766 Hi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)

2.1 Konsep Penyakit

2.1.1 Pengertian

Demam Berdarah Dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti
(Suriadi dan Yuliani, 2001).

Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengeu (DBD) adalah
penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus dengue, yang masuk ke dalam
tubuh penderita akan mengeluh demam, sakit kepala, mual, nyeri, pegal seluruh tubuh,
dan hipertermia di tenggorokan (Sitorus, 2008). Penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan
melalui gigitan nyamuk aedes aegypti, kemudian penyakit ini dapat menyerang semua
orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak, serta sering
menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah (Hadinegoro dan Satari, 2006).

2.1.2 Etiologi

Menurut Suriadi dan Yuliani (2001), etiologi dari demam berdarah adalah virus dengue
sejenis arbovirus. Penyebaran virus dengan perantaraan nyamuk aedes aegypti atau
aedes ebopictus, biasanya nyamuk aedes aegypti yang menggigit tubuh manusia adalah
nyamuk betina, sedangkan cara kerja nyamuk aedes aegypti adalah dengan menggigit
atau menghisap darah secara berganti-ganti sehingga dalam waktu yang tidak begitu
lama banyak penderita yang terinfeksi virus dengue.
Menurut Hadinegoro dan Satari (2006), setelah nyamuk aedes aegypti menggigit
manusia dapat menularkan virus dengue kepada manusia baik secara langsung yaitu
setelah menggigit orang yang sedang mengalami viremia; maupun secara tidak
langsung setelah melalui masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8-10 hari (extrinsic
incubation period), kemudian pada manusia diperlukan waktu 4-6 hari (extrinsic
incubation period) sebelum menjadi sakit setelah virus masuk kedalam tubuh,
sedangkan pada nyamuk sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam
tubuhnya, maka nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya
(infektif), kemudian untuk manusia penalaran hanya dapat terjadi pada saat tubh dalam
keadaan viremia yaitu antara 3-5 hari.

2.1.3 Manifestasi Klinis

Menurut Sitoris (2008), manifestasi dari demam berdarah sebagai berikut, gejala
klinis penyakit demam berdarah yang tampak menurut patokan dari WHO tahun 1986
adalah demam tinggi yang mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari dengan
manifestasi perdarahan, termasuk uji torniket positif dan salah bentuk perdarahan lain,
yaitu petekie (bintik-bintik merah akibat perdarahan intradermak submukosa), purpura
(perdarah di kulit), ekomosis, epistaksis (mimisan), perdarahan gusi, hematemesis, dan
melena (tinja berwarna hitam karena adanya perdarahan. Adanya pembesaran hati,
rejatan hipovelemik yang ditandai dengan nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun
(menjadi 20 mmHg atau kurang) disertai kulit yang terasa dingin dan lembab, terutama
di ujung hidung, jari kaki, dan tangan. Penderita menjadi gelisah, timbul sianosis (warna
kebiruan di kulit dan mukosa karena hemoglobin tereduksi secara berlebihan dalam
darah kapiler) di sekitar mulut (Sitorus, 2008).
2.1.4 Klasifikasi

Menurut Hadinegoro dan Satari (2006), klasifikasi demam berdarah antara lain :
1) Derajat I adalah demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan, uji
turniket positif, trombositopenia dan hemokonsentrasi.

2) Derajat II adalah derajat I disertai perdarahan spontan dikulit atau perdarahan lain.

3) Derajat III adalah kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi cepat dan lemah,
hipotensi, kulit dingin dan lembab, gelisah.

4) Derajat IV adalah renjatan berat, denyut nadi dan tekana darah tidak dapat diukur.

2.1.5 Patofisiologi

Menurut Suriadi dan Yuliani (2001 ), virus dengue akan masuk ke dalam tubuh
melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan kemudian akan bereaksi dengan antibodi dan
terbentuklah kompleks virus antibody, dalam sirkulasi akan mengaktivasi sistem
komplement. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptide yang
berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat berbagai faktor
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui
endotel dinding itu. Kemudian terjadinya trombositopenia yaitu, menurunnya fungsi
trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protrombin, faktor V, VII, IX, X dan
fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat, terutama
perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF. Kemudian yang menentukan beratnya
penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya
volume plasma, terjadinya hipotensi, trobositopenia dan diatesis hemoragik, renjatan
terjadi secara akut (Suriadi dan Yuliani, 2001). Nilai hematrokit meningkat bersamaan
dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah dan dengan
hilangnya plasma klien mengalami hypovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi
anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian (Suriadi dan Yuliani, 2001).
2.1.6 Fase Perjalanan Penyakit

Terdapat tiga fase perjalanan penyakit demam berdarah yang akan dijelaskan
sebagai berikut :

