Anda di halaman 1dari 90

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

MAKALAH NON-SEMINAR
(TUGAS KULIAH)

PEMAKNAAN KONSUMERISME PEREMPUAN


DALAM IKLAN KARTU KREDIT
(Tugas akhir semester mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi II
oleh Dra. Ken Reciana Sanjoto, MA)

Diajukan Oleh:

David Tinambunan
0906561490
Deasy Agnes Ariweny
0906524450
Melin Panjaitan
0906524646
Nurul Utami
0906492070

Departemen Ilmu Komunikasi


Program Sarjana Reguler

Disusun untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat


dalam Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Depok
2013

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


HALAMAN PENGESAHAN

Proposal ini diajukan oleh :


Nama : David Tinambunan/Deasy Agnes Ariweny/
Melin Panjaitan/Nurul Utami
NPM : 090656190/0906524450/0906524646/090492070
Departemen : Ilmu Komunikasi
Judul Makalah Non-Seminar : Pemaknaan Konsumerisme Perempuan dalam Iklan Kartu
Kredit

Diajukan sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar


Sarjana Komunikasi pada Program S1 Reguler Departemen Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH

Dra. Ken Reciana Sanjoto, MA

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 30 Januari 2013

ii

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, kami yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : David Tinambunan/Deasy Agnes Ariweny/Melin Panjaitan/Nurul Utami


NPM : 090656190/0906524450/0906524646/090492070
Departemen : Ilmu Komunikasi
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya : Makalah Non-Seminar

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas


Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas
karya kami yang berjudul:

Pemaknaan Konsumerisme Perempuan dalam Iklan Kartu Kredit

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini
Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam
bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas kami ini selama
tetap mencantumkan nama kami sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 30 Januari 2013

Yang menyatakan

(David Tinambunan) (Deasy Agnes Ariweny) (Melin Panjaitan) (Nurul Utami)

iii

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Universitas Indonesia
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Departemen Ilmu Komunikasi
Program Sarjana Reguler

David Tinambunan
0906561490
Deasy Agnes Ariweny
0906524450
Melin Panjaitan
0906524646
Nurul Utami
0906492070

ABSTRAK

Pemaknaan Konsumerisme Perempuan


dalam Iklan Kartu Kredit

Makalah ini membahas pemaknaan konsumerisme perempuan dalam iklan kartu kredit pada
mahasiswi reguler FISIP UI. Permasalahan penelitian diteliti dengan studi resepsi. Secara garis
besar, studi resepsi ini membahas tentang tiga pola pemaknaan audiens terhadap media, yakni
dominant-hegemonic reading, negotiated reading, dan oppositional reading dalam hubungannya
dengan perilaku konsumtif dalam kehidupan sehari-hari. Adapun media dalam penelitian ini adalah
iklan yang memuat paparan konsumerisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan datanya. Pemilihan informan dalam
penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Data yang diperoleh kemudian dikodekan
secara open coding, axial coding, dan selective coding. Asumsi teoritis dalam penelitian
menunjukkan bagaimana informan perempuan secara aktif memaknai konsumerisme dalam media
massa dan kehidupan sosial. Kesimpulannya, informan memaknai iklan kartu kredit secara
oppositional reading sehingga informan tidak mengkonfirmasi stereotipe perempuan sebagai
‘penghabis uang keluarga’, dan memaknai fungsi kartu kredit berdasarkan nilai gunanya.

Kata kunci: Studi resepsi, konsumerisme, iklan kartu kredit

iv

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


University of Indonesia
Faculty of Social and Political Sciences
Department of Communication
Regular Program

David Tinambunan
0906561490
Deasy Agnes Ariweny
0906524450
Melin Panjaitan
0906524646
Nurul Utami
0906492070

ABSTRACT

The Meaning of Women Consumerism


in Credit Card Ads

This paper discusses the meaning of women consumerism in credit card commercial ads toward
FISIP UI regular student. Research problems are researched by the reception study. Broadly
speaking, the reception study discusses three patterns of audience interpreting media, such as
dominant-hegemonic reading, negotiated reading, and oppositional reading in relation to
consumer’s behavior in their daily life. Media in this study is ads that include exposure to
consumerism. This paper uses the qualitative approach with in-depth interview as collection data
technique. Selection of informants uses purposive sampling technique. The obtained data are then
encoded with open coding, axial coding, and selective coding. Theoretical assumptions in the paper
show how informant actively interprets consumerism in mass media and social life. In conclusion,
informant interprets the credit card commercial ads with oppositional reading, so that informant
does not confirm the stereotype of women as a spender of family money, and interprets the
functions of credit card based on its use value.

Keywords: Study receptions, consumerism, credit card commercial ads

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, sedalam-
dalamnya penulis panjatkan karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah. Makalah “Pemaknaan Konsumerisme Perempuan
dalam Iklan Kartu Kredit” ini disusun sebagai tugas akhir semester mata kuliah Metode
Penelitian Komunikasi II, Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia. Makalah ini kemudian penulis sempurnakan sebagai
working paper agar dapat memenuhi syarat kelulusan dari Program Reguler Departemen
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Penulis ingin berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses pengerjaan hingga penyelesaian makalah ini, terutama Dra. Ken Reciana Sanjoto,
MA selaku dosen mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi II yang telah membimbing
dan mengarahkan kami dalam seluruh rangkaian proses pengerjaan makalah ini.
Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat akademis dan praktis bagi berbagai
pihak serta menjadi inspirasi bagi setiap mahasiswa yang akan mengembangkan penelitian
terkait dengan tema penelitian makalah ini.

Depok, 30 Januari 2013

David Tinambunan, Deasy Agnes Ariweny,


Melin Panjaitan, Nurul Utami

vi

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..........................................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................ii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...................................................................iii
ABSTRAK.........................................................................................................................iv
ABSTRACT........................................................................................................................v
KATA PENGANTAR.......................................................................................................vi
DAFTAR ISI.....................................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
I.1 Latar Belakang.................................................................................................1
I.2 Permasalahan....................................................................................................4
I.3 Tujuan Penelitian..............................................................................................5
I.4 Signifikansi Penelitian......................................................................................5
1.4.1 Signifikansi Akademis.................................................................................. 5
1.4.2 Signifikansi Praktis.......................................................................................5
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN.................................................................................6
II.1 Konsumerisme dalam Iklan Media Massa....................................................6
II.2 Nilai Guna Menjadi Nilai Tukar....................................................................8
II.3 Streotipe Perempuan.....................................................................................10
II.4 Studi Resepsi.................................................................................................12
II. 5 Asumsi Teoritis............................................................................................14
BAB III METODOLOGI................................................................................................15
III.1 Paradigma Penelitian..................................................................................15
III.2 Pendekatan Penelitian.................................................................................15

vii

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


III.3 Metode Penelitian........................................................................................17
III.4 Teknik Pengumpulan Informan................................................................17
III.5 Teknik pengumpulan Data.........................................................................18
III.6 Lokasi Penelitian.........................................................................................19
III.7 Keterbatasan Penelitian..............................................................................20
III.8 Kerangka Konseptual.................................................................................20
BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI.................................................................22
IV. 1 Analisis........................................................................................................22
IV.1.1 Latar Belakang Informan.......................................................................23
IV.1.2 Pola Penggunaan Kartu Kredit..............................................................23
IV.1.3 Aturan Terkait kartu Kredit..................................................................24
IV.1.4 Cara Pandang Informan.........................................................................25
IV.2 Interpretasi..................................................................................................27
BAB 5 KESIMPULAN....................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................36
LAMPIRAN......................................................................................................................37
1. Pedoman Wawancara......................................................................................37
2. Transkrip Wawancara....................................................................................40
3. Open Coding.....................................................................................................54
4. Axial Coding.....................................................................................................80
5. Selective Coding...............................................................................................81

viii

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Dalam satu dekade belakangan ini, muncul tren baru dalam dunia periklanan
Indonesia, yaitu iklan yang mengukuhkan konsumerisme. Tidak hanya mendorong audiens
untuk bergabung dengan layanan yang diiklankan, iklan yang mengukuhkan
konsumerisme ini juga mendorong audiens untuk membeli produk dari iklan-iklan lainnya.
Iklan yang mengukuhkan konsumerisme ini tidak lain adalah iklan kartu kredit. Awalnya
memang tidak terlalu diperhitungkan, tetapi ketika BNI (Bank Negara Indonesia) sukses
dengan iklannya hingga mampu mengeluarkan dua juta kartu kredit pada tahun 2011 dan
meningkatkan nilai transaksi kartu kredit sebesar 40 persen (Indonesia Finance Today, 25
Januari 2012), sejumlah penyedia layanan kartu kredit pun berlomba-lomba menyajikan
iklan yang serupa di media massa komersial tanah air.

Jika diamati, memang benar iklan layanan demikian dapat memberi pemahaman
terhadap audiens tentang kemudahan bertransaksi ekonomi. Sepintas terlihat sinergi yang
sangat ideal antara iklan kartu kredit yang mengedepankan kemudahan bertransaksi
ekonomi dengan kebutuhan audiens akan layanan yang bisa mengamini setiap kebutuhan
yang terkendala masalah finansial, sehingga membuat kehidupan ekonomi audiens
berlangsung optimal. Namun, yang juga mulai dikhawatirkan adalah gagasan
konsumerisme yang secara implisit dikemas dalam iklan kartu kredit tersebut.

Dengan munculnya gejala semacam ini, tidak bisa dipungkiri, nilai guna yang
ditampilkan dalam iklan kartu kredit tersebut berubah menjadi nilai tukar. Terdapat potensi
ekonomi yang lebih besar di balik iklan kartu kredit tersebut. Nilai guna kartu kredit
akhirnya semata-mata ditonjolkan untuk mengeksplotasi potensi ekonomi yang lebih besar.
Orientasi ini menjadikan tujuan utama iklan kartu kredit bergeser pada potensi-potensi

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


bisnis lainnya, yaitu bagaimana menjaring produk-produk lainnya melalui kartu kredit
tersebut sehingga dapat mencetak profit sebanyak-banyaknya.

Masalah mulai muncul tatkala perubahan nilai guna kartu kredit menjadi nilai tukar
mengandung sejumlah konsekuensi. Nilai tukar kartu kredit berhubungan dengan simbol
status gaya hidup dan refleksi bonafiditas dalam masyarakat. Kartu kredit menjadi suatu
identitas yang dapat dibanggakan seseorang karena persyaratan untuk menjadi pemilik
kartu kredit cukup selektif. Dengan demikian, kepemilikan kartu kredit dikonstruksi
melalui proses simbolisasi tersebut oleh media massa dan secara sosial.

Dalam tesisnya, Cole (1992) menjelaskan tentang bentuk perubahan sosial dalam
masyarakat modern, yaitu cashless society. Cashless society pada hakikatnya merupakan
salah satu ciri masyarakat modern dimana orang kurang mengandalkan transaksi secara
tunai. Makin banyak orang melakukan pembelian secara kredit untuk barang/jasa yang
tidak dapat dibelinya secara tunai. Di kalangan pedagang barang/jasa, sistem penjualan
secara kredit juga semakin berkembang terutama dalam upaya merebut pangsa pasar di
tengah kompetisi yang semakin sengit. Sebagai implikasinya, kartu kredit kini menjadi
bagian dari gaya hidup masyarakat di kota-kota besar.

Kehidupan di kota besar seperti Jakarta yang penuh kesibukan membuat orang
cenderung menginginkan yang serba cepat, mudah, dan praktis termasuk untuk kegiatan
yang bersifat konsumtif. Oleh penerbit kartu kredit, fenomena ini dijadikan acuan untuk
menawarkan kepraktisan dan keamanan dalam berbelanja. Adanya kartu kredit ini, bagi
sebagian masyarakat, mendukung gaya hidup yang dianutnya sehingga mereka
memanfaatkan kartu kredit pada semua transaksi pembelian barang/jasa.

Kartu kredit yang dikenal juga sebagai uang plastik kerap dijadikan sebagai alat
pembayaran utama mereka. Transaksi dengan menggunakan kartu kredit memberikan
kemudahan kepada masyarakat baik untuk pembelian barang/jasa maupun untuk penarikan
uang tunai bagi mereka yang enggan membawa uang tunai, tak pelak lagi kartu kredit
menjadi pilihan. Penggunaan uang plastik semacam ini dalam beberapa tahun belakangan
menjadi tren pada sebagian masyarakat di Indonesia.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Buktinya menurut data Bank Indonesia, pertumbuhan nominal transaksi kartu
kredit industri perbankan sepanjang 2011 meningkat 11,88% menjadi Rp 182,60 triliun
dibanding 2010 yang tercatat Rp 163,20 triliun. Adapun volume transaksi kartu kredit pada
2011 naik 5,18% menjadi 209,35 juta transaksi dari 199,03 juta transaksi di 2010.
Peningkatan nilai transaksi kartu kredit didorong oleh transaksi belanja. Nilai nominal
transaksi belanja sepanjang 2011 meningkat 12,27% menjadi Rp 178,16 triliun dibanding
2010 yang tercatat Rp 158,69 triliun. Dari sisi volume, transaksi belanja meningkat 5,46%
menjadi 205,30 juta transaksi dari 194,68 juta transaksi.

Tabel 1.1 Transaksi Kartu Kredit Nasional

Untuk transaksi tunai, dari sisi nominal mengalami penurunan sebesar 1,77%
menjadi Rp 4,44 triliun dari Rp 4,52 triliun pada 2010. Dari sisi volume, transaksi ambil
tunai juga menurun 7,17% menjadi 4,05 juta transaksi pada 2011 dari 4,36 juta transaksi
pada 2010. Salah satu pendorong penurunan transaksi tunai dan di sisi lain peningkatan
transaksi kartu kredit adalah masyarakat mulai terbiasa mengganti alat bayarnya dari tunai
menjadi kartu sehingga semakin meningkatkan volume transaksi kartu kredit.

Mengapa masalah ini menjadi krusial? Iklan media masssa bagaimanapun adalah
sebuah industri budaya yang mengusung wacana budaya tertentu. Ketika media massa
berupaya untuk menghadirkan nilai guna dari kartu kredit dalam iklan media massa, perlu
dipertanyakan, adakah memang itu berlandaskan pada tujuan yang semata-mata demi nilai

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


guna kartu kredit itu sendiri? Sebagai industri budaya, media massa sejak lama dicurigai
sebagai agen budaya yang mengusung kepentingan pasar. Setiap iklan media massa,
apapun idealisme yang dicitrakannya pada khalayak, tak lebih dari perpanjangan budaya
pasar dengan logika kapitalisme yang bergerak di belakangnya.

I.2. Permasalahan

Sebagai pemegang ranah domestik, perempuan menjadi sebuah objek dari


kapitalisme. Melalui iklan kartu kredit khususnya, perempuan tidak lagi membeli barang
karena mereka benar-benar membutuhkannya. Mereka membeli barang tersebut hanya
demi kepuasan yang semu. Mereka hanya mempertukarkan simbol demi mengkonsumsi
sebuah citra yang sama sekali bukan merupakan pemuas kebutuhannya yang hakiki.
Dominannya pengguna kartu kredit perempuan justru mengkonfirmasi lemahnya posisi
mereka dalam menangguhkan stereotipe negatif sebagai ‘penghabis uang keluarga’.

Dengan adanya kartu kredit, perempuan cenderung menjadi lebih konsumtif


daripada mereka yang sebelumnya tidak menggunakan kartu kredit. Bayangkan saja
apabila mereka akan melakukan pembayaran, mereka hanya perlu menggesekkan kartu
kreditnya, meskipun mereka tidak memiliki uang tunai pada saat itu. Pengguna akan
merasa tenang–tenang saja saat menggesekkan kartu kredit, padahal mereka tidak tahu
keadaan sebenarnya. Karena saat mereka menggesekkan kartu kreditnya, hutang keluarga
mereka akan bertambah. Hal ini baru mereka sadari saat surat tagihan datang dan jumlah
yang harus mereka bayar biasanya lebih besar daripada batasan kredit.

Dalam penelitian ini, iklan kartu kredit dipersepsikan sebagai pendorong


konsumerisme perempuan. Karena kebanyakan iklan tersebut menggunakan pemeran
perempuan, dan lewat aneka promo dan potongan harga iklan tersebut mengkonstruksi hal-
hal yang harus dimiliki oleh perempuan. Dikaitkan dengan pemikiran Baudrillard, terjadi
proses pengubahan nilai guna kartu kredit ditransformasikan menjadi nilai tukar. Selain itu,

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


penelitian ini juga menggunakan studi resepsi untuk mengetahui pemaknaan responden
sebagai audiens perempuan terhadap iklan kartu kredit.

Rencana penelitian ini bertolak dari banyaknya iklan kartu kredit yang meramaikan
media massa tanah air. Maka ketika iklan kartu kredit tayang secara intensif, muncul tanda
tanya besar yang menjadi pokok permasalahan penelitian ini:

1. Bagaimana pemaknaan perempuan yang shopaholic dalam iklan kartu kredit?


2. Bagaimana pemaknaan stereotip perempuan sebagai ‘penghabis uang keluarga’?
3. Bagaimana pemaknaan pergeseran nilai guna kartu kredit menjadi nilai tukar?

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pemaknaan perempuan yang shopaholic
dalam iklan kartu kredit, stereotip perempuan sebagai ‘penghabis uang keluarga’, dan
pergeseran nilai guna kartu kredit menjadi nilai tukar.

I.4. Signifikansi Penelitian


I.4.1. Signifikansi Akademis
1. Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kajian studi ilmu
komunikasi sehingga dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya.
2. Dapat menambah pemahaman mengenai konsep Konsumerisme dalam
Iklan Media Massa, Nilai Guna Menjadi Nilai Tukar, Stereotipe
Perempuan, dan Studi Resepsi.

I.4.2. Signifikansi Praktis


1. Dapat menjadi bahan masukan bagi perempuan di Indonesia dalam
menggunakan kartu kredit secara lebih bijaksana.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN

II.1. Konsumerisme dalam Iklan Media Massa

Sistem komunikasi mempunyai peranan penting dalam masyarakat konsumen


karena sistem tersebut merupakan perangkat vital dalam konstruksi realitas simbolis.
Sistem komunikasi berperan sangat signifikan untuk mentransfer dan menyebarkan nilai
simbolis (symbolic value) pada masyarakat. Sistem komunikasi pun berkembang semakin
canggih dengan dukungan teknologi komunikasi dan informasi. Inovasi teknologi
membuat produksi image dan komodifikasi nilai simbolis dari suatu objek menjadi
semakin mudah dan cepat. Inovasi ini pula secara perlahan berperan dalam menentukan
dan mempercepat jalannya budaya konsumtif dalam masyarakat kita.

Konsumerisme dapat diartikan sebagai cara individu atau masyarakat


menggunakan suatu barang hasil produksi secara berlebihan dan terkadang bukan lagi
suatu kebutuhan, melainkan hanya suatu keinginan, yang dilakukan secara sadar dan terus-
menerus. Dalam budaya konsumerisme, iklan televisi dan media lainnya merupakan faktor
yang sangat dominan. Melalui iklan, masyarakat terus didorong untuk mengkonsumsi,
sehingga menjadi suatu gaya hidup. Iklan digunakan untuk melihat kekurangan yang ada
pada konsumen, kemudian produsen menawarkan produk yang dihasilkannya sebagai
solusi dari penyempurnaan kekurangan yang telah ditimbulkan.

Menurut Jane Kenway dalam Norris, isi media massa semakin mendukung budaya
konsumerisme. Surat kabar atau televisi sekarang ini banyak membuat suatu bagian atau
program yang khusus dirancang untuk channel komersial. Kita semakin mudah
menemukan liputan khusus tentang barang konsumsi, tempat belanja, saran atau tips
belanja dan berbagai cerita mengesankan tentang pengalaman berbelanja. Istilah populer
untuk bentuk liputan semacam itu disebut jurnalisme komersial.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Jurnalisme komersial menjadi tren saat ini. Bahkan dalam perkembangannya,
bentuk liputan dan tayangan komersil implisit dalam acara-acara atau tulisan lain. Bentuk-
bentuk semacam ini mempersuasi sub-conscious dari penonton atau pembacanya.

Selain isi media massa, perkembangan yang pesat juga terjadi pada bidang
pemasaran dan periklanan produk konsumsi, dimana budget belanja iklan dan penciptaan
merk pada perusahaan juga semakin bertambah besar. Biaya promosi justru seringkali lebih
besar dari biaya produksi dari komoditas itu sendiri. Karena bagaimanapun iklan masih
dianggap dan terbukti menjadi metode promosi yang paling ampuh.

Periklanan menjadi semakin canggih dan persuasif belakangan ini. Jika kita
mengamati bentuk iklan saat ini, kita akan melihat visualisasi iklan terkadang jauh lebih
baik dari realitasnya, atau disebut juga hiper-realitas. Williamson (1978) dalam studinya
tentang periklanan menerapkan konsep ideologi, sebagaimana yang didefinisikan
Althusser, yang dipahami sebagai “imaginary relationship of individual to their real
condition of existence”. Menurutnya, ideologi dalam periklanan menyempurnakan makna
dan gagasan dari pengalaman, seperti kecantikan, kesuksesan, kebahagiaan, ilmu
pengetahuan, terhadap produk komersial yang ditujukan untuk konsumen.

Iklan menjadi sebuah jalan untuk menciptakan kondisi budaya atau sosial yang
ideal dan menjadikan seseorang menjadi seperti yang diinginkan. Diri kita dibentuk ulang
atau diubah oleh periklanan yang berujung pada terbentuknya suatu perasaan imajiner
tentang kenyataan. Iklan menciptakan simulasi untuk menanamkan simbol-simbol dari
objek dalam masyarakat. Pada awalnya, barang-barang ditampilkan berdasarkan kualitas
material dan fungsinya. Kemudian, secara bertahap, iklan akan menciptakan ’cara’ untuk
membuat asosiasi dari tanda yang berasal dari objek dengan suatu gaya hidup atau dengan
kehidupan sosial masyarakat. Sehingga yang ditekankan dalam iklan adalah asosiasi objek
dengan sesuatu yang diinginkan atau hasrat dari masyarakat.

Iklan mampu menciptakan mimpi dan ilusi karena memunculkan gambar yang
dimanipulasi. Hal tersebut digunakan pengiklan untuk menciptakan realitas fantasi karena
apa yang tampak di dunia nyata tidak lagi dianggap cukup efektif untuk memperoleh apa

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


yang diinginkan masyarakat. Hasilnya, kita banyak melihat dalam iklan: anak yang tumbuh
berukuran raksasa dalam waktu sekejap, produk yang bisa terbang, tampilan tubuh yang
lebih ramping, kulit yang lebih putih, dan sebagainya.

