Anda di halaman 1dari 22

PROPOSAL

 “Hubungan Faktor Usia pada Novelty Seeking dan Pecandu

Narkoba dari Perilaku Hingga Neurotransmiter”

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
RS Bhayangkara Semarang

Disusun Oleh:

1. Chellia Devita R. 30101407156


2. Chiendo Yurinda M. 30101407157
3. Dikta Zanwar Arifin Rafiq 30101407169
4. Retno Astuti S.W. 012116500
5. Rifdah Alif Mawaddah 30101407305
6. Sakinah Baharun 30101407318
7. Widya Dimar Sari 30101206807
8. Vania Shaula 30101507577

Pembimbing :

dr. Istiqomah, Sp.KF, S.H,M.H

KEPANITERAAN KLINIK RS BHAYANGKARA


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG

1
2

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Hubungan Faktor Usia pada Novelty Seeking dan Pecandu Narkoba dari
Perilaku Hingga Neurotransmiter

Diajukan Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat dalam Menempuh


Program Pendidikan Profesi Dokter

Disusun Oleh:

1. Chellia Devita R. 30101407156


2. Chiendo Yurinda M. 30101407157
3. Dikta Zanwar Arifin Rafiq 30101407169
4. Retno Astuti S.W. 012116500
5. Rifdah Alif Mawaddah 30101407305
6. Sakinah Baharun 30101407318
7. Widya Dimar Sari 30101206807
8. Vania Shaula 30101507577

Semarang, Juni 2019


Pembimbing,

dr. Istiqomah, Sp.KF, S.H,M.H.


3

DAFTAR ISI
4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perawatan kecanduan obat di seluruh dunia menghabiskan biaya lebih

dari 250 miliar per tahun, tetapi terapi psikofarmakologis saat ini belum

mencapai tingkat keberhasilan yang diinginkan; diperkirakan 5% dari

populasi di dunia tetap terganggu dengan kecanduan, dan jumlah ini

meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan (Burns, 2014). Jumlah

kecanduan penggunaan narkoba pada populasi didunia leboh banyak rentan di

usia remaja, hal ini disebabkan karena remaja menunjukan tingkatan perilaku

dalam mencari hal-hal yang baru leboh tinggi dibanding dewasa , sehingga

mereka lebih beresiko dalam penggunaan narkoba yang menyebabkan

kecanduan (Spear, 2000; Bernheim, Halfon, & Boutrel, 2013).

Jumlah pengguna Narkoba di Indonesia terus bertambah setiap tahun.

Pada tahun 2008 pengguna narkoba sebanyak 3.352.527 orang dan naik

menjadi 4.274.333 orang di tahun 2011. Kemudian pada tahun 2014, turun

menjadi 4.022.228 orang dan naik kembali secara signifikan di tahun 2015

dengan 4.098.029 orang pengguna atau 2,2% dari total penduduk Indonesia

usia 10-59 tahun. 70% dari pengguna narkoba adalah pekerja, 22% adalah

pelajar dan mahasiswa, sedangkan 8% pengguna narkoba adalah

pengangguran (UI, 2011). Kerentanan terhadap penyalahgunaan zat beragam,

dimodulasi oleh komponen genetik, lingkungan, dan saraf. Meski begitu,

pencari kebaruan tinggi memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk


5

bereksperimen pertama kali dengan narkoba. Individu-individu ini dianggap

tertarik pada rangsangan baru dan merespons dengan cepat isyarat untuk

hadiah meskipun hukuman potensial, indikator kecanduan narkoba (Flagel

SB, 2014)

Selama masa remaja, pencarian hal baru sebagai sifat kepribadian

sangat memprediksi penggunaan narkoba di kemudian hari, sebuah fakta

yang berlaku untuk banyak jenis obat, seperti anti depresi, psikostimulan,

opiat, dan halusinogen (Andrucci GL, 1989). Penelitian sebelumnya

menunjukkan korelasi positif antara pencarian sensasi dan penyalahgunaan

alkohol, amfetamin, barbiturat, kafein, kokain, halusinogen, ganja, dan

tembakau (Andrucci GL, 1989). Pencari baru yang tinggi memiliki

kecenderungan untuk menggunakan obat lebih awal dan lebih bervariasi

dibandingkan dengan populasi umum (Sutker, Archer, & Allain, 1978);

(Cloninger, 1987).

Menurut peneliti berpendapat bahwa upaya yang gagal untuk

memerangi penyalahgunaan zat disebabkan oleh ketidakmampuan untuk

menentukan hal apa yang membuat beberapa orang rentan terhadap

kecanduan.

1.2. Rumusan Masalah

Adakah hubungan faktor usia pada tingkat ketergantungan awal dan


pecandu narkoba dari perilaku hingga molekul ?
6

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan faktor usia pada tingkat ketergantungan

awal dan pecandu narkoba dari perilaku hingga molekul

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui kerentanan usia terhadap ketergantungan

awal dan pecandu narkoba

1.3.2.2 Mengetahui rerata persentase usia tertinggi terhadap

ketergantungan awal dan pecandu narkoba

1.3.2.3 Mengetahui dasar molekuler dari ketergantungan awal dan

hubungannya dengan kecanduan narkoba

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

1.4.2.1 Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi

dan pengetahuan tentang hubungan faktor usia pada tingkat

ketergantungan awal dan pecandu narkoba dari perilaku hingga

molekul

1.4.2.2 Dapat digunakan sebagai bahan acuan rujukan

penelitian selanjutnya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menemukan pencegahan dan

terapi terhadap faktor yang berpengaruh dalam kecanduan narkoba


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Novelty Seeking

2.1.1. Definisi

Novelty Seeking adalah salah satu karakteristik dari kepribadian

yang menentukan tingkatan Pencarian sensasi pada Individu

(Cloninger, 1987); (Hiroi & Agatsuma, 2005). Individu yang dicirikan

sebagai pencari sensasi tinggi sering memiliki impulsif yang tinggi,

rangsangan eksplorasi, pemborosan, dan ketidakteraturan

(Zuckerman, Kuhlman, Joireman, Teta, & Kraft, 1993); (Cloninger,

1987) (Hiroi & Agatsuma, 2005). Pencarian hal baru secara berlebihan

sering menunjukkan perilaku yang berlebihan, kerentanan kebosanan,

dan tingkat gangguan bipolar yang lebih besar (Zuckerman,

Kuhlman, Joireman, Teta, & Kraft, 1993). Orang-orang ini

menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari rata-rata sosiopati, seperti

kejahatan dan penyalahgunaan zat (Zuckerman, Kuhlman, Joireman,

Teta, & Kraft, 1993) ; (Hiroi & Agatsuma, 2005); (Flagel SB, 2014).

Pengukuran Novelty Seeking

Novelty Seeking biasanya diukur menggunakan kuesioner, sering

diukur bersamaan dengan penghindaran bahaya dan ketergantungan,

yang merupakan tiga sifat kepribadian yang diwariskan yang terlibat

7
8

dalam kerentanan terhadap kecanduan (Zuckerman, Kuhlman,

Joireman, Teta, & Kraft, 1993)

Pengukuran Novelty Seeking menggunakan tiga jenis questioner diantaranya:

1. Tridimensional Personality Questionnaire (TPQ)

mengukur kepribadian dimensi (penghindaran bahaya, pencarian hal


baru, dan hadiah ketergantungan) dalam 100-item, dikelola sendiri,
format uji benar / salah (Cloninger, 1987). TPQ dimaksudkan untuk
berhubungan erat dengan genetik yang mendasarinya struktur
kepribadian daripada adaptasi individu untuk pengalaman (Cloninger,
1987).

2. The Zuckerman Sensation Finding Scale (SSS)

Secara khusus mengukur mencari sensasi (Zuckerman, Kuhlman,


Joireman, Teta, & Kraft, 1993). SSS berisi 40 item dalam format
pilihan-terpaksa dan memiliki empat subskala.

3. Temperamen dan Karakter Inventaris (TCI)

Cloninger mengukur konstelasi sifat kepribadian (Cloninger, 1987).


TCI berisi 226 item dalam format true / false, yang mencakup tujuh
subskala dalam dua mayor kategori.

2.2. Hubungan Molekuler dengan Ketergantungan

Pada penelitian telah memvalidasi temuan tingkat Novelty Seeking

maladaptif perilaku berkorelasi dengan penyalahgunaan zat. Abnormalitas

ini juga berkorelasi dengan usia; ada perbedaan dalam perilaku mencari

kebaruan antara remaja dan orang dewasa. Tidak mengherankan, remaja


9

menunjukkan tingkat perilaku pencarian kebaruan yang lebih tinggi daripada

orang dewasa, sehingga mereka berisiko lebih tinggi untuk mengembangkan

gangguan penggunaan narkoba (Spear, 2000); (Bernheim, Halfon, &

Boutrel, 2013). Selama masa remaja, pencarian kebaruan sebagai sifat

kepribadian sangat memprediksi penggunaan narkoba di kemudian hari,

sebuah fakta yang berlaku untuk banyak jenis obat, seperti depresi,

psikostimulan, opiat, dan halusinogen (Andrucci GL, 1989). Dalam studi

seminal yang diterbitkan oleh Andrucci dan rekannya, pencarian sinyal

remaja sangat berkorelasi dengan penggunaan narkoba; khusus, Skor

Sensasi Mencari tinggi sangat diprediksi penggunaan obat dan bukan

penggunaan narkoba (Andrucci GL, 1989). Penelitian ini menunjukkan

korelasi positif antara pencarian sensasi dan penyalahgunaan alkohol,

amfetamin, barbiturat, kafein, kokain, halusinogen, ganja, dan tembakau

(Andrucci GL, 1989).

Temuan baru menunjukkan bahwa jaringan saraf dan neurotransmiter

yang sama pada koneksi sinaptik memodulasi respons terhadap rangsangan

baru dan obat-obatan yang membuat kecanduan. respons terhadap

rangsangan baru dan obat-obatan adiktif jelas dimodulasi oleh sistem

dopamin mesokortikolimbik otak. Stimulus secara alami dapat

meningkatkan aktivitas neuron dopaminergik dan menyebabkan pelepasan

dopamin dalam jaringan saraf sistem mesokortikolimbik (Bardo,

Donnohew, & Harrington, 1996).


10

Dopamin menonjol sebagai neurotransmitter pusat yang mengatur

“reward circuit” otak, langsung menghubungkan VTA dan NAc.

Neurotransmiter lain, seperti serotonin, glutamat, GABA, peptida opioid,

dan norepinefrin, adalah sekunder dari dopamin, karena mereka bertindak

sebagian untuk mengatur sistem dopaminergik. Stimulus baru dan beberapa

obat seperti kokain secara langsung memengaruhi pelepasan dopamin di

otak. Obat-obatan adiktif lainnya seperti alkohol bekerja pada sistem

transmiter saraf sekunder ini, secara tidak langsung mempengaruhi

pelepasan dopamin dan mengubah aktivitas jalur hadiah di otak (Cloninger,

1987). Dopamin secara akut memediasi efek bermanfaat dari psikostimulan

seperti kokain, nikotin, dan amfetamin (Koob, 2000).

2.3. Cara Kerja Narkoba

Narkoba adalah psikoaktif, karenanya ia mempengaruhi fungsi dari

otak ((NIDA), 2011)Narkoba mengandung senyawa kimia yang jika

dikonsumsi akan menganggu system komunikasi otak dan jalannya sel-sel

saraf ketika mengirim, menerima, dan memproses informasi. Ada dua cara

bagaimana narkoba menyebabkan gangguan. Pertama adalah meniru utusan

(messenger) kimia alami otak dan kedua adalah melakukan rangsangan

berlebihan “reward circuit” otak ((NIDA), 2011).

Beberapa jenis narkoba, misalnya ganja dan heroin, memiliki struktur

mirip dengan utusan kimia alami yang disebut sebagai neurotransmiter yang

secara alami diproduksi oleh otak. Kemiripan inilah yang memungkinkan

narkoba “menipu” reseptor otak dan mengaktifkan sel-sel saraf untuk


11

mengirim pesan yang abnormal. Narkoba lain, seperti kokain atau

metamfetamin, juga dapat menyebabkan sel-sel saraf melepaskan sejumlah

besar neurotranmiter alami secara tidak normal, khususnya dopamin atau

untuk mencegah daur ulang normal dari senyawa kimia otak ini. Akibat hal

ini, otak kebanjiran dopamin, sebuah neurotransmitter di otak yang

mengontrol gerakan, emosi, motivasi, dan perasaan senang. Kondisi tersebut

menghasilkan efek euforia yang memberikan kesenangan dan keuntungan

kepada pelaku. Reaksi ini mendorong terbentuknya pola yang mengajarkan

pelaku untuk mengulangi kembali penggunaan narkoba ((NIDA), 2011).

Ketika seseorang melanjutkan untuk menyalahgunakan narkoba, otak

beradaptasi sangat kuat mendesak dopamin dengan jalan memproduksi

sedikit dopamin atau menurunkan jumlah reseptor dopamine di “reward

circuit”. Kondisi tersebut mengakibatkan dampak dopamin pada “reward

circuit” menjadi menurun dan menyebabkan menurunnya kemampuan

pelaku penyalahgunaan narkoba dalam menikmati narkoba dan dalam

kehidupannya yang sebelumnya menjadi “menyenangkan” karena

mengkonsumsi narkoba. Penurunan ini memaksa pelaku penyalahgunaan

narkoba yang telah kecanduan untuk tetap mengkonsumsi narkoba sebagai

upaya untuk membawa dopamin kembali berfungsi normal, namun dosis

dopamin yang dibutuhkan lebih besar daripada sebelumnya. Efek ini dikenal

dengan istilah toleransi zat, yaitu dosis narkoba yang semakin meningkat

((NIDA), 2011).
12

Penyalahgunaan obat dalam jangka waktu yang lama dapat mengubah

system kimia otak yang lain dan juga circuit (aliran listrik). Glutamat adalah

neurotransmitter yang mempengaruhi “reward circuit” dan kemampuan

belajar. Ketika konsentrasi optimum dari glutamat diubah karena

penyalahgunaan narkoba maka otak akan melakukan upaya kompensasi,

yang dapat merusak fungsi kognitif. Studi tentang imaji otak individu

pecandu narkoba memperlihatkan perubahan pada area otak terkait

kemampuannya untuk memutuskan hal yang kritis, melakukan pengambilan

keputusan, belajar, daya ingat, dan kontrol perilaku. Bersamaan dengan itu,

terdapat perubahan pada individu yang kecanduan dalam mencari dan

mengkonsumsi narkoba, meskipun berdampak membahayakan dan

merugikan tetapi dorongan untuk melakukan hal itu sangat kuat. Inilah pola

alamiah dari adiksi atau kecanduan ((NIDA), 2011).

2.4. Faktor yang mempengaruhi penyalahgunaan narkoba pada remaja

Individu yang terlibat penyalah gunaan narkoba sampai pada

akhirnya mengalami ketergantungan, akan membawa dampak yang buruk

tidak saja bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi lingkungan sekitarnya.

Sebagai contoh, rusaknya hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan

belajar, ketidakmampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana

yang buruk, sampai pada perubahan mental dan perilaku menjadi antisosial.

Bahkan pada Harian Republika Minggu, 13 Februari 2005 Prof. Dr. Zubairi

Djoeban, ahli hematologi FKUI menyebutkan bahwa sekitar 30 % pengguna

narkotika bakal terinfeksi HIV/AIDS. Keprihatinan tersebut bukanlah tidak


13

beralasan, sebab banyak diantara penggunanya merupakan remaja. Menurut

(Hawari, 2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa 97 %

penyalahguna narkoba adalah remaja. Pada Harian Kompas Kamis, 9

September 1999, Psikolog Sawitri Supardi menyebutkan bahwa Individu

yang berada pada tahap perkembangan tersebut umumnya lebih rentan

terhadap pengaruh negatif pergaulan, seperti perilaku penyalahgunaan

narkotika dan obat-obatan terlarang, bahkan tidak berkeinginan menolak

saat ditawari untuk sekaligus menjadi pengedar/penjual. Jadi salah satu

penyebab seseorang menggunakan narkoba adalah karena pengaruh

lingkungan pergaulan, dan kesulitan yang dialami remaja untuk

mengekspresikan penolakan terhadap sesuatu. Sebagaimana diutarakan oleh

(Hawari, 2002) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pengaruh/bujukan

teman merupakan 81,3 % dari awal seseorang menggunakan narkoba.

Remaja yang sulit untuk menjadi berbeda dengan teman-temannya biasanya

memiliki solidaritas kelompok yang sangat tinggi. Remaja yang tidak dapat

bertahan ditengah-tengah keberbedaannya dengan lingkungannya cenderung

menemui kendala dalam menampilkan dirinya, mengemukakan hak-haknya,

mengekspresikan pikiran, perasaan, serta keyakinannya. Akhirnya, remaja

tersebut membiarkan dirinya tenggelam dalam kesamaan identitas

lingkungan temanteman sebayanya, seperti yang terjadi pada para remaja

penyalahguna narkoba.

Masa remaja menunjukkan sifat-sifat masa transisi dalam

membentuk kepribadian. Perilaku delikuen dipengaruhi oleh kepribadian


14

individu seperti adanya gangguan emosional, kurangnya rasa percaya diri

dan harga diri yang rendah. Seseorang yang mempunyai harga diri rendah

biasanya menganggap dirinya tidak berharga akan melakukan hal-hal negatif

yang menurutnya dianggap ideal meskipun dianggap tidak ideal bagi

lingkungan masyarakat untuk menutupi rasa tidak berharga dirinya.

Walaupun dalam keluarganya mereka merasa harmonis, tetapi kepribadian

seseorang juga menjadi poin besar terhadap perbuatan negatif. Sangat jelas

bahwa harga diri dianggap mempunyai peranan yang besar dalam kaitannya

dengan pembentukan perilaku penyalahgunaan narkoba. Safaria dalam

penelitiannnya juga menemukan bahwa model persamaan struktural

menunjukkan bahwa harga diri dibentuk oleh variabel motivasi berprestasi,

keharmonisan keluarga dan regulasi emosi yang secara tidak langsung

berhubungan dengan kecenderungan penyalahgunaan narkoba bahwa

keharmonisan keluarga merupakan variabel terbesar yang membentuk harga

diri (Safaria T, 2007).

Selain itu, penelitian Hawari yang menemukan bahwa 80% remaja

mengenal dan mendapatkan narkoba melalui teman-temannya (Safaria T,

2007). Wongtongkam, et al menyatakan bahwa remaja yang memiliki teman

penyalahguna narkoba berisiko 6,84 kali lebih besar untuk melakukan pula

penyalahgunaan narkoba. Pada penelitian ini juga terungkap bahwa

kecenderungan remaja akan menyalahgunakan narkoba semakin besar

karena mayoritas remaja memilih untuk tetap berteman dengan temannya

walaupun terlibat dalam kasus narkoba. Konsep konformitas seringkali


15

digeneralisasikan untuk masa remaja karena dari banyak penelitian

terungkap, salah satunya adalah penelitian Surya yang menunjukkan bahwa

pada masa remaja konformitas terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi

dibandingkan dengan masa pertumbuhan lainnya. Kondisi emosional yang

labil pada remaja juga turut mendorong individu untuk lebih mudah

melakukan konformitas (Cipto, 2005).

Menurut Davison & Neale (1974) ada beberapa faktor yang menjadi

penyebab seseorang terlibat penyalahgunaan narkoba, antara lain:

a. Karakteristik kepribadian

Hal yang dapat menyebabkan remaja mengkonsumsi narkoba

adalah untuk menurunkan ketegangan, kecemasan, serta sebagai

sarana untuk melarikan diri dari masalah. Mereka yang

menggunakan narkoba sebagai sarana untuk lari dari tekanan,

kecemasan, masalah atau kenyataan cenderung merupakan remaja

yang secara emosional belum matang. Mereka Peran Harga Diri

Terhadap Asertivitas Remaja Penyalahgunaan Narkoba (Penelitian

Pada Remaja Penyalahguna Narkoba Di Tempat-Tempat

Rehabilitasi Penyalahguna Narkoba) 62 Jurnal Psikologi Vol. 2 No.

1, Juni 2004 merasa tidak nyaman, pasif, dan sangat tergantung.

Mereka tidak terbiasa untuk menghadapi kesulitan secara adaptif,

dan merasa bahwa hidup itu membuat frustasi dan sangat

menimbulkan kecemasan. Bila mereka menghadapi masalah dalam


16

hidup cenderung untuk melarikan diri atau mencari bantuan dengan

menggantungkan diri pada orang lain ataupun narkoba.

b. Pengaruh teman Kelompok

teman sebaya terutama teman dekat, memiliki pengaruh yang

paling besar dalam kaitannya dengan konsumsi narkoba pada

remaja (Cipto, 2005). Motif yang paling kuat adalah untuk

menjadi sama dengan teman-temannya (Andrucci GL, 1989).

Penolakan terhadap ajakan untuk mengkonsumsi narkoba akan

membuat ia merasa dikucilkan oleh temantemannya sehingga ia

mengesampingkan hak-hak pribadinya sebagai individu. (Spear,

2000) menyatakan pula bahwa remaja yang terlibat dalam

penyalahgunaan obat pada umumnya memiliki teman yang juga

mengkonsumsi atau bersikap toleran terhadap penyalahgunaan

narkoba.

c. Ketersediaan Narkoba

Pada suatu komunitas tempat tinggal dimana narkoba mudah sekali

didapatkan, dan atmosfer atau budaya pada lingkungan tersebut

cenderung toleran terhadap ketersediaan narkoba, maka biasanya

angka peristiwa penyalahgunaan narkoba di daerah semacam ini

relatif tinggi (Flagel SB, 2014).

d. Keadaan keluarga Ada kalanya remaja mengkonsumsi narkoba

sebagai cara untuk melawan aturan yang ditetapkan oleh orang

dewasa, terutama orangtua. Hal ini terjadi karena remaja memiliki


17

kebutuhan untuk dapat mandiri, yang terhambat dengan adanya

aturan ataupun batasan tersebut. Selain itu, hubungan anak-

orangtua yang tidak dekat, penuh permusuhan ataupun konflik,

komunikasi yang tidak terjalin dengan baik antar anggota keluarga

akan memperbesar kemungkinan remaja mengkonsumsi narkoba

(Bardo, Donnohew, & Harrington, 1996).


18

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Observasional analitik dengan rancangan cross sectional study.

3.2 Variabel dan Definisi Operasional

3.2.1. Variabel

3.2.1.1. Variabel Bebas

Usia.
3.2.1.2. Variabel Tergantung

Perilaku Hingga Neurotransmiter terhadap Novelty Seeking 

dan Pecandu Narkoba.
3.2.2. Definisi Operasional

3.2.2.1. Usia

Usia responden merupakan usia dari awal kelahiran sampai

pada saat penelitian ini dilakukan. Usia dalam penelitian ini

diukur dalam satuan tahun. Menurut Depkes RI tahun 2009,

usia dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu :

 Remaja awal : 12-16 tahun

 Remaja akhir : 17-25 tahun

 Dewasa awal : 26-35 tahun

 Dewasa akhir : 36-45 tahun

3.2.2.2. Perilaku hingga Molekul terhadap

 Perilaku
19

Perilaku adalah respon seseorang terhadap stimulus

atau rangsangan dari luar untuk memenuhi kehendak,

kebutuhan, nafsu, dan keinginannya (Notoatmodjo,

2010).

 Neurotransmiter

Neurotransmiter merupakan zat kimia yang

diproduksi dan dilepas oleh saraf sebagai sarana untuk

berkomunikasi dengan saraf yang lain (Rahadian,

2009).

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

3.3.2. Sampel

3.3.3. Besar Sampel

3.3.4. Cara pengambilan sampel

3.4 Instrumen dan Bahan Penelitian

3.4.1. Instrumen Penelitian

3.4.2. Bahan Penelitian

3.5 Cara penelitian

3.5.1. Persiapan Penelitian

3.5.2. Pelaksanaan Penelitian

3.6 Tempat dan Waktu

3.6.1. Tempat

3.6.2. Waktu
20

3.7 Alur penelitian

3.8 Analisis Hasil


21

DAFTAR PUSTAKA

(NIDA), N. I. (2011). Drugs, Brain, and Behavior the Science of Addiction. Science
Addiction.

Andrucci GL, A. R. (1989). The Relationship of MMPI and Sensation Seeking Scales to
Adolesect Drug use. J Pers Assess, 253-266.

Bardo, M., Donnohew, R., & Harrington, N. (1996). Psychobiology of Novelty seeking and
Drug Seeking Behavior. Behav Brain Res, 23-43.

Bernheim, A., Halfon, O., & Boutrel, B. (2013). Controvesies about The Enhanced
Vulnerability of The Adolescent Brain to Developt Addiction. Front Farmacol 4.

Burns, L. (2014). World Drug Report 2013 United Nations Office on Drugs and Crime.
Drug Alcohol Rev 33, 216.

Cipto, K. J. (2005). Harga Diri dan Konformitas Terhadap Kelompok Perilaku Minum
Minuman Alkohol Pada Remaja. Proyeksi.

Cloninger, C. (1987). Neurogenetic Adaptive Mechanisms in Alcoholism . Science.

Flagel SB, W. M. (2014). Antecedents and Consequences of Drug Abuse In Rats


Selectively Bred for High and Low Respons to Novelty. Neuropharmacology 76,
425-436.

Hawari, D. (2002). Penyalahgunaan & Ketergantungan Naza (Narkotika, Alkohol Dan Zat
Adiktif). Jakarta: Universitas Indonesia.

Hiroi, N., & Agatsuma, S. (2005). In Genetic Susceptibility to substance Dependence (pp.
336-344). Mol Psychiatry.

Koob, G. (2000). Neurobiology of Addiction. Toward The Development of New Therapist.


Annals of The New York Academy of Sciences, 170-185.

Mt, B., RL, D., & NG, H. (1996). Psychobiology of Novelty Seeking and Drug Seeking
Behavior. Behav Brain Res, 23-43.

Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Rahadian, D. (2009). Pengaruh Ekstrak Biji Pala (Myristica fragrans Houtt) Dosis 7,5 mg
per 25 grBB terhadap Waktu Induksi Tidur dan Lama Waktu Tidur Mencit Balb/C
yang diinduksi Thiopental . 3.
22

Safaria T, D. M. (2007). Perbedaan Tingkat Religiusitas, Kecerdasan Emosi, dan Keluarga


Harmonis Pada Kelompok Pengguna NAPZA Dengan Kelompok Non-Pengguna.
Humanitas Indonesian Psychological .

Spear, L. (2000). The Adolescent Brain and Age-Related Behavioral Manisfestation.


Neurosci Biobehav Rev 24, 417-463.

Sutker, P., Archer, R., & Allain, A. (1978). Drug Abuse Patterns, Personality Characteristics,
and Relationship with Sex, Race and Sensation Seeking. J Consult Clean Psychol.

UI, B. d. (2011). Modul Pelaksanaan Lapangan Survey Nasional Perkembangan


Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar dan
Mahasiswa di Indonesia Tahun 2011.

Zuckerman, M., Kuhlman, D., Joireman, J., Teta, P., & Kraft, M. (1993). A Comparison of 3
a Structural Models for Personality. J Pers Soc Psychol.

Anda mungkin juga menyukai