EMPYEMA
OLEH:
Andro Winardo (130100015)
Asdar Raya (140100010)
Dewi Sartika Harahap (140100114)
Laisla (140100219)
M.Fahri Ariza (140100001)
Mhd. Rifan (130100058)
Supervisor:
Dr. dr. Noni N.Soeroso, M.Ked(Paru), Sp.P (K)
Supervisor
Penulisan Sari Pustaka ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan baik isi maupun susunan bahasanya. Untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan Sari
Pustaka selanjutnya.Semoga Sari Pustaka ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
1. Latar Belakang
Empiema merupakan suatu proses supurasi yang terjadi di dalam rongga
pleura. Empiema ialah keadaan terkumpulnya nanah (pus) di dalam rongga
pleura dapat setempat atau mengisi seluruh rongga pleura. Empiema yang
terjadi di rongga pleura dikenal dengan nama empiema toraks .1
Hippocrates sudah mengenalnya sejak 2.400 tahun yang lalu dan dialah
yang petama kali melakukan torakosintesis dan drainase pada pleural
empiema, kemudian oleh Graham dan kawan-kawannya dari suatu komisi
empiema waktu perang dunia satu diberikan cara-cara perawatan dan
pengobatan yang dianut sampai sekarang. Walaupun cara penatalaksanaan
empiema di berbagai rumah sakit beraneka ragam, namun tindakan standar
masih tetap dieprtahankan2. Penyakit ini dapat disebabkan oleh trauma pada
dada (sekitar 1-5% kasus mendorong ke arah empiema) dam pecahnya abses
dari paru ke dalam rongga pleura. Empiema mempunyai tingkat kematian yang
cukup tinggi, biasanya akibat dari kegagalan bernapas dan sepsis. Dengan
ditemukannya antibiotik yang ampuh, maka angka prevalensi dan mortalitas
empiema mula-mula menurun, akan tetapi pada tahun-tahun terakhir oleh
karena perubahan jenis kuman penyebab dan resistensi terhadap antibiotik,
morbiditas dan mortalitas empiema tampak meningkat 3
Insidensi infeksi pleural mulai berubah pada awal abad ke 20. Pada zaman
preantibiotik, empiema merupakan komplikasi dari kasus pneumonia sebesar
5%, tapi setelah adanya perkembangan tentang antibiotik (sekitar tahun 1940)
angka tersebut menurun menjadi 2%. Pada penelitian selama empat dekade,
Weese et al., menemukan insidensi empiema sebesar 79 kasus tiap 100.000
pada zaman preantibiotik, rata-rata insidensi ini menurun menjadi 52 kasus tiap
100.000 pada tahun 1947-1948 4
2.1.1. Pleura
Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thoraks,
paru juga dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa
bangunan embriologi dari coelom extra-embryonal yakni pleura. Pleura
sendiri dibagi menjadi 3 yakni pleura parietal, pleura visceral dan pleura
bagian penghubung. Pleura visceral adalah pleura yang menempel erat
dengan substansi paru itu sendiri. Sementara pleura parietal adalah
lapisan pleura yang paling luar dan tidak menempel langsung dengan
paru. Pelura bagian penghubung yakni pleura yang melapisi radiks
pulmonis, pleura ini merupakan pelura yang menghubungkan pleura
fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal akan menyerap cairan pleura
2.1.2 Etiologi
Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab empiema yang
paling sering ditemukan dalam isolasi mikrobilogi, selebihnya adalah
bakteri gram negatif. Dring ditemukannya bakteri gram negatif pada biakan
terjadi diantaranya karena tingginya insidensi resisten karena pemberian
antibiotik pada fase awal pneumonia. penelitian yang dilakukan Yu Chen
dkk pada pasien efusi pleura dengan empiema didapatkan Klebsiella
pneumoniae merupakan penyebab terbanyak9. Penyebab terjadinya
empiema sendiri terbagi menjadi :
1) Infeksi yang berasal dari dalam paru
a. Pneumonia
b. Abses paru
c. Bronkiektasis
d. TBC paru
e. Aktinomikosis paru
f. Fistel bronko-pleura
2) Infeksi yang berasal dari luar paru
a. Trauma thoraks
b. Pembedahan thorax
c. Torakosintesis pada pleura
d. Sufrenik abses
e. Amoebic liver abses 10
Bakteri penyebab :
1. Bakteri gram negatif (P. aeruginosa, Klebsiella, Bacteroides, E. colli,
P. mirabilis ) 20 – 30 %
2. S. aureus 25 – 35 %
3. S. pyogenes 5 – 15 %
4. Bakteri anaerob 30 – 70 %
5. Kultur (-) 3 – 30 %
6. Polimikroba 30 – 70 % 3
2.1.3 Epidemiologi
Hampir 90 % kasus empyema thoraks disebabkan oleh Stapylococus
aureus, dan kurang sering akibat Pneumokokus (terutama tipe 1 dan 3) dan
Haemophilus influenza. Insidens relative H. influenza telah menurun sejak
pengenalan vaksinasi HiB.
Di negara yang sudah maju incidence empyema thoraks pada saat
ini sudah sangat menurun, berkat pengobatan penyakit pneumonia/
bronchopneumonia dengan antibiotik secara adekuat. Namun di negara
yang sedang berkembang seperti Indonesia, insidens masih tinggi. Insidens
tertinggi terdapat pada masa bayi (infancy).
Di Amerika terjadi, lebih dari satu juta kasus terjadi, dari laporan
rutin yang dipublikasikan oleh Starge and Sahr (1999) tentang penyebab
infeksi pluera, 70% kasus terjadi sebagai parapneumonic effusion murni, 5-
10% sebagai parapneumoic effusion sederhana dengan komplikasi, sekitar
5% terjadi akibat trauma dada
Di Indonesia, diantara 2.192 penderita yang dirawat oleh karena
berbagai macam penyakit paru di bagian penyakit paru RS. Dr. Soetomo/FK
Universitas Airlangga Surabaya sejak tanggal 1 Januari 1973 - 31 Desember
1975 terdapat 74 penderita empyema thorasis (3,4%). Dari kasus tersebut
terdapat 57 penderia pria (77%) dan 17 penderita wanita (23%) yang berarti
ratio pria dan wanita adalah 3,4 :1 9
2.1.4 Klasifikasi
Empiema dibagi menjadi tiga fase :
1. Stadium I disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi
pada hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan pleura namun
masih sedikit. Cairan yang dihasilkan mengandung elemen seluler yang
kebanyakan terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi selama 24 – 72 jam
dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura
mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang
rendah dan enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa
dan pH yang normal, drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat
mempercepat perbaikan.
2. Stadium II disebut juga stadium fibropurulen atau stadium transisional
yang dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan
bertambahnya kekentalan dan kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi
banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri dan debris seluler. Akumulasi
protein dan fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang
membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini
berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan LDH
meningkat. Stadium ini berakhir setelah 7 – 10 hari dan sering
membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan
pemasangan tube.
3. Stadium III disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi
pembentukan kulit fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan
yang mencegah ekspansi pleura dan membentuk lokulasi intrapleura
yang menghalangi jalannya tuba torakostomi untuk drainase. Kulit pleura
yang kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan hasil dari
proliferasi fibroblas. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi
pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 – 4
minggu setelah gejala awal .4
2.1.5 PATOGENESIS
Terjadinya empyema thoraks dapat melalui tiga jalan4 :
1. Empiema Akut
Terjadi sekunder akibat infeksi tempat lain, bukan primer dari
pleura. Pada permulaan, gejala-gejalanya mirip dengan pneumonia,
yaitu panas tinggi dan nyeri pada dada pleuritik. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura. Bila
stadium ini dibiarkan sampai beberapa minggu maka akan timbul
toksemia, anemia dan clubbing finger. Jika nanah tidak segera
dikeluarkan akan timbul fistel bronkopleura. Adanya fistel ditandai
dengan batuk yang makin produktif, bercampur nanah dan darah
masif, serta kadang-kadang bisa timbul sufokasi (mati lemas) 1
Pada kasus empiema karena pneumotoraks pneumonia, timbulnya
cairan adalah setelah keadaan pneumonianya membaik. Sebaliknya
pada Streptococcus pneumoniae, empiema timbul sewaktu masih
akut. Pneumonia karena basil gram negatif seperti Escherichia coli
atau Bakterioides sering kali menimbulkan empiema.4
Empiema Kronis
Batas yang tegas antara empiema akut dan kronis sukar ditentukan.
Disebut kronis jika empiema berlangsung selama lebih dari tiga bulan.
Penderita mengeluh badannya terasa lemas, kesehatan makin
menurun, pucat, clubbing finger, dada datar dan adanya tanda-tanda
cairan pleura. Bila terjadi fibrotoraks, trakea dan jantung akan tertarik
ke sisi yang sakit 9
2.1.7 Diagnostik
1. Anamnesa
a. Demam dan keluar keringat malam
b. Nyeri pleura
c. Dispnea
d. Anoreksia dan penurunan berat badan 1
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pada inspeksi, sisi yang sakit lebih cembung, tertinggal pada
pernapasan
b. Pada palpasi ditemukan penurunan fremitus
c. Pada perkusi ditemukan suara flatness (redup)
d. Pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas
e. Mediastinum terdorong ke sisi yang sehat
f. Pada empiema yang kronis hemitoraks yang sakit mungkin sudah
mengecil karena terbentuknya schwarte.4
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi
a. Foto toraks 9
Pada pasien empiema, aliran bebas cairan pleura terkumpul di
bagian tertentu dan cavum pleura dan mengaburkan sudut
kostofrenikus. Jumlah cairan pleura yang menyebabkan penumpulan
sudut kostofrenikus pada foto toraks lateral sekitar 75 ml. Pada foto
toraks PA jumlah cairan yang menyebabkan penumpulan sudut
kostofrenikus sekitar 200 ml.
Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan lateral
mempunyai arti penting untuk diagnosis empiema. Pasien yang difoto
dengan posisi bardiri, cairan pleura bebas akan terakumulasi di bagian
terendah hemitoraks dan sudut kostofrenikus. Foto toraks dengan
diafragma normal tetapi tampak gambaran berkantong yang terlokalisir
sebaiknya juga diperiksa ultrasonografi (USG) toraks atau computed
tomograpgy (CT scan), terlebih bila terlihat gambaran efusi.
Selanjutnya dilakukan torakosintesis, cairan yang didapat diperiksa
warna, purulensi, viskositas, bau dan analisis cairan pleura. Cairan
pleura berupa transudat tidak dilakukan pemeriksaan lebih lanjut 11
c. Computed Tomography 9
CT-scan digunakan untuk membedakan kelainan parenkim
terhadap pleura, mengevaluasi kelainan parenkim, menentukan
lokulasi, mengevaluasi permukaan pleura dan membantu dalam
penentuan terapi. Tidak semua penderita efusi parapneumonia dengan
komplikasi memerlukan pemeriksaan CT-scan toraks, tetapi berguna
pada penderita efusi komplikasi dengan lokulasi untuk pertimbangan
terapi, yang akan menurunkan morbiditas, mortilitas maupun lamanya
rawat tinggal 4. Tergantung pada manajemen klinis yang diharapkan,
pasien dapat menjalani pencitraan dengan atau tanpa bahan kontras
intravena. Jika penyadapan efusi pleura klinis yang signifikan secara
klinis diindikasikan, media kontras intravena tidak diperlukan untuk
mengevaluasi keberadaan dan lokasi cairan pleura.
Yang khas adalah empiema lenticuler. CT-scan dapat
menunjukkan efusi pleura atipikal sepanjang mediastinum,
pleura yang menebal, loculations dalam celah, septa atau
gelombang gas dalam rongga pleura.
CT-scan Toraks pasien dengan Empiema 4
e. Ultrasonography (USG)
USG merupakan pemeriksaan tambahan yang penting dalam
mendefinisikan karakteristik efusi pleura dan dapat pula untuk
mendeteksi efusi kecil. USG juga menyediakan informasi
tentang viskositas cairan, adanya septa dan sifat efusi. Diagnosis
empiema tidak hanya berdasarkan USG.11
f. Biopsi Pleura
Biopsy pleura dapat dilakukan bersamaan dengan pungsi.
Jaringan yang didapat dikirimkan untuk pemeriksaan patologi
anatomi dan mikroskopis. Pada pemeriksaan patologi anatomi
didapatkan gambaran endapan sentrifugasi padat dengan sel-sel
radang yang terdiri dari leukosit, PMN dan histiosit, kesan pleuritis
supuratif.
2. schwarte
adalah gumpalan fibrin yang melekatkan pleura visceralis dan pleura
parietalis setempat. schwarte ini tentunya akan menurunkan kemampuan nafas
penderita karena gangguan retraksi, maka akan timbul deformitas dan kemunduran
faal paru akan lebih parah lagi.
1.1.9 PENATALAKSANAAN
Open drainage
Karena drainase ini menggunakan kateter thoraks yang besar, maka
diperlukan pemotongan tulang iga. Drainase terbuka ini dikerjakan pada
empyema menahun karena pengobatan yang diberikan terlambat,
pengobatan tidak adekuat atau mungkin sebab lain, yaitu drainase kurang
bersih.
Kontraindikasi Hipersensitifitas
Efek Samping Eritema, flushing, reaksi anafilaktik
Keterangan Perlu diperhatikan penggunaan pada gagal
ginjal dan neutropenia
c. Penutupan rongga empyema
Dekortikasi
Tindakan ini termasuk operasi besar yaitu : mengelupas jaringan
pleura pleura yang menebal. Indikasi dekortikasi ialah :
Drainase tidak berjalan baik, karena kantung-kantung yang berisi
nanah.
Letak empyema sukar dicapai oleh drain
Empyema totalis yang mengalami organisasi pada pleura visceralis
(peel sangat
tebal)
gambar 4. dekortikasi
Torakoplasti
Tindakan ini dilakukan apabila empyema tidak dapat sembuh karena
adanya fistel bronkopleura atau tidak mungkin dilakukan dekortikasi. Pada
kasus ini pembedahan dilakukan dengan memotong iga subperiosteal
dengan tujuan supaya dining thoraks dapat jatuh ke dalam rongga pleura
akibat tekanan udara luar.15
gambar.5 torakoplasti
d. Pengobatan kausal
Pengobatan kausal ditujukan pada penyakit-penyakit yang
menyebabkan terjadinya empyema , misalnya abses subfrenik. Apabila
dijumpai abses subfrenik, maka harus dilakukan drainase subdiafragmatika.
Selain itu masih perlu diberikan pengobatan spesifik, untuk amebiasis,
tuberculosis, aktinomikosis dan sebagainya.15
e. Pengobatan tambahan
Pengobatan ini meliputi perbaikan keadaan umum serta fisioterapi
untuk membebaskan jalan nafas dari sekret (nanah), latihan gerakan untuk
mengalami cacat tubuh (deformitas).
2.1.10. Komplikasi
1. Sepsis
Kondisi ini terjadi akibat system kekebalan tubuh bekerja secara
menerus melawan infeksi.selama proses ini sejumlah besar bahan kimia
dilepaskan kedalam darah sehingga memicu peradangan yang semakin luas
dan dapat menyebabkan kerusakan organ.Gejala sepsis meliputi demam
tinggi, menggigil,napas cepat, dan tekanan darah rendah. 5
3) Pneumothorax
Gejala dapat menyebabkan dada secara tiba-tiba dan napas
pendek,Kondisi ini dapat semakin memburuk ketika batuk atau
bernafas.
1.1.10 Prognosis
KESIMPULAN
1. Nadel, Murray. 2010. Text Book of Respiratory Medicine Third Edition Volume
One. Philadelphia, 985-1041.
4. Rogayah, Rita. 2010. Empiema. Jakarta : Dept. Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FKUI.
5. Akinbami, L. J., & Liu, X. 2011. Chronic Obstructive Pulmonary Disease Among
Adults Aged 18 and Over in the United State, 1998-2009. U.S Department of Health
and Human Service. CDC Centers for Disease Control and Prevention.
8. Sherwood L. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem, Ed. 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2011.
11. Marc Tobler, Barry HG, et al. 2013. Empyema Imaging. Medscape. Diakses tanggal
05 Oktober 2016.
12. Huang-Che H, Heng-Chung C, et al. 2010. Lung Absess Predict the Surgical
Outcome in Patient with Pleural Empyema Journal of Cardiothoracic Surgecy
15. Bartlett JG. Anaerobic bacterial infections of the lung. Chest 1987 Jun; 91(6): 901-
9.