Wilayah :
Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup di provinsi
Jambi.
Ciri masyarakat :
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi
dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa
dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan.
Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku
kubu yang pindah ke Agama Kristen atau Islam. Untuk suku Kubu yang tinggal menetap di daerah
Sumatra Selatan terutama daerah rawas rupit dan musi lakitan, di sana banyak terdapat suku Kubu yang
menggantungkan hidup di persawitan, bahkan ada di antara yang memanfaatkan lahan sawit
perusahaan Lonsum untuk mereka curi dan mereka jual ke lapak lapak setempat. Mereka seperti itu
karena memegang prinsip dasar apa yang tumbuh di alam adalah milik mereka bersama. Namun, banyak
juga orang kubu di daerah Musi dan Rawas yang menerima modernisasi termasuk penggunaan
kendaraan bermotor dan senjata api rakitan (kecepek). Pakaian dan fisik mereka yang agak sedikit kumal
biasanya menjadi stereotipe yang membuat orang-orang sekitar bisa membedakan suku Kubu dan
masyarakat sekitar.
Suku :
Suku Lubu
Wilayah :
Suku lubu adalah suku yang mendiami wilayah perbatasan antara Sumatra Utara dan Sumatra Barat.
Suku ini diketahui telah muncul sejak lama, jauh sebelum suku-suku lainnya khususnya di Sumatra Utara
seperti Batak dan Melayu.
Ciri masyarakat :
Dalam kesehariannya suku Lubu berkomunikasi dengan bahasa Lubu, yang tergolong ke dalam rumpun
Austronesia. Berdasarkan data dalam "Language Atlas of Pacifik Area" (1983), penutur bahasa Lubu
berjumlah kurang lebih 30.000 orang. Bahasa Lubu mayoritas menyerap perbendaharaan kata bahasa
Mandailing dan bahasa Padang Lawas, oleh karena itu bahasa Lubu terkadang dianggap sebagai salah
satu dialek dari bahasa Batak Mandailing.
besar masyarakat suku Lubu hidup dengan bercocok tanam. Suku Lubu masih mengenal sistem tebang-
bakar hutan untuk membuka ladang bagi pertanian mereka. Selain bercocok tanam, sebagian dari
mereka juga bekerja pada perkebunan karet sebagai buruh. Di samping itu, mereka juga masih
memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, dengan cara berburu dan
mengumpulkan hasil hutan. Beberapa jenis hewan ternak, seperti sapi, ayam, dan bebek juga mereka
pelihara untuk mendukung kebutuhan keluarga.
Suku :
Talang mamak
Wilayah :
Riau
Ciri masyarakat :
Toala
Wilayah :
Sulawesi
Ciri masyarakat :
Masih nomaden tapi sebagian sudah ada yang menetap dan masih melakukan food gathering
(mengumpulkan makanan)
Alat-alat yang dihasilkan nyaris sama dengan zaman palaeolithikum yakni masih merupakan alat-alat
batu kasar.
Ditemukannya bukit-bukit kerang di pinggir pantai yang disebut Kjoken Mondinger (sampah dapur)
Alat-alat zaman mesolithikum antara lain: Kapak genggam (Pebble), Kapak pendek (hache Courte)
Pipisan (batu-batu penggiling) dan kapak-kapak dari batu kali yang dibelah.
Alat-alat diatas banyak ditemukan di daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Flores. Alat-alat
kebudayaan Mesolithikum yang ditemukan di gua Lawa Sampung, Jawa Timur yang disebut Abris Sous
Roche antara lain: Flakes (Alat serpih),ujung mata panah, pipisan, kapak persegi dan alat-alat dari tulang.
Suku :
Toraja
Wilayah :
suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan
sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja,
Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen,
sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo.
Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Ciri masyarakat :
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga
besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara
persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktik umum
yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat
(sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan
kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam
pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai
hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar
kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman
dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa
melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa
menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok, kadang-kadang,
beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui
darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran
kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya
antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang
menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang
boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan
daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.