Anda di halaman 1dari 34

Sari Pustaka

EMPYEMA

OLEH:
Andro Winardo (130100015)
Asdar Raya (140100010)
Dewi Sartika Harahap (140100114)
Laisla (140100219)
M.Fahri Ariza (140100001)
Mhd. Rifan (130100058)

Supervisor:
Dr. dr. Noni N.Soeroso, M.Ked(Paru), Sp.P (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
LEMBAR PENGESEHAN
Telah dibacakan Tanggal :
Nilai :

Supervisor

Dr. dr. Noni N.Soeroso, M.Ked(Paru)Sp.P (K)


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat Sari Pustaka ini dengan judul
“Empyema ”.

Penulisan Sari Pustaka ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen


pembimbing,Dr.dr. Noni N Soeroso Mked (Paru ) Sp.P (K) , yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan
laporan kasus ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan baik isi maupun susunan bahasanya. Untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan Sari
Pustaka selanjutnya.Semoga Sari Pustaka ini bermanfaat, akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Medan, Mei 2019

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman

Lembar Pengesahan .................................................................................... i


Kata pengantar ............................................................................................ ii
Daftar isi .................................................................................................... iii
Daftar gambar ............................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................1
1.1 Latar Belakang .....................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................3
2.1 Anatomi Sistem Respiratori.................................................3
2.2 Empyema .............................................................................9
2.2.1 Definisi .........................................................................9
2.2.2 Faktor Risiko ................................................................9
2.2.3 Patogenesis Empyema ...............................................11
2.2.4 Manifestasi klinis ........................................................16
2.2.5 Diagnosis ....................................................................17
2.2.6 Diagnosis Banding .....................................................26
2.2.9 Tatalaksana ..................................................................32
2.2.8 Prognosis
BAB III KESIMPULAN ........................................................................28
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Empiema merupakan suatu proses supurasi yang terjadi di dalam rongga
pleura. Empiema ialah keadaan terkumpulnya nanah (pus) di dalam rongga
pleura dapat setempat atau mengisi seluruh rongga pleura. Empiema yang
terjadi di rongga pleura dikenal dengan nama empiema toraks .1
Hippocrates sudah mengenalnya sejak 2.400 tahun yang lalu dan dialah
yang petama kali melakukan torakosintesis dan drainase pada pleural
empiema, kemudian oleh Graham dan kawan-kawannya dari suatu komisi
empiema waktu perang dunia satu diberikan cara-cara perawatan dan
pengobatan yang dianut sampai sekarang. Walaupun cara penatalaksanaan
empiema di berbagai rumah sakit beraneka ragam, namun tindakan standar
masih tetap dieprtahankan2. Penyakit ini dapat disebabkan oleh trauma pada
dada (sekitar 1-5% kasus mendorong ke arah empiema) dam pecahnya abses
dari paru ke dalam rongga pleura. Empiema mempunyai tingkat kematian yang
cukup tinggi, biasanya akibat dari kegagalan bernapas dan sepsis. Dengan
ditemukannya antibiotik yang ampuh, maka angka prevalensi dan mortalitas
empiema mula-mula menurun, akan tetapi pada tahun-tahun terakhir oleh
karena perubahan jenis kuman penyebab dan resistensi terhadap antibiotik,
morbiditas dan mortalitas empiema tampak meningkat 3
Insidensi infeksi pleural mulai berubah pada awal abad ke 20. Pada zaman
preantibiotik, empiema merupakan komplikasi dari kasus pneumonia sebesar
5%, tapi setelah adanya perkembangan tentang antibiotik (sekitar tahun 1940)
angka tersebut menurun menjadi 2%. Pada penelitian selama empat dekade,
Weese et al., menemukan insidensi empiema sebesar 79 kasus tiap 100.000
pada zaman preantibiotik, rata-rata insidensi ini menurun menjadi 52 kasus tiap
100.000 pada tahun 1947-1948 4

Untuk memahami dinamika insidensi empiema, diperlukan pemahaman


yang kompleks mengenai mikrobiologi infeksi pleura. Prevalensi dari
mikroorganisme penyebab, masing-masing berbeda tergantung dari sumber
infeksi (community vs. Hospital-acquired empyema), usia dan karakteristik
host (immunocompetent vs. Immunocompromised patients). Sekitar 40% kasus
empiema, mikroorganisme penyebab tidak dapat diisolasi lewat kultur.4
Penyakit empiema masih merupakan masalah penting, meskipun ada
perbaikan teknik pembedahan dan penggunaan antibiotik baru yang lebih
efektif. Empiema dapat terjadi sekunder akibat infeksi di tempat lain. Untuk itu
perlu dilakukan pengobatan yang adekuat terhadap semua penyakit yang dapat
menimbulkan penyulit pada empiema.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Paru
Paru-paru adalah organ penting dari respirasi, jumlahnya ada dua,
terletak di samping kanan dan kiri mediastinum, dan terpisah satu sama lain
oleh jantung dan organ lainnya dalam mediastinum. Paru-paru memiliki

area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk pertukaran udara

Karakteristik paru-paru yaitu berpori, tekstur kenyal ringan; mengapung di


air, dan sangat elastis. Permukaan paru-paru halus, bersinar, dan
membentuk beberapa daerah polihedral, yang menunjukkan lobulus organ:
masing-masing daerah dibatasi oleh garis-garis yang lebih ringan (fisura).
Paru kanan dibagi oleh fisura transversa dan oblik menjadi tiga lobus: atas,
tengah, dan bawah. Paru kiri memiliki fisura oblik dan dua lobus.5

