Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

KEPUTIHAN DALAM KEHAMILAN

Disusun Oleh :
Maria Natasha Marlinang Simandjuntak
1361050245

Pembimbing :
Dr. Johanes Taolin, Sp. OG

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


PERIODE 08 OKTOBER – 08 DESEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
kemudahan dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam
Kepaniteraan Ilmu Kebidanan dan Kandungan dengan judul “Keputihan dalam Kehamilan”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Johanes
Taolin, Sp. OG selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis belajar dalam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendir i dan para
pembaca. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan dan masih perlu
banyak perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari pembaca.

Jakarta, 2018

Maria Natasha
1361050245

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL


“KEPUTIHAN DALAM KEHAMILAN”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan
Periode 02 Oktober – 08 Desember 2018
Jakarta, 2018

dr., Sp. OG

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………ii
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………...iv
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………... 2
BAB III KESIMPULAN…………………………………………………... 14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 15

BAB i
PENDAHULUAN

Keputihan adalah kondisi ginekologis umum pada wanita usia subur yang seringkali
membutuhkan pengobatan dan sepertiga dari seluruh wanita dan setengah dari wanita hamil
mengalami keputihan. Keputihan yang patologis dapat berdampak serius dan membahayakan
bagi wanita hamil dan anaknya dimana menyebabkan prematuritas, berat badan lahir rendah,
korioamnionitis, endometritis postpartum, dan infeksi luka pasca-sesar. Keputihan
merupakan penyebab kedua pada wanita berusia 15 hingga 49 tahun tidak dapat memiliki
hidup yang sehat sepenuhnya.(1)
Keputihan pada wanita usia subur adalah kondisi yang normal. Kondisi ini disebabkan oleh
adanya sekresi fisiologis kelenjar serviks dan Bartholini, serta deskuamasi sel-sel epitel
vagina yang dihasilkan oleh bakteri di vagina. Keputihan menjadi abnormal ketika jumlahnya
lebih banyak, memiliki bau yang tidak sedap, biasanya disertai dengan vulva atau vagina
yang gatal, disuria, dan / atau dispareunia. Berbagai penelitian yang dilakukan di negara
berkembang menunjukkan bahwa keputihan disebabkan oleh infeksi menular seksual (IMS)
pada 90% kasus. Selama masa kehamilan, mukosa genitalia menjadi lebih tipis dan memiliki
luas permukaan yang lebih besar sehingga mengakibatkan wanita hamil lebih rentan terhadap
infeksi.(1)
Dampak IMS pada kehamilan bergantung pada organisme penyebab, lamanya infeksi, dan
usia kehamilan pada saat perempuan terinfeksi. Diagnosis dan manajemen IMS pada
kehamilan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal maupun janin. Sebagian
besar IMS bersifat asimptomatik atau muncul dengan gejala yang tidak spesifik. Tanpa
adanya tingkat kewaspadaan yang tinggi dan ambang batas tes yang rendah, sejumlah besar
kasus IMS dapat terlewatkan, yang pada akhirnya mengarah pada hasil perinatal yang tidak
diinginkan. Oleh karena itu, riwayat IMS yang lengkap dan melakukan pemeriksaan skrining
yang sesuai pada pasien yang sedang hamil pada saat pemeriksaan pranatal yang pertama
adalah hal yang penting.(2)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

a) Definisi
Keputihan merupakan kondisi yang umum dan terutama bersifat fisiologis. Keputihan adalah
suatu gambaran klinis bukan diagnosis. Sebagian besar wanita hamil mengalami keputihan
yang dapat bersifat fisiologis ataupun patologis. Keputihan fisiologis adalah gambaran klinis
normal pada semua wanita dan tidak mengganggu. (1,3)
Sedangkan keputihan yang patologis dalam kehamilan menyebabkan ketidaknyamanan dan
meningkatkan risiko terjadinya komplikasi. Ketika keputihan menjadi patologis, maka jumlah
keputihannya akan lebih banyak dan dapat memiliki bau yang tidak sedap, biasanya disertai
dengan vulva atau vagina yang gatal, disuria, dan / atau dispareunia.(1,3)
b) Epidemiologi
Berdasarkan penelitian Fonseca pada tahun 2013, prevalensi keputihan dalam kehamilan
adalah sebesar 43% (95% CI 40,9; 44,9) di antara seluruh wanita yang diteliti. Sekitar 20%
adalah remaja (berusia < 20 tahun), 68% berkulit putih, 83% tinggal dengan pasangannya,
55% bersekolah ≥ 9 tahun, 26% adalah perokok, 44% adalah primipara, 14% memiliki
riwayat aborsi sebelumnya, 36% merencanakan kehamilan, 80% telah melakukan ≥ 6
kunjungan pranatal, dan 11% memiliki riwayat keputihan patologis pada kehamilan
sebelumnya. Hanya 53% wanita yang memiliki riwayat terjadinya keputihan menjalani
pengobatan untuk menghilangkan gejala.(1)
Berbagai studi yang dilakukan di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa
keputihan disebabkan oleh infeksi menular seksual (IMS) pada hingga 90% kasus. Prevalensi
IMS/ISR (infeksi saluran reproduksi) di negara sedang berkembang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan di negara maju. Pada perempuan hamil di negara dunia ketiga, angka
kejadian gonore 10-15 kali lebih tinggi, infeksi klamidia 2-3 kali lebih tinggi, dan sifilis 10-
100 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka kejadiannya pada perempuan hamil di
negara industri.
Di Indonesia, angka kejadian IMS/ISR pada perempuan hamil sangat terbatas. Pada
perempuan hamil pengunjung Puskesmas Merak Jawa Barat tahun 1994, sebanyak 58%
menderita ISR. Sebanyak 29,5% adalah infeksi genital nonspesifik, kemudian 10,2%
vaginosis bakterial, kandidosis vaginalis 9,1%, gonore sebanyak 3,4%, trikomoniasis 1,1%,
dan gonore bersama trikomoniasis sebanyak 1,1%. Penelitian lain di Surabaya menemukan
19,2% dari 599 perempuan hamil yang diperiksa menderita paling tidak 1 jenis IMS, yaitu
infeksi virus herpes simpleks tipe-2 sebanyak 9,9%, infeksi klamidia 8,2%, trikomoniasis
4,8%, gonore 0,8%, dan sifilis 0,7%. Penelitian di Jakarta, Batam, dan Tanjung Pinang pada
pengunjung perempuan hamil di beberapa rumah bersalin ditemukan infeksi klamidia 4,2%,
trikomoniasis 1,2%, vaginosis bakterial 12,6%, sementara tidak ditemukan infeksi gonore,
dan sifilis.(2)

c) Etiologi
Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit,
atau jamur, yang penularannya terutama melalui hubungan seksual dari seseorang yang
terinfeksi kepada mitra seksualnya. Infeksi menular seksual merupakan salah satu penyebab
infeksi saluran reproduksi (ISR). Tidak semua IMS menyebabkan ISR, dan sebaliknya tidak
semua ISR disebabkan IMS. Berdasarkan penyebabnya, ISR dapat dibedakan menjadi: (2)
• Infeksi menular seksual, misalnya gonore, sifilis, trikomoniasis, dan
ulkus mole.
• Infeksi endogen oleh flora normal komensal yang tumbuh berlebihan,
misalnya kandidosis vaginalis dan vaginosis bakterial.
• Infeksi iatrogenik yang disebabkan bakteri atau mikroorganisme yang
masuk ke saluran reproduksi akibat prosedur medik atau intervensi selama kehamilan,
pada waktu partus atau pascapartus dan dapat juga oleh karena kontaminasi
instrumen.
d) Patofisiologi
Kadar estrogen dan progesteron yang fluktuatif selama siklus menstruasi sangat
mempengaruhi konsistensi dan komposisi keputihan yang fisiologis. Estrogen menyebabkan
keputihan menjadi tipis dan jernih untuk memudahkan peredaran sperma melalui serviks
pada saat ovulasi. Progesteron membuat cairan tebal dan lengket setelah ovulasi. Lingkungan
vagina mempertahankan stabilitasnya dengan adanya kerja dari organisme komensal.
Laktobasilus berkolonisasi pada vagina sejak masa pubertas di bawah pengaruh estrogen. pH
vagina, kandungan glikogen, dan jumlah sekresi mempengaruhi kuantitas dan jenis
organisme yang ada di vagina. Laktobasilus membatasi pertumbuhan organisme lain dengan
menghasilkan asam laktat, sehingga mempertahankan pH yang rendah sekitar 4,5. Organisme
ini juga menghasilkan hidrogen peroksida, yang toksik terhadap anaerob. Populasi bakteri
vagina yang normal membantu dalam menghambat pertumbuhan organisme vagina patologis.
Organisme komensal lainnya adalah streptokokus, enterokokus dan stafilokokus gram
negative. Beberapa organisme lain yang merupakan bagian dari flora normal, tetapi
berhubungan dengan infeksi pada vagina yaitu Bacteroides anaerobik, kokus anaerobik,
Gardenella vaginalis, Candida, Ureaplasma urealyticum, dan spesies Mycoplasma.(3,4)
Jika ekosistem pada vagina normal berubah, terdapat kemungkinan lebih besar terhadap
terjadinya proliferasi organisme patogen. Tantangan untuk mengobati vaginitis pada
kehamilan adalah penegakkan diagnosis yang akurat dan mengobati dengan benar. Infeksi
pada vaginosis bakterial, Chlamydia trichomonas, atau Streptokokus Grup B telah dikaitkan
dengan aborsi septik, ketuban pecah dini dan persalinan prematur.(4)
Secara gender, perempuan memiliki risiko tinggi terhadap penyakit yang berkaitan
dengan kehamilan dan persalinan, juga terhadap penyakit kronik dan infeksi. Selama masa
kehamilan, perempuan mengalami berbagai perubahan, yang secara alamiah sebenarnya
diperlukan untuk kelangsungan hidup janin dalam kandungannya. Namun, ternyata berbagai
perubahan tersebut dapat mengubah kerentanan dan juga mempermudah terjadinya infeksi
selama kehamilan, perubahan tersebut antara lain sebagai berikut: (2)
• Perubahan Imunologi
Selama kehamilan terjadi supresi imunokompetensi ibu yang dapat mempengaruhi terjadinya
berbagai penyakit infeksi. Supresi sistem imun akan semakin meningkat seiring dengan
berlanjutnya usia kehamilan, serta mempengaruhi perjalanan penyakit infeksi genital.
Kandidosis pada perempuan hamil lebih sering dijumpai dan dapat lebih parah jika
dibandingkan dengan perempuan tidak hamil. Demikian pula dengan kondiloma akuminata
dan herpes genital.(2)
Limfosit T jumlahnya berkurang dalam sampel darah tepi perempuan hamil, tetapi tidak
demikian halnya dengan limfosit B. Pengurangan maksimal CD4+ limfosit T terjadi pada
trimester ketiga. Pada sejumlah besar perempuan yang dievaluasi selama dan setelah
kehamilan, tampak gangguan dalam respons transmisi limfosit secara in vitro terhadap
sejumlah antigen mikroba selama kehamilan. Proliferasi limfosit in vitro secara bermakna
lebih rendah selama kehamilan dibandingkan periode pascapartus, dan secara bermakna juga
lebih rendah pada perempuan hamil dibandingkan dengan perempuan tidak hamil.(2)
• Perubahan Anatomi
Perubahan pada serviks saat 1 bulan setelah konsepsi adalah mengalami perlunakan dan
sianosis yang mencolok. Perubahan-perubahan ini terjadi karena vaskularitas dan edema
serviks keseluruhan, disertai oleh hipertrofi dan hiperplasia kelenjar serviks. Jaringan ikat
pada serviks, yang mana merupakan komponen utama, mengalami penataan ulang jaringan
ikat kaya-kolagen agar dapat melaksanakan beragam tugas dari mempertahankan kehamilan
hingga aterm, berdilatasi untuk mempermudah pelahiran, dan memperbaiki diri setelah
persalinan agar dapat terjadi kehamilan berikutnya.(5)
Kelenjar-kelenjar serviks mengalami proliferasi mencolok sedemikian rupa sehingga pada
akhir kehamilan kelenjar-kelenjar tersebut menempati sekitar separuh dari seluruh massa
serviks. Perubahan-perubahan normal akibat kehamilan ini menyebabkan perluasan kelenjar
endoserviks kolumnar. Sel mukosa endoserviks menghasilkan suatu mukus lengket dalam
jumlah besar yang menyumbat kanalis servisis uteri segera setelah konsepsi. Mukus tersebut
kaya akan imunoglobulin dan sitokin serta berfungsi sebagai sawar imunologis untuk
melindungi isi uterus terhadap infeksi vagina. Serviks yang mengalami hipertrofi, maka akan
semakin luas daerah epitel kolumnar pada ektoserviks yang terpajan mikroorganisme.
Perluasan ektopi serviks selama kehamilan mengakibatkan mudahnya infeksi serviks atau
reaktivasi laten.(2,5)

• Perubahan Flora Mikrobial Servikovagina


Flora vagina merupakan ekosistem heterogen untuk berbagai bakteri anaerob dan bakteri
fakultatif anaerob. Beberapa penelitian menemukan, bahwa selama kehamilan, sejumlah
spesies bakteri yang terdapat di dalam vagina terutama spesies anaerob berkurang, prevalensi
dan kuantitas laktobasilus bertambah, sedangkan bakteri fakultatif lainnya tidak berubah.
Diduga mekanisme yang menyebabkan perubahan tersebut adalah pH vagina, kandungan
glikogen, dan vaskularisasi genital bagian bawah.(2)

e) Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien harus menjadi lini pertama dalam menentukan
apakah pemeriksaan lebih lanjut dan pemberian pengobatan diperlukan. Anamnesis
ginekologi rutin harus ditanyakan yaitu paritas, riwayat pap smear, riwayat aktivitas seksual,
dan kontrasepsi saat ini. Anamnesis mengenai riwayat aktivitas seksual harus ditanyakan
secara rinci untuk dapat sekaligus melakukan skrining IMS sepenuhnya. Riwayat mengenai
keputihan yang perlu ditanyakan adalah onset, durasi, waktu yang berkaitan dengan siklus
menstruasi, bau, warna, konsistensi, dan setiap faktor yang memperburuk keputihan. Gejala
yang terkait keputihan diantaranya yaitu gatal, ketidaknyamanan, nyeri, disuria, dyspareunia,
dan perdarahan yang tidak teratur harus ditanyakan.(3)
Pemeriksaan ginekologi terdiri dari inspeksi, pemeriksaan bimanual dan pengambilan swab
vagina yang tepat. Inspeksi meliputi pemeriksaan eksternal vulva dan daerah perineum, dan
pemeriksaan internal vagina dan leher rahim dengan bantuan spekulum. Pemeriksaan
bimanual akan memberikan hasil pemeriksaan mengenai posisi, ukuran dan mobilitas rahim
serta adanya massa pada adneksa. Swab vagina dapat membantu dalam mendiagnosis
patogen yang menjadi penyebab keputihan yang patologis dalam kehamilan.(3)
Diagnosis dan manajemen IMS pada kehamilan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
maternal maupun janin. Sebagian besar IMS bersifat asimptomatik atau muncul dengan
gejala yang tidak spesifik. Tanpa adanya tingkat kewaspadaan yang tinggi dan ambang batas
tes yang rendah, sejumlah besar kasus IMS dapat terlewatkan, yang pada akhirnya mengarah
pada hasil perinatal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, riwayat IMS yang lengkap dan
melakukan pemeriksaan skrining yang sesuai pada pasien yang sedang hamil pada saat
pemeriksaan pranatal yang pertama adalah hal yang penting.(2)

a. Gonore
Gonore adalah semua infeksi yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. N. gonorrhoeae
di bawah mikroskop cahaya tampak sebagai diplokokus berbentuk biji kopi dengan lembar
0,8 µm dan bersifat tahan asam. Kuman ini bersifat Gram negatif, tampak di luar dan di
dalam leukosit polimorfnuklear, tidak dapat bertahan lama di udara bebas, cepat mati pada
keadaan kering, tidak tahan pada suhu di atas 39‫ﹾ‬C, dan tidak tahan zat desinfektan.(2)
Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada perempuan berbeda dari pria. Hal ini
disebabkan perbedaan anatomi dan fisiologi alat kelamin pria dan perempuan. Gonore pada
perempuan kebanyakan asimptomatik sehingga sulit untuk menentukan masa inkubasinya.
Infeksi pada uretra dapat bersifat simptomatik ataupun asimptomatik, tetapi umumnya jarang
terjadi tanpa infeksi pada serviks, kecuali pada perempuan yang telah dihisterektomi.
Keluhan traktus genitourinarius bawah yang paling sering adalah bertambahnya duh tubuh
genital, disuria yang kadang-kadang disertai poliuria, perdarahan antara masa haid, dan
menoragia. Daerah yang paling sering terinfeksi adalah serviks. Pada pemeriksaan, serviks
tampak hiperemis dengan erosi dan sekret mukopurulen.(2)
Diagnosis gonore dapat dipastikan dengan menemukan N. gonorrhoeae sebagai penyebab,
baik secara mikroskopik maupun kultur (biakan). Sensitivitas dan spesifisitas dengan
pewarnaan Gram dari sediaan serviks hanya berkisar antara 45-65%, 90-99%, sedangkan
sensitivitas dan spesifisitas dengan kultur sebesar 85-95%, > 99%. Oleh karena itu, untuk
menegakkan diagnosis gonore pada perempuan perlu dilakukan kultur.(2)
Infeksi gonore selama kehamilan telah diasosiasikan dengan pelvic inflammatory disease
(PID). Infeksi ini sering ditemukan pada trimester perrama sebelum korion berfusi dengan
desidua dan mengisi kavum uteri. Pada tahap lanjut, Neisseria gonorrhoeae diasosiasikan
dengan ruptur membran yang prematur, kelahiran prematur, korioamnionitis, dan infeksi
pascapersalinan. Konjungtivitis gonokokal (ophtalmia neonatorum), manifestasi tersering
dari infeksi perinatal, umumnya ditransmisikan selama proses persalinan. Jika tidak diterapi,
kondisi ini dapat mengarah pada perforasi kornea dan panoftalmitis. Oleh karena itu, untuk
perempuan hamil dengan risiko tinggi dianjurkan untuk dilakukan skrining terhadap infeksi
gonore pada saat datang untuk pertama kali antenatal dan juga pada trimester ketiga
kehamilan.(2)
b. Klamidiasis
Klamidiasis genital adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Chlamydia trachomatis
(CT), berukuran 0,2 - 1,5 mikron, berbentuk sferis, tidak bergerak, dan merupakan parasite
intrasel obligat. Masa inkubasi berkisar antara 7 - 3 minggu. Manifestasi klinis infeksi CT
merupakan efek gabungan berbagai faktor, yaitu kerusakan jaringan akibat replikasi CT,
respons inflamasi terhadap CT, dan bahan nekrotik dari sel pejamu yang rusak. Sebagian
besar infeksi CT asimptomatik dan tidak menunjukkan gejala klinis spesifik. Endoserviks
merupakan organ pada perempuan yang paling sering terinfeksi CT. Walaupun umumnya
infeksi CT asimptomatik, 37% perempuan memberikan gambaran klinis duh mukopurulen
dan 19% ektopi hipertrofik.(2)
Servisitis dapat ditegakkan bila ditemukan duh serviks yang mukopurulen, ektopi serviks,
edema, dan perdarahan serviks baik spontan maupun dengan hapusan ringan lidi kapas.
Infeksi pada serviks dapat menyebar melalui rongga endometrium hingga mencapai tuba
Falloppii. Secara klinis dapat memberi gejala menoragia dan metroragia.(2)
Perempuan hamil yang terinfeksi dengan C. trachomatis menunjukkan gejala keluarnya
sekret vagina, perdarahan, disuria, dan nyeri panggul. Namun, sebagian besar perempuan
hamil tidak menunjukkan gejala. Pemeriksaan panggul dapat membantu menunjukkan
adanya servisitis. Perdarahan endoserviks juga dapat mengarah pada infeksi serviks pada
kehamilan.(2)
Dampak infeksi CT pada kehamilan dapat mengakibatkan abortus spontan, kelahiran
prematur, dan kematian perinatal. Di samping itu, bisa juga mengakibatkan konjungtivitis
pada neonatus dan pneumonia infantil. Oleh karena itu, untuk perempuan lamil dengan risiko
tinggi juga dianjurkan untuk dilakukan skrining terhadap infeksi CT pada saat datang untuk
pertama kali antenatal dan juga pada trimester ketiga kehamilan.(2)
Diagnosis dapat ditegakkan dengan mendeteksi CT yang dapat dilakukan melalui beberapa
metode yaitu: (2)
• Kultur.
• Deteksi antigen secara: Direct Fluorescent Antibody (DFA), Enzyme
immuno assay / enzyme linked immunosorbent assay (EIA/ELISA) dan rapid atau
point of care test.
• Deteksi asam nukleat : Hibridisasi probe deoxyribonucleic acid
(DNA), uji amplikasi asam nukleat seperti Polymerase Chain Reaction (PCR), dan
Ligase Chain Reaction (LCR).
• Pemeriksaan serologis.

c. Trikomoniasis
Trikomoniasis merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabkan oleh Trichomonas
vaginalis (TV), biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan sering menyerang traktus
urogenitalis bagian bawah baik pada perempuan maupun pria. Gejala yang dikeluhkan oleh
perempuan dengan trikomoniasis adalah keputihan, gatal, dan iritasi. Tanda dari infeksi
tersebut meliputi duh tubuh vagina (42 %), bau (50%), dan edema atau eritema (22-27 %).
Duh tubuh yang klasik berwarna kuning kehijauan dan berbusa, tetapi keadaan ini hanya
ditemukan pada 10-30 % kasus. Kolpitis makularis (strawberry cervix) merupakan tanda
klinis yang spesifik untuk infeksi ini, tetapi jarang ditemukan pada pemeriksaan rutin.(2)
Gejala klinis pada perempuan hamil tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak hamil. Akan
tetapi, bila ditemukan infeksi TV pada trimester kedua kehamilan dapat mengakibatkan
premature ruptur membran, bayi berat lahir rendah (BBLR), dan abortus. Oleh karena itu,
pemeriksaan skrining pada pertama kali antenatal perlu dilakukan.(2)
Diagnosis trikomoniasis paling sering ditegakkan dengan melihat trikomonad hidup pada
sediaan langsung duh tubuh penderita dalam larutan NaCl fisiologis. Baku emas untuk
diagnostik adalah kultur. Namun, media kultur diamond tidak mudah didapat dan
penggunaannya terutama untuk penelitian.(2)

