Anda di halaman 1dari 44

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Dalam perencanaan drainase perkotaan, analisa hidrologi ditekankan untuk

mendapatkan besaran modulus pembuang yang dihitung berdasarkan besarnya

curah hujan. Untuk mendapatkan besaran curah hujan maksimum dilakukan

dengan menganalisis curah hujan harian maksimum. Dari besaran curah hujan

maksimum kemudian dipilih curah hujan terbesar yang kemudian digunakan

sebagai input perhitungan curah hujan rancangan.

Tinjauan pustaka dalam tugas akhir ini berisi penelitian terdahulu dan

dasar-dasar teori yang nantinya diggunakan untuk mengevaluasi sistem saluran

drainase di Kecamatan Tarakan Tengah kota Tarakan.

2.2 Penelitian Terdahulu

Beberapa studi empiris yang dianggap cukup relevan dengan orientasi

penelitian ini diuraikan sebagai berikut. Syulvanny Rumalutur (2008), dalam

penelitiannya yang berjudul “Studi Perencanaan Jaringan Drainase di Kota

Namlea Kabupaten Buru Maluku”, penelitian ini dilakukan karena peneliti

mempertimbangkan bahwa jumlah air kotor yang terbuang dan jumlah curah

hujan yang ada pada Kota Namalea diperkirakan tidak dapat mengimbangi laju

pertumbuhan penduduk yang semakin lama semakin bertambah, sementara lahan

peresapan semakin sempit. Dalam perencanaan drainase ini peneliti menggunakan

Tc = 5 jam dan I = 36,2203 m/dt. Hasil dari penelitian ini berupa perbaikan

saluran yang telah ada sekaligus perencanaan saluran drainase baru dan

perencanaan bangunan air penunjang lainnya seperti pintu air dan pompa air.

7
8

M. Arief Rahman H. (2010), dalam penelitiannya yang berjudul “Studi

Evaluasi Jaringan Drainase Perkotaan Kota Jombang”, penelitian ini bertujuan

untuk menata kembali saluran yang sudah ada agar dapat menampung debit

rancangan dengan kala ulang 5 tahun, yang sesuai dengan peruntukan lahan di

kota Jombang. Pada studi ini digunakan perhitungan curah hujan rancangan

metode Log Person Type III, perhitungan debit air hujan metode rasional,

perhitungan intensitas hujan metode Mononobe, perhitungan waktu konsentrasi

metode Kirpich dan proyeksi jumlah penduduk dengan metode eksponensial.

Muhammad Ridwan N.H (2017), dalam penelitian yang berjudul “Studi

Evaluasi Saluran Drainase pada Kelurahan Kepanjen Kecamatan Kepanjen

Kabupaten Malang”, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab

terjadinya genangan. Pada penelitian ini menggunakan debit rancangan (Qdesain)

dengan kala ulang 10 tahun yang dihitung menggunakan metode rasional. Hasil

dari penellitian ini direkomendasikan 3 alternatif untuk mengatasi genangan, yaitu

pendalaman drainase berkisar 10-40 cm, perencanaan sumur resapan untuk

mengatasi debit yang melimpas sebesar 1.556 m3/detik dengan debit tampungan

sebesar 1.570 m3/detik pada jalan yang terdapat genangan, dan penggabungan

antara sumur resapan dan rehabilitasi saluran drainase.

Tabel 2.1 Ikhtisar Penelitian Terdahulu


Nama Penulis (Tahun) Judul Penelitian Hasil Penelitian
Syulvanny Rumalutur Studi Perencanaan Hasil dari penelitian ini
(2008) Jaringan Drainase di Kota berupa perbaikan saluran
Namlea Kabupaten Buru yang telah ada sekaligus
Maluku perencanaan saluran
drainase baru dan
perencanaan bangunan
air penunjang lainnya
seperi pintu air dan
pompa air.
9

M. Arief Rahman H. Studi Evaluasi Jaringan Hasil evaluasi saluran,


(2010) Drainase Perkotaan Kota didapatkan beberapa
Jombang saluran tidak mampu
menampung debit
rancangan, sehingga
perlunya rehabilitasi
saluran.
Muhammad Ridwan Studi Evaluasi Saluran Hasil dari penellitian ini
N.H (2017) Drainase pada Kelurahan direkomendasikan 3
Kepanjen Kecamatan alternatif untuk
Kepanjen Kabupaten mengatasi genangan,
Malang yaitu pendalaman
drainase berkisar 10-40
cm, perencanaan sumur
resapan dan
penggabungan antara
sumur resapan dan
rehabilitasi saluran
drainase.
Sumber: Pengolahan data, 2018

Dari ketiga penelitian tersebut memiliki keterkaitan dengan penelitian

yang akan dilakukan. Kesamaan dalam penelitian ini adalah melakukan evaluasi

saluran drainase yang terjadi dibeberapa kawasan dan kemudian mengatasi

permasalahan yang ada dengan perencanaan ulang saluran drainase. Perbedaannya

adalah pada beberapa metode yang digunakan dalam perhitungan. Selain itu

penelitian ini menjadikan batas kecamatan menjadi batas kawasan penelitian,

tidak terikat dengan batas DAS.

2.3 Definisi Banjir

Banjir adalah aliran yang melimpas tanggul alam atau tanggul buatan dari

suatu sungai (Soewarno, 1995). Banjir di suatu daerah dapat disebabkan oleh dua

hal yaitu peristiwa alam, dan aktifitas manusia. Banjir karena peristiwa alam

disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi dan lama curah hujan, topografi,

kondisi tanah, penutupan lahan, dan pendangkalan alamiah (Soewarno, 1995).


10

Peristiwa banjir yang terjadi disebabkan oleh debit air sungai yang

besarnya lebih dari biasanya akibat dapat meningkatkan risiko banjir (Asdak,

2010). Banjir merupakan suatu peristiwa alam biasa, kemudian berkembang

menjadi suatu masalah bencana, jika air limpahannya mengganggu kehidupan,

penghidupan dan keselamatan manusia (Setyowati, 2010). Menurut Suripin

(2004), Sumber banjir dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:

a. Banjir kiriman, aliran banjir yang datangnya dari daerah hulu di luar

kawasan yang tergenang. Hal ini dapat terjadi jika hujan yang terjadi di

daerah hulu menimbulkan aliran banjir yang melebihi kapasitas

sungainya atau banjir kanal yang ada sehingga ada limpasan.

b. Banjir lokal, genangan air yang timbul akibat hujan yang jatuh di

daerah itu sendiri. Hal ini dapat terjadi kalau hujan melebihi kapasitas

drainase yang ada.

c. Banjir rob, banjir yang terjadi baik akibat aliran langsung air pasang

dan/atau air balik dari saluran drainase akibat terhambat oleh air

pasang.

Berdasarkan hasil rekapitulasi evaluasi titik rawan banjir di Kota Tarakan

didapatkan beberapa kawasan yang rawan terjadi banjir/ genangan. Berikut adalah

daftar kawasan tersebut.

Tabel 2.2 Daftar Titik Rawan Banjir Kota Tarakan


Kawasan Banjir Kota Tarakan 2012
Luas Luas Area
Kode Lokasi Kode Lokasi
Area (Ha) (Ha)
B1 - - B12 Jl. Aki Balak 0.5
B2 Sebengkok 14.7 B13 - -
B3 Selumit 9.5 B14 Jl. Padat Karya 2
B4 Markoni 9.3 B15 Jl. Aki Balak/ 2
Yonif 613 R. Alam
11

Kawasan Banjir Kota Tarakan 2012


Luas Luas Area
Kode Lokasi Kode Lokasi
Area (Ha) (Ha)
B5 Jl. RE. 0.2 B16 Pasir Putih 0.7
Martadinata
B6 Jl. P. Sadau 2.3 B17 Jl. Celebes 4.4
B7 - - B18 Jl. Gajah Mada 0.8
B8 Jl. P. Flores 0.7 B19 Jl. S. Sesayap 12.9
B9 Karang 46.8 B20 Jl. S. Sesayap/
Anyar Depan SMP dan 0.2
SD Ulul Albab
B10 Jl. 19.1 B21 JL. W. R. 0.4
Cendrawasi Supratman
h
B11 - -
Sumber : Pengolahan data DPU, 2017

2.4 Definisi Drainase

Maksud dan tujuan drainase adalah membuang air diatas permukaan tanah

yang berlebihan atau menurunkan atau menjaga muka air tanah agar tidak terjadi

genangan, sehingga akibat negatif dengan adanya genangan dapat di hindari

(Soehardjono, 1984). Sistem saluran drainase umumnya dibagi menjadi dua

bagian:

a. Sistem drainase makro

Sistem drainase makro yaitu sistem saluran yang menampung dan

mengalirkan air dari satu daerah tangkapan air hujan. Sistem drainase

makro ini menampung aliran yang skala besar dan luas seperti kanal-

kanal atau sungai-sungai.

b. Sistem drainase mikro

Sistem drainase mikro yaitu sistem saluran dan buangan pelengkap

yang menampung dan mengalirkan air dari daerah tangkapan hujan.