Gambar 2.1. Anatomi paru


Sumber : Sobotta: Atlas Anatomi Manusia (2013)

Setiap paru memiliki bentuk kerucut yang terdiri dari bagian


puncak (apeks), dasar (basis), tiga perbatasan, dan dua permukaan.
Puncak (apeks pulmonis) memiliki permukaan halus dan tumpul. Puncak
apeks menonjol ke atas dalam leher sekitar 2,5 cm di atas klavikula. Dasar
(basis pulmonis) memiliki permukaan luas, konkaf, dan terletak di atas
diafragma, yang memisahkan paru-paru kanan dari lobus kanan hati, dan
paru-paru kiri dari lobus kiri hati, lambung, dan limpa. Karena diafragma
sebelah kanan lebih tinggi daripada di sisi kiri, kecekungan dasar paru
kanan lebih dalam dari yang di sebelah kiri. Basis pulmonalis paru turun
selama inspirasi dan naik selama ekspirasi.6
Permukaan mediastinal adalah permukaan medial yang cekung.
Pada permukaan mediastinal terdapat dari hilus pulmonis, yaitu suatu
cekungan dimana bronkus, pembuluh darah, dan saraf yang membentuk
radiks pulmonalis masuk dan keluar paru. Ligamentum pulmonal adalah
lipatan ganda yang menghubungkan kedua lapisan pleura pada hilus paru.
Ruang diafragma (base) tergantung dengan permukaan cembung
diafragma dimana di sebelah kanan lebih cekung karena adanya organ
hati.6

2.1.1. Pleura
Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thoraks,
paru juga dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa
bangunan embriologi dari coelom extra-embryonal yakni pleura. Pleura
sendiri dibagi menjadi 3 yakni pleura parietal, pleura visceral dan pleura
bagian penghubung. Pleura visceral adalah pleura yang menempel erat
dengan substansi paru itu sendiri. Sementara pleura parietal adalah
lapisan pleura yang paling luar dan tidak menempel langsung dengan
paru. Pelura bagian penghubung yakni pleura yang melapisi radiks
pulmonis, pleura ini merupakan pelura yang menghubungkan pleura

parietal dan pleura visceral.7

Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni


pleura diafragmatika, pelura mediastinalis, pleura sternocostalis dan
cupula pleura. Pleura diafragmatika yakni pleura parietal yang
menghadap ke diafragma. Pleura mediastinalis merupakan pleura yang
menghadap ke mediastinum thoraks, pleura sternocostalis adalah pleura
yang berhadapan dengan costa dan sternum. Sementara cupula pleura

adalah pleura yang melewati apertura thoracis superior.7 Pada proses

fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal akan menyerap cairan pleura

melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam aliran limfe pleura. 8

Di antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah


ruangan yang disebut cavum pleura. Ruangan ini memiliki peran yang
sangat penting pada proses respirasi yakni mengembang dan
mengempisnya paru, dikarenakan pada cavum pleura memiliki tekanan
negatif yang akan tarik menarik, di mana ketika diafragma dan dinding
dada mengembang maka paru akan ikut tertarik mengembang begitu
juga sebaliknya. Normalnya ruangan ini hanya berisi sedikit cairan

serous untuk melumasi dinding dalam pleura.7,8


2.2. EMPYEMA
2.2.1 Defenisi
Empiema difenisikan sebagai suatu infeksi pada ruang pleura yang
berhubungan dengan pembentukan cairan yang kental dan purulen baik
terlokalisasi atau bebas dalam ruang pleura yang disebabkan karena
adanya dead space, media biakan pada cairan pleura dan inokulasi bakteri.
Empyema adalah suatu keadaan dimana nanah dan cairan dari jaringan
yang terinfeksi terkumpul di suatu rongga tubuh. Kata ini berasal dari
bahasa Yunani “ empyein “ yang artinya menghasilkan nanah (supurasi).
Empiema adalah akumulasi pus diantara paru dan membran yang
menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru
terinfeksi. Pus ini berisi sel-sel darah putih yang berperan untuk melawan
agen infeksi (sel-sel polimorfonuklear) dan juga berisi protein darah yang
berperan dalam pembekuan (fibrin). Ketika pus terkumpul dalam ruang
pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada paru sehingga pernapasan
menjadi sulit dan terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya perjalanan
penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan memisahkan pleura menjadi
kantong-kantong (lokulasi). Pembentukan jaringan parut dapat membuat
sebagian paru tertarik dan akhirnya mengakibatkan kerusakan yang
permanen 4

2.1.2 Etiologi
Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab empiema yang
paling sering ditemukan dalam isolasi mikrobilogi, selebihnya adalah
bakteri gram negatif. Dring ditemukannya bakteri gram negatif pada biakan
terjadi diantaranya karena tingginya insidensi resisten karena pemberian
antibiotik pada fase awal pneumonia. penelitian yang dilakukan Yu Chen
dkk pada pasien efusi pleura dengan empiema didapatkan Klebsiella
pneumoniae merupakan penyebab terbanyak9. Penyebab terjadinya
empiema sendiri terbagi menjadi :
1) Infeksi yang berasal dari dalam paru
a. Pneumonia
b. Abses paru
c. Bronkiektasis
d. TBC paru
e. Aktinomikosis paru
f. Fistel bronko-pleura
2) Infeksi yang berasal dari luar paru
a. Trauma thoraks
b. Pembedahan thorax
c. Torakosintesis pada pleura
d. Sufrenik abses
e. Amoebic liver abses 10

Bakteri penyebab :
1. Bakteri gram negatif (P. aeruginosa, Klebsiella, Bacteroides, E. colli,
P. mirabilis ) 20 – 30 %
2. S. aureus 25 – 35 %
3. S. pyogenes 5 – 15 %
4. Bakteri anaerob 30 – 70 %
5. Kultur (-) 3 – 30 %
6. Polimikroba 30 – 70 % 3
2.1.3 Epidemiologi
Hampir 90 % kasus empyema thoraks disebabkan oleh Stapylococus
aureus, dan kurang sering akibat Pneumokokus (terutama tipe 1 dan 3) dan
Haemophilus influenza. Insidens relative H. influenza telah menurun sejak
pengenalan vaksinasi HiB.
Di negara yang sudah maju incidence empyema thoraks pada saat
ini sudah sangat menurun, berkat pengobatan penyakit pneumonia/
bronchopneumonia dengan antibiotik secara adekuat. Namun di negara
yang sedang berkembang seperti Indonesia, insidens masih tinggi. Insidens
tertinggi terdapat pada masa bayi (infancy).
Di Amerika terjadi, lebih dari satu juta kasus terjadi, dari laporan
rutin yang dipublikasikan oleh Starge and Sahr (1999) tentang penyebab
infeksi pluera, 70% kasus terjadi sebagai parapneumonic effusion murni, 5-
10% sebagai parapneumoic effusion sederhana dengan komplikasi, sekitar
5% terjadi akibat trauma dada
Di Indonesia, diantara 2.192 penderita yang dirawat oleh karena
berbagai macam penyakit paru di bagian penyakit paru RS. Dr. Soetomo/FK
Universitas Airlangga Surabaya sejak tanggal 1 Januari 1973 - 31 Desember
1975 terdapat 74 penderita empyema thorasis (3,4%). Dari kasus tersebut
terdapat 57 penderia pria (77%) dan 17 penderita wanita (23%) yang berarti
ratio pria dan wanita adalah 3,4 :1 9

2.1.4 Klasifikasi
Empiema dibagi menjadi tiga fase :
1. Stadium I disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi
pada hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan pleura namun
masih sedikit. Cairan yang dihasilkan mengandung elemen seluler yang
kebanyakan terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi selama 24 – 72 jam
dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura
mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang
rendah dan enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa
dan pH yang normal, drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat
mempercepat perbaikan.
2. Stadium II disebut juga stadium fibropurulen atau stadium transisional
yang dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan
bertambahnya kekentalan dan kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi
banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri dan debris seluler. Akumulasi
protein dan fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang
membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini
berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan LDH
meningkat. Stadium ini berakhir setelah 7 – 10 hari dan sering
membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan
pemasangan tube.
3. Stadium III disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi
pembentukan kulit fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan
yang mencegah ekspansi pleura dan membentuk lokulasi intrapleura
yang menghalangi jalannya tuba torakostomi untuk drainase. Kulit pleura
yang kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan hasil dari
proliferasi fibroblas. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi
pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 – 4
minggu setelah gejala awal .4

2.1.5 PATOGENESIS
Terjadinya empyema thoraks dapat melalui tiga jalan4 :

1. Sebagai komplikasi penyakit pneumonia atau bronchopneumonia dan


abscessus pulmonum, oleh karena kuman menjalar per continuitatum dan
menembus pleura visceralis
2. Secara hematogen , kuman dari focus lain sampai di pleura visceralis
3. Infeksi dari luar dinding thorax yang menjalar ke dalam rongga pleura,
misalnya pada trauma thoracis, abses dinding thorax.
Terjadinya empyema akibat invasi basil piogenik ke pleura, timbul
peradangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous dengan
banyak sel-sel PMN baik yang hidup ataupun mati dan meningkatnya kadar
protein, maka cairan menjadi keruh dan kental. Adanya endapan-endapan
fibrin akan membentuk kantong-kantong yang melokalisasi nanah tersebut.
Apabila nanah menembus bronkus timbul fistel bronko pleura, atau
menembus dinding thoraks dan keluar melalui kulit disebut empyema
nasessitatis. Stadium ini masih disebut empyema akut yang lama-lama akan
menjadi kronis (batas tak jelas).
Biasanya empyema merupakan suatu proses luas, yang terdiri atas
serangkaian daerah berkotak-kotak yang melibatkan sebagian besar dari satu
atau kedua rongga pleura. Dapat pula terjadi perubahan pleura parietal. Jika
nanah yang tertimbun tersebut tidak disalurkan keluar, maka akan menembus
dinding dada ke dalam parenkim paru-paru dan menimbulkan fistula.
Piopneumothoraks dapat pula menembus ke dalam rongga perut.
Kantung-kantung nanah yang terkotak-kotak akhirnya berkembang menjadi
rongga-rongga abses berdinding tebal, atau dengan terjadinya
pengorganisasian eksudat maka paru-paru dapat menjadi kolaps serta
dikelilingi oleh sampul tebal yang tidak elastis .
2.1.6 Manifestasi Klinis

Tanda-tanda gejala awal terutama pada empyema thoraks adalah tanda


dan gejala pneumonia bacteria. Penderita yang diobati dengan tidak
memadai atau dengan antibiotik yang tidak tepat dapat mempunyai interval
beberapa hari antara fase pneumonia klinik dan bukti adanya empyema.
Kebanyakan penderita menderita demam. demamnya remitten.
takikardi, dyspneu, sianosis, batuk-batuk. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan tanda-tanda seperti pleural effusion umumnya. Bentuk thoraks
asimetrik, bagian yang sakit tampak lebih menonjol, pergerakan nafas pada
sisi yang sakit tertinggal, perkusi pekak, jantung dan mediastinum terdorong
kearah yang sehat, bila nanahnya cukup banyak sel iga pada sisi yang sakit
melebar, bising nafas pada bagian yang sakit melemah sampai hilang.
Pemeriksaan darah tepi menunjukkan leukositosis dan pergeseran ke kiri
seperti pada infeksi akut umumnya.

Empiema dibagi menjadi dua stadium, yaitu :

1. Empiema Akut
Terjadi sekunder akibat infeksi tempat lain, bukan primer dari
pleura. Pada permulaan, gejala-gejalanya mirip dengan pneumonia,
yaitu panas tinggi dan nyeri pada dada pleuritik. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura. Bila
stadium ini dibiarkan sampai beberapa minggu maka akan timbul
toksemia, anemia dan clubbing finger. Jika nanah tidak segera
dikeluarkan akan timbul fistel bronkopleura. Adanya fistel ditandai
dengan batuk yang makin produktif, bercampur nanah dan darah
masif, serta kadang-kadang bisa timbul sufokasi (mati lemas) 1
Pada kasus empiema karena pneumotoraks pneumonia, timbulnya
cairan adalah setelah keadaan pneumonianya membaik. Sebaliknya
pada Streptococcus pneumoniae, empiema timbul sewaktu masih
akut. Pneumonia karena basil gram negatif seperti Escherichia coli
atau Bakterioides sering kali menimbulkan empiema.4
Empiema Kronis
Batas yang tegas antara empiema akut dan kronis sukar ditentukan.
Disebut kronis jika empiema berlangsung selama lebih dari tiga bulan.
Penderita mengeluh badannya terasa lemas, kesehatan makin
menurun, pucat, clubbing finger, dada datar dan adanya tanda-tanda
cairan pleura. Bila terjadi fibrotoraks, trakea dan jantung akan tertarik
ke sisi yang sakit 9

2.1.7 Diagnostik
1. Anamnesa
a. Demam dan keluar keringat malam
b. Nyeri pleura
c. Dispnea
d. Anoreksia dan penurunan berat badan 1

2. Pemeriksaan Fisik
a. Pada inspeksi, sisi yang sakit lebih cembung, tertinggal pada
pernapasan
b. Pada palpasi ditemukan penurunan fremitus
c. Pada perkusi ditemukan suara flatness (redup)
d. Pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas
e. Mediastinum terdorong ke sisi yang sehat
f. Pada empiema yang kronis hemitoraks yang sakit mungkin sudah
mengecil karena terbentuknya schwarte.4

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi
a. Foto toraks 9
Pada pasien empiema, aliran bebas cairan pleura terkumpul di
bagian tertentu dan cavum pleura dan mengaburkan sudut
kostofrenikus. Jumlah cairan pleura yang menyebabkan penumpulan
sudut kostofrenikus pada foto toraks lateral sekitar 75 ml. Pada foto
toraks PA jumlah cairan yang menyebabkan penumpulan sudut
kostofrenikus sekitar 200 ml.
Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan lateral
mempunyai arti penting untuk diagnosis empiema. Pasien yang difoto
dengan posisi bardiri, cairan pleura bebas akan terakumulasi di bagian
terendah hemitoraks dan sudut kostofrenikus. Foto toraks dengan
diafragma normal tetapi tampak gambaran berkantong yang terlokalisir
sebaiknya juga diperiksa ultrasonografi (USG) toraks atau computed
tomograpgy (CT scan), terlebih bila terlihat gambaran efusi.
Selanjutnya dilakukan torakosintesis, cairan yang didapat diperiksa
warna, purulensi, viskositas, bau dan analisis cairan pleura. Cairan
pleura berupa transudat tidak dilakukan pemeriksaan lebih lanjut 11

Foto thorax PA laki-laki usia 50 tahun yang selama 2 minggu


telah mendapatkan pengobatan pneumonia. Pasien mengeluh
demam persisten dan nyeri dada. Gambaran opasitas patchy
bilateral pada parenkim paru menunjukkan adanya pneumonia.
Sudut kostofrenikus kiri yang tumpul menunjukkan adanya efusi
pleura kiri.11
Foto thorax pasien empiema thorax tanpa abses paru (Huang-
Che, et al., 2010)

Foto thorax pasien empiema dengan abses paru. 12


1. Terdapat gambaran opasitas yang menunjukkan cairan
dengan atau tanpa kelainan paru
2. Bila tampak air fluid level berarti disitu terdapat terdapat
juga udara. Adanya udara disebabkan oleh :
 Udara masuk waktu dilakukan torasentesis
 Udara masuk melalui fistel bronkopleura
 Ada basil-basil pembentuk gas misalnya Clostridium
welchii
 Bila terjadi fibrosis, trachea atau mediastinum tertarik ke sisi
yang sakit dan tampak penebalan pleura.
 Kantong empiema dapat terbatas di satu tempat.13
b. Bronkoskopi
Dilakukan pada keadaan seperti 13 :
1) Untuk menentukan tumor atau benda asing di intrabronkial
2) Untuk menentukan fistel bronkopleura, dibuktikan dengan
penyuntikkan beberapa methylen blue ke dalam rongga pleura,
sehingga dapat dilihat dari lobus mana yang sekretnya berwarna
biru.

c. Computed Tomography 9
CT-scan digunakan untuk membedakan kelainan parenkim
terhadap pleura, mengevaluasi kelainan parenkim, menentukan
lokulasi, mengevaluasi permukaan pleura dan membantu dalam
penentuan terapi. Tidak semua penderita efusi parapneumonia dengan
komplikasi memerlukan pemeriksaan CT-scan toraks, tetapi berguna
pada penderita efusi komplikasi dengan lokulasi untuk pertimbangan
terapi, yang akan menurunkan morbiditas, mortilitas maupun lamanya
rawat tinggal 4. Tergantung pada manajemen klinis yang diharapkan,
pasien dapat menjalani pencitraan dengan atau tanpa bahan kontras
intravena. Jika penyadapan efusi pleura klinis yang signifikan secara
klinis diindikasikan, media kontras intravena tidak diperlukan untuk
mengevaluasi keberadaan dan lokasi cairan pleura.
Yang khas adalah empiema lenticuler. CT-scan dapat
menunjukkan efusi pleura atipikal sepanjang mediastinum,
pleura yang menebal, loculations dalam celah, septa atau
gelombang gas dalam rongga pleura.
CT-scan Toraks pasien dengan Empiema 4

Chest x-ray menunjukkan adanya atelektasis pulmo, empiema


masif yang dikelilingi oleh kalsifikasi dan masa pada bagian
bawah dinding empiema, termasuk semua lapisan dinding dada
anterolateral. Chest x-ray menunjukkan adanya bayangan masif
pada bagian bawah kanan thorax sampai dinding dada. Masa
berdiameter 3 cm.11
Kontras computed tomography aksial (CT-scan) pada tingkat
pembuluh darah paru inferior, pasien adalah seorang pria
berusia 50-an yang memiliki riwayat 2 minggu pneumonia
diobati secara parsial. Gambar menunjukkan cairan
terlokalisasi dalam fisura utama kiri, pseudotumor (tanah
panah). Gelembung gas muncul tergantung dari cairan pleura
(tanda panah) .11

d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI jarang digunakan untuk melihat gambaran efusi pleura
(tingkat kepercayaan dalam diagnosis empiema moderat). MRI
mungkin berguna untuk mengevaluasi penebalan membran
pleura ketika pemberian kontras merupakan kontraindikasi.11

e. Ultrasonography (USG)
USG merupakan pemeriksaan tambahan yang penting dalam
mendefinisikan karakteristik efusi pleura dan dapat pula untuk
mendeteksi efusi kecil. USG juga menyediakan informasi
tentang viskositas cairan, adanya septa dan sifat efusi. Diagnosis
empiema tidak hanya berdasarkan USG.11
f. Biopsi Pleura
Biopsy pleura dapat dilakukan bersamaan dengan pungsi.
Jaringan yang didapat dikirimkan untuk pemeriksaan patologi
anatomi dan mikroskopis. Pada pemeriksaan patologi anatomi
didapatkan gambaran endapan sentrifugasi padat dengan sel-sel
radang yang terdiri dari leukosit, PMN dan histiosit, kesan pleuritis
supuratif.

Gambar 2. Patologi anatomi pada empyema

1.1.8 Diagnosa Banding


1 Efusi Pleura
adalah adanya cairan patalogis dalam rongga pleura.
biasanya disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. biasanya
pasien dating dengan nyeri dada pada sisi yang sakit, bila sudah
berlanjut, karena nyeri ini pasien tak dapat miring lagi ke sisi
yang sakit. pada pemeriksaan radiologis tampak suatu
kesuraman yang menutupi gambaran paru normal yang dimulai
dari diaphragma. hasil pemeriksaan pleura akan dapat
memberikan diagnosis pasti
Pada foto toraks ini, cairan dalam rongga pleura tampak
berupa perselubungan semiopak, homogen, menutupi paru
bawah yang biasanya relatif radioopak dengan permukaan atas
cekung, berjalan dari lateral atas ke medial bawah (meniscus
sign). Penumpukan cairan ini menyebabkan sinus kostofrenikus
menumpul. Karena cairan mengisi hemithorax maka paru akan
terdorong ke arah sentral/hilus, dan kadang-kadang mendorong
mediastinum ke arah kontra lateral. 14

2. schwarte
adalah gumpalan fibrin yang melekatkan pleura visceralis dan pleura
parietalis setempat. schwarte ini tentunya akan menurunkan kemampuan nafas
penderita karena gangguan retraksi, maka akan timbul deformitas dan kemunduran
faal paru akan lebih parah lagi.
1.1.9 PENATALAKSANAAN

Prinsip penanggulangan empyema thoraks adalah :

a. Pengosongan rongga pleura


Prinsip ini seperti yang dilakukan pada abses dengan tujuan
mencegah efek toksik dengan cara membersihkan rongga pleura dari nanah
dan jaringan-jaringan yang mati.
Pengosongan pleura dilakukan dengan cara : (3,6)
 Closed drainage = tube thoracostomy = water sealed drainage (WSD)
dengan indikasi:
 Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi
 Nanah terus terbentuk setelah 2 minggu
 Terjadinya piopneumothoraks
Pengeluaran nanah dengan cara WSD dapat dibantu dengan melakukan
penghisapan bertekanan negative sebesar 10-20 cm H2O jika penghisapan
telah berjalan 3-4 minggu, tetaapi tidak menunjukkan kemajuan, maka harus
ditempuh dengan cara lain, seperti pada empyema thoraks kronis.

 Open drainage
Karena drainase ini menggunakan kateter thoraks yang besar, maka
diperlukan pemotongan tulang iga. Drainase terbuka ini dikerjakan pada
empyema menahun karena pengobatan yang diberikan terlambat,
pengobatan tidak adekuat atau mungkin sebab lain, yaitu drainase kurang
bersih.

gambar 3.a open window thoracostomy: claggette procedure


Gambar open window thoracostomy : eloesser flap

b. Pemberian antibiotik yang sesuai


Mengingat kematian utama empyema karena terjadinya sepsis,
maka antibiotik memegang peranan penting. Antibiotik harus segera
diberikan begitu diagnosis ditegakkan dan dosis harus adekuat. Pemilihan
antibiotik didasarkan pada hasil pengecatan Gram dari hapusan nanah.
Pengobatan selanjutnya bergantung dari hasil kultur dan uji kepekaan.(3,6)
Empyema Stafiloccocus pada bayi paling baik diobati dengan cara
paranteral atau bila dapat diterapkan dengan penisilin G atau vankomisin.
Infeksi Pneumoccocus berespon terhadap penisilin, seftriakson atau
sefotaksim, tetapi mungkin perlu vankomisin jika terjadi resistensi terhadap
penisilin. H. influenza berespon terhadap sefotaksim, seftriakson, ampisilin
atau klorampenicol.