II.2. Nilai Guna Menjadi Nilai Tukar

Menurut Baudrillard, ketika kita mengonsumsi sebuah objek maka sebenarnya kita
sedang memakai simbol dalam proses membatasi diri kita terhadap perilaku maupun dalam
interaksi sosial. Dan objek menghasilkan ‘person’ maksudnya adalah dengan
mengonsumsi sebuah objek maka setiap konsumen akan mencari tempatnya dalam tatanan
sosial dan membentuk stratifikasi sosial dan menjaga posisi tersebut secara kontinu.
Dengan kata lain, setiap orang dilihat berdasarkan apa yang dia konsumsi. Dan disinilah
permulaan titik penyimpangan dari logika Marx dalam pemikiran Baudrillard. Dengan
logika empat objeknya, Baudrillard mulai menjauh dari pemikiran Marx tentang nilai
sebuah objek. Logika empat objek itu adalah:

1. Nilai fungsional, yaitu tentang tujuan instrumental dalam hal penggunaan sebuah objek
(dalam bahasa Marx adalah “nilai guna” objek atau komoditas).
2. Nilai tukar, yaitu nilai ekonomis dari sebuah objek konsumsi.
3. Nilai tukar simbolis, yaitu nilai yang telah dibangun bersama dalam masyarakat untuk
sebuah objek konsumsi dibandingkan dengan objek lain.
4. Pertukaran nilai simbol objek merupakan pertukaran dalam perbandingan dengan
objek-objek lain dalam suatu sistem objek.

Dengan logika tersebut, kita sebenarnya sudah tidak lagi hanya mengonsumsi
objek, tetapi lebih ke arah mengonsumsi simbol. Konsumsi sendiri menurut Baudrillard
merupakan tindakan sistematis dalam memanipulasi simbol, dan untuk menjadi objek
konsumsi, objek harus mengandung atau bahkan menjadi simbol. Dalam mengonsumsi
objek, otomatis kita juga mengonsumsi simbol yang sama, dan secara tidak sadar kita mirip

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


atau bahkan seragam dengan banyak orang yang berlomba-lomba mengonsumsi simbol
serupa. Inilah yang dimaksud dengan kode mengontrol apa yang kita konsumsi.

Baudrillard menegaskan bahwa dalam dunia yang dikontrol oleh kode, konsumsi
berhenti ketika apa yang kita sebut sebagai ‘kebutuhan’ terpuaskan. Baudrillard kemudian
mendekonstruksikan dikotomi subyek-obyek dan lebih umum, pengertian tentang
‘kebutuhan’. Kita tidak perlu membeli apa yang kita butuhkan, tetapi apa yang dikatakan
kode pada kita seharusnya kita beli. Oleh karena itu, ‘kebutuhan’ sendiri pun ditentukan
oleh kode. Dan realitas yang dijalankan menjadi semu.

Pada pembahasan mengenai masyarakat konsumsi, Baudrillard mengawalinya


dengan kritik atas apa yang terjadi di masyarakat, yakni kelimpahruahan objek. Semua
aktivitas manusia pada tingkat ini tidak lagi didasarkan pada hakikat kemanusiaan atau
alam, tetapi lebih melihat semuanya sebagai objek. Inilah yang dimaksud dengan liturgi
tentang objek dimana semua manusia melakukan ritual yang sama. Mereka melakukan
standarisasi dirinya dalam kehidupan sosial lewat objek-objek yang berafilisasi dengan
dirinya. Tidak hanya itu, lingkungan yang menaungi mereka pun tidak lebih dari objek
yang didominasi oleh hukum nilai tukar (exchange value).

Di mana-mana dapat ditemukan objek yang semuanya diukur dengan nilai tukar
dan tentu saja masing-masing objek dapat ditukar dengan uang, sebuah alat tukar yang
merajai dunia. Dengan kata lain, mereka yang menguasai alat tukar akan mendominasi
dunia ini. Kelimpahruahan yang ada sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari
logika objek yang telah menguasai manusia. Kelimpahruahan ini terwujud dalam pasar
modern, seperti mall dan pusat perbelanjaan, dimana manusia tidak lagi menyadari bahwa
ia sedang melakukan aktivitas konsumsi.

Mereka terbius oleh iklan yang mengasosiasikan diri sebagai bagian dari kebutuhan
manusia, padahal tidak demikian. Mereka terhipnotis dengan kenyamanan dan kemudahan
berbelanja sehingga mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka tengah
melakukan ritual konsumsi. Ritual konsumsi yang dimaksud adalah kondisi dimana

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


manusia bergerak untuk memenuhi hasrat yang sesungguhnya diciptakan sedemikian rupa
oleh sebuah kekuatan yang hegemonik dan dominan yang sulit ditolak.

Bagi Baudrillard, mall adalah sintesis dari kelimpahruahan dan kalkulasi yang
memungkinkan sintesis semua kegiatan konsumen yang membuat ‘eksplorasi yang malas’,
dimana mall membiarkan pembeli dengan mudah memperoleh apa yang dapat dikonsumsi.
Menurutnya, mall lebih cocok dengan konsumsi modern, dimana orang-orang diarahkan
tidak lagi untuk berbelanja kebutuhan yang diperlukan, melainkan juga sebagai pertukaran
simbol melalui konsumsi simbol di dalam interaksi sosial.

Baudrillard juga menambahkan betapa pentingnya kartu kredit bagi mall dan
masyarakat konsumsi. Karena dengan kartu kredit dapat memudahkan konsumen untuk
tetap mengonsumsi objek-objek yang berlimpahruah tersebut.

II.3. Stereotipe Perempuan

Budaya berkembang sejak dulu hingga kini dalam masyarakat kita, yang sebagian
besar menganut sistem patriarkal, masih menempatkan perempuan pada posisi yang tidak
menguntungkan. Perempuan digambarkan sebagai objek kekerasan, eksploitasi seksual,
pendukung konsumerisme, atau stereotipe negatif lainnya. Stereotipe perempuan seringkali
digambarkan dengan rumusan 5P, yakni harus selalu tampil memikat (pigura), pengurus
utama pekerjaan rumah tangga (pilar), menjadi objek pemuas laki-laki (peraduan), identik
dengan dunia dapur (pinggan), dan selalu khawatir tidak diterima oleh lingkungan
(pergaulan). Jarang terdapat wacana yang menggambarkan perempuan sebagai subjek yang
aktif secara ekonomi, sosial, atau politik.

Salah satu elemen dari 5P yang kemudian menjadi stereotipe negatif perempuan
hingga saat ini, menyatakan bahwa perempuan adalah ibu rumah tangga yang bertugas
mengurus persoalan rumah tangga sangat dominan dalam masyarakat. Stereotipe ini
membawa persepsi bahwa kosa kata berbelanja, mencuci, menata dan merapikan,
memasak, dan sebagainya adatah kosa kata stereotipis perempuan. Memang secara kultural

10

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


seorang ibu (perempuan) sosok yang bertangung jawab atas tersedianya berbagai
kebutuhan rumah tangga. Karena itulah, mereka menjalankan fungsi konsumsi dalam
rumah tangga. Dengan demikian, perempuan menjadi sering berbelanja untuk mencukupi
berbagai kebutuhan rumah tangga. Hal inilah yang kemudian menjadikan perempuan
sering dipersepsikan masyarakat sebagai sosok yang suka berbelanja.

Perempuan sebagai makhluk yang paling konsumtif dibanding laki-laki,


dikonstruksi-kan secara kultural. Perempuan merupakan aktor dalam rumah tangga yang
bertanggung jawab atas supply berbagai kebutuhan rumah tangga. Dengan demikian,
mereka sudah terkonstruksi sebagai sosok yang suka berbelanja. Karena keadaan semacam
itu berlangsung secara terus-menerus, secara tidak disadari terbentuklah stereotipe
perempuan sebagai sosok paling konsumtif (Julia Suryakusuma, 1981).

Wanita menjadi potensi pemasaran yang luar biasa. Dalam kehidupan sehari-hari
wanita menjadi manajer pembelian untuk bermacam-macam barang dan jasa. Dengan
semakin majunya pendidikan wanita, produk-produk yang di masa lalu hanya layak
ditargetkan untuk laki-laki, sekarang pun berpotensi besar ditargetkan kepada kaum
wanita. Wanita bukan hanya memerlukan informasi tentang barang konsumsi sehari-hari,
perabotan rumah tangga, dan kecantikan, melainkan juga produk-produk otomotif,
program pendidikan, real estate, transportasi, dan pariwisata. (Rhenald Kasali, 2000).

Hampir semua produk, telah menggunakan perempuan sebagai objek untuk


membeli produk mereka. Terlihat dengan jelas, perempuan menjadi objek komoditas yang
efektif untuk menjual produk. Lebih jauh, hal ini menyinggung sensitifitas gender yang
menyebut perempuan sebagai simbol konsumerisme. Timbul stigma dalam masyarakat
bahwa perempuan identik dengan hasrat beli yang lebih tinggi dibanding laki-laki.

Bahkan menurut survei di Inggris, setiap enam puluh detik seorang wanita
memikirkan tentang produk fashion. Penelitian tersebut secara tidak langsung semakin
menguatkan stereotipe perempuan sebagai sosok yang konsumtif. Dan atas dasar tersebut,
kaum kapitalis memiliki alasan yang semakin kuat untuk memanfaatkan sosok perempuan
dalam rangka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

11

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Menurut survei majalah SWA pada tahun 2000, perempuan lah yang memegang
kendali untuk memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan keluarga
dan rumah. Bagi pemasar, perempuan memiliki peran ganda. Di satu sisi, mereka adalah
pasar primer yang membelanjakan uang mereka untuk kebutuhan pribadi. Di sisi lain,
mereka juga pengambil keputusan konsumsi keluarga. Lebih-lebih, sebagian besar dari
mereka adalah ‘kasir’ keluarga yang menentukan untuk apa saja uang akan dibelanjakan.
Jadi perempuan terlihat konsumtif bukan hanya karena membeli kebutuhan pribadinya,
namun juga untuk membeli kebutuhan rumah tangga.

II.4. Studi Resepsi

Studi Resepsi diawali kajian yang dilakukan oleh David Morley yang dalam
perkembangannya kemudian mengubah fokus dari ideologi politik ke pertanyaan
bagaimana perempuan menggunakan media. Para pakar ini melihat bagaimana audiens
perempuan menanggapi dan melakukan resistensi terhadap konten media. Teori ini
mencoba menjelaskan bagaimana khalayak mengkonstruksikan makna dari konten media
yang biasa disebut sebagai teks. Pendekatan ini berasumsi bahwa makna media adalah
sesuatu yang tidak kaku. Teks media hanya memiliki makna ketika terjadi momen resepsi,
yaitu ketika media dibawa, dilihat atau didengarkan, dan makna dari teks media itu sendiri
tidak tetap, mereka dikonstruksikan oleh audiens. Konstruksi makna itu terjadi melalui
interpretasi terhadap teks media (Crotoeau & Hoynes, 2000). Analisis resepsi berpendapat
bahwa makna terbentuk dari interaksi antara teks dengan audiens media. Teks media dalam
konteks ini mencakup film, televisi, dan media cetak.

Khalayak dilihat sebagai produser makna dan bukan hanya sebagai pengkonsumsi
konten media. Mereka men-decode atau memberikan makna pada teks media dengan cara
menghubungkannya dengan lingkungan sosial dan budaya mereka, dan dengan cara
bagaimana mereka memberikan makna pada keadaan lingkungan mereka. Oleh karena itu,
faktor kontekstual audiens menjadi hal yang penting karena proses resepsi dan produksi
makna tidak dapat dipisahkan dari konteks dimana pemaknaan itu terjadi.

12

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Pada studi resepsi, beberapa faktor kontekstual mempengaruhi cara pemaknaan
audiensnya seperti identitas atau latar belakang audiens, seperti gender, ras, tingkat
pendidikan, umur, pekerjaan, situasi dimana khalayak membaca teks tersebut, dan asumsi-
asumsi yang telah dimiliki oleh khalayak sebelum membaca teks. Latar belakang ini secara
langsung turut membangun kehidupan individu audiens dan pengalamannya bersama
media. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara latar belakang audiens
dengan bagaimana ia memaknai pesan yang diberikan media.

Penelitian dalam analisis resepsi kebanyakan menggunakan model encoding-


decoding yang dikemukan oleh Stuart Hall pada tahun 1973. Objek dari model ini adalah
makna dan pesan dalam bentuk tanda yang diproses melalui pengoperasian kode dalam
rantai wacana. Dua dasar dari pendekatan encoding-decoding (McQuail & Windhal, 1996)
adalah (1) komunikator memilih untuk meng-encode pesan untuk tujuan tertentu serta
memanipulasi bahasa dan media guna mencapai tujuan tersebut; (2) penerima tidak
diharuskan menerima atau men-decode pesan sebagaimana yang dikirimkan namun dapat
melawan pengaruh ideologis dengan menerapkan cara pemaknaan yang berlainan atau
berlawanan sesuai dengan pengalaman dari sudut pandang mereka.

Decoding adalah proses audiens menggunakan pengetahuan mereka secara implisit


tentang teks dan nilai-nilai budaya guna menginterpretasikan teks media. Decoding
berkaitan dengan kapasitas subjektif untuk menghubungkan tanda tersebut dengan tanda
lainnya. Model ini memberikan fokus pada hubungan antara pesan media yang di-encode
oleh produser dan cara pesan tersebut diinterpretasikan atau di-decode oleh khalayak.
Berdasarkan model ini, audiens akan men-decode pesan suatu teks dengan menggunakan
pengetahuan dan nilai-nilai budaya yang mereka miliki serta mengaitkannya dengan
keadaan lingkungan secara menyeluruh.

Karena encoding akan memiliki efek membangun batasan interpretasi maka


menurut Hall akan ada tiga bentuk pembacaan antara penulis teks dan pembaca, serta
bagaimana pesan itu dibaca di antara keduanya (Durham & Kellner, 2002):

13

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


1. Dominant-Hegemonic Reading, yaitu pembacaan pesan yang lebih mendekati
makna sebenarnya seperti yang ditawarkan oleh media. Pembaca dominan atas
teks, secara hipotesis akan terjadi jika baik pembuat ataupun pembaca teks memiliki
ideologi yang sama sehingga menyebabkan tidak adanya perbedaan pandangan
antara pembuat maupun pembaca. Nilai yang dibawa oleh pembuat teks bukan
hanya disetujui oleh pembaca, lebih jauh dinikmati dan dikonsumsi oleh pembaca
teks. Pada posisi ini, tidak ada perlawanan dari pembaca karena mereka memaknai
teks sesuai dengan yang ditawarkan pembuat.

2. Negotiated Reading, yaitu pembaca pesan mengerti makna yang diinginkan


produsen tetapi mereka membuat adaptasi dan aturan sesuai dengan konteks
dimana mereka berada. Pembacaan ini terjadi ketika ideologi pembacalah yang
lebih berperan dalam menafsirkan dan menegosiasikan teks.

3. Oppositional Reading, yaitu pembaca pesan mengerti makna yang diinginkan oleh
produsen, tetapi mereka menolak makna tersebut serta memaknai dengan cara
sebaliknya. Pada posisi ini, ideologi pembaca berlawanan dengan pembuat teks.
Pembaca oposisi umumnya ditandai dengan rasa ketidaksukaan dan
ketidakcocokkan terhadap teks wacana yang dikonsumsi.

II.5. Asumsi Teoritis

Dalam penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa pemaknaan konsumerisme


perempuan dalam kartu kredit dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Tidak hanya iklan
kartu kredit pada media massa itu sendiri, tetapi juga faktor-faktor seperti masyarakat,
keluarga, pergaulan, tingkat status ekonomi-sosial, dan pengalaman pribadi informan.
Melalui penelitian ini akan diketahui bagaimana informan perempuan secara aktif
memaknai konsumerisme dalam media massa dan kehidupan sosial.

14

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


BAB III
METODOLOGI

III.1. Paradigma Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis; kaum perempuan dalam pemikiran


Marxis digambarkan sebagai kelompok yang tersubordinasi sehingga banyak konsep atau
pandangan umum yang didefenisikasn dari kacamata laki-laki. Di sini kaum feminis selalu
berusaha membongkar banyak hal yang selama ini dianggap normal, tetapi sesungguhnya
merupakan hasil konstruksi pihak yang dominan.

Menurut Littlejohn (1999), teori kritis yang didasarkan pada pemikiran Marx, pada
dasarnya memfokuskan pada isu-isu tentang ketidakadilan dan penindasan, dan menaruh
perhatian pada konflik kepentingan dalam masyarakat dan cara-cara komunikasi yang
mengukuhkan dominasi yang satu terhadap lainnya. Dengan demikian, maka penelitian
yang dilakukan berdasarkan teori kritis ini dalam usaha:

 Memahami pengalaman kehidupan informan dalam konteks sosialnya yang


dilakukan dengan meminjam pendekatan interpretasi.
 Menemukan ketidakbenaran dalam suatu konstruksi sosial kemasyarakatan yang
biasanya terdapat dalam kehidupan sehari-hari, yang dilakukan dengan meminjam
gagasan dari pendekatan strukturalisme.
 Secara sadar berusaha menyatukan teori dan tindakan.

III.2. Pendekatan Penelitian

Sesuai dengan paradigma, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hal


ini dilakukan karena dengan pendekatan kualitatif dimungkinkan untuk mendapatkan
pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai gejala, kenyataan, ataupun tingkah laku
sosial dan budaya yang akan ditemukan dalam penelitian itu sendiri.

15

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh informan penelitian, misalnya: perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan
lain-lain, dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
tidak dimanipulasi, dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Dalam hal ini,
penelitian kualitatif dimanfaatkan antara lain untuk keperluan:

 Memahami isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi seseorang.
 Memahami isu-isu sensitif.
 Meneliti hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang informan penelitian,
 Dimanfaatkan untuk peneliti yang berminat untuk menelaah suatu latar belakang,
misalnya tentang motivasi, peranan, nilai, sikap, dan persepsi.

Metode ini membuat peneliti memahami realitas yang diteliti, bukan mencari
kebenaran; fokus pada proses, bukan pada hasil penelitian. Pemahaman pun harus dari
sudut pandang informan penelitian, bukan dari sudut pandang peneliti.

Berdasarkan uraian mengenai pendekatan penelitian kualitatif, penelitian ini dapat


dikatakan sebagai penelitian kualitatif. Hal ini disebabkan penelitian ini ditujukan untuk
menggali pemahaman mengenai situasi dan kenyataan yang dialami. Situasi dan kenyataan
tersebut merupakan sebuah pengalaman dari informan mengenai kartu kredit dan juga
pemaknaannya terhadap kartu kredit dari iklan media massa dan sosial.

Terkait dengan hal tersebut, dapat dikatakan pula bahwa usaha yang dilakukan
peneliti ditujukan untuk menggali isu-isu sensitif. Hal ini disebabkan data yang diperoleh
adalah data berupa informasi dari informan, bukanlah berdasarkan kuesioner tertutup. Oleh
sebab itu, informan dapat secara bebas memberikan keterangan seputar masalah yang
hendak diperoleh peneliti. Dengan kata lain, isu-isu sensitif seputar pengalaman informan
mengenai kartu kredit dapat digali lebih dalam oleh peneliti.

Selain itu, peneliti juga mengkaji lebih dalam mengenai latar belakang informan
penelitian. Hal ini dilakukan agar mengetahui bagaimana aktivitas keseharian, lingkungan,
orang tua, hingga pada permasalahan pribadi yang dimiliki oleh informan serta nilai-nilai

16

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


yang dianut oleh informan. Dengan kata lain, informasi atau keterangan inilah yang juga
hendak dikembangkan dalam penelitian ini.

III.3. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan perspektif feminis karena penelitian ini berusaha


mengangkat pengalaman dan pengetahuan perempuan dalam kehidupannya
bermasyarakat, yang mencakup pula hubungan gender di dalamnya. Adapun ciri lain dari
penelitian berperspektif feminis adalah bukan penelitian tentang perempuan, tetapi
penelitian untuk perempuan, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberdayakan
perempuan atas konstruksi media massa tentang image shopaholic perempuan dan
kesenjangan yang diakibatkan oleh sistem patriarkal.

Dalam penelitian ini, kaum perempuan tidak lagi hanya dijadikan objek penelitian,
tetapi mereka juga harus mampu menjadikan dirinya sendiri sebagai informan penelitian
yang mampu meneliti dirinya, dalam arti mampu mengartikulasikan permasalahannya serta
mampu mencari jalan keluarnya sendiri sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Dengan
demikian, mereka mampu mengetahui potensi yang mereka miliki untuk mengubah
perpektif yang dimilikinya menjadi lebih baik.

Ketika melakukan wawancara mendalam, peneliti mampu menempatkan dirinya


dalam posisi informan yang diteliti secara kritis. Dengan demikian, peneliti mampu
berempati secara kritis kepada kaum perempuan yang sedang diteliti, dengan
mengenyampingkan emosi yang berlebihan sehingga bisa menjaga hasil penelitian secara
objektif, yaitu mampu membedakan antara pernyataan dengan kenyataan yang murni.

III.4. Teknik Pemilihan Informan

Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah purposive sampling.


Penggunaan teknik ini maksudnya agar peneliti dapat memilih informan yang dapat
memberikan informasi yang diinginkan dan sesuai dengan tujuan dan masalah penelitian.

17

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Dalam teknik ini, informan yang terpilih adalah orang yang memenuhi persyaratan yang
telah ditetapkan oleh peneliti. Adapun persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, informan berjenis kelamin perempuan. Alasan dari pemilihan jenis


kelamin perempuan berangkat dari pandangan dan juga kenyataan yang ada, bahwa
perempuan lebih sering dan lebih banyak menjadi objek konstruksi realitas yang dibangun
oleh media massa. Peneliti beranggapan bahwa akan sangat menarik untuk melihat
bagaimana sikap dari perempuan yang menjadi informan dalam penelitian ini.

Kedua, informan berstatus sebagai mahasiswi di UI Depok. Peneliti menganggap


bahwa UI sebagai lembaga perguruan tinggi, memiliki sivitas akademika yang majemuk
secara latar belakang, budaya, maupun status ekonomi selain itu aksesibilitas antara
informan dan peneliti sendiri cukup tinggi. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah
mahasiswa, karena dalam anggapan peneliti umumnya mahasiswa belum memiliki
pendapatan sendiri dan masih menggantungkan keuangan dari kiriman orang tua. Peneliti
dalam hal ini ingin melihat bagaimana pandangan informan terhadap tagihan kartu kredit
yang umumnya masih ditanggung oleh orang tua.

Ketiga, informan memiliki kartu kredit dan aktif dalam bertransaksi. Peneliti
menganggap bahwa kepemilikan kartu kredit memiliki relevansi mendasar dengan topik
dari penelitian ini. Kepemilikan kartu kredit dan keaktifan bertransaksi diharapkan menjadi
dasar informan dalam memberikan informasi mengenai pola penggunaan dan pandangan
informan mengenai motivasi dalam menggunakan kartu kredit dalam bertransaksi.
Dipadukan dengan pergaulan mereka sehari-hari, kemungkinan munculnya pandangan
‘baru’ dalam diri informan terhadap kartu kredit dan media yang mempromosikannya,
menurut peneliti sangat mungkin akan muncul.

III.5. Teknik Pengumpulan Data

Wawancara mendalam adalah salah satu dari alat pengumpulan data, yang
menggali dengan pertanyaan baik dengan menggunakan panduan wawancara maupun
kuesioner. Instrumen ini digunakan untuk memperoleh jawaban tentang apa saja hal-hal

18

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


yang akan diketahui sehubungan dengan suatu hal, bagaimana yang dirasakan, tentang
pengalaman, apa yang diingat, pilihan sikap, dan hal-hal yang menjadi dasar atau alasan.
Dengan kata lain, alat pengumpulan data dengan wawancara mendalam adalah alat utama
untuk mendapatkan informasi sebanyak dan seakurat mungkin.

Tujuan wawancara mendalam adalah:


 Memperoleh data mengenai persepsi manusia.
 Mengumpulkan data mengenai perasaan dan motivasi seseorang atau penilaian
terhadap sekelompok orang.
 Memperoleh informasi mengenai perilaku pada masa lampau.
 Mendapatkan data mengenai perilaku yang sifatnya sangat pribadi atau sensitif.

Wawancara dapat dilaksanakan baik secara langsung maupun tidak langsung.


Apabila peneliti hendak melakukan wawancara secara langsung, peneliti harus berhadapan
langsung dengan pihak yang diwawancarai. Dalam kondisi ini, diharapkan tidak ada
intervensi dari pihak lain yang bersifat mempengaruhi jawaban informan.

Dalam penelitian ini dilakukan wawancara mendalam. Pengumpulan data bagi


penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara dan dengan menggunakan interview guide.
Teknik ini dipakai dalam penelitian ini guna membantu untuk mendapatkan dan menggali
informasi yang diketahui ataupun dialami oleh informan, bahkan yang tersembunyi dalam
diri informan. Wawancara semi-struktur yang berisikan pokok-pokok daftar pertanyaan ini
memungkinkan peneliti untuk memastikan fokus penelitian tetap terjaga, dan bisa
digunakan dalam waktu yang terbatas, dan lebih sistematis.

III.6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih adalah Depok, dengan latar alamiahnya adalah Mall
Margo City. Pertimbangan pemilihan lokasi ini adalah:
1. Dekat dengan peneliti. Sebagian besar peneliti menetap di Depok, daerah kampus
Universitas Indonesia. Dengan demikian, hal tersebut akan mempermudah jalannya
penelitian karena dekat dengan latar alamiahnya.

19

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


2. Dekat dengan ibukota Jakarta sebagai pusat bisnis, pemerintahan, dan kebudayaan.
Asumsinya, masyarakat Depok terterpa pola konsumsi kartu kredit dari masyarakat
Jakarta yang cenderung aktif dengan transaksi kartu kredit.

III.7. Keterbatasan Penelitian

Informan dalam penelitian ini terlalu sedikit karena berjumlah satu orang dan
berasal dari kalangan mahasiswa. Hal ini dengan sendirinya menjadikan pendapat dan hasil
pemaknaan informan dalam penelitian ini nantinya bukanlah merupakan representasi
pemaknaan oleh kaum perempuan pada umumnya karena tidak berasal dari berbagai
lapisan masyarakat. Terlebih lagi, informan hanya melakukan pembacaan oposisional.

III.8. Kerangka Konseptual


Media Massa

Masyarakat

Individu

Dominant Reading
Negotiated Reading
Oppositional Reading

20

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Konsumerisme yang dikonstruksi oleh media massa memayungi pemaknaan
informan penelitian ini. Dengan tiga bentuk pembacaan menurut studi resepsi, informan
dapat setuju dengan representasi perempuan yang shopaholic dalam iklan media massa;
menegosiasikan eksistensi model perempuan dalam iklan; atau resisten terhadap
konsumerisme yang ditumbuh-suburkan media melalui iklannya yang provokatif.

Pemaknaan tersebut memberikan sumbangsih dalam hal bagaimana informan


menyikapi stereotipe yang berkembang dalam masyarakat. Apabila setuju dengan
konsumerisme dalam iklan, informan mungkin akan setuju dengan stereotipe perempuan
sebagai ‘penghabis uang keluarga’, dan mengimplementasikannya. Sebaliknya, apabila
resisten terhadap konsumerisme dalam iklan, informan juga akan resisten terhadap
stereotipe tersebut dengan menekan pengeluaran yang berlebihan.

Pemaknaan ini akan bermuara pada individualitas informan; bagaimana ia


memaknai kartu kredit, apakah sebagai nilai guna atau nilai tukar. Apabila lebih dominan
ke arah nilai tukar, informan secara tidak langsung mengukuhkan baik stereotipe dalam
masyarakat maupun konsumerisme yang dipupuk oleh media massa. Sebaliknya, apabila
lebih dominan ke arah nilai guna, informan menolak stereotipe negatif tersebut dan resisten
terhadap konsumerisme yang dikonstruksi iklan media massa tersebut.

21

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


BAB IV
ANALISIS DAN INTERPRETASI

IV.1. ANALISIS
IV.1.1. Latar Belakang Informan

Informan adalah seorang mahasiswi di Universitas Indonesia (UI), Depok.


Informan sedang menempuh pendidikan S1 di jurusan Ilmu Komunikasi, dengan
program studi komunikasi media. Dalam program studi ini, informan terpapar
paradigma kritis yang kemudian mempengaruhi pola pikirnya dalam memandang
realitas yang dikonstruksi oleh media massa dan menggunakan kartu kredit dengan
sebijaksana mungkin.

Informan yang berusia 21 tahun ini berasal dari keluarga dengan status
sosial ekonomi tengah ke atas. Di Depok, saat ini informan merupakan mahasiswi
rantauan, dan sesekali berkumpul dengan keluarganya yang tinggal di daerah
Bintaro, Jakarta Selatan. Kegiatan sehari-hari informan adalah kuliah, mengikuti
unit kegiatan mahasiswa (UKM) paduan suara Paragita UI, melatih peserta dan
menjadi juri debat bahasa Inggris.

Pemasukan informan berkisar antara 1,5 hingga 2 juta per bulan, yang
diperoleh dari orang tuanya. Selain itu, informan juga memiliki sumber pemasukan
lain yang berasal dari kegiatan melatih dan menjadi juri debat bahasa Inggris,
dengan nominal penghasilan yang bervariasi. Pemasukan itu berkisar antara 1
sampai 3,5 juta per bulan.

Informan hanya memiliki satu buah kartu kredit dengan jenis Master Card
dari Bank Mandiri. Tipe kartu kredit tersebut adalah Titanium dengan pagu kredit
sebesar 30 juta. Kartu kredit tersebut telah informan miliki sejak tahun 2011.

22

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Informan sehari-harinya hanya mendapat paparan iklan kartu kredit dari
media internet seperti email dan bentuk direct marketing lainnya, bukan dari media
televisi. Hal ini berarti tingkat aksesibilitas media informan cukup rendah terhadap
media televisi dengan frekuensi paparan iklan yang lebih tinggi.

IV.1.2. Pola Penggunaan Kartu Kredit

Informan menggunakan kartu kredit dengan alasan keterbatasan uang tunai


yang dimilikinya, dorongan orang tua karena kondisi informan yang jauh dari orang
tua, dan adanya potongan harga dan promosi dalam beberapa transaksi belanja yang
biasa dilakukan informan. Adapun nominal transaksi kartu kredit yang biasanya
dilakukan oleh informan adalah sebesar 2 sampai 3 juta per bulannya. Hal ini berarti
informan hanya menggunakan 8% dari pagu kartu kredit yang dimilikinya.

Transaksi dengan menggunakan kartu kredit dilakukan informan untuk


membeli barang-barang yang berupa kebutuhan, bukan untuk berfoya-foya.
Adapun kebutuhan tersebut adalah untuk berbelanja buku, membayar biaya rumah
sakit, membeli kosmetik, memesan tiket pesawat, dan membantu pembayaran
kebutuhan keluarga. Informan juga mengaku bahwa ia sesekali menggunakan kartu
kredit untuk membeli pakaian dalam jumlah yang besar, yang notabene bukan
merupakan kebutuhan seperti halnya kebutuhan di atas. Meskipun seperti itu,
informan menegaskan bahwa ia tidak hobi berbelanja dan melakukan hal tersebut
karena tuntutan kegiatan yang diikutinya.

Pola penggunaan kartu kredit oleh informan dapat dikatakan cukup


bijaksana, seperti; (1) memiliki prinsip untuk tidak mau ditumpangi pembayaran
kartu kredit oleh teman-temannya, (2) hanya membeli barang yang dipromosikan
melalui iklan media massa apabila benar-benar butuh, (3) bukan untuk transaksi
dengan iming-iming cicilan 0% atau barang-barang mahal, (4) untuk membantu
membayar kebutuhan keluarga, (5) tidak menggunakan kartu kredit di luar daftar

23

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


kebutuhan yang ditanggung oleh orang tua, (6) membatasi frekuensi penggunaan
kartu kredit tergantung pada jumlah tagihan pada bulan sebelumnya, dan (7)
menggunakan kartu kredit saat ada potongan harga.

Informan dan ibunya merupakan pemegang kartu kredit tambahan dari kartu
kredit utama yang dimiliki ayah informan. Hal ini mempengaruhi pola penggunaan
kartu kreditnya yang dibatasi oleh aturan yang ditetapkan oleh ayahnya selaku
pemegang kartu utama. Informan sendiri menilai bahwa jumlah kartu kredit yang
dimilikinya sudah sesuai dengan kebutuhan, seperti kebutuhan ke rumah sakit
secara regular dan membeli buku. Namun demikian, informan merasa bahwa jenis
kartu kredit yang dimilikinya tidak sesuai dengan tingkat kebutuhannya karena
bunga yang tinggi dan pagu kartu kredit yang mencapai 30 juta per bulannya yang
dirasa berlebihan.

IV.1.3. Aturan Terkait Kartu Kredit


Dalam menggunakan kartu kredit, informan mengacu pada aturan yang
ditetapkan oleh orang tua dan dirinya sendiri. Terkait dengan aturan orang tuanya,
ayah informan membuat daftar sejumlah kebutuhan yang ditanggung oleh orang tua
dan yang ditanggung dirinya sendiri. Adapun kebutuhan yang ditanggung oleh
orang tua informan adalah pembelian buku dan pembayaran rumah sakit.
Ayah informan juga memberi peringatan terhadap informan agar
pengeluaran dengan menggunakan kartu kredit tidak melebihi limit, dan membuat
kebijakan bahwa kartu kredit yang dimiliki oleh informan bukan untuk keperluan
dirinya sendiri melainkan juga untuk menanggung kebutuhan keluarga. Apabila
informan menggunakan kartu kredit untuk hal-hal di luar daftar kebutuhan yang
ditanggung, informan harus bertanggung jawab dan membayar biaya transaksi
tersebut terhadap orang tuanya.
Ayah informan merupakan pihak yang melunasi tagihan kartu kredit untuk
daftar kebutuhan informan yang sudah ditetapkan. Meskipun informan bertanggung
jawab untuk melunasi sendiri tagihan kartu kredit atas transaksi yang berada di luar
daftar kebutuhan yang ditanggung, biasanya ayahnya mendahulukan pelunasan

24

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


tagihan tersebut. Hal ini terkait dengan status kartu kredit informan sebagai kartu
kredit tambahan, yang merupakan satu kesatuan dari kartu kredit yang dipegang
ayahnya.
Adapun aturan yang dibuat oleh informan sendiri terkait penggunaan kartu
kredit seperti; (1) kalau tidak butuh dan tidak ada potongan harga, jangan gunakan
kartu kredit, (2) peringatan terhadap diri sendiri bahwa ada tagihan yang ditanggung
oleh orang tua dan ada pula tagihan yang harus ditanggung diri sendiri, dan (3)
sengaja meninggalkan kartu kredit jika tidak untuk membeli kebutuhan yang
bersifat urgen.

IV.1.4. Cara Pandang Informan


Dalam wawancara yang peneliti lakukan, informan mengemukakan
pandangannya tentang beberapa hal terkait tema penelitian ini, yaitu pandangan
terhadap promosi kartu kredit melalui iklan media massa, pandangan tentang image
shopaholic dalam iklan, pandangan terkait representasi perempuan dalam iklan,
pandangan terhadap stereotipe perempuan sebagai ‘penghabis uang keluarga’, dan
pandangan tantang pergeseran nilai guna kartu kredit. Pandangan tersebut didasari
oleh paparan teori kritis yang informan terima dari materi perkuliahan yang
berparadigma kritis.
Informan membenarkan promosi dengan bunga 0% dari kartu kredit dalam
iklan media massa untuk barang-barang mahal atau elektronik. Untuk kebutuhan
tersier seperti gadget, informan beranggapan lebih baik membayar secara tunai
daripada menggunakan kartu kredit. Di sisi lain, informan secara kritis
berpandangan bahwa iklan membuat orang tidak sadar bahwa mereka menumpuk
utang berbunga tinggi. Oleh karena itu, informan menyadari dan menghimbau
pemilik kartu kredit untuk memiliki resistensi terhadap iklan, dimana apabila tidak
membutuhkan barang yang dipromosikan iklan kartu kredit, maka tidak perlu
dibeli. Terkait hal ini, informan menilai iklan mendorong para pemilikinya untuk
bergaya hidup konsumtif.

25

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Adapun informan terpapar iklan kartu kredit melalui direct marketing yang
dilakukan oleh pihak bank yang bersangkutan, yakni melalui email, banner, dan
brosur. Utamanya, informan mendapatkan email dari Bank Mandiri tentang
program-program promosinya. Selain itu, informan mengaku juga mendapatkan
surat secara langsung dari Bank Mandiri tentang kupon ataupun potongan harga
yang tengah mereka lakukan.
Informan melihat kesan shopaholic pada perempuan yang menjadi model
dalam iklan kartu kredit bukan merupakan realitas yang sebenarnya dalam dunia
nyata, melainkan realitas semu yang dikonstruksi oleh media massa. Image
shopaholic pada model perempuan dalam iklan media massa tersebut mungkin
relevan dengan orang-orang berpenghasilan tinggi, seperti pengusaha dan anggota
DPR, menurut informan.
Menurut informan, konsumerisme yang melekat pada diri perempuan yang
direpresentasikan dalam iklan kartu kredit bukan merupakan suatu realitas,
sehingga informan tidak mengasosiasikan dirinya seperti perempuan dalam iklan
tersebut. Bagi informan, konsumerisme bukanlah masalah gender. Maksudnya,
laki-laki dan perempuan memang memiliki pola konsumsi yang berbeda, namun
keduanya berpotensi untuk menjadi konsumtif dalam menggunakan kartu kredit.
Selanjutnya, informan tidak setuju dengan stereotipe perempuan sebagai
‘penghabis uang keluarga’. Karena menurut informan laki-laki juga berpotensi
dikenakan stereotipe tersebut. Hal ini terkait dengan persepsi informan bahwa baik
laki-laki maupun perempuan sama-sama menggunakan 50% dari pemasukannya
untuk kegiatan konsumsi. Informan beranggapan bahwa bukan karena laki-laki
tidak sering berbelanja maka tidak bisa dikatakan sebagai ‘penghabis uang
keluarga’, dan bukan pula karena perempuan sering belanja maka mereka serta
merta dikenakan stereotipe tersebut.
Menurut informan, perempuan memang terlihat lebih sering berbelanja
sementara laki-laki hanya sesekali saja berbelanja. Namun, jumlah rupiah yang
dikeluarkan oleh keduanya kurang lebih sama. Frekuensi dan jenis kebutuhan di
antara keduanyalah yang membedakan kecenderungan potensi laki-laki atau

26

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


perempuan dapat dikatakan sebagai ‘penghabis uang keluarga’. Informan kembali
menegaskan bahwa bukan karena seseorang merupakan perempuan maka
pengeluarannya lebih besar, melainkan frekuensi belanjanyalah yang menentukan;
perempuan cenderung lebih banyak dan lebih sering berbelanja tetapi dengan
tingkat harga yang murah.
Informan mengakui bahwa setelah terpapar teori kritis, ia menggunakan
kartu kredit sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk mencicil pembayaran barang agar
tidak terasa berat dan membuat harga barang terkesan lebih murah karena fluktuasi
nilai mata uang. Berbeda dengan pandangan orang kebanyakan sekarang tentang
kartu kredit yang mengalami pergeseran nilai guna menjadi nilai tukar. Pergeseran
pandangan ini menyebabkan orang-orang tersebut menggunakan kartu kredit untuk
berbelanja sepuasnya dan simbolisasi prestise. Mereka tidak menyadari perilaku
konsumtif yang terus mereka preservasi melalui penggunaan kartu kredit secara
berlebihan tersebut.
Dalam penelitian ini, peneliti juga menanyakan pandangan informan
tentang pola pengelolaan keuangan yang ideal yang dapat mencegah konsumerisme
pengguna kartu kredit. Informan menilai pengelolaan keuangan yang ideal tidak
terkait gender. Baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi pengelola
keuangan yang ideal, begitupun keduanya berpotensi menjadi individu yang boros
dan konsumtif. Kalaupun ada perbedaan di antara keduanya, bukan tergantung soal
gender, melainkan alokasi anggaran pengeluaran untuk kebutuhan dan
konsumsinya.

IV.2. INTERPRETASI

Informan menggunakan kartu kredit untuk membeli barang-barang yang berupa


kebutuhan, bukan untuk hal-hal yang bersifat kurang urgen. Hal ini terlihat dari pernyataan
informan, “Aku dikasih kartu kredit karna cerita awalnya kan aku masuk emergency, asma
ku kambuh. Aku ga punya siapa-siapa di Depok. Akhirnya temen aku yang bantuin bayar

27

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


karna kebetulan akhir bulan ... Nah aku tuh dikasih kartu kredit karna itu. Pokoknya yang
masih berkaitan sama kesehatan dan pendidikan, itu masih kebutuhan. Kesehatan kan
primer, perlu kartu kredit. Tapi kalau misalnya untuk belanja-belanja gitu, ya ga
usahlah, kalo emang ga perlu. Soalnya sangat semenggoda itu pake kartu kredit. Kayak
kita ga ngeluarin duit, kan ga berasa susahnya.”

Selain untuk kebutuhan kesehatan dan pendidikan, informan juga menggunakan


kartu kreditnya untuk kebutuhan tambahan yang tidak bersifat primer, yakni untuk
membeli kosmetik dan pakaian dalam jumlah yang besar. “Kan untuk yang paragita emang
lagi mau lomba kan dan aku masih perlu make up, makanya aku beli gara-gara tau ada
diskon 30 persen waktu itu pake kartu mandiri. Dan yaudah, biasanya aku pake make up
nya yang Pac. Pac itu kan dalam negeri jadi ga semahal yang lain. Dan itu di diskon lagi
30 persen. Jadi emang lebih menguntungkan pake kartu kredit mandiri.”

Dari pernyataan di atas, terlihat bahwa informan menggunakan kartu kredit untuk
membeli kosmetik karena ada potongan harga apabila pembayaran dilakukan dengan
menggunakan kartu kredit Mandiri yang dimilikinya, bukan semata-mata karena informan
hanya ingin bertransaksi dengan menggunakan kartu kredit.

Begitupun halnya dengan transaksi menggunakan kartu kredit yang dilakukan


informan untuk membeli pakaian. Informan cukup bijak untuk memanfaatkan promo
potongan harga untuk transaksi dengan menggunakan kartu kredit atas pakaian yang
dibelinya meskipun dalam jumlah yang besar. “... Kan aku orang nya jarang membeli
baju gitu kan. Jadi sekali beli, sekali banyak. Soalnya aku ga hobi shopping
sebenernya.”

Informan mengaku sering kali mengoptimalkan penggunaan kartu kredit untuk


berbagai potongan harga yang berlaku di setiap kesempatan, seperti makan di restoran
bersama keluarga dan teman-teman sepergaulan. “Biasanya ada program-program
khususnya, misalnya kayak pizza hut delivery. Kalau misalnya bayar pake cash kan 100%,
tapi kalo pake kartu kredit diskon 15%. Jadi lumayan juga.” Informan kadang tidak

28

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


segan untuk menggenapkan jumlah nominal transaksi agar mendapatkan potongan harga
jika pembayaran dilakukan dengan menggunakan kartu kredit.

Peringatan dari orang tua informan juga melatarbelakangi pola penggunaan kartu
kredit yang cukup ketat oleh informan, sebagaimana pernyataan informan, “... Papa aku
tetap nekanin sih yang namanya pengeluaran itu ditekan, ditekan, ditekan. Kalau
misalnya emang ga butuh, jangan. Dan aku juga ga ikut-ikutan kayak temen-temen gitu,
misalnya kayak gaul kemana gitu. Aku lebih ke apa ya,. sibuk dengan kegiatan aku sendiri.
Kalau misalnya aku butuh, beli. Kalau misalnya enggak, enggak.”

Informan memiliki aturan dalam penggunaan kartu kredit yang didapatkan dari
ayah informan dan dirinya sendiri. “... Papa aku punya list apa aja pengeluaran yang
ditanggung orang tua, apa aja yang tanggungan aku sendiri. Selama pengeluaran itu
masih tanggungan orang tua, aku make kartu kredit. Misalnya beli buku. Kan aku pernah
beli buku di Times. Terus apa lagi ya, rumah sakit. Aku sebenarnya tujuan pake kartu
kredit ini untuk rumah sakit. Soalnya kalo aku ke rumah sakit, tagihan kartu kredit papa
aku, nanti aku kan ada tagihan dari rumah sakit, itu diganti sama perusahaan.”

Terdapat daftar kebutuhan yang menjadi tanggungan orang tua dan kebutuhan yang
ditanggung oleh informan sendiri. Adapun kebutuhan yang menjadi tanggungan orang tua
adalah kebutuhan pendidikan dan biaya kesehatan, dan terkadang untuk membayar
kebutuhan keluarga. Kebutuhan di luar hal-hal tersebut yang menjadi tanggungan informan
adalah seperti untuk membeli baju dan peralatan make up.

“Kalau untuk kebutuhan aku sendiri aku disuruh ganti. Misalnya gini, setiap
bulan kan aku dikirimin tagihan kartu kreditnya. Ee ya terus terhitung pakenya berapa, tek
tek tek tek. Terus kayak udah hitung, aku pengeluarannya segini, oh yaudah aku transferin
ke papa. Aku kan ada rekening papa juga. Jadi ya hasil aku kerja itu, terus juga uang jajan
bulanan aku. Itu juga nantinya dikurangin lagi untuk tagihan kartu kredit.”

Peneliti melihat aturan yang didapatkan oleh informan, baik dari orang tua maupun
yang ditetapkan dari dirinya sendiri, semakin mendorong informan untuk lebih bijak lagi

29

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


dalam menggunakan kartu kredit. Aturan inilah yang kemudian mempengaruhi pola
penggunaan kartu kredit informan. Peneliti beranggapan seandainya tidak terdapat aturan
yang ditetapkan oleh ayah informan, terdapat kemungkinan informan menggunakan kartu
secara berlebihan atau dengan kata lain aturan inilah yang menjadi path way informan
dalam frekuensi dan limit penggunaan kartu kredit.

Aturan-aturan yang ditetapkan informan adalah hanya membeli barang-barang


yang dibutuhkan, adanya peringatan terhadap diri sendiri untuk hanya membeli barang
yang ditanggung orang tua, dan meninggalkan kartu kredit di kosan ketika tidak
dibutuhkan. “Aku ga memperlakukan kartu kredit aku itu layaknya kartu kredit orang-
orang.” Hal ini menunjukkan bahwa informan memiiki tindakan preventif dan cukup ketat
terhadap dirinya sendiri dalam hal penggunaan kartu kredit.

