Anda di halaman 1dari 31

KULIAH RIBA

LATAR BELAKANG

Perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan peradaban dalam kehidupan manusia terutama pada
saat berinteraksi satu sama lain dalam masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan hidup mengakibatkan
banyak kaidah-kaidah di dalam agama yang dikesampingkan atau diabaikan, dikarenakan
pemahaman yang diberikan pada bidang yang dilakukan sudah sengaja di kaburkan, atau ketidak
tahuan dari manusia yang melakukan perbuatan tersebut dikelompokkan sebagai haram, halal,
sunnah, makruh atau mubah.

Pemahaman pada suatu perbuatan dikelompokkan sebagai: halal, haram, sunnah, mubah dan makruh
semakin kabur, akibat munculnya berbagai definisi atau pemahaman yang diorientasikan kepada
“keharusan tercapainya maksud dari transaksi yang dilakukan sehingga mengabaikan kaidah-kaidah
agama yang melarang untuk dilakukannya,” timbul dari keinginan mencapai keuntungan dalam
waktu cepat, sedikit tenaga yang dicurahkan, dan mendapatkan hasil yang berlipat-lipat.

OBEJCTIVE

1. Pemahaman yang mendalam tentang berbagai transaksi yang diharamkan menurut ajaran Islam;
2. Ketrampilan dalam mendefinisikan suatu transaksi sehingga dapat mengetahui jenis transaksi
yang diharamkan atau dihalalkan;
3. Batasan pada setiap transaksi atau kegiatan usaha yang dapat dikelompokkan dalam perbuatan
haram atau halal;
4. Jenis dan barang yang dapat ditransaksikan sesuai dengan kaidah hukum Islam sehingga
terhindar dari riba.

RUANG LINGKUP

A. Pendahuluan
1. Pengantar
1.1. Riba dalam berbagai pandangan agama
1.2. Riba dalam pandangan Islam
1.3. Jenis-jenis riba
2. Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang
3. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
4. Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang
B. Riba dalam kehidupan masyarakat
1. Pendahuluan
2. Praktik riba yang terjadi di masyarakat
C. Jual Beli Kredit (Cicilan) Dalam Islam
1. Hukum Jual Beli dengan system Kredit (Cicilan)
2. Rambu-rambu Kredit
D. Multi Level Marketing Dalam Islam
E. Bank Syari’ah Belum Syari’ah
F. Asuransi Dalam Islam
G. Transaksi Valuta Asing Dalam Islam

1
PEMBAHASAN

A. PENDAHULUAN

1. Pengantar

Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian
berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada
peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara
linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa
pendapat dalam menjelaskan riba, tetapi secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli
maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam
Islam.

1.1. Riba dalam pandangan berbagai agama

Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai kalangan di luar Islam
pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut
mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan
kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa
juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.

Agama Yahudi melarang praktik pengambilan bunga

Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian
Lama maupun undang-undang Talmud.

Kitab Keluaran 22:25 menyatakan:

“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di
antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia,
janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”

Kitab Ulangan 23:19 menyatakan:

“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan


makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”
Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:

“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah
engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam
segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya."

Kitab Imamat 35:7 menyatakan:

“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus
takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau
2
memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau
berikan dengan meminta riba.”

Konsep bunga di kalangan Kristen

Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun,
sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-
35 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga.

Ayat tersebut menyatakan Lukas 6:34-35:

“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan
menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun
meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.

Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan
tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-
anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu
berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”

Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan


tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen
mempraktikkan pengambilan bunga.

Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi


tiga periode utama yaitu:

a. Pandangan para klerus Kekristenan awal (abad I hingga XII) yang mengharamkan
bunga;
b. Pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga
diperbolehkan;
c. Pandangan para reformis Protestan (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan
agama Kristen menghalalkan bunga. Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:

“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah
engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam
segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.“

1.2. Riba dalam agama Islam


Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman
adalah haram. Ini dipertegas dalam Alquran;

Surah Al-Baqarah ayat 275:

“....padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba...”.

Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah yang konsep
keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti

3
pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama
Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba.

1.3. Jenis-Jenis Riba

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang dan riba
jual-beli. Riba utang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliah,
sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.

1.3.1. Riba Qardh – suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap kreditur (muqtaridh);
1.3.2. Riba Jahiliyyah – utang dibayar lebih dari pokoknya, karena kreditur tidak
mampu membayar utangnya pada waktu jatuh tempo;
1.3.3. Riba Fadhl - pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang
ribawi;
1.3.4. Riba Nasi’ah - penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi
yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya.
Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau
tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

2. Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang

Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan uang, dimana perbedaan
tersebut dapat ditelaah dari definisi masing-masing, sebagai berikutu:

2.1. Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan
unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti
dan tidak tetap.
2.2. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena
perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.

Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong seluruh
masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai dengan
definisi di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena
perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar
kecilnya perolehan kembali itu tergantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan
dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.

Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus
berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan
lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.

3. Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

3.1. Bunga:

3.1.1. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung;
3.1.2. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan;
4
3.1.3. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah
proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi;
3.1.4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan
berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
3.1.5. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan

3.2. Bagi Hasil:

3.2.1. Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan untung rugi
3.2.2. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
3.2.3. Tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi,
kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
3.2.4. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan
3.2.5. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

4. Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang

Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena
pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang.

4.1. Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali
dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi
kelayakan. Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi
dan deflasi, tidak diperbolehkan.
4.2. Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu
kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga
pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, maka
selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori riba fadl.
Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk
hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.

B. RIBA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

1. Pendahuluan

Kehidupan umat manusia terus berjalan dinamis sesuai dengan perjalanan waktu dan
kemajuan teknologi. Kondisi ini tentu mempengaruhi gaya hidup umat manusia dalam segala
aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam hal bermaksiat. Karena itu, sudah sepantasnya bila
anda mengenali kondisi dan fenomena yang terjadi disekitar anda. Dengan demikian, anda
dapat mengambil yang positif dan menghidari yang buruk serta tidak terperangkap oleh bujuk
rayu para penjajanya.

Di antara bentuk kemaksiatan yang mengalami modernisasi pola dan aplikasinya ialah
praktik riba. Biang kehancuran ekonomi umat ini telah dimodifikasi sedemikian rupa,
sampai-sampai diyakini sebagai “pilar utama” perekonomian umat manusia. System riba
yang bertumpu pada pertumbuhan mata uang tanpa dibarengi dengan perputaran barang dan
jasa, di zaman sekarang diimani dan ditetapkan di seluruh penjuru dunia.
5
Sebab itu, wajar bila ekonomi dunia saat ini rapuh namun kejam. Yang kuat memakan yang
lemah sehingga yang lemah semakin bertambah lemah.

Untuk menumbuhkan kewaspadaan terhadap ancaman riba, melalui tulisan ini kami berupaya
utuk mengupas beberapa praktik riba yang telah merajalela dan mengalami modernisasi.
Harapan kami, anda semakin waspada dan tidak terperdaya dengan sebutan dan berbagai
propaganda manisnya.

2. Praktek Riba yang merajalela di masyarakat dapat dibedakan menjadi, sebagai berikut:

2.1. Praktik Pertama – Kredit Segitiga

Praktik riba berupa piutang yang mendatangkan keuntungan sering kali dikemas dalam
bentuk jual beli walaupun sejatinya jual beli yang terjadi hanyalah kamuflase belaka.
Di antara bentuk kamuflase riba dalam bentuk jual beli ialah dalam bentuk perkreditan
yang melibatkan tiga pihak : pemilik barang, pembeli dan pihak pembiayaan.

Pihak pertama sebagai pemilik barang mengesankan bahwa ia telah menjual barang
kepada pihak kedua, sebagai pemilik uang dengan pembayaran tunai. Selanjutnya
pembeli menjualnya kepada pihak ketiga dengan pembayaran diangsur, dan tentunya
dengan harga jual lebih tinggi dari harga jual pertama.