Sistem drainase ini adalah saluran di sepanjang sisi jalan, saluran air di
12

sekitar bangunan, dan lainnya dimana jumlah air yang ditampung tidak

terlalu besar.

Sistem jaringan drainase merupakan bagian dari infrastruktur pada suatu

kawasan, drainase masuk pada kelompok infrastruktur air pada pengelompokan

infrastruktur wilayah, selain itu ada kelompok jalan, kelompok sarana

transportasi, kelompok pengelolaan limbah, kelompok bangunan kota, kelompok

energi dan kelompok telekomunikasi (Suripin, 2004 ).

Air hujan yang jatuh di suatu kawasan perlu dialirkan atau dibuang,

caranya dengan pembuatan saluran yang dapat menampung air hujan yang

mengalir di permukaan tanah tersebut. Sistem saluran di atas selanjutnya dialirkan

ke sistem yang lebih besar. Sistem yang paling kecil juga dihubungkan denga

saluran rumah tangga dan dan sistem saluran bangunan infrastruktur lainnya,

sehingga apabila cukup banyak limbah cair yang berada dalam saluran tersebut

perlu diolah (treatment). Seluruh proses tersebut di atas yang disebut dengan

sistem drainase (Kodoatie, 2003). Sistem drainase memiliki beberapa pola,

sebagai berikut:

1. Pola siku, yaitu pola yang dibuat pada daerah yang mempunyai

topografi sedikit lebih tinggi daripada sungai. Sungai sebagai saluran

pembuang akhir berada di tengah kota.

Saluran Utama

Saluran Cabang

Gambar 2.1 Jaringan Drainase Siku


Sumber: Fadli, 2017
13

2. Pola Paralel, yaitu pola yang saluran utama terletak sejajar dengan

saluran cabang. Dengan saluran cabang (sekunder) yang cukup banyak

dan pendek-pendek, apabila terjadi perkembangan kota, saluran-saluran

akan dapat menyesuaikan diri.

Saluran Utama

Saluran Cabang

Gambar 2.2 Jaringan Drainase Paralel


Sumber: Fadli, 2017

3. Pola Grid Iron, yaitu pola untuk daerah dimana sungainya terletak

dipinggir kota sehingga saluran-saluran cabang dikumpulkan dulu

disaluran pengumpul.

Saluran Utama

Saluran Cabang

Gambar 2.3 Jaringan Drainase Grid Iron


Sumber: Fadli, 2017

4. Pola Alamiah, yaitu pola yang sama seperti pola siku, hanya sungai

pada pola alamiah lebih besar.

Saluran Utama

Saluran Cabang

Gambar 2.4 Jaringan Drainase Alamiah


Sumber: Fadli, 2017
14

5. Pola Radial, yaitu pola yang ada pada daerah berbukit, sehingga pola

saluran memencar ke segala arah.

Saluran Cabang

Gambar 2.5 Jaringan Drainase Radial


Sumber: Fadli, 2017

6. Pola Jaring-jaring, yaitu pola yang mempunyai saluran-saluran

pembuang yang mengikuti arah jalan raya dan cocok untuk daerah

dengan topografi datar.

Saluran Utama

Saluran Cabang

Gambar 2.6 Jaringan Drainase Jaring-Jaring


Sumber: Fadli, 2017

2.5 Analisa Hidrologi

Hidrologi merupakan salah satu dari ilmu pengetahuan bumi (earth

science), yang mempelajari secara mendalam mengenai air di bumi atau bidang

pengetahuan yang mempelajari/membahas kejadian-kejadian serta penyebab air

alamiah di bumi. Analisis hidrologi merupakan bidang yang sangat rumit dan

kompleks. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian dalam hidrologi, keterbatasan

teori dan rekaman data dan keterbatasan ekonomi. Hujan adalah kejadian yang

tidak dapat diprediksi. Artinya, kita tidak dapat memprediksi secara pasti seberapa

besar hujan yang akan terjadi pada suatu periode waktu (Suripin, 2004).

Pembahasan itu meliputi terjadinya (occurance), peredaran atau

sirkulasinya (circulatioan) dan penyebarannya (distribution) air di bumi.


15

Perhitungan hidrologi disini adalah perhitungan debit banjir yang merupakan

pegangan pokok dalam merencanakan/mendesain saluran drainase. Pekerjaan

hidrologi meliputi :

a. Pengumpulan data,

b. Persyaratan data dan metode analisa,

c. Perhitungan debit banjir.

2.5.1 Uji Homogenitas Data

Analisis frekuensi atas data hidrologi menuntut syarat tertentu untuk data

yang bersangkutan yaitu (Sri Harto, 1993) :

1. Harus seragam (homogeneous), data yang seragam berarti bahwa data

tersebut berasal dari populasi yang sama. Dalam arti lain, stasiun data

yang bersangkutan baik stasiun hujan maupun stasiun hidrometri harus

tidak dipindah, DAS tidak berubah menjadiDAS perkotaan maupun

tidak ada gangguan-angguan lain yang menyebabkan data yang

terkumpul menjadi lain sifatnya.

2. Independent, berarti bahwa sebaran data ekstrim tidak pernah terjadi

lebih dari satu kali.

3. Mewakili (representative), bahwa data harus mewakili untuk perkiraan

kejadian yang akan datang. Misalnya tidak akan terjadi perubahan

akibat ulah tangan manusia secara besar-besaran, tidak dibangun

kontruksi yang mengganggu pengukuran, seperti bangunan sadap,

perubahan tata guna lahan.

Uji t termasuk jenis uji homogenitas untuk sampel kecil. Sampel kecil

adalah dimana ukuran sampel N ≤ 30. Untuk mengetahui apakah dua sampel X1
16

dan X2 berasal dari populasi yang sama, maka tscore dihitung dengan rumus

(Soewarno, 1995).

| |
⁄ (2-1)
| |


| | (2-2)

Keterangan :

= rerata dari sampel X1,

= rerata dari sampel X2,

= simpangan dari sampel X1,

= simpangan dari sampel X2,

= ukuran dari sampel X1,

= ukuran dari sampel X2.

2.5.2 Curah Hujan Rata-Rata

Menurut Prastowo (2010), curah hujan yang turun pada suatu wilayah

akan berproses dalam bentuk evapotranspirasi, limpasan dan air tanah. Proses dan

besaran evapotranspirasi sangat tergantung pada kondisi penggunaan lahan untuk

pertanian, hutan dan tumbuhan lain. Mengingat hujan sangat bervariasi terhadap

tempat, maka untuk kawasan yang luas, satu alat penakar hujan belum tentu dapat

menggambarkan hujan wilayah tersebut. Dalam hal ini diperlukan hujan kawasan

yang diperoleh dari harga rata-rata curah hujan beberapa stasiun penakar hujan

yang ada di dalam atau disekitar kawasan tersebut. Curah hujan rata-rata dapat

dikerjakan melalui beberapa metode, yaitu:


17

1. Metode rata-rata aljabar

Merupakan metode yang paling sederhana dalam perhitungan hujan

kawasan. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa semua penakar hujan

mempunyai pengaruh yang setara. Curah hujan didapatkan dengan

mengambil rata-rata hitung (arithematic mean) dari penakaran pada

penakar hujan areal tersebut. Cara ini cocok untuk kawasan dengan

topografi kawasan rata atau datar, alat penakar hujan tersebar

merata/hampir merata dan data individual curah hujan tidak terlalu jauh

dari harga rata-ratanya. Hujan kawasan diperoleh dari persamaan:

1
 pi
P ( P1  P2  .....  p n )  i 1
(2-3)
n n

Keterangan :

P1,P2, ..., Pn = curah hujan di tiap titik pengamatan (mm),

n = jumlah titik-titik pengamatan.

