepilepsi.1
Jika obat antiepilepsi tambahan dicoba dan gagal, maka epilepsi
didefinisikan ulang sebagai resisten obat. Jika pasien tidak mengalami kejang lebih
lanjut selama tiga kali interval antarkejang atau 1 tahun (dipilih mana yang lebih
lama) epilepsi didefinisikan ulang sebagai responsig\f terhadap obat. Diusulkan
bahwa pendekatan klasifikasi ini juga berlaku untuk skenario dimana epilepsi telah
resistan terhadap obat sebelum pasien menjadi bebas dari kejang.

2.3 Faktor Risiko dan Prediktor Epilepsi Resisten Obat


Epilepsi pada anak-anak merupakan masalah umum yang dapat diterapi.
Beberapa pasien sulit diobati yang sebelumnya disebut resisten obat atau
intractable epilepsy. Jika ada model penilaian (scoring) dari faktor risiko akan
sangat membantu untuk memprediksi epilepsi resisten obat agar perawatan dan
konseling yang tepat dapat direncanakan.17
Banyak faktor risiko epilepsi resisten obat dilaporkan seperti onset usia
kurang dari 1 tahun, laki-laki, elektroensefalografi yang abnormal (EEG), dan
defisit neurologis.18 Aturan prediksi klinis (clinical prediction rule / CPR) adalah
alat klinis yang terstandarisasi untuk stratifikasi risiko dengan skor, membantu
diagnosis, dan memprediksi hasil. Model prediksi ini terbukti lebih akurat daripada
hanya penilaian secara klinis. Untuk aplikasi klinis, nilai akhir kumulatif digunakan
sebagai indikator kemungkinan hasil. Banyak faktor risiko epilepsi resisten obat
dilaporkan sebelumnya seperti beberapa kejang sebelum perawatan, kejang fokal
atau kejang kompleks, usia saat onset, developmental delay, dan EEG abnormal.19
Ada 3 prediktor utama dan dapat dipisahkan menjadi sub-item seperti usia saat
onset, defisit neurologis sebelumnya dan abnormalitas EEG.

6
Tabel 2.1. Faktor risiko epilepsi resistan terhadap obat dan derivasi skor untuk prediksi

Sumber: Boonluksiri P, Visuthibhan A, Katanyuwong K. Clinical prediction rule of drug resistant


epilepsy in children. J epilepsy Res. 2015;5(2):84–8.

Defisit neurologis global ditemukan sebagai prediktor terkuat. Meskipun


demikian, neuroimaging dilakukan hanya dalam kasus-kasus yang ditunjukkan
karena dipercayai bahwa neuroimaging tidak normal dapat dikaitkan dengan defisit
neurologis melalui pemeriksaan fisik. CPR ini dapat dikelompokkan menjadi 3
tingkat dengan cut-off sebagai berikut: risiko rendah (skor < 6) dengan probabilitas
dre 50%, risiko sedang (skor 6-12) dengan probabilitas epilepsi resisten obat 50-
80%, dan risiko tinggi (skor > 12) dengan lebih dari probabilitas epilepsi resisten
obat 80%.17

2.4 Mekanisme Epilepsi Resisten Obat


Mekanisme terjadinya epilepsi resisten obat tampaknya bervariasi dan
multifaktorial terkait penyebab utamanya20 dan, secara teori, pada titik kerja obat.
Usia juga tampaknya berpengaruh pada hasil terapi, dengan angka bebas kejang
lebih banyak pada usia yang lebih tinggi daripada orang yang lebih muda.21
Hipotesis dari mekanisme seluler dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
kelompok.22

7
Gambar 2.1. Mekanisme Biologis Hipotesa Resistensi obat pada Epilepsi.
Diagram menggambarkan lokasi molekuler dimana mekanisme dihipotesiskan untuk beroperasi.
Di lokasi berlabel 1 adalah overexpression transporter eflux di sel endotel kapiler yang
merupakan sawar darah otak. Di lokasi berlabel 2 diubah ekspresi atau fungsi saluran ion
voltaged-gated neuron yang diketahui target obat antiepilepsi. Di lokasi berlabel 3 adalah
mekanisme yang tidak ditargetkan oleh obat antiepilepsi saat ini, seperti rangkaian listrik melalui
sambungan celah, disfungsi mitokondria, dan autoantibodi terhadap reseptor neurotransmitter.
Sumber: Kwan P, Schachter SC, Brodie MJ. Drug-resistant epilepsy. N Engl J Med.
2011;365(10):919–26.

2.4.1 Kegagalan obat mencapai target


Hipotesis transporter menerangkan bahwa resistensi obat dapat disebabkan
oleh overekpresi transporter eflux multiobat pada fokus epilepsi. Protein
transmembran ATP-binding cassette (ABC) ini mengeluarkan substrat dari sel
melawan gradien konsentrasi. Transporter eflux yang paling banyak dipelajari
adalah P-glycoprotein, yang diekspresikan pada kondisi fisiologis di sel endotel
kapiler di otak, memompa xenobiotik dari ruang intraselular kembali ke lumen
kapiler, sehingga menjaga sawar darah-otak dan mengurangi akumulasi serebral
dari substrat obat-obatan. Pada spesimen otak yang direseksi dari pasien dengan
epilepsi yang resisten terhadap obat, terdapat peningkatan P-glikoprotein dan

8
transporter efflux lainnya dalam kapiler, serta ekspresi menyimpang pada sel glial
dan neuronal.23 Apakah P-glikoprotein manusia mengangkut obat antiepilepsi
sampai batas tertentu tetap kontroversial.

2.4.2 Perubahan pada target obat


Hipotesis target mengemukakan bahwa perubahan pada target seluler obat
antiepilepsi menyebabkan penurunan sensitivitas terhadap pengobatan.24 Suatu
penelitian menunjukkan bahwa blokade arus cepat natrium pada sel granula dentate
oleh karbamazepin hilang dalam hipokampus yang direseksi dari pasien epilepsi
lobus temporal yang resisten terhadap karbamazepine, walaupun temuan ini tidak
berlanjut pada lamotrigin, yang memiliki mekanisme farmakologis yang serupa
dengan karbamazepin.25 Polimorfisme gen SCN2A, yang mengkode subunit α2 dari
saluran natrium di neuron, ditemukan berhubungan dengan resistensi terhadap obat
antiepilepsi pada umumnya dan juga pada yang bekerja pada saluran natrium.26
Kelainan ekspresi subtipe γ- aminobutyric acid type A (GABAa) juga telah diamati
pada pasien dengan epilepsi lobus temporal yang resistan terhadap obat.27 Apakah
perubahan ini mengakibatkan berkurangnya sensitivitas terhadap obat antiepilepsi
yang bekerja pada reseptor tidak diketahui. Kelemahan utama dari hipotesis target
adalah presumsi tentang mekanisme kerja obat antiepilepsi, yang masih belum
sepenuhnya dipahami. Hipotesis ini tidak dapat menjelaskan observasi bahwa
pasien sering mengalami epilepsi yang resisten terhadap beberapa obat dengan
berbagai mekanisme kerja, walaupun tidak dapat dikesampingkan bahwa
perubahan pada target obat dapat memiliki kontribusi.22