Sekilas ini adalah jual beli biasa, namun sejatinya tidak demikian, sebagai buktinya:

2.1.1. Barang tidak berpindah kepemilikan dari penjual pertama;


2.1.2. Bahkan barang tidak berpindah tempat dari penjual pertama;
2.1.3. Segala tuntutan yang berkaitan dengan cacat barang, penjual kedua tidak
bertanggung jawab, namun penjual pertamalah yang bertanggung jawab;
2.1.4. Sering kali pembeli kedua telah membayarkan uang muka (DP) kepada penjual
pertama

Indikator-indikator tersebut membuktikan bahwa sejatinya pembeli pertama, yaitu


pemilik uang hanyalah memiutangkan sejumlah uang kepada pihak ketiga. Selanjutnya
dari piutangnya ini, ia mendapatkan keuntungan.

Jauh-jauh hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang praktik


semacam ini, sebagaimana disebutkan pada hadits berikut:
Artinya:

“Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menuturkan, “Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa membeli bahan makanan, maka janganlah ia
menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya’. “Ibnu Abbas Radhiyallahu
anhuma berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan
makanan”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim no. 3913]

Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma menjelaskan:

6
“Alasan dari larangan ini kepada muridnya, yaitu Thawus. Beliau menjelaskan bahwa
menjual barang yang belum diserahkan secara penuh adalah celah terjadinya praktik
riba”.

“Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, “Mengapa demikian?”


Beliau (Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma) menjawab. “Itu karena sebenarnya yang
terjadi adalah mejual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda
(hanya kedok belaka)”. [Riwayat Bukhari hadits no. 2025 dan Muslim hadits no. 3913]

2.2. Praktik Kedua – Pergadaian

Di antara bentuk riba yang merajalela di masyarakat ialah riba pegadaian. Telah
menjadi budaya di berbagai daerah, pihak kreditur memanfaatkan barang gadai yang
diserahkan kepadanya. Bila gadai berupa ladang, maka kreditur mengelola ladang
tersebut dan mengambil hasilnya. Dan bila gadai berupa kendaraan, maka kreditur
sepenuhnya memanfaatkan kendaraan tersebut. Praktik semacam ini tidak diragukan
sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan ini sebagai bentuk riba karena dengan
pemanfaatan ini kreditur mendapatkan keuntungan dari piutangnya.

Artinya:

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba”

Ketentuan hukum gadai ini selaras dengan penegasan Sa’id bin Musayyib rahimahullah
bahwa :

Artinya:

“Barang gadai tidak dapat hangus. Gadai adalah milik debitur (yang berhutang),
miliknyalah keuntungan dan tanggug jawabnya pula kerugiannya” [Riwayat Imam
Syafi’i dalam kitab al-Umm: 3/170]

2.3. Praktik Ketiga – Mengaitkan Nilai Piutang Dengan Harga Barang

Di antara bentuk riba yang kini telah merajalela di masyarakat ialah mengaitkan nilai
piutang dengan nilai emas atau barang lainnya. Bila anda berhutang uang sebesar Rp.
1.000.000 (satu juta rupiah) lima tahun silam, dan kala itu dengan satu juta anda dapat
membeli 5 gram emas, maka ketika melunasi anda diminta membayar sejumlah uang
yang dapat digunakan membeli emas seberat 5gram pula.

Akibatnya, ketika pelunasan anda harus mengembalikan piutang anda dalam nominal
yang lebih besar. Misalnya bila nilai emas saat pembayaran adalah Rp. 300.000/gram
maka anda harus membayar piutang anda sebesar Rp. 1.500.000.

Praktik semacam ini tidak diragukan keharamannya, karena ini nyata-nyata riba,
berhutang satu juta kembali satu juta lima ratus ribu rupiah. Hutang piutang adalah
salah satu bentuk akad tolong menolong sehingga tidak boleh ada pemikiran untung
atau rugi. Yang ada hanyalah itikad baik menolong saudara yang kesusahan atau
membutuhkan kepada uluran tangan.
7
Hadits Nabi, yang artinya:

“Barangsiapa melapangkan suatu kesusahan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah


melonggarkan satu kesusahannya di akhirat. Barangsiapa memudahkan urusan orang
yang ditimpa kesulitan, niscaya Allah memudahkan urusannya di dunia dan akhirat.
Baragsiapa menutupi kekurangan (aib) seorang muslim di dunia, niscaya Allah
menutupi kekurangannya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong seorang
hamba selama ia juga menolong sudaranya” [Hadits Riwayat Muslim No. 7028]

Praktik semacam ini muncul karena doktrin riba telah merasuki jiwa masyarakat.
Praktik riba senantiasa memandang suram masa depan, sehinga doktrin inflasi dianggap
sebagai suatu kepastian yang tidak mungkin berubah. Padahal faktanya tidak selalu
demikian, karena anda pasti mengetahui bahwa betapa banyak barang yang dahulu
memiliki nilai jual dan kini tidak lagi laku dijual.

2.4. Praktik Keempat – Tukar Tambah Emas

Di antara bentuk riba yang banyak ditemukan di masyarakat ialah tukar tambah emas.
Emas lama ditukar dengan emas baru, tanpa ada eksekusi fisik terhadap uang hasil
penjualan emas lama. Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini terlarang karena ini
termasuk riba fadhal yang diharamkan.

Hadits yang artinya:

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum,
sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan
garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan.
Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, penerima
dan pemberi dosanya sama” [Hadits Riwayat Muslim No. 1584]

Bila anda tidak rela emas baru anda ditukar sama dengan emas lama, maka solusinya
ialah belilah dahulu emas lama dengan uang tunai. Dan setelah pembayaran dilakukan
dan banar-benar terjadi eksekusi pembayaran, maka dengan uang hasil penjualan itu,
penjual bisa membeli emas baru anda.

Demikianlah solusi yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk


menghindari riba pada praktik barter barang sejenis.

Riwayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “pernah menunjuk seseorang


menjadi pegawai/perwakilan beliau di daerah Khaibar. Pada suatu saat pegawai
tersebut datang menemui beliau dengan membawa kurma dengan mutu terbaik.

Spontan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah seluruh


kurma daerah Khaibar demikian ini?” Ia menjawab, “Tidak, Ya Rasulullah, sungguh
demi Allah, kami membeli satu takar dari kurma ini dengan dua takar (kurma lainnya),
dan dua takar dengan tiga takar”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah engkau lakukan, juallah kurma yang biasa dengan uang dirham, kemudian
dengan uang dirham tersebut belilah kurma dengan mutu terbaik tersebut”

8
“Dan pada riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aduh
(itulah) riba yang sebenarnya, janganlah engkau lakukan. Akan tetapi, bila engkau
hendak membeli kurma (dengan mutu baik) maka juallah kurma milikmu (yang
mutunya rendah) dengan penjualan tersendiri, kemudian dengan (uang) hasil
penjualannya belilah kurma yang bagus” [Hadits Riwayat Bukhari No. 2089 dan Hadits
Riwayat Muslim No. 1593]

2.5. Praktik Kelima – Jual Beli Emas Online

Kemajuan dunia informatika telah merambah ke segala lini kehidupan manusia, tanpa
terkecuali sektor perniagaan. Dengan bantuan teknologi informasi yang begitu canggih,
perniagaan semakin mudah dan berkembang pesat. Akibatnya, anda sebagai pengusaha
tidak lagi perlu bepergian jauh untuk menemui kolega anda atau lainnya. Semuanya
bisa anda lakukan melalui jaringan internet, baik berjumpa dengan kolega, atau
meninjau barang atau kegiatan lainnya. Kemajuan ini tentu merupakan kenikmatan
yang sepantasnya anda syukuri dan manfaatkan sebaik mungkin, demi terwujudnya
kemaslahatan sebesar mungkin untuk anda.

Walau demikian halnya, anda tetap saja harus mengindahkan batas-batas syari’at
sehingga tidak terjerumus kedalam perbuatan haram. Diantara batasan syari’at yang
harus anda indahkan dalam perniagaan ialah ketentuan tunai dalam jual beli emas dan
perak. Bila anda membeli atau menjual emas, maka harus terjadi serah terima barang
dan uang langsung. Eksekusi serah terima barang dan uang ini benar-benar harus
dilakukan pada fisik barang, dan bukan hanya surat-menyuratnya. Penjual
menyerahkan fisik emas yang ia jual, dan pembeli menyerahkan uang tunai, tanpa ada
yang tertunda atau terhutang sedikitpun dari keduanya.

Dengan demikian, jual beli emas online yang banyak dilakukan oleh pedagang saat ini
nyata-nyata bertentangan dengan hadits berikut, yang artinya:

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum,
sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan
garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan.
Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, penerima
dan pemberi dosanya sama” [Hadits Riwayat Muslim No. 1584]

2.6. Praktik Keenam – Kartu Kredit

Kartu Kredit adalah suatu kartu yang dapat digunakan untuk penyelesaian transaksi
ritel dengan system kredit. Dengan kartu ini pengguna mendapatkan pinjaman uang
yang dibayarkan kepada penjual barang atau jasa dari pihak penerbit kartu kredit.
Sebagai konsekwensinya, pengguna kartu kredit harus membayar tagihan dalam tempo
waktu yang ditentukan, dan bila telat maka ia dikenai penalty atau denda.

Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini adalah riba karena penggunaan kartu
kredit berarti berhutang, sehingga penalty yang dibebankan atas setiap keterlambatan
adalah riba.

Mungkin anda berkata, “Bukankah denda hanya dikenakan bila terjadi keterlambatan?
9
Dengan demikian, bila saya tidak telat maka saya tidak berdosa karena tidak membayar
riba atau bunga”.

Walaupun pada kenyataannya anda tidak pernah telat, sehingga tidak pernah tekena
penalty tapi anda telah menyetujui persyaratan haram ini.

Persetujuan atas persyaratan haram ini sudah termasuk perbuatan dosa yang tidak
sepantasnya anda meremehkan.

Sebagai solusinya, anda dapat menggunakan kartu debet, sehingga anda tidak behutang
kepada penyedia kartu. Yang terjadi pada penggunaan kartu debet sejatinya adalah
sewa menyewa jasa transfer atas setiap tagihan anda. Karena setiap anda menggunakan
kartu anda, pihak penerbit kartu langsung memotongkan jumlah tagihan dari tabungan
anda.

2.7. Praktik Ketujuh – SUKUK

Diantara praktik riba yang mengalami modernisasi, sehingga banyak umat Islam yang
terperdaya ialah jual beli ‘inah. Modernisasi jual beli ‘inah terwujud dalam bentuk jual
beli sukuk yang berbasis asset. Sukuk yang berarti surat berharga jangka panjang
berdasarkan prinsip syari’ah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi
syari’ah. Berdasarkan sukuk ini emiten wajib membayar pendapatan kepada pemegang
obligasi syari’ah berupa bagi hasil margin atau fee, serta membayar kembali dana
obligasi saat jatuh tempo.

Namanya keren, namun sejatinya adalah jual beli ‘inah. Untuk lebih jelasnya, berikut
alur penerbitan sukuk al-ijarah. Pemerintah atau perusahaan menjual suatu asset
(misalnya gedung atau tanah) kepada suatu perusahaan yang ditunjuk, misalnya PT B
yang berperan sebagai emiten.

Pada akad penjualan disepakati pula:

2.7.1. Pemerintah atau perusahaan penjual akan membeli kembali asset tersebut
setelah jangka waktu tertentu (misalnya 10 tahun);

2.7.2. Pemerintah atau perusahaan penjual menyewa kembali asset tersebut dalam
waktu 10 tahun, dengan harga jual sama dengan harga jual pertama. Tentunya
dalam menentukan besarnya sewa dan hasil investasi tersebut ada kandungan
bagi hasil yang harus dibayarkan kepada para pemegang sukuk.

Dari penjelasan sederhana ini tampak dengan jelas bahwa:

2.7.3. Kepemilikan atas asset tersebut sejatinya tetap berada di tangan pemerintah,
sepanjang pembayaran kembali investasi sukuk kepada investor tersebut
berjalan lancar.
2.7.4. Penerbitan sukuk al-ijarah tersebut juga tidak mengubah pemanfaatan asset
yang bersangkutan.