Gambar 2.7 Metode Rata-Rata Aljabar


Sumber : Suripin, 2004

2. Metode Poligon Thiessen

Metode ini dikenal dengan metode rata-rata timbang (weighted mean).

Cara ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan

untuk mengakomodasi ketidak seragaman jarak. Daerah pengaruh


18

dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap

garis penghubung antara dua pos penakar terdekat. Diasumsikan bahwa

variasi hujan antara pos yang satu dengan lainnya adalah linier dan bahwa

sembarang pos dianggap dapat mewakili kawasan terdekat.

Hasil metode poligon Thiessen lebih akurat dibandingkan dengan

metode rata-rata aljabar. Cara ini cocok untuk daerah datar dengan luas

500-5.000 km2. Curah hujan daerah itu dapat dihitung dengan persamaan

sebagai berikut :

A1 R1  A2 R2  .....  An Rn
R
A1  A2  .....  An

A1 R1  A2 R2  .....  An Rn

A

 W1 R1  W2 R2  .....  Wn R n (2-4)

Keterangan :

R = curah hujan daerah (mm)

R1,R2, ..., Rn = curah hujan di tiap titik pengamatan (mm)

n = jumlah titik-titik pengamatan

A1,A2, ..., An = daerah yang mewakili tiap titik pengamatan

W1,W2, ..., Wn = A1/A, A2/A, ....., An/A

Gambar 2.8 Metode Poligon Thiessen


Sumber : Sosrodarsono, 1985
19

3. Metode Ishoyet

Metode ini merupakan metode yang paling akurat untuk menentukan

hujan rata-rata, namun diperlukan keahlian dan pengalaman. Cara ini

memperhitungkan secara aktual pengaruh tiap-tiap pos penakar hujan.

Dengan kata lain, asumsi metode Ishoyet yang menganggap bahwa tiap-

tiap pos penakar mencatat kedalaman yang sama untuk daerah sekitarnya

dapat dikoreksi. Hujan rata-rata DAS dihitung dengan persamaan berikut :

A1 R1  A2 R2  .....  An Rn
R (2-5)
A1  A2  .....  An

Keterangan:

R1,R2, ..., Rn = curah hujan di tiap titik pengamatan (mm)

A1,A2, ..., An =bagian daerah yang mewakili tiap titik pengamatan

Gambar 2.9 Metode Ishoyet


Sumber : Sosrodarsono, 1985

2.5.3 Analisis Frekuensi

Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan

disamai atau dilampaui. Maksudnya adalah pada suatu periode ulang dimana

hujan dengan suatu besaran tertentu akan disamai dan dilampaui. Analisis

frekuensi diperlukan seri data hujan, baik yang manual maupun yang otomatis.
20

Analisis frekuensi ini didasarkan pada sifat statistik data kejadian yang telah lalu

untuk memperoleh probabilitas besaran hujan di masa yang akan datang masih

sama dengan sifat statistik kejadian hujan masa lalu.

Ada dua macama seri data yang dipergunakan dalam analisis frekuensi,

yaitu :

1. Data maksimum tahunan

Data yang digunakan adalah satu data besaran maksimum tiap tahun

yang dianggap berpengaruh pada analisis selanjutnya. Jumlah data dalam

seri akan sama dengan panjang data yang tersedia, dalam cara ini besaran

data maksimum kedua dalam suatu tahun yang mungkin lebih besar dari

besaran data maksimum dalam tahun yang lain tidak diperhitungkan

pengaruhnya dalam analisis. Hal ini oleh beberapa pihak dianggap kurang

realistis, apalagi jika diingat bahwa perhitungan permulaan tahun hidrologi

tidak selalu seragam, ada yang berdasar musim ada pula yang mengikuti

kalender masehi. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan

menggunakan cara seri parsial.

2. Seri parsial

Dengan menetapkan suatu besaran tertentu sebagai batas bawah,

selanjutnya semua besaran data yang lebih besar dari batas bawah tersebut

diambil dan dijadikan bagian seri data untuk kemudian dianalisis seperti

biasa. Pengambilan batas bawah dapat dilakukan dengan sistem peringkat,

dimana semua besaran data yang cukup besar diambil, kemudian diurutkan

dari besar ke kecil. Data yang diambil untuk analisis selanjutnya adalah

sesuai dengan panjang data dan diambil dari besaran data yang paling
21

besar. Dalam hal ini dimungkinkan dalam satu tahun data yang diambil

lebih dari satu data, sementara tahun yang lain tidak ada data yang diambil.

Dalam ilmu statistik ada beberapa macam distribusi frekuensi dan empat

jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi adalah :

1) Distribusi Normal

2) Distribusi Log Normal

3) Distribusi Log Person III

4) Distribusi Gumbel

Dalam statistik ada beberapa parameter berkaitan dengan analisis data

yang meliputi rata-rata, simpangan baku, koefisien variasi, dan koefisien skewness

(kecondongan atau kemencengan).

Tabel 2.3 Parameter Statistik


Parameter Sampel
Rata-rata
̅ ∑

Simpangan baku
[ ∑( ̅) ]

Koefisien variasi
̅
Koefisien skewness ∑ ( ̅)
( ) ( )
Sumber: Suripin, 2004

Pada kenyataannya bahwa tidak semua varian dari suatu variabel hidrologi

terletak atau sama dengan nilai rata-ratanya. Variasi atau dispersi adalah besarnya

derajat dari sebaran varian disekitar nilai rata-ratanya cara lain untuk analisis

frekuensi dan probabilitas. Cara mengukur besarnya dispersi disebut pengukuran

dispersi, adapun cara pengukuran dispersi, antara lain :


22

1. Deviasi Standard (S)

∑ ( ̅)
Persamaan : √ (2-6)

Keterangan :

S = deviasi standard,

Xi = nilai varian ke i,

X = nilai rata-rata varian

n = jumlah data

2. Koefesien Skewness (CS)

Kemecengan (Skewness) adalah suatu nilai yang menunjukan derajat

ketidaksimetrisan dari suatu bentuk distribusi.

∑ ( ̅)
Persamaan : ( )( )
(2-7)

Keterangan :

CS = Koefisien skewness,

Xi = nilai varian ke i,

X = nilai rata-rata varian

n = jumlah data

S = deviasi standar

3. Pengukuran Kurtosis

Pengukuran kurtosis dimaksudkan untuk mengatur keruncingan dari

bentuk kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi

normal.

∑ ( ̅)
Persamaan : ( ) ( ) ( )
(2-8)
23

Keterangan :

Ck = Koefisien kurtosis,

Xi = nilai varian ke i,

X = nilai rata-rata varian

n = jumlah data

S = deviasi standar

4. Koefisien Variasi

Koefisien variasi adalah nilai perbandingan antara deviasi standar

dengan nilai rata-rata hitung suatu distribusi.

Persamaan : ̅
(2-9)

Keterangan :

Cv = koefisien variasi

̅ = nilai rata-rata varian

2.5.4 Uji Kesesuaian Distribusi

Uji kesesuaian (testing of goodness of fit) sangat dibutuhkan untuk

menguji sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang direncanakan dapat

mewakili distribusi sample data yang di analisa. Pengujian dengan uji kesesuaian

(testing of goodness of fit) dapat dilakukan dengan dua cara yaitu uji smirnov

kolmograf dan uji chi-kuadrat.

1. Uji Smirnov-Kolmograf

Uji Smirnov-Kolmograf sering disebut juga uji kecocokan non

parametrik, karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi

tertentu (Suripin, 2004). Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan

peluang yang paling maksimum antara distribusi empiris dan distribusi


24

teoritis yang di sebut Δmaks. Kemudian dilakukan pengujian dengan

membandingkan probabilitas tiap data, antara sebaran empiris & sebaran

teoritis, yang dinyatakan dalam . Distribusi dianggap sesuai jika:  maks

<  kritis.