Akhir-akhir ini penggunaan obat-obatan fibrolitik seperti


streptokinase , urokinase secara intrapleural juga dapat digunakan.tetapi
penggunaan fibrinolitik ini masih dalam penelitian. fibrinolitik bekerja
menghancurkan fibrin yang melekat di permukaan pleura sehingga akan
mempermudah drainase dari cairan pleura.
Kategori Obat : Antibiotik

Nama Obat Penisilin G (pfizerpen)


Golongan Interferon
Dosis 1-4 mU/4-6j
Kontraindikasi Hipersensitifitas
Perhatian Penggunaan pada penyembuhan
fungsi ginjal
Keterangan Interaksi dengan probenecid dapat
meningkatkan efektivitas obat,
sedangkan dengan tetracycline dapat
menurunkan efektivitas obat

Nama Obat Vankomisin (vankokin,vancoled,lyphocin)


Golongan Dapat bekerja pada kuman gram positif dan
spesies Enterococcus
Dosis 30 mg/kgbb/hari

Kontraindikasi Hipersensitifitas
Efek Samping Eritema, flushing, reaksi anafilaktik
Keterangan Perlu diperhatikan penggunaan pada gagal
ginjal dan neutropenia
c. Penutupan rongga empyema

Pada empyema menahun, seringkali rongga empyema tidak


menutup karena penebalan dan kekakuan pleura. Bila hal ini terjadi, maka
dilakukan pembedahan, yaitu :

 Dekortikasi
Tindakan ini termasuk operasi besar yaitu : mengelupas jaringan
pleura pleura yang menebal. Indikasi dekortikasi ialah :
 Drainase tidak berjalan baik, karena kantung-kantung yang berisi
nanah.
 Letak empyema sukar dicapai oleh drain
 Empyema totalis yang mengalami organisasi pada pleura visceralis
(peel sangat
tebal)

gambar 4. dekortikasi

 Torakoplasti
Tindakan ini dilakukan apabila empyema tidak dapat sembuh karena
adanya fistel bronkopleura atau tidak mungkin dilakukan dekortikasi. Pada
kasus ini pembedahan dilakukan dengan memotong iga subperiosteal
dengan tujuan supaya dining thoraks dapat jatuh ke dalam rongga pleura
akibat tekanan udara luar.15
gambar.5 torakoplasti

d. Pengobatan kausal
Pengobatan kausal ditujukan pada penyakit-penyakit yang
menyebabkan terjadinya empyema , misalnya abses subfrenik. Apabila
dijumpai abses subfrenik, maka harus dilakukan drainase subdiafragmatika.
Selain itu masih perlu diberikan pengobatan spesifik, untuk amebiasis,
tuberculosis, aktinomikosis dan sebagainya.15

e. Pengobatan tambahan
Pengobatan ini meliputi perbaikan keadaan umum serta fisioterapi
untuk membebaskan jalan nafas dari sekret (nanah), latihan gerakan untuk
mengalami cacat tubuh (deformitas).

Penanggulangan empyema tergantung dari fase empyema :


fase I (fase eksudat)
Dilakukan drainase tertutup (WSD) dan dengan WSD dapat dicapai tujuan
diagnostic terapi dan prevensi, diharapkan dengan pengeluaran cairan tersebut
dapat dicapai pengembangan paru yang sempurna.
fase II (fase fibropurulen)
Pada fase ini penanggulangan harus lebih agresif lagi yaitu dilakukan
drainase terbuka (reseksi iga “open window”). Dengan cara ini nanah yanga ada
dapat dikeluarkan dan perawatan luka dapat dipertahankan. Drainase terbuka juga
bertujuan untuk menunggu keadaan pasien lebih baik dan proses infeksi lebih
tenang sehingga intervensi bedah yang lebih besar dapat dilakukan.
Pada fase II ini VATS surgery sangat bermamfaat, dengan cara ini dapat
dilakukan empiemektomi dan atau dekortikasi.

Fase III (fase organisasi)


Dilakukan intervensi bedah berupa dekortikasi agar paru bebas
mengembang atau dilakukan obliterasi rongga empyema dengan cara dinding dada
dikolapskan (torakoplasti) dengan mengangkat iga-iga sesuai dengan besarnya
rongga empyema, dapat juga rongga empyema ditutup dengan periosteum tulang
iga bagian dalam dan otot interkostans (air plombage), dan ditutup dengan otot atau
omentum (muscle plombage atau omental plombage).16

gambar 6. air plombage


Pada empyema tuberkulosa, toraktomi dilakukan bila keadaan sudah tidak
didapat kuman baik pada sputum maupun cairan pleura dimana bakteri tahan asam
(BTA) pada sputum dan cairan pleura sudah negative. Untuk mencapai sputum dan
cairan pleura negative diberikan obat anti TB yang masih sensitive secara teratur
dan untuk mencapai cairan pleura BTA negative dapat dilakukan reseksi iga
(window and qauzing) bila keadaan paru sangat rusak (menjadi sarang kuman TB)
dilakukan reseksi paru (pneumonektomi atau lobektomi).

2.1.10. Komplikasi
1. Sepsis
Kondisi ini terjadi akibat system kekebalan tubuh bekerja secara
menerus melawan infeksi.selama proses ini sejumlah besar bahan kimia
dilepaskan kedalam darah sehingga memicu peradangan yang semakin luas
dan dapat menyebabkan kerusakan organ.Gejala sepsis meliputi demam
tinggi, menggigil,napas cepat, dan tekanan darah rendah. 5
3) Pneumothorax
Gejala dapat menyebabkan dada secara tiba-tiba dan napas
pendek,Kondisi ini dapat semakin memburuk ketika batuk atau
bernafas.

1.1.10 Prognosis

Mortalitas bergantung pada umur , penyakit penyerta, penyakit dasarnya


dan pengobatan yang adekuat. Angka kematin meningkat pada usia tua atau
penyakit dasar yang berat dank arena terlambat dalam pemberian obat.
Faktor prognosis buruk pada empiema apabila :
1. Didapatkan nanah di rongga pleura
2. Pewarnaan gram cairan pleura positif
3. Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 40 mg/dl
4. Biakan cairan pleura positif
5. pH cairan pleura < 7, 0
6. Kadar LDH cairan pleura > 3 kali nilai normal serum (Rogayah,
2010).
Kematian pada empyema oleh Staphylococcus pada bayi dan anak kecil
masih tinggi. Hal ini disebabkan terutama oleh ganasnya Staphylococcus yang
dapat mengubah bronchopneumonia ringan menjadi empyema dalam beberapa jam
saja. Hal ini mungkin karena natural resistance bayi dan anak kecil umumnya masih
rendah. Pada penyembuhan biasanya tidak terdapat terdapat keluhan lagi walaupun
kadang-kadang masih terdapat perlengketan ringan yang dapat menghilang di
kemudian hari.13
BAB III

KESIMPULAN

1. Empiema adalah akumulasi pus diantara paru dan membran yang


menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru
terinfeksi.
2. keluhan atau gejala klinis Kebanyakan penderita menderita demam.
demamnya remitten. takikardi, dyspneu, sianosis, batuk-batuk.
3. Dalam menilai derajat terjadinya empyema, ada beberapa klasifikasi dibagi
berdasarkana stadium.
4. penatalaksana empyema tergantung dari fase empyemanya.
5. Terapi terdiri dari pengosongan rongga pleura,pemberian antibiotik yg
sesuai,penutupan rongga empyema,pengobatan kausal,dan pengobatan
tambahan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nadel, Murray. 2010. Text Book of Respiratory Medicine Third Edition Volume
One. Philadelphia, 985-1041.

2. Rosenbluth DB. 2012. Pleural Effusion : Nonmalignant and Malignant. In :


Fishman’s of Pulmonary Disease and Disorders. Editors : Fishman AP, Elias JA, et
al. 3rd. Ed. McGraw-Hill Companies, 487-508

3. Palgunadimargono, Benjamin dkk. 2008. Pedoman Diagnosa dan Terapi


BAG/SMF Ilmu Penyakit Paru edisi 3. Surabaya

4. Rogayah, Rita. 2010. Empiema. Jakarta : Dept. Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FKUI.

5. Akinbami, L. J., & Liu, X. 2011. Chronic Obstructive Pulmonary Disease Among
Adults Aged 18 and Over in the United State, 1998-2009. U.S Department of Health
and Human Service. CDC Centers for Disease Control and Prevention.

6. Snell, R. S. 2012 Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem . Jakarta : Penerbit Buku


Kedokteran EGC

7. S. Susan. Gray’s Anatomy 40th Edition. London: Churchill Livingstone; 2009.

8. Sherwood L. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem, Ed. 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2011.

9. Yu Chen, Kuan MD, et al. 2013. Emphasis on Klebsiella Pneumoniae in Patients


with Diabetes Mellitus. American College of Chest Physician
10. Fauci , Anthony et al. 2009. Harrison’s Manual of Medicine 17th Edition. New
York : The McGraw-Hill Company.

11. Marc Tobler, Barry HG, et al. 2013. Empyema Imaging. Medscape. Diakses tanggal
05 Oktober 2016.

12. Huang-Che H, Heng-Chung C, et al. 2010. Lung Absess Predict the Surgical
Outcome in Patient with Pleural Empyema Journal of Cardiothoracic Surgecy

13. Alsagaf, M. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga


University Press.

14. Malucka, Rusdy Ghazali. 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka


Cendikia Press

15. Bartlett JG. Anaerobic bacterial infections of the lung. Chest 1987 Jun; 91(6): 901-
9.

16. Feller-Kopman D, Berkowitz D, Boiselle P, Ernst A. Large-volume thoracentesis


and the risk of reexpansion pulmonary edema. Ann Thorac Surg [Internet]. 2007
Nov [cited 2014 Jan 22];84(5):1656–61. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17954079.

Anda mungkin juga menyukai