Kebijakan lainnya yang informan tetapkan dalam menggunakan kartu kreditnya


adalah membatasi frekuensi penggunaan kartu kredit tergantung pada jumlah tagihan pada
bulan sebelumnya, kecuali apabila terdapat hal-hal yang bersifat urgen dan
mengharuskannya bertransaksi dengan menggunakan kartu kredit. Hal ini tercermin dari
pernyataan informan, “Karena aku bulan lalu udah banyak pengeluarannya karena aku
beli buku dan segala macam, jadi aku tidak berencana pake kartu kredit untuk beberapa
bulan ke depan, kecuali kalau aku emang ada ke rumah sakit.”

Meski kelompok pertemanan informan sering kali menggunakan kartu kredit ketika
hang-out, informan tidak mengikuti pola penggunaan kartu kredit dalam frekuensi dan
jumlah yang cukup tinggi sebagaimana yang dilakukan oleh teman-temannya. Informan
justru lebih memilih untuk menumpangi transaksi bersama dengan menggunakan kartu
kredit temannya daripada temannya yang menumpang membayar melalui kartu kreditnya.
Informan menerangkan, “Kalau misalnya temen-temen lagi jalan, misalnya mereka “aduh
aku lagi ga bawa cash nih. Aku bayar pake kartu kredit aja ya. Kalian bayar cashnya aja
ke aku”. Dan aku yaudah pake kartu kredit temen, aku bayar ke dia. Tapi kalau misalnya
aku yang nanggung, aku ga mau soalnya tagihannya jadi gede.”

30

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Status informan dan ibunya sebagai pemilik kartu kredit tambahan dari kartu kredit
utama yang dipegang ayahnya, juga mempengaruhi pola penggunaan kartu kreditnya.
Informan menjelaskan, “... Sebenernya kartu kredit itu kan ada yang utama, ada yang
tambahan gitu. Pemegang kartu kredit utamanya itu papa aku. Cuma papa aku ngasih aku
sama mama aku kartu kredit, mungkin supaya ga timpang aja penggunaannya.”

Pandangan kritis informan terhadap promosi iklan kartu kredit terlihat dari
pernyataan “Kalau yang biasanya cicilan 0 persen itu kan untuk barang yang mahal ya
harganya. Jadi aku ga pernah pake kartu kedit aku untuk bayar yang semahal itu juga ...
Aku pake kartu kreditnya apa ya, bukan karena. Istilahnya karena emang lebih untung
pake kartu kredit gitu. Tapi kalau diperlakukan selayaknya kredit itu kan bisa menumpuk
utangnya ... Menurut aku sih ga tau karna aku udah kena terpaan kritis atau gimana. Cuma
aku tuh emang gini, kalau misalnya aku ga perlu ya aku ga beli.”

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa informan menyadari keberadaan propaganda


konsumerisme dalam promosi iklan kartu kredit, namun informan yang sudah terpapar
paradigma kritis ini tidak mengkonfirmasi pesan yang disampaikan dalam iklan tersebut
dalam pola perilaku penggunaan kartu kreditnya di dunia nyata.

Informan sadar bahwa iklan media massa menggambarkan kartu kredit sebagai
solusi atas keterbatasan finansial dari target audiensnya. Namun sebagai pengguna kartu
kredit, informan tahu membedakan mana yang kebutuhan yang benar-benar diperlukan dan
mana yang bukan. Misalnya, untuk barang-barang elektronik dengan cicilan 0%, informan
tidak tertarik untuk membeli dengan menggunakan kartu kredit. Karena, informan
memiliki prinsip, kartu kredit digunakan untuk membeli barang-barang yang memang
diperlukan, bukan untuk membeli yang diimpikan oleh pemiliknya.

Selaras dengan argumen dari Jane Kenway, informan juga memandang bahwa isi
media massa semakin mendukung budaya konsumerisme. “Berdasarkan iklan-iklan yang
tadi, kartu kredit itu sudah menjadi lifestyle. Akhirnya orang make nggak untuk kebutuhan
ideal tadi, tapi lebih ke yang belanja gini-gini. Apalagi kalau kita ke toko baju, ada diskon
untuk yang pake kartu kredit ini ini. Akhirnya mendorong orang untuk belanja.”

31

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Meskipun iklan kartu kredit di media massa mendorong masyarakat untuk terus
melakukan kegiatan konsumsi dan menjadikannya sebagai gaya hidup, informan dalam
penelitian ini menyadari dan menangkap pesan tersebut, tapi ia tidak serta merta menjadi
individu yang konsumtif terkait penggunaan kartu kredit yang ia miliki.
Selaras dengan studi Williamson tentang ideologi dalam periklanan, informan memandang
image shopaholic dalam iklan bukan sebagai suatu realitas, melainkan penyempurnaan
imajinasi tentang makna dan gagasan dari pengalaman berupa kebahagiaan. Dalam hal ini
adalah pengalaman menggunakan kartu kredit dan rasa puas serta bahagia yang
diekspresikan oleh model dalam iklan kartu kredit saat bertransaksi menggunakan kartu
kredit dan ‘menikmati’ keuntungannya.

Menegaskan hal tersebut, informan menyatakan, “Aku ga melihat itu sebagai


suatu realita. Rasanya enggak kok. Kenyataannya ga kayak gitu. Dan palingan kalo ada
orang yang kayak gitu ya emang orang yang bener kaya.” Iklan hanyalah suatu mimpi dan
ilusi karena memunculkan gambar yang dimanipulasi. Dalam kehidupan nyata, hanya
orang-orang kaya yang mampu bergaya hidup sebagaimana yang dimunculkan dalam
iklan.

“... Aku kan masih menggolongkan diri aku di kelas menengah. Menurut aku
harusnya orang-orang yang belanja gila-gilaan gitu, ya orang-orang yang
penghasilannya bener-bener kaya juga. Pengusaha kek atau anggota DPR kek, atau apa
gitu. Cuma kalau orang-orang kayak aku tidak selayaknya kayak gitu.” Atas pernyataan
tersebut, informan melihat bahwa iklan kartu kredit bukan merupakan realitas yang
sebenarnya dalam dunia nyata, melainkan realitas semu yang dikonstruksi oleh media
massa. Karena target audiens yang sebenarnya adalah kelas atas, bukan kelas tengah ke
bawah.

Informan menyatakan bahwa seseorang layak menjadi seorang shopaholic jika


memiliki pemasukan yang besar, dan secara tidak langsung tersirat bahwa orang dengan
pendapatan kecil bukanlah sasaran penggambaran shopaholic dalam iklan kartu kredit.
Karena dalam kenyataannya, orang-orang yang sanggup membeli barang yang dipaparkan

32

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


dalam iklan-iklan kartu kredit tersebut hanyalah orang-orang yang berpenghasilan tinggi.
Ditambah lagi, barang-barang yang atau dipromosikan bukan merupakan barang-barang
dengan harga murah, minimal di atas 5 juta.

Dalam pandangan informan, konsumerisme yang direpresentasikan pada diri


perempuan dalam iklan kartu kredit bukan merupakan suatu realitas, dan bukanlah masalah
gender. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki pola konsumsi yang sama, namun
dengan jenis kebutuhan yang berbeda. Terkait hal ini, menurut informan, keduanya
berpotensi menjadi konsumtif dalam menggunakan kartu kredit.

“Kalau misalnya aku, yang namanya belanja itu kewajaran bagi orang yang
banyak duit. Jadi, kayak terlepas dari dia cewek apa cowok.”

Informan tidak setuju dengan stereotipe perempuan sebagai ‘penghabis uang


keluarga.’ Hal ini terkait dengan pendapat informan bahwa baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama menggunakan 50% dari pemasukannya untuk kegiatan konsumsi.
Menurut informan, perilaku konsumtif tidak bisa didasarkan pada seberapa sering
seseorang itu berbelanja, namun lebih kepada nominal yang dikeluarkan dan jenis
kebutuhanlah yang membedakan kecenderungan potensi laki-laki atau perempuan dapat
dikatakan sebagai ‘penghabis uang keluarga’. “Kalau aku, lagi-lagi terlepas dengan
gendernya ya. Kalau konsumsi 50 persen, cowok sama cewek sama aja, cuman kan
kebutuhannya beda.”

“Soalnya kalau aku ngeliatnya cewek memang kelihatan banyak belanjanya,


karna dia beli baju, beli apa gitu yang kecil-kecil. Tapi jadi-jadinya gede. Kalo cowok
sebenarnya jadi mahal juga. Kayak mereka itu sukanya otomotif atau gadget. Walaupun
kecil kayak gini, tapi berkali-kali lipat dari belanjaan cewek.” Informan menekankan
bahwa perempuan memang kelihatannya sering berbelanja, namun tidak tetutup
kemungkinan untuk kebutuhan primer. Bahkan, perempuan dalam keluarga juga harus
membelanjakan kebutuhan para lelaki dalam keluarga tersebut. Hal tersebutlah yang
akhirnya membuat perempuan digambarkan secara kultural sebagai sosok yang memiliki
hasrat yang tinggi untuk berbelanja daripada laki-laki.

33

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Informan menjelaskan bahwa ia menggunakan kartu kredit sesuai dengan nilai
gunanya. “Kartu kredit itu aku rasa penggunaan dasarnya adalah untuk beli barang yang
bisa dicicil dan cicilannya nol persen. Itu kan sangat-sangat menguntungkan kalo kayak
gitu kita ga terasa berat.” Berdasarkan logika empat objek dari Baudrillard, informan
menggunakan kartu kredit karena alasan nilai fungsional atau nilai gunanya.

Informan menggunakan kartu kredit bukan karena alasan kebanyakan orang yang
dangkal, bahwa kartu kredit sebagai simbol prestise dan memungkinkan penggunanya
berbelanja sepuasnya. Informan justru memandang kartu kredit secara bijaksana. Untuk
itu, tidak terjadi pergeseran nilai guna kartu kredit menjadi nilai tukar karena informan
melakukan pembacaan oposisional terhadap iklan kartu kredit dalam media massa dan
stereotipe perempuan sebagai ‘penghabis uang keluarga’ dalam masyarakat.

Dari pernyataan informan, peneliti menginterpretasikan bahwa kartu kredit pada


dasarnya mendorong pemiliknya melakukan praktik konsumerisme berganda. Hal ini
karena dengan hanya memiliki kartu kredit yang secara gencar dipromosikan oleh berbagai
media massa, baik cetak maupun elektronik, pemilik kartu kredit terus didorong untuk
menjadi individu yang konsumtif dalam menggunakan kartu kreditnya.

Hal ini diperparah dengan penggunaan kartu kredit tersebut secara berlebih-
lebihan, untuk membeli barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan, namun karena
terpapar pesan-pesan ilusional dari iklan kartu kredit dan adanya kartu kredit untuk
mewujudkan pesan-pesan ilusional tersebut, maka pemilik kartu kredit terjebak dalam
praktik konsumerisme berganda yang tidak disadarinya.

Menyadari hal tersebut, informan menghimbau para pengguna kartu kredit untuk
juga melakukan pembacaan iklan kartu kredit secara oposisional dan memaknai pesan-
pesan dalam iklan kredit secara kritis. Hal ini dikarenakan iklan kartu kredit pada dasarnya
dapat memicu pola penggunaan kartu kredit secara tidak bijak, berlebih-lebihan, hingga
cenderung membuat seseorang menjadi individu konsumtif.

34

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


BAB V
KESIMPULAN

Dari penelitian kami, yang berjudul Pemaknaan Konsumerisme Perempuan dalam Iklan
Kartu Kredit, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Penggambaran perempuan yang shopaholic dalam iklan kartu kredit tidak dimaknai
informan sebagai suatu realita. Dengan pembacaan oposisional yang dilakukannya,
informan menyadari bahwa iklan kartu kredit pada dasarnya mendorong audiensnya
untuk mengikuti pesan-pesan promosional dan pengalaman berbelanja yang
ditampilkan oleh model dalam iklan. Oleh karena itu, informan meyakini bahwa iklan
kartu kredit mendorong audiensnya untuk menjadi pengguna kartu kredit yang aktif
dan individu yang konsumtif.

2. Informan tidak mengkonfirmasi stereotipe perempuan sebagai ‘penghabis uang


keluarga’. Terkait dengan penggunaan kartu kredit, informan menilai bahwa baik laki-
laki maupun perempuan dapat dikenakan stereotipe tersebut karena keduanya
berpotensi menjadi ‘penghabis uang keluarga’. Pengenaan stereotipe ini, dalam hemat
informan, tidak didasari pada gender individu, melainkan jenis kebutuhan, nominal
pengeluaran dan pola pengelolaan keuangannya. Secara kultural, karena posisi
perempuan dalam keluarga yang sering kali berperan sebagai pengelola keuangan,
maka ketika ia menjadi pengguna kartu kredit, kecenderungan pengenaan stereotipe
‘penghabis uang keluarga’ itu lebih besar.

3. Informan memaknai fungsi kartu kredit berdasarkan nilai gunanya. Hal ini
dikarenakan informan menggunakan kartu kredit sesuai dengan fungsi dan keuntungan-
keuntungan yang ditawarkan melalui transaksi menggunakan kartu kredit, bukan untuk
simbolisasi prestise dan belanja secara berlebih-lebihan; yang merupakan pergeseran
fungsi kartu kredit menjadi nilai tukar.

35

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Baudrillard, Jean P. 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitaif, dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Durham, Meenakshi Gigi & Douglas M. Kellner. 2002. Media and Cultural Studies
Keyworks. Great Britain: Blackwell Publishers.

Hennink, Monique, Inge Hutter & Ajay Bailey. 2011. Qualitative Research Methods.
California: SAGE Publications Ltd.

Kasali, Rhenald. 1999. Membidik Pasar Indonesia, Targeting dan Positioning. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

McQuail, Dennis & Sven Windhal. 1996. Communication Model for The Study of Mass
Communications. Edisi Kedua. Singapore: Longman.

Tesis

Armando, Nina Mutmainnah.2001.Konsumerisme Pada Majalah Remaja. Depok: FISIP


UI.

Website

www.transparencynow.com/advertise.htm (diakses pada 29 Mei 2012, pukul 12.14)

www.indonesiafinancetoday.com/read/26245/Transaksi-Kartu-Kredit-Kuartal-I-Naik-121
(diakses pada 20 Mei 2012, pukul 11.05)

36

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Lampiran 1. Pedoman Wawancara

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan konsumerisme perempuan


dalam iklan kartu kredit. Kami melakukan penelitian ini dalam rangka mempraktikkan
simulasi penelitian kualitatif dalam mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi II di
Universitas Indonesia. Kami tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai fenomena
konsumerisme perempuan, khususnya dalam iklan kartu kredit. Pertanyaan yang akan kami
ajukan terkait tema penelitian ini berhubungan dengan penggunaan kartu kredit oleh
perempuan sebagai bentuk konsumerisme sebagaimana yang dipaparkan dalam iklan
media massa. Apapun informasi yang akan Anda sampaikan hanya akan digunakan untuk
keperluan penelitian ini dan tidak akan disebarluaskan kepada pihak lain. Identitas Anda
juga akan dirahasiakan untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat
mengidentifikasi Anda melalui informasi yang Anda sampaikan. Anda telah setuju untuk
menjadi informan dalam penelitian ini berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Apakah ada
pertanyaan sebelum kita memulai wawancara ini?

Background information
Nomor Informan :

Usia : tahun

Pendidikan : di

Pemasukan : Rp (per bulan)

Opening questions
1. Dapatkah Anda ceritakan tentang kartu kredit yang Anda miliki?
Probe: jumlah, bank apa saja, sejak kapan

2. Mengapa Anda lebih memilih transaksi menggunakan kartu kredit dibandingkan debit
atau tunai?

37

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Probe: praktis, potongan harga, kelebihan lainnya

3. Apakah ada yang memotivasi Anda untuk menggunakan kartu kredit?


Probe: keluarga, teman, pasangan, mengapa

Questions about shopaholic women in the ads


1. Dapatkah Anda ceritakan tentang media yang mempromosikan kartu kredit?
Probe: televisi, brosur, pamflet, internet

2. Bagaimana pandangan Anda mengenai bunga rendah dan potongan harga yang
dipromosikan dalam iklan kartu kredit?
Probe: sesuai dengan kenyataan, berlebihan, pengalaman lainnya

3. Bagaimana pandangan Anda mengenai kesan shopaholic yang identik melekat pada
diri perempuan terkait dengan promosi iklan tersebut?
Probe: pembacaan dominan, negosiasi, oposisional

4. Apakah representasi perempuan dalam iklan tersebut justru mengkonfirmasi dan


menjadi pembenaran bagi Anda untuk menggunakan kartu kredit?
Probe: pembacaan dominan, negosiasi, oposisional

Question about stereotypes of women


1. Berapa nominal transaksi kartu kredit yang Anda lakukan tiap bulannya?
Probe: Rp X untuk kebutuhan primer, sekunder, tersier, wajarkah

2. Siapa pula yang paling bertanggungjawab untuk melunasi kartu kredit Anda?
Probe: orang tua, diri sendiri, pandangan ketika melebihi limit

3. Bagaimana pandangan Anda tentang urgensi kepemilikan kartu kredit?


Probe: mahasiswi perempuan, seluruh anggota keluarga, benar-benar butuh

Questions about use value into exchange value

38

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


1. Bagaimana pandangan Anda tentang kegunaan mendasar dari kartu kredit?
Probe: nilai guna kartu kredit

2. Apakah jumlah kartu kredit yang Anda miliki sesuai dengan kebutuhan Anda? Probe:
tidak ke arah positif, negatif sehingga berencana menambah kartu kredit

3. Apakah Anda menetapkan aturan tersendiri dalam menggunakan kartu kredit?


Probe: batasan nominal transaksi, selang waktu, momen yang paling tepat

Closing Question
1. Bagaimana pola ideal pengelolaan keuangan oleh perempuan?
Probe: pengelolaan keuangan yang baik, tidak perlu kartu kredit

2. Sebagai representasi dari kalangan perempuan pengguna kartu kredit, apa harapan
Anda terkait upaya menangkal paparan konsumerisme media massa ?
Probe: literasi media, bijak menggunakan kartu kredit

39

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Lampiran 2. Transkrip Wawancara

P: Langsung aja, usia Stella berapa tahun?


I: Umur aku 21 tahun.

P: Stella punya pemasukan perbulan, gak? Atau mungkin gak apa-apa ya kalo bicara
dikit kiriman dari orang tua atau mungkin ditambah lagi penghasilan dari mana-mana
gitu?
I: Kalau dari orang tua itu, aku kira-kira satu sampai dua juta perbulan.
Penghasilan aku misalnya kayak terakhir aku nge-coach itu dapat 1,5 juta.
Minggu sebelumnya pernah lagi aku dapat panggilan ke daerah untuk nge-
coach, itu seminggu dikasih 3,5 juta. Terus, aku misalnya kalo ngeju-ngeju gitu,
satu orang 50 ribu. Terakhir aku ngeju dua hari, 1 juta. Cuma, kayak gitu kan
nggak penghasilan tetap gitu lho.

P: Jadi mungkin kalo bisa kita rata-ratain sebulan mungkin dua jutaan kali ya?
I: He eh, sekitaran segitulah.

P: Naaah Stella bisa gak menceritakan tentang kartu kredit yang Stella miliki?
I: Ee.. Aku cuma punya satu kartu kredit. Dan itu master card dari mandiri. Itu
yang titanium. Aku punya kartu kredit itu sejak tahun lalu.

P: Tahun lalu. Baru tahun kemarin 2011. Sebelumnya udah pernah pake kartu kredit?
I: Debit aja

P: Oh debit aja sebelumnya. Okey okey. Terus kenapa Stella lebih memilih
bertransaksi menggunakan kartu kredit dibandingkan debit ataupun tunai?
I: Karena kalau tunai kan, kalau tunai terbatas dan itu pasti uang aku. Tapi
kalau misalnya kartu kredit kalau misalnya case tertentu aja yang papa nyuruh
ganti. Heh.. terus ini sih biasanya aku lebih milih kartu kredit itu karna... hmm..
ini nih biasanya ada program-program khusunya, gitu.. misalnya kayak apa ya..
misalnya kayak pizza hut delivery. Kalau misalnya bayar pake cash kan 100%
tapi kalo pake kartu kredit bisa diskon 15%.. jadi kan lumayan juga.

P: Oh iya, potongan harga gitu ya? Biasanya paling sering dipake untuk apa aja tuh?
Misalnya kalo ada promosi, atau program-program itu, atau potongan apa aja?
I: Ooh.. kalo misalnya untuk pake programnya itu sendiri sih aku jarang.
Biasanya kalo ada keperluan baru aku pake kartu. Jadi gini, papa aku itu punya
list apa aja pengeluaran yang ditanggung orang tua, apa aja yang tanggungan

40

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


aku sendiri. Jadi selama pengeluaran itu masih tanggungan orang tua, aku
make kartu kredit. Misalnya beli buku.. ehm.. kan aku pernah beli buku di
Times gitu kan. Terus apa lagi ya.. rumah sakit. Aku sebenarnya tujuan pake
kartu kredit ini untuk rumah sakit sih. Soalnya kalo aku ke rumah sakit, tagihan
kartu kredit papa aku, nanti aku kan ada tagihan dari rumah sakit, itu diganti
sama perusahaan. Terus apa lagi ya.. ya itu sih, kalau misalnya ada potongan-
potongan itu yang ekstra-ekstra.

P: Oh gitu, tapi utamanya yang kalo memang yang sesuai dengan yang diperuntukkan
untuk pake kartu kartu kredit sesuai list tadi ya.. okey... ngg.. ada gak kira-kira yang
memotivasi Stella untuk menggunakan kartu kredit yang berhubungan dnegan orang
gitu? Entah mungkin keluarga, atau teman pergaulan... gitu-gitu.
I: Enggak sih.. teman aku yang punya kartu kredit itu ga banyak juga.

P: Jadi kalopun pake kartu kredit tuh, motivasinya itu lebih dominan karena yang
disebutkan di jawaban kedua tadi ya?
I: Iya he eh..karena memang itu kebutuhannya atau karena kalau pake kartu
kredit lebih menguntungkan.

P: Nggg gitu.. okey.. kalo misalnya dari, misal kayak suka bergaul dengan kalangan
pergaulan yang agak-agak gimana, agak sering menggunakan kartu kredit yang tidak
masalah sering menggunakan kartu kredit itu gak ada pengaruhnya di diri Stella?
I: Justru kalau misalnya temen-temen lagi jalan kaya gini nih, misalnya mereka
“aduh aku lagi ga bawa cash nih. Aku bayar pake kartu kredit aja ya. Kalian
bayar cashnya aja ke aku”. Kalau misalnya kayak gitu kan tagihan atau bill-nya
kan bisa sampe 700 ribu gitu. Dan aku yaudah jadi aku pake kartu kredit temen,
aku bayar ke dia. Tapi kalau misalnya aku yang nanggung, aku juga ga mau
soalnya tagihannya jadi gede. Gituu...