Persamaan yang digunakan adalah (Shahin,1976:188) sebagai berikut:

[ ] (2-10)

Keterangan:

maks = selisih maksimum antara peluang empiris dan teoritis,

cr = simpangan kritis (dari tabel),

Pe, Pt = peluang empiris, peluang teoritis.

Tahapan uji ini adalah sebagai berikut:

1. Data hujan harian maksimum tahunan disusun dari besar ke kecil

2. Hitung probabilitasnya dengan rumus Weilbull (Sri Harto, 1993:179) :

m
P= x100% (2-10.1)
n 1

Keterangan:

P = probabilitas (%),

m = nomor urut data,

n = jumlah data.

3. Mencari nilai G dengan rumus:

̅̅̅̅̅̅̅̅
(2-10.2)

4. Mencari harga Pr melalui tabel distribusi Log Person Tipe III.

5. Menghitung nilai Pt dengan rumus:


25

(2-10.3)

6. Menghitung selisih Pe dan Pt dengan rumus:

[ ]

7. Mencari nilai melalui tabel Smirnov Kolmograf (hubungan antara

jumlah data (n) dengan probabilitas)

8. Membandingkan nilai dengan . Jika < berarti uji

ini berhasil dan jika > berarti gagal.

Peluang untuk mencapai nilai Δmaks sama atau lebih besar dari pada

nilai kritis (Δcr) dapat dilihat pada tabel 2.4, yaitu tabel nilai kritis (cr)

Smirnov-Kolmograf.

Tabel 2.4 Nilai Kritis (cr) Smirnov-Kolmograf


Level of Significance (%)
Ukuran
Sampel (n)
20 15 10 5 1
Ukuran Level of Significance (%)
Sampel
1 0,900 0,925 0,950 0,975 0,995
20 15 10 5 1
2 (n) 0,684 0,726 0,776 0,842 0,929
3 1 0,900
0,565 0,925
0,597 0,950
0,642 0,975
0,708 0,995
0,829
4 2 0,684
0,494 0,726
0,525 0,776
0,564 0,842
0,624 0,929
0,734
5 3 0,565
0,446 0,597
0,474 0,642
0,510 0,708
0,563 0,829
0,669
6 4 0,494
0,410 0,525
0,436 0,564
0,470 0,624
0,521 0,734
0,618
7 5 0,446
0,381 0,474
0,405 0,510
0,438 0,563
0,486 0,669
0,577
8 6 0,410
0,358 0,436
0,381 0,470
0,411 0,521
0,457 0,618
0,543
9 7 0,381
0,339 0,405
0,360 0,438
0,388 0,486
0,432 0,577
0,514
10 8 0,358
0,322 0,381
0,342 0,411
0,368 0,457
0,409 0,543
0,486
11 9 0,339
0,307 0,360
0,326 0,388
0,352 0,432
0,391 0,514
0,468
12 10 0,322
0,295 0,342
0,313 0,368
0,338 0,409
0,375 0,486
0,450
13 11 0,307
0,284 0,326
0,302 0,352
0,325 0,391
0,361 0,468
0,433
14 12 0,274
0,295 0,292
0,313 0,314
0,338 0,349
0,375 0,418
0,450
15 13 0,266
0,284 0,283
0,302 0,304
0,325 0,338
0,361 0,404
0,433
16 14 0,258
0,274 0,274
0,292 0,295
0,314 0,328
0,349 0,391
0,418
17 15 0,250
0,266 0,266
0,283 0,286
0,304 0,318
0,338 0,380
0,404
16 0,258 0,274 0,295 0,328 0,391
17 0,250 0,266 0,286 0,318 0,380
18 0,244 0,259 0,278 0,309 0,370
19 0,237 0,252 0,272 0,301 0,361
26

Ukuran Level of Significance (%)


Sampel (n) 20 15 10 5 1
18 0,244 0,259 0,278 0,309 0,370
19 0,237 0,252 0,272 0,301 0,361
20 0,231 0,246 0,264 0,294 0,352

Rumus
Asimtotik √ √ √ √ √

Sumber: Soewarno, 1995

2. Uji Chi-Square

Uji Chi Square digunakan untuk menguji distribusi pengamatan, apakah

sampel memenuhi syarat distribusi yang diuji atau tidak. Uji Chi Square

memiliki persamaan sebagai berikut:

( )
∑ (2-11)

Keterangan:

Fe = frekuensi pengamatan kelas,

Ft = frekuensi teoritis kelas,

K = jumlah kelas.

Adapun prosedur perhitungan uji Chi Square adalah sebagai berikut

(Soewarno, 1995):

1. Menghitung banyaknya kelas dengan menggunakan rumus:

( ) (2-11.1)

Keterangan:

k = jumlah kelas,

n = banyaknya data.

2. Membuat kelompok-kelompok kelas sesuai dengan jumlah kelas.


27

3. Menghitung frekuensi pengamatan (Ft).

4. Mencari besarnya curah hujan yang masuk dalam batas kelas (Fe).

5. Menghitung X2 dari rumus:

( )
∑ (2-11.2)

6. Menentukan X2 dari tabel dengan menentukan taraf signifikan (α) dan

derajat kebebasan (Df)

7. Menyimpulkan hasil perhitungan apabila X2 hitung < X2cr maka

distribusi terpenuhi dan apabila nilai X2 hitung > X2cr maka distribusi

tidak terpenuhi.

Peluang untuk mencapai nilai X2 hitung sama atau lebih besar dari

pada nilai kritis dapat dilihat pada tabel 2.5, yaitu tabel nilai kritis Chi-

Square.

Tabel 2.5 Nilai Kritis untuk Distribusi Chi-Square


k
Derajat Kepercayaan
d
t t t t t t t t
0,995 0,99 0,975 0,95 0,05 0,025 0,01 0,005

1 0,039 0,016 0,098 0,393 3,841 5,024 6,635 7,879

2 0,100 0,201 0,506 0,103 5,991 0,738 9,210 10,597

3 0,717 0,115 0,216 0,352 7,815 9,348 11,345 12,838

4 0,207 0,297 0,484 0,711 9,488 11,143 13,277 14,860

5 0,412 0,554 0,831 1,145 11,070 12,832 15,086 16,750

6 0,676 0,872 1,237 1,635 12,592 14,449 16,812 18,548

7 0,989 1,239 1,690 2,167 14,067 16,013 18,475 20,278

8 1,344 1,646 2,180 2,733 15,507 17,535 20,090 21,955

9 1,735 2,088 2,700 3,325 16,919 19,023 21,666 23,589

10 2,156 2,558 3,247 3,940 18,307 20,483 23,209 25,188

11 2,603 3,053 3,816 4,575 19,675 21,920 24,725 26,757

12 3,074 3,571 4,404 5,226 21,026 23,337 26,217 28,300


28

k
Derajat Kepercayaan
d
t t t t t t t t
0,995 0,99 0,975 0,95 0,05 0,025 0,01 0,005

13 3,565 4,107 5,009 5,892 22,362 24,736 27,688 29,819

14 4,075 4,660 5,629 6,571 23,685 26,119 29,141 31,319

15 4,601 5,229 6,262 7,261 24,996 27,488 30,578 32,801


16 5,142 5,812 6,908 7,962 26,296 28,845 32,000 34,267

17 5,697 6,408 7,564 8,672 27,587 30,191 33,409 35,718

18 6,265 7,015 8,231 9,390 28,869 31,526 34,805 37,156

19 6,884 7,633 8,907 10,117 30,144 32,852 36,191 38,582

20 7,434 8,260 9,591 10,851 31,410 34,170 37,566 39,997

21 8,034 8,897 10,283 11,591 32,671 35,479 38,932 41,401

22 8,643 9,542 10,982 12,338 33,924 36,781 40,289 42,796

23 9,260 10,196 11,689 13,091 36,172 38,076 41,638 44,181

24 9,886 10,856 12,401 13,848 36,415 39,364 42,980 45,558

25 10,520 11,524 13,120 14,611 37,652 40,646 44,314 46,928

26 11,160 12,198 13,844 15,379 38,885 41,923 45,642 48,290

27 11,808 12,879 14,573 16,151 40,113 43,194 46,963 49,645

28 12,461 13,565 15,308 16,928 41,337 44,461 48,278 50,993

29 13,121 14,256 16,047 17,708 42,557 45,722 49,588 52,336

30 13,787 14,953 16,791 18,493 43,773 46,979 50,892 53,672

Sumber: Soewarno, 1995

2.5.5 Analisa Intensitas Hujan

Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan persatuan waktu.

Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya

cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula

intensitasnya. Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, data hujan harian

dapat digunakan untuk menghitung intensitas hujan dengan rumus Mononobe.

Untuk intensitas hujan dengan rumus Ishiguro (Suripin 2004).


29

1. Rumus Talbot (1881)

Untuk hujan dengan waktu < 2 jam, Prof. Talbot (1881), memberikan

rumus :

(2-12)

I = intensitas curah hujan (mm/jam),

T = lamanya hujan (jam),

a,b = konstanta yang tergantung pada lamanya hujan yang terjadi di

DAS.

2. Rumus Sherman (1905)

Untuk hujan dengan waktu >2 jam, Prof. Sherman (1905), memberikan

rumus :

(2-13)

I = intensitas curah hujan (mm/jam),

t = lamanya hujan (jam),

a = konstanta yang tergantung pada lamanya hujan yang terjadi di DAS,

n = konstanta.

3. Rumus Ishiguro (1953)

Rumus dikembangkan oleh Dr. Ishiguro (1953), menjadi rumus :

(2-14)

30

I = intensitas curah hujan (mm/jam),

t = lamanya hujan (jam),

a,b = konstanta yang tergantung pada lamanya hujan yang terjadi.

4. Rumus Mononobe

Rumus diatas dikembangkan lagi oleh Mononobe, menjadi rumus :


* + (2-15)

I = intensitas curah hujan (mm/jam),

t = lamanya hujan (jam),

= lamanya curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm).

2.5.6 Metode Perhitungan Curah Hujan

Metode yang umumnya digunakan untuk perhitungan curah hujan rencana

ini adalah Metode Gumbel, Metode Log-Person Type III, Metode Weduwen, dan

Metode Haspers.

1. Metode Gumbel

̅ (2-16)

Keterangan :

= curah hujan rencana dengan periode ulang t tahun,

= curah hujan rata-rata (mm),

= standar devisiasi,

= faktor frekuensi Gumbel = ( ) (2-16.1)


31

2. Metode Distribusi Log Person Tipe III

Langkah-langkah dalam metode distribusi log-person tipe III yang

diperlukan adalah sebagai berikut :

1) Mengganti data X1, X2, X3, ...., Xn menjadi data dalam logaritma,

yaitu : ln X1, ln X2, ln X3, ...., ln Xn.

2) Menghitung rata-rata dari logaritma data tersebut


̅̅̅̅̅̅̅ (2-16.2)

Keterangan:

̅̅̅̅̅̅̅ = log curah hujan rata-rata (mm),

Log = log curah hujan rata-rata maksimum harian (mm),

= jumlah data curah hujan.

3) Menghitung standar devisiasi

̅̅̅̅̅̅̅
̅)
√∑ (
(2-16.3)

4) Menghitung koefisien kemencengan

∑ ( ̅)
(2-16.4)
( ) ( )

Keterangan:

= koefisien kemencengan,

= standar deviasi,

X = curah hujan rata-rata (mm),

= curah hujan rata-rata maksimum harian (mm),

= jumlah data curah hujan.


32

5) Menghitung besarnya curah hujan rancangan dengan kala ulang

yang telah ditentukan.

̅̅̅̅̅̅̅ ( ) (2-16.5)

Harga G adalah harga untuk setiap nilai harga g dan interval

pengulangan atau kemungkinan prosentase yang dipilih dan dapat

diambil dari tabel. Sedangkan Log Xt adalah logaritma curah hujan

rencana yang mempunyai interval pengulangan atau kemungkinan

prosentase yang sama.

3. Metode Wedeuwen

Dalam menghitung curah hujan harian maksimum dengan Metode

Weduwen, rumus yang digunakan adalah :

(2-17)

Keterangan:

= curah hujan maksimum (mm),

= waktu curah hujan (jam).

4. Metode Haspers

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

(2-18)

(2-18.1)

Keterangan:

= curah hujan maksimum (mm),


33

= curah hujan dengan kala ulang T tahun (mm),

= waktu curah hujan (jam),

= curah hujan maksimum rata-rata (mm),

= standar deviasi,

= variable simpangan untuk kala ulang T tahun.

2.5.7 Koefisien Aliran Permukaan

Aliran permukaan adalah proses pergerakan air di atas permukaan tanah

menuju ke aliran utama yaitu sungai dan danau. Air tidak terinfiltrasi ke dalam

tanah atau tergenang di permukaan tanah, tetapi mengalir di atas pemukaan tanah.

Nilai C yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi

aliran permukaan. Nilai C yang besar sebenarnya kurang menguntungkan karena

semakin besar jumlah air hujan yang menjadi aliran permukaan, maka ancaman

terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar.

Perhitungan koefisien pengaliran menggunakan rumus sebagi berikut:

(2-19)

Keterangan:

C = harga rata-rata koefisien pengaliran,

= koefisien pengaliran tiap daerah,

= luas masing-masing daerah (Ha).

Tabel 2.6 Koefisien Aliran Permukaan (C) pada Tiap Penggunaan Lahan
Tipe Daerah Aliran Jenis Tanah Harga C
Perumputan Tanah pasir, datar, 2% 0,05-0,10
Tanah pasir, rata-rata, 2-7% 0,10 - 0,15
Tanah pasir, curam, 7% 0,15 - 0,20
34

Tanah gemuk, datar, 2% 0,13 - 0,17


Tanah gemuk, rata-rata, 2-7% 0,18 - 0,22
Tanah gemuk, curam, 7% 0,25 - 0,35
Bisnis Daerah kota lama 0,75 - 0,95
Daerah pinggiran 0,50 - 0,70
Perumahan Daerah “single family” 0,30 - 0,50
“Multi unit”, terpish-pisah 0,40-0,60
“Multi unit”, tertutup 0,60-0,75
Suburban 0,25-0,40
Daerah rumah-rumah apartemen 0,50-0,70
Industri Daerah ringan 0,50-0,80
Daerah berat 0,60-0,90
Jalan Beraspal 0,70-0,95
Beton 0,80-0,95
Batu 0,70-0,85
Pertamanan, kuburan 0,10-0,25
Tempat bermain 0,20-0,35
Halaman kereta api 0,20-0,40
Daerah yang tidak dikerjakan 0,10-0,30
Untuk berjalan dan naik kuda 0,75-0,85
Atap 0,75-0,95
Sumber: Subarkah, 1980

2.5.8 Waktu Konsentrasi

Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang diperlukan oleh air

hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat keluaran DAS

(titik kontrol) setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi.

Dalam hal ini diasumsikan bahwa jika durasi hujan sama dengan waktu

konsentrasi, maka setiap bagian DAS secara serentak telah menyumbangkan

aliran terhadap titik kontrol. Untuk debit banjir perkotaan waktu konsentrasi (Tc)
35

terdiri dari waktu yang diperlukan bagi air untuk mengalir di atas permukaan

tanah ke saluran terdekat (To) dan waktu yang diperlukan bagi air mengalir di

saluran sampai ke titik yang di tinjau (Td).

Tc = To + Td (2-20.1)

Salah satu metode untuk memperkirakan waktu konsentrasi adalah rumus yang

dikembangkan oleh Kirpich (1940), sebagai berikut

( ) ( ) (2-20.2)

Keterangan:

tc = waktu konsentrasi (jam),

L = panjang panjang saluran utama dari hulu sampai penguras (m),

S = kemiringan rata-rata saluran utama.

