Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Disusun Oleh :
Tendri Ayu A. P. P. 1810029004
Dita Ambarsari 1810029021
Pembimbing :
dr. Denny Jeffry Rotinsulu, Sp. KJ
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tutorial klinik
ini yang berjudul “Baby Blues Syndrome”. Tutorial klinik ini disusun untuk
melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Laboratorium Ilmu Kedokteran Jiwa
Universitas Mulawarman RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Denny Jeffry Rotinsulu, Sp.
KJ yang telah membimbing dan membantu dalam melaksanakan kepaniteraan dan
dalam menyusun tutorial klinik ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format
tutorial klinik ini. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan masukan
dengan tangan terbuka.
Akhir kata kami berharap tutorial ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta
semua pihak yang ingin mengetahui tentang Baby Blues Syndrome.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2
dibandingakan dengan ibu yang melahirkan anak dengan berat lahir
normal [1].
3
kelemahan dan peningkatan berat badan, namun tidak semua baby
blues syndrome diakibatkan ketidakseimbangan hormon tiroid.
Perubahan gaya hidup
Ibu baru umumnya mengalami banyak perubahan pada
gaya hidup, beberapa diantaranya dapat berkontribusi dalam
terjadinya baby blues syndrome yaitu;
Perubahan jadwal sehari-hari akibat bayi yang baru
lahir
Terpikir akan berat badan serta bentuk tubuhnya
setelah hamil
Kelelahan dan kurang tidur setelah melahirkan
Sedikitnya dukungan dalam merawat bayi
Khawatir akan kemampuan untuk menjadi ibu yang
baik
Faktor lain
Faktor-faktor lain yang berpengaruh antara lain:
Primigravida
Ibu yang belum menikah
Operasi caesar atau komplikasi perinatal atau
kelahiran lainnya
Riwayat penyakit psikotik masa lalu, terutama
riwayat kecemasan dan depresi
Riwayat keluarga dengan penyakit kejiwaan,
terutama ibu dan saudara perempuan yang memiliki
gangguan postpartum
Episode gangguan postpartum sebelumnya
Peristiwa-peristiwa kehidupan yang penuh tekanan
terutama selama kehamilan dan menjelang
persalinan
Riwayat pelecehan seksual
Sifat kepribadian yang rentan
Isolasi sosial / pasangan yang tidak mendukung
4
2.4. Patofisiologi Baby Blues Syndrome
Baby blues bisa disebabkan oleh beberapa faktor antar lain faktor
biologis dan faktor emosi. Ketika bayi lahir, terjadi perubahan level
hormon yang sangat mendadak pada ibu. Hormon kehamilan (estrogen
dan progesteron) secara mendadak mengalami penurunan 72 jam setelah
melahirkan dan juga disertai penurunan mood dan perasaan tertekan serta
di lain sisi terjadi peningkatan dari hormon menyusui. Periode postpartum
awal ditandai dengan penurunan steroid gonad yang nyata. Ada
penurunan yang cukup besar dalam tingkat progesteron antara tahap
pertama dan kedua persalinan, dan kadar estrogen turun tiba-tiba setelah
pengeluaran estrogen-secreting placenta. Estrogen terutama
memengaruhi sistem monoaminergik, terutama serotonin dan dopamin;
masing-masing memengaruhi gejala afektif dan gejala psikotik [4, 9].
Perubahan hormon yang cepat dapat mencetuskan terjadinya baby
blues syndrome. Level neurosteroid berasal dari hormon progesteron yang
mengalami fluktuasi selama siklus menstruasi dan memuncak saat
kehamilan. Hormon sex yang dinamakan neurosteroid berikatan dengan
beberapa tipe reseptor termasuk reseptor GABAA untuk memodulasi
eksitabulas dari sel otak. Kekurangan delta subunit reseptor GABAA pada
wanita mununjukkan sikap depresi dan gangguan cemas setelah
melahirkan. Pemberian antidepresan saat kehamilan akan berefek panjang
pada sistem serotonin dan berpengaruh pada sensitivitas reseptor-reseptor
GABAA. Sebagian besar ibu tidak siap untuk menghadapi kelahiran
bayinya, mereka juga sangat khawatir bayi mereka terkena penyakit
jaundice dan kesulitan makan yang merupakan masalah kesehatan yang
umum bagi bayi. Selain itu, ibu yang pertama kali memiliki bayi merasa
tidak sanggup merawat bayinya seorang diri di rumah baik itu segi kasih
sayang maupun finansial. Baby blues syndrome juga sangat mungkin
terjadi oleh para ibu yang pernah mengalami trauma melahirkan atau
mengalami kejadian yang sangat menyedihkan selama mengandung [4].
5
2.5. Manifestasi Klinis Baby Blues Syndrome
Baby blues syndrome ditandai dengan berbagai gejala seperti
berikut [10]:
Menangis (crying), weepiness
Perasaan sedih (sadness)
Lekas marah (irritability)
Rasa empati yang berlebihan
Ansietas
Mood yang labil (“ups” and “downs”)
Merasa kewalahan
Insomnia; kesulitan untuk jatuh atau tetap tertidur; kelelahan
Frustasi
6
Perasaan cemas, khawatir ataupun was-was yang berlebihan, sedih,
murung, dan sering menangis tanpa ada sebab (tidak jelas
penyebabnya)
Seringkali merasa kelelahan dan sakit kepala dalam beberapa kasus
sering migrain
Perasaan ketidakmampuan, misalnya dalam mengurus anak
Adanya perasaan putus asa
Jika pasien mengalaminya lebih dari 2 minggu, bisa jadi pasien
mengalami postpartum depression. Apabila gejala diatas tidak disadari dan
lama kelamaan tekanan atau stress yang dirasakan semakin kuat atau
semakin besar maka penderita akan mengalami depresi pasca melahirkan
yang berat [4].
Jika telah mengalami hal ini maka diperlukan penanganan secara
berkala, gejala dari depresi tersebut adalah [4]:
Kelelahan yang berkepanjangan, susah tidur, dan insomnia
Hilangnya perasaan bahagia dan minat untuk melakukan hal-hal yang
menyenangkan
Tidak memperhatikan diri sendiri dan menarik diri dari keluarga dan
teman
Tidak memperhatikan atau bahkan perhatian yang berlebihan pada
anak
Perasaan takut telah menyakiti anak
Tidak tertarik pada seks
Perasaan berubah-ubah dengan ekstrim, terganggu proses berpikir dan
konsentrasi
Kesulitan dalam membuat keputusan sederhana
Sampai saat ini belum ada alat test khusus yang dapat mendiagnosa
secara langsung postpartum blues. Secara medis, dokter menyimpulkan
beberapa simptom yang tampak dapat disimpulkan sebagai gangguan
depresi postpartum blues bila memenuhi kriteria dan gejala yang ada.
Kekurangan hormone thyroid yang ditemukan pada individu yang
mengalami kelelahan luar biasa (fatique) ditemukan juga pada ibu yang
7
mengalami postpartum blues mempunyai jumlah kadar tiroid yang sangat
rendah [4].
Skrining untuk mendeteksi gangguan mood/depresi sudah
merupakan acuan pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk
skrining ini dapat dipergunakan beberapa kuesioner dengan alat bantu.
Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) merupakan kuesioner
dengan validasi yang teruji yang dapat mengukur intensitas perubahan
perasaan depresi selama 7 hari pasca salin. Pertanyaan-pertanyaan
berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan, perasaan bersalah
serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada postpartum blues.
Kuesioner ini terdiri dari 10 pertanyaan, dimana setiap pertanyaan
memiliki 4 pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih
satu sesuai dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca salin saat itu.
Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata rata dapat diselesaikan
dalam waktu 5 menit, nilai scoring lebih besar 12 memiliki sensitifitas
86% dan nilai prediksi positif 73% untuk mendiagnosis postpartum blues.
EPDS dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca salin dan bila
hasilnya meragukan dapat diulangi pengisiannya 2 minggu kemudian [4].
8
2.7. Diagnosis Banding Baby Blues Syndrome
A. Depresi Postpartum
Depresi postpartum merupakan istilah yang digunakan pada pasien
yang mengalami berbagai gangguan emosional yang timbul setelah
melahirkan, khususnya pada gangguan depresi spesifik yang terjadi pada
10%-15% wanita pada tahun pertama setelah melahirkan. Pasien akan
mengalami gejala afektif selama periode postpartum, 4 sampai 6 minggu
setelah melahirkan. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, edisi keempat (DSM-IV), sebuah depresi dipertimbangkan
sebagai postpartum jika dimulai selama empat minggu setelah kelahiran.
Pola gejala pada wanita dengan depresi postpartum sama pada wanita yang
mengalami masa depresi selama tidak hamil. Susah berinteraksi dengan
perawat dalam keadaan stres dan bayi meningkatkan risiko pendekatan
yang tidak aman dan terjadinya masalah kognitif dan sifat pada anak [11,
12].
B. Psikosis Postpartum
Psikosis postpartum adalah contoh dari gangguan psikosis yang
terjadi pada wanita yang baru saja melahirkan anak. Sindrom ini memiliki
karakteristik pada pasien berupa depresi, delusi dan pemikiran untuk
menyakiti dirinya sendiri atau anaknya dimana pemikiran ini harus di
waspadai dan di monitor. Beberapa data menunjukkan adanya hubungan
yang dekat antara psikosis postpartum dan gangguan mood, khususnya
gangguan bipolar dan gangguan depresi mayor. Gejala yang ditemukan
pada psikosis postpartum muncul dalam 2 sampai 3 minggu bahkan 8
minggu setelah persalinan. Umumnya pasien mengeluhkan rasa lelah,
insomnia, gelisah, sering menangis dan emosi yang labil [1].
Berikut perbandingan gejala klinis antar baby blues syndrome,
depresi postpartum, dan psikosis postpartum [1]:
9
Tabel 1. Perbedaan gejala klinis baby blues syndrome, depresi postpartum, dan psikosis
postpartum.
Baby blues syndrome Depresi postpartum Psikosis postpartum
Terjadi pada 30-75% Terjadi pada 10-15% Terjadi pada 0,1-0,2%
ibu melahirkan. ibu melahirkan. ibu melahirkan.
Terjadi 3-5 hari Terjadi antara 3-6 Terjadi beberapa hari.
setelah melahirkan. bulan setelah Rata-rata 2-3 minggu
Berlangsung melahirkan (umumnya setelah melahirkan,
beberapa hari sampai 12 minggu). hampir selalu dalam 8
minggu. Berlangsung selama minggu.
Gangguan suasana beberapa bulan, tidak Depresi dengan
hati dan pikiran dirawat mencapai gangguan mood.
(mood). beberapa tahun. Khayalan yang kacau
Muncul perasaan Gangguan suasana (bayi cacat /
sedih. hati dan pikiran meninggal,
Murung, gelisah, dengan perasaan mengingkari
tidak nyaman. tertekan yang merata. kelahiran,
Kebingungan yang Sering menangis. menganggap dirinya
subjektif. Dapat terjadi bila tidak belum menikah,
Sering menangis. mendapat dukungan merasa masih
Insomnia. dari suami dan atau perawan, terus-
Tanpa pemicu anggota keluarga. menerus meragukan
khusus. Dipengaruhi oleh keyakinan diri,
Tidak dipengaruhi kondisi sosial budaya mudah terpengaruh,
kondisi sosial budaya dan tingkat ekonomi. memberontak.)
dan tingkat ekonomi. Terjadi dengan Mengeluh letih,
Dapat terjadi tanpa riwayat gangguan insomnia, gelisah,
riwayat gangguan mood (riwayat pribadi emosi tak terkendali,
mood. atau keluarga). curiga, bingung,
Tidak berpikir ingin Ada keinginan merasa bukan dirinya
menyakiti bayi. menyakiti bayi. sendiri, obsesi pada
Hampir tidak pernah Sering merasa kesehatan bayi.
10
merasa bersalah dan bersalah dan tidak Mengeluh sulit
tidak berdaya. berdaya yang bergerak atau
Dapat kembali berlebihan. berjalan.
normal dengan Perlu tatalaksana dan 50% dari riwayat
sendirinya dengan bantuan keluarga. keluarga dengan
dukungan dan gangguan mood.
bantuan keluarga. Ingin bunuh diri atau
membunuh bayinya.
Sering mendengar
suara-suara yang
menyuruh membunuh
diri atau bayi.
Berdasarkan populasi
5% bunuh diri, 4%
membunuh bayinya,
dan 67% mengalami
kejadian kedua kali
gangguan emosional
(gangguan afektif)
sepanjang tahun.
Proses kelahiran yang
menegangkan
berkembang menjadi
gangguan mood
hebat.
Harus mendapat
tatalaksana,
pengawasan dan
dukungan keluarga.
11
menghilang secara spontan sehingga tidak ada pengobatan khusus selain
dukungan dan reassurance yang diindikasikan. Gejala-gejala yang timbul
mungkin dapat menimbulkan penderitaan tetapi biasanya tidak
mempengaruhi kemampuan ibu untuk berfungsi dan merawat bayinya.
Konsultasi kejiwaan umumnya tidak diperlukan. Namun, pasien harus
diinstruksikan untuk menghubungi dokter kandungan atau primary care
provider jika gejala menetap lebih dari dua minggu untuk identifikasi dini
gangguan afektif yang lebih parah [4].
Baby blues juga dapat dikurangi dengan cara belajar tenang dengan
menarik nafas panjang dan meditasi, tidur ketika bayi tidur, berolahraga
ringan, ikhlas dan tulus dengan peran baru sebagai ibu, tidak perfeksionis
dalam hal mengurusi bayi, membicarakan rasa cemas dan
mengkomunikasikannya, bersikap fleksibel, bergabung dengan kelompok
ibu-ibu baru. Dalam penanganan para ibu yang mengalami post-partum
blues dibutuhkan pendekatan menyeluruh/holistik. Pengobatan medis,
konseling emosional, bantuan-bantuan praktis dan pemahaman secara
intelektual tentang pengalaman dan harapan-harapan mereka mungkin
pada saat-saat tertentu. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa
dibutuhkan penanganan di tingkat perilaku, emosional, intelektual, sosial
dan psikologis secara bersama-sama, dengan melibatkan lingkungannya,
yaitu: suami, keluarga dan juga teman dekatnya [3, 4].
12
4. Konsumsi makanan yang bernutrisi agar kondisi tubuh cepat pulih,
sehat dan bugar
5. Berbagi rasa dengan suami atau orang terdekat lainnya, karena
dukungan dari keluarga akan membantu mengurangi depresi
13
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan.
Baby blues syndrome atau sering disebut juga dengan istilah
maternity blues atau postpartum blues adalah gangguan emosi ringan
yang biasanya terjadi dalam kurun waktu 2 minggu atau 14 hari setelah
ibu melahirkan. Baby blues ditandai perasaan sedih, seperti menangis,
perasaan kesepian atau menolak bayi, cemas, bingung, lelah, merasa
gagal dan tidak bisa tidur. Baby blues relatif ringan dan biasanya
berlangsung 2 minggu. Perbedaan dengan postpartum depression adalah
pada frekuensi, intensitas dan lamanya durasi gejala. Dalam postpartum
depression, gejala yang lebih sering, lebih intens dan lebih lama.
Jika pasien mengalaminya lebih dari 2 minggu, bisa jadi pasien
mengalami postpartum depression. Apabila gejala diatas tidak disadari
dan lama kelamaan tekanan atau stres yang dirasakan semakin kuat atau
semakin besar maka penderita akan mengalami depresi pasca melahirkan
yang berat. Meskipun gejalanya cukup ringan bila dibandingkan dengan
postpartum depression, bukan berarti sindrom ini bisa di abaikan begitu
saja. Penanganan yang bisa dilakukan antara lain: istirahat yang cukup,
berolahraga teratur, mengkonsumsi makanan yang bergizi, dan yang
paling penting adalah melakukan relaksasi agar emosi tetap terjaga.
14
DAFTAR PUSTAKA
[3] D. Ryan, "Psychiatric disorders in the postpartum period," vol. 47, no. 2, pp.
100-103, March 2005.
15