P: Oh gitu.. oh okey sip sip. Nah, jadi seperti yang udah kita jelaskan tadi di awal tuh,
brief-nya kan kita mau melihat konsumerisme perempuan dalam iklan. Sekarang kita
beranjak tentang... Perempuan dan iklan gitu. Jadi, kira-kira Stella bisa gak
menceritakan media-media yang mempromosikan kartu kredit yang pernah Stella
lihat, kemudian Stella ikuti, misalnya ada promo ini, terus tertarik, trus gitu-gitu..
I: Oh gitu.. iya sih aku biasanya tau dari email yang kaya gitu. Atau tau dari mana
ya..? misalnya kalau lagi jalan cari makan, eh ternyata kalau disini pake kartu
kredit mandiri ada diskon sekian persen gitu. Eeh terus apa ya.. eeh dulu aku
melakukan transaksi karena iklan itu pernah sekali karna kebetulan waktu itu
kau lagi butuh make up. Kan untuk yang paragita kan emang lagi mau lomba
juga kan dan aku juga masih perlu make up makanya aku beli gara2 tau ada

41

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


diskon 30 persen waktu itu pake kartu mandiri. Jadi kan lumayan banget kan..
itu turun harganya lumayan jauh. Dan yaudah, biasanya aku pake make upnya
itu yang itu loh.. make up yang pac. Pac itu kan dalam negeri jadi ga semahal
yang lain gitu kan. Dan itu di diskon lagi 30 persen. Jadi emang lebih
menguntungkan pake kartu kredit mandiri. Jadi kayak gitu sih. Cuma kalau
misalnya iklannya aku ga butuh barangya, aku enggak.

P: Berarti tadi dari email. Mayoritasnya biasanya dari mana?


I: Dari.. Biasanya dari email kan emang yang masuk. Apa, kartu kredit mandiri
lagi punya program ini ini. Terus juga dari.. tau aja, misalnya kalau lagi jalan-
jalan kan ada di bannernya. Kaya gitu. Atau ga dari brosur. Kalo misalnya di
pizza hut di brosur yang dikasih dia nulis tuh kartu kredit bca sama mandiri dia
diskon 15 persen. Terus apa lagi ya.. eee.. sama ini, kita biasanya dikirimin dari
mandirinya juga. Kayak future gitu kan kupon. Kalau belanja segini, diskon
sekian. Itu kadang dikirimin juga.

P: Medianya gitu. Media massanya yang Stella tahu. Aaa.. haaha.. Kalo dari TV agak
kurang ya?
I:. Secara aku ga punya TV jadi aku ga tau juga. Hehe hee.

P: Ah iya-iya... Okey oke.. ngerti-ngerti. Baiklah gak apa-apa...nah selanjutnya aaa...


pendapat Stella tentang bunga-bunga rendah dan potongan harga yang dipromosikan
dalam iklan kartu kredit tuh kayak gimana? Itu kan biasanya seringkan, misalnya
ngeliat di brosur, bunga cicilan nol persen bintangnya lima gitu kan, secara menurut
Stella gimana hal yang seperti itu?
I: Hm.. Kalau yang biasanya cicilan 0 persen itu kan untuk barang yang mahal
ya harganya. Jadi aku ga pernah pake kartu kedit aku untuk bayar yang
semahal itu juga. Aku itu paling mahal gunain kartu kredit itu untuk tiket
pesawat. Dan itu juga apa ya.. contohnya kemaren aku kan eh beli tiket pesawat
pake kartu kredit buat yang kerjaan aku itu yang ke daerah coach debat. Dan
itu kan duitnya diganti. Jadi kaya bisa bayar lagi, bisa bayar kartu kreditnya
langsung. Jadi kayak aku ga memperlakukan kartu kredit aku itu layaknya
kartu kredit orang-orang. Bisanya kan orang ini, uh beli apa beli hp 4 juta yuk
kita cicil aja sampe 12 bulan. Aku ga kaya gitu.. kalau misalnya aku ga punya
uang untuk beli itu ya aku ga beli gitu.. jadi ee sebisa mungkin kayak transaksi
aku bulan ini apa aja nih. Bulan depan itu udah dibayarin. Aku pake kartu
kreditnya apa, bukan karena.. isatilahnya karena emang lebih untung pake
kartu kredit gitu. Tapi kalau diperlakukan selayaknya kredit itu kan bisa
menusuk utangnya.

42

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


P: Kalo misalkan Stella lihat iklan-iklan kartu kredit, misalnya ngeliat promo-promo
apapupun itu, menurut Stella itu, berlebihan atau memang sengaja dilebih-lebihkan
atau emang biasa aja sih. Maksud aku Stella mungkin biasa aja dengan itu, toh Stella
emang berkebutuhan untuk itu, atau iklan-iklan itu memang mengakomodasi
kebutuhan yang memang orang-orang butuh gitu.
I: Kalau menurut aku sih ga tau karna aku udah kena terpaan kritis juga.. Cuma
aku tuh emang ini, kalau misalnya aku ga perlu ya aku ga beli.

P: Oohh gitu, jadi cukup bisa melihatlah mana yang betul-betul kebutuhanlah dalam
menggunakan kartu kreditnya. Okey, terus gimana kesan shopacholic yang identik
melekat pada diri perempuan ada terkait dengan iklan kartu kredit. Ngerasa gak sih
kalo di brosur atau pamflet tuh, biasanya tuh bukan biasa sih, seringkali perempuan
lagi memegang kantong belanjaaan seberapa banyak, bunga cicilan 0%, gitu-gitu
segala macam. Menurut Stella gimana selama ini? Atau terterpa gak selama ini?
I: Ee dengan gaya tuntutan glamor diamond stay gitu?

P: Perempuan-perempuan yang ada di kartu kredit gitu.


I: Menurut aku, ya lagi-lagi karna aku udah kena terpaan kritis deh.. aku ga
melihat itu sebagai suatu realita. Rasanya enggak kok.. kenyataannya ga kayak
gitu. Dan palingan kalo ada orang yang kaya gitu ya emang orang yang bener
kaya.. dan aku kan masih menggolongkan diri aku di kelas menengah. Jadi
kalau misalnya, ga tau deh kalo misalnya ada orang yang apa ya... eee
belanjanya gila-gilaan kayak itu. tapi apa ya, menurut aku harusnya orang-
orang yang belanja gila-gilaan gitu ya adalah orang-orang yang penghasilannya
bener-bener kaya juga. Pengusaha kek atau ya.. atau anggota DPR kek. Atau apa
gitu. Ehe (tertawa). Ya Cuma kalau misalnya kayak apa ya.. ya orang asli,
maksudnya kayak orang-orang kayak aku tidak selayaknya kayak gitu.

P: Berarti yang terterpa kritisnya lebih dominan jadi kayak?


I: Kayaknya gitu.

P: Karna anak komed juga kali ya?


I: Kayaknya gitu. Hehe (tertawa).

P: Okey sip sip. Selanjutnya. Aaaaa... menurut Stella nih apakah reperesentasi
perempuan dalam iklan-iklan kartu kredit yang aku gambarin itu justru
mengkonfirmasi dan menjadi pembenaran Stella untuk menggunakan kartu kredit
atau gimana? Maksud aku kayak misalnya ngeliat, ooh gak apa-apa kok ngeliat
perempuan-perempuan yang glamor, sosialita gitu, yang beriklan segala macam. Itu,
kayak Stella mengkonfirmasi oh ya udah gak apa-apa sih memang perempuan itu, ya

43

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


seperti itu memang shopaholic. Senang berbelanja, itu merupakan suatu kewajaran
kalo perempuan berbelanja kalo gitu?
I: He eh.. Tapi dari luar papa aku tetap nekanin sih yang namanya pengeluaran
itu ditekan ditekan ditekan. kalau misalnya emang ga butuh, jangan.. ga usah.
Dan aku juga ga ikut-ikutan kayak temen-temen gitu kan. misalnya kayak gaul
kemana gaul kemana gitu. aku lebih ke.. apa ya.. sibuk dengan kegiatan aku
sendiri. Kalau misalnya aku butuh, beli. Kalau misalnya enggak, enggak. Kalau
misalnya aku yang namanya belanja itu kewajaran bagi orang yang banyak duit
deh. Jadi kayak terlepas dari dia cewek apa cowok. Soalnya kalau, kalau aku
ngeliatnya cewek kan memang iya. kayak banyak, kelihatan banyak belanjanya
karna dia beli baju, beli apa gitu yang kecil-kecil.. tapi ini, jadi-jadinya gede.
Tapi kan kalo cowok sebenarnya jadi mahal juga. Kayak mereka itu sukanya di
otomotif atau gadget which is walaupunmisalnya kecil kayak gini tapi berkali-
kali lipat dari belanjaan cewek. Jadi kalau misalnya, kalu aku ngelihat yang
pengeluaran-pengeluaran kek gitu terlepas dari cowok cewek karna mereka
tentu kebutuhannya berbeda gitu.cuma kalau misanya pengeluarannya sampai
banyak kaya gitu, ya emang orangnya kaya.. terserah deh gitu. Terserah lo mau
pake duit lo gimana . kalau gue sih ga punya duit sebanyak itu, gue mesti hemat.
Gitu..

P: Tapi Stella, udah agak ini ya berarti, karena udah terterpa pandangan kristis kayak
gitu bisa dibilang udah agak resistan. Ah gak juga sih, kalo ngeliat perempuan-
perempuan gak kayak gitu. Kira-kira perempuan itu, kesan-kesan yang didapatkan
mengenai perempuan yang shopaholic di dalam iklan itu kayak gimana? apakah Stella
melihat diri Stella dalam perempuan-perempuan itu sebagai pengguna kartu kredit
itu atau justru ooooh nggak?
I: Enggak, aku nggak ngeliat. Ya kaya yang tadi aku bilang sih.. aku tidak melihat
itu sebagai suatu realita. Seandainya itu suatu realita, itu di dunia yang berbeda
gitu.. ya kalau misalnya aku sendiri tipe orang yang sama sekali tidak
mengasosiasikan diri aku kaya gitu. Jadi kayak sebenarnya aku itu pake kartu
kredit itu gini.. aku jauh dari orang tua dan aku sering ini kan, kayak bolak-
balik rumah sakit gitu kan.. tiap bulan aku pasti ada ke rumah sakit. Dan sekali
ke rumah sakit itu kan 500 ribu gitu. Sementara duit aku sering kadang Cuma
dikasih sejuta. Masa sekali ke rumah sakit aku langsung ga punya duit? Dan
sebelumnya itu ada pernah kejadian, aku ke rumah sakit masuk emergency dan
aku ga punya uang untuk bayar, itu sampe aku minjam sama temen aku.temen
aku datengin aku untuk bayarin. Kaarna sejak kejadian itu, aku diaksih kartu
kredit kalau misalnya ke rrumah sakit. Tapi emang sih ujung-ujungnya

44

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


gunainnya jadi kayak beli buku jadinya disitu. Tapi kalau papa aku untungnya
masih ga masalah kalau untuk buku. Terus juga ee ini sih, sama yang
keuntungan-keuntungan yang tadi. Jadi emang ada sih menggesernya dari
tujuan utama Cuma masih ada justificationnya. Hehee hee.. (tertawa)

P: Ngerti-ngerti... gak apa-apa ya. Biasanya berapa nominal transaksi kartu kredit
yang Stella lakukan di setiap bulannya. Untuk kebutuhan apapun, tersier, primerkah
atau sekunderkah penggunaan kartu kredit itu? Maaf ya kalo agak sensitif nanyain
nominal angkanya...
I: Ga papa kok.. Ehmm.. terakhir sih tagihan aku tiga juta bulan lalu. Karna
emang apa ya, ee.. kan aku orang nya jarang membeli baju gitu kan.. jadi sekali
beli, sekali banyak. soalnya aku ga hobi shopping sebenernya. Sama ini sih,
kebetulan lagi ini.. kan aku kalau di times itu bulan ulang tahun kan dapat
diskon 20% untuk bayar. Jadi aku nahan ga beli-beli buku waktu bulan
kemaren. Pas aku beli kayak langsung satu setengah juta buat beli buku aja.
Yang kayak gitu.. Cuma kalau misalnya kalau standarnya, apa ya standarnya...
biasanya ini sih kadang juga gini, kayak kebutuhan keluarga pake kartu kredit
aku. Jadi misalnya kayak mama aku ngajak pergi kemana, “yok kita gini gini
gini.. gimana nih bayarnya pake kartu kredit Stella aja”. Soalnya kan ditagihan
itu kan keluar nanti ini buat apa, ini buat apa. Jadi kehitung yang kebutuhan
aku berapa. Cuma ya rata-rata kayak dua juta tiga juta gitu sih. Cuma itu udah
termasuk kebutuhan keluarga. Jadi ga cuma aku sendirian make. Kalau aku
pulang ke rumah kan misalnya eee mamaku ngajak pergi. “Kita lagi butuh ini,
gini gini”. Mau beli tangga kek, mau beli apa kek, itu pake kartu kredit aku juga.
Jadi kayak itu semacam kebijakan pengaturan pengeluaran keluarga
itungannya. Jadi tuh bukan bener-bener yang kayak, “ini tuh punya aku’. Itu
enggak.. keluarga aku tuh masih berbagi.

P: Itu dikontrol secara ketat gitu ya sama orang tua? Maksudnya kalo sewaktu-waktu
mau dipake untuk kebutuhan keluargaa, ya seflexibel itu aja atau emang Stella ada ya
dialokasikan gitu untuk kebutuhan keluarga...
I: Ee.. Itu emang udah diatur sama keluraga. Jadi sebenernya itu kan kayak gini,
kartu kredit itu kan ada yang utama, ada yang tambahan gitu kan.. jadi
sebenarnya pemegang kartu kredit utamanya itu papa aku. Cuma papa aku
ngasih aku sama mama aku kartu kredit dan ini, ee mungkin supaya apa ya.. ga
timpang aja penggunaannya. Jadi kayak nggak.. jadi waktu tagihan itu keluar,
yang keluar itu adalah tagihan kartu kredit papa, aku, sama mama, baru ditotal
gitu. Jadi eee.. biar rata, rata angkanya dan bayar tagihannya juga enak kan
bayarnya per kartu kan.. Dan biasanya itu papa yang bayarin. Makanya

45

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


pengeluaran itu kayak dibagi-bagi misalnya.. misalnya kayak mama aku nih
hari ini bilang, “stel, hari sabtu kita gini gini gini ya. Nanti pake kartu kredit
kamu”. Ya oke gitu.. jadi emang untuk keluarga juga. Untuk aku pribadi ya
pengeluarannya ya paling untuk itu tuh, beli buku, kalau aku ada ke rumah
sakit..

P: Oh, trus biasanya yang paling bertanggung jawab untuk melunasi kartu kredit
Stella siapa?
I: Kalau misalnya untuk kebutuhan aku sendiri aku disuruh ganti. Misalnya
gini, ee setiap bulan kan aku dikirimin tagihan kartu kreditnya. Ee ya terus
dihitung Stella pakenya berapa, tek tek tek tek.. terus kayak udah hitung, aku
pengeluarannya segini, oh yaudah aku transferin ke papa. Aku kan ada
rekening papa juga. Jadi ya hasil aku kerja itu, terus juga uang jajan bulanan
aku.. itu juga nantinya dikurangin lagi untuk tagihan kartu kredit. Jadi tetep aja
walaupun apa ya.. walaupun kartu kreditnya kartu kredit apa, dari papa gitu,
kalau misalnya ada tagihan yang aku yang make, aku disuruh ganti. Hehe
(tertawa). Iya papa aku kayak gitu, emang seketat itu sih pengeluarannya.

P: Mungkin pembayarannya maksudnya kayak, berarti,, Stela bertanggung jawab atas


pembayaran kartu kredit Stella sendiri atau dibantu papa atau dibantu mama atau?
I: Jadi tergantung yang list tadi. Kalau misalnya pengeluarannya kayak rumah
sakit gitu, itu ditanggung papa. Tapi kalau misalnya kayak aku makan, aku
pergi kemana, papa aku bakal bilang. kan ada ee ditagihan kartu kredit itu juga
keliatan kan dimana, ee apa aja. apakah itu di toko buku, tempat makan.
Misalnya kayak pizza hut. Apakah pizza hut bintaro atau pizza hut margonda.
Soalnya kalo margonda kan, berarti aku yang pake. Tapi kalo bintaro, berarti
untuk keluarga. Ya kan kayak gitu.. soalnya kan mesan pizza juga kadang pake
kartu kredit aku. Mama aku bilang, “yaudah pake kartu kredit Stella aja”,
soalnya kartu kredit mama aku udah dipake buat keperluan apa untuk
kebutuhan keluarga gitu. Jadi ya bener-bener emang dihitung sih.. sampe
124.500 pun, ya segitulah yang aku transfer ke papa. Terakhir aku bayar itu
1.124.000. jadi kayak papaku ngasih uang, “nih uang bulanan”. satu juta gitu..
“berapa tagihannya?”, “satu juta seratus dua puluh empat ribu”. Cuma kan aku
ada uang dari kerja, dari apa gitu.

P: Oh oke-oke sip. Menurut Stella bagaimana pandangan Stella tentang urgensi


kepemilikan karu kredit gitu. Sebagai mahasiswi perempuan itu bagaimana
pandangan Stella? Kira-kira seurgen itukah kepemilikan kartu kredit bagi Stella
sendiri?

46

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


I: Hmm, sebenernya apa ya.. kayak aku kan dikasih kartu kredit kan karna
cerita awalnya kan gitu kan..aku masuk emergency, asma ku kambuh. Aku ga
punya siapa-siapa di depok. Mama aku ga bisa kesini. Akhirnya temen aku yang
bantuin bayar karna kebetulan akhir bulan. Kalo mahasiswa kan udah habis
tuh duitnya. Nah aku tuh dikasih kartu kredit tuh karna itu. kecuali orang-
orang itu punya masalah seperti aku, kayak sering ke rumah sakit atau
mungkin dia emang hobi beli buku. Pokoknya yang masih berkaitan sama
kesehatan dan pendidikan, kan itu masih kebutuhan. kesehatan kan primer
kan.. eee ya itu., perlu kartu kredit. Tapi kalau misalnya untuk belanja-belanja
gitu, ya ga usahlah. kalo emang ga perlu. soalnya sangat semenggoda itu pake
kartu kredit. Kayak kita ga ngeluarin duit, kan ga berasa ya eee susahnya..
kayak aduh sayang nih pengeluarannya, kayak gitu.. kecuali orangnya emang
bener-bener bisa make itu, aduh jangan deh pake kartu kredit. Kalau aku kan
emang apa ya... orang tua aku itu secerewet itu kalo misalnya ada pengelurang-
pengeluaran yang gimana-gimana. Soalnya aku sampai disuruh ganti sendiri
kan yang satu juta seratus dua puluh empat ribu itu. padahal aku tuh pake duit
sampe segitu karna aku selama tiga minggu ga dikasih uang jajan bulanan
karna waktu itu lagi ada berantem sama orang tua. Jadi orang tua aku itu
caranya kayak gitu. Efektif banget kan? Kalau misalnya ada masalah apa,
akhirnya yaudah potong duitnya. Ya aku ga bisa ngapa-ngapain. Jadi kan emang
harus diselesain masalahnya. Jadi emang bener-bener efektif caranya. Karna
waktu itu aku ga dikasih uang, yaudah aku gunain aja kartu kreditnya. Aku beli
pizza yang gede, terus aku pisahin beberapa bagian. Jadinya bisa untuk makan
beberapa hari gitu. Pas masalahnya udah selesai, tagihannya keluar, kelihatan
waduh ternyata banyak banget makan enaknya.. yaudah tetep bayar sendiri.
Gitu..

P: Iya. Bagaimana pandangan Stella tentang kegunaan mendasar dari kartu kredit?
Sebenarnya tuh, nilai guna sebenar-benarnya dari kartu kredit apa sih menurut
Stella?
I: Kalau menurut aku kartu kredit itu untuk eee.. apa ya.... misalnya gini, dia...
yang pasti itu untuk orang yang udah punya penghasilan ya kalau menurut aku.
Soalnya kan kartu kredit itu aku rasa penggunaan dasarnya adalah kayak
untuk beli hp, yang bisa dicicil dan cicilannya nol persen. Itu kan sangat-
sanbgat menguntungkan kalo kayak gitu kita ga terasa berat. Misalnya beli hp
BB terbaru yang lima setengah juta. kan berat kalo misalnya dalam sekali
waktu langsung ngeluarin duit lima setengah juta. Dan berdasarkan
perhitungan ekonomi, dari nilai... dari nilai internal uang itu sendiri

47

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


sebenarnya memang lebih menguntungkan kalau kita kredit. Jadi ada
perhitungan-perhitungannya.. jadi untuk beberapa kasus memang lebih
menguntungkan kalau kita pake kartu kredit daripada kita ngeluarin duit, plek
langsung pada awalnya. Soalnya kan nilai mata uang itu kan naik turun naik
turun juga kan.. nah, penggunaan kartu kredit yang bijak menurut aku itu ya
kayak gitu. Jadi untuk yang misalnya beli yang lima setengah juta tadi bisa
dibayar sampe 6 kali atau 12 kali, tagihannya tetep dan dia nol persen. Kalau
kayak gitu kan untung.. Cuma, apa ya... berdasarkan yang iklan-iklan tadi, kartu
kredit itu sudah menjadi life style. Akhirnya orang makenya nggak yang untuk
kebutuhan ideal tadi tapi lebih ke yang ayoo kita belanja gini-gini.. apalagi
kalau kita ke toko baju, ada diskon untuk yang pake kartu kredit ini ini.
Akhirnya mendorong orang untuk belanja. Cuma kan ga semua orang
menyadari itu. orang lebih menyadarinya ee kayak gini, eh lagi ada uang,
yaudah deh pake kartu kredit aja, bayarnya ntar-ntar aja. Pas udah ketemu
tagihannya, langsung kaget.

P: Kalo gitu kayak tadi sebenarnya berkartu kredit tuh dibutuhkan, perlu untuk
orang-orang yang benar-benar membutuhkan dan untuk orang yang udah kerja gitu
ya?
I: Kalau mau dikasih ke anak pun, ya kayak aku kan aku jauh dari orang tua aku.
Dan aku yang masuk rumah sakit kemaren, dan aku akan rutin ke rumah sakit
sih sebenarnya.

P: Eee... itu check up rutin atau emang harus ke rumah sakit seperti itu, Stell?
I: Aku ga mau numpuk-numpuk sih kalau sakit. Jadi kalo misalnya ada keluhan,
aku langsung ke rumah sakit dan itu langsung diatasin. Tapi aku juga ga selalu
ke rumah sakit jug asih. Misalnya kayak akupuntur atau yang sekarang pilates
untuk mencegah sakit nanti-nantinya gitu. Kan kuliah ini beban psikologisnya
berat. Kita ga tau apa yang secara fisik terjadi di tubuh kita. Kita push diri kita
untuk kerja. sementara nanti kita udah tua, ternyata kita udah sakit aja..
makanya aku sering ke rumah sakit untuk mengontrol supaya kalu udah tua ga
tau-tau udah sakit apa gitu...