2.5.9 Periode Ulang

Dalam perencanaan saluran drainase periode ulang yang dipergunakan

tergantung dari fungsi saluran serta daerah tangkapan hujan yang akan

dikeringkan. Penentuan periode ulang juga didasarkan pada

pertimbanganekonomis. Berdasarkan prinsip dalam penyelesaian masalah

drainase perkotaan dari aspek hidrologi, sebelum dilakukan analisa frekuensi

untuk mendapatkan besaran hujan dengan kala ulang tertentuharus dipersiapkan

rangkaian data hujan berdasarkan pada durasi hujan harian, jam-jaman atau

menitan.

Karakteristik hujan menunjukkan bahwa hujan yang turun dengan besaran

tertentu mempunyai periode ulang tertentu. Besar debit banjir bergantung pada

periode ulangnya. Makin besar harga periode ulangnya, makin besar pula

kemungkinan debit banjir yang terjadi. Periode ulang hujan untuk setiap daerah
36

pengaliran berbeda – beda, seperti terlihat pada tabel 2.7 dan tabel 2.8 dibawah

ini.

Tabel 2.7 Harga Periode Ulang Hujan Berdasarkan Tata Guna Tanah
Tipe Saluran Tata Guna Tanah Periode Ulang
(Tahun)
Permukaan Daerah pemukiman 2
Daerah Komersil 5
Daerah industri 5
Utama Seluruh saluran sub makro 5 – 10
Seluruh saluran makro 10-25
Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI T-07-1990-F)

Tabel 2.8 Luas Daerah Tangkapan (Catchment Area) dan Periode Ulang
Kelas Kota CA < 10 CA 10 – 100 CA 100 – 500 CA > 500
ha ha ha ha
Metropolitan 2 5 10 25
Besar 2 5 5 15
Sedang 2 5 5 10
Kecil 2 2 2 5
Sumber: Standar Nasional Indonesia (SNI T-07-1990-F)

2.5.10 Debit Banjir Rancangan

Menurut Suripin (2004), curah hujan berlebih akan diturunkan dalam

bentuk limpasan dan pengisian air tanah. Besarnya limpasan sebanding dengan

proporsi koefisien limpasan pada wilayah tersebut sedangkan besarnya pengisian

air tanah merupakan sisa nilai curah hujan yang tidak menjadi limpasan. Metode

untuk memperkirakan laju aliran permukaan puncak yang umum digunakan

adalah metode rasional. Metode rasional dikembangkan berdasarkan asumsi

bahwa hujan yang terjadi mempunyai intensitas seragam dan merata di seluruh

DAS selama paling sedikit sama dengan waktu konsentrasi (tc) DAS. Persamaan

matematik metode rasional dinyatakan dalam persamaan.

Q = 0,278 x C x I x A (2-21)
37

Keterangan:

Q = laju aliran permukaan (m3/dt),

C = koefisien limpasan,

I = intensitas hujan (mm/jam),

A = luas daerah pengaliran (Km2).

2.6 Analisa Hidrolika

Zat cair dapat diangkut dari suatu tempat ke tempat lain melalui bangunan

pembawa alamiah ataupun buatan manusia. Bangunan pembawa ini dapat terbuka

maupun tertutup bagian atasnya. Saluran yang tertutup bagian atasnya disebut

saluran tertutup (closed conuits), sedangkan yang terbuka bagian atasnya disebut

saluran terbuka (open channels). Sungai, saluran irigasi, selokan, estuari

merupakan saluran terbuka, sedangkan terowong, pipa, aquaduct, gorong-gorong,

dan siphon merupakan saluran tertutup (Suripin, 2004).

2.6.1 Tipe Aliran

Aliran permukaan bebas dapat diklasifikasi menjadi berbagai tipe

tergantung kriteria yang digunakan. Berdasarkan perubahan kedalaman dan/atau

kecepatan mengikuti fungsi waktu, maka aliran dibedakan menjadi aliran

permanen (steady) dan tidak permanen (unsteady), sedangkan berdasarkan fungsi

ruang, maka aliran dibedakan menjadi aliran seragam (uniform) dan tidak seragam

(non-uniform).

2.6.1.1 Aliran Permanen dan Tidak Permanen

Jika kecepatan aliran pada suatu titik tidak berubah terhadap waktu, maka

alirannya disebut aliran permanen atau tunak (steady flow), jika kecepatan pada
38

suatu lokasi tertentu berubah terhadap waktu, maka alirannya disebut aliran tidak

permanen atau tidak tunak (unsteady flow). Dalam hal-hal tertentu dimungkinkan

mentransformasikan alliran tidak permanen menjadi aliran permanen dengan

mengacu pada koordinatreferensi yang bergerak. (Suripin, 2004).

2.6.1.2 Aliran Seragam dan Berubah

Jika kecepatan aliranpada suatu waktu tidak berubah sepanjang saluran

yang dintinjau, maka alirannya disebut aliran seragam (uniform flow). Namun,

jika kecepatan aliran pada saat tertentuberubah terhadap jarak, maka alirannya

disebut aliran tidak seragam atau aliranberubah (nonuniform flow or varied flow).

Berdasarkan laju perubahan kecepatan terhadap jarak, maka aliran dapat

diklasifikasikan menjadi aliran berubah lambat laun (gradually varied flow) atau

aliran berubah tiba-tiba (rapidly varied flow) (Suripin, 2004).

2.6.1.3 Aliran Laminer dan Turbulen

Jika partikel zat cair yang bergerak mengikuti alur tertentu dan aliran

tampak seperti gerakan serat-serat atau lapisan-lapisan tipis yang pararel, maka

alirannya disebut aliran laminer. Sebaliknya, jika partikel zat cair bergerak

mengikuti alur yang tidak beraturan, baik ditinjau terhadap ruang maupun waktu,

maka alirannya disebut aliran turbulen.

Faktor yang menentukan keadaan aliran adalah pengaruh relatif antara

gaya kekentalan (viskositas) dan gaya inersia. Jika gaya viskositas yang dominan,

maka alirannya laminer, sedangkan jika gaya inersia yang dominan, maka

alirannya turbulen. Nisbah antara gaya kekentalan dan inersia dinyatakan dalam

bilangan Reynold (Re), yang didefinisikan seperti rumus berikut:


39

(2-22)

Keterangan:

V = kecepatan aliran (m/dt),

L = panjang karakteristik (m), pada saluran muka air bebas L=R

R = jari-jari hidraulik saluran,

v = kekenalan kinematik (m2/dt).

2.6.1.4 Aliran Subkritis, Kritis dan Superkritis

Aliran dikatakan kritis apabila kecepatan aliran sama dengan kecepatan

gelombang gravitasi dengan amplitudo kecil. Gelombang gravitasi dapat

dibangkitkan dengan merubah kedalaman. Jika kecepatan aliran lebih kecil

daripada kecepatan kritis, maka aliran disebut subkritis, sedangkan jika kecepatan

alirannya lebih besar daripada kecepatan kritis, maka alirannya disebut superkritis.

Parameter yang menentukan ketiga jenis aliran tersebut adalah nisbah

antara gaya grafitasi dan gaya inertia, yang dinyatakan dalam bilangan Froude

(Fr). Bilangan Froude untuk saluran berbentuk persegi didefinisikan sebagai:

(2-23)

Keterangan:

V = kecepatan aliran (m/dt),

h = kedalaman aliran (m),

g = percepatan gravitasi (m2/dt).

2.6.2 Penampang Saluran

Potongan melintang saluran yang paling ekonomis adalah saluran yang

dapat melewatkan debit maksimum untuk luas penampung basah, kekasaran, dan
40

kemiringan dasar tertentu. Berdasarkan persamaan kontinuitas, tampak jelas

bahwa untuk luas penampang melintang tetap, debit maksimum dicapai jika

kecepatan aliran maksimum. Dari rumus Manning maupun Chezy dapat dilihat

bahwa untuk kemiringan dasar dan kekasaran tetap, kecepatan maksimum dicapai

jika jari-jari hidroulik (R), maksimum. Selanjutnya, untuk luas penampung tetap,

jari-jari hidroulik maksimum jika keliling basah (p), minimum. Kondisi seperti

yang telah kita pahami tersebut memberi jalan untuk menentukan dimensi

penampang melintang saluran yang ekonomis untuk berbagai macam bentuk.

Untuk merencanakan dimensi penampang pada saluran drainase digunakan rumus

aliran seragam. Aliran seragam mempunyai sifat – sifat sebagai berikut :

a. Dalam aliran, luas penampang lintang aliran, kecepatan aliran serta

debit selalu tetap pada setiap penampang melintang

b. Garis energi dan dasar saluran selalu sejajar

Bentuk penampang saluran drainase dapat merupakan saluran terbuka

maupun saluran tertutup tergantung kondisi daerahnya. Rumus kecepatan rata –

rata pada perhitungan dimensi penampang saluran menggunakan rumus Manning,

karena rumus ini mempunyai bentuk yang sederhana tetapi memberikan hasil

yang memuaskan. Oleh karena itu, rumus ini luas penggunaanya sebagai rumus

aliran seragam dalam kapasitas saluran (Chow,1989).

V = 1/n. R2/3.S1/2

Q = A.V = A.1/n. R2/3.S1/2 (2-24)

Keterangan :

Q = debit saluran (m3/dt),

V = kecepatan aliran (m/dt),


41

A = luas penampang basah saluran (m2),

n = angka kekasaran saluran (m),

R = jari – jari hidrolis saluran (m),

S = kemiringan dasar saluran.

Rumus ini merupakan bentuk yang sederhana namun memberikan hasil

yang tepat, sehingga penggunaan rumus ini sangat luas dalam aliran seragam

untuk perhitungan dimensi saluran. Gambar penampang saluran disajikan pada

gambar 2.10 Koefisien kekasaran „n‟ Manning dapat diperoleh dari Tabel 2.9

dengan memperhatikan faktor bahan pembentuk saluran.

Gambar 2.10 Persamaan untuk Saluran Drainase


Sumber: Materi perkuliahan Rekayasa Hidrologi, UNISMA
42

Tabel 2.9 Nilai Kekasaran Manning (n)


Tipe Saluran n
A. Saluran Tertutup Terisi Sebagian
1. Gorong-gorong dari beton lurus dan 0,010 – 0,013
bebas kikisan
2. Gorong-gorong dengan belokan dan 0,011 – 0,014
sambungan
3. Saluran pembuang lurus dari beton
0,013 – 0,017
4. Pasangan bata dilapisi dengan semen
0,011 – 0,014
5. Pasangan batu kali disemen
0,015 – 0,017
B. Saluran dilapis atau disemen
1. Pasangan bata disemen 0,012 – 0,018
2. Beton dipoles 0,013 – 0,016
3. Pasangan batu kali disemen 0,017 – 0,030
4. Pasangan batu kosong 0,023 – 0,035
Sumber: Ven Te Chow, 1997

2.6.3 Distribusi Kecepatan

Kecepatan aliran dalam saluran biasanya sangat bervariasi dari satu titik ke

titik lainnya. Hal ini disebabkan adanya tegangan geser di dasar dan dinding

saluran dan keberadaan permukaan bebas. Gambar 2.11 memperlihatkan tipikal

distribusi kecepatan pada beberapa tipe potongan melintang saluran.

Gambar 2.11 Distribusi Kecepatan pada Berbagai Bentuk


Sumber: Suripin, 2004
43

2.6.4 Kemiringan Saluran

Kemiringan saluran adalah kemiringan dasar saluran dan dinding saluran.

Dasar saluran arah memanjang yang pada umumnya dipengaruhi oleh kondisi

topografi serta tinggi tekanan yang diperlukan untuk mendapatkan pengaliran

sesuai dengan kecepatan yang diinginkan. Kemiringan dinding saluran tergantung

pada jenis material yang membentuk tubuh saluran. Faktor lain yang perlu

dipertimbangkan dalam menentukan kemiringan adalah cara pengerjaan,

kehilangan akibat rembesan, perubahan iklim dan lain sebagainya.

Tabel 2.12 Kemiringan Dinding Saluran


Bahan Saluran Kemiringan Saluran
Batu Hampir tegak lurus
Tanah Gambut, rawa 0,25:1
Lempung teguh atau tanah berlapis
0,5:1
beton
Tanah berlapis batu atau tanah bagi
1:1
saluran yang besar
Lempung kaku atau tanah bagi parit
1,5:1
kecil
Tanah berlapis lepas 2:1
Lempung berpasir atau lempung
3:1
berpori
Sumber: Suripin, 2004

2.6.5 Tinggi Jagaan

Hal-hal yang mempengaruhi besarnya nilai tinggi jagaan pada saluran

pembuang adalah besarnya debit banjir, penimbunan sedimen di dasar saluran,

berkurangnya penampang efisien hidrolik karena tumbuhnya tanaman, penurunan

tebing dan kelebihan jumlah aliran selama terjadinya hujan. Besarnya jagaan yang

umumnya dipakai dalam perencanaan berkisar antara 5% sampai 30% dari

dalamnya aliran. Sedangkan secara praktis besarnya tinggi jagaan yang diambil

berdasarkan debit banjir, seperti pada tabel berikut :


44

Tabel 2.13 Hubungan Debit dengan Tinggi Jagaan Saluran Pembuang


Debit Banjir Tinggi Jagaan Tinggi Jagaan
3
(m /dt) Tanggul (m) Pasangan (m)
<0,05 0,40 0,20
0,05-1,50 0,50 0,20
1,50-5,00 0,60 0,25
5,00-10,00 0,75 0,30
10,00-15,00 0,85 0,40
>15,00 1,00 0,50
Sumber: Kriteria Perencanaan Saluran KP-03, Standar Perencanaan Irigasi DPU, 1986.

2.6.6 Kecepatan Maksimum yang Diijinkan

Jika kecepatan rata-rata yang dipilih lebih kecil dari kecepatan maksimum

yang diijinkan, maka saluran dianggap stabil. Kebanyakan investigator dalam

menentukan kecepatan yang diijinkan dengan mengkaitkan dengan tekstur tanah.

Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif dari berbagai golongan besar

partikel tanah dalam suatu massa tanah, terutama perbandingan antara fraksi-

fraksi liat, lempung dan pasir. Yang tergolong material tanah adalah partikel

mineral yang mempunyai diameter lebih kecil dari 2 mm, atau lebih kecil dari

kerikil (tabel 2.14). Jadi, partikel tanah meliputi pasir, lempung atau geluh, dan

liat. Distribusi partikel tanah ditentukan dengan saringan untuk partikel yang lebih

besar dari lempung dan ditentukan dengan hygrometeruntuk partikel halus liat.

Tekstur tanah dikelompokkan kedalam 12 kelas tekstur menurut USDA

sebagaimana tertera pada gambar 2.12

Tabel 2.14 Klasifikasi Butir-Butir Primer Tanah


Diameter
Kelas
mm mm Phi
Krakal >100 >100 100000
Kasar 10-100 10-100 10000-100000
Kerikil
Sedang 5-10 5-10 5000-10000
Halus 2-5 2-5 2000-5000
Sangat kasar 2-1 2-1 2000-1000
Kasar 1- 1/2 1,0-0,5 1000-500
2-31Pasir Sedang 1/2-1/4 0,50-0,25 500-250
Halus 1/4-1/8 0,25-0,125 250-125
Sangat halus 1/8-1/16 0,125-0,062 125-62
45

Diameter
Kelas
mm mm Phi
Kasar 1/16-1/32 0,062-0,031 62-31
31-16 Lem Sedang 1/32-1/64 0,031-0,016 31-16
pung Halus 1/64-1/128 0,016-0,008 16-8
Sangat halus 1/128-1/256 0,008-0,004 8-4
Kasar 1/256-1/512 0,004-0,002 4-2
Sedang 1/512-1/1024 0,002-0,001 2-1
16-8 Liat
Halus 1/1024-1/2048 0,0010-0,0005 1-0,5
Sangat halus 1/2048-1/4096 0,0005-0,00024 0,5-0,25
Sumber: Suripin, 2004

Begitu persentase kandungan pasir, lempung, dan liat pada tanah tertentu

telah ditentukan, maka tanah tersebut dapat ditempatkan kedalam salah satu dari

12 kelas utama, sebagaimana ditampilan dalam gambar 2.12. Jumlah persentase

pasir, lempung dan liat selalu 100%. Titik A menggambarkan tanah dengan

kandungan pasir 55%, lempung 30% dan liat 15% menghasilkan tekstur tanah

dengan dengan nama kelas geluh lempung kepasiran (sandy clay loam). Tanah

dengan kandungan pasir, lempung dan liat yang sama dinamakan kelas geluh

kelempungan (clay loam). Areal yang dibatasi oleh garis tebal di dalam segitiga

memberikan batas-batas kelas.