1) Fase Demam
Fase demam berlangsung 2-7 hari suhu tubuh saat demam berkisar 390 C
sampai 400 C, kemudian pada fase akut biasanya disertai dengan warna
kemerahan pada wajah; eritema pada kulit; rasa nyeri pada seluruh tubuh dan
sakit kepala, adapun beberapa pasien juga mengeluh kesulitan menelan, nyeri
faring, dan nyeri konjungtiva, selain itu gejala yang dirasakan oleh pasien yaitu,
sering mengeluh tidak nafsu makan; mual; dan muntah, untuk fase demam
diperlukan pengobatan untuk menghilangkan gejala yang timbul, karena selama
fase awal demam sulit dibedakan antara demam dengue dengan DHF
perbedaannya yaitu, pada pasien dengan demam dengue setelah terbebas dari
demam 24 jam tanpa penurun panas makanpasien akan memasuki fase
penyembuhan, sedangkan pada DHF setelah fase demam selesai maka akan
memasuki fase kritis (WHO, 2009 dalam Setawati, 2011). Pada fase demam
pasien masih memungkinkan untuk di rawat di rumah dengan pengawasan
khusus dengan cara pengawasan tanda-tanda vital, keluhan mual dan muntah,
nyeri abdomen, terjadi akumulasi cairan pada rongga tubuh, adanya peleburan
>2 cm, dan perdarahan yang timbul; kemudian pemberian cairan yang sesuai
dengan kebutuhan pasien sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
kekurangan cairan, selain itu pemeriksaan laboratorium darah terutama
pemeriksaan trombosit dan hematokrit diperlukan untuk mengontrol kondisi
kesehatan penderita (Anggraeni, 2010 dan Setiawati, 2011).
2) Fase Kritis
Suhu tubuh pada fase kritis menurun sekitar 37,50 C sampai 380C atau justru
berada dibawahnya, umunya terjadi pada hari ketiga samapai kelima demam,
kemudian pada fase kritis terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang
menyebabkan kebocoran plasma, karena fase kritis berlangsung antara 24 jam
sampai 48 jam, apabila tidak terjadi kebocoran plasma, maka kondisi pasien
akan membaik, namun jika terjadi kebocoran plasma maka kondisi pasien
memburuk, sedangkan kondisi kebocoran plasma yang berkepanjangan dan
keterlambatan penanganan dapat menyebabkan pasien mengalami syok (WHO,
2009 dan Setiawati, 2011). Pasien harus dirawat di rumah sakit pada saat fase
kritis karena memerlukan pengawasan khusus yang lebih intensif yaitu,
pengawasan khusus seperti : tingkat kesadaran, tanda-tanda vital, intake dan
output cairan, nyeri abdomen, terjadi akumulasi cairan pada rongga tubuh,
adanya peleburan hati >2 cm, dan perderahan yang timbul, kemudian ada fase
ini dapat terjadi efusi pleura dan asites, selain itu pemeriksaan darah dilakukan
secara berkala meliputi hamatokrit, trombosit, hemoglobin, dan leukosit, adapun
pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan Ultra Sonografi (USG) yang dapat
dilakukan pada fas kritis (WHO, 2009 dan Setiawati, 2011).
3) Fase Penyembuhan

Pasien yang telah melewati fase kritis, terjadi proses penyerapan kembali cairan
yang berlebih pada rongga tubuh dalam waktu 2 samapi 3 hari dan secara bertahap
kondisi pasien secara keseluruhan akan membaik (WHO, 2009 dan Setiawati,

2011). Fase penyembuhan berlangsung antara 2-7 hari, umunya penderita demam
berdarah yang telah berhasil melewati fase kritis akan sembuh tanpa komplikasi dalam
waktu kurang lebih 24 – 8 jam setelah syok, kemudian fase penyembuhan ditandai
dengan kondisi umum penderita yang mulai membaik, nafsu makan yang mulai
meningkat, dan tanda-tanda vital yang stabil, selain itu pada fase ini pemberian cairan
infuse biasanya mulai dihentikan, kemudian diganti dengan pemberian nutrisi secara
oral (Anggraeni, 2010 dan Setiawati, 2011).

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Sitorus (2008), pemeriksaan diagnosis demam berdarah terutama


berdasarkan pada gejala klinis, dan dibantu dengan pemeriksaan hermatologi sederhana.

Kriteria diagnosis demam berdarah klinis menurut WHO tahun 1986 dalam Sitorus
(2008) masih dipakai dengan memperhatikan beberapa masalah antara lain :
1) Demam

Rentang waktu demam di rumah berkisar dari 2 sampai 10 hari, tetapi jika
ditinjau dari proporsi terbanyak, demam terjadi antara 3-5 hari. Maka pada
demam lebih dari 7 hari terjadi demam tifoid.

2) Perdarahan Spontan

Petekie merupakan perdarahan kulit spontan yang sering dijumpai dengan tes
torniket, kemudian jenis perdarahan kedua yang banyak dijumpai adalah mimisan atau
perdarahan gusi.

3) Hepatomegali

Hepatomegali adalah hati yang semula tidak teraba, tetapi pada kasus demam
berdarah tiba – tiba teraba, kemudian gejala lain adalah nyeri perut di daerah
epigastrium (ulu hati) dan hipokhondium kanan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk mengetahui hepatemogali adalah dengan USG, karena dapat diketahui jika lobus
kanan hepar menutupi minimal lebih dari setengan besar ginjal kanan pada skening
yang terdapat di saginal kanan.

4) Hasil Pemeriksaan Hematologi

Pada penderita demam berdarah untuk pemeriksaan hematologi umumnya akan


dijumpai trombositopeni pada hari ketiga sampai kedelapan terjadinya demam yang
disebabkan oleh konsumsi trobosit meningkat akibat teraktifasinya sistem pembekuan
darah dan pembentukan trombosit <100.000 /mm3 akibat terhambatnya trobopiesis,
Kemudian penderita demam berdarah pada sumsum tulang belakang mengalami
reversible berupa pengurangan kepadatan sel yang disebabkan oleh endoteksin virus
serta proses imunologi yang dapat di buktikan dengan peningkatan jumlah Limfosit
Plasma Biru (LPB). Pada penderita demam berdarah homakonsentrasi penting dalam
menegakkan diagnosis, karena hemokonsentrasi diketahui dari peningkatan hematokrit
sekitar >20 % dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin, penurunan
hematokrit lebih dari 20% setelah mendapat pengobatan cairan(Hadinegoro dan Satari,
2006).
5) Pemeriksaan Rodiologi

Selain pemeriksaan hematologis pada penderita demam berdarah dilak

ukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologi untuk mengetahui


ada atau tidaknya pengumpulan cairan di berbagai rongga tubuh, seperti rongga pleura,
pericardium, dan peritoneum.

2.1.8 Komplikasi

Menurut Hadinegoro dan Satari, (2006), komplikasi dari demam berdarah antara
lain :

1) Ensefalopati dengue

Pada umumnya ensefalopati sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan


dengan perdarahan, tetapi juga terjadi pada demam berdarah yang tidak disertai syok,
karena gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan dapat
menjadi penyebab terjadinya enfefalopati, kemudian pada ensefalopati dengue
mengalamai penurunan kesadaran menjadi somnolen atau apati, selain itu pada
ensefalopati dengue juga dijumpai peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT), PT
dan PPT memanjang, kadar gula darah turu, alkalosis pada analisa gas darah, dan
hiponatremia.

2) Kelainan Ginjal

Gegel ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari
syok yang tidak teratasi dengan baik, kemudian dapat dijumpai sindrom uremik
hemolitik.Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok teratasi dengan
menggantikan volume intravascular.
3) Udem Paru

Udem paru adalah komplikasi terjadi akibat pemberian cairan yang berlebihan,
jika pemberian cairan berlebihan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan
yang diberikan makan tidak terjadi udema paru, tetapi pada saat terjadi reabsorbsi dari
ruang ekstravaskuler apabila cairan yang diberikan berlebihan maka pasien akan
mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang
dengan gambaran udem paru pada rontgen dada.

2.1.9 Penatalaksaan

Menurut Sitorus (2008), penatalaksanaan pasien dengan demam berdarah


dibedakan menjadi tiga yaitu :

1) Penatalaksanaan Pasien Tersangka DBD

Pada pasien yang diduga menderita demam berdarah (memenuhi kriteria


diagnosis DBD, WHO 1986), ditentukan adanya kedaruratan atau tidak, maksud dari
kedaruratan adalah tanda-tanda pre-shoch atau shoch (renjatan), muntah secara terus
menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, dan buang air besar berdarah,
kemudian untuk suhu dijumpai kedaruratan maka pasien harus segera dirujuk ke dokter
untuk diberikan perawatan yang intensif. Jika tanda-tanda kedaruratan tidak ada maka
harus dilakukan tes Rumple Lencar (Tes Torniket) untuk menegetahui kadar
haemoglobin, hematokrit, dan hitung trobosit (termasuk hitung leukosit dan hitung
jenis), kemudian tes torniket menunjukkan positif atau negatif dan trombosit rendah
(kurang dari 150.000/iu), sebaiknya pasien dirawat di rumah sakit. Pada pasien dengan
trombosit normal dan hasil tes torniket negatif, pasien boleh pulang, tetapi dianjurkan
melakukan kontrol setiap hari untuk pemeriksaan haemoglobin, hematokrit, dan
trombosit berkala sampai demamnya turun, tetapi jika hematokrit cenderung meningkat
dan sebaliknya trombosit cenderung menurun segera rujuk pasien ke rumah sakit
terdekat.

2) Penatalaksanaan Pasien DBD Tanpa Renjatan


Pasien DBD derajat-1 dan derajat-2 tergolong DBD tanpa renjatan, tetapi
perludiingat bahwa perasaan haus dan keadaan dehidrasi sebagai akibat demam tinggi,
anoreksia, dan muntah merupakan alasan pemberian cairan per oral sebanyak-
banyaknya dan semampu anak kurang lebih 1,5 liter sampai 2 liter per 24 jam dengan
berbagai jenis cairan dapat diberikan, tetapi lebih disukai cairan yang mengandung
elektrolit (lautan oralit) atau sari buah dari pada air putih. Kejang badan demam dapat
terjadi pada demam tinggi, maka pemberian antipiretik (parasetamol). Jika terdapat
tanda kedaruratan seperti anak secara terus-menerus muntah sampai keadaan tidak
memungkinkan untuk diberikan makan dan minum peroral, maka perlu
dipertimbangkan untuk pemberian cairan intravena tetesan rumatan, kemudian jika
kadar hematokrit pada pemeriksaan berkala cenderung meningkat, dianjurkan
pemberian intravena dengan jumlah cairan yang dibutuhkan sesuai dengan pemberian
cairan untuk mengatasi penderita gastroenteritis yang dehidrasinya sedang (kebutuhan
cairan rumatan +7,5%).

3) Penatalaksanaan DBD Disertai Renjatan

Renjatan merupakan keadaan gawat sehingga memerlukan perawatan di rumah


sakit, maka tatalaksana DBD yang disertai renjatan terdiri atas hal-hal berikut :

a) Penggantian Volume Plasma (Volume Replacement)

Pada renjatan hipovelemik, pemberian cairan merupakan kunci pengobatan,


karena penggantian cairan plasma secara intravena harus segera diberikan supaya
renjatan pada anak dapat berlangsung dalam kurun waktu 48 jam, dan pada saat itu
dianjurkan monitor dengan ketat selama 24 jam. Jenis cairan yang dianjurkan adalah
laktat ringer 20 ml/kg BB per jam, diberikan dengan tetesan cepat atau disiramkan
(klem infuse dibuka) sampai renjatan teratasi. Bahkan dipasang dua jalur infus secara
bersamaan.Pada keadaan renjatan yang berlangsung lama, pembuluh darah mengalami
kolaps, maka cairan sebanyak 100-200 ml dapat diberikan dengan menggunakan
semprit kemudian setelah itu, dilanjutkan dengan tetesan.

b) Pilihan Terapi Cairan


Pemakaian cairan laktat ringer sangat dianjurkan mengingatkan pada DBD pada
umumnya disertai dengan hiponatremi dan asidosis. Cairan laktat ringer mengandung

Natrium 130 mEq/l, chloride 109 mEq/l, kalium 4 mEq/l, dan Korektor basa dalam
bentuk Natrium laktat 28 mEq/l WHO, 1986 menganjurkan di samping laktat ringer
dapat pula dipakai jenis cairan lain yaitu :

(1) Cairan glukosa 5 % dalam NaCl 0,9 %

(2) Cairan glukosa 5 % dalam NaCl 0,45 %

(3) Cairan glukosa 5% dalam ½ laktat ringer, atau cairan glukosa 5 % dalam NaCl 0,3
%

c) Koreksi Asidosis dan Gangguan Elektrolit

Hiponatremi dan asidosis metabolik terjadi pada DBD, oleh karena itu pada
kasus DBD berat dilakukan pemeriksaan analisa gas darah dan elektrolit secara peiodik.

d) Terapi Oksigen

Mengingat bahwa renjatan hipovolemik mengakibatkan terjadinya kegagalan


perfusi oksigen di seluruh jaringan, maka oksigen harus selalu diberikan pada semua
pasien DBD disertai renjatan.Oksigen diberikan 2-6 liter/menit dan intranasal diberikan
sampai tanda vital stabil.

e) Pemberian Tranfusi Darah

Indikasi tranfusi darah adalah perdarahan yang jelas terlisat secara klinis, yaitu
perdarahan intra-abdominal yang ditandai dengan semakin tegang disertai penurunan
kadar haemoglobin.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

Menurut Yura (1983) dalam Setiadi (2012), proses keperawatan adalah tindakan
yang berurutan yang dilakukan secara sistemik untuk menentukan masalah klien dengan
membuat perencanaan untuk mengatasinya, melaksanakan rencana itu atau menugaskan
orang lain untuk melaksanakannya dan mengevaluasi keberhasilan secara efektif
terhadap masalah yang diatasinya tersebut. Proses keperawatan profesional di Indonesia
menurut PPNI (2000) dalam Setiadi (2012), terdiri dari 5 standar yaitu : pengkajian,
diagnose keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi
keperawatan.

2.2.1 Pengkajian

Menurut Hidayat (2001). Pengkajian adalah langkah awal dari tahapan proses
keperawatan, kemudian dalam mengkaji harus memperhatikan data dasar dari pasien,
untuk informasi yang didadapkan dari pasien (sumber primer), data yang didapat dari
orang lain (data sekunder), catatan kesehatan pasien, informasi atau laporan
laboratorium, tes diagnostik, keluarga atau orang yang terdekat, atau anggota tim
kesehatan merupakan pengkajian data dasar, sedangkan pengumpulan data
menggunakan berbagai metode seperti observasi (data yang dikumpulkan berdasarkan
pengamatan), wawancara (bertujuan mendapatkan respon dari klien dengan cara tatap
muka), konsultasi, pemeriksaan fisisk, pemeriksaan laboratorium, ataupun pemeriksaan
tambahan. Menurut Nursalam dkk, (2005), fokus pengkajian pada pasien DHF :

1) Identitas Pasien

Nama, umur (pada DHF paling sering menyerang anak-anak dengan usia kurang
dari 15 tahun), jenis kelamin, alamat, pendidikan, nama orang tua, pendidikan orang
tua, dan pekerjaan orang tua.

2) Keluhan Utama

Alasan/keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk datang ke rumah sakit
adalah panas tinggi dan anak lemah.

3) Riwayat Penyakit Sekarang

Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai menggigil dan saat
demam kesadaran composmentis.Turunnya panas terjadi antara hari ke-3 sampai ke-7,
dan anak semakin lemah. Kadang-kadang disertai dengan keluhan batuk, pilek, nyeri
telan, mual, muntah, anoreksia, diare/konstipasi, sakit kepala, nyeri otot dan persendian,
nyeri ulu hati dan pergerakan bola mata terasa pegal, serta adanya manifestasi
perdarahan pada kulit, gusi (grade III, IV), melena atau hematesis.

4) Riwayat penyakit yang pernah diderita

Penyakit apa saja yang pernah diderita pada DHF, anak bisa mengalami
serangan ulangan DHF dengan tipe virus yang lain.

5) Riwayat imunisasi

Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, maka kemungkinan akan


timbulnya komplikasi dapat dihindari

6) Riwayat gizi

Status gizi anak menderita DHF dapat bervariasi.Semua anak dengan status gizi
baik maupun buruk dapat beresiko, apabila terdapat faktor predisposisinya.Anak yang
menderita DHF sering mengalami keluhan mual, muntah, dan nafsu makan menurun.
Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak disertai dengan pemenuhan nutrisi yang
mencukupi, maka anak akan mengalami penurunan berat badan sehingga status gizinya
menjadi kurang.

7) Kondisi lingkungan

Sering terjadi di daerah yang padat penduduknya dan lingkungan yang kurang
bersih (seperti air yang mengenang dan gantungan baju di kamar).

8) Pola kebiasaan

a) Nutrisi dan metabolisme : frekuensi, jenis, pentangan, nafsu makan berkurang, dan
nafsu makan menurun.

b) Eliminasi alvi (buang air besar). Kadang-kadang anak mengalami diar/konstipasi.


Sementara DHF pada Grade III-IV bisa terjadi melena.
c) Eliminasi urine (buang air kecil) perlu dikaji apakah sering kencing, sedikit/banyak,
sakit/tidak. Pada DHF grade IV sering terjadi hematuria.

d) Tidur dan istirahat. Anak sering mrngalami kurang tidur karena mengalami
sakit/nyeri otot dan persendian sehingga kualitas dan kuantitas tidur maupun istirahat
kurang.

e) Kebersihan upaya keluarga untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan cenderung
terutama untuk membersihkan tempat sarang nyamuk aedes aegypti.

f) Perilaku dan tanggapan bila ada keluarga yang sakit serta upaya untuk menjaga
kesehatan.

9) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik meliputi Inspeksi, palpasi, aukultrasi, dan


perkusi dari ujung rambut sampai kaki. Berdasarkan tingkatan (grade) DHF, keadaan
fisik anak adalah sebagai berikut :

a) Grade I yaitu : kesadaran composmentis, keadaan umum lemah, tanda-tanda vital


dan nadi lemah.

b) Grade II yaitu : kesadaran composmentis, keadaan umum lemah, dan perdarahan


spontan petekia, perdarahan gusi dan telinga, serta nadi lemah, kecil, dan tidak teratur.

c) Grade III yaitu : kesadaran apatis, somnolen, keadaan umum lemah, nadi lemah,
kecil, dan tidak teratur, serta tensi menurun.

d) Grade IV : kesadaran koma, tanda-tanda vital seperti :nadi tidak reraba, tensi tidak
terukur, pernafasan tidak teratur, ekstermitas dingin, berkeringat, dan kulit tampak biru.

10) Sistem integument

a) Adanya pitekia pada kulit, turgor kulit menurun, dan muncul keringat dingin, dan
lembab.

b) Kukus sianosis
c) Kepala dan leher Kepala terasa nyeri, muka tampak kemerahan karena demam
(flusy), mata anemis, hidung kadang mengalami perdarahan (epistaksis) pada grade II,
III, dan IV. Pada mulut didapatkan bahwa mukosa mulut kering, terjadi perdarahan
gusi, dan nyeri telan. Sementara tenggorokan mengalami hyperemia pharing dan terjadi
perdarahan telinga pada grade II, III, IV.

d) Dada Bentuk simetris dan kadang-kadang terasa sesak.Pada foto thorak terdapat
adanya cairan yang tertimbun pada paru sebelah kanan (efusi pleura), rales posisif,
ronchi ada, yang biasanya terdapat pada grade III dan IV.

e) Abdomen yaitu mengalami nyeri tekan, pembesaran hati (hepatomegali), dan asite.

f) Ekstermitas didapatkan akral dingin, serta terjadi nyeri otot, sendi, serta tulang.

11) Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan dijumpai :

a) Hb dan PCV meningkat (> dari 20 %).

b) Trobositopenia (< dari 100.000/ml).

c) Leucopenia (mungkin normal atau lekositosis).

d) Ig. D. dengue positif.

e) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan : hipoproteinemia, hipokloremia, dan


hiponatremia.

f) Urium dan pH darah mungkin meningkat.

g) Asidosis metabolik : pCO2< 35 – 40 mmHg dan HCO3 rendah.

h) SGOT / SGPT mungkin meningkat.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

Menurut Herdman et al. (2011) dalam Setiadi (2012), diagnosa keperawatan


adalah keputusan klinik tentang respon individu, keluarga, dan masyarakat tentang
masalah kesehatan, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan
asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan keperawatan. Diagnosa keperawatan
biasanya terdiri dari tiga komponen yaitu respon manusia (masalah), faktor berhungan,
tanda dan gejala. Langkah-langkah menentukan diagnosa keperawatan dapat dibedakan
menjadi empat yaitu, klasifikasi dan analisa data, interpretasi data, validasi data, dan
perumusan diagnosa keperawatan (Setiadi, 2012 ). Menurut Nursalam dkk, (2005),
fokus diagnosa pada pasien DHF :

1) Masalah yang dapat ditemukan pada pasien DHF antara lain :

a) Peningkatan suhu tubuh (hipertermia).

b) Nyeri.

c) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, sehingga kurang dari kebutuhan.

d) Potensial terjadi perdarahan intra abdominal.

e) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

f) Kurangnya penegetahuan tentang proses penyakit, diet, dan perawatan pasien DHF.

g) Gangguan aktivitas sehari-hari

h) Potensial untuk terjadinya reaksi transfuse.

2.2.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan merupakan catatan tentang penyusunan rencana tindakan


untuk menanggulangi masalah dengan caramencegah, mengurangi, dan menghilangkan
masalah, selain itu untuk memeberikan kesempatan kepada perawat, pasien, keluaraga,
serta orang terdekat dalam merumuskan rencana tindakan. Perencanaan merupakan
bagian dari fase pengorganisasian dalam proses keperawatan yang meliputi tujuan
perawatan. Penetapan pemecahan masalah, dan menentukan tujuan perencanaan untuk
mengatasi maslah pasien (Hidayat, 2001 ). Penentuan tujuan dan kriteria hasil
berdasarkan pada SMART (spesifik, measurable, achievable, rasional, time)
(Dermawan, 2012). Menurut Nursalam dkk, (2005), apabila terdapat tanda-tanda DHF
segera rujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan segera. Sementara untuk
mengatasi permasalahannya, perencanaan yang diperlukan adalah :

1) Peningkatan suhu tubuh :

a) Kaji saat timbulnya demam.

b) Observasi tanda-tanda vital seperti : suhu, nadi, tensi, dan pernafasan setiap 3 jam
atau lebih sering lagi.

c) Berikan penjelasan mengenai penyebab demam atau peningkatan suhu tubuh.

d) Berikan penjelasan kepada psien / keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan
untuk mengatasi demam dan menganjurkan kepada pasien / keluarga untuk bersikap
kooperatif.

e) Jelaskan pentingnya tirah baring bagi pasien dan akibatnya jika hal tersebut tidak
dilakukan.

f) Anjurkan pasien untuk banyak minum, paling tidak 2,5 liter tiap 24 jam dan jelaskan
manfaatnya bagi pasien.

g) Berikan kompres dingin pada daerah aksila dan lipata paha.

h) Catatlah asupan dan keluaran cairan.

i) Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai dengan program dokter.

2) Nyeri akut

a) Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien dengan menggunakan skala nyeri (0-10).
Biarkan paien memutuskan tingkat nyari yang dialami, tipe nyeri yang dialami, dan
respon pasien terhadap nyeri.

b) Berikan posisi yang nyaman dan usahakan situasi tenang.

c) Berikan suasana yang gembira pada pasien, alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri
(libatkan keluarga), misalnya : membaca buku, mendengarkan musik, dan menonton
TV. d) Berikan kesempatan pada pasien untuk berkomunikasi dengan teman-temannya
atau orang terdekat.

e) Berikan obat-obat analgesik (kolaborasi dengan dokter).

3) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi (Kurang dari kebutuhan)

a) Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami oleh pasien.

b) Berikan makanan yang mudah ditelan, seperti bubur dan tim, serta dihidangkan
selagi masih hangat.

c) Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.

d) Jelaskan manfaat makanan / nutrisi bagi pasien terutama saat sakit.

e) Catatlah jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.

4) Potensial terjadinya perdarahan lebih lanjut sehubungan dengan


trombositopenia :

a) Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai dengan tanda klinis.

b) Monitor jumlah trombosit setiap hari.

c) Berikan penjelasan mengenai pengaruh trombositopenia pada pasien.

d) Anjurkan pasien untuk banyak istirahat.

5) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit :

a) Monitor keadaan umum pasien.

b) Observasi tanda-tanda vital setiap 2-3 jam.

c) Perhatikan keluhan pasien, seperti mata berkunang-kunang, pusing, lemah,


ekstermitas dingin, dan sesak napas.

d) Apabila terjadi tanda-tanda syok hipovelemik, baringkan pasien terlentang tanpa


bantal.
e) Pasang infuse dan beri terapi cairan intravena jika terjadi perdarahan (kolaborasi
dengan dokter).

6) Kurangnya pengetahuan keluarga tentang proses penyakit, diet, dan perawatan :

a) Berikan kesempatan pada pasien / keluarga untuk menanyakan hal-hal yang ingin
diketahui sehubungan dengan penyakitny.
b) Jelaskan semua prosedur yang dilakukan dan manfaatnya abgi pasien dan keluarga.
c) Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan obat obatan.
d) pada pasien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.

7) Gangguan aktivitas sehari-hari

a) Bantulah pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari seperti : mandi,


makan, dan eliminasi sesuai dengan tingkat keterbatasan pasien.

b) Berikan penjelasan mengenai hal-hal yang dapat membantu dan meningkatkan


kekuatan fisik pasien.

c) Siapkan bel dekat pasien.

8) Potensial untuk terjadinya reaksi tranfusi

a) Pesan darah/komponen darah sesuai dengan instruksi medis.

b) Cek ulang formulir permintaan darah sebelum dikirim.

c) Sebelum pemberian trasfusi yakinkan bahwa pada daerah tusukan infuse tidak
tampak tanda-tanda phlebitis dan aliran infus lancar.

d) Gunakan blood set untuk pemberian tranfusi.

e) Berikan cairan normal saline (NaCl) sebelum pemberian transfusi.


f) Jangan tunda pemberian transfusi lebih dari 30 menit setelah darah diterima dari bank
darah.

g) Cek ulang/yakinkan bahwa darah yang akan diberikan sesuai dengan kebutuhan
pasien (perhatikan jenis darah, golongan darah, jumlah darah, dan masa kadaluwarsa).
Perhatikan dan cocokan kode yang tertulis pada kantung darah dengan label darah yang
ada.

h) Minta perawat lain untuk bersama-sama mengecek ulang, jangan mengecek seorang
diri.

i) Jelaskan tentang tanda-tanda atau reaksi yang mungkin muncul selama pemberian
transfusi.

j) Anjurkan pasien/keluarga untuk segera melaporkan jika ada tanda-tanda atau reaksi
transfusi.

2.2.4 Implementasi Keperawatan

Menurut Hidayat, (2001), tindakan keperawatan mandiri atau implementasi


merupakan tindakan yang dilakukan perawat .tindakan ini mencakup mengakaji pasien,
mencatat respon pasien terhadap tindakan, melaporakan status pasien ke petugas jaga
berikutnya, dan mencatat respon pasien terhadap asuhan keperawatan. Selain itu
perawat mengajarkan pasien untuk mengubah posisi tidur, melakukan rentang gerak,
mengakaji status fisik klien, dan mengakaji aktivitas hidup sehari-hari.

2.2.5 Evaluasi

Evaluasi merupakan catatan tentang indikasi kemajuan pasien terhadap tujuan


yang dicapai atau tahapan akhir dari proses keperawatan, kemudian evaluasi bertujuan
untuk menilai keefektifan perawatan dan untuk mengkomunikasikan status pasien dari
hasil tindakan keperawatan (Hidayat, 2001).
2.3. Hipertermi

2.3.1. Pengertian

Demam adalah keadaan dimana terjadi kenaikan suhu tubuh hingga 380C atau
lebih, sedangkan bila suhu tubuh lebih dari 400C disebut demam tinggi/hiperpireksia
(Irwanti, 2015).Pada demam tinggi dapat terjadi alkalosis respiratorik, asidosis
metabolic, kerusakan hati, dan berkurangnya aliran darah ke otak, selain itu juga akan
menyebabkan syok, epilepsy (Mulyanti, 2015).Demam yang mencapai suhu 41°C angka
kematiannya mencapai 17%, dan pada suhu 43°C akan koma dengan kematian 70%,
dan pada suhu 45°C akan meninggal dalam beberapa jam (Said,2016). Hipertermi
(demam) adalah kenaikan suhu tubuh melewati batas normal yang dapat disebabkan
oleh berbagai hal, seperti infeksi, peradangan, atau gangguan metabolic (Sofwan, 2010).
Infeksi adalah masuknya jasad renik (micro organism atau makhluk hidup yang sangat
kecil yang umumnya tidak dapat dilihat dengan mata) ke tubuh kita, jasad renik tersebut
bisa kuman, bakteri, virus, jamur (Purwanti dan Winarsih, 2008).

2.4. Kompres Air Hangat

2.4.1. Pengertian

Kompres adalah salah satu metode fisik untuk menurunkan suhu tubuh bila
mengalami demam ( Arie Kusumo, 2016). Kompres hangatadalah tindakan
denganmenggunakan kain atau handuk yang telah dicelupkan pada air hangat, yang
ditempelkan pada bagian tubuh tertentu sehingga dapat memberikan rasa nyaman dan
menurunkan suhu tubuh (Maharani, 2016). Pemberian kompres hangat pada daerah
aksila (ketiak) lebih efektif karena pada daerah tersebut banyak terdapat pembuluh
darah besar dan beanyak terdapat kelenjar keringat apokrin yang mempunyai banyak
vaskuler sehingga akan memperlus daerah yang mengalami vasodilatasi yang akan
memungkinkan percepatan perpindahan panas dari dalam tubuh ke kulit hingga delapan
kali lipat lebih banyak (Arie Kusumo, 2016). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayu,
Irwanti dan Mulyanti (2015) menunjukkan bahwa pemberian kompres hangat pada
daerah aksila dan dahi mempunyai efek dalam menurunan suhu tubuh pada klien
demam. Penurunan suhu tubuh klien yang dikompres air hangat di daerah aksila rata-
rata suhu tubuh sebelum perlakuan adalah 39,020C dengan rata rata penurunan suhu
0,2470C menjadi 38,770C setelah perlakuan kompres, sedangkan penurunan suhu tubuh
klien yang dikompres air hangat di daerah dahi rata-rata sebelum perlakuan adalah
38,680Cmengalami penurunan 0,1110C menjadi 38,570C sesudah perlakuan kompres.

2.4.2. Tujuan

Kompres air hangat adalah salah satu metode fisik untuk menurunkan suhu
tubuh bila anak demam.manfaat kompres air hangat,

menurunkan panas 38,8ºC menjadi 37,5ºC, untuk memperlebar pembuluh

darah (vasodilator), oksigen untuk sel, membantu meningkatkan suplai

darah ke area-area tubuh. Tindakan kompres hangat merupakan salah satu

tindakan mandiri dari perawat, tetapi sering diabaikan bahkan sering

dibebankan pada keluarga (Djuwariyah dkk, 2012).

Kompres air hangat dapat menurunkan suhu tubuh melalui proses

evaporasi. Dengan kompres air hangat menyebabkan suhu tubuh di luar

akan hangat sehingga tubuh akan menginterpretasikan bahwa suhu di luar

cukup panas, akhirnya tubuh akan menurunkan kontrol pengatur suhu di

otak supaya tidak meningkatkan suhu pengatur tubuh, dengan suhu di luar

hangat akan membuat pembuluh darah tepi di kulit melebar dan

mengalami vasodilatasi sehingga pori pori kulit akan membuka dan

mempermudah pengeluaran panas, sehingga akan terjadi penurunan suhu

tubuh. Pemberian kompres air hangat ini dilakukan di tempat tempat tertentu di bagian
tubuh (Djuwariyah, 2010).

Anda mungkin juga menyukai