P: Mencegah nanti-nanti ya... oh oke sip-sip. Nah selanjutnya kira-kira maaf aku boleh
tahu gak jumlah kartu kredit Stella cuman satu atau lebih?
I: Yang tadi satu, mandiri yang titanium.

P: Cuma satu. Oh gitu. Eehmmm ... menurut Stella jumlah kartu kredit yang Stella
miliki sesuai gak dengan kebutuhan Stella?

48

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


I: Ehm, kalau jumlahnya satu sih udah sesuai dengan kebutuhan.. tapi jenis
kartunya sih lebih dari yang aku butuhkan.

P: Oh gitu. Lebih dari yang Stella butuhkan. Itu gimana, mungkin bisa diceritakan. Ha
ah...
I: Jadi kan kartu kredit itu kan ada level-levelnya lagi. Misalnya kayak gold,
titanium, apa segala macam. Terus papa aku tuh ngasih yang titanium. Aku ga
butuh yang titanium soalnya aku makenya ga tinggi juga. Soalnya kan semakin
tinggi level kartunya, semakin tinggi pula yang dibayar ke bank. Tapi disitu juga
manfaatnya. Dan kenapa aku juga pake yang titanium soalnya waktu itu aku
lagi mau keluar negeri dan kalau beli tiket keluar negeri pake kartu kredit itu
bisa dapet double point reward gitu..

P: Itu memang limitnya kalo boleh tahu limitnya berapa ya Stel, kartu kredit yang
Stella punya?
I: Kalau pagu kreditnya 30 juta.

P: Ooh oke2.. perbulannya?


I: Aku tuh ga tau itu per hari atau perbulan. Makanya aku bilang yang pakekartu
kredit itu harusnya orang yang udah kerja gitu.. aku tuh ngelihat misalnya kita
mau beli satu set tempat tidur kan bisa sampe 20 juta. Tempat tidurnya,
kasurnya, lemarinya, mejanya, segala macem, bahkan bisa sampe 50 juta.
Makanya pagu kreditnya bisa sampe tinggi gitu ya karena untuk kebutuhan
yang kayak gitu..

P: Sementara Stella sepertinya belum akan membeli seperti-seperti itu? Emang agak
lebih....
I: Iya he eh..

P: Oh gitu. Stella menetapkan sendiri gak aturan dalam menggunakan kartu kredit
gitu lho?
I: Iya.. if you don’t need it, don’t use it. Hehe (tertawa). Sesimpel itu gitu.. soalnya
kalau aku tuh kerasa banget. Pas diakhir bulan keluar tagihannya, aku tuh
disuruh bayar sendiri. Jadi sama aja..

P: Dan itu, seketat itu rulesnya Stella lakukan untuk diri Stella sendiri karena
konsekuensi logisnya itu ya?
I: Soalnya aku ngeliat temen-temen aku, gampang banget pake kartu kredit. Ya
beda-beda juga sih ya keadaannya. Kalau aku kan nanggung sendiri, ga
ditanggung orang tua. Jadi ya emang harus irit.

49

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


P: Kira-kira kalo bisa diperinci lagi gak? Misalnya Stella menetapkan gue minggu ini
udah pake nih sekali berarti minggu sebagai konsekuensinya gak boleh dipake. Atau
gimana selang waktunya? Atau momennya, momen apa baru bisa dipake?
I: Misalnya kayak. Karena aku bulan lalu udah banyak pengeluarannya karena
aku beli buku dan segala macam, jadi aku tidak berencana pakek kartu kredit
untuk beberapa bulan ke depan, kecuali kalau aku emang ada ke rumah sakit.
Jadi aku tinggalin kartu kredit aku di rumah. Caranya kayak gitu. Cara
ngatasinnya tinggalin kartu kreditnya, gak usah dibawa-bawa dan juga bahaya
kan kalo misalnya dicopet atau apa. Jadi, hmmm. Tapi hari ini aku bawa. Karena
takutnya kan karena wawancaranya kan kemarin katanya pake kartu kredit,
tapi misalnya kayak hari biasa aku nggak akan bawa.

P: Heeh... apa tuh misalnya?


I: Ho.. Misalnya kayak ya waktu aku ulang tahun kemarin. Kan pada ngajakin
kalian makan, dan itu aku dah tahu ada discount 15 persen pake kartu. Terus
juga kalau misalnya aku pergi ke Times beli buku, bawa, karena itu masih
tanggungan orang tua kan. Itu papaku emang benar bikinin listnya.

P: Berarti seketat itu. Kalo momennya itu kayak apa Stell? Atau kayak tadi tuh mesan
pizza karena ada diskon 15 persen atau memang ada great sale, wow pake kartu
kreditnya gitu atau ada gak kira-kira?
I: Iya, he he . Jadi, papaku sebenarnya yang bukan apa untuk pakek kartu
kreditnya sih. Papaku bilang, eh, ini yang ditanggung orang tua, ini yang nggak,
dan lain-lain gitu. Jadi kayak, kalo misalnya contoh-contoh yang nggak
ditanggung. Tapi untuk yang ditanggung, papaku benar-benar bikin listnya,
kayak apa pakaian, buku, rumah sakit. Rumah sakit sesuai dengan peraturan
perusahaan. Misalnya kan mana yang di-reinburse , mana yang nggak. Kalau
nggak di-reinburse, ya aku disuruh tanggung sendiri. Kayak pilatest kan
sebenarnya itu untuk olahraga bagus ya. Ya, papaku bilang itu kan nggak
ditanggung oleh perusahaan. Jadi kamu sendiri. Ya bagus sih kalo misalnya
investasi untuk kesehatan sendiri. Jadi, ya, makanya, ya mulailah untuk
bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

P: Hmmm gitu... Menurut Stella nih gimana pola ideal pengelolaan keuangan oleh
perempuan seharusnya? Jadi kayak gini nih, Stella kan udah mengikuti alurnya gitu
ya. Kayak tadi kan udah dibilang topiknya tentang konsumerisme perempuan melalui
iklan di media massa. Kita udah tahu lah kan gimana perempuan direpresentasikan
dalam iklan, gitu-gitu, agak shopaholic, agak-agak glamor, ngabisin uang keluarga, gitu

50

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


kan apalagi pake kartu kredit. Kalo dari situ tuh, Stella punya pendapat gak nih,
gimana sih seharusnya perempuan mengelola keuangan secara ideal?
I: Kalau aku, lagi-lagi terlepas dengan gendernya ya. Kalau menurut aku, semua
orang tetap aja yang namanya konsumsinya 50 persen, 20 persen untuk
ditabung, 10 persen liburan atau rekreasi, 10 persen untuk investasi, 10 persen
untuk yang apa yang lain-lain gitu. Jadi, kalau aku rencananya kalau misalnya
udah kerja, emang benar-benar dah punya penghasilan, itu yang akan aku
ikutin. Tapi kalau misalnya sekarang kan, papaku benar-benar ngasih aku duit
pas-pasan dengan kebutuhan aku, jadi ya itu belum bisa aku ikutin. Jadi, kalau
misalnya konsumsi 50 persen, apa ya, cowok sama cewek sama aja, cuman kan
kan kebutuhannya beda. Ya aturlah berdasarkan rumus yang tadi itu.

P: Oh gitu.. kalo misalnya kayak, Stella pernah gak eee.... setuju dengan pendapat kalo
orang tuh bilang kalo perempuan itu suka ngabisin uang keluarga gitu lho. Terlepas
dari usaha dia untuk membiayai, gak sih, usaha dia untuk membantu keuangan
keluarga sebagaimana yang dilakukan suaminya. Sama kayak punya penghasilan
sendiri tuh suka ngabisin penghasilan sendiri untuk diri sendiri gitu. Menurut Stella
gimana, apalagi kalo punya kartu kredit gitu?
I: Oh. Kalau menurut aku, itu nggak tergantung gendernya sih. Itu kelihatannya
banyak karena sering, beli baju. Misalnya contoh gini, sepatu berapa sih
harganya, let’s say 200 ribu. Baju berapa sih harganya, let’s say 150 ribu. Jadi
sekali belanja 350. Besok lagi belanja 350. Besok lagi belanja 350. Jadi kalau
misalnya cowok, nggak ada belanja, nggak ada belanja, tabung terus. Tapi
sekali beli laptop 12 juta. Yang kayak gitu kan. Dari situ aku ngelihatnya, it’s not
a matter of whether you are, apa ya. Jadi kayaknya jumlah pengeluaranya itu
bukan karena lo cewek lo lebih banyak pengeluarannya, tapi lebih sering kalau
aku ngelihatnya. Kalau cowok-cowok sekali tapi gedek gitu. Soalnya kan,
misalnya kayak kita lihat acara Boy’s Choice, itu kan, ee, mereka itu yang, apa,
mobil bisa sampai berapa untuk otomotif aja, modif-modif, bisa sampai berapa
yang kayak gitu. Sementara ceweknya karena sering aja, karena kelihatan aja
makanya dimarah-marahin.

P: Pada dasarnya kalo diakumulasikan gak sebegitu beda. Perempuan itu gak
menghabiskan uang keluarga gitu ya?
I: Ehemmm.. iya, jadi nggak jumlahnya, lebih ke itu apa yang dibelinya. Dan
mungkin cowok pun mau lihat kayak apa ya, cewek itu habis-habisin duit
karena pakek nggak penting mungkin. Make up nggak penting. Tapi kan, kalau
cewek kan ngelihat ngapain sih laptop 12 juta. Aku aja dah bahagia dengan
laptop yang cuma 3 juta, gitu kan beda.

51

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


P: Hmmm oke2... Aah... sip sip. Jadi menurut Stella kalo misalkan melihat perempuan
itu kira-kira perlu gak sih, signifikan gak sih kebutuhan dia akan kartu kredit
sebenarnya?
I: Ohmm... lagi-lagi kalau jawaban aku terlepas dari gendernya, tergantung
kebutuhan dia apa. Kalau misalnya, misalnya kebutuhan mendasar kayak
kesehatan, terus pendidikan untuk beli buku, itu kan universal ya gitu. Tapi
kalau misalnya dia untuk beli baju, ya sama kayak cowok, penting ya punya
kartu kredit untuk beli hp atau buat beli gadget baru. Soalnya temanku aku
yang cowok, aa, ya , apa ya, aku nggak tahu sih yang lain-lainnya. Jadi, beberapa
temanku, ada satu nih yang pernah cerita tentang aku. Aduh, kartu kredit itu
jangan dipakek banyak-banyak dong, gua lagi banyak tagihan ini, dia beli kayak
gadget gitu. Dam dia harus, apa ya, ngehemat-hemat selama 6 bulan atau 12
bulan sampai tagihannya itu lunas. Sementara, aku nggak pernah punya
tagihan yang segede itu. Dan juga tagihan aku kan masuk ini, tagihan orang tua
juga kan, kayak kebutuhan, maksudnya kebutuhan keluarga tapi kartu kredit
aku yang dipakek.

P: Okey, nah jadi kita milih Stella disini karena kita anggap Stella merepresentasikan
kalangan perempuan pengguna kartu kredit, gitu ya. Nah, menurut, aahh kira-kira
ada gak sih harapan Stella untuk menangkal paparan konsumerisme dari media
massa. Misalnya, katakanlah Stella itu perempuan yang tidak teeer...... kurang kritis
gitu, melihat iklan-iklan seperti itu melihat sosok perempuan dalam media massa
seperti itu, oooh berbelanja ini dengan bunga cicilan nol persen segala macam rentan
terpapar. Kira-kira apa ya yang dapat dilakukan untuk menangkal konsumerisme
dalam media untuk perempuan-perempuan yaang kurang kritis.
I: Oh.. apa ya? Mereka memerlukan exposure terhadap teori kritis. Jadi
sebenarnya tu kayak gini. Aku tu mulai berpikir kayak gini sejak aku mengenal
istilah false consciousness. Gitu, jadi kayak, oh ternyata media itu kayak gitu ya.
Oh, ternyata ini aku ini kesadaran palsu. Sejak itu aku misalnya jadi kayak gini.
Jadi kalau misalnya cewek-cewek yang kayak gitu apa yang mereka butuhkan,
ya mungkin pendidikanlah ya. Pendidikan particulary yang di pemikiran kritis
kayak gini. Karena emang benar-benar, aku baru berpikiran seperti itu sejak
ini kok, sejak mengenal istilah false consciousness itu, hmmm di Metode
Penelitian Sosial yang MPS waktu itu aku sama Mbak Ken. Jadi kan membahas
tentang false consciousness, oh gitu ternyata, sejak itu juga.

P: Kira-kira itu berarti, selain itu ada yang berhubungan dengan ini kali ya.. menurut
Stella perlu perempuan-perempuan itu, perempuan-perempuan yang sejenis itu
maksudnya ya, mengetahui bahwa ada lho seharusnya langkah bijak kita untuk

52

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


menggunakan kartu kredit kayak-kayak gitu. Perlu gak mereka untuk berguru kepada
orang-orang kristis seperti Stella mungkin.. halaahhh..
I: Iya, menurut aku emang butuh banget orang mendapatkan exposure-
exposure yang pemikiran kritis kayak gini. Soalnya, misalnya aku dulu sebelum
ter-enlighten oleh mata kuliah-mata kuliah kita, aku tipe orang yang kayak gitu
kok. Maksudnya kayak pingin belanja gitu. Apa ya, kalau misalnya dimarahin
karena belanja itu, sebel sama orang tua. Kayak pengen hp yang bagus simply
because, itu apa ya, kayak pride di antara society yang kayak gitu. Dulu aku, dulu
aku adalah tipe orang yang kayak gitu. Cuma sejak mendapat, ya itu sejak
memahami konsep false consciousness, aku berubah. Mungkin yang mereka
butuhkan adalah kayak gitu. Paham akan apa ya, oh media itu bohong kok,
media itu emang berusaha mengkonstruksi realitas supaya kamu berpikir
demikian. Nggak ada tu cewek-cewek yang belanja kayak gitu, itu media doang,
itu kayak perlu gitu.

P: Ooookeyyy. Oke oke siplah kalo begitu. Naaahhh alhamdulilah ya Stella, kita sudah
menghabiskan seluruh rangkaian pertanyaan MPK 2. Ini terakhir, Stella mungkin
ingin memberikan kesan atas wawancara yang udah kita lakukan. Mulai dari kita
menghubungi Stella jadi informan kita, aaa ha ah.. Mmmm oke-oke masukan untuk
kelompok kita itu ya..
I: Oh, mungkin apa ya. Kayak aku, aku minta maaf kali ya. Soalnya kayaknya
setelah apa, setelah menyelesaikan wawancaranya, aku merasa kurang
merepresentasilah. (ketawa) iya, soalnya kayak aku, apa ya, I have my own
thinking itu. Jadi kayaknya, mungkin untuk apa ya, hmm mungkin masukan aja,
mungkin untuk penelitian kalian kalau kalian pengen data yang lebih valid lagi,
cari orang yang tipenya yang emang shopaholic kayak gitu kali ya. Mungkin
mereka pemikirannya akan sangat berbeda dengan yang aku. Iya, cuma kayak
perlu aja dunia menyadari ada loh cewek yang nggak kayak gitu untuk
mematahkan stereotipe kayak gitu, iya, kayak gitu.

P: Haah sebetulnya itu sih Stell justru mengkonfirmasi paradigma kritis dalam
penelitian ini.
I: Oh, gitu. Keren keren.

P: Oke, terima kasih banyak Stella atas waktunya. Maaf ya pembatalan janji semalam.
I: Iya, hehe. Nggak, nggak sama sekali nggak masalah kok. Ya ngertilah, kalau
sama lagi penelitian, tahu kendala-kendala yang dihadapin apa. Sama sekali
nggak ada masalah kayak gitu. Cuma ya ini, mungkin untuk memperkaya
datanya aja, coba cari yang lain.

53

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Lampiran 3. Open Coding

Subjek : Mahasiswi Universitas Indonesia yang menggunakan kartu kredit

Informan nomor : 001

Topik : Pemaknaan Konsumerisme Perempuan dalam Iklan Kartu Kredit

Tanggal : 3 Mei 2012

Tempat : Cafe J Co, Margo City

Waktu : 14.00-16.00 WIB

Situasi Wawancara : Informan sedang berada dalam kondisi sehat dan berbahagia. Wawancara dilakukan di Cafe J
Co yang nyaman dan kondusif bagi informan untuk menceritakan hal-hal terkait penggunaan
kartu kredit.

REFLEKSI KODE TRANSKRIP KONSEP


Informan menjawab
pertanyaan dengan 1.a P: Langsung aja, usia Stella berapa tahun? Latar belakang informan-usia
antusias I: Umur aku 21 tahun.

P: Stella punya pemasukan perbulan, gak? Atau mungkin


gak apa-apa ya kalo bicara dikit kiriman dari orang tua
atau mungkin ditambah lagi penghasilan dari mana-mana
1.b gitu?

54

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


I: Kalau dari orang tua itu, aku kira-kira satu sampai
dua juta perbulan. Penghasilan aku misalnya kayak Latar belakang informan-
terakhir aku nge-coach itu dapat 1,5 juta. Minggu pemasukan dari keluarga
1.c sebelumnya pernah lagi aku dapat panggilan ke
daerah untuk nge-coach, itu seminggu dikasih 3,5
juta. Terus, aku misalnya kalo ngeju-ngeju gitu, satu Latar belakang informan-
orang 50 ribu. Terakhir aku ngeju dua hari, 1 juta. pemasukan dari diri sendiri
Cuma, kayak gitu kan nggak penghasilan tetap gitu
lho.

P: Jadi mungkin kalo bisa kita rata-ratain sebulan


mungkin dua jutaan kali ya?
I: He eh, sekitaran segitulah.

P: Naaah Stella bisa gak menceritakan tentang kartu


kredit yang Stella miliki?
2.a I: Ee.. Aku cuma punya satu kartu kredit. Dan itu Kartu kredit-jumlah
2.b master card dari mandiri. Itu yang titanium. Aku Kartu kredit-jenis
2.c punya kartu kredit itu sejak tahun lalu. Kartu kredit-waktu
pembukaan
P: Tahun lalu. Baru tahun kemarin 2011. Sebelumnya
udah pernah pake kartu kredit?
I: Debit aja

P: Oh debit aja sebelumnya. Okey okey. Terus kenapa


Stella lebih memilih bertransaksi menggunakan kartu
kredit dibandingkan debit ataupun tunai?
3.a I: Karena kalau tunai kan, kalau tunai terbatas dan itu Alasan menggunakan kartu
pasti uang aku. Tapi kalau misalnya kartu kredit kredit-keterbatasan tunai
kalau misalnya case tertentu aja yang papa nyuruh

55

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


3.b ganti. Heh.. terus ini sih biasanya aku lebih milih Alasan menggunakan kartu
kartu kredit itu karna... hmm.. ini nih biasanya ada kredit-dorongan orang tua
3.c program-program khususnya, gitu.. misalnya kayak Alasan menggunakan kartu
apa ya.. misalnya kayak pizza hut delivery. Kalau kredit-potongan harga
misalnya bayar pake cash kan 100% tapi kalo pake
kartu kredit bisa diskon 15%.. jadi kan lumayan juga.

P: Oh iya, potongan harga gitu ya? Biasanya paling sering


dipake untuk apa aja tuh? Misalnya kalo ada promosi,
atau program-program itu, atau potongan apa aja?
I: Ooh.. kalo misalnya untuk pake programnya itu
sendiri sih aku jarang. Biasanya kalo ada keperluan
9.a baru aku pake kartu. Jadi gini, papa aku itu punya list Aturan orang tua-
apa aja pengeluaran yang ditanggung orang tua, apa list kebutuhan yang
aja yang tanggungan aku sendiri. Jadi selama ditanggung
pengeluaran itu masih tanggungan orang tua, aku
4.a
make kartu kredit. Misalnya beli buku.. ehm.. kan aku
pernah beli buku di Times gitu kan. Terus apa lagi ya.. Pengeluaran-buku
rumah sakit. Aku sebenarnya tujuan pake kartu
kredit ini untuk rumah sakit sih. Soalnya kalo aku ke
4.b rumah sakit, tagihan kartu kredit papa aku, nanti aku Pengeluaran-rumah sakit
kan ada tagihan dari rumah sakit, itu diganti sama
perusahaan. Terus apa lagi ya.. ya itu sih, kalau
misalnya ada potongan-potongan itu yang ekstra-
ekstra.

P: Oh gitu, tapi utamanya yang kalo memang yang sesuai


dengan yang diperuntukkan untuk pake kartu kartu
kredit sesuai list tadi ya.. okey... ngg.. ada gak kira-kira

56

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


yang memotivasi Stella untuk menggunakan kartu kredit
yang berhubungan dnegan orang gitu? Entah mungkin
3.d keluarga, atau teman pergaulan... gitu-gitu. Alasan menggunakan kartu
I: Enggak sih.. teman aku yang punya kartu kredit itu kredit-bukan dorongan teman
ga banyak juga.

P: Jadi kalopun pake kartu kredit tuh, motivasinya itu


lebih dominan karena yang disebutkan di jawaban kedua
tadi ya?
I: Iya he eh..karena memang itu kebutuhannya atau
karena kalau pake kartu kredit lebih
menguntungkan.

P: Nggg gitu.. okey.. ookey kalo misalnya dari, misal kayak


suka bergaul dengan kalangan pergaulan yang agak-agak
gimana, agak sering menggunakan kartu kredit yang tidak
masalah sering menggunakan kartu kredit itu gak ada
pengaruhnya di diri Stella? Pola penggunaan kartu kredit-
5.a I: Justru kalau misalnya temen-temen lagi jalan kaya tumpang kartu kredit teman
gini nih, misalnya mereka “aduh aku lagi ga bawa
cash nih. Aku bayar pake kartu kredit aja ya. Kalian
bayar cashnya aja ke aku”. Kalau misalnya kayak gitu
kan tagihan atau bill-nya kan bisa sampe 700 ribu
5.b gitu. Dan aku yaudah jadi aku pake kartu kredit Pola penggunaan kartu kredit-
temen, aku bayar ke dia. Tapi kalau misalnya aku tidak mau ditumpangi
yang nanggung, aku juga ga mau soalnya tagihannya
jadi gede. Gituu...

57

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


P: Oh gitu.. oh okey sip sip. Nah, jadi seperti yang udah kita
jelaskan tadi di awal tuh, brief-nya kan kita mau melihat
konsumerisme perempuan dalam iklan. Nngg... sekarang
kita beranjak tentang mmm... Perempuan dan iklan gitu.
Jadi, kira-kira Stella bisa gak menceritakan media-media
yang mempromosikan kartu kredit yang pernah Stella
lihat, kemudian Stella ikuti, misalnya ada promo ini, terus
tertarik, trus gitu-gitu..
6.a I: Oh gitu.. iya sih aku biasanya tau dari email yang Iklan media-email
kaya gitu. Atau tau dari mana ya..? misalnya kalau lagi
jalan cari makan, eh ternyata kalau disini pake kartu
kredit mandiri ada diskon sekian persen gitu. Eeh
terus apa ya.. eeh dulu aku melakukan transaksi
karena iklan itu pernah sekali karna kebetulan
waktu itu kau lagi butuh make up. Kan untuk yang
paragita kan emang lagi mau lomba juga kan dan aku
juga masih perlu make up makanya aku beli gara2 tau
4.c ada diskon 30 persen waktu itu pake kartu mandiri. Pengeluaran-kosmetik
Jadi kan lumayan banget kan.. itu turun harganya
lumayan jauh. Dan yaudah, biasanya aku pake make
5.c upnya itu yang itu loh.. make up yang Pac. Pac itu kan Pola penggunaan kartu kredit-
dalam negeri jadi ga semahal yang lain gitu kan. Dan beli yang di iklan kalau butuh
itu di diskon lagi 30 persen. Jadi emang lebih
menguntungkan pake kartu kredit mandiri. Jadi
kayak gitu sih. Cuma kalau misalnya iklannya aku ga
butuh barangya, aku enggak.

P: Berarti tadi dari email. Mayoritasnya biasanya dari


mana?

58

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


I: Dari.. Biasanya dari email kan emang yang masuk.
Apa, kartu kredit mandiri lagi punya program ini ini.
6.b Terus juga dari.. tau aja, misalnya kalau lagi jalan- Iklan media-banner

6.c jalan kan ada di bannernya. Kaya gitu. Atau ga dari Iklan media-brosur
brosur. Kalo misalnya di pizza hut di brosur yang
dikasih dia nulis tuh kartu kredit bca sama mandiri
dia diskon 15 persen. Terus apa lagi ya.. eee.. sama ini,
6.d kita biasanya dikirimin dari mandirinya juga. Kayak Iklan media-direct mail
feature gitu kan kupon. Kalau belanja segini, diskon
sekian. Itu kadang dikirimin juga.
P: Medianya gitu. Media massanya yang Stella tahu. Aaa..
haaha.. Kalo dari TV agak kurang ya? Latar belakang informan-
1.d I:. Secara aku ga punya TV jadi aku ga tau juga. Hehe aksesibilitas media
hee.

P: Ah iya-iya... Okey oke.. ngerti-ngerti. Baiklah gak apa-


apa...nah selanjutnya aaa... pendapat Stella tentang
bunga-bunga rendah dan potongan harga yang
dipromosikan dalam iklan kartu kredit tuh kayak gimana?
Itu kan biasanya sering kan, misalnya ngeliat di brosur,
bunga cicilan nol persen bintangnya lima gitu kan, secara
menurut Stella gimana hal yang seperti itu?
7.a I: Hm.. Kalau yang biasanya cicilan 0 persen itu kan Pandangan promosi iklan-
untuk barang yang mahal ya harganya. Jadi aku ga 0% untuk barang mahal
4.d pernah pake kartu kedit aku untuk bayar yang Pengeluaran-tiket pesawat
semahal itu juga. Aku itu paling mahal gunain kartu
kredit itu untuk tiket pesawat. Dan itu juga apa ya..
contohnya kemaren aku kan eh beli tiket pesawat
pake kartu kredit buat yang kerjaan aku itu yang ke

59

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


5.d daerah coach debat. Dan itu kan duitnya diganti. Jadi Pola penggunaan kartu kredit-
kayak bisa bayar lagi, bisa bayar kartu kreditnya bukan untuk cicilan 0% atau
langsung. Jadi kayak aku ga memperlakukan kartu barang mahal
7.b kredit aku itu layaknya kartu kredit orang-orang.
Biasanya kan orang ini, uh beli apa beli hp 4 juta yuk Pandangan promosi iklan-
kita cicil aja sampe 12 bulan. Aku ga kayak gitu.. kalau tidak cocok untuk gadget freak
misalnya aku ga punya uang untuk beli itu ya aku ga
beli gitu.. jadi ee sebisa mungkin kayak transaksi aku
7.c bulan ini apa aja nih. Bulan depan itu udah dibayarin.
Aku pake kartu kreditnya apa, bukan karena.. Pandangan promosi iklan-
istilahnya karena emang lebih untung pake kartu dorongan menumpuk utang
kredit gitu. Tapi kalau diperlakukan selayaknya
kredit itu kan bisa menusuk utangnya.

P: Kalo misalkan Stella lihat iklan-iklan kartu kredit,


misalnya ngeliat promo-promo apapupun itu, menurut
Stella itu, berlebihan atau memang sengaja dilebih-
lebihkan atau emang biasa aja sih. Maksud aku Stella
mungkin biasa aja dengan itu, toh Stella emang
berkebutuhan untuk itu, atau iklan-iklan itu memang
mengakomodasi kebutuhan yang memang orang-orang
7.d butuh gitu. Pandangan promosi iklan-
I: Kalau menurut aku sih ga tau karna aku udah kena harus lebih kritis
terpaan kritis juga.. Cuma aku tuh emang ini, kalau
misalnya aku ga perlu ya aku ga beli.
Informan memperjelas P: Oohh gitu, jadi cukup bisa melihatlah mana yang betul-
maksud pertanyaan betul kebutuhanlah dalam menggunakan kartu kreditnya.
Okey, nah terus gimana kesan shopacholic yang identik
melekat pada diri perempuan ada terkait dengan iklan

60

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


kartu kredit. Ngerasa gak sih kalo di brosur atau pamflet
tuh, biasanya tuh bukan biasa sih, seringkali perempuan
lagi memegang kantong belanjaaan seberapa banyak,
bunga cicilan 0%, gitu-gitu segala macam. Menurut Stella
gimana selama ini? Atau terterpa gak selama ini?
I: Ee dengan gaya tuntutan glamor diamond stay gitu?
8.a P: Perempuan-perempuan yang ada di kartu kredit gitu. Pandangan terhadap
I: Menurut aku, ya lagi-lagi karna aku udah kena shopaholic- bukan realitas
terpaan kritis deh.. aku ga melihat itu sebagai suatu
realita. Rasanya enggak kok.. kenyataannya ga kayak
gitu. Dan palingan kalo ada orang yang kaya gitu ya
Latar belakang informan-
1.e emang orang yang bener kaya.. dan aku kan masih
kelas ekonomi
menggolongkan diri aku di kelas menengah. Jadi
kalau misalnya, ga tau deh kalo misalnya ada orang
yang apa ya... eee belanjanya gila-gilaan kayak itu.
tapi apa ya, menurut aku harusnya orang-orang yang Pandangan terhadap
8.b belanja gila-gilaan gitu ya adalah orang-orang yang shopaholic-koheren dengan
penghasilannya bener-bener kaya juga. Pengusaha ekonomi atas
kek atau ya.. atau anggota DPR kek. Atau apa gitu. Ehe
(tertawa). Ya Cuma kalau misalnya kayak apa ya.. ya
orang asli, maksudnya kayak orang-orang kayak aku
tidak selayaknya kayak gitu.
P: Berarti yang terterpa kritisnya lebih dominan jadi
kayak? Latar belakang informan-
1.f I: Kayaknya gitu. studi
P: Karna anak komed juga kali ya?
I: Kayaknya gitu. Hehe (tertawa).

61

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


P: Okey sip sip. Selanjutnya. Aaaaa... menurut Stella nih
apakah reperesentasi perempuan dalam iklan-iklan kartu
kredit yang aku gambarin itu justru mengkonfirmasi dan
menjadi pembenaran Stella untuk menggunakan kartu
kredit atau gimana? Maksud aku kayak misalnya ngeliat,
ooh gak apa-apa kok ngeliat perempuan-perempuan yang
glamor, sosialita gitu, yang beriklan segala macam. Itu,
kayak Stella mengkonfirmasi oh ya udah gak apa-apa sih
memang perempuan itu, ya seperti itu memang
shopaholic. Senang berbelanja, itu merupakan suatu
kewajaran kalo perempuan berbelanja kalo gitu?
9.b I: He eh.. Tapi dari luar papa aku tetap nekanin sih Aturan orang tua-
yang namanya pengeluaran itu ditekan ditekan menekan pengeluaran
ditekan. kalau misalnya emang ga butuh, jangan.. ga
usah. Dan aku juga ga ikut-ikutan kayak temen-temen
gitu kan. misalnya kayak gaul kemana gaul kemana
Alasan menggunakan kartu
3.e gitu. aku lebih ke.. apa ya.. sibuk dengan kegiatan aku
kredit-bukan untuk gaul
sendiri. Kalau misalnya aku butuh, beli. Kalau
misalnya enggak, enggak. Kalau misalnya aku yang
namanya belanja itu kewajaran bagi orang yang
banyak duit deh. Jadi kayak terlepas dari dia cewek Pandangan representasi
10.a perempuan dalam iklan-
apa cowok. Soalnya kalau, kalau aku ngeliatnya
cewek kan memang iya. kayak banyak, kelihatan bukan masalah gender
banyak belanjanya karna dia beli baju, beli apa gitu
yang kecil-kecil.. tapi ini, jadi-jadinya gede. Tapi kan
kalo cowok sebenarnya jadi mahal juga. Kayak
mereka itu sukanya di otomotif atau gadget which is
walaupun misalnya kecil kayak gini tapi berkali-kali
lipat dari belanjaan cewek. Jadi kalau misalnya, aku

62

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


ngelihat yang pengeluaran-pengeluaran kek gitu
terlepas dari cowok cewek karna mereka tentu
kebutuhannya berbeda gitu. Cuma kalau misalnya
pengeluarannya sampai banyak kaya gitu, ya emang
orangnya kaya.. terserah deh gitu. Terserah lo mau
pake duit lo gimana . kalau gue sih ga punya duit
sebanyak itu, gue mesti hemat. Gitu..
P: Tapi Stella, udah agak ini ya berarti, karena udah
terterpa pandangan kristis kayak gitu bisa dibilang udah
agak resistan. Ah gak juga sih, kalo ngeliat perempuan-
perempuan gak kayak gitu. Kira-kira perempuan itu,
kesan-kesan yang didapatkan mengenai perempuan yang
shopaholic di dalam iklan itu kayak gimana? apakah Stella
melihat diri Stella dalam perempuan-perempuan itu
sebagai pengguna kartu kredit itu atau justru ooooh
10.b nggak? Pandangan representasi
I: Enggak, aku nggak ngeliat. Ya kaya yang tadi aku perempuan dalam iklan-
bilang sih.. aku tidak melihat itu sebagai suatu realita. non asosiatif
Seandainya itu suatu realita, itu di dunia yang
berbeda gitu.. ya kalau misalnya aku sendiri tipe
orang yang sama sekali tidak mengasosiasikan diri
aku kaya gitu. Jadi kayak sebenarnya aku itu pake Alasan menggunakan kartu
3.g
kartu kredit itu gini.. aku jauh dari orang tua dan aku kredit-jauh dari orang tua
sering ini kan, kayak bolak-balik rumah sakit gitu
kan.. tiap bulan aku pasti ada ke rumah sakit. Dan
sekali ke rumah sakit itu kan 500 ribu gitu.
Sementara duit aku sering kadang Cuma dikasih
sejuta. Masa sekali ke rumah sakit aku langsung ga

63

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


punya duit? Dan sebelumnya itu ada pernah kejadian,
aku ke rumah sakit masuk emergency dan aku ga
punya uang untuk bayar, itu sampe aku minjam sama
temen aku.temen aku datengin aku untuk bayarin.
Kaarna sejak kejadian itu, aku dikasih kartu kredit
kalau misalnya ke rumah sakit. Tapi emang sih ujung-
ujungnya gunainnya jadi kayak beli buku jadinya
disitu. Tapi kalau papa aku untungnya masih ga
masalah kalau untuk buku. Terus juga ee ini sih, sama
yang keuntungan-keuntungan yang tadi. Jadi emang
ada sih menggesernya dari tujuan utama. Cuma
masih ada justificationnya. Hehee hee.. (tertawa)
P: Ngerti-ngerti... gak apa-apa ya. Biasanya berapa
nominal transaksi kartu kredit yang Stella lakukan di
setiap bulannya. Untuk kebutuhan apapun, tersier,
primerkah atau sekunderkah penggunaan kartu kredit
itu? Maaf ya kalo agak sensitif nanyain nominal
11 angkanya... Nominal transaksi kartu
I: Ga papa kok.. Ehmm.. terakhir sih tagihan aku tiga kredit-
juta bulan lalu. Karna emang apa ya, ee.. kan aku 2-3 juta
orang nya jarang membeli baju gitu kan.. jadi sekali
4.e
beli, sekali banyak. soalnya aku ga hobi shopping
sebenernya. Sama ini sih, kebetulan lagi ini.. kan aku Pengeluaran-pakaian
kalau di times itu bulan ulang tahun kan dapat diskon
20% untuk bayar. Jadi aku nahan ga beli-beli buku
waktu bulan kemaren. Pas aku beli kayak langsung
satu setengah juta buat beli buku aja. Yang kayak
gitu.. Cuma kalau misalnya kalau standarnya, apa ya

64

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


4.f standarnya... biasanya ini sih kadang juga gini, kayak
kebutuhan keluarga pake kartu kredit aku. Jadi
misalnya kayak mama aku ngajak pergi kemana, “yok Pengeluaran-kebutuhan
kita gini gini gini.. gimana nih bayarnya pake kartu keluarga
kredit Stella aja”. Soalnya kan ditagihan itu kan
9.c keluar nanti ini buat apa, ini buat apa. Jadi kehitung
yang kebutuhan aku berapa. Cuma ya rata-rata kayak
dua juta tiga juta gitu sih. Cuma itu udah termasuk
kebutuhan keluarga. Jadi ga cuma aku sendirian Aturan orang tua-
make. Kalau aku pulang ke rumah kan misalnya eee berbagi kartu kredit dengan
mamaku ngajak pergi. “Kita lagi butuh ini, gini gini”. keluarga
Mau beli tangga kek, mau beli apa kek, itu pake kartu
kredit aku juga. Jadi kayak itu semacam kebijakan
pengaturan pengeluaran keluarga itungannya. Jadi
tuh bukan bener-bener yang kayak, “ini tuh punya
aku’. Itu enggak.. keluarga aku tuh masih berbagi.
P: Itu dikontrol secara ketat gitu ya sama orang tua?
Maksudnya kalo sewaktu-waktu mau dipake untuk
kebutuhan keluarga, ya se-flexibel itu aja atau emang
Stella ada ya dialokasikan gitu untuk kebutuhan
keluarga...
12.a I: Ee.. Itu emang udah diatur sama keluraga. Jadi Pemegang kartu kredit-
sebenernya itu kan kayak gini, kartu kredit itu kan utama
ada yang utama, ada yang tambahan gitu kan.. jadi
sebenarnya pemegang kartu kredit utamanya itu Pemegang kartu kredit-
12.b tambahan
papa aku. Cuma papa aku ngasih aku sama mama aku
kartu kredit dan ini, ee mungkin supaya apa ya.. ga
timpang aja penggunaannya. Jadi kayak nggak.. jadi

65

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


waktu tagihan itu keluar, yang keluar itu adalah
tagihan kartu kredit papa, aku, sama mama, baru
ditotal gitu. Jadi eee.. biar rata, rata angkanya dan
5.e bayar tagihannya juga enak kan bayarnya per kartu Pola penggunaan kartu kredit-
kan.. Dan biasanya itu papa yang bayarin. Makanya berbagi dengan keluarga
pengeluaran itu kayak dibagi-bagi misalnya..
misalnya kayak mama aku nih hari ini bilang, “stel,
hari sabtu kita gini gini gini ya. Nanti pake kartu
kredit kamu”. Ya oke gitu.. jadi emang untuk keluarga
juga. Untuk aku pribadi ya pengeluarannya ya paling
untuk itu tuh, beli buku, ee kalau aku ada ke rumah
sakit..
P: Oh, trus biasanya yang paling bertanggung jawab untuk
melunasi kartu kredit Stella siapa?
I: Kalau misalnya untuk kebutuhan aku sendiri aku
13.a disuruh ganti. Misalnya gini, ee setiap bulan kan aku Bertanggung jawab melunasi-
dikirimin tagihan kartu kreditnya. Ee ya terus papa informan
dihitung Stella pakenya berapa, tek tek tek tek.. terus
kayak udah hitung, aku pengeluarannya segini, oh Aturan orang tua-
9.d yaudah aku transferin ke papa. Aku kan ada rekening tagihan diluar list kebutuhan
papa juga. Jadi ya hasil aku kerja itu, terus juga uang yang ditanggung harus diganti
13.b jajan bulanan aku.. itu juga nantinya dikurangin lagi
untuk tagihan kartu kredit. Jadi tetep aja walaupun
apa ya.. walaupun kartu kreditnya kartu kredit apa, Bertanggung jawab melunasi-
dari papa gitu, kalau misalnya ada tagihan yang aku informan
yang make, aku disuruh ganti. Hehe (tertawa). Iya
papa aku kayak gitu, emang seketat itu sih
pengeluarannya.

66

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


P: Mungkin pembayarannya maksudnya kayak, berarti,,
Stela bertanggung jawab atas pembayaran kartu kredit
Stella sendiri atau dibantu papa atau dibantu mama atau?
I: Jadi tergantung yang list tadi. Kalau misalnya
pengeluarannya kayak rumah sakit gitu, itu
9.e ditanggung papa. Tapi kalau misalnya kayak aku Aturan orang tua-
makan, aku pergi kemana, papa aku bakal bilang. kan check lokasi pembayaran
ada ee ditagihan kartu kredit itu juga keliatan kan dalam tagihan
dimana, ee apa aja. apakah itu di toko buku, tempat
makan. Misalnya kayak pizza hut. Apakah pizza hut
bintaro atau pizza hut margonda. Soalnya kalo
margonda kan, berarti aku yang pake. Tapi kalo
bintaro, berarti untuk keluarga. Ya kan kayak gitu..
soalnya kan mesan pizza juga kadang pake kartu
kredit aku. Mama aku bilang, “yaudah pake kartu
kredit Stella aja”, soalnya kartu kredit mama aku
udah dipake buat keperluan apa untuk kebutuhan
keluarga gitu. Jadi ya bener-bener emang dihitung
sih.. sampe 124.500 pun, ya segitulah yang aku
transfer ke papa. Terakhir aku bayar itu 1.124.000.
jadi kayak papaku ngasih uang, “nih uang bulanan”.
satu juta gitu.. “berapa tagihannya?”, “satu juta
seratus dua puluh empat ribu”. Cuma kan aku ada
uang dari kerja, dari apa gitu.
P: Oh oke-oke sip. Menurut Stella bagaimana pandangan
Stella tentang urgensi kepemilikan karu kredit gitu.
Sebagai mahasiswi perempuan itu bagaimana pandangan

67

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Stella? Kira-kira se-urgen itukah kepemilikan kartu kredit
bagi Stella sendiri?
I: Hmm, sebenernya apa ya.. kayak aku kan dikasih
14.a kartu kredit kan karna cerita awalnya kan gitu Urgensi kepemilikan kartu
kan..aku masuk emergency, asma ku kambuh. Aku ga kredit-kebutuhan kesehatan
punya siapa-siapa di depok. Mama aku ga bisa kesini. dan pendidikan
Akhirnya temen aku yang bantuin bayar karna
kebetulan akhir bulan. Kalo mahasiswa kan udah
14.b habis tuh duitnya. Nah aku tuh dikasih kartu kredit
tuh karna itu. kecuali orang-orang itu punya masalah Urgensi kepemilikan kartu
seperti aku, kayak sering ke rumah sakit atau kredit-jauh dari orang tua dan
mungkin dia emang hobi beli buku. Pokoknya yang keluarga
masih berkaitan sama kesehatan dan pendidikan,
kan itu masih kebutuhan. kesehatan kan primer kan..
eee ya itu., perlu kartu kredit. Tapi kalau misalnya
untuk belanja-belanja gitu, ya ga usahlah. kalo emang
ga perlu. soalnya sangat semenggoda itu pake kartu
kredit. Kayak kita ga ngeluarin duit, kan ga berasa ya
eee susahnya.. kayak aduh sayang nih
pengeluarannya, kayak gitu.. kecuali orangnya
emang bener-bener bisa make itu, aduh jangan deh
pake kartu kredit. Kalau aku kan emang apa ya...
orang tua aku itu secerewet itu kalo misalnya ada
pengeluran-pengeluaran yang gimana-gimana.
Soalnya aku sampai disuruh ganti sendiri kan yang
satu juta seratus dua puluh empat ribu itu. padahal
aku tuh pake duit sampe segitu karna aku selama tiga
5.f minggu ga dikasih uang jajan bulanan karna waktu
itu lagi ada berantem sama orang tua. Jadi orang tua

68

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


aku itu caranya kayak gitu. Efektif banget kan? Kalau Pola penggunaan kartu kredit-
misalnya ada masalah apa, akhirnya yaudah potong bertanggung jawab sesuai
duitnya. Ya aku ga bisa ngapa-ngapain. Jadi kan aturan list yang ditanggung
emang harus diselesain masalahnya. Jadi emang orang tua
bener-bener efektif caranya. Karna waktu itu aku ga
dikasih uang, yaudah aku gunain aja kartu kreditnya.
Aku beli pizza yang gede, terus aku pisahin beberapa
bagian. Jadinya bisa untuk makan beberapa hari gitu.
Pas masalahnya udah selesai, tagihannya keluar,
kelihatan waduh ternyata banyak banget makan
enaknya.. yaudah tetep bayar sendiri. Gitu..
P: Iya. Bagaimana pandangan Stella tentang kegunaan
mendasar dari kartu kredit? Sebenarnya tuh, nilai guna
sebenar-benarnya dari kartu kredit apa sih menurut
Stella?
I: Kalau menurut aku kartu kredit itu untuk eee.. apa
15.a ya.... misalnya gini, dia... yang pasti itu untuk orang Nilai guna kartu kredit-
yang udah punya penghasilan ya kalau menurut aku. mencicil pembayaran barang
Soalnya kan kartu kredit itu aku rasa penggunaan agar tidak terasa berat
dasarnya adalah kayak untuk beli hp, yang bisa dicicil
dan cicilannya nol persen. Itu kan sangat-sangat
menguntungkan kalo kayak gitu kita ga terasa berat.
Misalnya beli hp BB terbaru yang lima setengah juta.
kan berat kalo misalnya dalam sekali waktu langsung
ngeluarin duit lima setengah juta. Dan berdasarkan
15.b Nilai guna kartu kredit-
perhitungan ekonomi, dari nilai... dari nilai internal
uang itu sendiri sebenarnya memang lebih harga barang bisa lebih murah
menguntungkan kalau kita kredit. Jadi ada

69

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


perhitungan-perhitungannya.. jadi untuk beberapa akibat fluktuasi nilai mata
kasus memang lebih menguntungkan kalau kita pake uang
kartu kredit daripada kita ngeluarin duit, plek
langsung pada awalnya. Soalnya kan nilai mata uang
itu kan naik turun naik turun juga kan.. nah,
7.e penggunaan kartu kredit yang bijak menurut aku itu
ya kayak gitu. Jadi untuk yang misalnya beli yang lima
setengah juta tadi bisa dibayar sampe 6 kali atau 12
kali, tagihannya tetep dan dia nol persen. Kalau Pandangan promosi iklan-
16.a kayak gitu kan untung.. Cuma, apa ya... berdasarkan kartu kredit jadi lifestyle
yang iklan-iklan tadi, kartu kredit itu sudah menjadi
16.b
life style. Akhirnya orang makenya nggak yang untuk Pergeseran nilai guna-
kebutuhan ideal tadi tapi lebih ke yang ayoo kita belanja sepuasnya
belanja gini-gini.. apalagi kalau kita ke toko baju, ada
diskon untuk yang pake kartu kredit ini ini. Akhirnya Pergeseran nilai guna-
mendorong orang untuk belanja. Cuma kan ga semua simbolisasi
orang menyadari itu. orang lebih menyadarinya ee
kayak gini, eh lagi ada uang, yaudah deh pake kartu
kredit aja, bayarnya ntar-ntar aja. Pas udah ketemu
tagihannya, kaget.
P: Kalo gitu kayak tadi sebenarnya berkartu kredit tuh
dibutuhkan, perlu untuk orang-orang yang benar-benar
membutuhkan dan untuk orang yang udah kerja gitu ya?
I: Kalau mau dikasih ke anak pun, ya kayak aku kan
aku jauh dari orang tua aku. Dan aku yang masuk
rumah sakit kemaren, dan aku akan rutin ke rumah
sakit sih sebenarnya.

70

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


P: Menurut Stella jumlah kartu kredit yang Stella miliki
17.a sesuai gak dengan kebutuhan Stella? Pandangan terhadap kartu
I: Ehm, kalau jumlahnya satu sih udah sesuai dengan kredit- kuantitas kartu kredit
kebutuhan.. tapi jenis kartunya lebih dari yang aku sesuai kebutuhan
butuhkan.
P: Oh gitu. Lebih dari yang Stella butuhkan. Itu gimana,
mungkin bisa diceritakan. Ha ah...
I: Jadi kan kartu kredit itu kan ada level-levelnya lagi.
17.b Misalnya kayak gold, titanium, apa segala macam. Pandangan terhadap kartu
Terus papa aku tuh ngasih yang titanium. Aku ga kredit- level kartu kredit tidak
butuh yang titanium soalnya aku makenya ga tinggi sesuai dengan kebutuhan-
juga. Soalnya kan semakin tinggi level kartunya, titanium level tertinggi-
semakin tinggi pula yang dibayar ke bank. Tapi disitu dapat double point reward-
juga manfaatnya. Dan kenapa aku juga pake yang tapi bunga tinggi
titanium soalnya waktu itu aku lagi mau keluar
negeri dan kalau beli tiket keluar negeri pake kartu
kredit itu bisa dapet double point reward gitu..
P: Itu memang limitnya kalo boleh tahu limitnya berapa
2.d ya Stel, kartu kredit yang Stella punya? Kartu kredit-limit
I: Kalau pagu kreditnya 30 juta.
P: Ooh oke2.. perbulannya?
I: Aku tuh ga tau itu per hari atau perbulan. Makanya
aku bilang yang pake kartu kredit itu harusnya orang
yang udah kerja gitu.. aku tuh ngelihat misalnya kita
mau beli satu set tempat tidur kan bisa sampe 20 juta.
Tempat tidurnya, kasurnya, lemarinya, mejanya,
segala macem, bahkan bisa sampe 50 juta. Makanya

71

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


pagu kreditnya bisa sampe tinggi gitu ya karena
untuk kebutuhan yang kayak gitu..
P: Sementara Stella sepertinya belum akan membeli
seperti-seperti itu? Emang agak lebih....
I: Iya he eh..
P: Oh gitu. Stella menetapkan sendiri gak aturan dalam
menggunakan kartu kredit gitu lho?
18.a I: Iya.. if you don’t need it, don’t use it. Hehe Sesimpel Aturan diri sendiri-
itu gitu.. soalnya kalau aku tuh kerasa banget. Pas if you don’t need it, don’t use it
diakhir bulan keluar tagihannya, aku tuh disuruh
bayar sendiri. Jadi sama aja..
P: Dan itu, seketat itu rulesnya Stella lakukan untuk diri
Stella sendiri karena konsekuensi logisnya itu ya?
I: Soalnya aku ngeliat temen-temen aku, gampang Aturan diri sendiri-
18.b banget pake kartu kredit. Ya beda-beda juga sih ya konsekuensi logis harus
keadaannya. Kalau aku kan nanggung sendiri, ga menanggung tagihan di luar
ditanggung orang tua. Jadi ya emang harus irit. list

P: Kira-kira kalo bisa diperinci lagi gak? Misalnya Stella


menetapkan gue minggu ini udah pake nih sekali berarti
minggu sebagai konsekuensinya gak boleh dipake. Atau
gimana selang waktunya? Atau momennya, momen apa
baru bisa dipake?
5.g I: Misalnya kayak. Karena aku bulan lalu udah banyak Pola penggunaan kartu kredit-
pengeluarannya karena aku beli buku dan segala berselang tergantung
macam, jadi aku tidak berencana pakek kartu kredit banyaknya pemakaian kartu
untuk beberapa bulan ke depan, kecuali kalau aku kredit
emang ada ke rumah sakit. Jadi aku tinggalin kartu
kredit aku di rumah. Caranya kayak gitu. Cara

72

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


18.c ngatasinnya tinggalin kartu kreditnya, gak usah Aturan diri sendiri-
dibawa-bawa dan juga bahaya kan kalo misalnya ditinggalkan di rumah
dicopet atau apa. Jadi, hmmm. Tapi hari ini aku bawa.
Karena takutnya kan karena wawancaranya kan
kemarin katanya pake kartu kredit, tapi misalnya
kayak hari biasa aku nggak akan bawa.
P: Heeh... apa tuh misalnya?
I: Ho.. Misalnya kayak ya waktu aku ulang tahun
5.h kemarin. Kan pada ngajakin kalian makan, dan itu Pola penggunaan kartu kredit-
aku dah tahu ada discount 15 persen pake kartu. saat ada potongan harga
Terus juga kalau misalnya aku pergi ke Times beli
buku, bawa, karena itu masih tanggungan orang tua
kan. Itu papaku emang benar bikinin listnya.
P: Berarti seketat itu. Kalo momennya itu kayak apa Stell?
Atau kayak tadi tuh mesan pizza karena ada diskon 15
persen atau memang ada great sale, wow pake kartu
kreditnya gitu atau ada gak kira-kira?
I: Iya, he he . Jadi, papaku sebenarnya yang bukan apa
untuk pakek kartu kreditnya sih. Papaku bilang, eh,
ini yang ditanggung orang tua, ini yang nggak, dan
lain-lain gitu. Jadi kayak, kalo misalnya contoh-
contoh yang nggak ditanggung. Tapi untuk yang
ditanggung, papaku benar-benar bikin listnya, kayak
apa pakaian, buku, rumah sakit. Rumah sakit sesuai
dengan peraturan perusahaan. Misalnya kan mana
yang di-reimburse, mana yang nggak. Kalau nggak di-
reinburse, ya aku disuruh tanggung sendiri. Kayak
pilatest kan sebenarnya itu untuk olahraga bagus ya.

73

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Ya, papaku bilang itu kan nggak ditanggung oleh
perusahaan. Jadi kamu sendiri. Ya bagus sih kalo
misalnya investasi untuk kesehatan sendiri. Jadi, ya,
makanya, ya mulailah untuk bertanggung jawab
terhadap diri sendiri.
P: Hmmm gitu... Menurut Stella nih gimana pola ideal
pengelolaan keuangan oleh perempuan seharusnya? Jadi
kayak gini nih, Stella kan udah mengikuti alurnya gitu ya.
Kayak tadi kan udah dibilang topiknya tentang
konsumerisme perempuan melalui iklan di media massa.
Kita udah tahu lah kan gimana perempuan
direpresentasi-kan dalam iklan, gitu-gitu, agak
shopaholic, agak-agak glamor, ngabisin uang keluarga,
19.a gitu kan apalagi pake kartu kredit. Kalo dari situ tuh, Pengelolaan keuangan ideal-
Stella punya pendapat gak nih, gimana sih seharusnya bukan terkait gender
perempuan mengelola keuangan secara ideal?
I: Kalau aku, lagi-lagi terlepas dengan gendernya ya. Pengelolaan keuangan ideal-
Kalau menurut aku, semua orang tetap aja yang 50% konsumsi, 20% ditabung,
19.b namanya konsumsinya 50 persen, 20 persen untuk 10% liburan/rekreasi, 10%
ditabung, 10 persen liburan atau rekreasi, 10 persen investasi, 10% untuk lain-lain
untuk investasi, 10 persen untuk yang apa yang lain-
lain gitu. Jadi, kalau aku rencananya kalau misalnya
udah kerja, emang benar-benar dah punya
penghasilan, itu yang akan aku ikutin. Tapi kalau
misalnya sekarang kan, papaku benar-benar ngasih
aku duit pas-pasan dengan kebutuhan aku, jadi ya itu
belum bisa aku ikutin. Jadi, kalau misalnya konsumsi
50 persen, apa ya, cowok sama cewek sama aja,

74

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


cuman kan kan kebutuhannya beda. Ya aturlah
berdasarkan rumus yang tadi itu.
P: Oh gitu.. kalo misalnya kayak, Stella pernah gak eee....
setuju dengan pendapat kalo orang tuh bilang kalo
perempuan itu suka ngabisin uang keluarga gitu lho.
Terlepas dari usaha dia untuk membiayai, gak sih, usaha
dia untuk membantu keuangan keluarga sebagaimana
yang dilakukan suaminya. Sama kayak punya penghasilan
sendiri tuh suka ngabisin penghasilan sendiri untuk diri
sendiri gitu. Menurut Stella gimana, apalagi kalo punya
kartu kredit gitu?
I: Oh. Kalau menurut aku, itu nggak tergantung
gendernya sih. Itu kelihatannya banyak karena
sering, beli baju. Misalnya contoh gini, sepatu berapa
sih harganya, let’s say 200 ribu. Baju berapa sih
harganya, let’s say 150 ribu. Jadi sekali belanja 350.
20.a Pandangan terhadap
Besok lagi belanja 350. Besok lagi belanja 350. Jadi
stereotipe-
kalau misalnya cowok, nggak ada belanja, nggak ada
it’s not a matter of
belanja, tabung terus. Tapi sekali beli laptop 12 juta.
whether you are
Yang kayak gitu kan. Dari situ aku ngelihatnya, it’s not
a matter of whether you are, apa ya. Jadi kayaknya Pandangan terhadap
20.b
jumlah pengeluarannya itu bukan karena lo cewek lo stereotipe-
lebih banyak pengeluarannya, tapi lebih sering kalau cewek terlihat sering belanja
aku ngelihatnya. Kalau cowok-cowok sekali tapi dengan harga yang murah,
gedek gitu. Soalnya kan, misalnya kayak kita lihat sementara cowok sekali
acara Boy’s Choice, itu kan, ee, mereka itu yang, apa, belanja dengan harga yang
mobil bisa sampai berapa untuk otomotif aja, modif- mahal
modif, bisa sampai berapa yang kayak gitu.

75

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Sementara ceweknya karena sering aja, karena
kelihatan aja makanya dimarah-marahin.
P: Pada dasarnya kalo diakumulasikan gak sebegitu beda.
Perempuan itu gak menghabiskan uang keluarga gitu ya?
I: Ehemmm.. iya, jadi nggak jumlahnya, lebih ke itu
20.c apa yang dibelinya. Dan mungkin cowok pun mau Pandangan terhadap
lihat kayak apa ya, cewek itu habis-habisin duit stereotipe-
karena pakek nggak penting mungkin. Make up nggak bandingkan kuantitas dengan
penting. Tapi kan, kalau cewek kan ngelihat ngapain harga barang yang dibeli
sih laptop 12 juta. Aku aja dah bahagia dengan laptop
yang cuma 3 juta, gitu kan beda.
P: Okey, nah jadi kita milih Stella disini karena kita anggap
Stella merepresentasikan kalangan perempuan pengguna
kartu kredit, gitu ya. Nah, menurut, aahh kira-kira ada
gak sih harapan Stella untuk menangkal paparan
konsumerisme dari media massa. Misalnya, katakanlah
Stella itu perempuan yang tidak teeer...... kurang kritis
gitu, melihat iklan-iklan seperti itu melihat sosok
perempuan dalam media massa seperti itu, oooh
berbelanja ini dengan bunga cicilan nol persen segala
macam rentan terpapar. Kira-kira apa ya yang dapat
dilakukan untuk menangkal konsumerisme dalam media
untuk perempuan-perempuan yaang kurang kritis.
I: Oh.. apa ya? Mereka memerlukan exposure
terhadap teori kritis. Jadi sebenarnya tu kayak gini.
Harapan informan-
Aku tu mulai berpikir kayak gini sejak aku mengenal
perempuan Indonesia perlu
21.a istilah false consciousness. Gitu, jadi kayak, oh
terpapar teori kritis dan
ternyata media itu kayak gitu ya. Oh, ternyata ini aku

76

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


ini kesadaran palsu. Sejak itu aku misalnya jadi kayak mengerti masalah false
gini. Jadi kalau misalnya cewek-cewek yang kayak consciousness
gitu apa yang mereka butuhkan, ya mungkin
pendidikanlah ya. Pendidikan particulary yang di
pemikiran kritis kayak gini. Karena emang benar-
benar, aku baru berpikiran seperti itu sejak ini kok,
sejak mengenal istilah false consciousness itu, hmmm
di Metode Penelitian Sosial yang MPS waktu itu aku
sama Mbak Ken. Jadi kan membahas tentang false
consciousness, oh gitu ternyata, sejak itu juga.
P: Kira-kira itu berarti, selain itu ada yang berhubungan
dengan ini kali ya.. menurut Stella perlu perempuan-
perempuan itu, perempuan-perempuan yang sejenis itu
maksudnya ya, mengetahui bahwa ada lho seharusnya
langkah bijak kita untuk menggunakan kartu kredit
kayak-kayak gitu. Perlu gak mereka untuk berguru
kepada orang-orang kristis seperti Stella mungkin..
halaahhh..
I: Iya, menurut aku emang butuh banget orang
mendapatkan exposure-exposure yang pemikiran
kritis kayak gini. Soalnya, misalnya aku dulu sebelum Pandangan informan sebelum
22.a ter-enlighten oleh mata kuliah-mata kuliah kita, aku terpapar teori kritis-
tipe orang yang kayak gitu kok. Maksudnya kayak sebel karena dimarahin
pingin belanja gitu. Apa ya, kalau misalnya dimarahin belanja
karena belanja itu, sebel sama orang tua. Kayak
pengen hp yang bagus simply because, itu apa ya,
22.b kayak pride di antara society yang kayak gitu. Dulu
aku, dulu aku adalah tipe orang yang kayak gitu.

77

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Cuma sejak mendapat, ya itu sejak memahami Pandangan informan sebelum
konsep false consciousness, aku berubah. Mungkin terpapar teori kritis-
yang mereka butuhkan adalah kayak gitu. Paham pengen hp bagus karena pride
akan apa ya, oh media itu bohong kok, media itu
emang berusaha mengkonstruksi realitas supaya
kamu berpikir demikian. Nggak ada tu cewek-cewek
yang belanja kayak gitu, itu media doang, itu kayak
perlu gitu.
P: Ooookeyyy. Oke oke siplah kalo begitu. Naaahhh
alhamdulilah ya Stella, kita sudah menghabiskan seluruh
rangkaian pertanyaan MPK 2. Ini terakhir, Stella mungkin
ingin memberikan kesan atas wawancara yang udah kita
lakukan. Mulai dari kita menghubungi Stella jadi
informan kita, aaa ha ah.. Mmmm oke-oke masukan untuk
kelompok kita itu ya..
I: Oh, mungkin apa ya. Kayak aku, aku minta maaf kali
ya. Soalnya kayaknya setelah apa, setelah
menyelesaikan wawancaranya, aku merasa kurang
21.b merepresentasilah. (ketawa) iya, soalnya kayak aku, Harapan informan-
apa ya, I have my own thinking itu. Jadi kayaknya, mungkin bisa mencari
mungkin untuk apa ya, hmm mungkin masukan aja, informan yang benar-benar
mungkin untuk penelitian kalian kalau kalian pengen shopaholic untuk
data yang lebih valid lagi, cari orang yang tipenya membandingkan pengalaman
yang emang shopaholic kayak gitu kali ya. Mungkin dan pandangan dari kedua
mereka pemikirannya akan sangat berbeda dengan informan
yang aku. Iya, cuma kayak perlu aja dunia menyadari
ada loh cewek yang nggak kayak gitu untuk
mematahkan stereotipe kayak gitu, iya, kayak gitu.

78

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


P: Haah sebetulnya itu sih Stell justru mengkonfirmasi
paradigma kritis dalam penelitian ini.
I: Oh, gitu. Keren keren.
P: Oke, terima kasih banyak Stella atas waktunya. Maaf ya
pembatalan janji semalam.
I: Iya, hehe. Nggak, nggak sama sekali nggak masalah
kok. Ya ngertilah, kalau sama lagi penelitian, tahu
kendala-kendala yang dihadapin apa. Sama sekali
nggak ada masalah kayak gitu. Cuma ya ini, mungkin
untuk memperkaya datanya aja, coba cari yang lain.

79

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Lampiran 4. Axial Coding

1. Latar belakang pendidikan informan melatarbelakangi pemaknaan oposisional tentang promosi iklan kartu kredit.

2. Latar belakang pendidikan informan melatarbelakangi pemaknaan oposisional tentang perempuan yang shopaholic
dalam iklan.

3. Latar belakang pendidikan informan melatarbelakangi pemaknaan oposisional tentang representasi perempuan
dalam iklan.

4. Alasan menggunakan kartu kredit melatarbelakangi pemaknaan oposisional tentang nilai guna kartu kredit.

5. Urgensi kepemilikan kartu kredit membentuk pemaknaan oposisional informan tentang nilai guna kartu kredit.

6. Aturan orang tua melatarbelakangi pengeluaran dan pola penggunaan kartu kredit informan.

7. Aturan diri sendiri melatarbelakangi pandangan terhadap kartu kredit informan.

8. Terjadi pergeseran nilai guna menjadi nilai tukar dari kartu kredit sebelum informan terpapar teori kritis.

9. Pengelolaan keuangan ideal tidak berkorelasi secara langsung dengan pandangan terhadap stereotipe perempuan
sebagai ‘penghabis uang keluarga’.

80

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Lampiran 5. Selective Coding

Dari hasil penelitian ini, pemaknaan informan tentang konsumerisme perempuan


dalam iklan kartu kredit mengacu pada pembacaan oposisional. Berdasarkan latar belakang
pendidikan informan yang merupakan mahasiswi ilmu komunikasi media Universitas
Indonesia yang telah terpapar teori kritis, informan melihat iklan bukan sebagai suatu
refleksi realitas. Hal ini membentuk pemaknaan informan bahwa iklan media yang
mempromosikan kartu kredit memang ditujukan untuk mendorong audiens berperilaku
konsumtif, sehingga pesan yang disampaikan bukanlah merupakan realitas objektif
sebagaimana yang terjadi di dunia nyata. Informan memaknai iklan media yang
mempromosikan kartu kredit membentuk false consciousness audiens.

Karena pemahaman teori kritis yang diyakininya, informan tidak mengkonfirmasi


imej shopaholic pada representasi perempuan dalam iklan kartu kredit. Informan lagi-lagi
melihat hal tersebut bukan sebagai refleksi realitas, melainkan pesan yang berusaha
disampaikan untuk mempengaruhi audiens agar meningkatkan transaksi dengan
menggunakan kartu kredit hingga memicu perilaku konsumtif. Sejalan dengan teori
Baudrillard tentang hiper-realitas, informan melihat perempuan yang menjadi model
representasi dalam iklan kartu kredit sebagai penyampai pesan yang mengukuhkan kartu
kredit sebagai simbol identitas perempuan modern.

Lebih jauh lagi, informan tidak melihat imej shopaholic dalam iklan kartu kredit
melekat semata-mata pada model perempuan. Adapun imej shopaholic, menurut informan
bisa direpresentasikan oleh model perempuan maupun laki-laki. Hal ini turut membentuk
pemaknaan informan tentang stereotipe perempuan ‘penghabis uang keluarga’.
Menurutnya, baik laki-laki maupun perempuan berpotensi menjadi ‘penghabis uang
keluarga’. Bukan karena laki-laki tidak sering belanja maka mereka terlepas dari stereotipe
ini, sebaliknya bukan juga karena perempuan sering belanja maka mereka bisa dikatakan
sebagai ‘penghabis uang keluarga’. Hal ini kembali lagi tergantung pada level ekonomi,
kebutuhan, dan pola konsumsi individu yang bersangkutan.

81

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013


Konsepsi Baudrillard mengenai pergeseran nilai guna menjadi nilai tukar tidak
dikonfirmasi oleh informan. Hal ini terlihat dari alasan informan menggunakan kartu kredit
yang notabene adalah untuk kebutuhan primer, seperti penunjang pendidikan dan
kesehatan. Informan menggunakan kartu kredit untuk membeli buku, medical check-up
dan perawatan kesehatan di tiap bulannya. Informan tidak menggunakan kartu kredit untuk
hal-hal yang bersifat simbolik sebagaimana yang dikemukakan oleh Baudrillard, seperti
penanda kelas ekonomi atas ataupun pergaulan kalangan metropolitan. Adapun alasan
utama informan menggunakan kartu kredit bersifat urgen, yakni karena faktor jauhnya
informan dari orang tua yang merupakan penyokong keuangan utama informan.

Paparan teori kritis terhadap pemikiran informan juga mengukuhkan pandangannya


bahwa fungsi utama kartu kredit terletak pada nilai gunanya, bukan nilai tukar. Pandangan
seperti ini juga didorong oleh aturan yang ditetapkan oleh orang tua informan tentang
pengeluaran yang ditanggung oleh orang tua dan pengeluaran yang ditanggung oleh diri
sendiri. Karena informan menyadari konsekuensi logis apabila ia menggunakan kartu
kredit bukan untuk kebutuhan yang bersifat primer dan pelunasannya ditanggung oleh
orang tua, maka ia menggunakan kartu kredit dengan mengacu pada nilai guna kartu kredit
yang sebenarnya, yakni untuk memudahkan transaksi. Karena tidak mampu melunasi
sendiri pembayaran tagihan kartu kredit, informan tidak dengan sesuka hati menggunakan
kartu kredit untuk hal-hal yang bersifat kurang mendesak, sehingga dalam hal ini tidak
terjadi pergeseran fungsi kartu kredit.

Aturan pribadi yang cukup ketat terkait penggunaan kartu kredit oleh informan juga
membuatnya menggunakan kartu kredit berdasarkan nilai guna, serta menghindarkannya
dari potensi untuk berperilaku konsumtif. Apabila tidak urgen dan tentunya tidak ada
potongan harga, informan tidak akan menggunakan kartu kredit. Informan juga mengaku
bahwa ia sering meninggalkan kartu kreditnya di rumah sebagai upaya untuk menghindari
transaksi di luar kebutuhan primer yang telah dijelaskan sebelumnya.

82

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai