PENDAHULUAN
Difteri adalah penyakit yang menjadi fenomena negatif. Sebuah penyakit toksik
akut dan sangat menular yang disebabkan oleh corynebacterium diphteriae. Tanda
yang umumnya ditemukan adalah sakit tenggorokan dan suara serak, nyeri saat
menelan, pembengkakan kelenjar (kelenjar getah bening membesar) di leher, dan
terbentuknya sebuah membran tebal abu-abu menutupi tenggorokan dan amandel,
sulit bernapas atau napas cepat, demam, dan menggigil.
Pada tahun 2011, dunia kesehatan dan masyarakat Indonesia dikejutkan oleh
adanya penyebaran penyakit difteri di Provinsi Jawa Timur (Jatim). Sebanyak 11 anak
meninggal dunia dari 333 kasus difteri. Karena itu, pemerintah Provinsi Jatim
menetapkan KLB (Kejadian Luar Biasa) penyakit difteri. Penetapan status KLB
dilakukan mengingat kasus ini telah tersebar di hampir seluruh kabupaten/kota se-
Jawa Timur. Begitupun pada tahun 2012 dan tahun 2013, kasus difteri ini juga telah
memakan banyak korban utamanya pada anak-anak.
Dalam hal ini, perawat berperan penting dalam memberikan pengetahuan akan
bahaya kasus difteri agar orang yang sehat dapat waspada akan penularan difteri, dan
pasien yang telah terjangkit difteri dapat segera dirawat seperti dengan memberikan
antitoksin, antibiotik atau dapat juga dengan imunisasi serta harus mengisolasi di unit
perawatan intensif karena difteri dapat menyebar dengan mudah ke orang sekitar
terutama yang tidak mendapatkan imunisasi penyakit ini.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep difteri dan keperawatan pada difteri
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami definisi difteri
2. Mengetahui dan memahami etiologi difteri
3. Mengetahui dan memahami epidemiologi (penularan) difteri
4. Mengetahui dan memahami patofisiologi difteri
5. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis difteri
6. Mengetahui dan memahami penanganan pada klien dengan difteri
7. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada klien dengan difteri
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan pada kasus difteri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tidak seperti difteroid lain (bacteria korineform), yang berada dimana-mana dalam
alam, C.diphtiriae adalah penghuni tersendiri membrane mukosa dan kulit manusia.
Penyebaran terutama melalui udara bersama tetes-tetes pernapasan atau kontak langsung
dengan sekeresi pernapasan individu bergejala atau eksudat dari lesi kulit yang terinfeksi.
Pengidap (carrier) pernapasan tidak bergejala penting dalam penularan. Dimana difteri
endemic, 3-5% individu sehat dapat mengandung organisme bertoksin, tetapi pengidap
sangat jarang jika difteri jarang. Infeksi kulit dan pengidap kulit merupakan reservoir
difteria diam-diam. Ketahanan hidup dalam debu dan pada benda berpori sampai 6 bulan
kurang berarti secara epidemiologis. Penularan melalui susu yang terkontaminasi dan
pengurus makanan yang terkontaminasi telah terbukti atau dicurigai.
Difteri bisa menular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung. Air
ludah yang berterbangan saat penderita berbicara, batuk atau bersin membawa serta kuman
kuman difteri. Melalui pernafasan kuman masuk ke dalam tubuh orang disekitarnya, maka
terjadilah penularan penyakit difteri dari seorang penderita kepada orang orang
disekitarnya.
2.4 Pathofisiologi
Sesudah sekitar masa inkubasi 2 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang
lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39℃. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi)
menyebabkan rhinitis erosif, purulensi serosanguinis dengan pembentukan membrane.
Ulserasi dangkal nares keluar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada difteri tonsil dan
faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum, tetapi hanya setengah penderita
menderita demam, dan lebih sedikit yang menderita disfagia, serak, dan nyeri kepala.
Injeksi faring ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau
bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring
posterior, hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran
limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull neck”. Tingakt perluasan lokal berelasi
secara langsung dengan kelemahan yang berat, gambaran bull neck, dan kematian karena
gangguan jalan napas atau komplikasi yang diperantarai toksin.
Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan
lunak dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik. Pembutan
saluran napas buatan dan pemotongan pseudomembran menyelamatkan jiwa, tetapi sering
ada komplikasi obstruktif lebih lanjut dan komplikasi toksik tidak dapat dihindarkan.
2.6 Penanganan
Untuk anak umur 6 minggu sampai hari ulang tahunnya yang ketujuh, beri
0,5 mL dosis vaksin mengandung-difteri D. seri pertama adalah dosis pada sekitar
umur 2,4 dan 6 bulan. Dosis keempat adalah bagian integral seri pertama dan
diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ketiga. Dosis booster diberikan pada
umur 4-6 tahun ( kecuali pada dosis primer keempat diberikan sesudah hari ulang
tahunnya yang ke empat). Untuk anak anak yang berumur 7 tahun atau lebi,
gunakan tiga dosis 0,5 mL yang mengandung vaksin D. seri primer meliputi dua
doses yang berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
Satu satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid dan defteri adalah riwayat
reaksi hipersensitivasi neurologis berat sesudah dosis sebelumnya. Untuk anak
yang imunisasi pertusinya terkontraindikasi digunakan DT atau Td. Mereka yang
mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalami lima
dosis vaksin yang mengandung difteri D 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka
yang mulai pada sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL
vaksin mengandung difteri. Dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun,
kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah hari ulang tahun keempat.
2.7.1 PENGKAJIAN
a. IDENTITAS
b. RIWAYAT KESEHATAN
Bersangkutan dari etiologi (pernah atau tidak terkena difteri) atau gejala-gejala difteri yang
masih akut
c. PEMERIKSAAN FISIK
Memeriksa TTV pada anak dan melakukan observasi secara IPPA dari kepala sampai kaki
(Head to toe) dan yang terpenting adalah . Kaji tanda-tanda yang terjadi pada nasal,
tonsil/faring dan laring. Lihat dari manifestasi klinis berdasarkan alur patofisiolog
Normal
Normal
Ø B6 :Bone (Bone-Muscle-Integument)
d. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji Shick dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah kecil toksin difteri ke dalam kulit. Jika
orang tersebut kebal, maka toksin tersebut dinetralkan oleh antitoksin di dalam tubuhnya dan
tidak terjadi reaksi. Tetapi bila orang itu rentan-tidak mempunyai antitoksin alamiah naka akan
terjadi reaksi peradangan setempat yang mencapai intensitas maksimum dalam 4 – 7 hari. Jika
uji Shick ini menunjukkan adanya kerentanan terhadap difteri, maka orang dewasa sekalipun
harus diimunisasi secara aktif.
e. POLA AKTIVITAS
1. Pola nutrisi dan metabolic : Disesuaikan dengan tanda difteri seperti apakah nafsu makan
berkurang (anoreksia) muntah dsb
3. Pola Aktifitas dan latihan : Jika klien terjangkit difteri maka tampak anak akan malas,
lemah dan lesu
4.Pola tidur dan istirahat : Mengkaji apakah anak tidurnya nyaman atau tidak mau tidur
6.Persepsi diri : Karena klien masih kategori anak maka konsep dirinya akan
masih dalam tahap perkembangan dan anak akan tampak cemas
karena penyakit yang diderita atau kerna perspisahan
2. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang
kurang).
2.7.3 INTERVENSI
Tujuan:
Pola pernafasan menjadi efektif setelah dilaksanakan tindakan perawatan dalam 1 x 30 menit
Kriteria hasil:
Intervensi Rasional
2. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya Bunyi napas menurun bila jalan napas
bunyi napas tambahan terdapat gangguan
(obstruksi,perdarahan,kolaps)
2. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas
Tujuan :
- Perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan
tidak ada distres pernafasan.
Kriteria hasil :
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang
kurang).
Tujuan :
Kriteria hasil :
- Klien Tidak ada mual muntah
Intervensi Rasional
Tujuan :
Kriteria Hasil :
Intake cairan meningkat. Kulit lembab. Membran mukosa oral lembab. Intervensi
Intervensi Rasional
2.7.4 Evaluasi
• Anak tidak menunjukan tanda dan gejala adanya komplikasi / infeksi
• Fungsi pernafasan anak membaik
• Tingkat aktifitas anak sesuai dengan usianya
. Pengkajian
- data objektif
-data subyektif
Analisis data:
Menempel pada
lapisan superficial
lesi kulit atau
mukosa pernapasan
Menginduksi reaksi
radang lokal
Bakteri
menghasilkan
eksotoksin
polipeptida 62-KD
kuat
Sintesis protein
terhambat
Terjadi nekrosis
jaringan lokal
Infeksi saluran
pernapasan
b. diagnosis keperawatan
c. intervensi
d. evaluasi
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Peran perawat juga dibutuhkan dalam hal ini, yaitu memberikan penyuluhan mengenai
bahaya difteri serta memberikan cara terbaik untuk mencegah difteri, serta memberikan
perawatan pada klien yang telah terjangkit bakteri penyebab difteri tersebut.
3.2 Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-
anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi
kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa
sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali. Selain pencegahan dengan
vaksinasi, masyarakat juga memperhatikan faktor-faktor lain yang menyebabkan timbulnya
penyakit diferi ini misalnya dengan memperhatikan lingkungan, makanan, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA