Anda di halaman 1dari 1

ANTARA NAFSU DAN JATI DIRI SEORANG ARSITEK

Menjadi seorang arsitek memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak
rintangan yang harus dihadapi terutama ketika sedang berhadapan dengan sang klien. Disaat inilah
nafsu dan jati diri saling serang menyerang. Nafsu untuk mengikuti kemauan sang klien berperang
bersama dengan jati diri untuk mempertahankan karakter. Disinilah, terkadang tidak banyak dari
seorang arsitek yang jati dirinya telah diserang oleh hawa nafsu untuk mengikuti kemauan sang
klien demi lembaran keuntungan tanpa membuka mata mengenai apa yang akan terjadi
dikemudian hari. Kita ambil saja contoh sederhana yakni dalam lingkup hunian seperti mulai
tumbuhnya keretakan hubungan antar tetangga dan menumbuhkan sikap ketidakpedulian seorang
penghuni. Sebuah cerita yang sudah terjadi saat ini yakni adanya pagar tinggi dan tidak adanya
vegetasi dalam hunian.
Mengingat di tahun 2016 yang lalu pernah terjadi kasus perampokan di pulomas. Dikutip
dari tribunnews.com bahwa terjadi perampokan di rumah mewah dengan pagar setinggi tiga meter.
Kejadian itu menelan enam korban jiwa. Konon katanya selain pagar tinggi juga sudah terpasang
CCTV. Namun, apakah hal tersebut sangat dibutuhkan dan menjadi solusi keamanan di dunia
arsitektur?. Karena tidak asing bagi kita melihat rumah yang berpagar. Bahkan tidak hanya pagar
biasa, melainkan pagar polos tinggi yang menjulang yang atasnya ditaburi pecahan kaca ataupun
kawat berduri. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa dengan pagar dan CCTV, rumah akan
menjadi aman sehingga tidak sedikit dari klien akan meminta adanya pagar sebagai pembatas
wilayah.
Jika kita lihat seksama dan dengan kaca mata masa yang akan datang, keberadaan pagar
inilah akan mengakibatkan keakraban antar warga berkurang. Pada dasarnya, pagar bisa diartikan
sebagai pembatas wilayah. “Ini wilayah gue!”. Dimana teras dan ruang tamu akan beralih menjadi
ruang privat karena adanya rasa menutup diri dari lingkungan sekitar. Hal tersebut memudarkan
rasa memiliki antar sesama. Sehingga, untuk lingkungan sekitar akan membalasnya dengan “Itu
wilayah sana, biar diurus sendiri. Jadi, kalau terjadi kemalingan, ya kan itu wilayah loe yang
kemalingan!”. Sangat berbeda jika kita membuka diri tanpa adanya pembatas area. Orang sekitar
akan lebih mudah mengakses dan berkunjung kerumah kita. Bahkan teras yang kita miliki bisa
untuk berbincang bincang bersama masyarakat sekitar dan tentunya dapat menumbuhkan rasa
memiliki dan menjaga antar sesama.Tidak hanya itu, masyarakat juga lebih mudah dalam
mengawasi dan menjaga rumah kita disaat kita berpergian cukup lama.
Mengingat bahwa seorang arsitek adalah seorang perancang. Disitulah titik dimana jati diri
akan melawan nafsu atau bahkan nafsu yang akan melawan jati diri. Selain itu, permintaan klien
yang sedang marak terjadi di pembangunan perumahan yakni meniadakan adanya vegetasi di
hunian dan lebih memilih halaman yang gersang. Alasan mereka tidak ingin adanya vegetasi yakni
mengenai kebersihan dimana rasa takut jika teras akan kotor dengan daun daun yang berjatuhan.
Namun, katika rumah terasa panas, solusi cepat yang akan dipilih berupa pemasangan AC.
Disitulah arsitek berperan penting dalam menjaga alam. Jika kita menuruti keinginan klien yang
berfikiran demikian justru kita akan menjadi nominator penyumbang kerusakan bumi. Selain itu,
kita akan mendorong sikap malas dan ketidak pedulian sang klien terhadap alam.

Anda mungkin juga menyukai