Gambar 2.12 Piramida Struktur Tanah


Sumber : Suripin, 2004

Fortier dan Scobey, 1926 dan direkomendasikan oleh Special Committe on

Irrigation Research, ASCE (Simin dan Senrturk, 1992), telah menentukan


46

kecepatan maksimum yang diijinkan berdasarkan tekstur tanah. Hasilnya seperti

pada tabel berikut.

Tabel 2.15 Kecepatan Maksimum yang Diijinkan


Kecepatan rata-rata (m/dt)
Air Air mengangkut
No Material asli dimana saluran digali n Air mengang- non kolloid
jernih kut lempung, pasir,
kolloid krakal dan batu
1 Pasir halus (kolloidal) 0,020 0,46 0,76 0,4
2 Geluh kepasiran (non kolloidal) 0,020 0,53 0,76 0,61
3 Geluh kelempungan (non kolloidal) 0,020 0,61 0,91 0,61
4 Lempung alluvial (non kolloidal) 0,020 0,61 1,07 0,61
5 Geluh 0,020 0,76 1,07 0,69
6 Abu Vulkanik 0,020 0,76 1,07 0,61
7 Kerikil halus 0,020 0,76 1,52 1,14
8 Liat terjal 0,025 1,14 1,52 0,91
9 Geluh-krakal terseleksi 0,030 1,14 1,52 1,52
10 Liat alluvial(kolloidal) 0,025 1,14 1,52 0,91
11 Liat-krakal terseleksi (kolloidal) 0,030 1,22 1,68 1,52
12 Kerikil kasar(non kolloidal) 0,025 1,22 1,83 1,98
13 Krakal 0,035 1,52 1,68 1,98
14 Kerang 0,025 1,83 1,83 1,52
Sumber: Suripin, 2004

2.7 Debit Air Kotor

Debit air kotor yang harus dibuang di dalam saluran adalah 80% dari

kebutuhan air bersih (Kamulyan, 2000). Sehingga untuk menghitung debit air

kotor dipertimbangkan beberapa hal berikut :

- Kebutuhan air bersih rata-rata per orang = 150 lt/hr/org

- Jumlah air buangan = 80% x kebutuhan air bersih

- Jumlah air buangan = 80% x 150

= 120 lt/hr/org 0,00139 lt/dt/org

- Sehingga debit air kotor dapat dihitung dengan persamaan :

(2-25)

Keterangan:

A = luas daerah ( km2)


47

Pn = jumlah penduduk (org)

Tabel 2.16 Standar Kebutuhan Air Bersih


Kebutuhan Air
Kategori Kota Keterangan Jumlah Penduduk
Bersih (lt/org/dt)
Kategori I Kota Metropolitan Diatas 1 juta 190
Kategori II Kota Besar 500.000-1 juta 170
Kategori III Kota Sedang 100.000-500.000 150
Kategori IV Kota Kecil 20.000-100.000 130
Kategori V Desa Kecil 3.000-20.000 100
Sumber: Ditjen Cipta Karya Departemen PU, 1994

2.8 Prediksi Jumlah Penduduk

Dalam perencanaan suatu sistem drainase perlu diketahui besarnya jumlah

penduduk untuk memperkirakan jumlah air buangan/limbah yang akan masuk

kedalam saluran drainase. Jumlah penduduk dapat dihitung sesuai dengan

kepadatan penduduk di daerah kajian dan dapat dihitung berdasarkan metode

geometrik dan eksponensial.

1. Metode Geometrik

Pertumbuhan penduduk diasumsiakan mengikuti deret geometris

dengan rasio pertumbuhan penduduk adalah sama untuk setiap tahun.

Untuk menentukan jumlah penduduk pada tahun ke-n dapat dihitung

dengan rumus (Muliakusuma, 2000).

Pn = Po . (1+ r)n (2-26)

Keterangan:

Po = jumlah penduduk pada awal tahun

r = angka pertambahan penduduk

n = jangka waktu dalam tahun

2. Metode Eksponensial

Pertumbuhan mengansumsikan pertumbuhan penduduk secara terus-

menerus setiap hari dengan angka pertumbuhan konstan. Pengukuran


48

penduduk ini lebih cepat, karena dalam kenyataannya pertumbuhan

penduduk juga berlangsung terus-menerus. Perkiraan jumlah penduduk

dapat dihitung dengan rumus (Maliakusuma, 2000).

Pn = Po . er.n (2-27)

Keterangan:

Po = jumlah penduduk pada awal tahun

r = angka pertambahan penduduk

n = jangka waktu dalam tahun

e = bilangan pokok dalam sistem logaritma = 2,71828

2.9 Evaluasi Saluran Drainase terhadap Debit Rencana

Evaluasi saluran berguna untuk mengetahui seberapa besar debit yang

dapat ditampung saluran dengan kondisi yang ada pada saat ini. Besarnya dimensi

saluran dipengaruhi banyaknya air yang disalurkan, kekasaran bahan konstruksi,

kecepatan aliran serta kemiringan saluran. Bila tidak memenuhi kriteria maka

dimensi saluran direncanakan kembali agar mampu melewatkan debit rancangan.

Berdasarkan data-data dan proses perhitungan maka diketahui debit air

hujan (Qah) dan debit air kotor (Qak) sehingga debit rancangan adalah sebagai

berikut:

Qr = Qah + Qak (2-28)

Untuk mengetahui kemampuan kapasitas saluran drainase terhadap debit

rancangan maka digunakan persamaan sebagai berikut :

Qselisih = Qeks- Qr (2-29)


49

2.10 Perencanaan Perbaikan Saluran yang Ekonomis

Potongan melintang saluran yang ekonomis adalah saluran yang dapat

melewatkan debit maksimum untuk luas penampang basah, kekasaran dan

kemiringan dasar tertentu (Suripin, 2004).

2.10.1 Penampang Berbentuk Trapesium yang Ekonomis

Luas penampang melintang (A), keliling basah (P), saluran dengan

penampang melintang yang berbentuk trapesium dengan lebar dasar (B),

kedalaman aliran (h) dan kemiringan dinding 1 : m dapat dirumuskan sebagai

berikut :

( ) (2-30.1)
√ (2-30.2)
atau
√ (2-30.3)

Nilai B pada persamaan (2-30.3) disubtitusikan ke dalam persamaan (2-

30.1), maka diperoleh persamaan berikut :

( √ )
atau
√ (2-30.4)

Kita asumsikan bahwa luas penampang (A) dan kemiringan dinding (m)

adalah konstan, maka persamaan (2-30.4) dapat dideferensialkan terhadap h dan

dibuat sama dengan nol untuk memperoleh kondisi P minimum.

√ (2-30.5)
atau
√ (2-30.6)

Dengan menganggap h konstan, mendeferensial persamaan (2-30.6) dan

membuat sama dengan nol, maka diperoleh persamaan berikut :


50

( √
) (2-30.7)
atau

(2-30.8)

Nilai m disubtitusikan ke dalam persamaan (2-30.6) maka persamaan yang

diperoleh adalah :

√ √ √ (2-30.9)

Jika nilai m disubtitusikan ke dalam persamaan (2-30.3), maka persamaan

yang diperoleh adalah :

√ √ √ (2-30.10)

Selanjutnya, jika nilai m disubtitusikan kedalam persamaan (2-30.1) maka

diperoleh persamaan berikut :

( √ √ ) √ (2-30.11)

Jadi, penampang trapesium yang paling efisien adalah jika kemiringan

dindingnya, m = ( ⁄√ ), atau . Trapesium yang terbentuk berupa

setengah segienam beraturan (heksagonal).

Sehingga untuk menentukan nilai h pada Qr tertentu bisa menggunakan

persamaan berikut:

⁄ ⁄
√ ( )


√ ( ( ) ) (2-31.1)

Anda mungkin juga menyukai