Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

SEORANG ANAK DENGAN TUBERKULOSIS PARU

OLEH :
dr. Ameliya Secil Japanto

Dokter Pembimbing :

dr. Sefry Pantouw, SpA

INTERNSHIP PERIODE 2018-2019


RSUD PROF DR. H. ALOEI SABOE
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia.


Laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia pada
posisi kelima di dunia dengan perkiraan jumlah penderita TB sebesar 429.000 orang atau 5,8%
dari total jumlah pasien TB di dunia.1 Setiap penderita Tuberkulosis paru aktif dapat menularkan
kuman Tuberkulosis kepada 5 – 10 orang disekitarnya khususnya anak-anak, sehingga dengan
meningkatnya jumlah kejadian tuberkulosis di dunia, maka jumlah anak yang terinfeksi
tuberkulosis juga semakin meningkat.2,3 Tuberkulosis anak adalah penyakit TB yang terjadi pada
anak usia 0-14 tahun.4 Sekurang-kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun. Sekitar 200
anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB dan 70.000 anak meninggal setiap tahun akibat TB.4
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB anak di antara semua kasus
TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun
2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%.
Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus
TB anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus
pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA
positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011
naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.4
Seorang anak dapat terkena infeksi TB tanpa menjadi sakit TB dimana terdapat uji
tuberkulin positif tanpa ada kelainan klinis, radiologis dan laboratoris.5 Hingga saat ini, diagnosis
TB pada anak masih menjadi masalah karena tanda dan gejala yang kurang spesifik, sulitnya
mendapatkan spesimen sputum dan bilas lambung, serta masih rendahnya nilai uji diagnostik yang
ada.3 Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi minimal dengan gejala klinis
yang ringan, tidak mengancam kehidupan ataupun menimbulkan kecacatan. Pada beberapa kasus,
dapat muncul gejala klinis yang berat seperti TB meningitis, TB milier, dan lain-lain.4
Berikut ini dilaporkan sebuah laporan kasus, seorang anak laki-laki dengan tuberkulosis
paru yang dirawat di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.6
Tuberkulosis adalah penyakit menular akibat infeksi kuman TB (Mycobacterium
Tuberculosis) yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh
dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.6,7 TB anak
adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.8

B. Epidemiologi
Di negara berkembang, TB pada anak < 15 tahun adalah 15 % dari seluruh kasus
TB, sedangkan dinegara maju, angkanya lebih rendah, yaitu 5-7%. Tuberkulosis anak
merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia <15
tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi. World Health Organization
memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan
kematian pada anak dan orang dewasa.9
Jumlah seluruh kasus TB anak dari tujuh Rumah Sakit (RS) Pusat Pendidikan di
Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penyandang TB dengan angka
kematian yang bervariasi dari 0-14,1%.6,10 Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan
(42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.7 Kurang lebih 500.000 anak
menderita TB setiap tahun. 200 anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak
meninggal setiap tahun akibat TB.8

C. Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis (MTB) yaitu suatu jenis
kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3- 0,6/um,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Kuman dapat hidup

3
dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun tahun dalam
lemari es) dimana kuman dalam keadaan dormant.11.12
Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang
merupakan patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari Mycobacterium yang
paling umum menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis, M. Bovis, M. Africanum, M.
Microti dan M. Canetti. Dari kelima jenis ini M. Tuberkulosis merupakan penyebab paling
penting dari penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu
varian humanus, bovinum dan avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi
manusia M. Tuberkulosis varian humanus.11.12
Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di
dalam jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena
banyak mengandung lipid. Dinding sel yang kaya akan lipid menjadikan basil ini resisten
terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan komplemen. Sebagian besar dari dinding selnya
terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan
terhadap asam sehingga disebut BTA dan kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan
fisika. Oleh karena ketahanannya terhadap asam, M. Tuberkulosis dapat membentuk
kompleks yang stabil antara asam mikolat pada dinding selnya dengan berbagai zat
pewarnaan golongan aryl methan seperti carbolfuchsin, auramine dan rhodamin.12
Kuman ini dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah karena kuman
dalam keadaan dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali.
Sifat lain kuman ini adalah aerob sehingga kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi
dari bagian lain, sehingga bagian apical ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis.11.12
Bakteri TB akan cepat mati bila terkena sinar ultraviolet (sinar matahari) langsung
dan mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 80°C dan 20 menit pada suhu 60°C).
M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur dan glyserin
(medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat, dengan waktu generasi
12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media sintetik yang solid membutuhkan
waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas terhadap obat membutuhkan tambahan waktu
4 minggu. Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3 minggu

4
dengan menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas
terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari.11,12

D. Patogenesis

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam
percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan terhirup dan dapat
mencapai alveolus.13

Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme


imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi,
pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak
dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan
lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang
dinamakan fokus primer Ghon. Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui
saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer.13

Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan


di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex).13

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks


primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya
kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12
minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman

5
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas selular.13

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.


Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin
positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.13

Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat
sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah
kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk,
kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas
selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI). Setelah imunitas selular terbentuk,
fokus primer di jaringan paru biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna
membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi.
Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB
dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak
menimbulkan gejala sakit TB.13

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah
lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan
paru (kavitas).13

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism).
Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan

6
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.13

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi


penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk
ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen
inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen
yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult
hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit
demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.13

Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di


organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar
limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang,
ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak
aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut
dengan focus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa. Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).13

7
Gambar 1. Patogenesis infeksi Mycobacterium tuberculosis

E. Diagnosis
1. Penemuan Pasien TB Anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :
a. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular. Yang dimaksud dengan kontak erat
adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular.
Pasien TB menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA

8
positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan
diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan pada bab profilaksis TB pada anak.
b. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering
terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau
sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas,
karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB. Gejala
sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
- Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang
baik.
- Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak
tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila
tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
- Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
- Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure
to thrive).
- Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
- Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
diare.4
2. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak
Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan
menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada
pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi
jaringan. Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang
terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi
jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan
gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan

9
mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen
dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari
berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan
gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan
nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan
atau kuman TB.
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan
ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu
penggunaan metode cair, molecular (LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid
Amplification Test) (misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di
semua negara karena membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi
pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun
2013 menyatakan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB
MDR pada anak, dan dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa
kondisi tertentu yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert
MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan
mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan dan
diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan
anak tidak sakit TB.4

Cara Mendapatkan sampel pada Anak

- Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu mengeluarkan
dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.
- Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang
tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari
berturut-turut pada pagi hari.

10
- Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur,
dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan
lebih dari 1 sampel. Metode ini bias dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan
pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini. Secara lebih
lengkap metode ini dijelaskan pada lampiran. Berbagai penelitian menunjukkan organ
yang paling sering berperan sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena
penularan TB sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas
inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan kuman dalam sputum.
Namun upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan
sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya
pengambilan spesimen sputum.4

Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat dilakukan


penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular
merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan.
Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan
uji tuberkulin.4

Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada


anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux
test. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten
Serum Institute Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di
semua fasilitas pelayanan kesehatan.4

Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap


antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan
bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak
yang tertular (hasil uji tuberculin positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh
pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB.
Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan tampak

11
sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan
tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi
menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan
radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat menyerupai gejala
akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis
pada pasien maupun hasil foto toraks.4

Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks.
Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit
lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang
menunjang TB adalah sebagai berikut:

- Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrate (visualisasinya


selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
- Konsolidasi segmental/lobar
- Efusi pleura
- Milier
- Atelektasis
- Kavitas
- Kalsifikasi dengan infiltrat
- Tuberkuloma4

3. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring


Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostic dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostic yang tersedia, dapat
menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring
tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang IDAI,
Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk
mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan
dasar.10

12
Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam
mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga
diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
- Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai
tertinggi yaitu 3.
- Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB
pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
- Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat
OAT. Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT
(Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat
terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka
OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka
sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.10

Tabel 1. Sistem Skoring TB Anak10

13
Gambar 2. Algoritma diagnosis dan tatalaksana TB pada anak

F. Penatalaksanaan
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang
terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).

Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid
(Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). Obat TB lain (second line) adalah para-
aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin,

14
levofloxacin, moxiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan
capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.14

a. Isoniazid (INH)
INH adalah obat antituberkulosis yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid
dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman
yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam.
Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman. INH cukup murah dan sangat
efektif untuk mencegah multiplikasi basil tuberkulosis. Terdapat dalam sediaan
oral dan intramuskuler (i.m). Dalam sediaan oral, kadar obat dalam plasma,
sputum dan cairan seresrospinal dapat dicapai dalam 1-2 jam dan bertahan
minimal 6 – 8 jam. INH diberikan secara oral, dosis harian yang biasa diberikan
(5 – 15 mg/kgbb/hari), maksimal 300 mg/hari, diberikan satu kali pemberian. INH
yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100mg dan 300mg, dan dalam
bentuk sirup 100mg/5ml. INH dimetabolisme melalui asetilasi di hati. INH
terdapat pada ASI ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah
plasenta,tetapi kadar obat yang mencapai janin/bayi tidak membahayakan.14
b. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh
oleh isoniazid. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal
pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai
dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-
20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian
per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak
melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Seperti halnya
isoniazid, rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh,
termasuk CSS. Distribusi rifampisin ke dalam CSS lebih baik pada keadaan
selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal.
Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus bilier. Kadar yang efektif
juga dapat ditemukan di ginjal dan urin. Rifampisin umumnya tersedia dalam
sediaan kapsul 150mg, 300mg dan 450mg sehingga kurang sesuai untuk

15
digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran berat badan. Suspensi dapat
dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak
diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat timbul
malabsorbsi.
c. Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam,
dan diresorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai
dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum
puncak 45 pg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif
karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam, yang timbul
akibat jumlah kuman masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada
anak.14
d. Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata.
Peran utama dari obat ini adalah untuk mencegah resistensi obat lain. Dosis 15 –
20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1,25 gram/hari, dengan dosis tunggal. EMB
tersedia dalam tablet 250 mg dan 50 0mg. Sifat etambutol adalah bakteriostatik
dan bakterisidal. Toksisitas utama adalah neuritis optika berupa kebutaan
terhadap warna merah-hijau ( red-green color blindness). Efek ini cukup sering
dijumpai pada orang dewasa. Insidensi dari toksisitas optalmologika cukup
rendah. Oleh karena pemeriksaan lapang pandang dan warna pada anak-anak
cukup sulit dilakukan maka etambutol tidak direkomendasikan untuk terapi rutin
pada anak-anak. EMB dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan
TB resisten-obat, jika obat-obatan lainnya tidak tersedia atau tidak dapat
digunakan.14
e. Streptomisin
Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraselular pada
keadaan basa atau netral, jadi efektif membunuh kuman intraseluler. Streptomisin
dapat diberikan secara intramuskular dengan dosis 15 – 40 mg/kgBB/hari,
maksimal dosis 1 gram/hari. Obat ini dapat melewati selaput otak yang meradang,

16
berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, diekskresi melalui ginjal.
Toksisitas utama dari streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang
mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa tinismus dan pusing.
Tabel 2. Obat Anti Tuberkulosis

Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:


- Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
- Pemberian gizi yang adekuat.
- Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.4
1. Prinsip pengobatan TB anak:
- OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler
- Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain
untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan
- Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
 Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal
3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya
penyakit.
 Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Selama tahap intensif dan lanjutan,

17
OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan
minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
- Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal
seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lainlain dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan.
- Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, pericarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal
prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu
dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan
pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi
perlekatan jaringan.
- Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
 Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
 Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
- Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
- OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
- Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum
obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat
untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat
fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150
mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket.4,14
2. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak
Pemantauan pengobatan pasien TB Anak Pada fase intensif pasien TB anak kontrol
tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping
obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan,

18
respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila
gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam
menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian
OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang
atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke
sarana yang lebih lengkap.4
Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil
pengobatan. Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks.
Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan
pengobatan, karena uji tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif.
Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien
dinyatakan selesai. Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan
dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA
pos.4,14
Efek Samping pengobatan TB Anak Pasien dengan keluhan neuritis perifer
(misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak
tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH. Untuk pencegahan
neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/hari direkomendasikan diberikan pada
bayi yang mendapat ASI eksklusif, pasien gizi buruk, anak dengan HIV positif.4,14
Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur. Ketidakpatuhan minum OAT pada
pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi.
 Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal.
 Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.

Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan risiko
terjadinya TB kebal obat. Pengobatan ulang TB anak Anak yang pernah mendapat
pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi

19
apakah anak tersebut benar benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara
pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih
cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak
menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh. Pada
pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk
dilakukan uji tuberkulin ulang.4,14

G. Pencegahan
1. Vaksinasi BCG pada Anak
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari Mycobacterium
bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan Imunisasi
diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi > 2 bulan harus
didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu pada
Pedoman Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan vaksin
BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB meningitis
yang sering didapatkan pada usia muda. Saat ini vaksinasi BCG ulang tidak
direkomendasikan karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan. Perhatian
khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
- Bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester 3
kehamilan berisiko tertular ibunya melalui placenta, cairan amnion maupun
hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama
masa neonatal berisiko tertular ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi
tersebut bayi sebaiknya dilakukan rujukan
- Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak dianjurkan
diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan untuk pembuktian
apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak. Sejumlah kecil anak-anak (1-2%)
mengalami komplikasi setelah vaksinasi BCG. Komplikasi paling sering termasuk
abses lokal, infeksi bakteri sekunder, adenitis supuratif dan pembentukan keloid
lokal. Kebanyakan reaksi akan sembuh selama beberapa bulan. Pada beberapa

20
kasus dengan reaksi lokal persisten dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan.
Begitu juga pada kasus dengan imunodefisiensi mungkin memerlukan rujukan.4
2. Skrining dan Manajemen Kontak
Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang dilakukan secara
aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu (1) anak yang mengalami paparan dari
pasien TB BTA positif, dan (2) orang dewasa yang menjadi sumber penularan bagi
anak yang didiagnosis TB. Tujuan utama skrining dan manajemen kontak adalah :
- Meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan mengobati temuan
kasus sakit TB.
- Identifikasi kontak pada semua kelompok umur yang asimtomatik TB, yang
berisiko untuk berkembang jadi sakit TB
- Memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB, meliputi anak
usia < 5 tahun dan infeksi HIV pada semua umur.4

H. Prognosis
Prognosis dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, berapa lama setelah
mendapat infeksi, luasnya lesi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi keluarga, diagnosa
dini, pengobatan adekuat, kepatuhan minum obat, dan adanya infeksi lain seperti morbilli,
pertusis, diare yang berulang dan lain – lain.14
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan obat
antituberkulosis memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan.Jika
bakteri sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang
minimal.Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya.15
Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten
terhadap berbagai regimen terapi, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan
komplikasi lanjut.15
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampicin, angka
kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi.15

21
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. AKI
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/Tanggal Lahir : Gorontalo, 3 Desember 2018
Umur : 6 bulan
Lahir di : Rumah sakit
Partus : spontan, letak belakang kepala
Berat waktu lahir : 3650 gram
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Suku : Gorontalo
Alamat : Desa Duano kec. Suwawa Tengah
Masuk rumah sakit : 16 Juni 2019 jam 20.30

B. Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. FI
Umur : 25 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Honorer
Status perkawinan : Perkawinan I

Nama Ibu : Ny. TM


Umur : 23 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Status perkawinan : Perkawinan I

22
C. Family Tree :

D. Anamnesis
Anamnesis diberikan oleh : ibu pasien
Keluhan utama : Demam sejak ± 5 hari SMRS

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien anak laki-laki dibawa kedua orang tuanya, datang dengan keluhan demam
sejak 5 hari SMRS, demam sumer-sumer naik turun. Keluhan disertai batuk berdahak dan
pilek sejak 7 hari SMRS. Dahak berwarna putih. Os sudah berobat ke dokter tetapi batuk
dan demam tidak membaik. Pasien juga dikeluhkan muntah 2x saat 1 hari SMRS, muntah
berisi cairan. Nafsu makan menurun. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Tanda perdarahan
seperti gusi berdarah atau mimisan tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien sering mengalami sakit seperti ini yaitu batuk pilek hilang timbul yang sudah
dikeluhkan sejak 2 bulan terakhir, serta demam-demam yang hilang timbul sejak ± 1
bulan
- Riwayat kejang tidak ada. Riwayat asma tidak ada
Riwayat penyakit keluarga :
- Om pasien yang tinggal serumah sedang menjalani pengobatan TB selama 6 bulan.

23
- Riwayat penyakit asma tidak ada. Riwayat kejang tidak ada. Riwayat infeksi paru
tidak ada. Riwayat hipertensi tidak ada
Anamnesis Antenatal :
Antenatal Care (ANC) di Puskesmas sebanyak 5 kali selama hamil. Imunisasi Tetanus
Toxoid (TT) sebanyak 2 kali. Sewaktu hamil kondisi ibu sehat.
Penyakit yang pernah diderita :
Morbili : (-)
Varicella : (-)
Pertussis : (-)
Diare : Sudah pernah
Cacing : (-)
Batuk/pilek : Sudah pernah
Lain-lain : (-)

Kepandaian/kemajuan bayi :
Pertama kali membalik : 3 bulan
Pertama kali tengkurap : 4 bulan
Pertama kali duduk : 6 bulan
Pertama kali merangkak : (-)
Pertama kali berdiri : (-)
Pertama kali berjalan : (-)
Pertama kali tertawa : 2 bulan
Pertama kali berceloteh : 3 bulan
Pertama kali memanggil mama : (-)
Pertama kali memanggil papa : (-)

Anamnesis Makanan Terperinci :


ASI : lahir – 4 bulan
PASI : 4 bulan - 6 bulan
Bubur susu : (-)
Bubur saring : (-)

24
Bubur halus : (-)
Nasi lembek : (-)
Imunisasi :
Dasar Ulangan
I II III I II III
BCG +
Polio + + +
DPT + + +
Campak +
Hepatitis B + + +
Kesan : imunisasi dasar lengkap sesuai usia
E. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Nadi : 108 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 39,7oC
Status Gizi
Berat Badan : 7 kilogram
Tinggi Badan : 67 cm
Kesan : status gizi baik

Kulit
Warna : sawo matang
Efloresensi :(-)
Pigmentasi :(-)
Jaringan parut :(-)
Lapisan Lemak : cukup
Turgor kulit : kembali cepat
Tonus : eutoni

25
Edema :(-)
Kepala
Bentuk : Normocephal
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
UUB : menutup
Mata : - Exopthalmus/Enopthalmus : ( -/- )
- Tekanan bola mata : normal pada perabaan
- Conjunctiva : anemis ( - )
- Sclera : Ikterus ( - )
- Corneal Refleks : normal (+)
- Pupil : bulat, isokor , RC +/+ Ø 3 mm / 3 mm
- Lensa : Jernih
- Fundus : tidak dievaluasi
- Visus : tidak dievaluasi
- Gerakan : normal
Telinga : secret -/-
Hidung : sekret -/-
Mulut : - Bibir : sianosis ( - )
- Lidah : beslag ( - )
- Gigi : carries ( - )
- Selaput mulut: mukosa basah
- Gusi : perdarahan ( - )
- Bau pernafasan: foetor (-)
Tenggorakan : - Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
- Faring : Hiperemis (-)
Leher : - Trakea : letak tengah
- Kelenjar : pembesaran KGB (+)
- Kaku kuduk: ( - )
Thoraks : - Bentuk : normal
- Ruang Intercostal : normal
- Pernapasan Paradoxal : ( - )

26
- Retraksi :(-)
Jantung : - Detak jantung: 108 x/m
- Iktus kordis : tidak tampak
- Batas kiri : linea mid clavicularis sinistra
- Batas kanan : linea parasternalis dextra
- Batas atas : ICS II –III
- Batas jantung apex : M1 < M2
- Batas jantung aorta : A1 < A2
- Batas jantung pulmonal: P1 > P2
- Bising :(-)
Paru – paru : - Inspeksi : Simetris kanan = kiri, retraksi ( - )
- Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor kanan = kiri
- Auskultasi : Sp. Bronkovesikuler, Rh +/+, wh -/-
Abdomen : - Bentuk : datar, lemas, BU ( + ) N
- Hepar : tidak teraba membesar
- Lien : tidak teraba membesar
Genitalia : laki-laki , normal
Kelenjar : pembesaran kelenjar getah bening ( - )
Anggota gerak : akral hangat, edema ( - ), CRT ≤ 2“
Tulang belulang : deformitas ( - )
Otot - otot : eutoni
Refleks : Refleks fisiologis +/+ , refleks patologis -/-
Spastis (-)
Klonus (-)

27
F. Resume
Seorang anak laki-laki, 6 bulan, BB 7 kg, PB cm, masuk rumah sakit tanggal 16 Juni 2019,
jam 20.30 WITA dengan keluhan utama demam sejak ± 5 hari SMRS. Batuk berdahak dan
pilek sejak 7 hari SMRS, dahak warna putih. Muntah 2x saat 1 hari SMRS, berisi cairan.
Nafsu makan menurun. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
KU : tampak sakit sedang Kes: compos mentis
N : 108x/m R : 22 x/m S : 39,70 C
Kep : Conj. An (-) , Skl. Ikt (-) , PCH (-) Pupil bulat isokor Ø 3mm – 3mm , RC +/+
Leher : Pembesaran KGB (+)
Thoraks: Simetris, retraksi (-)
Jantung : bising (-)
Paru : Sp. Bronkovesikuler, Rh +/+, Wh-/-
Abd : datar, lemas, BU (+) N, H / L : ttb
Ext : akral hangat, CRT<2”

Diagnosis kerja : Bronkopneumonia


Diagnosis banding : TB Paru
Penatalaksanaan
- IVFD RL 9-10 tpm
- Ceftriaxone 2x350 mg iv (ST)
- Ranitidin 2x7mg iv
- PCT drops 3x0,9 cc
- Ondansetron 3x0,7 mg iv
- Diet lunak bubur
- Rencana periksa DR, WIDAL, Foto Thorax AP

28
Pemeriksaan Penunjang :
Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan Hasil
Widal :
Salmonella Typhi O 1/80 Titer 1/80 Titer
Salmonella Typhi H 1/80 Titer 1/80 Titer
Salmonella Paratyphi A O 1/80 Titer 1/80 Titer
H 1/80 Titer 1/80 Titer

Hematologi Rutin
Leukosit 4000-10000 10000
Hemoglobin 11.0 – 16.5 10.4
Hematokrit 33.0-50.0 30.6
Trombosit 150.000 – 450.000 382.000

Prognosis
- Ad Vitam : dubia ad bonam
- Ad Fungsionam : dubia ad bonam
- Ad Sanationam : dubia ad bonam

29
G. Follow Up Pasien
17 Juni 2019
Keluhan : demam (+), muntah (-) batuk (+)
Keadaan Umum : tampak sakit
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital : N : 100 x/m R : 24 x/m S : 37,80C
Kepala : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
pupil bulat isokor ϕ 3mm- 3 mm, RC (+/+) telinga : sekret -/-
Leher : Pembesaran KGB (+)
Toraks : simetris, retraksi (-)
Cor : bising (-)
Pulmo : Sp. bronkovesikuler, rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen : datar, lemas, bising usus (+) normal.
H / L : TTB
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”, RF (+/+), RP (-/-).
Diagnosis : Susp Bronkopneumonia
Penatalaksanaan :
- IVFD RL 9-10 tpm
- Ceftriaxone 2x350 mg iv (H2)
- Ranitidin 2x7mg iv
- PCT drops 3x0,9 cc
- Ondansetron 3x0,7 mg iv
- Diet lunak bubur

18 Juni 2019
Keluhan : batuk (+) sesak (-)
Keadaan Umum : tampak sakit
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital : N : 104 x/m R : 24 x/m S : 36,70C
Kepala : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
pupil bulat isokor ϕ 3mm- 3 mm, RC (+/+)

30
Leher : Pembesaran KGB (+)
Toraks : simetris, retraksi (-)
Cor : bising (-)
Pulmo : Sp. bronkovesikuler, rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen : datar, lemas, bising usus (+) normal.
H / L : TTB
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”, RF (+/+), RP (-/-).
Diagnosis : Susp Bronkopneumonia
Penatalaksanaan :
- IVFD RL 9-10 tpm
- Ceftriaxone 2x350 mg iv (H3)
- Ranitidin 2x7mg iv
- PCT drops 3x0,9 cc
- Ondansetron 3x0,7 mg iv
- Diet bubur susu
- Pro foto Thorax AP

Hasil Foto Thorax 18/6/2019

Trachea di midline, inspirasi maksimal


Cor : dalam batas normal

31
Pulmo : tampak infiltrate dan fibrosis suprahiler kanan dan kiri serta konsolidasi di
paracardial kanan. Hilus kanan kesan memadat
Kedua sinus dan diafragma baik
Tulang-tulang intak
Jaringan lunak disekitar tidak swelling
Kesan : TB Paru proses lama aktif (lesi luas) dengan sekunder infeksi

19 Juni 2019
Keluhan : demam (+) batuk (+) sesak (-)
Keadaan Umum : tampak sakit
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital : N : 106 x/m R : 24 x/m S : 37,70C
Kepala : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
pupil bulat isokor ϕ 3mm- 3 mm, RC (+/+)
Leher : Pembesaran KGB (+)
Toraks : simetris, retraksi (-)
Cor : bising (-)
Pulmo : Sp. bronkovesikuler, rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen : datar, lemas, bising usus (+) normal.
H / L : TTB
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”, RF (+/+), RP (-/-).
Diagnosis : TB Paru + sekunder infeksi
Penatalaksanaan :
- IVFD RL 9-10 tpm
- Ceftriaxone 2x350 mg iv (H3)
- Ranitidin 2x7mg iv
- PCT drops 3x0,9 cc
- Rifampicin 70 mg 1x1 pulv
- Isoniazid 70 mg 1x1 pulv
- Pirazinamid 150 mg 1x1 pulv
- Diet bubur susu

32
20 Juni 2019
Keluhan : batuk (+) demam (-) muntah (-) sesak (-)
Keadaan Umum : tampak sakit
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital : N : 106 x/m R : 24 x/m S : 36,4 0C
Kepala : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
pupil bulat isokor ϕ 3mm- 3 mm, RC (+/+)
Leher : Pembesaran KGB (+)
Toraks : simetris, retraksi (-)
Cor : bising (-)
Pulmo : Sp. bronkovesikuler, rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen : datar, lemas, bising usus (+) normal.
H / L : TTB
Ekstremitas : akral hangat, CRT ≤ 2”, RF (+/+), RP (-/-).
Diagnosis : TB Paru + sekunder infeksi
Penatalaksanaan :
- PCT drops 3x0,9 cc k/p
- Rifampicin 70 mg 1x1 pulv
- Isoniazid 70 mg 1x1 pulv
- Pirazinamid 150 mg 1x1 pulv
- Pro Rawat jalan (Kontrol poli anak)

33
BAB IV
PEMBAHASAN
Tuberkulosis merupakan penyakit menular akibat infeksi kuman TB (Mycobacterium
Tuberculosis) yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan
lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.6,7 TB anak adalah
penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.8 Pada kasus ini, lokasi infeksi primer yaitu
pada paru dan usia anak 6 bulan.
Di negara berkembang, TB pada anak < 15 tahun adalah 15 % dari seluruh kasus TB,
sedangkan dinegara maju, angkanya lebih rendah, yaitu 5-7%. Tuberkulosis anak merupakan
faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40-50%
dari jumlah seluruh populasi.9 Hal ini sesuai dengan kasus yang didapatkan yaitu, pasien berusia
<15 tahun dan tinggal di Indonesia yang merupakan negara berkembang.
Diagnosis tuberkulosis pada anak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau
sesuai organ terkait. Gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.4
Berdasarkan kepustakaan, gejala umum TB anak yaitu berat badan turun tanpa sebab yang
jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan
upaya perbaikan gizi yang baik, demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang
jelas, batuk lama ≥3 minggu, nafsu makan tidak ada atau berkurang, disertai gagal tumbuh, lesu
atau malaise, anak kurang aktif bermain, serta diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak
sembuh dengan pengobatan baku diare.4 Pada kasus ini, pasien dibawa ke RS dengan keluhan
demam sejak 5 hari, batuk pilek dan muntah-muntah. Pasien juga sering mengalami batuk pilek
sejak 2 bulan terakhir dan demam yang hilang timbul sejak 1 bulan.
Pemeriksaan fisik pasien tuberculosis pada anak tidak terlalu jelas, pemeriksaan yang
sering didapatkan yaitu pembesaran kelenjar. Kelenjar limfe superfisialis TB sering dijumpai
terutama pada regio koli anterior, submandibula, supraklavikula, aksila, dan inguinal. Biasanya
kelenjar yang terkena bersifat multipel, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak panas pada perabaan,
dan dapat saling melekat (konfluens).16 Pada pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan adanya
pembesaran kelenjar getah bening pada leher dan ronkhi pada kedua lapang paru.

34
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis TB paru pada anak
berupa pemeriksaan laboratorium, radiologis, sputum BTA, dan uji tuberculin. Diagnosis pasti TB
seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu
kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Namun, pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan
pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan
radiologis dan laboratorium rutin.
Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB yaitu pembesaran kelenjar hilus
atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrate (visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai
foto toraks lateral), konsolidasi segmental/lobar, efusi pleura, milier, atelectasis, kavitas,
kalsifikasi dengan infiltrate, tuberkuloma.4 Pada pasien ini dari hasil foto thoraks AP didapatkan
tampak infiltrate dan fibrosis suprahiler kanan dan kiri serta konsolidasi di paracardial kanan, hilus
kanan kesan memadat. Sehingga didapatkan kesan TB Paru lama aktif dengan sekunder infeksi.
Uji tuberkulin dapat digunakan sebagai penunjang diagnostik bekerja berdasarkan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi hipersensitivitas tipe lambat ini mencapai puncaknya dalam
48−72 jam, sehingga indurasi yang terbentuk pada uji tuberkulin tersebut dapat berfungsi sebagai
alat uji diagnostik bila diukur dalam kurun waktu tersebut.16 Namun pada pasien ini tidak
dilakukan uji tuberculin karena belum tersedianya pemeriksaan tersebut.
Cara mendiagnosis TB pada anak juga menggunakan sistem skoring yang ditetetapkan oleh
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Sistem skoring ini dianggap mudah diterapkan di negara
berkembang atau di fasilitas kesehatan dengan fasilitas terbatas. Sistem skoring yang diterapkan
telah sepakat untuk menggunakan sistem skor yang terdiri atas delapan kriteria, yaitu adanya
kontak dengan TB dewasa, uji kulit tuberkulin, berat badan/keadaan gizi, demam >2 minggu, batuk
>3 minggu, pembesaran kelenjar limfe, pembengkakan tulang/sendi, dan foto toraks dengan nilai
skor masing-masing 0−3. Diagnosis TB ditegakkan bila jumlah skor >6, kecuali bila terdapat
skrofuloderma langsung didiagnosis sebagai TB.
Skoring TB pada pasien ini yaitu adanya kontak dengan TB dewasa (3), demam > 2minggu
(1), batuk >3 minggu (1), pembesaran KGB (1), dan foto toraks (1) sehingga didapatkan skor 7.
Sehingga pasien ini langsung diberikan pengobatan TB.

35
Pengobatan TB yang diberikan berupa obat TB utama (first line) yang saat ini adalah
rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S).4 Pengobatan
TB pada anak dibagi dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap
intensif, diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat
ringannya penyakit serta tahap lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.4
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, INH diberikan
secara oral, dosis harian yang biasa diberikan 5 – 15 mg/kgbb/hari, serta pemberian pirazinamid
secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari. Etambutol tidak diberikan karena potensi
toksisitasnya pada mata.14 Pasien ini diberikan obat Rifampicin 70 mg 1x1 pulv, Isoniazid 70 mg
1x1 pulv, Pirazinamid 150 mg 1x1 pulv.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Safithri F. Diagnosis TB dewasa dan anak berdasarkan ISTC (International Standard for
TB Care).2011;7:57-67
2. Rahardiyanti W, Wuryanto MA, Santoso L. Gambaran karakteristik penderita tuberkulosis
pada anak umur 1-5 tahun yang berobat di balai kesehatan paru masyarakat kota Semarang.
Jurnal Kesehatan masyarakat. 2012;1:525 – 534.
3. Rahajoe N. Tatalaksana tuberkulosis pada anak. Sari Pediatri.2001;3:24-35.
4. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Petunjuk Teknis
Manajemen TB Anak. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013
5. Inks. Tuberkulosa pada anak. Jurnal Kedokteran Wijaya Kusuma. 2010;1:1-5
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta : Depkes RI, 2005
7. Behrman, Kliegman, Arvin, editor Prof. Dr. dr. A. Samik Wahab, SpA(K) et al: Nelson,
Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15, buku 2, EGC 2000, hal 1028 –1042.
8. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia 2013. Petunjuk Teknis Manajemen Tb Anak. Jakarta:
Kemenkes RI 2013
9. Kartasasmita CB, Basir D. Epidemiologi Tuberkulosis. Dalam : Buku Ajar Respirologi
Anak. Edisi Pertama. Jakarta ; IDAI. 2013. h.162-166
10. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diagnosis Tuberkulosis pada Anak. Dalam : Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta ; IDAI. 2013. h.194-211
11. Alatas, Dr. Husein et al : Ilmu Kesehatan Anak, edisi ke 7, buku 2, Jakarta; Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia 1997, hal 573 – 761.
12. Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisikelima Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
UniversitasIndonesia, 2009; h. 2230- 22472.
13. Rahajoe NN, Setyanto DB. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah Tuberkulosis. Dalam :
Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta ; IDAI. 2013. h.169-177
14. Rahajoe NN, Setyanto DB. Tatalaksana Tuberkulosis. Dalam : Buku Ajar Respirologi
Anak. Edisi Pertama. Jakarta ; IDAI. 2013. h.214-277

37
15. Price, Sylvia A; Wilson, Lorraine M. : Patofisiologi Klinik, edisi ke 5,Tuberkulosis, 2005
hal 753 – 761
16. Bakhtiar. Pendekatan diagnosis tuberkulosis pada anak di sarana pelayanan kesehatan
dengan fasilitas terbatas. Jurnal Kedokteran syiah kuala. 2016;16:122-128

38

Anda mungkin juga menyukai