2.4.3 Obat Kehilangan Target Sebenarnya


Obat antiepilepsi saat ini hanya ditujukan untuk mencegah kejang dan
mungkin tidak menargetkan proses patogenik yang tepat pada beberapa pasien.
Misalnya, autoantibodi terhadap saluran ion yang terlibat dalam eksitasi dan
inhibisi neuronal, termasuk voltage-gated potassium and calcium channel,28 dan
reseptor N-methyl-d-aspartate (NMDA)29 dan γ-aminobutyric acid type B
(GABAb)30 telah diidentifikasi pada pasien dengan kejang dengan sebab yang tidak
diketahui.22 Pasien ini sering tidak berespon terhadap obat antiepilepsi

9
konvensional. Mekanisme seluler pada kejang dan epileptogenesis yang diusulkan
lainnya termasuk stres oksidatif mitokondria dan disfungsi rangkaian elektrik
melalui gap junction di neuron atau bahkan sel glial. Mekanisme ini merupakan
target baru potensial untuk pengembangan obat di masa depan.22

2.5 Manajemen Epilepsi Resisten Obat


Pseudoresistensi, di mana kejang berlanjut karena kelainan yang
mendasarinya belum ditangani secara memadai atau tepat, harus dikesampingkan
atau diperbaiki sebelum terapi dengan obat dapat dianggap gagal. Fenomena ini
mungkin muncul dalam sejumlah situasi dimana kesalahan diagnosa epilepsi
mungkin paling umum, seperti kejang bukan karena epilepsi, terapi obat tidak tepat,
kesalahan dosis obat, poor compliance dari pasien.22

Tabel 2.2. Beberapa Alasan untuk Pseudoresistance terhadap Terapi Obat Antiepilepsi

Sumber: Kwan P, Schachter SC, Brodie MJ. Drug-resistant epilepsy. N Engl J Med.
2011;365(10):919–26.

2.5.1 Pendekatan umum


Begitu epilepsi dikenali sebagai resistan terhadap obat, perawatan harus
direncanakan untuk membatasi kerusakan kognitif atau disfungsi psikososial.
Sebaiknya dibahas di awal pengobatan bahwa kebebasan total dari kejang
mungkin tidak dapat dicapai. Pendekatan ini dapat membantu membuka jalan
bagi strategi paliatif kemudian jika itu terbukti perlu. Kondisi yang umumnya
terkait dengan epilepsi yang resisten terhadap pengobatan, seperti kecemasan,
depresi, dan gangguan kognitif dan memori, harus dikenali dan diterapi.22

10
2.5.2 Terapi Kombinasi Obat Antiepilepsi
Bukti terkuat yang mendukung sinergisme berasal dari penelitian
terkontrol dan acak yang melibatkan orang dewasa yang menerima kombinasi
sodium valproate dan lamotrigin untuk serangan onset parsial dan generalisata.
Kombinasi lain yang kadang direkomendasikan, sebagian besar berdasarkan
laporan anekdotal atau studi dengan sampel kecil, termasuk valproate dengan
ethosuximide untuk absence seizure dan lamotrigin dengan topiramate untuk
beberapa jenis kejang. Salah satu strategi terapi kombinasi yang telah dianjurkan
adalah pendekatan farmakomekanistik berdasarkan mekanisme kerja berbagai
obat, walaupun data untuk mendukung strategi ini kurang. 31
Kombinasi obat-obatan yang bekerja terutama dengan blokade saluran
natrium yang bergantung pada voltase (contoh: lamotrigin dan karbamazepin)
kemungkinan terkait dengan efek neurotoksik, seperti pusing, diplopia, dan
ataksia.32 Namun, untuk sebagian besar kasus, intervensi terapeutik yang paling
umum dilakukan pertama kali adalah obat antikonvulsan. Obat tersebut efektif,
diteruskan langsung ke dosis dan penggunaan (bahkan pada anak kecil
biasanya), tersedia dalam beberapa preparat anak-anak termasuk suspensi dan
tablet, dan bersifat reversibel dengan penghentian jika terjadi efek samping.31

2.5.3 Terapi Non-farmakologis


Pasien yang memenuhi kriteria untuk epilepsi yang resistan terhadap
obat harus dievaluasi lebih awal untuk terapi bedah, terutama jika mereka
memiliki sindrom seperti sklerosis hippokampus unilateral atau lesi lain yang
dapat direseksi.33 Keputusan untuk memberikan perawatan bedah memerlukan
pertimbangan manfaat dan risiko individual yang mencakup pertimbangan pro
dan kontra percobaan tambahan obat antiepilepsi. Berbagai prosedur
pembedahan bisa dilakukan, tergantung indikasi seperti adalah lobektomi
temporal anterior, yang telah ditunjukkan dalam uji coba lebih unggul dari
pengobatan lanjutan dalam memberikan bantuan jangka panjang dari kejang
pada 70% orang dewasa dengan epilepsi lobus temporal.34 Prosedur lain yang
berpotensi kuratif meliputi reseksi lesi struktural seperti tumor glial dan

11
malformasi vaskular. Bahkan ketika pencitraan resonansi magnetik (MRI) tidak
menunjukkan adanya lesi pada pasien dengan epilepsi temporal atau
ekstratemporal, reseksi dapat didukung oleh temuan dari pencitraan fungsional
ictal single-photon-emission computed tomography atau interictal positron-
emission tomography) dengan atau tanpa pemantauan EEG invasif, walaupun
hasil pembedahan dalam kasus seperti itu cenderung kurang memuaskan
dibandingkan kasus lesi lainnya.35
Sebagian besar ahli epilepsi anak dianjurkan untuk mempertimbangkan
manajemen operasi untuk anak yang teladidefinisikan memiliki kejang
intraktabel sebagai pilihan kedua.36 Untuk melakukan operasi, anak tersebut
harus memiliki satu daerah epileptogenisitas, fokusnya secara teoritis dapat
berada dalam korteks yang noneloquent (misalnya, bahasa, memori, motor), dan
risiko bedah harus rendah. Tentu saja, ada kasus di mana reseksi besar, seperti
hemisferektomi, memiliki risiko penting.37 Teknik baru dalam neuroimaging,
seperti magnetoencephalography dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) 3-
Tesla, telah membantu mengidentifikasi lesi yang tidak terlihat pada tahun-tahun
sebelumnya. Beberapa operasi, seperti corpus callosotomy, dapat membantu
namun sebagian besar bersifat paliatif dalam hal risiko rendah untuk
mendapatkan bebas kejang.31
Prosedur paliatif, yang dimaksudkan untuk mengganggu jalur yang
penting untuk penyebaran pelepasan epilepsi dan dengan demikian mengurangi
frekuensi dan tingkat keparahan kejang, dapat dipertimbangkan saat reseksi
daerah penghasil kejang tidak memungkinkan untuk dilakukan.22 Corpus
callosotomi biasanya dilakukan pada anak-anak dengan ketidakmampuan
belajar yang signifikan secara klinis dan epilepsi umum yang parah, terutama
bila kelainan ini menyebabkan serangan atonik yang dikaitkan dengan seringnya
jatuh dan cedera. Beberapa transeksi subpial adalah prosedur yang kurang umum
dilakukan yang disediakan untuk situasi di mana fokus epileptogenik tidak dapat
dihilangkan karena kedekatan dengan korteks yang vital.38 Prosedur ini biasanya
dilakukan pada anak-anak bersamaan dengan reseksi kortikal, yang membuatnya
sulit untuk dinilai efikasi spesifiknya. Hemisferektomi atau hemisferektomi
fungsional, yang dilakukan pada anak-anak dan orang dewasa, adalah prosedur

12
yang lebih dramatis dimana hemisfer serebral yang mengalami kelainan luas dan
epileptogenik diangkat atau diputus secara fungsional.
Diet ketogenik (diet tinggi lemak, rendah protein, rendah karbohidrat)
digunakan pada anak-anak dengan epilepsi yang resistan terhadap obat. Uji coba
terkontrol secara acak menunjukkan bahwa jumlah kejang turun lebih dari 50%
pada sekitar setengah dari anak-anak setelah 1 tahun menjalani diet.39 Diet
tersebut tampaknya efektif untuk semua jenis kejang. Masalah utamanya adalah
kepatuhan terhadap rejimen diet yang membatasi (dan tidak menyenangkan).
Oleh karena itu, diet Atkins yang dimodifikasi sedang dalam evaluasi sebagai
alternatif potensial pada orang dewasa dan lingkungan dimana pengawasan ketat
tidak tersedia.40 Pada tahun 2011, ada lebih banyak pilihan daripada sebelumnya
untuk keluarga yang tertarik dengan diet ini walaupun semuanya mengandung
lemak tinggi dan rendah karbohidrat. Ada empat macam diet (ketogenik,
trigliserida rantai menengahatauMCT, diet Atkins yang dimodifikasi, dan
pengobatan indeks glisemik rendah), beberapa formula ketogenik tersedia untuk
bayi dan pasien dengan gastrostomy tube, dan penelitian membuat
penggunaannya lebih mudah dan aman.41
Neurostimulasi untuk anak-anak saat ini cenderung menjadi pilihan
keempat yang ditawarkan jika obat-obatan, diet, dan operasi bukanlah pilihan
atau keberhasilan. Metode stimulasi yang tersedia adalah stimulasi saraf vagus
(VNS), yang telah disetujui untuk digunakan pada anak-anak.42 Terapi ini
memerlukan implantasi bedah dari alat logam kecil ke dalam dada dengan
elektroda yang ditempatkan di sekitar saraf vagus serta secara terus menerus
menstimulasi nervus vagus secara elektrik dan mencegah stimulus kejang
menyebar. Ini efektif, tapi waktu untuk merespons mungkin agak lebih lama dari
pada terapi lainnya.43

2.5.4 Terapi Komplementer dan Alternatif


Pengobatan komplementer dan alternatif mencakup beragam sistem,
praktik, dan produk perawatan medis dan kesehatan, yang umumnya tidak
dianggap sebagai bagian dari pengobatan konvensional. Mayoritas pasien
menggunakan terapi komplementer atau alternatif bukan untuk kontrol kejang,

13
tetapi untuk tujuan kesehatan atau untuk gejala yang berkaitan, seperti depresi,
atau efek samping terkait pengobatan.44 Klinisi harus menanyakan secara khusus
tentang penggunaan terapi semacam itu dan alasan yang mendasarinya, yang
mungkin akan mendorong evaluasi dan perawatan tambahan.
Sampai saat ini, tidak ada terapi komplementer atau alternatif yang
terbukti efektif untuk epilepsi pada percobaan multicenter, double blind, dan
terkontrol. Berlawanan dengan kepercayaan populer bahwa bahan alami bersifat
aman, terapi semacam itu dapat berbahaya bagi orang-orang dengan epilepsi,
dan produk alami menimbulkan risiko efek samping yang paling besar, interaksi
dengan obat antiepilepsi, dan peningkatan kejang.44 Misalnya, ginkgo biloba,
seringkali digunakan untuk meningkatkan fungsi kognitif, telah diduga
menurunkan konsentrasi serum fenitoin dan valproat dengan menginduksi enzim
45,46
hati sitokrom P-450 CYP2C19 dan secara anekdot telah dilaporkan
memperburuk kejang.47 Meskipun demikian, beberapa produk alami dan
senyawa penyusunnya telah terbukti memiliki mekanisme kerja yang relevan
dengan epilepsi atau memiliki sifat antikonvulsan pada model hewan dan sedang
dievaluasi pada tahap praklinis lebih lanjut.48

2.5.5 Perawatan Medis Atipikal


Sering dianggap sebagai upaya terakhir oleh banyak ahli saraf anak,
adalah penggunaan perawatan medis atipikal, seperti kortikosteroid dosis tinggi,
imunoglobulin intravena, dan benzodiazepin dosis tinggi intravena. Ada data
terbatas untuk perawatan ini selain beberapa ensefalopati epilepsi (misalnya
sindrom Landau Kleffner dan sindrom West) dan kondisi (misalnya sindrom
Rasmussen dan anti-N-methyl-D-aspartate receptor encephalitis), namun dalam
kondisi sulit, termasuk status epileptikus refrakter, terapi ini telah diusahakan
dengan laporan keberhasilan kasus.31

14
Gambar 2.2 Pendekatan terapeutik umum pada anak dengan epilepsi resisten obat
Sumber: Kossoff EH. Intractable childhood epilepsy: choosing between the treatments. Vol. 18,
Seminars in Pediatric Neurology. 2011. p. 145–9.

Meskipun epilepsi resisten obat sulit diobati dari sudut pandang ahli
saraf anak, bisa juga bermanfaat. Diagnosis sangat penting untuk memastikan
sindrom epilepsi yang benar dan kemudian memilih pengobatan. Antikonvulsan,
meski banyak, bukan satu-satunya pilihan. Lima kategori perawatan lainnya
meliputi operasi epilepsi, manajemen makanan, neurostimulasi, herbal, dan

15
kortikosteroid atau imunoglobulin intravena. Akhirnya, perawatan paliatif
mungkin sesuai untuk beberapa anak juga. Pertimbangkan semua perawatan ini
dan rujuk lebih awal ke pusat epilepsi pediatrik khusus begitu intraktabilitas
dicurigai.31

2.6 Prognosis Epilepsi Resisten Obat


Tujuh puluh tiga (73%) pasien mengalami setidaknya satu periode remisi
setidaknya satu tahun. Probabilitas kumulatif (dengan interval kepercayaan 95%)
memasuki remisi 2, 5, 10, dan 12 tahun setelah kegagalan obat kedua adalah 27,3
(19,4-35,1), 47,1 (38,1-56,2), 64,5 (54,8-74,2), dan 68,6 % (58,5-78,9%). Waktu
rata-rata untuk remisi pertama adalah 2,3 tahun. Relaps terjadi pada 50 pasien
(68%) dari mereka yang mendapat remisi 1 tahun.10
penelitian follow-up jangka panjang telah menunjukkan bahwa pasien
dengan epilepsi, termasuk anak-anak, memiliki tingkat kematian yang meningkat
bila dibandingkan dengan populasi umum. Ada beberapa penyebab untuk
meningkatnya risiko dan tingkat kematian ini:49
 Sebagai komplikasi epilepsi atau perawatannya (misalnya, luka bakar
yang traumatis atau terbakar, tenggelam, aspirasi isi lambung)
 Sebagai risiko dari status epilepsi kejang
 Sebagai akibat dari penyebab neurologis atau anatomis yang menetap
atau progresif untuk kematian (misalnya disgenesis serebral, atau tumor
otak)
Fenomena kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan karena epilepsi
disebut sebagai SUDEP (sudden unexplained death due to epilepsy). Fenomena
SUDEP dilaporkan mencapai 3-3l% dari semua kematian pada orang dengan
epilepsi, atau bertanggung jawab atas sekitar 500 kematian per tahun - hampir satu
kematian pada setiap 260 orang dengan epilepsi. Anak-anak dengan gejala epilepsi
memiliki risiko kematian 22 kali lipat dibandingkan dengan populasi anak-anak
umum, dengan angka kematian 11,5 / 1000 orang-tahun dibandingkan dengan
populasi umum sekitar 0,5 / 1000 orang-tahun.49
Dalam penelitian Epilepsi Belanda di, sembilan dari 472 anak-anak yang
menderita epilepsi antara usia 1 bulan dan 16 tahun dan diikuti mulai dari diagnosis,

16
hingga meninggal selama lima tahun.Tidak ada kematian yang terjadi pada 328
anak-anak dengan idiopatik epilepsi. Semua sembilan anak meninggal karena
gangguan neurologis menetap atau progresif.50

17
BAB 3
TERAPI INTRAVENA METILPREDNISOLON PULSE

3.1 Sejarah Penggunaan Terapi Pulse


Glukokortikoid telah digunakan untuk pengelolaan penyakit inflamasi sejak
50 tahun terakhir.51 Pada sebagian besar kondisi di mana steroid diindikasikan, rute
oral lebih disukai, dalam dosis minimum yang diperlukan untuk menjaga agar
penyakit tetap dalam status remisi. Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi
intravena pertama dilaporkan pada tahun 1969 ketika digunakan untuk mencegah
penolakan ginjal allograft.52
Terapi kortikosteroid dosis tinggi intravena atau terapi steroid pulse pertama
kali digunakan untuk terapi penolakan akut setelah transplantasi ginjal pada tahun
1973, untuk pengobatan nefritis lupus pada tahun 1976 dan sindrom nefrotik yang
resisten steroid kemudian.53 Meski sudah lebih dari tiga dekade penggunaan, hanya
ada sedikit kejelasan tentang mekanisme kerja, besarnya manfaat dan efek
samping.54

3.2 Definisi Terapi Pulse


Terapi pulse adalah pemberian obat dosis di atas dosis farmakologisnya
secara intermiten untuk meningkatkan efek terapeutik dan mengurangi efek
samping.55 Dalam konteks kortikosteroid, terapi pulse mengacu pada infus dosis
obat dosis tinggi yang terputus-putus, yang secara garis besar didefinisikan sebagai
pengobatan dengan prednison lebih dari 250 mg atau setara per hari, untuk satu hari
atau lebih.56
Tidak ada pedoman tentang frekuensi atau waktu pemberian pulse
intravena; yang terdiri dari bolus tunggal, bolus harian yang diberikan selama 3 hari
berturut-turut, atau sampai 12 hari.53

3.3 Obat Yang Digunakan


Obat yang paling umum digunakan untuk terapi pulse kortikosteroid adalah
metilprednisolon (MP), modifikasi kimia hidrokortison. Metilprednisolon adalah
obat antiinflamasi yang memiliki durasi sedang (waktu paruh 12-36 jam) dan

18
potensial (potensi 1,25 kali prednisolon), dengan kecenderungan rendah untuk
menginduksi retensi sodium dan air (efek glukokortikoid relatif terhadap
mineralokortikoidoid 6 : 1) dibandingkan hidrokortison.57
Deksametason, glukokortikoid terfluoridasi, memiliki durasi kerja panjang
(waktu paruh 36-72 jam). Deksametason 6.7 kali lebih poten dibandingkan
prednisolone, efek mineralokortikoid dapat diabaikan dengan tanpa kecenderungan
retensi sodium, dan dibutuhkan dalam volume yang lebih kecil dengan potensi yang
sama. Deksametason telah banyak digunakan untuk terapi pulse pada berbagai
kondisi klinis dengan hasil memuaskan.58 Terapi dengan obat ini lebih murah
dibandingkan metilprednisolon.54

3.4 Dosis Dan Pemberian


Metilprednisolon diberikan dengan dosis 20-30 mg/kg (500-1000 mg/m2)
per kali; hingga maksimum 1 g. Deksametason diberikan pada dosis 4-5 mg/kg
(100-200 mg) per kali.54
Pemberian cepat telah diketahui berhubungan dengan gangguan
hemodinamik, dengan demikian pemberian 1-3 jam lebih dipilih.59 Sediaan
kortikosteroid dilarutkan dalam 150-200 ml dektrosa 5% dan diberikan secara infus
intravena, perlahan selama 2-3 jam.54
Pulse ulangan diberikan dengan interval 24-48 jam, setiap hari atau
beberapa hari, biasanya untuk tiga atau enam pulse. Selanjutnya, interval pemberian
antar pulse ditingkatkan setiap minggu, dua minggu sekali, atau setiap bulan.54

3.5 Farmakokinetik
Metilprednisolon dan deksametason memiliki bioavailabilitas tinggi, terikat
terutama pada albumin serum, dan didistribusikan secara luas ke jaringan57. Kedua
obat tersebut memiliki konsentrasi obat bebas tinggi setelah pemberian intravena.
Deksametason memiliki aktivitas antiinflamasi yang lebih poten daripada
metilprednisolon, karena afinitasnya terhadap reseptor glukokortikoid tinggi dan
kurang mengikat protein.57,60 Metilprednisolon memiliki daya penetrasi yang lebih
cepat ke membran sel dibandingkan deksametason.61

19
Metilprednisolon intravena memiliki kadar puncak yang cepat dengan
waktu paruh di serum 3 jam. Sebagian besar bolus dengan cepat memasuki usus,;
kemudian kembali memasuki vena melalui sirkulasi splanchnic menyebabkan
kadar puncak kedua di serum. Obat ini didemetilasi dalam hati untuk menjadi aktif
secara farmakologis sebagai prednisolon.62 Tidak seperti metilprednisolon,
deksametason tidak memiliki metabolisme presistemik.54
Terdapat bukti yang kurang yang menunjukkan rute intravena lebih baik
daripada rute oral. Studi menunjukkan respon terapeutik yang setara pada pasien
dengan multiple sclerosis dan rheumatoid arthritis setelah pemberian oral dan
intravena dengan metilprednisolon pulse dosis tinggi yang sama.

3.6 Alasan Penggunaan Glukokortikoid Intravena Dosis Tinggi


Tujuan terapi pulse adalah untuk mencapai efek yang lebih cepat dan kuat
dan mengurangi kebutuhan akan penggunaan steroid jangka panjang. Banyak
penelitian telah menunjukkan khasiat dan keamanan terapi pulse dalam berbagai
penyakit; toksisitas telah dilaporkan secara konsisten kurang dari yang terjadi pada
terapi prednison oral harian59. Bila kortikosteroid diberikan sebagai pulse, efek
antiinflamasi akan segera tercapai dan toksisitas (seperti yang terjadi pada terapi
oral dosis tinggi konvensional) lebih rendah. Terdapat pemulihan klinis yang lebih
cepat dibandingkan dengan terapi oral, dan karena itu kerusakan inflamasi
diminimalkan. Perbaikan klinis terlihat berlangsung sekitar 3 minggu setelah satu
pulse, dan tidak ada efek supresif berkepanjangan pada hipotalamus.63
Oleh karena itu, terapi pulse memiliki rasio risiko atau manfaat yang
menguntungkan dan menunjukkan efikasi yang cukup besar dalam mengendalikan
peradangan jangka pendek. Meskipun terapi pulse steroid dapat memberikan
perbaikan simtomatik pada penyakit peradangan, mungkin terapi ini tidak
mengubah perjalanan jangka panjang dari penyakit tertentu.54

3.7 Efek dari steroid pulse intravena dosis tinggi


Bukti menunjukkan bahwa kadar steroid in-vivo yang tinggi yang diperoleh
dengan terapi kortikosteroid pulse memiliki efek farmakologis yang berbeda secara
kualitatif daripada yang diproduksi pada dosis rendah.

20
Pemberian glukokortikoid tunggal pada dosis tinggi memiliki efek yang
kuat karena mencapai saturasi 100% reseptor sitosol. Namun, efeknya hanya akan
berlangsung dalam waktu singkat karena pendudukan reseptor dengan cepat beralih
ke nilai awal kecuali jika ada dosis baru.57 Oleh karena itu, dosis tinggi tunggal
sepertinya tidak akan memiliki efek yang berkelanjutan.54
Secara keseluruhan, efek dari terapi pulse kortikosteroid tmencakup
penekanan aktivasi sel kekebalan dan produksi sitokin proinflamasi, yang
menyebabkan berkurangnya ekspresi molekul adhesi dan pergerakan neutrofil ke
tempat peradangan.64

21
BAB 4
METILPREDNISOLON PULSE INTRAVENA PADA EPILEPSI
RESISTEN OBAT

4.1 Mekanisme Kerja Metilprednisolon pada Epilepsi Resisten Obat


Mekanisme anti kejang kortikosteroid belum banyak diketahui.
kortikosteroid sebagai pengganti ACTH memiliki sifat endokrin dan
neuromodulatory. Pertama, sebagai neuropeptida sendiri memiliki sifat anti-kejang
dengan sendirinya. Kedua, dapat bertindak dengan stimulasi sintesis
glukokortikoid. Glukokortikoid diperkirakan berinteraksi dengan sistem saraf pusat
reseptor steroid yang bertindak sebagai regulator transkripsi dan untuk
mempengaruhi voltage dependent calcium channel. Ketiga, dapat memberikan efek
positif dengan sintesis neuro steroid pada sel glial dan neuron dengan menginduksi
sintesis deoxycorticosterone (DOC) prekursor dihydrodeoxy-corticosterone
(DHDOC) dan tetrahydrodeoxy-corticosterone (THDOC).65 DHDOC dan
THDOC keduanya adalah modulator alosterik dari reseptor GABAa. Yang terakhir
namun tidak kalah pentingnya, kortikosteroid memiliki sifat imunomodulasi.
Imunomodulasi telah disarankan sebagai mekanisme dari sindrom Landau-Kleffner
dan ESES, yang dianggap sebagai penyakit autoimun pada otak.65
Selain itu kortikosteroid juga menghentikan ekspresi gen corticotropine
releasing hormone (CRH) dalam amygdala lobus temporal. Dimana corticotropine
releasing hormone (CRH) produksi dan pelepasannya meningkat pada saat stres
dapat menyebabkan hipereksitivitas neuron (khususnya di dalam sistem limbik dan
batang otak) yang menyebabkan kejang.66

4.2 Penelitan yang Berhubungan Dengan Terapi Intravena Metilprednisolon


Pulse pada Epilepsi Resisten Obat
Pada penelitian Kholoud dkk. tujuhbelas anak berusia 2-14 (rata-rata 5.3)
tahun. Sebagian besar anak-anak (88%) mengalami kejang setiap hari dan 13 (76%)
sebelumnya dengan status epileptikus. Sebanyak 47% Epilepsi tidak diketahui
etiologinya. Metilprednisolon intravena diberikan pada 15 mg / kg per hari diikuti
oleh dosis tappering off prednison oral yang 2-8 minggu (rata-rata 3 minggu). Enam

22
(35%) anak menjadi benar-benar bebas dari kejang. Namun, tiga di antaranya
kemudian mengalami kejang berulang. Pada 6 bulan paska terapi, Penurunan
kontrol kejang terdapat pada 10 (59%) anak-anak. Tidak ada efek samping utama
yang dicatat, dan 35% orang tua melaporkan perbaikan dalam konsentrasi dan
peningkatan nafsu makan.67
Pada penelitian Sevilla dkk. empat belas anak-anak dengan epilepsi
refrakter selama lima hari berturut-turut, setiap pasien menerima metilprednisolone
melalui pemberian intravena dengan dosis 15 mg / kg / hari setiap 8 jam sekali
sebulan selama 3 bulan. Frekuensi kejang epilepsi dan kemungkinan efek samping
yang terkait dievaluasi setiap bulan selama tiga bulan sebelum, selama, dan setelah
pemberian metilprednisolone. Frekuensi kejang epilepsi berkurang lebih dari 50%
pada 12 pasien selama pengobatan metilprednisolon. Jumlah median sebelum terapi
dengan metilprednisolone adalah 8; Selama perawatan 1, dan setelah perawatan: 2
(p = 0.000). dapat dikatakan bahwa metilprednisolone mengurangi frekuensi
serangan epilepsi pada anak-anak dengan epilepsi refrakter.4
Pada Penelitian Maria Pera dkk. terhadap epilepsi ensepalopati sebelas anak
dengan ensefalopati epilepsi diberikan satu siklus metilprednisolon intravena (15-
30 mg / kg / hari selama tiga hari berturut-turut, sebulan sekali selama empat bulan)
di samping dosis konstan obat antiepilepsi reguler mereka. Terapi tersebut
menghasilkan penurunan yang signifikan secara statistik dari penurunan
gelombang (p <0,0028) dan frekuensi kejang (p <0,013), yang bertahan bahkan
setelah terapi nadi metilprednisolon dihentikan. Hasil positif pada 9 dari 11
(81,8%). Pasien yang tidak respon terhadap terapi ini memiliki etiologi struktural,
sehingga menunjukkan bahwa terapi ini kurang efektif pada kelompok tersebut.
Pengobatan pulse metilprednisolon ini tidak menyebabkan efek samping yang
signifikan atau terus-menerus.68
Pada penelitian Helene V. dkk., dilaporkan penggunaan steroid pada 32
anak-anak dengan epilepsi yang resisten obat. Pada 47% anak terjadi penurunan
frekuensi kejang, 25% mengalami bebas kejang, 11% mengalami pengurangan
kejang> 50% dan 11% mengalami pengurangan kejang <50%. Penelitian ini
menyimpulkan tidak ada korelasi yang dapat dilihat antara jenis steroid yang
digunakan dan efek pada epilepsi atau kognisi. Satu-satunya faktor yang berkorelasi

23
dengan bebas kejang adalah durasi pengobatan yang lebih lama dan penggunaan
steroid merupakan terapi efektif untuk anak-anak dengan epilepsi yang resisten
obat.65
Pada penelitian Sinclair dkk. dua puluh delapan anak (17 anak laki-laki, 11
perempuan) berusia 18 bulan sampai 10 tahun dengan epilepsi yang sulit ditangani
mendapatkan prednison 1 mg / kg / hari selama 12 minggu (6 minggu sehari dan 6
minggu terapi alternatif) diresepkan sebagai tambahan terhadap pengobatan
antiepilepsi reguler mereka. Masa pengawasan selama 1 sampai 5 tahun. Tiga belas
pasien (46%) menjadi bebas kejang pada prednison dan 18 lainnya (40%)
mengalami penurunan frekuensi kejang yang signifikan. Lima pasien (19%) tidak
mengalami perubahan frekuensi kejang. Hasil terbaik terlihat pada kelompok tidak
ada dimana enam dari tujuh pasien menjadi bebas dari kejang dan pada kelompok
sindrom Lennox-Gastaut di mana tujuh dari 10 orang menjadi bebas dari kejang.
Efek samping jarang terjadi dan termasuk penambahan berat badan pada lima
pasien dan agresi pada empat pasien.9
You dkk. melaporkan pengalaman mereka dengan prednisolon, 2 mg / kg
per hari selama 6 minggu, dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu, diberikan
bersamaan dengan obat antiepilepsi sebelumnya. Dari jumlah 41 pasien dengan
ensefalopati epilepsi kriptogenik. Setelah pengobatan prednisolon, 59% pasien
menjadi bebas kejang dan 15% menunjukkan pengurangan frekuensi kejang>
50%.69
Lichstenfeld dkk. melaporkan seorang gadis usia 7 tahun yang memiliki
kejang absan yang tahan terhadap semua obat anti epilepsi menunjukkan
peningkatan klinis dan dramatis dengan terapi pulse intravena selama 5 hari dosis
30 mg / kg / hari. Perbaikan klinis yang dramatis diamati 2 hari setelah dosis
terakhir. EEG menunjukkan penurunan yang signifikan dalam jumlah aktivitas
epileptiform, yang sekarang tercatat sebagian besar saat tidur. Saat keluar, pasien
disarankan untuk melanjutkan kombinasi levetiracetam harian dan prednison oral 2
mg / kg / hari selama 2 hari berturut-turut setiap minggu selama 6 minggu lagi.
Tidak ada efek samping yang dilaporkan dan pasien bebas dari kejang selama masa
tindak lanjut 8 bulan.70

24
Tabel 4.1 Penelitan yang berhubungan dengan terapi intravena metilprednisolon pulse pada
epilepsi resisten obat

25
4.3 Efek Samping Terapi Metilprednisolon Pulse Intravena
Pulse steroid intravena telah dikaitkan dengan komplikasi. Efek serius yang
paling signifikan pada anak-anak adalah peningkatan tekanan darah pada anak-anak
yang sudah mengalami hipertensi selama dan setelah terapi, kejang, terutama pada
lupus eritematosus sistemik, yang mungkin terkait dengan perubahan elektrolit
yang cepat, dan syok anafilaksis.71 Perilaku abnormal (termasuk perubahan mood,
hiperaktif, psikosis, disorientasi, gangguan tidur) adalah efek samping akut yang
umum terjadi, terlihat pada sekitar 10% pasien.72 Hiperglikemia, hipokalemia dan
infeksi adalah efek samping umum lainnya. Dosis kumulatif metilprednisolone
yang lebih tinggi (> 5 g) memberikan risiko infeksi yang lebih tinggi.73
Kejadian efek samping secara keseluruhan dengan terapi pulse intravena
dapat melebihi 50%.72 Efek steroid yang paling banyak, seperti penampilan wajah
membengkak tidak separah terapi steroid rutin.54
Kematian mendadak, aritmia jantung, kegagalan sirkulasi dan serangan
jantung telah dilaporkan sesekali, biasanya setelah pemberian dosis
metilprednisolon dosis tinggi (> 500 mg diberikan selama <10 menit).71,72
Bradikardi mungkin terjadi tetapi tidak terkait dengan kecepatan atau durasi infus.
Secara keseluruhan, aritmia dapat terjadi pada 1% sampai 82% pasien, setelah dosis
tunggal atau harian, dan onsetnya dapat terjadi selama pemberian terapi atau
beberapa hari kemudian; Dan meskipun sebagian besar laporan terjadi pada orang
dewasa, hal ini juga telah terjadi pada pasien anak-anak.71,72
Efek samping lainnya jarang terjadi, termasuk infeksi , hiperglikemia dan
gangguan elektrolit asimptomatik (hipokalemia dan hiponatremia).74 hubungan
yang bermakna secara statistik dengan intravena metilprednisolon adalah disfungsi
kognitif.75
Ada beberapa laporan mengenai efek metabolik dari terapi pulse. Kadar
kortisol menurun pada awalnya tapi kembali ke tingkat normal dalam 24-48 jam
setelah infus. Terapi jangka pendek pulse intravena MP tidak mengakibatkan
perubahan kepadatan tulang jangka panjang. Namun, baru-baru ini, Haugeberg dkk
menunjukkan bahwa pengobatan dengan pulse intravena MP menyebabkan tingkat
keropos tulang yang tinggi yang tidak dapat diabaikan.76

26
BAB 5
RINGKASAN

Epilepsi yang resisten terhadap obat didefinisikan sebagai kegagalan uji


coba yang sesuai dari dua jadwal obat antiepilepsi yang dipilih dengan tepat dan
digunakan (baik sebagai monoterapi atau kombinasi) untuk mencapai kebebasan
kejang yang berkelanjutan. Faktor risiko epilepsi resisten obat dilaporkan
sebelumnya seperti beberapa kejang sebelum perawatan, kejang fokal atau kejang
kompleks, usia saat onset, developmental delay, dan EEG abnormal. Mekanisme
terjadinya epilepsi resisten obat tampaknya bervariasi dan multifaktorial terkait
penyebab utamanya.
Manajemen terapi epilepsi resisten obat bermacam-macam mulai dari terapi
kombinasi obat antiepilepsi, terapi nonfarmakologis, hingga perawatan medis
atipikal seperti pemberian kortikosteroid metilprednisolon intravena.
Metilprednisolon diberikan dengan dosis 20-30 mg/kg (500-1000 mg/m2) per kali.
Pulse ulangan diberikan dengan interval 24-48 jam, setiap hari atau beberapa hari,
biasanya untuk tiga atau enam pulse. Tujuan terapi pulse adalah untuk mencapai
efek yang lebih cepat dan kuat dan mengurangi kebutuhan akan penggunaan steroid
jangka panjang.
Mekanisme anti kejang kortikosteroid belum banyak diketahui.
Kortikosteroid dapat sebagai neuropeptida sendiri memiliki sifat anti-kejang,
stimulasi sintesis glukokortikoid, sintesis neuro steroid, dan imunomodulasi. Pada
beberapa penelitian yang telah dilakukan menyatakan keberhasilan pada terapi
metilprednisolon pulse intravena ini, di samping penggunaan kortikosteroid lainnya
dalam mengatasi epilepsi resisten obat. Kegagalan pada terapi ini jika penyebab
epilepsi resisten obat tersebut adalah kelainan struktural
Beberapa efek samping terapi juga telah dilaporkan seperti hipertensi,
gangguan mood, gangguan tidur, hiperglikemia, dan gangguan elektrolit.
Kekambuhan kejang terjadi sekitar 68% dari pasien yang bebas kejang selama 1
tahun.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Kwan P, Arzimanoglou A, Berg AT, Brodie MJ, Hauser WA, Mathern G, et


al. Definition of drug resistant epilepsy: Consensus proposal by the ad hoc
Task Force of the ILAE Commission on Therapeutic Strategies. Vol. 51,
Epilepsia. 2010. p. 1069–77.
2. Baker GA, Jacoby A, Gorry J, Doughty J, Ellina V. Quality of life of people
with epilepsy in Iran, the Gulf, and Near East. Epilepsia. 2005;46(1):132–
40.
3. Rodriguez-lucenilla I, Aguilera-lo P, Ramos-lizana J, Cassinello-garcı E,
Aguirre-rodrı J. A study of drug-resistant childhood epilepsy testing the new
ILAE criteria. 2012;21:266–72.
4. Sevilla-Castillo RA, Palacios GC, Ramirez-Campos J, Mora-Puga M, Diaz-
Bustos R. Methylprednisolone for the treatment of children with refractory
epilepsy. Neuropediatrics. 2009;40(6):265–8.
5. Kwan P, Brodie MJ. Early identification of refractory epilepsy. N Engl J
Med. 2000;342(5):314–9.
6. Prasad AN, Stafstrom CF, Holmes GL. Alternative Epilepsy Therapies : The
Ketogenic Diet , Immunoglobulins , and Steroids. 1996;37(2).
7. Peter R. Huttenlocher, Amemiya IM. Effects of adrenocortical steroids and
of adrenocorticotrophic hormone on ( na + -k + ) -atpase in immature
cerebral cortex. Pediat Res. 1978;12:104–7.
8. Mytinger JR, Quigg M, Taft WC, Buck ML, Rust RS. Outcomes in treatment
of infantile spasms with pulse methylprednisolone. J Child Neurol.
2010;25(8):948–53.
9. Sinclair DB. Prednisone therapy in pediatric epilepsy. Pediatr Neurol.
2003;28(3):194–8.
10. Berg AT. Risk of seizure recurrence after a first unprovoked seizure in
childhood. Epilepsia. 2008;49:13–8.
11. Hauser WA. Risk of recurrent seizures after two unprovoked seizures. N
Engl J Med. 1998;338(7):429–34.
12. Hesdorffer DC, Benn EKT, Cascino GD, Hauser WA. Is a first acute
symptomatic seizure epilepsy? Mortality and risk for recurrent seizure.
Epilepsia. 2009;50(5):1102–8.
13. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE, et
al. ILAE Official Report: A practical clinical definition of epilepsy.
Epilepsia. 2014;55(4):475–82.
14. Beghi E, Carpio A, Forsgren L, Hesdorffer DC, Malmgren K, Sander JW, et
al. Recommendation for a definition of acute symptomatic seizure. Epilepsia.
2010;51(4):671–5.
15. Sinclair DB, Snyder TJ. Corticosteroids for the treatment of Landau-Kleffner
syndrome and continuous spike-wave discharge during sleep. Pediatr
Neurol. 2005;32(5):300–6.
16. Berg AT, Levy SR, Testa FM, D’Souza R. Remission of epilepsy after two
drug failures in children: A prospective study. Ann Neurol. 2009;65(5):510–
9.
17. Boonluksiri P, Visuthibhan A, Katanyuwong K. Clinical prediction rule of
drug resistant epilepsy in children. J epilepsy Res. 2015;5(2):84–8.

28
18. Glauser T, Ben-Menachem E, Bourgeois B, Cnaan A, Guerreiro C,
Kälviäinen R, et al. Updated ILAE evidence review of antiepileptic drug
efficacy and effectiveness as initial monotherapy for epileptic seizures and
syndromes. Epilepsia. 2013;54(3):551–63.
19. Berg a T, Shinnar S, Levy SR, Testa FM, Smith-Rapaport S, Beckerman B.
Early development of intractable epilepsy in children: a prospective study.
Neurology. 2001;56(11):1445–52.
20. Semah F, Picot M, Adam C, Broglin D, Arzimanoglou A, Bazin B, et al. Is
the underlying cause of epilepsy a major prognostic factor for recurrence?
Neurology. 1998;51:1256–62.
21. Mohanraj R, Brodie MJ. Diagnosing refractory epilepsy: Response to
sequential treatment schedules. Eur J Neurol. 2006;13(3):277–82.
22. Kwan P, Schachter SC, Brodie MJ. Drug-resistant epilepsy. N Engl J Med.
2011;365(10):919–26.
23. Sisodiya SM, Lin WR, Harding BN, Squier M V, Thom M. Drug resistance
in epilepsy: expression of drug resistance proteins in common causes of
refractory epilepsy. Brain. 2002;125(Pt 1):22–31.
24. Remy S, Beck H. Molecular and cellular mechanisms of pharmacoresistance
in epilepsy Introduction to the clinical problem of pharmacoresistance in
epilepsy. Brain. 2006;129:18–35.
25. Remy S, Gabriel S, Urban BW, Dietrich D, Lehmann TN, Elger CE, et al. A
novel mechanism underlying drug resistance in chronic epilepsy. Ann
Neurol. 2003;53(4):469–79.
26. Kwan P, Poon WS, Ng H-K, Kang DE, Wong V, Ng PW, et al. Multidrug
resistance in epilepsy and polymorphisms in the voltage-gated sodium
channel genes SCN1A, SCN2A, and SCN3A: correlation among phenotype,
genotype, and mRNA expression. Pharmacogenet Genomics.
2008;18(11):989–98.
27. Loup F, Picard F, Yonekawa Y, Wieser H, Fritschy J. Selective changes in
GABA A receptor subtypes in white matter neurons of patients with focal
epilepsy. Brain. 2009;132:2449–63.
28. McKnight K, Jiang Y, Hart Y, Cavey A, Wroe S, Blank M, et al. Serum
antibodies in epilepsy and seizure-associated disorders. Neurology.
2005;65(11):1730–6.
29. Dalmau J, Gleichman AJ, Hughes EG, Rossi JE, Peng X, Dessain SK, et al.
Anti-NMDA-receptor encephalitic: case series and analysis of the effects of
antibodies. Lancet Neurol. 2009;7(12):1091–8.
30. Lancaster E, Lai M, Peng X, Hughes E, Constantinescu R, Raizer J, et al.
Antibodies to the GABAB receptor in limbic encephalitis with seizures: case
series and characterisation of the antigen. Lancet Neurol. 2010;9(1):67–76.
31. Kossoff EH. Intractable Childhood Epilepsy: Choosing Between the
Treatments. Vol. 18, Seminars in Pediatric Neurology. 2011. p. 145–9.
32. Brodie MJ, Yuen AWC. Lamotrigine substitution study: Evidence for
synergism with sodium valproate? Epilepsy Res. 1997;26(3):423–32.
33. Spencer S, Huh L. Outcomes of epilepsy surgery in adults and children.
Lancet Neurol. 2008;7(6):525–37.
34. Dhar R, Wiebe S, Tellez-Zenteno JF, Dhar R, Wiebe S. Long-term seizure
outcomes following epilepsy surgery: A systematic review and meta-

29
analysis. Vol. 128, Brain. 2005. p. 1188–98.
35. Bien CG, Szinay M, Wagner J, Clusmann H, Becker AJ, Urbach H.
Characteristics and surgical outcomes of patients with refractory magnetic
resonance imaging-negative epilepsies. Arch Neurol. 2009;66(12):1491–9.
36. J. Helen Cross, Prasanna Jayakar, Doug Nordli, Olivier Delalande, Michael
Duchowny, Heinz G. Wieser, Renzo Guerrini GWM. Proposed criteria for
referral and evaluation of children for epilepsy surgery: recommendations of
the subcommittee for pediatric epilepsy surgery. Epilepsia. 2006;47(6):952–
9.
37. Kossoff E, Vining E, Pillas D, Pyzik P, Avellino A, Carson B, et al.
Hemispherectomy for intractable unihemispheric epilepsy Etiology vs
outcome. Neurology. 2003;61:887–90.
38. Benifla M, Otsubo H, Ochi A, Snead OC, Rutka JT. Multiple subpial
transections in pediatric epilepsy: Indications and outcomes. Vol. 22, Child’s
Nervous System. 2006. p. 992–8.
39. Neal EG, Chaffe H, Schwartz RH, Lawson MS, Edwards N, Fitzsimmons G,
et al. The ketogenic diet for the treatment of childhood epilepsy: a
randomised controlled trial. Lancet Neurol. 2016;7(6):500–6.
40. Kossoff EH, Dorward JL. The modified Atkins diet. In: Epilepsia. 2008. p.
37–41.
41. Kossoff EH, Zupec-Kania BA, Amark PE, Ballaban-Gil KR, Bergqvist
AGC, Blackford R, et al. Optimal clinical management of children receiving
the ketogenic diet: Recommendations of the International Ketogenic Diet
Study Group. Epilepsia. 2008;50(2):304.
42. Crumrine PK. Vagal nerve stimulation in children. Semin Pediatr Neurol.
2000;7(3):216–23.
43. Uthman BM, Reichl a M, Dean JC, Eisenschenk S, Gilmore R, Reid S, et
al. Effectiveness of vagus nerve stimulation in epilepsy patients: a 12-year
observation. Neurology. 2004;63(6):1124–6.
44. Ekstein D, Schachter SC. Natural Products in Epilepsy — the Present
Situation and Perspectives for the Future. Pharmaceuticals. 2010;3:1426–45.
45. Kupiec T, Raj V. Fatal seizures due to potential herb-drug interactions with
Ginkgo biloba. J Anal Toxicol. 2005;29(October):755–8.
46. Yin OQP, Tomlinson B, Waye MMY, Chow AHL, Chow MSS.
Pharmacogenetics and herb-drug interactions: experience with Ginkgo
biloba and omeprazole. Pharmacogenetics. 2004;14(12):841–50.
47. Samuels N, Finkelstein Y, Singer SR, Oberbaum M. Herbal medicine and
epilepsy: Proconvulsive effects and interactions with antiepileptic drugs.
Vol. 49, Epilepsia. 2008. p. 373–80.
48. Schachter S. Herbal therapies for epilepsy. In: Schwartzkroin P, editor.
Encyclopedia of basic epilepsy research. Oxford, England: Academic Press;
2009. p. 1450–4.
49. Appleton RE. Mortality in paediatric epilepsy. Arch Dis Child.
2003;88(12):1091–4.
50. Callenbach PMC, Westendorp RGJ, Donselaar CA Van, Peters ACB,
Stroink H, Brouwer OF. Mortality risk in children with epilepsy: the dutch
study of epilepsy in childhood. Pediatrics. 2001;107:1259–63.
51. Rhen T, Cidlowski JA. Antiinflammatory action of glucocorticoids--new

30
mechanisms for old drugs. N Engl J Med. 2005;353:1711–23.
52. Kountz S, Cohn R. Initial treatment of renal allografts with large intrarenal
doses of immunosuppressive drugs. Lancet. 1969;293(7590):338–40.
53. Mendoza SA, Tune BM. Management of the difficult nephrotic patient.
Pediatr Clin North Am. 1995;42(6):1459–68.
54. Sinha A, Bagga A. Pulse steroid therapy. In: Indian Journal of Pediatrics.
2008. p. 1057–66.
55. Pasricha J. Pulse therapy in pemphigus and other diseases. 2nd ed. Pulse
Therapy and Pemphigus Foundation. New Delhi; 2000.
56. Buttgereit F, da Silva J a P, Boers M, Burmester G, Cutolo M, Jacobs J, et
al. Standardised nomenclature for glucocorticoid dosages and glucocorticoid
treatment regimens: current questions and tentative answers in
rheumatology. Ann Rheum Dis. 2002;61(8):718–22.
57. Haynes RC. Adrenocorticotropic hormone; adrenocortical steroids and their
synthetic analos; inhibitor of the synthesis and actions of adenocortical
hormones. Brunton L, Lazo J, Parker K, editors. Goodman Gilman’s
Pharmacol Basis Ther. 1990;1438.
58. Hari P, Bagga A, Mantan M. Short term efficacy of intravenous
dexamethasone and methylprednisolone therapy in steroid resistant
nephrotic syndrome. Indian Pediatr. 2004;41(10):993–1000.
59. Miura M, Ohki H, Yoshiba S, Ueda H, Sugaya A, Satoh M, et al. Adverse
effects of methylprednisolone pulse therapy in refractory Kawasaki disease.
Arch Dis Child. 2005;90(10):1096–7.
60. Rodman MJ, Smith DW. Pharmacology and drug therapy in nursing. Cassidy
J, Petty R, Lindsley C, Laxler R, editors. Textbook of Pediatric
Rheumatology. Philadelphia: WB Saunders Company; 1979. xiv, 1085 .
61. Wilson J. Cellular localization of 3H-labelled corticosteroids by electron
microscopic autoradiography after hemorrhagic shock. In: Glenn T, editor.
Steroid and Shock. Baltimore: University Park Pres; 1974. p. 275–99.
62. Ito S, Kusunoki V, Oka T, Ito Y, Okuno A, Yoshioka H. Pharmacokinetics
of high-dose methylprednisolone in children. Dev Pharmacol Ther.
1992;19:99–105.
63. Novak E, Stubbs SS, Seckman CE, Hearron MS. Effects of a single large
intravenous dose of methylprednisolone sodium succinate. Clin Pharmacol
Ther. 1970;11(5):711–7.
64. Smith MD, Ahern MJ, Roberts-Thomson PJ, Youssef PP. Similar effects of
pulse corticosteroid and tumor necrosis factor alpha blockade in rheumatoid
arthritis: comment on the article by Taylor et al. Arthritis Rheum.
2001;44(1):245–6.
65. Verhelst H, Boon P, Buyse G, Ceulemans B, D’Hooghe M, De Meirleir L,
et al. Steroids in intractable childhood epilepsy: Clinical experience and
review of the literature. Seizure. 2005;14(6):412–21.
66. Gupta R. Corticosteroids in the management of the paediatric epilepsies.
Arch Dis Child. 2005;90(4):379–84.
67. Almaabdi KH, Alshehri RO, Althubiti AA, Alsharef ZH, Mulla SN, Alshaer
DS, et al. Intravenous methylprednisolone for intractable childhood epilepsy.
Pediatr Neurol. 2014;50(4):334–6.
68. Pera MC, Randazzo G, Masnada S, Dontin SD, De Giorgis V, Balottin U, et

31
al. Intravenous methylprednisolone pulse therapy for children with epileptic
encephalopathy. Funct Neurol. 2015;30(3):173–9.
69. You SJ, Jung DE, Kim HD, Lee HS, Kang HC. Efficacy and prognosis of a
short course of prednisolone therapy for pediatric epilepsy. Eur J Paediatr
Neurol. 2008;12(4):314–20.
70. Lichtenfeld R, Heyman E, Gandelman-Marton R, Livne A, Lahat E.
Intravenous methylprednisolone pulse therapy in a young girl with
intractable absence seizures. Isr Med Assoc J. 2010;12(3):181–2.
71. Baethge B, Lidsky M, Goldberg J. A study of adverse effects of high-dose
intravenous (pulse) methylprednisolone therapy in patients with rheumatic
disease. Ann Pharmacother. 1992;26:316–20.
72. Klein-Gitelman M, Pachman L. Intravenous corticosteroids: Adverse
reactions are more variable than expected in children. J Rheumatol.
1998;25:1995–2002.
73. Kang I, Park S. Infectious complications in SLE after immunosuppressive
therapies. Curr Opin Rheumatol. 2003;15:528–34.
74. Hari P, Bagga A, Mantan M. Short term efficacy of intravenous
dexamethasone and methylprednisolone therapy in steroid resistant
nephrotic syndrome. Indian Pediatr. 2004;41:993–1000.
75. Zonana-Nacach A, Barr S, Magder L, Petri M. Damage in systemic lupus
erythematosus and its association with corticosteroids. Arthritis Rheumatol.
2000;43(1801–8).
76. Haugeberg G, Griffiths B, Sokoll K, Emery P. Bone loss in patients treated
with pulses of methylprednisolone is not negligible: a short term prospective
observational study. Ann Rheum Dis. 2004;63:940–4.

32

Anda mungkin juga menyukai