d. Vaginosis Bakterial
Vaginosis bakterial adalah sindrom klinis akibat pergantian Lactobacillus Spp penghasil
H2O2 yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi
(sepertl bacteroides Spp, Mobiluncus Spp, Gardnerella vaginalis, dan Mycoplasma
hominis).(2)
Vaginosis bakterial telah diasosiasikan dengan gangguan kehamilan termasuk abortus
spontan pada kehamilan trimester pertama dan kedua, kelahiran premarur, ruptur membran
yang prematur, persalinan prematur, bayi lahir dengan berat badan rendah, korioamnionitis,
endometritis pascapersalinan, dan infeksi luka pascaoperasi sesar. Bukti yang ada saat ini
tidak mendukung perlunya skrining rutin untuk vaginosis bakterial pada perempuan hamil di
populasi umum. Namun, skrining pada kunjungan pertama pranatal direkomendasikan untuk
pasien yang berisiko tinggi untuk kelahiran prematur (misalnya pasien dengan riwayat
kelahiran prematur atau ruptur membran yang prematur).(2)
Sebagian besar kasus (50-75 %) vaginosis bakterial bersifat asimptomatik atau dengan gejala
ringan. Gejala klinis termasuk bau amis seperi ikan atau bau seperti amonia yang berasal dari
sekret vagina, dan sekret vagina yang homogen, tidak menggumpal, abu-abu keputihan, tipis.
Disuria dan dispareunia jarang ditemukan sedangkan pruritus dan inflamasi tidak ada. Sekret
vagina yang diasosiasikan dengan vaginosis bakterial berasal dari vagina dan bukan dari
serviks.(2)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria Amsel yaitu adanya tiga dari empat tanda-tanda
berikut: (2)
• Cairan vagina homogen, putih keabu-abuan, dan melekat pada dinding
vagina.
• PH vagina > 4,5.
• Sekret vagina berbau amis sebelum atau setelah penambahan KOH 10
% (Whiff test).
• Clue cells pada pemeriksaan mikroskopis.

e. Sifilis
Sifilis merupakan penyakit infeksi sistemik disebabkan oleh Treponema pallidum yang dapat
mengenai seluruh organ tubuh, mulai dari kulit, mukosa, jantung hingga susunan saraf pusat,
dan juga dapat tanpa manifestasi lesi di tubuh. Infeksi terbagi atas beberapa fase, yaitu sifilis
primer, sifilis sekunder, sifilis laten dini dan lanjut, serta neurosifilis (sifilis tersier). Sifilis
umumnya ditularkan lewat kontak seksual, namun juga dapat secara vertikal pada masa
kehamilan.(2)
Lesi primer sifilis berupa tukak yang biasanya timbul di daerah genital eksterna dalam waktu
3 minggu setelah kontak. Pada perempuan kelainan sering ditemukan di labia mayor, labia
minor, fourchette, atau serviks. Gambaran klinis dapat khas, akan tetapi dapat juga tidak
khas. Lesi awal berupa papul berindurasi yang tidak nyeri, kemudian permukaannya
mengalami nekrosis dan ulserasi dengan tepi yang meninggi, teraba keras, dan berbatas tegas.
Jumlah ulserasi biasanya hanya satu, namun dapat juga multipel. Lesi sekunder ditandai
dengan malese, demam, nyeri kepala, limfadenopati generalisata, ruam generalisata dengan
lesi di palmar, plantar, mukosa oral atau genital, kondiloma lata di daerah intertrigenosa dan
alopesia. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papula, papuloskuamosa, dan
pustul yang jarang disertai keluhan gatal.(2)
Sifilis laten merupakan fase sifilis tanpa gejala klinis dan hanya pemeriksaan serologis yang
reaktif. Hal ini mengindikasikan organisme ini masih tetap ada di dalam tubuh, dan dalam
perjalanannya fase ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan seumur hidup.
Sifilis tersier terjadi pada 1/3 pasien yang tidak diobati. Fase ini dapat terjadi sejak beberapa
bulan hingga beberapa tahun setelah fase laten dimulai. T. pallidum menginvasi dan
menimbulkan kerusakan pada sistem saraf pusat, sistem kardiovaskular, mata, kulit, serta
organ lain. Gumma timbul akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen
T.pallidum, lesi tersebut bersifat destruktif dan biasanya muncul di kulit, tulang, atau organ
dalam.(2)
Pada kehamilan gejala klinis tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak hamil, hanya
perlu diwaspadai hasil tes serologi sifilis pada kehamilan normal bisa memberikan hasil
positif palsu. Transmisi treponema dari ibu ke janin umumnya terjadi setelah plasenta
terbentuk utuh, kira-kira sekitar umur kehamilan 16 minggu. Oleh karena itu bila sifilis
primer atau sekunder ditemukan pada kehamilan setelah 15 minggu, kemungkinan untuk
timbulnya sifilis kongenital lebih memungkinkan.(2)
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menemukan T. pallidum dalam spesimen dengan
menggunakan mikroskop lapang pandang gelap, pewarnaan Burry, atau mikroskop
imunofluoresensi. Pemeriksaan bantu lain adalah tes non treponemal (tes reagen) untuk
melacak antibodi IgG dan IgM terhadap lipid yang terdapat pada permukaan sel treponema
misalnya Venereal Disease Research Laboratory (VDRL). Tes treponemal menggunakan T.
pallidum subspecies pallidum sebagai antigen, sehingga tes ini merupakan jenis tes
konfirmatif, misalnya Treponema pallidum haemaglutination Assay (TPHA).(2)
f. Kandidiasis Vulvovagina
Diagnosis klinis penting untuk mendiagnosis kandidiasis vulvovagina. Gejala klinis berupa
keputihan, pruritus, rasa terbakar, disuria, nyeri atau kemerahan. Tanda-tanda klinis meliputi
fisura, ekskoriasi, edema vulva atau keputihan putih tebal. Pasien yang memiliki sebagian
gejala dan tanda di atas dapat memiliki tes berikut untuk mendiagnosis kandidiasis vulvo-
vagina: (3)
• Pewarnaan Gram atau sediaan basah (salin, 10% KOH) dari keputihan
akan menunjukkan hifa atau pseudohifa. 10% KOH akan meningkatkan visualisasi
dan sensitivitas pemeriksaan.
• Kultur dari keputihan akan menunjukkan hasil positif untuk salah satu
spesies jamur. Kultur diindikasikan jika hasilnya kembali negatif untuk Gram atau
sediaan basah dengan gejala yang persisten.

f) Tatalaksana
a. Gonore
Secara epidemiologis pengobatan yang dianjurkan untuk infeksi gonore tanpa komplikasi
adalah pengobatan dosis tunggal. Pilihan terapi yang direkomendasi oleh CDC adalah
sefiksim 400 mg per oral, seftriakson 250 mg intramuskular, siprofloksasin 500 mg per oral,
ofloksasin 400 mg per oral, levofloksasin 250 mg per oral, atau spektinomisin 2 g dosis
tunggal intramuskular.(2)
Dosis dan obat-obat yang diberikan tidak berbeda dengan keadaan tidak hamil. Akan tetapi,
pemberian golongan kuinolon pada perempuan hamil tidak dianjurkan. Bila terjadi
konjungtivitis gonore pada neonatus, pengobatan yang dianjurkan adalah pemberian
seftriakson 50-100 mg/kgBB, intramuskular, dosis tunggal dengan dosis maksimun 125
mg.(2)

b. Klamidiasis
Untuk pengobatan, obat yang diberikan terutama dapat mempengaruhi sintesis protein CT,
misalnya golongan tetrasiklin dan eritromisin. Obat yang dianjurkan adalah doksisiklin 100
mg per oral,2 kali sehari selama 7 hari atau azitromisin 1 g per oral, dosis tunggal, atau
tetrasiklin 500 mg, per oral, 4 kali per hari selama 7 hari, atau eritromisin 500 mg, per oral, 4
kali sehari selama 7 hari, atau ofloksasin 200 mg, 2 kali sehari selama 9 hari. Untuk
kehamilan obat golongan kuinolon dan tetrasiklin tidak dianjurkan pemakaiannya. Untuk
pengobatan konjungtivitis pada neonatus atau pneumonia infantil dianjurkan pemberian sirop
eritromisin, 50 mg per kgBB per oral, per hari dibagi dalam 4 dosis dan diberikan selama 14
hari.(2)

c. Trikomoniasis
Pengobatan hingga saat ini adalah dengan pemberian metronidazol yang mana merupakan
antimikroba yang efektif untuk mengobati trikomoniasis. Dosis metronidazol yang
dianjurkan adalah dosis tunggal 2 g secara oral atau dapat juga diberikan dalam dosis harian 2
x 500mg/hari selama 7 hari. Pemberian metronidazol telah direkomendasikan oleh FDA
selama masa kehamilan.(2)

d. Vaginosis Bakterial
Pengobatan yang dianjurkan adalah metronidazol 500 mg 2 x sehari selama 7 hari,
metronidazol 2 g per oral dosis tunggal atau klindamisin per oral 2 x 300 mg/hari selama 7
hari. Pada perempuan hamil jenis obat dan dosisnya sama seperti pada perempuan tidak
hamil.(2)

e. Sifilis
World Health Organization dan CDC telah merekomendasikan pemberian terapi injeksi
Penisilin Benzatin 2,4 juta MU untuk sifilis primer, sekunder, dan laten dini. Sedangkan
untuk sifilis laten lanjut atau tidak diketahui lamanya, mendapat 3 dosis injeksi tersebut.
Alternatif pengobatan bagi yang alergi terhadap penisilin dan dalam keadaan hamil,
sebaiknya tetap diberi penisilin dengan cara desensitisasi. Bila tidak memungkinkan,
pemberian eritromisin per oral 4 x 500 mg/hari selama 30 hari dapat dipertimbangkan. Untuk
semua bayi yang baru lahir dari ibu yang seropositif agar diberi pengobatan dengan benzatin
penisilin 50.000 IU per kgBB, dosis tunggal intra muskular. Untuk memonitor hasil
pengobatan dilakukan pemeriksaan serologi non treponemal 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1
tahun, dan 2 tahun setelah pengobaran selesai.(2)

f. Kandidiasis
Hanya terapi topikal golongan azol yang direkomendasikan untuk wanita hamil yang
simtomatik.(3)
• Krim intravaginal: (3)
1. Klotrimazol 1% 5 g setiap hari selama 7-14 hari
2. Klotrimazol 2% 5 g setiap hari selama 3 hari
3. Mikonazol 2% 5 g setiap hari selama 7 hari
4. Mikonazol 4% 5 g setiap hari selama 3 hari

• Supositoria vagina: (3)


1. Mikonazol 100 mg setiap hari selama 7 hari
2. Mikonazol 200 mg selama 3 hari
3. Mikonazole 1200 mg satu dosis tunggal

• Salep intravagina: (3)


1. Tiokonazol 6.5%, 5 g satu kali pemakaian

g) Komplikasi
Komplikasi keputihan pada kehamilan yang patologis bergantung pada organisme penyebab,
lamanya infeksi, dan usia kehamilan pada saat perempuan terinfeksi. Keputihan yang
patologis dapat berdampak serius dan membahayakan bagi wanita hamil dan anaknya dimana
menyebabkan prematuritas, berat badan lahir rendah, korioamnionitis, endometritis
postpartum, dan infeksi luka pasca-sesar. Hasil konsepsi yang tidak sehat seringkali terjadi
akibat IMS, misalnya kematian janin (abortus spontan atau lahir mati), bayi berat lahir rendah
(akibat prematuritas, atau retardasi pertumbuhan janin dalam rahim), dan infeksi kongenital
atau perinatal (kebutaan, pneumonia neonatus, dan retardasi mental).(1,2)

BAB III
KESIMPULAN

Keputihan adalah kondisi ginekologis umum pada wanita usia subur yang seringkali
membutuhkan pengobatan dan sepertiga dari seluruh wanita dan setengah dari wanita hamil
mengalami keputihan. Keputihan yang patologis dapat berdampak serius dan membahayakan
bagi wanita hamil dan anaknya dimana menyebabkan prematuritas, berat badan lahir rendah,
korioamnionitis, endometritis postpartum, dan infeksi luka pasca-sesar. Berbagai penelitian
yang dilakukan di negara berkembang menunjukkan bahwa keputihan disebabkan oleh
infeksi menular seksual (IMS) pada 90% kasus. Diagnosis dan manajemen IMS pada
kehamilan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal maupun janin. Sebagian
besar IMS bersifat asimptomatik atau muncul dengan gejala yang tidak spesifik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fonseca TM, Cesar JA, Mendoza-Sassi RA, Schmidt EB. Pathological


Vaginal Discharge among Pregnant Women: Pattern of Occurrence and Association
in a Population-Based Survey. Obstetrics and Gynecology International 2013:1-5.
2. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo. 4th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2010. p. 921-33.
3. Rice A, ElWerdany M, Hadoura E, Mahmood T. Vaginal discharge.
Obstetrics, Gynaecology and Reproductive Medicine 2016:1-7.
4. Ibrahim SM, Bukar M, Audu BM. Management of Abnormal Vaginal
Discharge in Pregnancy. Genital Infections and Fertility 2016:47-56.
5. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong
CY. Obstetri Williams. 23th ed. Volume 1. Jakarta: EGC. 2013. p.114.

Anda mungkin juga menyukai