Anda di halaman 1dari 73

KEHENINGAN

ATMA TATTWA / KESADARAN ATMA

Rumah Dharma – Hindu Indonesia


Dalam uraian ajaran Hindu Dharma kuno di tanah nusantara, selalu
dapat kita temukan pemahaman mengenai keheningan sebagai Atma Tattwa
[kenyataan sejati semua mahluk, yaitu Atma]. Atma Tattwa adalah keheningan
yang disebut sebagai Suwung, Sunia atau Embang. Ini tidak saja termuat dalam
lontar-lontar ajaran dharma, tapi juga disembunyikan sebagai ajaran rahasia
dalam simbolik-simbolik tattwa.

Pada puncak atau tingkat pelataran tertinggi dari Penataran Agung Pura
Besakih yang dibangun pada abad ke-8 Masehi disebut Sanghyang Embang
[yang mahasuci keheningan sempurna].

Selama lebih dari jangka waktu seribu tahun, Tahun Baru Saka
diselenggarakan dengan cara Nyepi [keheningan].

Di Tampaksiring pada abad ke-10 Masehi dibangun parahyangan suci


sebagai tempat para Raja Kerajaan Bali membina diri untuk mencapai moksha
yang diberi nama Parahyangan Suci Mangening [maha-hening].

Dalam lontar Dharma Sunia disebutkan bahwa kenyataan sejati


Sanghyang Shiwa adalah suwung [keheningan]. Manifestasi materi dari
Sanghyang Shiwa adalah alam semesta. Ringkasan alam semesta adalah
gunung. Ringkasan gunung adalah meru [palinggih meru]. Ringkasan meru
adalah manusia atau diri kita sendiri. Artinya manusia [bhuwana alit] adalah
ringkasan dari alam semesta [bhuwana agung] dan kenyataan sejati manusia
adalah suwung [keheningan].

Kenyataan sejati dari semua mahluk adalah Atma. Kenyataan sejati dari
Atma adalah keheningan. Di dalam keheningan, disanalah kenyataan sejati
Atma akan hadir kembali dengan sendirinya.
KEHENINGAN
Atma Tattwa / Kesadaran Atma

Ditulis oleh : I Nyoman Kurniawan


Peraga : Jro Tjampuhan
Fotografi : Ketut Eddie Dharmawan [Dudut Photography]

Rahina Kajeng Kliwon Pemelastali, 26 April 2015


Rumah Dharma – Hindu Indonesia
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN - Kesadaran Atma : Kenyataan Sejati Manusia

Ruas ke 1 : Menjaga Bibit Kekuatan Positif Di Dalam Diri


- Memilah Pergaulan
- Memilah Apa Yang Kita Masukkan Dalam Pikiran
- Menyeimbangkan Energi negatif Dengan Energi Positif
- Tidak Mengkonsumsi Makanan Atau Minuman Yang Melemahkan
Kesadaran

Ruas ke 2 : Memandang Setiap Hal Dan Setiap Kejadian Dari Sudut


Pandang Positif Dan Lembut
- Memandang Diri Sendiri Secara Positif Dan Lembut
- Memandang Orang Lain Secara Positif Dan Lembut
- Memandang Kehidupan Positif Dan Lembut

Ruas ke 3 : Melatih Diri Tidak Menyakiti


- Tidak Menyakiti Diri Sendiri
- Tidak Menyakiti Orang Lain Dan Mahluk Lain

Ruas ke 4 : Tekun Melakukan Kebaikan-Kebaikan


- Kebaikan Terdekat [Melaksanakan Swadharma]
- Kebaikan Kepada Semua

Ruas ke 5 : Melaksanakan Meditasi Non-Dualitas


- Latihan Meditasi Dalam Meditasi
- Praktek Meditasi Setiap Saat Dalam Dinamika Kehidupan
- Keheningan : Istirahat Dalam Kesadaran

PENUTUP - Marga Sunia : Jalan Hening


PENDAHULUAN
Kesadaran Atma : Kenyataan Sejati Manusia

Intisari terdalam semua mahluk adalah kesadaran Atma. Sayangnya,


ketidaktahuan [avidya] membuat nyaris semua mahluk mengidentikkan
dirinya dengan hal-hal tidak kekal seperti tubuh, pikiran dan perasaan.
Melalui pelaksanaan sadhana dharma kita sedang diajak meninggalkan tubuh,
pikiran dan perasaan, untuk kemudian berjumpa esensi dasar semua mahluk
berupa kesadaran Atma.

Kenyataan sejati manusia adalah kesadaran Atma. Ini berarti


sesungguhnya kita tidak pernah “mencapai” kesadaran Atma. Kita hanya perlu
menyadarinya kembali. Itu bukanlah sebuah pencapaian, sebab kita hanya
perlu melenyapkan penghalang-penghalangnya saja dan kesadaran Atma akan
hadir dengan sendirinya.

Kesadaran Atma laksana permata berkilau yang diselimuti lumpur dan


tanah. Permata itu selalu ada disana, tapi tidak disadari karena tertutup
lumpur dan tanah. Untuk menemukannya kita hanya perlu menyingkirkan
lumpur dan tanahnya. Sama dengan kita cukup hanya menyingkirkan
samskara [kesan-kesan pikiran atau pikiran konseptual] dan ahamkara [ego
atau ke-aku-an] yang sudah berumur sangat lama. Ketika lumpur dan
tanahnya disingkirkan permatanya kelihatan.

Tapi tidaklah mudah untuk melenyapkan penghalang-penghalangnya.


Tidak cukup hanya dengan meditasi saja, karena pikiran [manas] dan ego
[ahamkara] sangatlah sulit untuk dikuasai. Sehingga kita memerlukan sebuah
sistem sadhana sebagai jalan yoga yang menyeluruh. Artinya selain meditasi
kita juga memerlukan ruas-ruas landasan kesadaran yang menghasilkan dasar
kejernihan pikiran. Landasan seperti itu adalah sangat penting, karena akan
sulit membuat meditasi menjadi mendalam tanpa disertai dasar kejernihan
pikiran. Bermeditasi tanpa melaksanakan ruas-ruas landasan pada kehidupan
sehari-hari adalah mengabaikan bagian pokok dari jalan.

Dalam buku ini, akan dijelaskan tentang sistem sadhana berupa 4


[empat] landasan kesadaran sebagai praktek dalam kehidupan sehari-hari,
sebagai upaya mencapai kejernihan pikiran. Disertai 1 [satu] ruas praktek
meditasi sebagai titik pusat yang akan menyatukan dan memperdalam
semuanya, sekaligus sebagai jalan kesadaran Atma. Semuanya ke-5 [lima]
ruas ini saling berkait-kaitan, saling melengkapi dan saling menyempurnakan,
sebagai jalan kesadaran Atma.

Menjaga Bibit
Kekuatan Positif
Di Dalam Diri

Tekun Pandangan
Melakukan Meditasi Positif Dan
Kebaikan Lembut

Melatih Diri
Tidak Menyakiti

Hal ini adalah sebagaimana dalam ajaran suci Hindu Dharma terdapat
berbagai macam sistem sadhana sebagai jalan yoga. Misalnya Ashtanga Yoga
dalam Yoga Sutra, Dasa Yama Brata dan Dasa Niyama Brata dalam
Sarasamuscaya, Sadangga Yoga dalam Wrhaspati Tattwa dan Ganapati Tattwa,
dsb-nya. Semuanya secara sistematis mengarahkan sadhaka mencapai
kesempurnaan kesadaran Atma.

Dengan menyadari kembali kenyataan sejati Atma, kita akan memiliki


energi luar biasa untuk dapat menyelam ke dasar yang terdalam. Kesadaran
seperti ini memberikan kita kesempatan untuk memahami kenyataan diri
sendiri dan pengetahuan rahasia yang tertinggi, pengetahuan yang sudah ada
di dalam diri kita sejak awal yang tidak berawal. Serta mencapai kedamaian
pikiran tertinggi, sekaligus terbebas dari belenggu siklus samsara.
RUAS KE-1

Menjaga Bibit Kekuatan Positif Di Dalam Diri

Pagar terdepan untuk menjaga kesadaran bagi para sadhaka pemula,


adalah bagaimana dalam kehidupan sehari-hari kita menjaga bibit kekuatan
positif di dalam diri kita sendiri.

Secara pokok ada empat saja, yaitu bagaimana kita memilah pergaulan, apa
yang kita masukkan ke dalam pikiran kita, bagaimana upaya kita
menyeimbangkan energi negatif di dalam diri dengan kekuatan energi positif,
serta tidak mengkonsumsi makanan atau minuman yang melemahkan kesadaran.

1. MEMILAH PERGAULAN

Pertama, pilihlah pergaulan hanya dengan orang-orang yang mendukung


pertumbuhan kesadaran kita. Tidak untuk memvonis [menghakimi] mereka
sebagai negatif atau buruk, tapi semata untuk menjaga bibit kekuatan positif di
dalam diri kita.

Jagalah jarak dan berinteraksi seperlunya saja dengan orang-orang yang


tidak berada di jalan dharma, seperti teman-teman yang suka dugem, narkoba,
mabuk, kekerasan, berkelahi, judi, seks bebas, selingkuh, bergossip, menjelekkan
orang lain, hura-hura, konsumtif, dsb-nya.

Jagalah jarak dan berinteraksi seperlunya saja dengan orang-orang yang


fanatik atau kaku dalam ajaran agama, spiritual atau ideologi.

Jagalah jarak dan berinteraksi seperlunya saja dengan orang-orang yang


membawa kemerosotan pada wawasan dan kebijaksanaan kita. Misalnya orang-
orang yang sering membawa pikiran-pikiran negatif tentang masa lalu atau masa
depan, orang yang suka menghakimi [memvonis buruk] orang lain, dsb-nya.

Tidak untuk memvonis [menghakimi] mereka sebagai negatif atau buruk,


tapi semata untuk menjaga bibit kekuatan positif di dalam diri kita. Karena
lingkungan sangat membentuk kita. Pergaulan menentukan bagaimana diri kita
nantinya. Teman-teman di sekeliling kita akan memberi pengaruh besar pada
pertumbuhan kesadaran kita.

Selain itu, kelilingi diri kita dengan orang baik-baik [teman di jalan dharma],
yang bisa melihat adanya kebaikan-kebaikan di dalam diri kita dan tidak
menyimpan pandangan buruk tentang kita. Cara ini tidak saja menyembuhkan diri
kita sendiri, tapi juga menyembuhkan lingkungan.

Jangankan orang biasa seperti kita, bahkan orang-orang suci-pun juga


mengelilingi dirinya dengan keluarga dharma [keluarga spiritual]. Tanpa
penghakiman bahwa orang-orang tidak di jalur dharma itu buruk, tapi semata
dengan tujuan untuk menjaga bibit kekuatan positif di dalam diri.

2. MEMILAH APA YANG KITA MASUKKAN DALAM PIKIRAN

Kedua, hati-hatilah memasukkan berbagai hal ke dalam pikiran kita. Karena


apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, serta apa yang kita rasakan, semuanya
berpengaruh pada pertumbuhan kesadaran kita.
Sehingga hati-hati membaca berita, membaca koran, mendengarkan radio,
menonton tv, membaca buku, dsb-nya. Pilihlah bacaan, tontonan, serta
dengarkan, hanya yang baik, lembut dan menyejukkan saja. Jangan membaca
buku yang berisi ajaran agama atau ideologi yang fanatik. Jangan membaca berita
yang berisi pertikaian atau kebencian. Jangan menonton sinetron atau berita tv
yang berisi konflik, penipuan, perceraian, berita kriminal, korupsi atau gosip
infotainment. Jangan mendengarkan lagu-lagu atau berita yang bertema
perselingkuhan atau kebencian.

Karena hal-hal semacam itu membawa energi dari jiwa-jiwa yang gelisah.
Hindari segala bentuk hal-hal semacam itu, untuk menjaga bibit kekuatan positif
di dalam diri kita. Bacaan, tontonan, serta apa yang kita dengarkan menentukan
energi apa yang kita masukkan ke dalam pikiran kita. Sadar ataupun tidak sadar,
semuanya berpengaruh pada diri kita.

Apa yang kita masukkan ke dalam pikiran kita, akan memberikan pengaruh
pada pertumbuhan kesadaran kita. Sehingga belajarlah untuk selektif di dalam
memilih bacaan, tontonan, serta apa yang kita dengarkan. Pilihlah hanya apa yang
bisa membimbing kita menuju pemikiran serta kesadaran yang terang dan
universal. Misalnya yang berkaitan dengan kehidupan antar sesama mahluk yang
harmonis, saling tolong-menolong, rendah hati, kesadaran, belas kasih dan
kebaikan.

3. MENYEIMBANGKAN ENERGI NEGATIF DENGAN ENERGI POSITIF

Ketiga, lakukan upaya-upaya untuk menyeimbangkan kekuatan energi


negatif di dalam diri kita dengan kekuatan energi positif. Ada banyak ragam
caranya, yang caranya bisa kita pilih serta kita padu-padankan sesuai dengan
kondisi kita sendiri yang memungkinkan.

Cara yang praktis dan efektif adalah dengan melukat di parahyangan suci.
Karena air adalah penghantar terbaik bagi energi kosmis suci dari para Ista
Dewata dan alam semesta.

Dengan catatan asalkan memenuhi syarat dilakukan di parahyangan suci


yang sakral serta dilakukan dengan tata-cara yang tepat, sehingga melukat dapat
memberikan manfaat sangat besar secara spiritual, yaitu menyeimbangkan
kekuatan energi negatif di dalam diri [marah, sedih, takut, penyakit, dsb-nya]
dengan kekuatan energi positif, pemurnian diri, peningkatan kesadaran dan
pembersihan energi karma buruk.

Cara lain yang juga praktis dan efektif adalah dengan tekun melakukan
penjapaan mantra Ista Dewata. Kekuatan suci mantra Ista Dewata melalui
penjapaan mantra akan terserap masuk ke dalam diri kita. Yang memurnikan,
menyembuhkan dan menanamkan benih-benih kesadaran di dalam diri kita. Atau
bisa juga dilakukan dengan cara kita rajin sembahyang Panca Sembah tiga kali
sehari [Tri Sandhya].

Cara lainnya adalah dengan melakukan praktek yoga-asana. Manfaat yoga-


asana sangatlah banyak. Selain memberikan manfaat fisik berupa perbaikan
kesehatan yang meyakinkan, praktek yoga asana juga memberikan manfaat
secara mental, yaitu meringankan depresi, meningkatkan kebahagiaan,
meningkatkan kecerdasan dan meningkatkan daya ingat. Yang terpenting adalah
praktek yoga-asana membantu melancarkan dan menyeimbangkan sirkulasi
energi di dalam diri kita, serta membantu meningkatkan kekuatan energi positif di
dalam diri kita melalui masuknya energi prana yang segar.

4. TIDAK MENGKONSUMSI MAKANAN ATAU MINUMAN YANG


MELEMAHKAN KESADARAN

Keempat adalah, tidak mengkonsumsi makanan atau minuman yang


mengganggu kesadaran. Ini bisa memiliki dua arti. Arti pertama, seorang sadhaka
yang serius melatih diri dalam penembusan kesadaran Atma, akan mengerti
bahwa makanan dan minuman hanyalah penunjang kebugaran dan kelangsungan
hidup. Tidak lebih dan tidak kurang. Oleh karena itu ia tidak akan memilih-milih
dan menilai kelezatan makanan atau minuman, artinya memburu makanan atau
minuman ini karena enak dan tidak suka dengan makanan atau minuman itu
karena kurang enak.

Arti kedua yang lebih mendalam, karena makanan dan minuman adalah
penunjang kebugaran dan kelangsungan hidup, maka kita harus bijaksana dalam
memilih makanan dan minuman apa yang kita konsumsi. Makanan dan minuman
tentu saja hanya sebagian dari banyak faktor yang mengkondisikan kesadaran
kita. Tapi secara khusus mengkonsumsi minuman keras dan narkoba adalah yang
benar-benar harus dihindari. Karena tidak saja mengakibatkan tumpukan energi
yang tidak baik di dalam tubuh kita, tapi juga bisa mengakibatkan melemahnya
kesadaran. Ketika kesadaran melemah, konsentrasi dan perhatian akan menurun.
Ketika konsentrasi dan perhatian menurun, maka moralitas dan kebijaksanaan
akan sulit untuk dikembangkan.
RUAS KE-2

Memandang Setiap Hal Dan Setiap Kejadian Dari Sudut


Pandang Positif Dan Lembut

Munculnya dasar kebijaksanaan, kejernihan dan kedamaian di dalam diri


sesungguhnya hanya persoalan mengambil sudut pandang yang tepat. Setiap hal
dan setiap pengalaman dalam kehidupan ini dapat dipandang dengan cara apa
saja. Jika sudut pandang kita gelap dan keras, maka kesengsaraan dan kekacauan
yang akan muncul di dalam diri, sekaligus menjadikan kehidupan kita juga keras
dan kacau. Sebaliknya jika sudut pandang kita positif dan lembut, maka
kebijaksanaan, kejernihan dan kedamaian-lah yang muncul di dalam diri.

Setiap ada masalah, gangguan serta godaan, atau apa saja yang muncul
dalam perjalanan kehidupan kita, belajarlah untuk memandangnya dengan sudut
pandang positif dan lembut. Buanglah setiap sudut pandang yang gelap dan keras.

Secara pokok ada tiga saja, yaitu memandang diri sendiri secara positif dan
lembut, memandang orang lain secara positif dan lembut, serta memandang
perjalanan kehidupan secara positif dan lembut.

1. MEMANDANG DIRI SENDIRI SECARA POSITIF DAN LEMBUT

Pertama, belajar memandang diri sendiri sebagaimana adanya secara


positif dan lembut. Karena keresahan dan kegelisahan jiwa selalu berawal dari
ketidakpuasan atau kekecewaan kita akan diri kita sendiri. Ketidakpuasan atau
kekecewaan akan keadaan diri sendiri akan menimbulkan konflik di dalam diri.
Yang menghalangi pertumbuhan kesadaran kita. Sehingga jadilah diri sendiri
seperti apa adanya dengan damai dan bahagia.
Ketidakpuasan atau kekecewaan akan diri sendiri seringkali muncul dari
membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Yang menimbulkan salah satu ilusi
dalam kehidupan ini, yaitu ilusi akan adanya kehidupan yang enak, nyaman,
mudah, bebas dari masalah, atau bahkan sepenuhnya bahagia. Itu hanya ilusi
dalam pikiran kita saja. Sesungguhnya tidak pernah ada kehidupan seperti itu.
Walaupun menjadi orang cantik atau ganteng, orang cerdas, orang keren, orang
kaya, dihormati, dipercaya, dsb-nya, tetap saja perjalanan kehidupan tidak dapat
sepenuhnya enak, nyaman, mudah dan bebas dari masalah. Dibalik setiap
kelebihan atau kesuksesan pasti selalu ada sisi-sisi kesulitan dan kesengsaraan
dalam kehidupan. Semua orang di dunia ini punya kesengsaraan, kesulitan dan
masalahnya masing-masing.

Memandang kelebihan atau keberhasilan orang lain sebagai standar


perbandingan dengan diri sendiri, disebut dengan cara pandang persaingan.
Dampaknya adalah akan membuat kita tidak puas dan kecewa dengan diri sendiri,
atau dengan kata lain menimbulkan konflik pikiran, membuat kita berperang
dengan diri kita sendiri. Misalnya membuat kita merasa diri kurang cantik atau
ganteng, merasa kurang cerdas, merasa kurang keren, merasa tidak cukup kaya,
dsb-nya. Tanpa sadar di satu sisi kita akan kehilangan diri kita sendiri yang unik
dan berbeda dari orang lain, sekaligus di sisi lain kita pasti akan gagal menjadi
orang lain. Ini akan membuat jiwa kita terasa lelah, hampa atau terasing. Yang
merupakan awal dari banyak kemarahan dan kesengsaraan jiwa.

Ketidakpuasan atau kekecewaan akan diri sendiri juga dapat muncul karena
kita terlalu memikirkan pendapat orang lain. Sehingga kita mengukur diri kita
sendiri dengan ukuran orang lain. Sekali lagi, itu akan menimbulkan
ketidakpuasan atau kekecewaan akan diri kita sendiri. Hanya masalah waktu kita
akan kelelahan, merasa terasing atau tersesat dalam perjalanan kehidupan kita
sendiri.

Sehingga dengarkan pendapat orang sebatas secukupnya saja, kemudian


belajar untuk bersyukur dan berterimakasih dengan keadaan diri kita sendiri
sebagaimana adanya. Jangan terlalu menghiraukan pendapat orang lain yang
menilai kita begini dan begitu. Jangan menilai diri kita sendiri melalui penilaian
orang lain, karena hampir semua penilaian bahkan datang dari orang-orang yang
tidak mengenal dirinya siapa.
Selalulah memilah dengan baik, mana pendapat orang yang layak
didengarkan dan mana yang harus dibuang. Karena jika kita mendengarkan
semua komentar atau pendapat orang lain akan membuat pikiran kita mirip tong
sampah. Persoalan waktu akan menjadi busuk dan menjadi sumber penyakit.
Sehingga, kenalilah diri kita sendiri, kenalilah putaran karma kita sendiri, kenalilah
kebutuhan diri kita sendiri, untuk kemudian berkembang dan mengambil jalan
yang paling sesuai dengan diri kita sendiri. Jadilah diri sendiri.

Di jaman ini terlalu banyak manusia yang tidak mengenali dirinya sendiri,
untuk kemudian diombang-ambingkan oleh pendapat orang lain. Terutama
disebabkan karena kebanyakan manusia membutuhkan pengakuan. Di jalan
dharma diajarkan, pengakuan adalah makanan dari ego [ahamkara]. Selain itu,
kejernihan, kedamaian dan kebijaksanaan tidak pernah bisa dicapai dengan
pengakuan, melainkan dengan cara menerima diri kita sendiri sebagaimana
adanya, dengan rasa syukur dan rasa terimakasih. Kemudian berkembang dan
mengambil jalan yang paling sesuai dengan diri kita sendiri.

Benih kejernihan sebagai akar kedamaian dan kesadaran baru dapat mulai
bersemi di dalam diri, ketika kita dapat bersyukur dan berterimakasih dengan
keadaan diri kita sendiri sebagaimana adanya. Menjadi diri kita sendiri yang unik
dan berbeda dari orang lain. Tidak bersaing atau membanding-bandingkan diri
kita sendiri dengan orang lain.

Untuk itulah sudah selayaknya kita memandang diri sendiri sebagaimana


adanya secara positif dan lembut. Karena lebih mudah untuk menemukan
kejernihan dan kedamaian dengan pikiran yang positif dan lembut terhadap diri
sendiri. Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Bahagialah dengan
diri sendiri. Jadilah diri sendiri sebagaimana adanya. Setiap manusia itu unik dan
berbeda dari orang lain. Bersyukurlah dengan kondisi dan keadaan diri kita, serta
apa yang kita miliki. Semakin kita dapat menerima diri sebagaimana adanya, maka
semakin mekarlah kesadaran kita. Karena penerimaan seperti ini yang akan
menghentikan konflik dan benturan pikiran, sehingga kejernihan dapat bersemi di
dalam diri kita.

2. MEMANDANG ORANG LAIN SECARA POSITIF DAN LEMBUT

Kedua, belajar memandang orang lain secara positif dan lembut. Karena
jika kita memandang orang lain dengan sudut pandang yang gelap dan keras,
maka itu sama dengan menyalakan api di dalam diri kita. Yang pertama terbakar
dan kehilangan kejernihan kesadaran adalah diri kita sendiri. Selain itu juga, akan
seketika membuat kita kehilangan kebijaksanaan dan sifat belas kasih.

Misalnya [sebuah contoh] disaat kita bertemu dengan orang-orang yang


menyakiti dalam kehidupan keseharian.

Melihat dari sudut pandang positif berarti melihat mereka bukan sebagai
orang jahat, melainkan sebagai guru dharma yang sedang membimbing kita
menuju kesadaran sempurna. Sebab orang-orang yang menyakiti akan memaksa
kita melihat “ke dalam diri”. Tanpa bertemu orang-orang yang menyakiti, kita
tidak akan mau melihat “ke dalam diri”. Kita akan terseret ke dalam arus
kehidupan duniawi yang gelap. Sehingga orang-orang yang menyakiti
sesungguhnya adalah guru dharma yang sedang mengarahkan kita
membangunkan kesadaran Atma.

Melihat dari sudut pandang lembut berarti melihat orang-orang yang


menyakiti kita bukan sebagai orang jahat, melainkan sebagai korban. Masalah
sesungguhnya adalah adanya avidya [ketidaktahuan atau kesalahpahaman] di
dalam diri mereka, yang berasal dari dari seluruhan pengalaman hidup mereka.
Dari keluarga di rumah yang mengalami kekacauan, keteladanan para tokoh yang
tidak baik, ketidakadilan hirarki dunia, berita media yang penuh dengan
kekerasan, pemerintah yang tidak terkelola dengan baik, sekolah yang terlalu
menekan dan tidak mendidik, ajaran agama yang disampaikan dengan tidak
benar, iklan-iklan yang demikian menggoda ketidakpuasan manusia, dsb-nya. Itu
semua adalah pengalaman kehidupan yang rumit, yang menjerumuskan mereka
ke dalam jurang gelap avidya.

Melihat dari sudut pandang lembut juga berarti kita dapat melihat bahwa
setiap perkataan, perbuatan atau reaksi [respon] dari orang lain kepada kita
semata-mata merupakan hasil akumulasi dari keseluruhan pengalaman hidup
mereka sendiri. Ketika kita bertemu orang yang mengganggu di jalan, bertemu
kasir supermarket yang kasar, disakiti orang, dsb-nya, itu sesungguhnya tidak ada
hubungannya dengan diri kita. Artinya apa yang dipikirkan, dikatakan dan
dilakukan manusia di dunia ini berasal dari kecenderungan pikiran, pengalaman
buruk, rasa takut dan upaya pertahanan diri mereka sendiri, yang bersumber dari
pengalaman hidup mereka. Sekalipun hal tersebut langsung ditujukan kepada
kita, sesungguhnya itu tidak ada kaitannya dengan diri kita. Melainkan terkait
dengan konflik dan pertempuran pikiran di dalam diri mereka sendiri.

Sehingga ketika kita bertemu dengan orang-orang yang menyakiti, lihatlah


dengan positif bahwa mereka sedang membimbing kita ke jalan dharma,
menghaluskan kesadaran kita dan memurnikan karma kita. Lihatlah dengan
lembut bahwa di dalam pikiran mereka sedang bergejolak konflik dan
pertempuran. Serta lihatlah kesengsaraan yang ada dibalik perbuatan mereka.
Mungkin mereka dimaki atasannya di kantor, diteriaki istrinya di rumah, anak-
anaknya sangat nakal, dsb-nya. Ketika kita dapat melihat kesengsaraan di balik
perbuatan mereka, kita tidak akan lagi melihat mereka sebagai orang jahat,
melainkan sebagai korban. Itulah memandang dari sudut pandang yang positif
dan lembut. Kebijaksanaan, belas kasih dan kebaikan akan mekar di hati kita.

Selain itu perlu diwaspadai, bahwa salah satu jebakan ego [ahamkara] yang
sering muncul ketika kita merasa diri kita sudah baik atau sudah benar, adalah
kita mulai menjadi terlalu kritis dan banyak memberi penilaian buruk terhadap
kekurangan orang lain. Ketika kita melihat kesalahan, kekurangan, keserakahan
dan kegelapan pada orang lain, kita sering tergoda untuk secara agresif memvonis
buruk [menghakimi] orang tersebut. Ini tidak lain muncul dari ego kita
sendiri. Sebuah jebakan ego [ahamkara]. Ketika kita memvonis buruk atau
menyentil orang lain, tanpa disadari benih-benih kebencian, kemarahan,
kesombongan atau avidya [ketidak-tahuan] sudah muncul di dalam diri kita.
Jika kita mudah mengkritik, mudah menyalahkan dan mudah memvonis
buruk [menghakimi] orang lain, secara pasti kita akan mengotori pikiran kita
sendiri. Kita akan kehilangan kejernihan dan kedamaian. Pikiran penuh
penghakiman membuat kejernihan dan kedamaian di dalam diri seketika
menghilang. Lebih jauh lagi, ketika kita mengkritik, menyalahkan atau memvonis
orang lain secara negatif, disaat itu kita sedang menghidupkan kegelapan di
dalam diri kita sendiri, sekaligus menghidupkan kegelapan dalam diri orang lain.
Kita tidak saja sedang menanam bibit kekerasan di dalam diri kita sendiri, tapi
juga sedang menanam bibit kekerasan pada orang lain.

Mudah mengkritik, mudah menyalahkan dan mudah memvonis buruk


[menghakimi] orang lain, lebih mencerminkan bagaimana diri kita dibandingkan
bagaimana orang lain tersebut. Kenapa kita kelihatan benar, karena kita
mengukur diri sendiri dengan ukuran diri kita sendiri. Kenapa orang lain kelihatan
salah, karena kita mengukur orang lain dengan ukuran diri kita sendiri. Itu
sebabnya para orang-orang suci melatih dirinya untuk tidak mengukur orang lain
dengan ukuran diri sendiri, tapi memandang dari ukuran, sudut pandang dan latar
belakang orang tersebut seperti apa adanya. Laksana memandang ikan sebagai
ikan, memandang burung sebagai burung, dsb-nya. Sehingga semuanya dapat
terlihat alami di tempatnya masing-masing.

Dengan memiliki pandangan meditatif seperti itu, akan memunculkan


pengertian yang bijaksana. Pandanglah orang lain dari sudut pandang positif dan
lembut. Inilah jalan pemurnian jiwa. Sebab disaat itu juga kebencian, kemarahan,
kesombongan dan avidya [ketidak-tahuan] lenyap memudar dari pikiran kita.
Untuk kemudian memberikan ruang pada belas kasih dan kebaikan di dalam
pikiran kita.

Tidak hanya sebatas memurnikan jiwa saja, tapi sekaligus juga akan
mengirimkan pancaran energi kesejukan dan kedamaian kepada orang lain. Sudah
sering terbukti jika kita dapat memandang orang lain siapa saja, atau mahluk apa
saja, dengan sudut pandang positif dan lembut, dalam jangka waktu tertentu sifat
orang atau mahluk tersebut lama-kelamaan juga akan berubah menjadi positif
dan lembut. Disebabkan karena pancaran energi kesejukan dan kedamaian yang
terus kita kirimkan. Kita tidak saja akan menyelamatkan diri kita sendiri tapi juga
menyelamatkan orang lain. Ini juga yang kemudian akan menghindarkan kita dari
kemungkinan garis nasib yang lebih panas dan sengsara.
3. MEMANDANG KEHIDUPAN SECARA POSITIF DAN LEMBUT

Ketiga, belajar memandang perjalanan kehidupan kita secara positif dan


lembut. Karena dengan cara demikian akan melenyapkan ketidakpuasan,
kemarahan dan kegelapan pikiran, sekaligus memunculkan kebijaksanaan,
kejernihan dan kedamaian di dalam diri. Itu semua hanyalah persoalan bagaimana
kita bersedia melatih diri untuk memiliki keterampilan agar dapat memandang
setiap hal dan setiap kejadian dalam kehidupan dengan sudut pandang yang
tepat.

Setiap pengalaman hidup yang menyakitkan merupakan pembayaran


hutang-hutang karma buruk kita di masa lalu. Jika kita dapat menerimanya
dengan lascarya [penuh kerelaan], tidak saja akan memurnikan hati kita, tapi juga
membuat hutang-hutang karma buruk kita terselesaikan [terbayar lunas],
sekaligus membuka jalan kehidupan yang lebih terang di masa depan.

Tapi tidak hanya sebatas itu saja, setiap pengalaman hidup yang
menyakitkan, jika kita merenungkannya dalam-dalam, kita akan dapat menyadari
bahwa kejadian-kejadian yang buruk tersebut bukanlah sesuatu yang negatif atau
buruk. Justru sebaliknya ! Kita akan dapat memahami bahwa dibalik semua
kejadian-kejadian buruk tersebut, sesungguhnya alam semesta sedang
menghadirkan cahaya terang di dalam kehidupan kita. Karena kejadian buruk
adalah konsekuensi bayangan dari kebenderangan. Setiap kejadian buruk yang
muncul dalam kehidupan adalah cara alam semesta mengarahkan kita
membangunkan kesadaran Atma.

Setiap pengalaman hidup yang menyakitkan adalah cara alam semesta


mengarahkan kita membangunkan kesadaran Atma. Setiap pengalaman hidup
yang menyakitkan pikiran-perasaan, akan memaksa kita melihat “ke dalam diri”.
Memaksa kita memasuki jalan dharma. Memaksa kita melaksanakan sadhana.
Sehingga kita tidak terus larut dan terseret oleh arus siklus samsara. Asalkan kita
mau memasuki jalan dharma, melaksanakan sadhana, serta belajar untuk cerdas
dan bijaksana melihat sisi baik, sisi positif dan sisi lembut pada setiap pengalaman
kehidupan. Disanalah kita sedang membangunkan kesadaran Atma.
Penghalang utama untuk dapat memandang perjalanan kehidupan secara
positif dan lembut disebabkan karena kecenderungan pikiran yang kaku dan
keras. Memaksa diri sendiri harus begini dan begitu. Memaksa kehidupan harus
berjalan begini dan harus begitu. Ketika keinginan tidak sesuai dengan kenyataan,
pikiran kita menolak dengan keras. Sehingga pikiran menjadi marah, resah, tegang
dan mengalami konflik internal.

Setiap saat hidup ini membawa kita kepada pilihan. Tersedia pilihan tanpa
batas yang kemudian akan menentukan garis nasib kita. Setiap peristiwa dan
setiap pilihan sikap cara pandang, akan bermanifestasi menjadi riak-riak
berikutnya dalam aliran perjalanan kehidupan.

Jika kita sudut pandangnya gelap dan keras, maka pikiran kita juga akan
menjadi gelap seperti dikuasai ketidakpuasan, kemarahan, protes, dsb-nya. Kita
tidak saja akan merasakan sakit dan kesengsaraan di dalam diri, tapi sekaligus
juga sangat mungkin kita akan menyakiti orang lain. Ini juga yang kemudian akan
membawa garis nasib kita menjadi lebih panas dan sengsara. Sudut pandang yang
tidak tepat seperti ini akan membuat kita menghantar diri kita sendiri tenggelam
ke dalam lumpur kegelapan.

Sebaliknya jika kita sudut pandangnya positif dan lembut, maka tidak saja
pikiran kita menjadi lebih tenang dan damai di dalam diri, tapi sekaligus juga
membuat kita terhindar dari menyakiti orang lain. Ini juga yang kemudian akan
membawa garis nasib kita menjadi lebih aman, tenang dan damai.

Karena itu mengalirlah dengan keadaan diri kita dan kehidupan kita sendiri
sebagaimana adanya. Sudah selayaknya kita memiliki pandangan yang positif dan
lembut. Karena lebih mudah untuk menemukan kejernihan dan kedamaian
dengan pikiran yang positif dan lembut, pada setiap kemungkinan dalam
perjalanan, pada setiap keadaan. Apapun yang terjadi akan menjadi karma-karma
yang mengalir di sungai kejernihan dan kedamaian.

Memandang semua hal dan semua bentuk pengalaman kehidupan dari


sudut pandang yang positif dan lembut, adalah cara agar jiwa kita akan dapat
bertransformasi menjadi jernih dan indah. Sebagaimana termuat dalam berbagai
buku-buku suci dharma, pikiran yang memandang dari sudut pandang yang positif
dan lembut adalah jalur cepat menuju kebijaksanaan, kejernihan dan kedamaian
di dalam diri.

Jika semua bentuk pengalaman kehidupan terlihat positif dan lembut, itu
pertanda kita sudah mengalami kejernihan pandangan. Pemahaman mendalam
akan kebenaran seperti inilah yang menghasilkan prajna [kebijaksanaan], yang
akan membebaskan kita dari keserakahan, ketidakpuasan, kemarahan, kesedihan,
keraguan, ketakutan dan kesengsaraan.
RUAS KE-3

Melatih Diri Tidak Menyakiti

Dalam membentuk dasar kesadaran, salah satu hal yang penting untuk
dilakukan adalah menjaga diri kita agar tidak menyakiti, karena itu semua terkait
erat dengan bagaimana terbentuknya kecenderungan pikiran kita sendiri.

Secara pokok tidak menyakiti ada dua saja, yaitu tidak menyakiti diri
sendiri, serta tidak menyakiti orang lain dan mahluk lain.

1. TIDAK MENYAKITI DIRI SENDIRI

Ada berbagai cara untuk menyakiti diri kita sendiri. Sayangnya seringkali
kita tidak menyadarinya. Disini kita cukup memfokuskan kepada dua saja, yaitu
terlalu menekan diri dan tenggelam dalam rasa bersalah dari masa lalu.

- TERLALU MENEKAN DIRI

Untuk membentuk dasar-dasar kejernihan pikiran, kita memerlukan


kombinasi yang tepat antara menekan diri dan mengekspresikan diri. Karena di
dalam diri kita masing-masing terdapat sisi-sisi energi alamiah, dimana hal
tersebut merupakan hal yang alami dan manusiawi. Jika kita menekan diri secara
berlebihan kita akan melukai jiwa kita sendiri. Sebaliknya jika kita
mengekspresikan diri secara berlebihan kemungkinan kita akan melukai orang
lain. Dan keduanya menghasilkan luka-luka yang akan menyakiti diri kita sendiri.

Terlalu menekan sisi-sisi alamiah di dalam diri kita sendiri, akan memantul
balik dalam bentuk kekacauan di dalam jiwa kita. Setiap bentuk pikiran dan
dorongan energi alamiah yang ditekan dan dilarang secara berlebihan kemudian
akan terlempar ke “gudang” bernama alam bawah sadar. Begitu “gudang” itu
penuh, dia kemudian akan memberikan tanda ke permukaan dalam bentuk galau,
kesedihan tanpa sebab, dsb-nya. Ini jika terus berlanjut, maka dalam jangka
panjang kemudian dapat bermanifestasi menjadi berbagai jenis sifat perilaku yang
bersifat merusak diri sendiri dan orang lain. Seperti misalnya kebencian,
kekerasan dan berbagai bentuk penyimpangan. Inilah yang disebut oleh para
satguru dharma sebagai norma sosial masyarakat, aturan agama dan pandangan
orang lain dapat membuat jiwa manusia menjadi gelisah, rusak dan terbelah.

Sehingga renungkanlah ke dalam diri kita sendiri. Kenali keadaan diri kita
sendiri, agar kita bisa melihat dan memahami kebutuhan diri kita sendiri yang
unik dan berbeda dengan orang lain. Kemudian ekspresikan diri kita secara tepat
dan bijaksana. Artinya memilih kombinasi yang tepat untuk diri kita sendiri,
kombinasi yang unik dan tepat antara menekan diri dan mengekspresikan diri.
Karena itulah cara untuk meraih dasar-dasar kejernihan pikiran.

Setiap manusia itu unik dan berbeda-beda satu sama lain. Setiap manusia
ada satu sisi dirinya memerlukan pertumbuhan kesadaran jiwa harus dengan cara
mengekspresikan diri dan ada sisi lain dirinya memerlukan pertumbuhan
kesadaran jiwa harus dengan cara menekan. Jika satu sisi unik manusia
pertumbuhan kesadaran jiwa-nya yang tepat harus dengan cara mengekspresikan
diri, tapi memilih cara menekan, dia seperti menyimpan api membara di dalam
dirinya. Cara terlalu menekan seperti ini akan menyakiti diri sendiri. Menimbulkan
banyak luka-luka jiwa. Persoalan waktu jiwanya akan kering dan terbakar.
Demikian juga sebaliknya jika satu sisi unik manusia pertumbuhan kesadaran jiwa-
nya yang tepat harus dengan cara menekan, tapi memilih cara mengekspresikan
diri, dia akan banyak melakukan kesalahan-kesalahan berbahaya.

Sehingga ekspresikanlah energi di dalam diri kita secara sehat dan alamiah,
sesuai dengan panggilan alamiah diri kita. Kurangilah menekan-nekan diri dengan
larangan begini dan begitu. Tanpa pelabelan dualitas pikiran seperti baik-buruk,
salah-benar, sukses-gagal, dsb-nya. Sebab jika kita terlalu menekan diri dengan
larangan yang tidak sesuai dengan panggilan alami diri kita, itu berarti kita
melawan arus kekuatan alam, sehingga pikiran kita akan penuh dengan konflik
dan ketidakharmonisan. Tapi dalam mengekspresikan diri tetaplah dengan
berpegang kepada pedoman utama yang penting, yaitu kita tidak melakukan
perkataan atau perbuatan yang menyakiti orang lain atau merugikan orang lain.
Artinya ekspresikan diri sesuai dengan panggilan alami diri kita, tapi dengan tidak
menyakiti atau merugikan orang lain. Terutama karena di alam semesta ada
hukum karma yang tidak bisa dibendung.

Dalam hal mengekspresikan diri ini seringkali sebagian dari norma sosial
masyarakat dan aturan agama menjadi halangan yang mengganggu pertumbuhan
kesadaran jiwa manusia, dengan cara terlalu banyak menekan dan melarang, yang
bersifat kaku dan dualistik [baik-buruk, benar-salah, suci-gelap, dsb-nya]. Padahal
setiap manusia itu memiliki jalan dan pertumbuhan kesadaran jiwa yang unik dan
berbeda-beda satu sama lain. Tidak bisa disamakan. Dampak dari tekanan dan
larangan yang bersifat kaku dan dualistik adalah menekan panggilan alamiah
dalam diri manusia sehingga menimbulkan kegelisahan jiwa melalui konflik di
dalam pikiran, yang muncul dari dualitas pikiran, seperti buruk melawan baik,
kotor melawan suci, dsb-nya.

Tentu saja norma sosial masyarakat dan aturan agama bukan sesuatu yang
buruk. Norma sosial masyarakat dan aturan agama berisi banyak larangan-
larangan, dengan tujuan mulia untuk menjaga manusia agar tidak melakukan
kesalahan-kesalahan berbahaya. Ini tentu tidak salah, karena norma sosial, aturan
dan larangan diperlukan terutama sekali bagi manusia-manusia yang kesadaran
jiwanya baru mulai bertumbuh, yang masih kasar dan kuat sifat binatangnya.
Semata-mata untuk menjaga agar manusia tidak mengekspresikan diri secara
berlebihan untuk kemudian terjerumus ke dalam melakukan kesalahan
berbahaya.

Tapi masalahnya adalah bahwa segala hal tidak sesederhana dualitas hal ini
baik dan hal itu buruk. Setiap manusia itu masing-masing unik dan berbeda dari
orang lain. Setiap orang memiliki panggilan alamiah, jalan pertumbuhan, cara
pertumbuhan, bakat dan tugasnya masing-masing di dunia, sesuai dengan
putaran karmanya sendiri. Setiap orang berbeda tidak bisa disamakan. Ada
jejaring kosmik yang rumit di balik semua hal.

Selain itu dualitas pikiran hanyalah sebatas cara pikiran mengerti dan sama
sekali bukan kebenaran itu sendiri. Artinya kebenaran sangatlah relatif,
sesungguhnya kita bisa memandang apa saja dengan cara apa saja. Leluhur kita di
Bali mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak, tapi kebenaran yang
lebih mendekati adalah kebenaran yang berlandaskan desa, kala, patra [tempat,
waktu, kondisi keadaan].
Setiap manusia itu unik dan berbeda-beda satu sama lain. Jujurlah kepada
diri kita menyangkut diri kita sendiri, apa yang terbaik untuk diri kita sendiri dan
bukan melakukan apa yang diharapkan atau dinilai orang lain. Kita harus percaya
diri karena ini hidup kita sendiri. Tidak ada orang lain yang dapat benar-benar
mengetahui, hanya diri kita sendirilah yang paling tahu tentang diri kita sendiri,
apa yang terbaik bagi diri kita sendiri dan kita sendiri juga yang akan
mendapatkan hasilnya yang positif bagi diri kita sendiri. Sebagian manusia
hidupnya gelisah dan berputar-putar tanpa arah karena terlalu berpegang kepada
pendapat dan sudut pandang pikiran orang lain, termasuk kepada norma sosial
masyarakat dan aturan agama yang sifatnya terlalu menekan. Sehingga dengarkan
pendapat dari luar sebatas secukupnya saja, kemudian belajarlah untuk menjadi
diri sendiri. Berpeganglah kepada prinsip apa-apa yang baik untuk diri kita. Karena
jika kita tidak memiliki pegangan tersebut, maka kejernihan pikiran kita akan
mudah dibuat jatuh oleh hal-hal sepele yang datang dari sudut pandang dari luar
yang belum tentu tepat dan sesuai untuk kondisi unik diri kita sendiri.

Kenalilah fenomena tubuh kita sendiri, kenali fenomena pikiran kita sendiri
dan kenali putaran karma-karma kita sendiri. Intinya adalah mengenali diri kita
sendiri. Pelajari secara seksama diri kita dan kehidupan kita sendiri. Yang
terpenting bukanlah dualitas salah-benar atau baik-buruk, tapi apa kebutuhan
jiwa kita sendiri, bagaimana putaran karma kita sendiri dan kita termasuk jiwa
yang memerlukan pertumbuhan kesadaran jiwa dengan jalan apa ?
Di dalam diri kita masing-masing terdapat kontur-kontur energi yang
sifatnya alamiah sesuai dengan hukumnya, sebagaimana leluhur kita di Bali
mengajarkan bahwa manusia itu “dewa ya bhuta ya”. Kontur-kontur ini ada yang
perlu diekspresikan dan ada juga yang perlu ditekan.

Kontur-kontur ini unik dan berbeda-berbeda pada setiap orang. Tidak ada
manusia yang sama. Jadi jangan mengambil acuan dari orang lain, melainkan kita
harus menggalinya ke dalam diri kita sendiri. Dalam upaya mengenal kontur diri
sendiri yang unik, kita harus dewasa secara spiritual. Artinya kita tidak diombang-
ambingkan pendapat orang lain, kita tidak mencari acuan dari ajaran agama, serta
standar norma dan moralitas masyarakat, kita tidak mencari acuan dari orang
lain. Kita mandiri dalam pandangan, sikap dan langkah. Kita tidak terpengaruh
oleh orang lain dan lingkungan. Karena ini menyangkut diri kita sendiri dan yang
paling mengetahuinya adalah diri kita sendiri, bukan orang lain.

Sehingga renungkanlah ke dalam diri kita sendiri. Kenali keadaan diri kita
sendiri, agar kita bisa melihat dan memahami kebutuhan diri kita sendiri yang
unik dan berbeda dengan orang lain. Kemudian ekspresikan diri kita secara tepat
dan bijaksana. Pilihlah kombinasi yang tepat untuk diri kita sendiri, yaitu
kombinasi yang unik dan tepat antara menekan diri dan mengekspresikan diri.
Jadilah diri kita sendiri sebagaimana adanya.

Belajar dari cerita para Satguru, banyak murid-murid yang datang belajar
dharma dan meditasi, kegelisahan dan kelabilan jiwanya berakar dari kehidupan
yang melompat dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya. Misalnya sebagai
contoh, awalnya mereka memuaskan hidupnya secara berlebihan [seks bebas,
hura-hura, dugem, minum miras, dsb-nya], setelah jiwanya tidak menemukan
apa-apa dalam titik ekstrim kiri tersebut, mereka memasuki dunia spiritual. Tapi
di dunia spiritual mereka melompat ke titik ekstrim kanan, dalam bentuk
kehidupan asketik [seperti puasa, pengendalian diri, dsb-nya] yang menekan diri
secara berlebihan. Akhirnya jiwanya menjadi gelisah dan labil.

Para Satguru yang mata spiritualnya terbuka mengetahui, bahwa orang


yang memuaskan dirinya secara berlebihan dengan orang yang terlalu banyak
menekan dirinya, pancaran jiwa dari dalam dirinya sama. Keduanya sama-sama
memendam api berbahaya di dalam. Mereka yang terlalu memuaskan dirinya
mirip dengan api kebakaran yang siap menghabiskan semuanya. Mereka yang
terlalu menekan dirinya mirip dengan gunung api yang siap meletus.

Dalam simbol berupa lingkaran sempurna, kontur-kontur di dalam diri kita


hanyalah rangkaian perputaran energi-energi yang mengalir. Semua itu
sesungguhnya sederhana dan alami saja. Laksana malam yang berganti siang, atau
musim kemarau yang berganti musim hujan, atau bunga yang menjadi sampah,
demikianlah siklus perputarannya. Kekacauan dan kelelahan mental terjadi
karena kita gagal mengalir dalam perputaran tersebut. Menggalilah ke dalam diri
sendiri dan kenalilah diri sendiri, kemudian memilih kombinasi yang tepat antara
mengekspresikan diri dan menekan diri. Ini akan menyelamatkan kita dengan cara
mengalir dalam perputaran.

Jadi kenali diri kita sendiri, kemudian ekspresikan diri kita secara tepat dan
bijaksana. Kembali kepada ajaran leluhur kita di Bali bahwa tidak ada kebenaran
yang mutlak, tapi kebenaran yang lebih mendekati adalah kebenaran yang
berlandaskan desa, kala, patra [tempat, waktu, kondisi keadaan].

Hanya satu itu saja catatannya yang penting, bahwa kita perlu memiliki
sedikit kehati-hatian di dalam mengekspresikan diri agar tidak berbahaya.
Ekspresikanlah diri berlandaskan desa, kala, patra. Ekspresikanlah diri tapi jangan
sampai perkataan dan perbuatan kita menyakiti orang lain, merugikan orang lain
atau menyakiti diri kita sendiri, karena jika demikian, kemungkinan kita akan
melukai diri kita sendiri dan orang lain. Hasilnya sama saja akan menimbulkan
luka-luka jiwa di dalam diri. Sehingga ekspresikanlah diri berlandaskan desa, kala,
patra [tempat, waktu, kondisi keadaan masing-masing], yang membuat diri kita
sendiri dan orang lain sama-sama damai dan bahagia.

- TENGGELAM DALAM RASA BERSALAH DARI MASA LALU

Untuk membentuk dasar-dasar kejernihan pikiran, kita juga memerlukan


kombinasi yang tepat antara tidak terlalu tenggelam dalam rasa bersalah serta
mengakui kesalahan kita dan segera memperbaiki diri.

Disebabkan karena ketidak-sempurnaan diri kita sebagai manusia, kadang-


kadang dalam perjalanan kehidupan kita tidak dapat melepaskan diri dari
melakukan kesalahan. Kita harus mengerti bahwa melakukan kesalahan adalah
hal yang manusiawi. Terimalah dengan hati jernih. Yang terpenting adalah jika
kita melakukan kesalahan segeralah mengakui kesalahan kita dan berusaha
memperbaiki diri.

Jika kita melakukan kesalahan, kemudian tidak bersedia mengakui


kesalahan kita, itu adalah kesalahan yang lebih besar. Karena jika kebiasaan
seperti ini terakumulasi, kita akan menciptakan penghalang mental bagi
kejernihan pikiran kita. Melakukan penyangkalan terhadap kesalahan yang kita
buat akan membuat diri kita terjebak ke dalam ego [ahamkara], yang tidak saja
akan menghalangi pertumbuhan kesadaran jiwa kita, menciptakan penghalang
mental bagi kejernihan pikiran kita, sekaligus membuat kita kehilangan pelajaran
berharga dari kehidupan yang mencegah kita mengulangi melakukan kesalahan
yang sama di masa depan.

Pada sisi sebaliknya, jika kita terlalu menyalahkan dan memvonis buruk diri
kita sendiri saat melakukan kesalahan, itu merupakan sebuah tindakan menyakiti
diri sendiri. Memvonis buruk diri sendiri atau terlalu tenggelam dalam rasa
bersalah tidak sehat bagi pertumbuhan kesadaran jiwa kita. Memvonis buruk diri
sendiri akan berdampak membuat jiwa kita mudah terluka, sekaligus kita akan
sulit tersembuhkan dari luka-luka jiwa. Pikiran kita akan menjadi keras-kaku, kita
akan mudah sekali menyalahkan orang lain dan kita akan sulit memaafkan
kesalahan orang lain. Ini tentu saja dapat membuat kita mudah terjerat ke dalam
kegelapan pikiran.

Di jalan dharma yang penting bukanlah berapa kali kita melakukan


kesalahan, tapi berapa kali kita bersedia bangkit memperbaiki diri dari kesalahan.
Beranilah mengakui kesalahan kita dan di sisi sebaliknya sekaligus juga dapat
memaafkan diri sendiri atas kesalahan yang kita lakukan.

Cobalah belajar untuk menjauh dari sifat terlalu perfeksionis dalam


menuntut diri dan kehidupan, serta menjauh dari sifat terlalu menyalahkan diri
sendiri. Lupakan kesempurnaan. Lihatlah ketidaksempurnaan hanya sebagai
bagian dari cara pertumbuhan kesadaran jiwa kita. Mengalirlah seperti apa
adanya diri kita dan kehidupan kita sendiri. Belajarlah untuk terus-menerus
menerima, tersenyum, mengalir dan tidak memvonis buruk kepada ketidak-
sempurnaan diri atau kepada kesalahan-kesalahan kita.
Di sisi lain belajarlah untuk tidak melakukan penyangkalan terhadap
kesalahan kita. Ketahui kesalahan dari diri kita. Kalau ada orang yang tersakiti,
jangan ragu meminta maaf. Di lain sebaliknya kita juga jangan memvonis buruk
diri sendiri dan tenggelam dalam penyesalan akan kesalahan kita. Karena kita
manusia pada dasarnya tidak sempurna dan melakukan kesalahan itu sesuatu
yang manusiawi. Hidup ini adalah aliran tempat kita belajar, bertumbuh dan
berkembang. Selalulah melihat kesalahan sebagai pelajaran berharga kehidupan,
sebagai titik balik bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa kita. Yang
terpenting ambil pelajarannya dan bukannya melekat kepada kesalahannya.

Dengan mengakui kesalahan diri kita, berani meminta maaf dan sekaligus
memaafkan diri kita sendiri, pikiran kita akan menjadi lebih jernih. Kita akan dapat
memperbaiki diri sendiri, kita tidak akan menyakiti diri sendiri, kita tidak akan
mudah terluka, kita mudah tersembuhkan dan kita akan mudah memaafkan
kesalahan orang lain. Kita tidak akan mudah terjerat ke dalam kegelapan pikiran.

2. TIDAK MENYAKITI ORANG LAIN DAN MAHLUK LAIN

Apapun yang kita ucapkan dan apapun yang kita lakukan itu tidak saja akan
menghasilkan karma, tapi sekaligus juga pasti akan memantul balik ke dalam
kecenderungan pikiran kita sendiri.

Kalau apa yang kita ucapkan dan lakukan berakibat membahagiakan orang
lain, maka hal itu [entah kita sadari atau tidak] pasti akan mendatangkan
kebahagiaan di dalam pikiran kita sendiri. Sebaliknya kalau apa yang kita ucapkan
dan lakukan berakibat menyengsarakan orang lain, maka hal itu tanpa kita sadari
akan mengotori pikiran kita, yang pasti akan berdampak mengganggu kejernihan,
kesejukan dan kedamaian di dalam pikiran kita sendiri.

Berhati-hatilah dengan perkataan kita. Jangan memfitnah. Jangan


mengkritik orang lain atau menjadi sinis tentang mereka. Jangan menghina
mereka yang bodoh, menekan atau meninggalkan mereka dengan keangkuhan.
Jangan membicarakan keburukan, kekurangan dan kelemahan orang lain.
Singkirkanlah setiap perasaan iri, ketidakpuasan atau rasa persaingan dalam diri
kita. Lepaskanlah kebanggaan kita. Lepaskanlah merasa penting, merasa lebih
baik, atau merasa lebih benar.
Ciri-ciri jelas dari pikiran yang resah-gelisah adalah menyelesaikan masalah
dengan pikiran yang kritis, dengan cara mengkritik, memvonis [menghakimi],
menyalahkan atau menghina. Semakin keras usahanya menyelesaikan masalah
dengan pikiran kritis, semakin resah-gelisah jiwanya. Tidak saja jiwanya sendiri
gelisah tapi sekaligus juga menyebarkan kegelisahannya kepada orang lain.
Kehilangan kualitas kejernihan dan kebijaksanaan di dalam diri sendiri, kemudian
kemungkinan juga mencemari pikiran orang lain.

Menjadilah terampil untuk tidak memfitnah orang lain. Menjadilah terampil


untuk tidak menghina orang lain. Menjadilah terampil untuk tidak mengeluarkan
kata-kata sinis terhadap orang lain. Menjadilah terampil untuk tidak menyalahkan
atau memvonis orang lain. Menjadilah terampil untuk tidak mengeluarkan kata-
kata yang tidak sebenarnya [berbohong]. Menjadilah terampil untuk tidak
membuat janji terhadap sesuatu yang tidak bisa kita penuhi.

Berhati-hatilah dengan perbuatan kita. Berpikirlah secara matang dan


pelajari situasi dari segala sudut pandang secara hati-hati. Jangan melakukan
kekerasan secara fisik, apalagi sampai melakukan pembunuhan. Jangan
melakukan pelecehan seksual. Jangan mengganggu atau merusak ketertiban
umum. Jangan mencuri, mengambil, mengklaim atau merusak sesuatu yang
bukan milik kita. Jangan punya mata pencaharian yang menjerumuskan atau
merugikan orang lain.

Ini semua adalah dharma yang sangat mendasar, yang terkait erat dengan
upaya kita membangun kejernihan, kesejukan dan kedamaian di dalam diri.
Karena jika kita melakukan pelanggaran dharma seperti itu, tidak saja kelak akan
membawa karma buruk ke dalam kehidupan kita, tapi juga sekaligus tanpa kita
sadari akan membawa dampak kekacauan ke dalam pikiran kita sendiri. Jika apa
yang kita ucapkan atau lakukan berakibat menyakiti perasaan orang lain, cepat
atau lambat pasti akan memantul balik ke dalam kondisi pikiran kita sebagai
kesan-kesan pikiran yang buruk, yang akan menciptakan kegelisahan yang sulit
dijelaskan di dalam pikiran kita. Ini tentu saja akan menyebabkan terganggunya
kejernihan, kesejukan dan kedamaian pikiran di dalam diri kita sendiri.

Menyakiti hanya menghasilkan kepuasan atau kesenangan semu, yang


sifatnya sementara, yang tidak ada apa-apanya dibandingkan kehidupan tenang
dan kebahagiaan di dalam diri yang akan kita dapatkan dengan tidak menyakiti.
Dengan tidak menyakiti kelak kita tidak akan tersakiti, serta sekaligus tidak akan
membawa kegelapan di dalam pikiran-perasaan kita.

Agar dapat menumbuhkan hati belas kasih kepada orang atau mahluk lain,
yang dapat mencegah kita untuk menyakiti, kita perlu mendidik diri untuk melihat
kesamaan-kesamaan diantara kita semua. Lupakanlah perbedaan, karena jika
melihat perbedaan-perbedaan pasti akan menimbulkan tembok pemisah antara
diri kita dengan yang lainnya. Antara yang dianggap benar dan yang dianggap
salah, antara yang dianggap baik dan yang dianggap buruk, dsb-nya. Sebaliknya
dengan melihat kesamaan diantara kita semua akan menimbulkan keterhubungan
yang sakral. Sehingga belajarlah memandang kesamaan-kesamaan diantara kita
semua, yaitu :

- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga mencari kebahagiaan di dalam
hidupnya.

- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga tidak mau disakiti dan berusaha
menghindari kesusahan dan kesengsaraan di dalam hidupnya.

- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga pernah menjalani hari-hari buruk
yang berat.

- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga pernah mengalami kesusahan,
kesengsaraan, kesedihan, keputus-asaan dan kesepian di dalam hidupnya.

- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga berusaha memenuhi apa
kebutuhan atau keperluan hidupnya.

- Sama seperti saya, orang atau mahluk lain juga sedang sama-sama dalam proses
belajar dan bertumbuh di dalam perjalanan kehidupan.

Lihatlah orang lain dan mahluk lain dengan senyuman belas kasih, karena
dalam samudera samsara ini mereka semua sama seperti diri kita. Terima mereka
seperti sebagaimana adanya, karena kita semua sama dan kita semua sedang
sama-sama dalam proses belajar dan bertumbuh di dalam perjalanan kehidupan
dengan jalan serta cara kita masing-masing.
Jangan pernah mengecilkan peran perkataan dan perbuatan yang tidak
menyakiti orang lain atau mahluk lain. Berbicaralah kalau kita yakin mengeluarkan
kata-kata yang baik. Berbuatlah kalau kita yakin melakukan suatu perbuatan
kebaikan. Dengan cara ini kita membuat hati kita menjadi jernih dan lapang, serta
sekaligus kita juga sedang membuat dunia lebih indah dari hari ke hari.

Tidak menyakiti sepertinya terkait erat dengan orang lain dan mahluk lain.
Tapi sesungguhnya diri kita sendirilah yang akan paling merasakan dampaknya.
Dengan tidak menyakiti, hari demi hari pikiran kita akan semakin dimurnikan,
sehingga memunculkan kejernihan, kesejukan dan kedamaian di dalam diri.
RUAS KE-4

Tekun Melakukan Kebaikan-Kebaikan

Salah satu rahasia penting semua jalan spiritual adalah hati yang penuh
belas kasih dan kebaikan. Pertama, karena praktek spiritual atau praktek religius
manapun akan dangkal dan tidak pernah bisa dalam kalau tanpa dilandasi hati
yang penuh belas kasih dan kebaikan kepada semua mahluk. Kedua, karena belas
kasih dan kebaikan adalah awal dan akhir semua jalan spiritual. Di awal menjadi
pondasi sangat penting dan di akhir ketika mencapai kesadaran Atma yang
sempurna, sebagai hasilnya adalah keheningan pikiran, serta hati yang penuh
belas kasih dan kebaikan. Demikian menentukannya, sehingga kalau seluruh
ajaran dharma di-intisarikan menjadi satu ajaran saja, maka hal itu adalah belas
kasih dan kebaikan tanpa batas kepada semua mahluk.

Belas kasih dan kebaikan tidak hanya berguna bagi mahluk lain, tapi
terutama sekali sangat berguna untuk diri kita sendiri. Apapun yang kita ucapkan
dan lakukan sesungguhnya tidak saja menghasilkan karma, tapi sekaligus juga
secara pasti akan memantul balik ke dalam kondisi pikiran kita sendiri. Kalau apa
yang kita ucapkan dan lakukan berakibat membahagiakan orang lain atau mahluk
lain, maka hal itu [entah kita sadari atau tidak] pasti akan mendatangkan
kejernihan dan kebahagiaan di dalam pikiran kita sendiri.

Belas kasih dan kebaikan tidak saja membahagiakan hati mahluk lain, tapi
terlebih juga akan membahagiakan hati kita sendiri. Belas kasih dan kebaikan
tidak saja menyegarkan pikiran mahluk lain, tapi terlebih juga akan menyegarkan
pikiran kita sendiri. Belas kasih dan kebaikan tidak saja menjernihkan pikiran
mahluk lain, tapi terlebih juga akan menjernihkan pikiran kita sendiri.

Jika kita peka dan peduli dengan kebahagiaan mahluk lain, jika kita tekun
melakukan kebaikan-kebaikan, maka akan semakin berkembanglah kesegaran dan
kesejukan di dalam pikiran kita sendiri. Ini adalah hukum alam. Ketekunan
melaksanakan belas kasih dan kebaikan membuat seseorang terus-menerus
mengikis kegelapan pikirannya [sad ripu] dan ego-nya [ke-aku-an, ahamkara] dari
hari ke hari.

Secara pokok belas kasih dan kebaikan ada dua, yaitu kebaikan terdekat
[melaksanakan swadharma], serta kebaikan kepada semua.

1. KEBAIKAN TERDEKAT [MELAKSANAKAN SWADHARMA]

Dalam perjalanan kehidupan ini setiap manusia membawa swadharma,


atau tugas dharma-nya [tugas kehidupan] masing-masing sesuai dengan putaran
karma-nya sendiri. Inilah kebaikan terdekat yang pertama-tama, secara
mendasar, wajib kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Sebagai landasan dasar
kebaikan. Menolak melaksanakan swadharma yang kita emban dalam perjalanan
kehidupan ini justru akan menjauhkan kita dari jalan dharma yang sebenarnya.
Hanya melaksanakan kerja yang menjadi tugas-kewajiban kita yang akan
membebaskan kita, bukan menolak untuk bekerja.

Yang dimaksud dengan melaksanakan tugas-tugas kehidupan [swadharma]


adalah dengan fokus mengerjakan tugas-kewajiban hidup kita dengan giat, baik
dan jujur, misalnya menjadi orang tua di rumah, menjadi guru sekolah, pegawai,
gubernur, petani, pedagang, dsb-nya. Serta menyayangi orang-orang terdekat
yang ada di sekitar kita, misalnya kepada orang tua, saudara, pasangan [suami
atau istri], anak, teman-teman, dsb-nya. Karena sebelum melaksanakan kebaikan
”keluar”, sebaiknya kebaikan dilaksanakan ”ke dalam” terlebih dulu. Yaitu yang
terkait dengan pekerjaan kita dan keluarga kita.

Kita harus mengetahui dan memiliki kesadaran bahwa salah satu tugas
utama kita yang paling mendasar dalam kehidupan ini adalah bekerja mencari
nafkah. Karena ini adalah titik tolak yang memudahkan kaki kita melangkah secara
lebih luas kemana-mana. Secara umum, tanpa memiliki nafkah penghasilan gerak
kita untuk kegiatan lain akan sulit dan terbatas. Tapi juga bukan sekedar bekerja
mencari nafkah, fokuslah mengerjakan pekerjaan kita dengan giat, baik dan jujur,
sehingga secara mendalam bekerja mencari nafkah juga menjadi pelaksanaan
kebaikan dalam kehidupan.
Kerja apapun juga, asalkan tidak melanggar dharma, baik dan layak untuk
dilakukan. Kerjakan dengan sebaik-baiknya. Masalah hasil kita terima dengan
damai dan penuh kerelaan. Belajarlah dengan rajin di sekolah kalau kita masih
pelajar. Kalau kita sudah bekerja, kita bekerjalah dengan tekun dalam upaya
mencari nafkah. Sumber mata pencaharian harus benar dan tidak melanggar
dharma.

Laksanakan kebaikan kepada orang-orang terdekat di sekeliling kita, seperti


misalnya orang tua, saudara, pasangan [suami atau istri], anak, teman-teman,
dsb-nya. Hormati dan bahagiakan orang tua. Sayangi dan setia kepada pasangan.
Sayangi anak-anak. Sayangi saudara. Serta kerjakan tugas-tugas rumah tangga
dengan giat dan baik.

Agar dapat melaksanakan swadharma dengan baik sebagai kebaikan


mendasar, kita sangat memerlukan kepekaan. Peka terhadap apa kebutuhan
orang di sekeliling kita merupakan awal yang sangat baik. Misalnya peka terhadap
apa kebutuhan istri, anak-anak, klien perusahaan, karyawan perusahaan, atasan
di kantor, dsb-nya. Lebih lanjut lagi, bukan hanya sebatas kepekaan terhadap
kebutuhan materi, tapi juga kepekaan terhadap kebutuhan emosional.

Secara mendalam kita memerlukan kepekaan untuk terus-menerus


merawat orang-orang di sekeliling kita dengan cara yang tepat. Terutama karena
dengan kepekaan untuk terus merawat mereka dengan cara yang tepat, kita bisa
membuat mereka terus menjadi semakin baik.
Seperti kisah seseorang yang mendapatkan bibit bunga yang indah sekali.
Tapi karena kurangnya kepekaan, dia meletakkan tanaman tersebut di bawah
cahaya matahari yang terik, padahal sebenarnya tanaman tersebut memerlukan
sedikit saja sinar matahari. Hasilnya adalah bibit bunga yang indah ini melayu.
Demikian juga dengan jiwa manusia. Sebaik apapun bibit jiwa seseorang di dalam,
jika keliru dalam memperlakukan mereka, maka yang baik bisa jadi jahat dan yang
jahat bisa menjadi tambah jahat. Yang terpenting sebenarnya bukan sifat
pembawaan mereka, tapi adanya kepekaan untuk terus menerus merawat
mereka dengan cara yang tepat. Inilah kebaikan yang terdekat untuk
dilaksanakan.

Laksanakan swadharma atau tugas-tugas kehidupan kita masing-masing


dengan sebaik-baiknya, menjadi orang tua, guru, pegawai, gubernur, dsb-nya.
Tapi apapun hasilnya terima dengan hati jernih dan damai. Sehingga bekerja tidak
saja akan menjadi wujud nyata belas kasih dan kebaikan, tapi sekaligus juga
secara bertahap akan membersihkan jiwa kita. Tidak saja akan merubah
kesadaran kita, tapi juga akan merubah perjalanan hidup kita.

2. KEBAIKAN KEPADA SEMUA

Biasakanlah diri dalam kehidupan sehari-hari melaksanakan segala jenis


kebaikan kepada semua. Lakukan segala jenis kebaikan dalam kehidupan sehari-
hari setiap kali kita mendapat kesempatan melaksanakannya. Mulai dari kebaikan
kecil sampai dengan kebaikan besar. Ini tujuannya ada tiga, yaitu pertama untuk
mengumpulkan banyak akumulasi karma baik, yang membantu membuka jalan
spiritual lebih lapang bagi kita. Kedua untuk membantu memurnikan pikiran. Dan
ketiga sebagai bagian dari mendidik diri kita sendiri agar penuh dengan kebaikan
dan memiliki kesungguhan hati di dalam melakukan kebaikan. Ini adalah landasan
dasar spiritual terpenting.

Perlu disadari bahwa jauh lebih penting untuk melakukan kebaikan


dibandingkan untuk menjadi benar. Lihatlah betapa banyaknya konflik dan orang-
orang bertikai semata karena semuanya merasa dirinya benar. Padahal apa yang
disebut benar itu hanya berasal dari pikiran yang dualistik. Semua bentuk
kebenaran itu sangat relatif. Dualitas pikiran hanyalah sebatas cara pikiran
mengerti dan sama sekali bukan kebenaran itu sendiri. Sedangkan belas kasih dan
kebaikan secara pasti akan memutar karma baik yang membimbing kita menuju
jalan terang. Sekalipun tindakan kita dalam norma sosial masyarakat disebut
“salah” [tanda kutip, karena sifatnya dualistik, konseptual dan sangat relatif], tapi
kalau tindakan kita didasari oleh aspirasi belas kasih dan kebaikan kepada semua,
maka kita pasti akan terbebas dari kesalahan malah sebaliknya dibawa menuju
kejernihan pikiran, kebahagiaan, kemuliaan dan penerangan jiwa.

Jadikanlah perjalanan kehidupan ini sebagai lahan subur bagi kita untuk
melakukan kebaikan-kebaikan kepada semua mahluk. Kembangkan hati yang
penuh belas kasih dan kebaikan. Karena dengan ketekunan melakukan kebaikan-
kebaikan, secara pasti tidak saja karma-karma buruk kita akan banyak
diringankan, tapi sekaligus juga pikiran kita akan banyak mengalami pembersihan.
Pikiran kita dimurnikan menuju kejernihan-kedamaian, serta dibebaskan dari
kegelapan pikiran. Sekaligus di jalan spiritual apapun kita melangkah, disana kita
akan mudah terhubung dengan kemahasucian.

Akan tetapi perlu dicatat, bahwa tidak jarang juga terjadi, kebaikan yang
kita lakukan dibalas dengan kejahatan, atau kebaikan yang kita lakukan berujung
kepada nasib buruk atau luka-luka jiwa. Disinilah kita memerlukan pengetahuan
dharma mencakup dinamika kosmik alam semesta. Hukum karma yang mutlak
dan tidak bisa dibendung, sehingga muncul pandangan benar dan kebijaksanaan
di dalam diri. Bahwa ini bukanlah kesalahan orang lain, atau ini juga bukanlah
hukuman alam semesta kepada kita, melainkan hanya akumulasi karma-karma
buruk masa lalu kita sendiri yang datang untuk kita lunasi. Sehingga jangan kapok
atau berhenti, teruslah melakukan kebaikan dan kebaikan.
Tidak jarang terjadi, ketulusan hati dan kebaikan kita dianggap sebagai
kebodohan oleh orang yang masih tenggelam dalam avidya [ketidaktahuan]. Tapi
teruslah tulus dan melakukan kebaikan-kebaikan dalam kehidupan. Mungkin
setiap hari di sekeliling kita melihat tindakan-tindakan kejahatan dan
ketidakjujuran seperti sedang menghina kebaikan. Tapi teruskanlah kebaikan-
kebaikan kita. Karena pada akhirnya bukan tentang kita dengan orang-orang lain,
tapi tentang diri kita dengan hukum karma dan tentang diri kita menyangkut
kejernihan-kedamaian di dalam diri sendiri.
RUAS KE-5

Melaksanakan Meditasi Non-Dualitas

Dalam buku ini telah dijelaskan mengenai 4 [empat] ruas landasan


kesadaran sebagai praktek dalam kehidupan sehari-hari, yang menghasilkan dasar
kejernihan pikiran. Ditambah dengan 1 [ruas] sebagai titik pusat yang akan
menyatukan, memperdalam dan menyempurnakan semuanya, yaitu praktek
meditasi. Semuanya ke-5 [lima] ruas ini harus saling melengkapi dan saling
mendukung. Tidak dapat dipisah-pisahkan.

Praktek meditasi adalah mengenai upaya mengembalikan kesempurnaan


kesadaran Atma. Akan tetapi karena pikiran [manas] dan ego [ahamkara]
sangatlah sulit dikuasai, kita memerlukan praktek 4 [empat] ruas landasan
kesadaran yang akan menghasilkan dasar kejernihan pikiran.

Dasar kejernihan pikiran akan menjadi landasan yang stabil bagi praktek
meditasi agar kita dapat menyadari kembali kesadaran Atma yang luhur. Jika kita
tidak melaksanakan 4 [empat] ruas landasan kesadaran pada kehidupan sehari-
hari, kita akan mengalami kesulitan dalam meditasi. Semuanya ke-5 [lima] ruas ini
merupakan satu kesatuan sadhana [upaya spiritual] yang akan menghasilkan
pencapaian sempurna, untuk melenyapkan penghalang-penghalang dari
kesadaran Atma, kenyataan diri yang sejati.

Petunjuk penting dalam praktek meditasi non-dualitas [advaita-citta]


adalah kesadaran selalu dibawa ke tengah-tengah dan hindari pikiran atau
perasaan terbawa ekstrim ke kiri atau ekstrim ke kanan. Terlalu sedih, terlalu
marah, terlalu melekat dengan kenikmatan, itu pikiran terbawa ekstrim ke kiri.
Terlalu bahagia, terlalu damai, terlalu melekat dengan kesucian, terlalu melekat
dengan kesempurnaan, itu pikiran terbawa ekstrim ke kanan. Keduanya
sesungguhnya akan sama-sama membuat jiwa mengalami kekacauan. Karena
kesadaran bergerak laksana bandul. Setiap kali bandul pikiran ditarik ke sebuah
titik ekstrim, ia pasti akan memantul balik ke titik ekstrim yang lain.

Itulah sebabnya meditasi non-dualitas menekankan pentingnya membawa


kesadaran ke tengah-tengah. Dengan cara secara meditatif menjadi saksi yang
penuh senyuman terhadap apapun pikiran yang muncul disaat ini. Saksi yang
memberi senyuman damai dan belas kasih yang sama terhadap dualitas pikiran
bahagia-sengsara, baik-buruk, benar-salah, suci-gelap, dsb-nya. Hasilnya adalah
semakin lama gerakan bandul pikiran semakin lembut. Ketika bandulnya istirahat
di titik tengah, itulah kesadaran Atma, keheningan sempurna yang mahasuci.

Dalam buku suci Hindu tertua, yaitu Rig Veda, pada sloka 1.164.20 tertulis :

Dva suparna sayuja sakhaya,


samanam vrksam pari sasvajate
Tayor anyah pippalam svadu-atti,
anasnan anyo abhi cakasiti

Terjemahan :

“Ada dua ekor burung yang dipersatukan dengan ikatan persahabatan, bertempat
tinggal di atas pohon yang sama. Salah satu dari mereka menikmati buah matang
yang manis, sedangkan yang lainnya menjadi saksi tanpa menikmati buah-
buahnya”.

Makna sloka 1.164.20 Rig Veda yang ditulis dalam bentuk prosa yang puitis
ini adalah sebuah analogi. Maksud analogi “ada dua ekor burung yang tinggal di
pohon yang sama” adalah terdapat dua jenis kesadaran yang tinggal di tubuh
yang sama [di dalam diri kita manusia]. Satu kesadaran adalah ego [ahamkara]
yang larut ke dalam arus kehidupan duniawi. Satu kesadaran lainnya adalah
kesadaran Atma yang hanya menjadi saksi dari arus kehidupan.

Rig Veda mengajarkan untuk secara meditatif menjadi saksi terhadap setiap
bentuk-bentuk pikiran dan pengalaman kehidupan, melalui meditasi non-dualitas
[advaita-citta]. Karena dualitas pikiran hanyalah cara pikiran mengerti dan sama
sekali bukan kebenaran sejati itu sendiri. Rahasia kesempurnaan kesadaran Atma
bukanlah keadaan lenyapnya ketidaksempurnaan di dalam diri kita. Jalan
kesempurnaan kesadaran Atma adalah senyuman damai dan belas kasih yang
sama terhadap dualitas pikiran bahagia-sengsara, baik-buruk, benar-salah, suci-
gelap, dsb-nya, atau dengan kata lain melampaui semua dualitas.

Dalam buku suci Ashtavakara Gita, Maharsi Ashtavakara [seorang yogi yang
sudah sadar] menjelaskan kepada Raja Janaka [Raja Kerajaan Mithila], mengenai
kesadaran Atma dan kenyataan semesta :

“Wahai yang tersayang, jika kau ingin terbebaskan dari


racun kesengsaraan yang disebabkan oleh berbagai nafsu, maka minumlah madu
yang terbuat dari memaafkan, kepolosan, belas kasih, kebaikan, rasa syukur,
kejujuran dan kebenaran. Kau bukanlah bumi atau unsur padat [prthivi], bukan
udara [vayu], bukan api [agni], bukan air [apah] dan bukan juga ruang [akasha].
Untuk mencapai kesadaran Atma dan pembebasan sempurna, maka sadarilah
dirimu sebagai "sang saksi", yang selalu menyadari segala sesuatu tanpa terikat
olehnya”.

“Agama dan tidak beragama, kebahagiaan dan penderitaan, semuanya itu


berasal dari pikiran. Semua hal itu bukanlah dirimu. Kau bukanlah subjek atau
objek. Sejak semula kau telah berada dalam keadaan terbebaskan. Kau adalah
"sang saksi" yang menyaksikan segala sesuatu. Dan pada hakekatnya kau selalu
bebas. Kau menjadi terikat karena kau selalu melihat bahwa "sang saksi" itu
berada di luar dirimu, bukan di dalam dirimu sendiri”.

Jika kau berkata : "aku adalah sang pelaku", maka berarti kau
telah membiarkan ular hitam ego atau ke-aku-an [ahamkara] mematuk dirimu.
Dan jika kau sadar hakikat bahwa : "aku bukanlah sang pelaku" dan menjadi
saksi, maka berarti kau telah meminum madu keheningan serta selalu hidup
dalam kesadaran.

“Jangan memandang : "aku adalah individu yang diproyeksikan


oleh kehidupan". Letakkan ilusi ini, letakkan juga perasaan berada di dalam dan di
luar dan bangunlah ke dalam pemikiranmu bahwa kau adalah yang abadi tidak
berubah, kesadaran-murni tanpa dualitas”.

“Alam semesta ini meluas ke segenap penjuru oleh dirimu. Alam semesta ini
terus meluas di dalam dirimu. Pada kenyataan yang sejati kau adalah kesadaran-
murni. Maka janganlah kau berpandangan sempit. Kau tidaklah terikat, tak
berubah, tanpa bentuk, tak terpecah dalam pasangan yang saling bertentangan,
tak dapat diduga, bijaksana, dan tak pernah gelisah. Maka cukuplah kau hanya
sadar kepada kesadaran-murni yang ada di dalam dirimu”.

“Ketahuilah bahwa setiap yang berbentuk adalah ilusi dan ketahuilah pula
yang tanpa bentuk, yang tidak berubah dan abadi. Mengetahui kebenaran dari
ajaran ini akan mengakhiri siklus samsara. Laksana bayangan dari sebuah cermin,
Atma yang terbayang di dalam cermin dengan Brahman di luar cermin adalah
sama. Brahman yang sama ada di dalam dan di luar badan ini, Brahman meliputi
semua yang ada di langit dan juga meliputi benda-benda di bumi, Brahman yang
kekal abadi meliputi segala sesuatu”.

Dalam buku suci ajaran Shiva Tantra, kesadaran Atma disimbolikkan


sebagai langit biru dan dan pikiran disimbolikkan sebagai awan-awan.
Kebahagiaan, kebenaran dan kesucian, laksana awan-awan putih. Kesedihan,
kesalahan dan kegelapan, laksana awan-awan hitam. Baik awan-awan putih
maupun awan-awan hitam selalu datang dan pergi, tidak kekal. Dan kesadaran
Atma laksana langit biru sebagai saksi yang kekal tidak berubah. Ini disebut
meditasi non-dualitas [advaita-citta], yaitu secara meditatif menjadi saksi
terhadap setiap bentuk-bentuk pikiran dan pengalaman kehidupan.

Leluhur kita di Bali yang wikan sejak jaman kuno dahulu sangat mengerti
tentang kesadaran Atma, sehingga menyebut manusia itu “dewa ya bhuta ya”.
Artinya di dalam diri manusia ada sisi terang dan luhur [dewa] dan juga ada sisi
gelap dan buruk [bhuta]. Yang berarti bahwa semasih kita mengenakan tubuh
manusia di dalam diri kita pasti terdapat “unsur dewa” dan “unsur bhuta”. Karena
melalui meditasi yang mendalam terungkap rahasianya, kita semua manusia
adalah ramuan antara “unsur dewa” dan “unsur bhuta” yang sangat unik. Dari sisi
biologi tubuh manusia kita ini terbuat dari unsur panca maha bhuta [bumi atau
unsur padat, air, api, udara dan ruang]. Setiap unsur ini memiliki padanan dalam
tubuh kita, seperti misalnya emosi. Artinya selama kita masih mengenakan tubuh
manusia, selama itu juga emosi pasti masih tetap ada. Sebagai contoh unsur api,
padanan dalam bentuk emosinya adalah kemarahan. Sehingga tidak pernah ada
manusia yang dapat sempurna bebas dari kemarahan. Baik “unsur dewa” dan
“unsur bhuta”, keduanya bagian utuh yang sama di dalam diri kita. Tidak bisa
sempurna kita lenyapkan salah satunya.
Laksana bulan yang memiliki sisi terang dan sisi gelap, disadari bahwa
sesungguhnya baik sisi terang maupun sisi gelap dari bulan adalah keutuhan
sempurna bulan yang sama.

Jika kita perhatikan diri kita atau pikiran kita [bhuwana alit] dan alam
semesta [bhuwana agung], semuanya memiliki pola dalam rwa bhinneda atau dua
kutub yang berseberangan. Artinya dimana ada siang disana pasti ada malam.
Dimana ada kebenaran disana pasti ada kesalahan. Dimana ada kesucian disana
pasti ada kekotoran. Dimana ada kebahagiaan disana pasti ada kesengsaraan.
Dimana ada keindahan disana pasti ada kejelekan. Dimana ada kehormatan
disana pasti ada kehinaan. Dalam ajaran dharma mengenai rwa bhinneda, semua
pola dualitas merupakan manifestasi dari satu kenyataan absolut yang tunggal,
yaitu Sanghyang Embang [yang mahasuci keheningan sempurna] atau Sanghyang
Acintya [yang mahasuci tidak terpikirkan].

Artinya semua pola dualitas pikiran hanyalah manifestasi belaka dan bukan
kenyataan absolut. Cahaya terlihat ada, karena adanya kegelapan. Orang baik
terlihat ada, karena adanya orang jahat. Kebahagiaan terlihat ada, karena adanya
kesengsaraan.

Ketika kita tersadar bahwa kenyataan absolut diri kita atau pikiran kita
[bhuwana alit] dan alam semesta [bhuwana agung] adalah melampaui dualitas
pikiran, disana tercapailah keheningan sempurna yang tidak terpikirkan,
manunggal dengan kenyataan absolut.

Di bagian puncak dari Penataran Agung Pura Besakih, disanalah juga oleh
leluhur orang Bali yang wikan disembunyikan ajaran rahasia tentang kesadaran
Atma. Tepat sebelum pelataran tertinggi, disana terdapat dua palinggih rwa
bhinneda, yaitu Palinggih Kiwa [kiri, gelap dan buruk] dan Palinggih Tengen
[kanan, terang dan luhur]. Keduanya diletakkan sama sejajar. Sebuah simbolik
ajaran bahwa keduanya merupakan bagian utuh yang sama, baik di dalam diri kita
sendiri, maupun di alam semesta ini. Di tengah-tengahnya, di pelataran puncak
yang tertinggi, terdapat Palinggih Sanghyang Embang [keheningan sempurna yang
mahasuci], yang juga disebut sebagai sesarining dharma atau intisari dharma.
Sebuah simbolik ajaran rahasia bahwa dengan melampaui dualitas konseptual
pikiran membuat kita mencapai keheningan sempurna.
Latihan meditasi non-dualitas dibagi menjadi dua tahap, yaitu latihan
meditasi dalam meditasi, serta praktek meditasi setiap saat dalam dinamika
kehidupan.

1. LATIHAN MEDITASI DALAM MEDITASI

Duduklah bersila dengan posisi padmasana, ardha-padmasana, siddhasana


atau sukhasana, dengan santai dan tenang. Bagi wanita boleh untuk memilih
duduk dalam posisi bersimpuh [vajrasana]. Punggung dalam posisi tegak lurus tapi
santai.

Telapak tangan di letakkan di pangkuan membentuk dhyana mudra, atau


letakkan di ujung lutut membentuk jnana mudra. Tapi bahu dalam keadaan santai
[tidak tegang].

Tekuk ujung lidah menyentuh langit-langit mulut. Pejamkan mata.


Bernafaslah secara alami saja. Tidak usah mengatur irama nafas. Konsentrasilah
kepada sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

Duduk dengan santai dalam sikap meditasi. Konsentrasi kepada sentuhan


keluar-masuk nafas pada hidung. Ketika pikiran kita berkeliaran, itu bukanlah
suatu masalah atau suatu kesalahan dalam meditasi, karena itu memang sifat
alami dari pikiran kita.
Sadari dengan penuh belas kasih bahwa pikiran yang berkeliaran memang
sifat alami dari pikiran kita. Jangan berusaha dikendalikan, jangan ditanggapi. Jika
kita berusaha mengendalikan disana ada ketidaksukaan dan penolakan
[kebencian]. Jika kita menanggapi kita akan larut ke dalam arus aliran pikiran
tersebut. Jadi pikiran-pikiran yang muncul disadari saja. Ketika kita sadar, saksikan
saja pikiran-pikiran yang muncul dengan senyum penuh belas kasih tanpa
menilainya sebagai salah-benar, baik-buruk, suci-kotor [dualitas pikiran].
Kemudian kembalilah ke nafas. Kembali konsentrasi kepada sentuhan keluar-
masuk nafas pada hidung. Demikianlah seterusnya dan seterusnya. Inilah yang
disebut meditasi non-dualitas.

Terus lakukan meditasi ini. Konsentrasi kepada sentuhan keluar-masuk


nafas pada hidung. Ketika pikiran berkeliaran, jangan berusaha dikendalikan dan
jangan ditanggapi, tapi disadari kemunculannya, kemudian disaksikan saja dengan
senyum penuh belas kasih tanpa menilainya sebagai salah-benar, baik-buruk, suci-
kotor [dualitas pikiran]. Kemudian kembalilah ke nafas. Demikianlah seterusnya
dan seterusnya.

Apapun pikiran atau kejadian yang muncul disaat ini, jangan ditolak atau
dilawan dan juga jangan diikuti. Walaupun yang muncul pikiran paling buruk
sekalipun. Lepaskan semua konsep pikiran kita tentang bahagia-sengsara, baik-
buruk, benar-salah, suci-gelap, mulia-hina, dsb-nya [dualitas pikiran]. Saksikan
saja dengan senyum damai dan belas kasih munculnya pikiran tersebut. Jangan
divonis [dihakimi] sebagai salah-benar atau baik-buruk, dsb-nya. Saksikan saja
dengan senyuman damai dan penuh belas kasih, tanpa dinilai apapun. Kemudian
kembalilah konsentrasi kepada sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

Sekali lagi bahwa manusia itu “dewa ya bhuta ya”. Artinya di dalam diri
manusia ada sisi terang dan luhur [dewa] dan juga ada sisi gelap dan buruk
[bhuta]. Keduanya bagian utuh yang sama di dalam diri kita. Tidak bisa kita
lenyapkan salah satunya. Tapi karena kita sudah terlalu lama direcoki oleh norma
sosial masyarakat dan aturan agama, sehingga membuat pikiran kita menjadi
dualistik. Kita menjadi cenderung menolak atau membenci pikiran-perasaan
negatif di dalam diri, serta sebaliknya menjadi terlalu melekat dengan pikiran-
perasaan positif. Dari dualitas pikiran ini menimbulkan gejolak konflik atau
benturan pikiran, seperti buruk melawan baik, kotor melawan suci, dsb-nya, yang
kemudian berakhir menjadi kegelisahan jiwa.
Janganlah berpegang kepada pemahaman konseptual dualistik umum yang
kesadarannya tidak terasah oleh meditasi, yang berpikir untuk mencapai
kesempurnaan dengan cara melawan, menolak atau berusaha membuang bagian-
bagian negatif atau buruk di dalam diri. Jika kita berpikir untuk mencapai
kesempurnaan dengan cara melawan, menolak atau berusaha membuang bagian
yang tidak terpisahkan dari diri kita, kita hanya akan menciptakan belenggu jiwa
melalui pikiran konseptual dualistik, untuk kemudian mengalami gejolak
kekacauan di dalam diri.

Sifat alamiah pikiran kita sebagai manusia adalah “dewa ya bhuta ya”. Hal
ini sama dengan sifat alamiah dari samudera yang bergelombang. Jika kita
melawan, menolak atau berusaha membuang pikiran-perasaan yang muncul, itu
sama dengan menolak gelombang samudera. Sama dengan melawan kekuatan
alam. Tidak bisa dan justru akan menimbulkan gejolak kekacauan di dalam diri.

Semakin banyak kita melawan, menekan, menolak atau membenci pikiran-


perasaan negatif di dalam diri, semakin banyak juga kita akan menghadapi
kekacauan di dalam jiwa kita. Setiap bentuk pikiran-perasaan negatif yang
dilawan, ditekan, ditolak dan dilarang secara berlebihan kemudian akan terlempar
ke “gudang” bernama alam bawah sadar. Begitu gudang itu penuh, dia kemudian
akan memberikan tanda ke permukaan dalam bentuk galau, kesedihan tanpa
sebab, kemarahan, kekeringan jiwa, dsb-nya. Inilah yang disebut oleh para yogi
jivan-mukta sebagai norma sosial masyarakat dan aturan agama dapat membuat
jiwa manusia menjadi rusak dan gelisah. Jika terus berlanjut dalam jangka panjang
dapat bermanifestasi menjadi berbagai jenis sifat perilaku yang bersifat merusak
diri sendiri dan orang lain. Manusia itu “dewa ya bhuta ya”, apapun bentuk-
bentuk pikiran-perasaan yang muncul itu adalah manusiawi dan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari diri kita sendiri.

Dalam meditasi non-dualitas, apapun pikiran-perasaan yang muncul tidak


ditolak dan sebaliknya juga tidak diikuti, tapi bandulnya dibawa ke tengah-tengah.
Apapun pikiran-perasaan yang muncul tidak dinilai sebagai baik-buruk, salah-
benar, dsb-nya [dualitas pikiran]. Tapi hanya disaksikan saja dengan senyuman
damai dan penuh belas kasih. Kemudian kembalilah konsentrasi kepada sentuhan
keluar-masuk nafas pada hidung.
Misalnya jika muncul perasaan marah, jangan dilawan, jangan ditolak dan
jangan merasa bersalah [ekstrim kanan] karena itu bagian yang tidak terpisahkan
dari diri kita, serta jangan juga diikuti [ekstrim kiri]. Tapi bawalah bandulnya ke
tengah, caranya perasaan marah yang muncul itu disaksikan saja dengan
senyuman damai dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-
benar, dsb-nya. Kemudian kembalilah konsentrasi kepada sentuhan keluar-masuk
nafas pada hidung.

Jika muncul pikiran jahat, jangan dilawan, jangan ditolak dan jangan merasa
bersalah [ekstrim kanan] karena itu bagian yang tidak terpisahkan dari diri kita,
serta jangan juga diikuti [ekstrim kiri]. Tapi bawalah bandulnya ke tengah, caranya
pikiran jahat yang muncul itu disaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh
belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya. Kemudian
kembalilah konsentrasi kepada sentuhan keluar-masuk nafas pada hidung.

Jika muncul perasaan sedih dan kecewa, jangan dilawan, jangan ditolak dan
jangan merasa bersalah [ekstrim kanan] karena itu bagian yang tidak terpisahkan
dari diri kita, serta jangan juga diikuti [ekstrim kiri]. Tapi bawalah bandulnya ke
tengah, caranya perasaan sedih dan kecewa yang muncul itu disaksikan saja
dengan senyuman damai dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk,
salah-benar, dsb-nya. Kemudian kembalilah konsentrasi kepada sentuhan keluar-
masuk nafas pada hidung.

Jika muncul perasaan damai dan bahagia, jangan melekat kepada perasaan
tersebut [ekstrim kanan], serta jangan dilawan atau ditolak [ekstrim kiri] karena
itu bagian yang tidak terpisahkan dari diri kita. Tapi bawalah bandulnya ke tengah,
caranya perasaan damai dan bahagia yang muncul itu disaksikan saja dengan
senyuman damai dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-
benar, dsb-nya. Kemudian kembalilah konsentrasi kepada sentuhan keluar-masuk
nafas pada hidung.

Berusaha menolak atau membuang bagian yang tidak terpisahkan dari diri
kita akan menimbulkan gejolak konflik pikiran luar biasa. Sebaliknya terseret ke
dalam arusnya juga pasti akan menimbulkan gejolak konflik pikiran. Sehingga
dalam meditasi non-dualitas, tersenyumlah dengan damai dan penuh belas kasih
kepada segala bentuk apapun pikiran-perasaan yang muncul, termasuk juga
kepada apa yang disebut oleh norma sosial masyarakat dan aturan agama sebagai
noda-noda pikiran. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya.
Laksana air yang keruh, jika semuanya diterima dengan damai, mengalir dan
tersenyum penuh belas kasih, airnya akan diam dengan sendirinya, kotorannya
akan mengendap dengan sendirinya sehingga airnya menjadi tenang dan jernih.

Penjelasannya memang sederhana, tapi untuk dapat menyatukan meditasi


non-dualitas dengan kesadaran secara baik dibutuhkan waktu, ketekunan dan
kesabaran. Bagi pemula biasanya meditasi penuh halangan. Itu hal yang umum
dan biasa. Halangan tersebut mulai dari halangan fisik [badan yang lelah, kaki
sakit karena lama duduk bersila, dsb-nya], halangan mental [malas, ragu-ragu,
dsb-nya], sampai dengan halangan konsep [bahwa meditasi harus begini dan
begitu, meditasi harus selalu mendamaikan, dsb-nya, padahal meditasi juga
mengalami siklus naik-turun]. Yang terpenting dalam meditasi bukan hasilnya,
tapi membiasakan diri. Lakukan terus meditasi agar menjadi kebiasaan. Meditasi
bukanlah sadhana yang bisa diselesaikan harian, tidak juga bulanan, melainkan
sadhana yang harus terus dilakukan secara konsisten selama bertahun-tahun.

Konsentrasi dalam meditasi seperti energi yang terpusat. Kalau pikiran kita
sering terkonsentrasi menjadi saksi yang tersenyum penuh belas kasih kepada
setiap bentuk pikiran-perasaan yang muncul, maka di suatu titik ada kemungkinan
kita mengalami samadhi. Samadhi tidak saja menghancurkan dualitas pikiran
seperti baik-buruk, salah-benar, yang sempit dan picik, tapi sekaligus juga
membawa kesadaran kita mulai terserap ke dalam dimensi kesadaran Atma yang
tenang, jernih dan terang-benderang.

2. PRAKTEK MEDITASI SETIAP SAAT DALAM DINAMIKA KEHIDUPAN

Ketika melakukan latihan meditasi dalam meditasi, seringkali akan


membuat hati kita menjadi terbuka dan luas. Tapi disaat ketika kita kembali pada
permasalahan hidup sehari-hari, dengan mudah kita kehilangan hal itu. Interaksi
kita dengan orang-orang atau masalah kehidupan yang muncul dengan cepat
dapat memancing emosi kita, menyebabkan pikiran kita terbenam dalam
kegelapan. Kita semua pernah mengalami hal seperti ini.

Karena ketika melakukan latihan meditasi dalam meditasi, dalam proses


tersebut kita menjadi mendekat dengan kesadaran Atma. Tapi ketika kemudian
kita kembali ke kehidupan sehari-hari, seringkali pikiran dan perasaan kita juga
akan kembali pada kecenderungan pikiran [vasana] kita sendiri. Itulah sebabnya
dengan mudah kegelapan pikiran kembali mendominasi.

Ujian sesungguhnya bagi setiap sadhana bukanlah saat duduk meditasi, tapi
saat kita dihadang guncangan-guncangan dalam hidup keseharian. Saat duduk
meditasi kita berhadapan dengan pikiran-perasaan kita sendiri saja, tapi dalam
keseharian kita berhadapan dengan interaksi yang sangat rumit dan kompleks.

Perjalanan kehidupan ini penuh dengan dinamika berbagai kejadian-


kejadian, baik kejadian tidak menyenangkan maupun kejadian menyenangkan.
Ketika kita meledak dalam kemarahan, itu berarti kesadaran Atma sudah diambil
alih oleh kemarahan. Ketika kita larut tenggelam dalam kesedihan, itu berarti
kesadaran Atma sudah diambil alih oleh kesedihan. Ketika kita histeris dalam
kebahagiaan, itu berarti kesadaran Atma sudah diambil alih oleh kebahagiaan.

Yang perlu kita lakukan adalah membawa meditasi non-dualitas setiap saat
ke dalam dinamika kehidupan. Dengan cara demikian, kita terus melakukan
meditasi selama saat kita terjaga. Kita terus melakukan upaya terhubung dengan
kesadaran Atma di dalam diri. Kembalikan kesadaran kepada nafas.

Kapan saja kehidupan terlihat sangat rumit, sulit, atau penuh emosi [marah,
sedih, bosan, galau, bingung, dsb-nya], cobalah untuk tidak melarikan diri ke
curhat, mendengarkan lagu, menyanyi, merokok, minum minuman keras, dsb-
nya, tapi lakukan meditasi.

Duduklah dalam posisi meditasi. Konsentrasi kepada sentuhan keluar-


masuk nafas pada hidung. Cukup selama 1 menit saja. Singkat-singkat saja [cukup
1 menit] tapi sering, terutama disaat pikiran atau perasaan kita mulai kehilangan
ketenangannya. Letakkan dualitas pikiran-perasaan dan biarkan kejernihan di
dalam diri yang mengambil alih.

Sadari pikiran hanya sebagai pikiran, bukan sebagai kebenaran, juga bukan
sebagai kenyataan sejati diri kita. Sadari perasaan hanya sebagai perasaan, bukan
sebagai kebenaran, juga bukan sebagai kenyataan sejati diri kita. Jika kita tekun
berlatih meditasi seperti ini, suatu saat semua bentuk pikiran-perasaan yang
ekstrim hanya akan menimbulkan riak-riak sebentar saja, untuk kemudian
menghilang.
Kemarahan, kebencian, ketidakpuasan, kesedihan, dsb-nya, terjadi karena
kekuatan pikiran ekstrim kiri di dalam diri kita lebih mendominasi dibandingkan
dengan kekuatan kesadaran Atma. Demikian juga sebaliknya, kesenangan
berlebihan, kenikmatan, kebahagiaan, dsb-nya, terjadi karena kekuatan pikiran
ekstrim kanan di dalam diri kita lebih mendominasi dibandingkan dengan
kekuatan kesadaran Atma. Dengan melaksanakan praktek meditasi non-dualitas
setiap saat dalam dinamika kehidupan sehari-hari, kekuatan kesadaran Atma di
dalam diri kita akan terus-menerus diperkuat. Sehingga nantinya kekuatan
kesadaran Atma yang akan lebih mendominasi dibandingkan kekuatan pikiran.
Caranya adalah, apapun yang terjadi dalam perjalanan kehidupan kita gunakan
sebagai titik untuk kembali terhubung dengan kesadaran Atma di dalam diri.

Misalnya jika kita bertemu orang yang menyakiti, jangan fokuskan


perhatian kepada orang yang menyakiti, tapi pertama-tama kembalikan
kesadaran kita kepada nafas. Tarik nafas agak panjang. Kemudian sadari
kehadiran luka-luka rasa sakit atau api kemarahan yang membakar di dalam diri.
Terima kehadiran luka-luka rasa sakit atau api kemarahan dengan belas kasih
[mengerti kemunculannya tanpa penghakiman sama sekali] dan saksikan dengan
senyum kesadaran [sadar kalau sifat pikiran-perasaan tidak kekal, muncul dan
lenyap]. Disaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh belas kasih. Tanpa
dinilai sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya.

Atau misalnya ketika kita mengalami kesialan, jangan fokus kepada


kejadiannya, tapi pertama-tama kembalikan kesadaran kita kepada nafas. Tarik
nafas agak panjang. Kemudian sadari kehadiran gerakan pikiran-perasaan di
dalam diri. Misalnya muncul rasa sedih atau rasa kecewa. Sadari kehadiran rasa
sedih atau rasa kecewa yang muncul di dalam diri. Terima kehadirannya di dalam
diri dengan belas kasih dan saksikan dengan senyum kesadaran. Disaksikan saja
dengan senyuman damai dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai sebagai baik-buruk,
salah-benar, dsb-nya.

Atau misalnya ketika dalam pikiran kita muncul pikiran-perasaan seperti


galau, keresahan, nafsu, ketidakpuasan, dsb-nya. Pertama-tama kembalikan
kesadaran kita kepada nafas. Tarik nafas agak panjang. Kemudian sadari
kehadiran gerakan pikiran-perasaan tersebut di dalam diri, terima kehadirannya
di dalam diri dengan belas kasih dan saksikan dengan senyum kesadaran.
Disaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh belas kasih. Tanpa dinilai
sebagai baik-buruk, salah-benar, dsb-nya.

Dalam meditasi non-dualitas, kita menerima, terbuka dan mengalir kepada


setiap kondisi keadaan. Melakukan meditasi tanpa harapan bahwa meditasi harus
seperti ini atau meditasi harus seperti itu. Melaksanakan meditasi tanpa konsep
ini dan tanpa konsep itu. Menyadari bahwa sifat konsep adalah akan menciptakan
ketegangan dan belenggu baru bagi pikiran.

Banyak orang yang frustrasi dengan meditasi karena berharap setelah


sekian tahun berlatih meditasi, maka pikiran akan bisa dikendalikan atau dibuat
menjadi tidak berkeliaran kesana-kemari. Tidak bisa seperti itu. Semakin keras
kita berusaha mengendalikan pikiran atau membuatnya tidak berkeliaran kesana-
kemari, maka akan semakin frustasi perjalanan meditasi kita.

Dalam meditasi non-dualitas, kita menerima dengan terbuka semua kondisi


keadaan seperti apa adanya. Tidak ada yang perlu dirubah dalam meditasi. Satu-
satunya hal yang perlu dirubah adalah kualitas kesadaran kita terhadap apapun
yang sedang terjadi. Menyaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh belas
kasih apapun yang sedang terjadi seperti apa adanya.

Tidak lagi sibuk dengan cara terikat pada hal-hal positif dan menolak hal-hal
negatif. Tidak lagi sibuk terikat pada kedamaian dan menolak kekacauan. Tidak
lagi sibuk terikat pada kedamaian dan menolak kesengsaraan. Hanya dengan cara
penerimaan, keterbukaan dan mengalir pada setiap kondisi keadaan seperti apa
adanya, itulah yang dimaksud kita membawa kesadaran ke titik tengah.

Meninggalkan kedamaian dan ketenangan yang nyaman sungguh tidak


mudah. Sehingga di titik inilah diperlukan keberanian dan keteguhan untuk
melampauinya. Dalam meditasi kita belajar menyaksikan rwa bhinneda seperti
awan-awan di langit yang datang dan pergi. Yang positif, bahagia dan damai
adalah awan putih, yang negatif, sengsara dan kacau adalah awan hitam,
keduanya datang dan pergi secara tidak kekal.

Setiap kesempatan, usahakan untuk kembali “membawa kesadaran ke titik


tengah” pada apa saja yang sedang terjadi di saat ini. Pendek-pendek waktunya
tetapi sering dilakukan. Jika dilakukan lebih lama, apa lagi terlalu lama, cenderung
akan didikte oleh konsep.

Jika kita memeditasikan hal ini secara tekun dan mendalam, lama-lama
kesadaran akan seperti langit biru. Awan putih tidak membuat langit menjadi
putih, awan hitam tidak membuat langit menjadi hitam. Apa pun yang terjadi
langit tetap biru, luas tidak terbatas. Di tahap ini, semua dualitas pikiran,
kecenderungan pikiran dan konsep lenyap. Tidak ada lagi yang perlu digali, tidak
ada lagi yang perlu dicapai. Semuanya menjadi meditasi. Terutama dengan
mempertahankan keadaan pikiran yang kembali ke titik tengah. Pendek-pendek
waktunya tetapi sering dilakukan.

Kehidupan berjalan laksana roda lingkaran sempurna yang terus berputar


tidak berhenti. Alam berputar siang, malam dan siang lagi. Cuaca berputar hujan,
kemarau dan hujan lagi. Hubungan dengan orang lain juga berputar, suatu saat
seseorang menjadi sahabat, di waktu lain dia menjadi musuh. Suatu saat
seseorang memuji, di waktu lain dia menghujat atau menghina. Taman yang indah
juga berputar, sekarang taman disapu dan dibersihkan, nantinya daun berguguran
kembali berserakan. Tubuh fisik ini, di hari tertentu memberi kenikmatan melalui
makanan enak, di hari lain memberi rasa sakit melalui penyakit. Segala sesuatu
selalu berubah, tidak ada yang kekal.

Manusia hidupnya penuh dengan gejolak dan konflik karena pikirannya


terseret arus putaran roda lingkaran kehidupan. Melalui ketekunan melaksanakan
meditasi non-dualitas kita perlahan-lahan mendekati titik pusat roda lingkaran
yang disebut samadhi. Menjadi saksi abadi penuh belas kasih di titik pusat roda
lingkaran kehidupan. Disanalah seluruh gejolak dan konflik berhenti, digantikan
oleh kebijaksanaan.

Menjadi sadar bahwa tidak ada perbedaan antara mendapat pujian dengan
mendapat penghinaan. Keduanya hanya didengar dengan penuh belas kasih.
Menjadi sadar bahwa tidak ada perbedaan antara mendapat kebahagiaan dengan
mendapat kesengsaraan. Keduanya hanya dijalani dengan penuh belas kasih.
Mereka yang tekun berlatih seperti ini akan membawa jiwa-nya mencapai pusat
kesadaran Atma. Disana kehidupan akan berubah menjadi senyuman kejernihan.
Kebahagiaan-kesengsaraan, kebaikan-keburukan, kebenaran-kesalahan,
kesucian-kegelapan, selalu datang silih berganti, tapi semuanya hanya dilihat
sebagai awan-awan hitam dan awan-awan putih yang datang dan pergi oleh sang
Atma. Sang Atma hanya menyaksikan saja, laksana langit biru yang kekal tidak
berubah. Tidak memvonisnya [menghakiminya] sebagai bahagia-sengsara, baik-
buruk, benar-salah, suci-gelap. Hanya disaksikan saja dengan penuh belas kasih.

Simbolik kesadaran Atma adalah bunga padma [teratai, sekar tunjung],


yang tidak basah oleh air, tidak kotor oleh lumpur. Simbolik bunga padma
merupakan simbolik pikiran yang melampaui dualitas. Tidak basah oleh air
[pikiran tidak terbawa ekstrim ke kanan], tidak kotor oleh lumpur [pikiran tidak
terbawa ekstrim ke kiri]. Yang baik atau bagus tidak menjadi akar kesombongan,
yang jelek atau buruk tidak menjadi akar kemarahan dan permusuhan. Dalam
keheningan yang muncul adalah kebijaksanaan mendalam.

Seburuk apapun perjalanan kehidupan kita, segagal apapun perjalanan


kehidupan kita, semuanya hanya karma-karma yang mengalir, semata karena di
alam semesta ini berlaku hukum karma yang tidak bisa dibendung. Akan tetapi
kenyataan sejati diri kita dari awal yang tidak berawal tetaplah selalu Atma yang
sempurna.

Jalan menyadari kembali kesempurnaan bukanlah dengan cara


melenyapkan noda-noda pikiran atau melenyapkan ketidaksempurnaan. Jalan
menyadari kembali kesempurnaan adalah menjadi saksi dengan senyuman damai
dan penuh belas kasih yang sama terhadap apapun yang terjadi, serta apapun
bentuk pikiran-perasaan yang muncul, bahagia-sengsara, baik-buruk, benar-salah,
suci-gelap, dsb-nya.

Kita akan menyadari secara mendalam bahwa segala kejadian


sesungguhnya tidak membawa kebahagiaan-kesengsaraan, kebaikan-keburukan,
kebenaran-kesalahan, kesucian-kegelapan, dsb-nya. Semuanya merupakan hasil
dari dualitas pikiran kita sendiri. Sehingga menyadari pikiran kita hanya sebagai
pikiran, bukan sebagai kebenaran, bukan sebagai kenyataan sejati diri kita.
Menyadari perasaan kita hanya sebagai perasaan, bukan sebagai kebenaran,
bukan sebagai kenyataan sejati diri kita.
Ketika semua dualitas pikiran-perasaan terlampaui, kita langsung sampai di
puncak keheningan. Sadar bahwa sejak awal yang tidak berawal sampai akhir
yang tidak ada akhirnya, semuanya sempurna sebagaimana adanya. Sehingga
kehidupan menjadi mengalir sempurna dan tanpa memilih, karena semuanya
sempurna sebagaimana adanya.

Sebagaimana ajaran rahasia yang tertulis dalam sloka pertama dari


Ishavasya Upanishad :

Purnamadah Purnamidam
Purnat Purnamudachyate
Purnasya Purnamadaya Purnameva Vashishyate

Terjemahan :

Itu sempurna ini sempurna


Dari yang sempurna itu datangnya kesempurnaan ini
Jika kesempurnaan tersebut dihilangkan yang tersisa tetaplah kesempurnaan

Sejak awal yang tidak berawal sampai akhir yang tidak ada akhirnya,
semuanya sempurna sebagaimana adanya.

Akan tetapi hal ini bukanlah hal yang dapat dipahami dengan logika atau
pikiran. Kesempurnaan tidak akan pernah dapat dipahami melalui logika atau
pikiran. Kesempurnaan hanya bisa disadari melalui keheningan. Cara untuk dapat
menyadarinya adalah dengan tekun melaksanakan meditasi non-dualitas beserta
4 [empat] ruas landasan kesadaran. Sampai suatu hari kita akan mengalami
sendiri [bukan memahami melalui logika atau pikiran, karena tidak bisa]
keheningan sebagai pusat kesadaran Atma. Dalam keheningan itulah
disembunyikan rahasia kesempurnaan.

Pertanda kekuatan kesadaran sudah lebih mendominasi dibandingkan


kekuatan-kekuatan lain di dalam diri, adalah kita bisa berjarak sama pada semua
bentuk dualitas pikiran seperti bahagia-sengsara, baik-buruk, benar-salah, suci-
gelap, dsb-nya. Ketika dualitas pikiran berhenti, maka berhenti juga baik
kebahagiaan maupun kesedihan, kebenaran maupun kesalahan, kesucian maupun
kegelapan, dsb-nya. Bukan berarti tidak berpikir atau pikiran menjadi kosong, tapi
kesadaran kita berhenti didikte oleh pikiran. Kondisi dimana pikiran kita sudah
melampaui dualitas pikiran, sehingga mirip dengan air yang tenang dan jernih.

Salah satu kesalahan konseptual dalam dunia spiritual dharma yang banyak
terjadi adalah berpikir adanya suatu tujuan pencapaian yang menetap. Misalnya
tercapainya suatu kondisi kedamaian pikiran yang statis [tidak berubah] untuk
selama-lamanya. Itu adalah suatu hal yang tidak mungkin karena bertentangan
dengan hukum alam. Pikiran adalah energi dan energi tidak statis. Sifat energi
adalah dinamis, atau terus bergerak dalam aliran perubahan.

Jika pengertian kedamaian pikiran adalah perasaan yang selalu konstan


damai tenang-seimbang, tidak pernah ada pencapaian seperti itu. Karena pikiran-
perasaan mirip dengan gelombang samudera. Ada saatnya gelombang naik
dengan perasaan senangnya, ada saatnya gelombang turun dengan perasaan
sedihnya dan ada saatnya gelombang datar dengan galau-nya. Tapi jika
pengertian kedamaian pikiran adalah kemampuan untuk memberikan jarak yang
sama kepada pikiran-perasaan -entah sedih, entah senang, entah galau- maka
meditasi merupakan jalan untuk mencapai kedamaian seperti ini.

Meditasi tidak menghentikan gelombang pikiran-perasaan seperti sedih,


marah, senang atau galau. Sekali lagi tidak. Karena jika perasaan sedih, marah
atau galau sudah saatnya datang, itu akan datang dengan tidak bisa dibendung.
Tapi melalui ketekunan bermeditasi akan membuat kita bertransformasi dari diri
yang diseret arus gelombang [menangis kalau sedih, marah jika tersinggung,
melompat kalau gembira, murung jika galau], menjadi diri yang duduk tenang di
atas aliran gelombang, yaitu mampu untuk berjarak sama kepada pikiran-
perasaan [sedih damai, marah damai, senang damai, galau juga damai]. Caranya
ketika kesedihan datang, kesedihan itu disaksikan saja dengan senyuman damai
dan penuh belas kasih. Ketika kemarahan datang, kemarahan itu disaksikan saja
dengan senyuman damai dan penuh belas kasih. Ketika kesenangan datang,
kesenangan itu disaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh belas kasih.
Ketika galau datang, galau itu disaksikan saja dengan senyuman damai dan penuh
belas kasih.

Meditasi selama ini identik dengan duduk bersila memejamkan mata. Tapi
dalam meditasi non-dualitas, yang dimaksud meditasi adalah cara hidup yang
meditatif, hidup itu sendiri sebuah meditasi. Keheningan meditasi kita lanjutkan
dalam kehidupan sehari-hari. Hidup selalu dalam kesadaran. Jika tidak, maka saat
duduk meditasi bersila saja kita heningnya, setelah keluar darisana kesadaran
kembali kacau. Meditasi non-dualitas adalah sepanjang waktu. Bukan berarti
duduk meditasi bersila sepanjang waktu, tetapi hadirnya kesadaran sepanjang
waktu ketika kita dimanapun dan melakukan kegiatan apapun.

Hidup meditatif berarti hidup yang senantiasa eling dengan angga sarira
dan suksma sarira sepanjang waktu, saat dimanapun dan sedang apapun,
misalnya di rumah, di jalan, di kantor, saat bekerja, saat istirahat, saat menari,
saat membaca, saat berdiskusi, dsb-nya. Meditasi non-dualitas adalah hidup yang
disiplin dalam kesadaran. Dimana dan sedang apa, disitu hadir kesadaran, dalam
arti menjadi saksi yang penuh belas kasih terhadap setiap bentuk pikiran yang
datang, setiap emosi yang datang, setiap kegiatan yang dilakukan, tanpa
menilainya sebagai baik-buruk atau salah-benar.

Itulah apa yang diajarkan oleh leluhur kita di Bali dengan tehnik yang
disebut sebagai "maulu ke tengah". Pada prinsipnya adalah eling [sadar] dengan
pikiran-perasaan kita sendiri setiap saat, setiap detik, setiap menit, setiap jam,
untuk menjadi saksi yang penuh belas kasih, tanpa menilainya sebagai baik-buruk
atau salah-benar.

Meditasi dimulai ketika kita sadar dengan apa yang kita pikirkan, sadar
dengan apa yang kita rasakan, untuk kemudian menjadi saksi yang penuh belas
kasih, tanpa menilainya sebagai baik-buruk atau salah-benar.
Mungkin saat ini pikiran kita sangat kotor, tapi ketika kita sadar dengan
pikiran kotor itu, menyaksikannya dengan penuh belas kasih tanpa menilainya
sebagai baik-buruk atau salah-benar, itu berarti meditasi dimulai. Pemurnian diri
dimulai.

Jadi pada intinya meditasi non-dualitas adalah menjadi saksi yang penuh
belas kasih terhadap pikiran-perasaan kita sendiri, tanpa menilainya sebagai baik-
buruk atau salah-benar. Meditasi non-dualitas adalah menyadari apa yang kita
pikirkan, atau rasakan, setiap saat. Menyadari dengan “maulu ke tengah”, tanpa
menyalahkan, juga tanpa membenarkan. Jika kita menyalahkan itu bukan
meditasi. Jika kita membenarkan itupun juga bukan meditasi. Meditasi adalah
menyaksikan sebagaimana adanya, tanpa menilai, tanpa menghakimi, tanpa
membandingkan. Pikiran beristirahat dalam kesadaran.

Pikiran yang sering beristirahat dalam kesadaran, membuat ruang-ruang


pikiran semakin lebar dari hari ke hari. Ruang-ruang pikiran yang lebar akan
melahirkan keheningan. Dari keheningan seperti inilah akan melahirkan moralitas
secara alami. Karena orang yang sering mengistirahatkan pikirannya dalam
kesadaran, memiliki ruang-ruang pikiran yang lebar, sehingga secara alami tidak
lagi tertarik melakukan hal-hal yang melanggar moralitas.

Ini adalah moralitas yang muncul secara alami dan bukan moralitas yang
diperjuangkan atau dipaksakan. Tidak seperti orang biasa yang tidak terlatih
meditasi, dia harus berjuang atau memaksakan diri agar dapat memiliki moralitas.

Terdapat satu kesalahpahaman teknis yang diyakini banyak orang dalam


memperjuangkan moralitas, yaitu meyakini upaya mengendalikan pikiran-pikiran
negatif sebagai poros utama pengendalian diri, yang akan menghasilkan
moralitas. Sehingga banyak muncul jargon religius seperti “mengendalikan
pikiran”, “mengendalikan rasa marah”, atau “melawan hawa nafsu”, dsb-nya.
Karena dalam pandangan banyak orang munculnya pikiran negatif adalah salah.
Sehingga mereka membenci kemunculan pikiran negatif tersebut dan kemudian
berusaha melawan atau mengendalikan setiap pikiran negatif yang buruk. Banyak
praktisi spiritual terjebak disini.

Sesungguhnya sifat dasar pikiran memang punya kecenderungan untuk


berkeliaran, dimana pikiran positif dan buruk datang dan pergi. Jadi kita harus
mengetahui bahwa sifat dasar pikiran adalah berkeliaran kesana-kemari. Hal ini
sama dengan sifat dasar air yang basah, sifat dasar api yang panas, atau sifat
dasar dari samudera yang bergelombang. Mereka yang mencoba melawan atau
mengendalikan pikiran yang berkeliaran kesana-kemari, sama dengan menolak
basahnya air, menolak panasnya api, atau menolak gelombang samudera. Tidak
bisa.

Semakin keras kita berusaha melawan atau mengendalikan pikiran negatif,


maka tidak saja pikiran kita akan semakin penuh benturan konflik, tidak saja kita
menjadi frustasi, tapi sekaligus juga kita akan melukai jiwa kita sendiri.

Cara kerja pikiran itu seperti per. Berusaha melawan atau mengendalikan
kemunculan pikiran yang negatif seperti “mengendalikan pikiran”,
“mengendalikan rasa marah”, atau “melawan hawa nafsu”, dsb-nya, itu sama
seperti menekan per. Semakin ditekan semakin besar energi yang disimpan, yang
akan terus mengembang dan siap kapan saja menghantam balik. Sudah menjadi
hukum alam bahwa pikiran tidak bisa ditekan, karena dia sudah pasti akan
mencari jalan keluar.

Jadi tidak heran orang yang berusaha melawan atau mengendalikan pikiran
negatifnya, maka akan semakin besarlah pikiran negatifnya. Orang yang berusaha
menekan rasa marahnya maka akan semakin besarlah rasa marahnya. Orang yang
berusaha menekan hawa nafsunya maka akan semakin besarlah hawa nafsunya.
Atau kemungkinan lain, upaya melawan atau mengendalikan pikiran-pikiran
negatif itu akan meledak dalam bentuk-bentuk yang lain. Artinya orang yang
sering berusaha menekan pikiran-pikiran negatifnya akan menjadi mudah marah,
minta dihormati, mudah tersinggung, suka menghakimi, sombong, dsb-nya,
sebagai kompensasi dari menekan pikiran-pikiran negatifnya. Sebagai akibat dari
menekan energi yang sudah pasti energi itu akan mencari jalan keluar.

Pikiran yang berkeliaran, dimana pikiran positif dan pikiran negatif datang
dan pergi, adalah hal yang alami sesuai hukum alam. Terlalu menekan [melawan
atau mengendalikan] pikiran negatif di dalam diri kita sendiri [yang sifatnya alami
sesuai hukum alam] akan memantul balik dalam bentuk kekacauan di dalam jiwa
kita. Setiap bentuk pikiran-pikiran yang ditekan dan dilarang secara berlebihan
kemudian akan terlempar ke “gudang” bernama alam bawah sadar. Begitu
“gudang” itu penuh, kelak dia akan muncul ke permukaan dalam bentuk galau,
kesedihan tanpa sebab, keinginan untuk dihormati, suka menghakimi,
keangkuhan, dsb-nya.

Artinya upaya melawan atau mengendalikan pikiran-pikiran negatif dalam


jangka panjang dapat bermanifestasi menjadi berbagai jenis sifat perilaku yang
bersifat merusak diri sendiri dan orang lain. Inilah sebabnya para Satguru yang
sudah melakukan meditasi mendalam ke alam pikiran, akan mengatakan bahwa
ajaran agama, serta standar norma dan moralitas masyarakat [yang salah secara
teknis seperti “mengendalikan pikiran”, “mengendalikan rasa marah”, “melawan
hawa nafsu”, dsb-nya] membuat jiwa manusia menjadi gelisah, rusak dan
terbelah.

Karena semua rasa sakit di dalam diri, semua kekacauan mental dan
kekacauan spiritual, berakar dari kegagalan untuk mengalir menerima diri sendiri
dan kehidupan seperti apa adanya. Semua hal akan cenderung mudah terlihat
salah dan menyakitkan. Bahkan ajaran-ajaran agama akan sulit dilaksanakan,
karena dengan diri kita sendiri saja kita masih terus-menerus bertempur.
Sehingga ajaran agama tidak digunakan untuk menciptakan pondasi ketenangan
yang kita butuhkan, tapi malah untuk menciptakan pertempuran baru dengan diri
sendiri.

Kebanyakan manusia mengalami kesulitan untuk dapat menerima diri dan


kehidupan seperti apa adanya, disebabkan pengkondisian pikiran yang sudah
berumur sangat lama. Pikiran dikondisikan oleh pendidikan orang tua, pendidikan
di sekolah, ajaran agama, standar sosial lingkungan, standar norma dan moralitas
masyarakat, dsb-nya. Semua pengkondisian ini menyebabkan manusia
mencengkeram erat dualitas pikiran.

Walaupun hal ini sebenarnya juga dapat dimengerti. Sebab cara kerja
pikiran agar mengerti hanya bisa dengan menilai dan memilah ke dalam dualitas.
Pikiran hanya bisa mengerti tentang baik jika ada yang buruk. Pikiran hanya bisa
mengerti tentang kesucian jika ada yang kekotoran. Pikiran hanya bisa mengerti
tentang keindahan jika ada yang jelek. Pikiran hanya bisa mengerti tentang
bahagia jika ada sengsara. Pikiran hanya bisa mengerti tentang kehormatan jika
ada kehinaan. Tanpa dualitas, pikiran tidak akan dapat bekerja secara aktif.
Artinya, dualitas pikiran sesungguhnya hanya tembok pemisah imajiner
untuk membantu mempermudah pikiran mengerti. Tapi sayangnya dari sinilah
keutuhan sempurna diri kita kemudian terpecah-belah, karena seolah-olah benar
dipisahkan oleh tembok imajiner. Pikiran manusia kemudian mengganggap bahwa
tembok imajiner itu benar-benar ada. Membuat manusia menjadi bernafsu hanya
ada benar tanpa ada salah, hanya ada suci tanpa ada kotor, hanya ada bahagia
tanpa ada sengsara, hanya ada keindahan tanpa ada jelek, hanya ada kehormatan
tanpa ada kehinaan, dsb-nya. Ini tidak bisa, karena melawan hukum-hukum alam.

Nafsu dan kesalahpahaman seperti inilah yang menjadi awal kekacauan


jiwa, kelelahan mental, sekaligus kejatuhan spiritual manusia. Manusia bernafsu
ingin hidup hanya dalam kebenaran, tapi dia tetap saja melakukan kesalahan
demi kesalahan. Manusia bernafsu ingin hidup hanya dalam pikiran suci, tapi dia
tetap saja tidak dapat lepas dari pikiran buruk dan kotor. Manusia bernafsu ingin
hidup selalu dalam kebahagiaan, tapi dia tetap saja mengalami kesengsaraan.
Manusia bernafsu ingin hidup selalu dalam kehormatan, tapi dia tetap saja
mengalami kehinaan. Sebagaimana sudah dialami banyak orang, semua orang
harus sangat kecewa pada akhirnya. Karena itu tidak bisa, sebab itu sama dengan
melawan hukum-hukum alam.

Nafsu tentang mengalami keadaan yang sepenuhnya positif sesungguhnya


adalah melawan hukum-hukum alam. Jika kita melawan hukum-hukum alam
akibatnya adalah jiwa kita akan menjadi penuh dengan luka-luka. Ide tentang
mengalami keadaan yang sepenuhnya positif, tidak saja sangat naif, tapi juga
menjadi penghalang besar pertumbuhan spiritual.

Kekacauan dan kelelahan mental manusia terjadi karena manusia


mengalami banyak “kebocoran energi” dengan cara naik dan turun bersama
dualitas pikiran dan gelombang pikiran-perasaan. Ketika pengalaman hidup
dipandang baik, benar, positif, suci, mulia, indah, atau sukses, manusia
membuang banyak energinya dengan cara larut dalam rasa senang. Ketika
pengalaman hidup dipandang buruk, salah, negatif, kotor, hina, jelek, atau gagal,
manusia membuang banyak energinya dengan cara marah-marah, kecewa, atau
merasa sedih, merasa bersalah, merasa hina, merasa berdosa, atau merasa gagal.

Manusia dengan kebocoran energi seperti itu energinya akan banyak habis.
Di alam [nature] ini terdapat suatu pola. Polanya adalah dia akan membutuhkan
kompensasi dari “kebocoran energi”-nya tersebut. Kehabisan energi ini akan
berusaha diisi ulang dengan cara memarahi orang, menyalahkan orang, atau sibuk
mengkritik dan menghakimi ini dan itu. Memuliakan dirinya dan merendahkan
yang lain. Saya benar, orang lain salah. Saya baik, orang lain buruk. Kelompok
spiritual saya bagus, kelompok yang berbeda menyimpang. Hal-hal seperti itu.

Semakin tinggi dan tebal tembok imajiner dualitas pikiran, maka semakin
keras konflik akan menjerat di dalam diri [pikiran] dan diluar [dengan orang lain].

Intinya seni meditasi non-dualitas adalah seni mengalir. Alam mengalir


dengan siang dan malamnya. Demikian juga dengan badan, pikiran dan perasaan.
Pikiran mengalir dengan salah-benarnya. Perasaan mengalir dengan sedih-
senangnya. Semuanya mengalir tanpa ada yang bisa menghentikannya. Sehingga
tidak ada pilihan lain selain mengalir. Meditasi non-dualitas mengajarkan, rahasia
keheningan ada di dalam aliran itu sendiri.

Meditasi non-dualitas diajarkan oleh leluhur kita di Bali dengan tehnik yang
disebut sebagai "maulu ke tengah". Mereka yang ingin bertemu kejernihan
pikiran disarankan kembali ke tengah. Tidak mengikuti bentuk-bentuk pikiran-
perasaan, sekaligus tidak berusaha mengendalikan atau melawannya. Tapi
menjadi saksi yang penuh belas kasih terhadap setiap bentuk pikiran-perasaan
yang datang, tanpa menilainya sebagai baik-buruk atau salah-benar. Itulah maulu
ke tengah. Menjadi saksi yang tersenyum penuh belas kasih secara sama baik
kepada “unsur dewa” maupun “unsur bhuta” di dalam diri, dengan tanpa
penilaian, tanpa penghakiman.

Meditasi non-dualitas membebaskan kita dari kekacauan dan kelelahan


mental yang berakar dari dualitas pikiran, dengan cara membuat kita seutuhnya
menerima diri sendiri dan kehidupan kita seperti apa adanya. Jangankan
kebenaran, kesucian, kebahagiaan dan kehormatan, bahkan kesalahan,
kekotoran, kesengsaraan dan kehinaan juga diterima apa adanya dalam meditasi.
Apapun bentuk-bentuk perasaan [bahagia-sengsara], persepsi pikiran [benar-
salah, kehormatan-kehinaan], formasi mental [suci-kotor, disayangi-disakiti,
sukses-gagal], semuanya diterima apa adanya, diberikan jarak yang sama,
semuanya dilihat tanpa penilaian dan penghakiman, semuanya disambut dengan
senyuman penuh belas kasih yang sama.
Meditasi non-dualitas menyelamatkan kita dengan cara seperti itu.
Sebelum praktek meditasi, pikiran kita dicengkeram kuat oleh dualitas pikiran,
untuk kemudian kita mengalami banyak kekacauan dan kesengsaraan pikiran.
Meditasi non-dualitas hanya menyaksikan saja dengan penuh belas kasih. Sedih-
bahagia, kebenaran-kesalahan, tragedi-komedi, dihina-dipuji, disakiti-disayangi,
pikiran suci-pikiran buruk, semuanya hanya disaksikan dengan senyuman penuh
belas kasih, dengan tanpa penilaian, tanpa penghakiman.

Setiap orang yang meditasinya mendalam tahu, meditasi tidak dapat


menghentikan karma. Jika waktunya datang maka karma akan datang dengan
tidak bisa dibendung. Karma bisa datang dalam bentuk kejadian, pikiran, perasaan
dan formasi mental. Meditasi tidak meditasi, sembahyang tidak sembahyang,
karma tetap akan datang tanpa bisa dibendung, karena demikianlah hukumnya.

Ada orang yang mengira meditasi bisa membuat orang bahagia dan damai
selama-lamanya. Jangankan manusia biasa bahkan para Satguru yang sudah
mencapai kesadaran sempurna juga mengalami sedih, marah dan galau. Bedanya
kalau orang biasa diseret oleh kesedihan, para Satguru melihat rasa sedih, rasa
marah atau rasa galau hanya seperti sampah yang mengalir di sungai. Ia datang
kemudian lewat. Pikiran juga tidak berbeda. Sejumlah orang mengira kalau
meditasi bisa membuat pikiran selalu positif dan bijaksana. Lagi-lagi pandangan
ini perlu dikoreksi. Mirip dengan awan di langit, pikiran positif dan negatif datang
dan pergi sesuai dengan hukumnya. Tugas meditasi hanya menyaksikan awan-
awan ini, sehingga suatu hari bisa menjadi langit biru yang tidak berhingga.

Meditasi tidak dapat membuat pikiran selalu positif dan bijaksana. Karena
sebagaimana leluhur kita di Bali mengajarkan bahwa manusia itu “dewa ya bhuta
ya”, semasih kita mengenakan tubuh manusia pikiran positif dan negatif datang
dan pergi secara alami. Tugas meditasi hanya menyaksikan awan-awan pikiran ini,
sehingga suatu hari bisa menjadi langit biru yang luas tidak terhingga. Meditasi
tidak dapat membuat perasaan kita selalu bahagia dan damai selama-lamanya.
Karena perasaan positif dan negatif datang dan pergi sesuai dengan hukum
karma. Tapi meditasi membuat kita dapat melihat kesedihan dan kegundahan
hanya seperti sampah yang mengalir di sungai. Ia datang kemudian lewat.

Meditasi hanya memperbesar kemampuan seseorang untuk menerima dan


mengalir sempurna dengan setiap aliran pikiran, perasaan dan karma-karma yang
datang sesuai hukum alam. Meditasi melalui kegiatan menjadi saksi yang
tersenyum penuh belas kasih, secara pelan tapi pasti membuat ruang-ruang
pikiran semakin lebar dari hari ke hari. Sehingga kita bisa menjaga jarak dengan
pikiran dan perasaan. Tetap tenang-seimbang dan tersenyum apapun pikiran dan
perasaan yang muncul. Itu sebabnya, ada yang menulis kalau puncak meditasi
adalah kemampuan untuk menderita secara tidak terbatas. Terima, mengalir,
tersenyum.

Pada puncaknya seorang praktisi akan mengalami keheningan sempurna


[sepi, hening, sunyi], sekaligus menyadari hakikat sejati manusia adalah Atma. Diri
kita sesungguhnya utuh dan sempurna dari sejak awal yang tidak berawal.

Akan tetapi sekali lagi bahwa, walaupun sudah mencapai tingkat


kesempurnaan, sesempurna apapun pencapaian spiritual kita, pengalaman-
pengalaman hidup yang sengsara dan menyakitkan pasti masih tetap selalu ada,
demikian juga pikiran dan emosi negatif juga pasti masih tetap ada, sebagai
fenomena alam sebagaimana adanya.

Bahkan para Satguru yang sudah mencapai kesadaran sempurna juga


emosinya masih tetap ada. Karena sebagaimana leluhur kita di Bali mengajarkan
bahwa manusia itu “dewa ya bhuta ya”, semasih kita mengenakan tubuh
manusia, adanya emosi merupakan pola yang sangat alami. Tapi bedanya oleh
para Satguru emosi hanya disaksikan saja dengan senyuman penuh belas kasih,
tanpa penilaian, tanpa penghakiman. Sehingga emosi itu akan lewat dengan
sendirinya. Laksana batu yang jatuh ke kolam, menimbulkan riak sebentar,
kemudian lenyap. Karena pikiran sudah seluas ruang tidak terhingga, hal itu tidak
lagi menimbulkan kesengsaraan. Sekaligus bisa bersikap penuh belas kasih secara
sempurna kepada rasa sakit, penyakit dan orang yang menyakiti.

Ini yang menjelaskan kenapa para praktisi meditasi yang mendalam


pikirannya damai dan senyumannya damai. Satu-satunya sebab karena di setiap
detik pengalaman kehidupan memandang dan mengalir sebagaimana adanya,
dengan tanpa penilaian, tanpa penghakiman. Memandang segala sesuatu sebagai
fenomena alam sebagaimana adanya.

Leluhur kita di Bali menyebutnya dengan pesan spiritual yang sangat


mengagumkan, yaitu “nak mula keto”. Bagi orang biasa yang tidak praktek
meditasi dan pikirannya dicengkeram kuat oleh dualitas pikiran [haus akan
jawaban, haus dengan perdebatan, merasa senang dengan perselisihan], pesan
spiritual leluhur kita di Bali ini akan terasa sangat mengecewakan. Bodoh, tolol,
goblok, malas berpikir, kuno, itulah penilaian yang mungkin muncul. Tapi bagi
para praktisi meditasi mendalam akan tersenyum-senyum kagum. Dimana leluhur
kita di Bali dapat menemukan jawaban sesempurna ini, kalau bukan dengan jalan
beryoga [meditasi].

“Nak mula keto” memiliki makna bahwa segala sesuatu bukan salah, bukan
benar, bukan netral. Bukan sedih, bukan senang, bukan datar. Segala sesuatu
adalah fenomena alam sebagaimana adanya, “nak mula keto”, tidak ada yang
perlu dijelaskan. Semua bentuk fenomena adalah kesempurnaan tarian kosmik
Shiwa [Shiwa Nataraja] yang sama, tarian energi-energi semesta yang mengalir
dan menari sempurna sesuai dengan hukum-hukum kosmik, yaitu hukum Karma
dan hukum Rta.

Di dalam ajaran dharma kuno ada ungkapan seperti ini : "begitu baju luar
dilepaskan dengan penuh keikhlasan, maka tubuh cahaya di dalam langsung
kelihatan". Maknanya sederhana, berlatihlah untuk melepaskan, yaitu
melepaskan semua fenomena diluar dan di dalam diri.

Ini sering disebut sebagai jalan yang ke empat. Bukan salah, bukan benar,
bukan netral. Bukan sedih, bukan senang, bukan datar. Jalan ke-empat adalah
jalan menyaksikan. Menjadi saksi yang penuh belas kasih kepada semua
fenomena, dengan tanpa penilaian, tanpa penghakiman. Siapa saja yang sudah
lama mempraktekkannya akan mengerti, inilah jalan kembalinya kesadaran Atma.
Kembali ke sifat alami Atma. Keheningan sempurna yang berlimpah belas kasih
dan kebaikan kepada semua.

Esensi dasar semua mahluk adalah kesadaran Atma. Sayangnya,


ketidaktahuan [avidya] membuat nyaris semua mahluk mengidentikkan dirinya
dengan hal-hal tidak kekal seperti tubuh, pikiran dan perasaan. Tujuan meditasi
adalah upaya untuk membuat pikiran-perasaan kita agar polos tanpa dualitas
pikiran. Sepolos pikiran anak-anak. Dari pikiran polos anak-anak inilah kemudian
lahir keheningan yang sangat menerangi kesadaran. Pencapaian kesadaran Atma
suatu hari akan membuat kita menjadi samudera yang tidak terhingga. Di
permukaan samudera tetap ada gelombang, tapi gelombang hanya bagian sangat
permukaan dari samudera luas tidak terbatas.

Di tahap ini pikiran sudah dimurnikan, tapi kesadaran Atma belum


disempurnakan. Sudah sangat dekat tapi belum sempurna. Karena keheningan
baru sempurna jika diisi dengan kesempurnaan belas kasih dan kebaikan kepada
semua. Demikian juga belas kasih dan kebaikan baru sempurna jika dilakukan
dalam keheningan [tanpa ego, ke-aku-an]. Jika keduanya sudah sama kuatnya,
disanalah ”sesuatu yang lain” akan bangkit, yang disebut sebagai Atma Tattwa
atau Atma Jnana [kesadaran Atma]. Keheningan pikiran yang berpasangan dengan
belas kasih dan kebaikan sempurna kepada semua.

Mereka yang tekun berlatih seperti ini suatu hari akan mengerti di dalam
diri kita sendiri terdapat kekuatan suci yang maha-agung, yaitu kesadaran Atma
yang sudah ada di dalam diri sejak dari awal yang tidak berawal. Kesadaran ini
membuat kita memahami kenyataan diri tertinggi, pengetahuan rahasia tertinggi
dan sekaligus terbebas dari belenggu siklus samsara.

3. KEHENINGAN : ISTIRAHAT DALAM KESADARAN

Menyangkut PERKATAAN dan PERBUATAN, berusahalah menyempurnakan


perkataan dan perbuatan kita agar selalu baik dan positif. Yaitu perkataan dan
perbuatan yang menyejukkan, yang bersifat kebaikan, serta bukan kejahatan dan
tidak menyakiti.

Perkataan yang diucapkan berulang-ulang dalam waktu lama, atau


perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam waktu lama, pasti akan masuk
dalam kesadaran menjadi kecenderungan pikiran [vasana]. Suatu saat hal itu akan
muncul sebagai kekuatan pendorong dari dalam diri. Itulah sebabnya mengapa
[misalnya / contoh] banyak orang yang tidak mau melakukan kekerasan, tapi
diluar kendali dirinya kesehariannya penuh dengan kekerasan. Sehingga
berusahalah menyempurnakan perkataan dan perbuatan kita agar selalu baik dan
positif. Jika kita tidak yakin perkataan atau perbuataan kita baik dan positif,
gantilah dengan diam dan tersenyum.

Menyangkut PIKIRAN kita, istirahatlah dalam kesadaran. Jadi bukan


berusaha menyempurnakan pikiran dan perasaan kita agar selalu baik dan positif,
tapi istirahat dalam kesadaran. Kita tidak akan pernah bisa membuat pikiran dan
perasaan kita menjadi baik dan positif secara sempurna. Semata-mata karena
secara alami di dalam tubuh fisik, pikiran dan perasaan kita terdapat sangat
banyak kontradiksi. Jika kita berusaha untuk membuat pikiran dan perasaan kita
menjadi baik dan positif secara sempurna, pada akhirnya hanya akan membuat
kita frustasi, penuh konflik, kelelahan dan putus asa.

Kita baru bisa menemukan kesempurnaan dengan beristirahat dalam


kesadaran. Menyatu dengan keheningan.

Segala bentuk pikiran, perasaan dan gagasan, hanya disaksikan saja dengan
senyuman penuh belas kasih. Istirahat dalam kesadaran. Menyatu dengan
keheningan.

Mereka yang akan mengalami kesulitan besar untuk beristirahat dalam


kesadaran, untuk menyatu dengan keheningan, adalah mereka yang punya
kecenderungan kuat untuk menolak dan melawan. Yaitu mereka yang pikirannya
terlalu kuat dengan salah-benar, baik-buruk, bahagia-sengsara, dsb-nya, atau
mereka yang perasaannya terlalu kuat diseret oleh rasa sedih-bahagia, marah-
damai, dsb-nya, serta mereka yang terlalu lama tenggelam dalam dogma agama
atau spiritual.

Tapi sesulit apapun hal ini, kita tekunlah belajar untuk menjadi saksi yang
tersenyum tenang dan penuh belas kasih. Semua hal yang oleh pikiran dianggap
salah-benar, baik-buruk, bahagia-sengsara, dsb-nya, adalah tarian kosmik Shiwa
[Shiwa Nataraja] yang sama. Semua jenis perasaan seperti sedih-bahagia, marah-
damai, dsb-nya, adalah tarian kosmik Shiwa yang sama. Pikiran hanya pikiran
bukan diri kita. Perasaan hanya perasaan bukan diri kita. Gagasan hanya gagasan
bukan diri kita.

Begitu kita mulai belajar istirahat dalam kesadaran, disana kita mulai
termurnikan, tapi belum tersempurnakan. Kesempurnaan baru tercapai ketika
kita dapat menyatukan keheningan dengan belas kasih dan kebaikan yang
mendalam. Disana kegelapan di dalam diri akan menghilang dan kehidupan
berubah menjadi samudera senyuman penuh cahaya.
PENUTUP
Marga Sunia : Jalan Hening

Meditasi tidaklah sama dengan mengosongkan pikiran. Meditasi


tidaklah sama dengan melenyapkan pikiran. Meditasi tidaklah sama dengan
membunuh pikiran. Meditasi lebih dekat dengan latihan untuk selalu
"istirahat" di saat ini seperti apa adanya.

Keheningan tidak sama dengan keadaan pikiran yang kosong, atau


pikiran yang lenyap, atau pikiran yang terbunuh. Keheningan juga bukan
keadaan pikiran-perasaan yang selalu konstan terus-menerus damai tenang-
seimbang. Dari jaman dulu sampai ke masa depan tidak pernah ada
pencapaian seperti itu.

Karena sifat alami pikiran-perasaan manusia mirip dengan gelombang


samudera. Ada saat gelombang naik dengan perasaan senangnya, ada saat
gelombang turun dengan perasaan sedihnya, ada saat gelombang datar
dengan perasaan galau-nya. Ada saat gelombang naik dengan pikiran tenang-
jernihnya, ada saat gelombang turun dengan pikiran kacaunya, ada saat
gelombang datar dengan pikiran bingungnya. Demikianlah sifat alami pikiran-
perasaan manusia.

Keheningan adalah kemampuan untuk memberikan jarak yang sama


kepada pikiran-perasaan. Entah pikiran-perasaan kita saat ini sedang
mengalami kemarahan, atau kesedihan, atau kebahagiaan, atau datar, hambar,
galau, atau tenang, atau kacau, tapi kita bisa tersenyum damai, berjarak dan
merasa nyaman seperti apapun pikiran-perasaan yang muncul.

Meditasi kesadaran [meditasi non-dualitas, advaitta-citta] merupakan


sadhana utama untuk mencapai keheningan. Tapi meditasi kesadaran tidak
dapat menghentikan gelombang pikiran-perasaan. Sekali lagi tidak. Karena
sifat alami pikiran-perasaan manusia mirip dengan gelombang samudera.
Tapi melalui ketekunan praktek meditasi kesadaran akan membuat kita
mengalami perubahan kesadaran. Dari diri yang diseret arus gelombang
[menangis kalau sedih, marah jika tersinggung, murung jika galau, merasa
bersalah jika pikiran kacau, dst-nya], menjadi diri yang duduk tenang
tersenyum di atas semua bentuk riak-riak gelombang. Dapat memberikan
jarak yang sama kepada apapun pikiran-perasaan yang muncul.

Meditasi kesadaran adalah praktek melatih kesadaran dengan cara


menjadi saksi yang penuh belas kasih. Ketika mengalami perasaan sedih,
perasaan sedih itu disaksikan saja dengan senyuman penuh belas kasih.
Ketika mengalami perasaan senang, perasaan senang itu disaksikan saja
dengan senyuman penuh belas kasih. Ketika mengalami perasaan galau dan
hambar, perasaan galau dan hambar itu disaksikan saja dengan senyuman
penuh belas kasih. Ketika pikiran tenang, pikiran tenang itu disaksikan saja
dengan senyuman penuh belas kasih. Ketika pikiran kacau atau buruk, pikiran
yang kacau atau buruk itu disaksikan saja dengan senyuman penuh belas
kasih. Sebagaimana yang tertulis dalam Upanishad sebagai “neti, neti”. Ini
bukan dan itu bukan. Kenyataan sejati diri kita bukanlah tubuh, pikiran atau
perasaan. Kenyataan sejati diri kita adalah kesadaran Atma [Atma Jnana],
keheningan yang berlimpah belas kasih dan kebaikan.

Bagi para sadhaka pemula, biasanya melakukan praktek meditasi penuh


halangan. Itu merupakan suatu hal yang wajar dan biasa. Halangan tersebut
secara umum adalah :

1] Halangan tubuh fisik -- tubuh yang lelah, kaki terasa sakit karena lama
duduk bersila, dsb-nya.
2] Halangan mental -- malas, ragu-ragu, dsb-nya.
3] Halangan konsep dan gagasan -- bahwa meditasi harus mencapai begini
dan begitu, meditasi harus selalu mendamaikan [padahal meditasi juga
mengalami siklus naik-turun], dsb-nya.

Sesungguhnya yang terpenting dalam praktek meditasi bukanlah


hasilnya, tapi membiasakan diri melakukan praktek meditasi. Lakukan terus
meditasi agar menjadi kebiasaan. Meditasi adalah sadhana yang harus terus
dilakukan secara konsisten selama bertahun-tahun.

Praktek melatih kesadaran membutuhkan waktu, ketekunan dan


kesabaran. Serta tidak cukup hanya dengan satu sadhana tunggal saja, tidak
cukup hanya dengan meditasi kesadaran saja. Kita memerlukan sadhana-
sadhana lainnya. Kita memerlukan sebuah sistem sadhana yang saling
berkait-kaitan satu sama lain sebagai jalan dhyana-yoga, yang bekerja
bersama-sama secara sistematis untuk mengarahkan sadhaka mencapai
kesempurnaan kesadaran Atma. Yaitu 4 landasan kesadaran sebagai praktek
dalam kehidupan sehari-hari, sebagai upaya mencapai kejernihan pikiran.
Disertai 1 ruas praktek meditasi sebagai titik pusat yang akan menyatukan
dan memperdalam semuanya, sekaligus sebagai jalan kesadaran Atma.
Semuanya ke-5 [lima] ruas ini saling berkait-kaitan, saling melengkapi dan
saling menyempurnakan, sebagai jalan kesadaran Atma.

Tidak akan cukup hanya dengan satu sadhana tunggal saja, tidak akan
cukup hanya dengan meditasi kesadaran saja. Misalnya [hanya sebuah
contoh], jika kita tekun melakukan praktek meditasi kesadaran, tapi dalam
keseharian kita tidak tekun melakukan praktek perkataan dan perbuatan
yang baik, misalnya kita sering menghina, sering berbohong, sering menyakiti,
tidak puas, serakah, egois, dst-nya, maka daya angkat meditasi terhadap
kesadaran sangat lemah. Sebaliknya jika kita tekun melakukan praktek
perkataan dan perbuatan yang baik, tapi dalam keseharian kita tidak praktek
meditasi kesadaran, maka kemajuan kesadaran kita akan berjalan lambat.
Hanya jika kita tekun melakukan praktek meditasi kesadaran dan praktek
perkataan dan perbuatan yang baik secara bersama-sama, barulah kesadaran
kita akan cepat majunya.

Keheningan adalah kemampuan untuk memberikan jarak yang sama


kepada semua bentuk pikiran-perasaan yang muncul. Kesedihan,
kesengsaraan, ketidakpuasan, keserakahan, kemarahan, kebosanan,
ketersinggungan, kesedihan, kesenangan, dsb-nya, adalah ilusi yang muncul
dari dalam diri kita, tapi tidak kita sadari keberadaannya sebagai ilusi. Karena
kita tidak mengenal kesadaran Atma yang ada didalam diri. Kita tidak
mengenal kenyataan diri yang sejati.

Pikiran yang hening itu sesungguhnya sangat sederhana. Pikiran yang


"istirahat" disaat ini seperti apa adanya. Istirahat dari segala bentuk
kontradiksi [dualitas pikiran].

Secara alami di dalam tubuh fisik, pikiran dan perasaan kita terdapat
banyak kontradiksi [dualitas]. Misalnya baik melawan buruk, benar melawan
salah, suci melawan kotor, bahagia melawan sengsara, untung melawan rugi,
sukses melawan gagal, berani melawan takut, rasa lepas melawan rasa malu,
agama melawan ilmu pengetahuan, damai melawan kacau, ekspresi diri
melawan norma sosial, logika melawan rasa, menyenangkan melawan
menyakitkan, pendapat saya benar melawan pendapat orang lain salah, dsb-
nya. Serta masih banyak sekali ada berbagai kontradiksi-kontradiksi lainnya
di dalam diri kita.

Semakin keras kesadaran kita dicengkeram oleh kontradiksi-


kontradiksi [dualitas], apalagi jika kita menilai atau menghakimi sebagai
salah, jelek, buruk, atau dosa, berdasarkan pikiran yang terkondisi oleh ajaran
agama, norma sosial, pengetahuan, atau gagasan, maka semakin hiruk-pikuk
dan ramailah guncangan konflik kontradiksi di dalam diri.

Hampir semua kekacauan mental, kejiwaan dan kesadaran, berasal dari


guncangan-benturan konflik kontradiksi di dalam diri. Lebih jauh dari itu,
dalam ajaran Tantra disebutkan bahwa, kebiasaan pikiran yang diguncang
kontradiksi [dualitas] inilah yang menarik kita untuk kembali lagi dan kembali
lagi ke alam samsara yang penuh kesengsaraan ini. Hal itu sesederhana lalat
yang mencari sampah atau katak yang mencari kolam. Selain itu dalam ajaran
Tantra juga disebutkan bahwa hukum karma bekerja lebih keras pada
manusia yang kesadarannya diguncang kontradiksi [dualitas].

Mencapai pikiran yang hening atau tidak, kita manusia masih akan tetap
dan selalu memiliki banyak kontradiksi [dualitas] di dalam diri. Semata-mata
karena sifat alami tubuh fisik, pikiran dan perasaan kita memang penuh
kontradiksi. Bedanya pikiran yang hening "istirahat" disaat ini seperti apa
adanya. Istirahat dari pembandingan, istirahat dari penghakiman, istirahat
dari persaingan, istirahat dari ketidakpuasan, dsb-nya. Istirahat dari segala
kontradiksi yang muncul di dalam diri. Apapun bentuk kontradiksi yang
muncul di dalam diri hanya disaksikan saja dengan senyuman penuh belas
kasih. ISTIRAHAT. Inilah yang disebut sebagai jalan hening atau marga sunia.

Pikiran hanyalah pikiran, bukan diri kita. Perasaan hanyalah perasaan,


bukan diri kita. Gagasan hanyalah gagasan, bukan diri kita. Kemunculan
pikiran, perasaan dan gagasan hanya disaksikan saja dengan senyuman penuh
belas kasih. Kemunculan segala kontradiksi-kontradiksi di dalam diri hanya
disaksikan saja dengan senyuman penuh belas kasih. ISTIRAHAT.

Salah satu pertanda penting tercapainya keheningan [Kesadaran Atma]


adalah saat kita merasa tenang, nyaman, aman dan damai, terhadap semua
kemunculan kontradiksi-kontradiksi [dualitas] pikiran dan perasaan di dalam
diri. Kemunculannya hanya disaksikan saja dengan senyuman penuh belas
kasih tanpa penghakiman sama sekali. Pikiran yang ISTIRAHAT. Istirahat
dalam keheningan.

Di tahap ini kesadaran Atma sudah dekat, tapi belum disempurnakan.


Sudah dekat tapi belum sempurna. Kesadaran Atma baru tercapai sempurna,
jika dari keheningan kemudian melahirkan belas kasih dan kebaikan yang
sangat mendalam kepada semua mahluk [keterhubungan kosmik yang
sempurna].

Om shanti shanti shanti Om !


RUMAH DHARMA - HINDU INDONESIA

Kumpulan e-book lengkap dari Rumah Dharma - Hindu Indonesia bisa di-
download secara gratis tanpa dipungut biaya apapun di :

tattwahindudharma.blogspot.com

Halaman facebook Rumah Dharma - Hindu Indonesia :

facebook.com/rumahdharma
DHARMA DANA
Rumah Dharma - Hindu Indonesia

Rumah Dharma - Hindu Indonesia telah dan akan terus melakukan


penerbitan buku-buku dharma berkualitas, baik berupa e-book maupun buku
cetak, untuk dibagi-bagikan secara gratis tanpa dipungut biaya apapun.

Untuk melakukan penyebaran buku-buku dharma berkualitas, Rumah


Dharma - Hindu Indonesia memerlukan bantuan para donatur, yang sadar akan
pentingnya melakukan pembinaan kesadaran masyarakat. Semakin banyak
dharma dana yang terkumpul maka semakin banyak juga buku-buku dharma yang
dapat diterbitkan dan disebarluaskan.

Ada empat cara memanfaatkan kekayaan sebagai ladang kebaikan yang


bernilai sangat utama, salah satunya adalah ber-dharma dana untuk penyebaran
ajaran dharma. Karena ini bukan saja sebuah kebaikan mulia dengan karma baik
berlimpah, tetapi juga adalah sebuah sadhana nirjara, sadhana penghapusan
karma buruk.

Karma baik dari mendonasikan dharma dana bagi penyebarluasan ajaran


dharma adalah :

1. Donatur akan mendapatkan penghapusan berbagai karma buruk.


2. Dalam setiap reinkarnasi kelahirannya donatur akan berjodoh dengan ajaran
dharma yang suci dan terang.
3. Donatur akan mendapatkan perlindungan dharma, tidak mudah terseret
dendam kebencian, pikirannya lebih mudah tenang, serta menjadi lebih bijaksana.
4. Jika dampak penyebarannya mencerahkan masyarakat luas, donatur akan
mendapatkan perlindungan dari para Dewa-Dewi.

Transfer Dharma Dana anda ke rekening :

Bank BNI Kantor Cabang Denpasar


No Rekening : 0340505797
Atas Nama : I Nyoman Agus Kurniawan

Astungkara berkat karma baik ini para donatur mendapat kerahayuan.


TENTANG PENULIS

I Nyoman Kurniawan lahir pada tanggal 29 January


1976. Mendapatkan garis spiritualnya dari
kakeknya, Pan Siki, seorang balian usadha dari Br.
Tegallinggah Kota Denpasar.

Pada tahun 2002, memulai perjalanan spiritualnya


dengan belajar meditasi.

Pada tahun 2007 mulai memberikan komitmen


menyeluruh kepada spiritualisme dharma. Di tahun
yang sama belajar dengan Guru dharma-nya yang
pertama, serta memulai melakukan tirthayatra dan
penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno,
sebagai bagian dari arahan gurunya, sekaligus juga
panggilan spiritualnya sendiri.

Pada tahun 2009 mulai belajar dengan Guru dharma-nya yang kedua, mendalami
kekayaan spiritual Hindu Bali, mendalami ajaran Tantra, menjalin pertemanan
dengan banyak Guru dan praktisi spiritual, serta tetap meneruskan melakukan
tirthayatra dan penjelajahan ke berbagai pura pathirtan kuno.

Pada tahun 2010 mulai melakukan pelayanan dharma untuk umum di halaman fb
rumah dharma, serta mulai memberikan tuntunan dan berbagi ajaran kepada
adik-adik dharmanya. Di tahun yang sama juga mulai menulis buku. Inspirasi
dharma yang didapatnya dari perjalanan ke berbagai pura pathirtan kuno,
dikombinasikan dengan ajaran dari para Guru-nya, dari praktek meditasi,
membaca puluhan buku-buku suci, serta diskusi-diskusi panjang dengan banyak
praktisi spiritual, kemudian ditulisnya menjadi berbagai buku.

Pada tahun 2015 mulai belajar dengan Guru dharma-nya yang ketiga, serta tetap
meneruskan melakukan pelayanan dharma untuk umum.

Anda mungkin juga menyukai