MAKALAH NON-SEMINAR
(TUGAS KULIAH)
Diajukan Oleh:
David Tinambunan
0906561490
Deasy Agnes Ariweny
0906524450
Melin Panjaitan
0906524646
Nurul Utami
0906492070
Depok
2013
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 30 Januari 2013
ii
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, kami yang bertanda tangan di bawah ini:
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini
Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam
bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas kami ini selama
tetap mencantumkan nama kami sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 30 Januari 2013
Yang menyatakan
iii
David Tinambunan
0906561490
Deasy Agnes Ariweny
0906524450
Melin Panjaitan
0906524646
Nurul Utami
0906492070
ABSTRAK
Makalah ini membahas pemaknaan konsumerisme perempuan dalam iklan kartu kredit pada
mahasiswi reguler FISIP UI. Permasalahan penelitian diteliti dengan studi resepsi. Secara garis
besar, studi resepsi ini membahas tentang tiga pola pemaknaan audiens terhadap media, yakni
dominant-hegemonic reading, negotiated reading, dan oppositional reading dalam hubungannya
dengan perilaku konsumtif dalam kehidupan sehari-hari. Adapun media dalam penelitian ini adalah
iklan yang memuat paparan konsumerisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan datanya. Pemilihan informan dalam
penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Data yang diperoleh kemudian dikodekan
secara open coding, axial coding, dan selective coding. Asumsi teoritis dalam penelitian
menunjukkan bagaimana informan perempuan secara aktif memaknai konsumerisme dalam media
massa dan kehidupan sosial. Kesimpulannya, informan memaknai iklan kartu kredit secara
oppositional reading sehingga informan tidak mengkonfirmasi stereotipe perempuan sebagai
‘penghabis uang keluarga’, dan memaknai fungsi kartu kredit berdasarkan nilai gunanya.
iv
David Tinambunan
0906561490
Deasy Agnes Ariweny
0906524450
Melin Panjaitan
0906524646
Nurul Utami
0906492070
ABSTRACT
This paper discusses the meaning of women consumerism in credit card commercial ads toward
FISIP UI regular student. Research problems are researched by the reception study. Broadly
speaking, the reception study discusses three patterns of audience interpreting media, such as
dominant-hegemonic reading, negotiated reading, and oppositional reading in relation to
consumer’s behavior in their daily life. Media in this study is ads that include exposure to
consumerism. This paper uses the qualitative approach with in-depth interview as collection data
technique. Selection of informants uses purposive sampling technique. The obtained data are then
encoded with open coding, axial coding, and selective coding. Theoretical assumptions in the paper
show how informant actively interprets consumerism in mass media and social life. In conclusion,
informant interprets the credit card commercial ads with oppositional reading, so that informant
does not confirm the stereotype of women as a spender of family money, and interprets the
functions of credit card based on its use value.
Alhamdulillah dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, sedalam-
dalamnya penulis panjatkan karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah. Makalah “Pemaknaan Konsumerisme Perempuan
dalam Iklan Kartu Kredit” ini disusun sebagai tugas akhir semester mata kuliah Metode
Penelitian Komunikasi II, Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia. Makalah ini kemudian penulis sempurnakan sebagai
working paper agar dapat memenuhi syarat kelulusan dari Program Reguler Departemen
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Penulis ingin berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses pengerjaan hingga penyelesaian makalah ini, terutama Dra. Ken Reciana Sanjoto,
MA selaku dosen mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi II yang telah membimbing
dan mengarahkan kami dalam seluruh rangkaian proses pengerjaan makalah ini.
Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat akademis dan praktis bagi berbagai
pihak serta menjadi inspirasi bagi setiap mahasiswa yang akan mengembangkan penelitian
terkait dengan tema penelitian makalah ini.
vi
vii
viii
Dalam satu dekade belakangan ini, muncul tren baru dalam dunia periklanan
Indonesia, yaitu iklan yang mengukuhkan konsumerisme. Tidak hanya mendorong audiens
untuk bergabung dengan layanan yang diiklankan, iklan yang mengukuhkan
konsumerisme ini juga mendorong audiens untuk membeli produk dari iklan-iklan lainnya.
Iklan yang mengukuhkan konsumerisme ini tidak lain adalah iklan kartu kredit. Awalnya
memang tidak terlalu diperhitungkan, tetapi ketika BNI (Bank Negara Indonesia) sukses
dengan iklannya hingga mampu mengeluarkan dua juta kartu kredit pada tahun 2011 dan
meningkatkan nilai transaksi kartu kredit sebesar 40 persen (Indonesia Finance Today, 25
Januari 2012), sejumlah penyedia layanan kartu kredit pun berlomba-lomba menyajikan
iklan yang serupa di media massa komersial tanah air.
Jika diamati, memang benar iklan layanan demikian dapat memberi pemahaman
terhadap audiens tentang kemudahan bertransaksi ekonomi. Sepintas terlihat sinergi yang
sangat ideal antara iklan kartu kredit yang mengedepankan kemudahan bertransaksi
ekonomi dengan kebutuhan audiens akan layanan yang bisa mengamini setiap kebutuhan
yang terkendala masalah finansial, sehingga membuat kehidupan ekonomi audiens
berlangsung optimal. Namun, yang juga mulai dikhawatirkan adalah gagasan
konsumerisme yang secara implisit dikemas dalam iklan kartu kredit tersebut.
Dengan munculnya gejala semacam ini, tidak bisa dipungkiri, nilai guna yang
ditampilkan dalam iklan kartu kredit tersebut berubah menjadi nilai tukar. Terdapat potensi
ekonomi yang lebih besar di balik iklan kartu kredit tersebut. Nilai guna kartu kredit
akhirnya semata-mata ditonjolkan untuk mengeksplotasi potensi ekonomi yang lebih besar.
Orientasi ini menjadikan tujuan utama iklan kartu kredit bergeser pada potensi-potensi
Masalah mulai muncul tatkala perubahan nilai guna kartu kredit menjadi nilai tukar
mengandung sejumlah konsekuensi. Nilai tukar kartu kredit berhubungan dengan simbol
status gaya hidup dan refleksi bonafiditas dalam masyarakat. Kartu kredit menjadi suatu
identitas yang dapat dibanggakan seseorang karena persyaratan untuk menjadi pemilik
kartu kredit cukup selektif. Dengan demikian, kepemilikan kartu kredit dikonstruksi
melalui proses simbolisasi tersebut oleh media massa dan secara sosial.
Dalam tesisnya, Cole (1992) menjelaskan tentang bentuk perubahan sosial dalam
masyarakat modern, yaitu cashless society. Cashless society pada hakikatnya merupakan
salah satu ciri masyarakat modern dimana orang kurang mengandalkan transaksi secara
tunai. Makin banyak orang melakukan pembelian secara kredit untuk barang/jasa yang
tidak dapat dibelinya secara tunai. Di kalangan pedagang barang/jasa, sistem penjualan
secara kredit juga semakin berkembang terutama dalam upaya merebut pangsa pasar di
tengah kompetisi yang semakin sengit. Sebagai implikasinya, kartu kredit kini menjadi
bagian dari gaya hidup masyarakat di kota-kota besar.
Kehidupan di kota besar seperti Jakarta yang penuh kesibukan membuat orang
cenderung menginginkan yang serba cepat, mudah, dan praktis termasuk untuk kegiatan
yang bersifat konsumtif. Oleh penerbit kartu kredit, fenomena ini dijadikan acuan untuk
menawarkan kepraktisan dan keamanan dalam berbelanja. Adanya kartu kredit ini, bagi
sebagian masyarakat, mendukung gaya hidup yang dianutnya sehingga mereka
memanfaatkan kartu kredit pada semua transaksi pembelian barang/jasa.
Kartu kredit yang dikenal juga sebagai uang plastik kerap dijadikan sebagai alat
pembayaran utama mereka. Transaksi dengan menggunakan kartu kredit memberikan
kemudahan kepada masyarakat baik untuk pembelian barang/jasa maupun untuk penarikan
uang tunai bagi mereka yang enggan membawa uang tunai, tak pelak lagi kartu kredit
menjadi pilihan. Penggunaan uang plastik semacam ini dalam beberapa tahun belakangan
menjadi tren pada sebagian masyarakat di Indonesia.
Untuk transaksi tunai, dari sisi nominal mengalami penurunan sebesar 1,77%
menjadi Rp 4,44 triliun dari Rp 4,52 triliun pada 2010. Dari sisi volume, transaksi ambil
tunai juga menurun 7,17% menjadi 4,05 juta transaksi pada 2011 dari 4,36 juta transaksi
pada 2010. Salah satu pendorong penurunan transaksi tunai dan di sisi lain peningkatan
transaksi kartu kredit adalah masyarakat mulai terbiasa mengganti alat bayarnya dari tunai
menjadi kartu sehingga semakin meningkatkan volume transaksi kartu kredit.
Mengapa masalah ini menjadi krusial? Iklan media masssa bagaimanapun adalah
sebuah industri budaya yang mengusung wacana budaya tertentu. Ketika media massa
berupaya untuk menghadirkan nilai guna dari kartu kredit dalam iklan media massa, perlu
dipertanyakan, adakah memang itu berlandaskan pada tujuan yang semata-mata demi nilai
I.2. Permasalahan
Rencana penelitian ini bertolak dari banyaknya iklan kartu kredit yang meramaikan
media massa tanah air. Maka ketika iklan kartu kredit tayang secara intensif, muncul tanda
tanya besar yang menjadi pokok permasalahan penelitian ini:
Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pemaknaan perempuan yang shopaholic
dalam iklan kartu kredit, stereotip perempuan sebagai ‘penghabis uang keluarga’, dan
pergeseran nilai guna kartu kredit menjadi nilai tukar.
Menurut Jane Kenway dalam Norris, isi media massa semakin mendukung budaya
konsumerisme. Surat kabar atau televisi sekarang ini banyak membuat suatu bagian atau
program yang khusus dirancang untuk channel komersial. Kita semakin mudah
menemukan liputan khusus tentang barang konsumsi, tempat belanja, saran atau tips
belanja dan berbagai cerita mengesankan tentang pengalaman berbelanja. Istilah populer
untuk bentuk liputan semacam itu disebut jurnalisme komersial.
Selain isi media massa, perkembangan yang pesat juga terjadi pada bidang
pemasaran dan periklanan produk konsumsi, dimana budget belanja iklan dan penciptaan
merk pada perusahaan juga semakin bertambah besar. Biaya promosi justru seringkali lebih
besar dari biaya produksi dari komoditas itu sendiri. Karena bagaimanapun iklan masih
dianggap dan terbukti menjadi metode promosi yang paling ampuh.
Periklanan menjadi semakin canggih dan persuasif belakangan ini. Jika kita
mengamati bentuk iklan saat ini, kita akan melihat visualisasi iklan terkadang jauh lebih
baik dari realitasnya, atau disebut juga hiper-realitas. Williamson (1978) dalam studinya
tentang periklanan menerapkan konsep ideologi, sebagaimana yang didefinisikan
Althusser, yang dipahami sebagai “imaginary relationship of individual to their real
condition of existence”. Menurutnya, ideologi dalam periklanan menyempurnakan makna
dan gagasan dari pengalaman, seperti kecantikan, kesuksesan, kebahagiaan, ilmu
pengetahuan, terhadap produk komersial yang ditujukan untuk konsumen.
Iklan menjadi sebuah jalan untuk menciptakan kondisi budaya atau sosial yang
ideal dan menjadikan seseorang menjadi seperti yang diinginkan. Diri kita dibentuk ulang
atau diubah oleh periklanan yang berujung pada terbentuknya suatu perasaan imajiner
tentang kenyataan. Iklan menciptakan simulasi untuk menanamkan simbol-simbol dari
objek dalam masyarakat. Pada awalnya, barang-barang ditampilkan berdasarkan kualitas
material dan fungsinya. Kemudian, secara bertahap, iklan akan menciptakan ’cara’ untuk
membuat asosiasi dari tanda yang berasal dari objek dengan suatu gaya hidup atau dengan
kehidupan sosial masyarakat. Sehingga yang ditekankan dalam iklan adalah asosiasi objek
dengan sesuatu yang diinginkan atau hasrat dari masyarakat.
Iklan mampu menciptakan mimpi dan ilusi karena memunculkan gambar yang
dimanipulasi. Hal tersebut digunakan pengiklan untuk menciptakan realitas fantasi karena
apa yang tampak di dunia nyata tidak lagi dianggap cukup efektif untuk memperoleh apa
Menurut Baudrillard, ketika kita mengonsumsi sebuah objek maka sebenarnya kita
sedang memakai simbol dalam proses membatasi diri kita terhadap perilaku maupun dalam
interaksi sosial. Dan objek menghasilkan ‘person’ maksudnya adalah dengan
mengonsumsi sebuah objek maka setiap konsumen akan mencari tempatnya dalam tatanan
sosial dan membentuk stratifikasi sosial dan menjaga posisi tersebut secara kontinu.
Dengan kata lain, setiap orang dilihat berdasarkan apa yang dia konsumsi. Dan disinilah
permulaan titik penyimpangan dari logika Marx dalam pemikiran Baudrillard. Dengan
logika empat objeknya, Baudrillard mulai menjauh dari pemikiran Marx tentang nilai
sebuah objek. Logika empat objek itu adalah:
1. Nilai fungsional, yaitu tentang tujuan instrumental dalam hal penggunaan sebuah objek
(dalam bahasa Marx adalah “nilai guna” objek atau komoditas).
2. Nilai tukar, yaitu nilai ekonomis dari sebuah objek konsumsi.
3. Nilai tukar simbolis, yaitu nilai yang telah dibangun bersama dalam masyarakat untuk
sebuah objek konsumsi dibandingkan dengan objek lain.
4. Pertukaran nilai simbol objek merupakan pertukaran dalam perbandingan dengan
objek-objek lain dalam suatu sistem objek.
Dengan logika tersebut, kita sebenarnya sudah tidak lagi hanya mengonsumsi
objek, tetapi lebih ke arah mengonsumsi simbol. Konsumsi sendiri menurut Baudrillard
merupakan tindakan sistematis dalam memanipulasi simbol, dan untuk menjadi objek
konsumsi, objek harus mengandung atau bahkan menjadi simbol. Dalam mengonsumsi
objek, otomatis kita juga mengonsumsi simbol yang sama, dan secara tidak sadar kita mirip
Baudrillard menegaskan bahwa dalam dunia yang dikontrol oleh kode, konsumsi
berhenti ketika apa yang kita sebut sebagai ‘kebutuhan’ terpuaskan. Baudrillard kemudian
mendekonstruksikan dikotomi subyek-obyek dan lebih umum, pengertian tentang
‘kebutuhan’. Kita tidak perlu membeli apa yang kita butuhkan, tetapi apa yang dikatakan
kode pada kita seharusnya kita beli. Oleh karena itu, ‘kebutuhan’ sendiri pun ditentukan
oleh kode. Dan realitas yang dijalankan menjadi semu.
Di mana-mana dapat ditemukan objek yang semuanya diukur dengan nilai tukar
dan tentu saja masing-masing objek dapat ditukar dengan uang, sebuah alat tukar yang
merajai dunia. Dengan kata lain, mereka yang menguasai alat tukar akan mendominasi
dunia ini. Kelimpahruahan yang ada sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari
logika objek yang telah menguasai manusia. Kelimpahruahan ini terwujud dalam pasar
modern, seperti mall dan pusat perbelanjaan, dimana manusia tidak lagi menyadari bahwa
ia sedang melakukan aktivitas konsumsi.
Mereka terbius oleh iklan yang mengasosiasikan diri sebagai bagian dari kebutuhan
manusia, padahal tidak demikian. Mereka terhipnotis dengan kenyamanan dan kemudahan
berbelanja sehingga mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka tengah
melakukan ritual konsumsi. Ritual konsumsi yang dimaksud adalah kondisi dimana
Bagi Baudrillard, mall adalah sintesis dari kelimpahruahan dan kalkulasi yang
memungkinkan sintesis semua kegiatan konsumen yang membuat ‘eksplorasi yang malas’,
dimana mall membiarkan pembeli dengan mudah memperoleh apa yang dapat dikonsumsi.
Menurutnya, mall lebih cocok dengan konsumsi modern, dimana orang-orang diarahkan
tidak lagi untuk berbelanja kebutuhan yang diperlukan, melainkan juga sebagai pertukaran
simbol melalui konsumsi simbol di dalam interaksi sosial.
Baudrillard juga menambahkan betapa pentingnya kartu kredit bagi mall dan
masyarakat konsumsi. Karena dengan kartu kredit dapat memudahkan konsumen untuk
tetap mengonsumsi objek-objek yang berlimpahruah tersebut.
Budaya berkembang sejak dulu hingga kini dalam masyarakat kita, yang sebagian
besar menganut sistem patriarkal, masih menempatkan perempuan pada posisi yang tidak
menguntungkan. Perempuan digambarkan sebagai objek kekerasan, eksploitasi seksual,
pendukung konsumerisme, atau stereotipe negatif lainnya. Stereotipe perempuan seringkali
digambarkan dengan rumusan 5P, yakni harus selalu tampil memikat (pigura), pengurus
utama pekerjaan rumah tangga (pilar), menjadi objek pemuas laki-laki (peraduan), identik
dengan dunia dapur (pinggan), dan selalu khawatir tidak diterima oleh lingkungan
(pergaulan). Jarang terdapat wacana yang menggambarkan perempuan sebagai subjek yang
aktif secara ekonomi, sosial, atau politik.
Salah satu elemen dari 5P yang kemudian menjadi stereotipe negatif perempuan
hingga saat ini, menyatakan bahwa perempuan adalah ibu rumah tangga yang bertugas
mengurus persoalan rumah tangga sangat dominan dalam masyarakat. Stereotipe ini
membawa persepsi bahwa kosa kata berbelanja, mencuci, menata dan merapikan,
memasak, dan sebagainya adatah kosa kata stereotipis perempuan. Memang secara kultural
10
Wanita menjadi potensi pemasaran yang luar biasa. Dalam kehidupan sehari-hari
wanita menjadi manajer pembelian untuk bermacam-macam barang dan jasa. Dengan
semakin majunya pendidikan wanita, produk-produk yang di masa lalu hanya layak
ditargetkan untuk laki-laki, sekarang pun berpotensi besar ditargetkan kepada kaum
wanita. Wanita bukan hanya memerlukan informasi tentang barang konsumsi sehari-hari,
perabotan rumah tangga, dan kecantikan, melainkan juga produk-produk otomotif,
program pendidikan, real estate, transportasi, dan pariwisata. (Rhenald Kasali, 2000).
Bahkan menurut survei di Inggris, setiap enam puluh detik seorang wanita
memikirkan tentang produk fashion. Penelitian tersebut secara tidak langsung semakin
menguatkan stereotipe perempuan sebagai sosok yang konsumtif. Dan atas dasar tersebut,
kaum kapitalis memiliki alasan yang semakin kuat untuk memanfaatkan sosok perempuan
dalam rangka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
11
Studi Resepsi diawali kajian yang dilakukan oleh David Morley yang dalam
perkembangannya kemudian mengubah fokus dari ideologi politik ke pertanyaan
bagaimana perempuan menggunakan media. Para pakar ini melihat bagaimana audiens
perempuan menanggapi dan melakukan resistensi terhadap konten media. Teori ini
mencoba menjelaskan bagaimana khalayak mengkonstruksikan makna dari konten media
yang biasa disebut sebagai teks. Pendekatan ini berasumsi bahwa makna media adalah
sesuatu yang tidak kaku. Teks media hanya memiliki makna ketika terjadi momen resepsi,
yaitu ketika media dibawa, dilihat atau didengarkan, dan makna dari teks media itu sendiri
tidak tetap, mereka dikonstruksikan oleh audiens. Konstruksi makna itu terjadi melalui
interpretasi terhadap teks media (Crotoeau & Hoynes, 2000). Analisis resepsi berpendapat
bahwa makna terbentuk dari interaksi antara teks dengan audiens media. Teks media dalam
konteks ini mencakup film, televisi, dan media cetak.
Khalayak dilihat sebagai produser makna dan bukan hanya sebagai pengkonsumsi
konten media. Mereka men-decode atau memberikan makna pada teks media dengan cara
menghubungkannya dengan lingkungan sosial dan budaya mereka, dan dengan cara
bagaimana mereka memberikan makna pada keadaan lingkungan mereka. Oleh karena itu,
faktor kontekstual audiens menjadi hal yang penting karena proses resepsi dan produksi
makna tidak dapat dipisahkan dari konteks dimana pemaknaan itu terjadi.
12
13
3. Oppositional Reading, yaitu pembaca pesan mengerti makna yang diinginkan oleh
produsen, tetapi mereka menolak makna tersebut serta memaknai dengan cara
sebaliknya. Pada posisi ini, ideologi pembaca berlawanan dengan pembuat teks.
Pembaca oposisi umumnya ditandai dengan rasa ketidaksukaan dan
ketidakcocokkan terhadap teks wacana yang dikonsumsi.
14
Menurut Littlejohn (1999), teori kritis yang didasarkan pada pemikiran Marx, pada
dasarnya memfokuskan pada isu-isu tentang ketidakadilan dan penindasan, dan menaruh
perhatian pada konflik kepentingan dalam masyarakat dan cara-cara komunikasi yang
mengukuhkan dominasi yang satu terhadap lainnya. Dengan demikian, maka penelitian
yang dilakukan berdasarkan teori kritis ini dalam usaha:
15
Memahami isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi seseorang.
Memahami isu-isu sensitif.
Meneliti hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang informan penelitian,
Dimanfaatkan untuk peneliti yang berminat untuk menelaah suatu latar belakang,
misalnya tentang motivasi, peranan, nilai, sikap, dan persepsi.
Metode ini membuat peneliti memahami realitas yang diteliti, bukan mencari
kebenaran; fokus pada proses, bukan pada hasil penelitian. Pemahaman pun harus dari
sudut pandang informan penelitian, bukan dari sudut pandang peneliti.
Terkait dengan hal tersebut, dapat dikatakan pula bahwa usaha yang dilakukan
peneliti ditujukan untuk menggali isu-isu sensitif. Hal ini disebabkan data yang diperoleh
adalah data berupa informasi dari informan, bukanlah berdasarkan kuesioner tertutup. Oleh
sebab itu, informan dapat secara bebas memberikan keterangan seputar masalah yang
hendak diperoleh peneliti. Dengan kata lain, isu-isu sensitif seputar pengalaman informan
mengenai kartu kredit dapat digali lebih dalam oleh peneliti.
Selain itu, peneliti juga mengkaji lebih dalam mengenai latar belakang informan
penelitian. Hal ini dilakukan agar mengetahui bagaimana aktivitas keseharian, lingkungan,
orang tua, hingga pada permasalahan pribadi yang dimiliki oleh informan serta nilai-nilai
16
Dalam penelitian ini, kaum perempuan tidak lagi hanya dijadikan objek penelitian,
tetapi mereka juga harus mampu menjadikan dirinya sendiri sebagai informan penelitian
yang mampu meneliti dirinya, dalam arti mampu mengartikulasikan permasalahannya serta
mampu mencari jalan keluarnya sendiri sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Dengan
demikian, mereka mampu mengetahui potensi yang mereka miliki untuk mengubah
perpektif yang dimilikinya menjadi lebih baik.
17
Ketiga, informan memiliki kartu kredit dan aktif dalam bertransaksi. Peneliti
menganggap bahwa kepemilikan kartu kredit memiliki relevansi mendasar dengan topik
dari penelitian ini. Kepemilikan kartu kredit dan keaktifan bertransaksi diharapkan menjadi
dasar informan dalam memberikan informasi mengenai pola penggunaan dan pandangan
informan mengenai motivasi dalam menggunakan kartu kredit dalam bertransaksi.
Dipadukan dengan pergaulan mereka sehari-hari, kemungkinan munculnya pandangan
‘baru’ dalam diri informan terhadap kartu kredit dan media yang mempromosikannya,
menurut peneliti sangat mungkin akan muncul.
Wawancara mendalam adalah salah satu dari alat pengumpulan data, yang
menggali dengan pertanyaan baik dengan menggunakan panduan wawancara maupun
kuesioner. Instrumen ini digunakan untuk memperoleh jawaban tentang apa saja hal-hal
18
Lokasi penelitian yang dipilih adalah Depok, dengan latar alamiahnya adalah Mall
Margo City. Pertimbangan pemilihan lokasi ini adalah:
1. Dekat dengan peneliti. Sebagian besar peneliti menetap di Depok, daerah kampus
Universitas Indonesia. Dengan demikian, hal tersebut akan mempermudah jalannya
penelitian karena dekat dengan latar alamiahnya.
19
Informan dalam penelitian ini terlalu sedikit karena berjumlah satu orang dan
berasal dari kalangan mahasiswa. Hal ini dengan sendirinya menjadikan pendapat dan hasil
pemaknaan informan dalam penelitian ini nantinya bukanlah merupakan representasi
pemaknaan oleh kaum perempuan pada umumnya karena tidak berasal dari berbagai
lapisan masyarakat. Terlebih lagi, informan hanya melakukan pembacaan oposisional.
Masyarakat
Individu
Dominant Reading
Negotiated Reading
Oppositional Reading
20
21
IV.1. ANALISIS
IV.1.1. Latar Belakang Informan
Informan yang berusia 21 tahun ini berasal dari keluarga dengan status
sosial ekonomi tengah ke atas. Di Depok, saat ini informan merupakan mahasiswi
rantauan, dan sesekali berkumpul dengan keluarganya yang tinggal di daerah
Bintaro, Jakarta Selatan. Kegiatan sehari-hari informan adalah kuliah, mengikuti
unit kegiatan mahasiswa (UKM) paduan suara Paragita UI, melatih peserta dan
menjadi juri debat bahasa Inggris.
Pemasukan informan berkisar antara 1,5 hingga 2 juta per bulan, yang
diperoleh dari orang tuanya. Selain itu, informan juga memiliki sumber pemasukan
lain yang berasal dari kegiatan melatih dan menjadi juri debat bahasa Inggris,
dengan nominal penghasilan yang bervariasi. Pemasukan itu berkisar antara 1
sampai 3,5 juta per bulan.
Informan hanya memiliki satu buah kartu kredit dengan jenis Master Card
dari Bank Mandiri. Tipe kartu kredit tersebut adalah Titanium dengan pagu kredit
sebesar 30 juta. Kartu kredit tersebut telah informan miliki sejak tahun 2011.
22
23
Informan dan ibunya merupakan pemegang kartu kredit tambahan dari kartu
kredit utama yang dimiliki ayah informan. Hal ini mempengaruhi pola penggunaan
kartu kreditnya yang dibatasi oleh aturan yang ditetapkan oleh ayahnya selaku
pemegang kartu utama. Informan sendiri menilai bahwa jumlah kartu kredit yang
dimilikinya sudah sesuai dengan kebutuhan, seperti kebutuhan ke rumah sakit
secara regular dan membeli buku. Namun demikian, informan merasa bahwa jenis
kartu kredit yang dimilikinya tidak sesuai dengan tingkat kebutuhannya karena
bunga yang tinggi dan pagu kartu kredit yang mencapai 30 juta per bulannya yang
dirasa berlebihan.
24
25
26
IV.2. INTERPRETASI
27
Dari pernyataan di atas, terlihat bahwa informan menggunakan kartu kredit untuk
membeli kosmetik karena ada potongan harga apabila pembayaran dilakukan dengan
menggunakan kartu kredit Mandiri yang dimilikinya, bukan semata-mata karena informan
hanya ingin bertransaksi dengan menggunakan kartu kredit.
28
Peringatan dari orang tua informan juga melatarbelakangi pola penggunaan kartu
kredit yang cukup ketat oleh informan, sebagaimana pernyataan informan, “... Papa aku
tetap nekanin sih yang namanya pengeluaran itu ditekan, ditekan, ditekan. Kalau
misalnya emang ga butuh, jangan. Dan aku juga ga ikut-ikutan kayak temen-temen gitu,
misalnya kayak gaul kemana gitu. Aku lebih ke apa ya,. sibuk dengan kegiatan aku sendiri.
Kalau misalnya aku butuh, beli. Kalau misalnya enggak, enggak.”
Informan memiliki aturan dalam penggunaan kartu kredit yang didapatkan dari
ayah informan dan dirinya sendiri. “... Papa aku punya list apa aja pengeluaran yang
ditanggung orang tua, apa aja yang tanggungan aku sendiri. Selama pengeluaran itu
masih tanggungan orang tua, aku make kartu kredit. Misalnya beli buku. Kan aku pernah
beli buku di Times. Terus apa lagi ya, rumah sakit. Aku sebenarnya tujuan pake kartu
kredit ini untuk rumah sakit. Soalnya kalo aku ke rumah sakit, tagihan kartu kredit papa
aku, nanti aku kan ada tagihan dari rumah sakit, itu diganti sama perusahaan.”
Terdapat daftar kebutuhan yang menjadi tanggungan orang tua dan kebutuhan yang
ditanggung oleh informan sendiri. Adapun kebutuhan yang menjadi tanggungan orang tua
adalah kebutuhan pendidikan dan biaya kesehatan, dan terkadang untuk membayar
kebutuhan keluarga. Kebutuhan di luar hal-hal tersebut yang menjadi tanggungan informan
adalah seperti untuk membeli baju dan peralatan make up.
“Kalau untuk kebutuhan aku sendiri aku disuruh ganti. Misalnya gini, setiap
bulan kan aku dikirimin tagihan kartu kreditnya. Ee ya terus terhitung pakenya berapa, tek
tek tek tek. Terus kayak udah hitung, aku pengeluarannya segini, oh yaudah aku transferin
ke papa. Aku kan ada rekening papa juga. Jadi ya hasil aku kerja itu, terus juga uang jajan
bulanan aku. Itu juga nantinya dikurangin lagi untuk tagihan kartu kredit.”
Peneliti melihat aturan yang didapatkan oleh informan, baik dari orang tua maupun
yang ditetapkan dari dirinya sendiri, semakin mendorong informan untuk lebih bijak lagi
29
Meski kelompok pertemanan informan sering kali menggunakan kartu kredit ketika
hang-out, informan tidak mengikuti pola penggunaan kartu kredit dalam frekuensi dan
jumlah yang cukup tinggi sebagaimana yang dilakukan oleh teman-temannya. Informan
justru lebih memilih untuk menumpangi transaksi bersama dengan menggunakan kartu
kredit temannya daripada temannya yang menumpang membayar melalui kartu kreditnya.
Informan menerangkan, “Kalau misalnya temen-temen lagi jalan, misalnya mereka “aduh
aku lagi ga bawa cash nih. Aku bayar pake kartu kredit aja ya. Kalian bayar cashnya aja
ke aku”. Dan aku yaudah pake kartu kredit temen, aku bayar ke dia. Tapi kalau misalnya
aku yang nanggung, aku ga mau soalnya tagihannya jadi gede.”
30
Pandangan kritis informan terhadap promosi iklan kartu kredit terlihat dari
pernyataan “Kalau yang biasanya cicilan 0 persen itu kan untuk barang yang mahal ya
harganya. Jadi aku ga pernah pake kartu kedit aku untuk bayar yang semahal itu juga ...
Aku pake kartu kreditnya apa ya, bukan karena. Istilahnya karena emang lebih untung
pake kartu kredit gitu. Tapi kalau diperlakukan selayaknya kredit itu kan bisa menumpuk
utangnya ... Menurut aku sih ga tau karna aku udah kena terpaan kritis atau gimana. Cuma
aku tuh emang gini, kalau misalnya aku ga perlu ya aku ga beli.”
Informan sadar bahwa iklan media massa menggambarkan kartu kredit sebagai
solusi atas keterbatasan finansial dari target audiensnya. Namun sebagai pengguna kartu
kredit, informan tahu membedakan mana yang kebutuhan yang benar-benar diperlukan dan
mana yang bukan. Misalnya, untuk barang-barang elektronik dengan cicilan 0%, informan
tidak tertarik untuk membeli dengan menggunakan kartu kredit. Karena, informan
memiliki prinsip, kartu kredit digunakan untuk membeli barang-barang yang memang
diperlukan, bukan untuk membeli yang diimpikan oleh pemiliknya.
Selaras dengan argumen dari Jane Kenway, informan juga memandang bahwa isi
media massa semakin mendukung budaya konsumerisme. “Berdasarkan iklan-iklan yang
tadi, kartu kredit itu sudah menjadi lifestyle. Akhirnya orang make nggak untuk kebutuhan
ideal tadi, tapi lebih ke yang belanja gini-gini. Apalagi kalau kita ke toko baju, ada diskon
untuk yang pake kartu kredit ini ini. Akhirnya mendorong orang untuk belanja.”
31
“... Aku kan masih menggolongkan diri aku di kelas menengah. Menurut aku
harusnya orang-orang yang belanja gila-gilaan gitu, ya orang-orang yang
penghasilannya bener-bener kaya juga. Pengusaha kek atau anggota DPR kek, atau apa
gitu. Cuma kalau orang-orang kayak aku tidak selayaknya kayak gitu.” Atas pernyataan
tersebut, informan melihat bahwa iklan kartu kredit bukan merupakan realitas yang
sebenarnya dalam dunia nyata, melainkan realitas semu yang dikonstruksi oleh media
massa. Karena target audiens yang sebenarnya adalah kelas atas, bukan kelas tengah ke
bawah.
32
“Kalau misalnya aku, yang namanya belanja itu kewajaran bagi orang yang
banyak duit. Jadi, kayak terlepas dari dia cewek apa cowok.”
33
Informan menggunakan kartu kredit bukan karena alasan kebanyakan orang yang
dangkal, bahwa kartu kredit sebagai simbol prestise dan memungkinkan penggunanya
berbelanja sepuasnya. Informan justru memandang kartu kredit secara bijaksana. Untuk
itu, tidak terjadi pergeseran nilai guna kartu kredit menjadi nilai tukar karena informan
melakukan pembacaan oposisional terhadap iklan kartu kredit dalam media massa dan
stereotipe perempuan sebagai ‘penghabis uang keluarga’ dalam masyarakat.
Hal ini diperparah dengan penggunaan kartu kredit tersebut secara berlebih-
lebihan, untuk membeli barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan, namun karena
terpapar pesan-pesan ilusional dari iklan kartu kredit dan adanya kartu kredit untuk
mewujudkan pesan-pesan ilusional tersebut, maka pemilik kartu kredit terjebak dalam
praktik konsumerisme berganda yang tidak disadarinya.
Menyadari hal tersebut, informan menghimbau para pengguna kartu kredit untuk
juga melakukan pembacaan iklan kartu kredit secara oposisional dan memaknai pesan-
pesan dalam iklan kredit secara kritis. Hal ini dikarenakan iklan kartu kredit pada dasarnya
dapat memicu pola penggunaan kartu kredit secara tidak bijak, berlebih-lebihan, hingga
cenderung membuat seseorang menjadi individu konsumtif.
34
Dari penelitian kami, yang berjudul Pemaknaan Konsumerisme Perempuan dalam Iklan
Kartu Kredit, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Penggambaran perempuan yang shopaholic dalam iklan kartu kredit tidak dimaknai
informan sebagai suatu realita. Dengan pembacaan oposisional yang dilakukannya,
informan menyadari bahwa iklan kartu kredit pada dasarnya mendorong audiensnya
untuk mengikuti pesan-pesan promosional dan pengalaman berbelanja yang
ditampilkan oleh model dalam iklan. Oleh karena itu, informan meyakini bahwa iklan
kartu kredit mendorong audiensnya untuk menjadi pengguna kartu kredit yang aktif
dan individu yang konsumtif.
3. Informan memaknai fungsi kartu kredit berdasarkan nilai gunanya. Hal ini
dikarenakan informan menggunakan kartu kredit sesuai dengan fungsi dan keuntungan-
keuntungan yang ditawarkan melalui transaksi menggunakan kartu kredit, bukan untuk
simbolisasi prestise dan belanja secara berlebih-lebihan; yang merupakan pergeseran
fungsi kartu kredit menjadi nilai tukar.
35
Buku
Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitaif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Durham, Meenakshi Gigi & Douglas M. Kellner. 2002. Media and Cultural Studies
Keyworks. Great Britain: Blackwell Publishers.
Hennink, Monique, Inge Hutter & Ajay Bailey. 2011. Qualitative Research Methods.
California: SAGE Publications Ltd.
Kasali, Rhenald. 1999. Membidik Pasar Indonesia, Targeting dan Positioning. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
McQuail, Dennis & Sven Windhal. 1996. Communication Model for The Study of Mass
Communications. Edisi Kedua. Singapore: Longman.
Tesis
Website
www.indonesiafinancetoday.com/read/26245/Transaksi-Kartu-Kredit-Kuartal-I-Naik-121
(diakses pada 20 Mei 2012, pukul 11.05)
36
Background information
Nomor Informan :
Usia : tahun
Pendidikan : di
Opening questions
1. Dapatkah Anda ceritakan tentang kartu kredit yang Anda miliki?
Probe: jumlah, bank apa saja, sejak kapan
2. Mengapa Anda lebih memilih transaksi menggunakan kartu kredit dibandingkan debit
atau tunai?
37
2. Bagaimana pandangan Anda mengenai bunga rendah dan potongan harga yang
dipromosikan dalam iklan kartu kredit?
Probe: sesuai dengan kenyataan, berlebihan, pengalaman lainnya
3. Bagaimana pandangan Anda mengenai kesan shopaholic yang identik melekat pada
diri perempuan terkait dengan promosi iklan tersebut?
Probe: pembacaan dominan, negosiasi, oposisional
2. Siapa pula yang paling bertanggungjawab untuk melunasi kartu kredit Anda?
Probe: orang tua, diri sendiri, pandangan ketika melebihi limit
38
2. Apakah jumlah kartu kredit yang Anda miliki sesuai dengan kebutuhan Anda? Probe:
tidak ke arah positif, negatif sehingga berencana menambah kartu kredit
Closing Question
1. Bagaimana pola ideal pengelolaan keuangan oleh perempuan?
Probe: pengelolaan keuangan yang baik, tidak perlu kartu kredit
2. Sebagai representasi dari kalangan perempuan pengguna kartu kredit, apa harapan
Anda terkait upaya menangkal paparan konsumerisme media massa ?
Probe: literasi media, bijak menggunakan kartu kredit
39
P: Stella punya pemasukan perbulan, gak? Atau mungkin gak apa-apa ya kalo bicara
dikit kiriman dari orang tua atau mungkin ditambah lagi penghasilan dari mana-mana
gitu?
I: Kalau dari orang tua itu, aku kira-kira satu sampai dua juta perbulan.
Penghasilan aku misalnya kayak terakhir aku nge-coach itu dapat 1,5 juta.
Minggu sebelumnya pernah lagi aku dapat panggilan ke daerah untuk nge-
coach, itu seminggu dikasih 3,5 juta. Terus, aku misalnya kalo ngeju-ngeju gitu,
satu orang 50 ribu. Terakhir aku ngeju dua hari, 1 juta. Cuma, kayak gitu kan
nggak penghasilan tetap gitu lho.
P: Jadi mungkin kalo bisa kita rata-ratain sebulan mungkin dua jutaan kali ya?
I: He eh, sekitaran segitulah.
P: Naaah Stella bisa gak menceritakan tentang kartu kredit yang Stella miliki?
I: Ee.. Aku cuma punya satu kartu kredit. Dan itu master card dari mandiri. Itu
yang titanium. Aku punya kartu kredit itu sejak tahun lalu.
P: Tahun lalu. Baru tahun kemarin 2011. Sebelumnya udah pernah pake kartu kredit?
I: Debit aja
P: Oh debit aja sebelumnya. Okey okey. Terus kenapa Stella lebih memilih
bertransaksi menggunakan kartu kredit dibandingkan debit ataupun tunai?
I: Karena kalau tunai kan, kalau tunai terbatas dan itu pasti uang aku. Tapi
kalau misalnya kartu kredit kalau misalnya case tertentu aja yang papa nyuruh
ganti. Heh.. terus ini sih biasanya aku lebih milih kartu kredit itu karna... hmm..
ini nih biasanya ada program-program khusunya, gitu.. misalnya kayak apa ya..
misalnya kayak pizza hut delivery. Kalau misalnya bayar pake cash kan 100%
tapi kalo pake kartu kredit bisa diskon 15%.. jadi kan lumayan juga.
P: Oh iya, potongan harga gitu ya? Biasanya paling sering dipake untuk apa aja tuh?
Misalnya kalo ada promosi, atau program-program itu, atau potongan apa aja?
I: Ooh.. kalo misalnya untuk pake programnya itu sendiri sih aku jarang.
Biasanya kalo ada keperluan baru aku pake kartu. Jadi gini, papa aku itu punya
list apa aja pengeluaran yang ditanggung orang tua, apa aja yang tanggungan
40
P: Oh gitu, tapi utamanya yang kalo memang yang sesuai dengan yang diperuntukkan
untuk pake kartu kartu kredit sesuai list tadi ya.. okey... ngg.. ada gak kira-kira yang
memotivasi Stella untuk menggunakan kartu kredit yang berhubungan dnegan orang
gitu? Entah mungkin keluarga, atau teman pergaulan... gitu-gitu.
I: Enggak sih.. teman aku yang punya kartu kredit itu ga banyak juga.
P: Jadi kalopun pake kartu kredit tuh, motivasinya itu lebih dominan karena yang
disebutkan di jawaban kedua tadi ya?
I: Iya he eh..karena memang itu kebutuhannya atau karena kalau pake kartu
kredit lebih menguntungkan.
P: Nggg gitu.. okey.. kalo misalnya dari, misal kayak suka bergaul dengan kalangan
pergaulan yang agak-agak gimana, agak sering menggunakan kartu kredit yang tidak
masalah sering menggunakan kartu kredit itu gak ada pengaruhnya di diri Stella?
I: Justru kalau misalnya temen-temen lagi jalan kaya gini nih, misalnya mereka
“aduh aku lagi ga bawa cash nih. Aku bayar pake kartu kredit aja ya. Kalian
bayar cashnya aja ke aku”. Kalau misalnya kayak gitu kan tagihan atau bill-nya
kan bisa sampe 700 ribu gitu. Dan aku yaudah jadi aku pake kartu kredit temen,
aku bayar ke dia. Tapi kalau misalnya aku yang nanggung, aku juga ga mau
soalnya tagihannya jadi gede. Gituu...
P: Oh gitu.. oh okey sip sip. Nah, jadi seperti yang udah kita jelaskan tadi di awal tuh,
brief-nya kan kita mau melihat konsumerisme perempuan dalam iklan. Sekarang kita
beranjak tentang... Perempuan dan iklan gitu. Jadi, kira-kira Stella bisa gak
menceritakan media-media yang mempromosikan kartu kredit yang pernah Stella
lihat, kemudian Stella ikuti, misalnya ada promo ini, terus tertarik, trus gitu-gitu..
I: Oh gitu.. iya sih aku biasanya tau dari email yang kaya gitu. Atau tau dari mana
ya..? misalnya kalau lagi jalan cari makan, eh ternyata kalau disini pake kartu
kredit mandiri ada diskon sekian persen gitu. Eeh terus apa ya.. eeh dulu aku
melakukan transaksi karena iklan itu pernah sekali karna kebetulan waktu itu
kau lagi butuh make up. Kan untuk yang paragita kan emang lagi mau lomba
juga kan dan aku juga masih perlu make up makanya aku beli gara2 tau ada
41
P: Medianya gitu. Media massanya yang Stella tahu. Aaa.. haaha.. Kalo dari TV agak
kurang ya?
I:. Secara aku ga punya TV jadi aku ga tau juga. Hehe hee.
42
P: Oohh gitu, jadi cukup bisa melihatlah mana yang betul-betul kebutuhanlah dalam
menggunakan kartu kreditnya. Okey, terus gimana kesan shopacholic yang identik
melekat pada diri perempuan ada terkait dengan iklan kartu kredit. Ngerasa gak sih
kalo di brosur atau pamflet tuh, biasanya tuh bukan biasa sih, seringkali perempuan
lagi memegang kantong belanjaaan seberapa banyak, bunga cicilan 0%, gitu-gitu
segala macam. Menurut Stella gimana selama ini? Atau terterpa gak selama ini?
I: Ee dengan gaya tuntutan glamor diamond stay gitu?
P: Okey sip sip. Selanjutnya. Aaaaa... menurut Stella nih apakah reperesentasi
perempuan dalam iklan-iklan kartu kredit yang aku gambarin itu justru
mengkonfirmasi dan menjadi pembenaran Stella untuk menggunakan kartu kredit
atau gimana? Maksud aku kayak misalnya ngeliat, ooh gak apa-apa kok ngeliat
perempuan-perempuan yang glamor, sosialita gitu, yang beriklan segala macam. Itu,
kayak Stella mengkonfirmasi oh ya udah gak apa-apa sih memang perempuan itu, ya
43
P: Tapi Stella, udah agak ini ya berarti, karena udah terterpa pandangan kristis kayak
gitu bisa dibilang udah agak resistan. Ah gak juga sih, kalo ngeliat perempuan-
perempuan gak kayak gitu. Kira-kira perempuan itu, kesan-kesan yang didapatkan
mengenai perempuan yang shopaholic di dalam iklan itu kayak gimana? apakah Stella
melihat diri Stella dalam perempuan-perempuan itu sebagai pengguna kartu kredit
itu atau justru ooooh nggak?
I: Enggak, aku nggak ngeliat. Ya kaya yang tadi aku bilang sih.. aku tidak melihat
itu sebagai suatu realita. Seandainya itu suatu realita, itu di dunia yang berbeda
gitu.. ya kalau misalnya aku sendiri tipe orang yang sama sekali tidak
mengasosiasikan diri aku kaya gitu. Jadi kayak sebenarnya aku itu pake kartu
kredit itu gini.. aku jauh dari orang tua dan aku sering ini kan, kayak bolak-
balik rumah sakit gitu kan.. tiap bulan aku pasti ada ke rumah sakit. Dan sekali
ke rumah sakit itu kan 500 ribu gitu. Sementara duit aku sering kadang Cuma
dikasih sejuta. Masa sekali ke rumah sakit aku langsung ga punya duit? Dan
sebelumnya itu ada pernah kejadian, aku ke rumah sakit masuk emergency dan
aku ga punya uang untuk bayar, itu sampe aku minjam sama temen aku.temen
aku datengin aku untuk bayarin. Kaarna sejak kejadian itu, aku diaksih kartu
kredit kalau misalnya ke rrumah sakit. Tapi emang sih ujung-ujungnya
44
P: Ngerti-ngerti... gak apa-apa ya. Biasanya berapa nominal transaksi kartu kredit
yang Stella lakukan di setiap bulannya. Untuk kebutuhan apapun, tersier, primerkah
atau sekunderkah penggunaan kartu kredit itu? Maaf ya kalo agak sensitif nanyain
nominal angkanya...
I: Ga papa kok.. Ehmm.. terakhir sih tagihan aku tiga juta bulan lalu. Karna
emang apa ya, ee.. kan aku orang nya jarang membeli baju gitu kan.. jadi sekali
beli, sekali banyak. soalnya aku ga hobi shopping sebenernya. Sama ini sih,
kebetulan lagi ini.. kan aku kalau di times itu bulan ulang tahun kan dapat
diskon 20% untuk bayar. Jadi aku nahan ga beli-beli buku waktu bulan
kemaren. Pas aku beli kayak langsung satu setengah juta buat beli buku aja.
Yang kayak gitu.. Cuma kalau misalnya kalau standarnya, apa ya standarnya...
biasanya ini sih kadang juga gini, kayak kebutuhan keluarga pake kartu kredit
aku. Jadi misalnya kayak mama aku ngajak pergi kemana, “yok kita gini gini
gini.. gimana nih bayarnya pake kartu kredit Stella aja”. Soalnya kan ditagihan
itu kan keluar nanti ini buat apa, ini buat apa. Jadi kehitung yang kebutuhan
aku berapa. Cuma ya rata-rata kayak dua juta tiga juta gitu sih. Cuma itu udah
termasuk kebutuhan keluarga. Jadi ga cuma aku sendirian make. Kalau aku
pulang ke rumah kan misalnya eee mamaku ngajak pergi. “Kita lagi butuh ini,
gini gini”. Mau beli tangga kek, mau beli apa kek, itu pake kartu kredit aku juga.
Jadi kayak itu semacam kebijakan pengaturan pengeluaran keluarga
itungannya. Jadi tuh bukan bener-bener yang kayak, “ini tuh punya aku’. Itu
enggak.. keluarga aku tuh masih berbagi.
P: Itu dikontrol secara ketat gitu ya sama orang tua? Maksudnya kalo sewaktu-waktu
mau dipake untuk kebutuhan keluargaa, ya seflexibel itu aja atau emang Stella ada ya
dialokasikan gitu untuk kebutuhan keluarga...
I: Ee.. Itu emang udah diatur sama keluraga. Jadi sebenernya itu kan kayak gini,
kartu kredit itu kan ada yang utama, ada yang tambahan gitu kan.. jadi
sebenarnya pemegang kartu kredit utamanya itu papa aku. Cuma papa aku
ngasih aku sama mama aku kartu kredit dan ini, ee mungkin supaya apa ya.. ga
timpang aja penggunaannya. Jadi kayak nggak.. jadi waktu tagihan itu keluar,
yang keluar itu adalah tagihan kartu kredit papa, aku, sama mama, baru ditotal
gitu. Jadi eee.. biar rata, rata angkanya dan bayar tagihannya juga enak kan
bayarnya per kartu kan.. Dan biasanya itu papa yang bayarin. Makanya
45
P: Oh, trus biasanya yang paling bertanggung jawab untuk melunasi kartu kredit
Stella siapa?
I: Kalau misalnya untuk kebutuhan aku sendiri aku disuruh ganti. Misalnya
gini, ee setiap bulan kan aku dikirimin tagihan kartu kreditnya. Ee ya terus
dihitung Stella pakenya berapa, tek tek tek tek.. terus kayak udah hitung, aku
pengeluarannya segini, oh yaudah aku transferin ke papa. Aku kan ada
rekening papa juga. Jadi ya hasil aku kerja itu, terus juga uang jajan bulanan
aku.. itu juga nantinya dikurangin lagi untuk tagihan kartu kredit. Jadi tetep aja
walaupun apa ya.. walaupun kartu kreditnya kartu kredit apa, dari papa gitu,
kalau misalnya ada tagihan yang aku yang make, aku disuruh ganti. Hehe
(tertawa). Iya papa aku kayak gitu, emang seketat itu sih pengeluarannya.
46
P: Iya. Bagaimana pandangan Stella tentang kegunaan mendasar dari kartu kredit?
Sebenarnya tuh, nilai guna sebenar-benarnya dari kartu kredit apa sih menurut
Stella?
I: Kalau menurut aku kartu kredit itu untuk eee.. apa ya.... misalnya gini, dia...
yang pasti itu untuk orang yang udah punya penghasilan ya kalau menurut aku.
Soalnya kan kartu kredit itu aku rasa penggunaan dasarnya adalah kayak
untuk beli hp, yang bisa dicicil dan cicilannya nol persen. Itu kan sangat-
sanbgat menguntungkan kalo kayak gitu kita ga terasa berat. Misalnya beli hp
BB terbaru yang lima setengah juta. kan berat kalo misalnya dalam sekali
waktu langsung ngeluarin duit lima setengah juta. Dan berdasarkan
perhitungan ekonomi, dari nilai... dari nilai internal uang itu sendiri
47
P: Kalo gitu kayak tadi sebenarnya berkartu kredit tuh dibutuhkan, perlu untuk
orang-orang yang benar-benar membutuhkan dan untuk orang yang udah kerja gitu
ya?
I: Kalau mau dikasih ke anak pun, ya kayak aku kan aku jauh dari orang tua aku.
Dan aku yang masuk rumah sakit kemaren, dan aku akan rutin ke rumah sakit
sih sebenarnya.
P: Eee... itu check up rutin atau emang harus ke rumah sakit seperti itu, Stell?
I: Aku ga mau numpuk-numpuk sih kalau sakit. Jadi kalo misalnya ada keluhan,
aku langsung ke rumah sakit dan itu langsung diatasin. Tapi aku juga ga selalu
ke rumah sakit jug asih. Misalnya kayak akupuntur atau yang sekarang pilates
untuk mencegah sakit nanti-nantinya gitu. Kan kuliah ini beban psikologisnya
berat. Kita ga tau apa yang secara fisik terjadi di tubuh kita. Kita push diri kita
untuk kerja. sementara nanti kita udah tua, ternyata kita udah sakit aja..
makanya aku sering ke rumah sakit untuk mengontrol supaya kalu udah tua ga
tau-tau udah sakit apa gitu...
P: Mencegah nanti-nanti ya... oh oke sip-sip. Nah selanjutnya kira-kira maaf aku boleh
tahu gak jumlah kartu kredit Stella cuman satu atau lebih?
I: Yang tadi satu, mandiri yang titanium.
P: Cuma satu. Oh gitu. Eehmmm ... menurut Stella jumlah kartu kredit yang Stella
miliki sesuai gak dengan kebutuhan Stella?
48
P: Oh gitu. Lebih dari yang Stella butuhkan. Itu gimana, mungkin bisa diceritakan. Ha
ah...
I: Jadi kan kartu kredit itu kan ada level-levelnya lagi. Misalnya kayak gold,
titanium, apa segala macam. Terus papa aku tuh ngasih yang titanium. Aku ga
butuh yang titanium soalnya aku makenya ga tinggi juga. Soalnya kan semakin
tinggi level kartunya, semakin tinggi pula yang dibayar ke bank. Tapi disitu juga
manfaatnya. Dan kenapa aku juga pake yang titanium soalnya waktu itu aku
lagi mau keluar negeri dan kalau beli tiket keluar negeri pake kartu kredit itu
bisa dapet double point reward gitu..
P: Itu memang limitnya kalo boleh tahu limitnya berapa ya Stel, kartu kredit yang
Stella punya?
I: Kalau pagu kreditnya 30 juta.
P: Sementara Stella sepertinya belum akan membeli seperti-seperti itu? Emang agak
lebih....
I: Iya he eh..
P: Oh gitu. Stella menetapkan sendiri gak aturan dalam menggunakan kartu kredit
gitu lho?
I: Iya.. if you don’t need it, don’t use it. Hehe (tertawa). Sesimpel itu gitu.. soalnya
kalau aku tuh kerasa banget. Pas diakhir bulan keluar tagihannya, aku tuh
disuruh bayar sendiri. Jadi sama aja..
P: Dan itu, seketat itu rulesnya Stella lakukan untuk diri Stella sendiri karena
konsekuensi logisnya itu ya?
I: Soalnya aku ngeliat temen-temen aku, gampang banget pake kartu kredit. Ya
beda-beda juga sih ya keadaannya. Kalau aku kan nanggung sendiri, ga
ditanggung orang tua. Jadi ya emang harus irit.
49
P: Berarti seketat itu. Kalo momennya itu kayak apa Stell? Atau kayak tadi tuh mesan
pizza karena ada diskon 15 persen atau memang ada great sale, wow pake kartu
kreditnya gitu atau ada gak kira-kira?
I: Iya, he he . Jadi, papaku sebenarnya yang bukan apa untuk pakek kartu
kreditnya sih. Papaku bilang, eh, ini yang ditanggung orang tua, ini yang nggak,
dan lain-lain gitu. Jadi kayak, kalo misalnya contoh-contoh yang nggak
ditanggung. Tapi untuk yang ditanggung, papaku benar-benar bikin listnya,
kayak apa pakaian, buku, rumah sakit. Rumah sakit sesuai dengan peraturan
perusahaan. Misalnya kan mana yang di-reinburse , mana yang nggak. Kalau
nggak di-reinburse, ya aku disuruh tanggung sendiri. Kayak pilatest kan
sebenarnya itu untuk olahraga bagus ya. Ya, papaku bilang itu kan nggak
ditanggung oleh perusahaan. Jadi kamu sendiri. Ya bagus sih kalo misalnya
investasi untuk kesehatan sendiri. Jadi, ya, makanya, ya mulailah untuk
bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
P: Hmmm gitu... Menurut Stella nih gimana pola ideal pengelolaan keuangan oleh
perempuan seharusnya? Jadi kayak gini nih, Stella kan udah mengikuti alurnya gitu
ya. Kayak tadi kan udah dibilang topiknya tentang konsumerisme perempuan melalui
iklan di media massa. Kita udah tahu lah kan gimana perempuan direpresentasikan
dalam iklan, gitu-gitu, agak shopaholic, agak-agak glamor, ngabisin uang keluarga, gitu
50
P: Oh gitu.. kalo misalnya kayak, Stella pernah gak eee.... setuju dengan pendapat kalo
orang tuh bilang kalo perempuan itu suka ngabisin uang keluarga gitu lho. Terlepas
dari usaha dia untuk membiayai, gak sih, usaha dia untuk membantu keuangan
keluarga sebagaimana yang dilakukan suaminya. Sama kayak punya penghasilan
sendiri tuh suka ngabisin penghasilan sendiri untuk diri sendiri gitu. Menurut Stella
gimana, apalagi kalo punya kartu kredit gitu?
I: Oh. Kalau menurut aku, itu nggak tergantung gendernya sih. Itu kelihatannya
banyak karena sering, beli baju. Misalnya contoh gini, sepatu berapa sih
harganya, let’s say 200 ribu. Baju berapa sih harganya, let’s say 150 ribu. Jadi
sekali belanja 350. Besok lagi belanja 350. Besok lagi belanja 350. Jadi kalau
misalnya cowok, nggak ada belanja, nggak ada belanja, tabung terus. Tapi
sekali beli laptop 12 juta. Yang kayak gitu kan. Dari situ aku ngelihatnya, it’s not
a matter of whether you are, apa ya. Jadi kayaknya jumlah pengeluaranya itu
bukan karena lo cewek lo lebih banyak pengeluarannya, tapi lebih sering kalau
aku ngelihatnya. Kalau cowok-cowok sekali tapi gedek gitu. Soalnya kan,
misalnya kayak kita lihat acara Boy’s Choice, itu kan, ee, mereka itu yang, apa,
mobil bisa sampai berapa untuk otomotif aja, modif-modif, bisa sampai berapa
yang kayak gitu. Sementara ceweknya karena sering aja, karena kelihatan aja
makanya dimarah-marahin.
P: Pada dasarnya kalo diakumulasikan gak sebegitu beda. Perempuan itu gak
menghabiskan uang keluarga gitu ya?
I: Ehemmm.. iya, jadi nggak jumlahnya, lebih ke itu apa yang dibelinya. Dan
mungkin cowok pun mau lihat kayak apa ya, cewek itu habis-habisin duit
karena pakek nggak penting mungkin. Make up nggak penting. Tapi kan, kalau
cewek kan ngelihat ngapain sih laptop 12 juta. Aku aja dah bahagia dengan
laptop yang cuma 3 juta, gitu kan beda.
51
P: Okey, nah jadi kita milih Stella disini karena kita anggap Stella merepresentasikan
kalangan perempuan pengguna kartu kredit, gitu ya. Nah, menurut, aahh kira-kira
ada gak sih harapan Stella untuk menangkal paparan konsumerisme dari media
massa. Misalnya, katakanlah Stella itu perempuan yang tidak teeer...... kurang kritis
gitu, melihat iklan-iklan seperti itu melihat sosok perempuan dalam media massa
seperti itu, oooh berbelanja ini dengan bunga cicilan nol persen segala macam rentan
terpapar. Kira-kira apa ya yang dapat dilakukan untuk menangkal konsumerisme
dalam media untuk perempuan-perempuan yaang kurang kritis.
I: Oh.. apa ya? Mereka memerlukan exposure terhadap teori kritis. Jadi
sebenarnya tu kayak gini. Aku tu mulai berpikir kayak gini sejak aku mengenal
istilah false consciousness. Gitu, jadi kayak, oh ternyata media itu kayak gitu ya.
Oh, ternyata ini aku ini kesadaran palsu. Sejak itu aku misalnya jadi kayak gini.
Jadi kalau misalnya cewek-cewek yang kayak gitu apa yang mereka butuhkan,
ya mungkin pendidikanlah ya. Pendidikan particulary yang di pemikiran kritis
kayak gini. Karena emang benar-benar, aku baru berpikiran seperti itu sejak
ini kok, sejak mengenal istilah false consciousness itu, hmmm di Metode
Penelitian Sosial yang MPS waktu itu aku sama Mbak Ken. Jadi kan membahas
tentang false consciousness, oh gitu ternyata, sejak itu juga.
P: Kira-kira itu berarti, selain itu ada yang berhubungan dengan ini kali ya.. menurut
Stella perlu perempuan-perempuan itu, perempuan-perempuan yang sejenis itu
maksudnya ya, mengetahui bahwa ada lho seharusnya langkah bijak kita untuk
52
P: Ooookeyyy. Oke oke siplah kalo begitu. Naaahhh alhamdulilah ya Stella, kita sudah
menghabiskan seluruh rangkaian pertanyaan MPK 2. Ini terakhir, Stella mungkin
ingin memberikan kesan atas wawancara yang udah kita lakukan. Mulai dari kita
menghubungi Stella jadi informan kita, aaa ha ah.. Mmmm oke-oke masukan untuk
kelompok kita itu ya..
I: Oh, mungkin apa ya. Kayak aku, aku minta maaf kali ya. Soalnya kayaknya
setelah apa, setelah menyelesaikan wawancaranya, aku merasa kurang
merepresentasilah. (ketawa) iya, soalnya kayak aku, apa ya, I have my own
thinking itu. Jadi kayaknya, mungkin untuk apa ya, hmm mungkin masukan aja,
mungkin untuk penelitian kalian kalau kalian pengen data yang lebih valid lagi,
cari orang yang tipenya yang emang shopaholic kayak gitu kali ya. Mungkin
mereka pemikirannya akan sangat berbeda dengan yang aku. Iya, cuma kayak
perlu aja dunia menyadari ada loh cewek yang nggak kayak gitu untuk
mematahkan stereotipe kayak gitu, iya, kayak gitu.
P: Haah sebetulnya itu sih Stell justru mengkonfirmasi paradigma kritis dalam
penelitian ini.
I: Oh, gitu. Keren keren.
P: Oke, terima kasih banyak Stella atas waktunya. Maaf ya pembatalan janji semalam.
I: Iya, hehe. Nggak, nggak sama sekali nggak masalah kok. Ya ngertilah, kalau
sama lagi penelitian, tahu kendala-kendala yang dihadapin apa. Sama sekali
nggak ada masalah kayak gitu. Cuma ya ini, mungkin untuk memperkaya
datanya aja, coba cari yang lain.
53
Situasi Wawancara : Informan sedang berada dalam kondisi sehat dan berbahagia. Wawancara dilakukan di Cafe J
Co yang nyaman dan kondusif bagi informan untuk menceritakan hal-hal terkait penggunaan
kartu kredit.
54
55
56
57
58
6.c jalan kan ada di bannernya. Kaya gitu. Atau ga dari Iklan media-brosur
brosur. Kalo misalnya di pizza hut di brosur yang
dikasih dia nulis tuh kartu kredit bca sama mandiri
dia diskon 15 persen. Terus apa lagi ya.. eee.. sama ini,
6.d kita biasanya dikirimin dari mandirinya juga. Kayak Iklan media-direct mail
feature gitu kan kupon. Kalau belanja segini, diskon
sekian. Itu kadang dikirimin juga.
P: Medianya gitu. Media massanya yang Stella tahu. Aaa..
haaha.. Kalo dari TV agak kurang ya? Latar belakang informan-
1.d I:. Secara aku ga punya TV jadi aku ga tau juga. Hehe aksesibilitas media
hee.
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
1. Latar belakang pendidikan informan melatarbelakangi pemaknaan oposisional tentang promosi iklan kartu kredit.
2. Latar belakang pendidikan informan melatarbelakangi pemaknaan oposisional tentang perempuan yang shopaholic
dalam iklan.
3. Latar belakang pendidikan informan melatarbelakangi pemaknaan oposisional tentang representasi perempuan
dalam iklan.
4. Alasan menggunakan kartu kredit melatarbelakangi pemaknaan oposisional tentang nilai guna kartu kredit.
5. Urgensi kepemilikan kartu kredit membentuk pemaknaan oposisional informan tentang nilai guna kartu kredit.
6. Aturan orang tua melatarbelakangi pengeluaran dan pola penggunaan kartu kredit informan.
8. Terjadi pergeseran nilai guna menjadi nilai tukar dari kartu kredit sebelum informan terpapar teori kritis.
9. Pengelolaan keuangan ideal tidak berkorelasi secara langsung dengan pandangan terhadap stereotipe perempuan
sebagai ‘penghabis uang keluarga’.
80
Lebih jauh lagi, informan tidak melihat imej shopaholic dalam iklan kartu kredit
melekat semata-mata pada model perempuan. Adapun imej shopaholic, menurut informan
bisa direpresentasikan oleh model perempuan maupun laki-laki. Hal ini turut membentuk
pemaknaan informan tentang stereotipe perempuan ‘penghabis uang keluarga’.
Menurutnya, baik laki-laki maupun perempuan berpotensi menjadi ‘penghabis uang
keluarga’. Bukan karena laki-laki tidak sering belanja maka mereka terlepas dari stereotipe
ini, sebaliknya bukan juga karena perempuan sering belanja maka mereka bisa dikatakan
sebagai ‘penghabis uang keluarga’. Hal ini kembali lagi tergantung pada level ekonomi,
kebutuhan, dan pola konsumsi individu yang bersangkutan.
81
Aturan pribadi yang cukup ketat terkait penggunaan kartu kredit oleh informan juga
membuatnya menggunakan kartu kredit berdasarkan nilai guna, serta menghindarkannya
dari potensi untuk berperilaku konsumtif. Apabila tidak urgen dan tentunya tidak ada
potongan harga, informan tidak akan menggunakan kartu kredit. Informan juga mengaku
bahwa ia sering meninggalkan kartu kreditnya di rumah sebagai upaya untuk menghindari
transaksi di luar kebutuhan primer yang telah dijelaskan sebelumnya.
82