10
Anda bisa cermati bahwa sejatinya yang terjadi adalah hutang piutang dengan
mendatangkan keuntungan. Sementara itu, akad jual beli dan kemudian sewa-menyewa
yang ada hanyalah kamuflase belaka. Hal ini tampak dengan jelas karena penjualan
kembali asset yang menjadi underlying sukuk setelah jatuh tempo seharga waktu jual
pada awal penerbitan sukuk, tanpa peduli dengan nilai jual sebenarnya yang berlaku di
pasar.

Praktik semacam ini sejatinyalah ialah praktik jual beli ‘inah. Dahulu praktik ‘inah
sangat sederhana, yaitu anda menjual barang kepada pihak kedua dengan harga
terhutang. Dan kemudian anda membeli kembali barang tersebut darinya dengan
pembayaran tunai dan tentunya dengan harga yang lebih murah.

Jual beli ‘inah ini dicela pada hadits berikut.

Artinya:

“Bila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, sibuk mengurusi sapi (peternakan),
merasa puas dengan hasil pertanian, dan meninggalkan jihad, nisacaya Allah
menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak pernah Ia angkat hingga kalian
kembali kepada agama kalian”

Karena itu International Islamic Fiqh Academy dari Organisasi Konferensi Islam dalam
keputusannya yang bernomor 178 (4/19) tahun 1430H/2009M mensyaratkan agar
pembelian kembali sukuk mengikuti harga yang berlaku di pasar pada saat pembelian
dan bukan menggunakan harga jual pertama pad saat penerbitan

C. JUAL BELI KREDIT (CICILAN) DALAM ISLAM

Di zaman yang serba canggih ini perkembangan sistem ekonomi sudah sangat pesat. Beragam
sistem ditawarkan oleh para niagawan untuk bersaing menggaet hati para pelanggan. Seorang
niagawan muslim yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan dunia sudah semestinya cerdik
dan senantiasa menganalisa fenomena yang ada agar mengetahui bagaimana pandangan syariat
terhadap transaksi ini. Dengan demikian tidak mudah terjerumus ke dalam larangan-Nya.

Di antara sistem yang saat ini terus dikembangkan adalah sistem kredit, yaitu cara menjual
barang dengan pembayaran secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur).

Di dalam ilmu fikih, akad jual beli ini lebih familiar dengan istilah jual beli taqsith ( ).

Secara bahasa, taqsith itu sendiri berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian.

Meskipun sistem ini adalah sistem klasik, namun terbukti hingga kini masih menjadi trik yang
sangat jitu untuk menjaring pasar, bahkan sistem ini terus-menerus dikembangkan dengan
berbagai modifikasi.

1. Hukum Jual-Beli dengan Sistem Kredit

Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat, hal ini berdasarkan
pada beberapa dalil, di antaranya adalah:
11
1.1. Firman Allah Ta’ala, artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282)

Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan akad kredit
merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman ayat di atas bisa menjadi
dasar bolehnya akad kredit.

1.2. Hadis ‘Aisyah radhiyallahu‘anha, yang artinya:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan dari


seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai
kepadanya.” (Hadits Riwayat Bukhari No. 2096 dan Hadits Riwayat Muslim No.1603)

Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli bahan makanan dengan
sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit.

2. Rambu-Rambu Kredit.

Meskipun pada dasarnya jual-beli kredit adalah diperbolehkan, akan tetapi ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan bagi praktisi jual beli kredit, di antaranya adalah:

2.1. Obyek jual beli bukan komoditi ribawi yang sejenis dengan alat tukar

Sebagaimana sudah ma’ruf bahwa para ulama membagi komoditi ribawi menjadi dua
kelompok, sebagai berikut:

2.1.1. Kelompok pertama adalah kategori barang yang menjadi alat tukar atau standar
harga, seperti; emas, perak, uang, dll.
2.1.2. Kelompok yang kedua adalah kategori bahan makanan pokok yang tahan lama,
seperti; gandum, kurma, beras, dll.

Hal yang perlu diketahui bahwa akad barter atau jual beli antara dua komoditi ribawi
yang masih dalam satu kelompok (misalkan emas dengan uang, atau gandum dengan
kurma) harus dilakukan secara tunai.

Artinya tidak boleh ada kredit di dalamnya (harus kontan) agar tidak terjadi praktik riba
nasi’ah.

Dasarnya adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Menukarkan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum burr dengan gandum
burr, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan
garam adalah termasuk akad riba, kecuali dengan dua syarat:

2.1.3. Sama ukurannya;


2.1.4. Dan dilakukan secara tunai (cash)
12
Namun, Jika jenisnya berbeda (dan masih dalam satu kelompok) maka tukarlah
sekehendakmu dengan satu syarat, yaitu harus diserahkan secara tunai” (HR Muslim).

Konsekuensi dari penjelasan di atas, maka tidak diperbolehkan jual beli uang, valas,
emas atau alat tukar sejenisnya dengan cara kredit.

2.2. Hindari penundaan serah terima barang

Di dalam akad kredit tidak boleh ada penundaan serah terima barang. Sebab hal itu
merupakan praktik jual beli hutang dengan hutang. Artinya, barang masih berada dalam
tanggungan penjual dan uang pun juga masih berada dalam tanggungan pembeli.

Inilah praktik jual beli dain bid dain yang disepakati keharamannya oleh para ulama.

Sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab beliau, Al-Mughni2,


diriwayatkan di dalam sebuah hadis dari Ibnu ‘Umar mengatakan, “Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam melarang jual beli hutang dengan hutang.” (HR. Hakim: 2343)

Imam Al Hakim menilai hadis ini sebagai hadis yang shohih sesuai syarat Muslim,
akan tetapi kebanyakan ulama menilai hadis ini sebagai hadis yang lemah, tidak bisa
dijadikan dalil (Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Para pakar hadis melemahkan
hadis ini.” (Nailul Authar: 5/164-165). Syaikh Albani juga menilai hadis ini sebagai
hadis dho’if (lihat Dha’if Al Jami’ : 6061)

Meskipun demikian mereka bersepakat untuk menerima maknanya.

Sebagaimana perkataan Ibnul Mundzir yang dinukilkan oleh Ibnu Qudamah, beliau
mengatakan, “Para ahli ilmu telah bersepakat bahwa jual beli hutang dengan hutang
tidak diperbolehkan. Imam Ahmad mengatakan, “Ini adalah ijma’.” Imam Syafi’i
rahimahullah mengatakan, “Para pakar hadis melemahkan hadis ini.” (Nailul Authar:
5/164-165).

Syaikh Albani juga menilai hadis ini sebagai hadis dho’if (lihat Dha’if Al Jami’ : 6061)
2.3. Harga Ganda dalam Jual Beli Kredit

Di antara hal penting yang perlu kita ketahui juga adalah akad jual beli kredit dengan
harga ganda. Ilustrasinya adalah sebagai berikut: Seorang penjual menawarkan barang
dagangan kepada para pembeli dengan beberapa penawaran harga. Jika dibayar secara
kontan maka harganya sekian rupiah (satu juta misalnya), akan tetapi jika dibayar
secara kredit maka harganya sekian (dua juta misalnya), dst.

Kenyataannya praktik semacam inilah yang banyak berkembang di dalam jual beli
kredit. Oleh karena itu penting kiranya kita mengetahui tinjauan syariat terhadap sistem
perniagaan seperti ini.

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi transaksi seperti ini. Mayoritas para
ulama membolehkan praktik jual beli kredit semacam ini, dengan catatan sudah terjadi
kesepakatan harga antara penjual dan pembeli sebelum mereka berpisah.

13
Artinya pembeli sudah menentukan pilihan harga dan pihak penjual juga sudah
menyepakati hal itu.

Pendapat ini berdasarkan kaidah dalam muamalah bahwa hukum asal setiap perniagaan
adalah halal.

Sebagaimana ditegaskan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya yang artinya:

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)

Oleh karena itu selama tidak ada dalil yang valid nan tegas yang mengharamkan
praktik semacam ini, maka perniagaan tersebut halal atau boleh dilakukan.

Dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa akad jual beli seperti ini tidak boleh
di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al Auza’I (lihat: Nailul
Authar).

Pendapat ini didukung oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, yang artinya:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dual transaksi dalam satu jual beli.” (HR.
Tirmidzi: 3/1290 dan Nasai: 7/296).

Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam An Nasa’I, beliau membuat sebuah judul bab
“Transaksi Ganda dalam jual beli” kemudian beliau mengatakan:
“Yaitu perkataan seseorang, ‘saya jual dagangan ini seharga seratus dirham cash/tunai,
dan dua ratus dirham secara kredit.”

Pendapat yang Lebih Kuat

Perbedaan pendapat ini didasari atas perbedaan mereka dalam memahami konteks hadits ini,
ulama yang memperbolehkan transaksi ini, mereka berpendapat bahwa transaksi tersebut
(kredit dengan harga ganda) bukanlah transaksi yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah di
atas.

Sedangkan pendapat ke dua yang mengharamkan transaksi ini, mereka berpendapat bahwa
transaksi kredit adalah contoh riil dari hadis di atas.

Pendapat yang lebih kuat:

Wallahu a’lam adalah pendapat yang pertama yang mengatakan bolehnya transaksi seperti
ini.

Sebab penafsiran yang lebih tepat sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim dan yang
lainnya (Tahzibus Sunan), bahwa makna hadits ini ialah larangan dari jual beli sistem ‘inah,
yaitu seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang dengan
syarat sang penjual membelinya kembali dengan harga yang lebih mahal secara kredit.

14
Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa alasan

1. Pada hakikatnya di dalam kasus jual beli di atas tidak terjadi dua transaksi, sebab
meskipun ada variasi harga akan tetapi sang pembeli hanya memilih salah satu harga saja.
Itu artinya harga yang disepakati oleh penjual dan pembeli hanya satu saja, bukan ganda.
Sedangkan yang dilarang di dalam hadis di atas adalah jual beli dengan akad ganda.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:

“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan
dengan takaran serta timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (HR.
Bukhari: 2240 dan Muslim: 1604)

Hadis di atas menunjukan bolehnya akad salam (akad pemesanan).

Sebagaimana dalam akad salam diperbolehkan mengakhirkan penyerahan barang dengan


syarat pembayaran kontan serta ukuran dan waktu penyerahannya jelas, maka boleh juga
dalam akad kredit mengakhirkan penyerahan uang dengan syarat peyerahan barang
secara kontan serta nominal pembayaran dan waktu pembayarannya jelas.

Catatan

1. Jika pembeli sudah menentukan pilihan harga, maka maka sebesar itulah jumlah uang
yang berhak di ambil oleh penjual. Pihak penjual tidak berhak untuk mengambil
lebih, sekalipun pembeli terlambat melunasi pembayaran, misalnya, “A” membeli
barang kepada pihak “B” dengan harga 10 juta dibayar kredit selama satu tahun. Jika
ternyata pihak “A”tidak mampu melunasi dalam tempo satu tahun, maka pihak “B”
tidak berhak menaikkan harga yang telah disepakati.

2. Jika barang sudah berada di tangan pembeli dan kesepakatan harga juga sudah
disetujui, maka barang dagangan resmi menjadi milik pembeli. Dengan demikian,
penjual tidak berhak menyita atau menarik kembali barang dagangannya meskipun
uang cicilan kredit belum selesai.

D. MULTI LEVEL MARKETING DALAM ISLAM

Banyak pertanyaan seputar bisnis yang banyak diminati oleh khalayak ramai. Yang secara umum
gambarannya adalah mengikuti program piramida dalam system pemasaran, dengan setiap
anggota harus mencari anggota-anggota baru dan demikian terus selanjutnya. Setiap anggota
membayar uang pada perusahaan dengan jumlah tertentu dengan iming-iming dapat bonus,
semakin banyak anggota dan semakin banyak memasarkan produknya maka akan semakin
banyak bonus yang dijanjikan.

Sebenarnya kebanyakan anggota Multi Level Marketing (MLM) ikut bergabung dengan
perusahaan tersebut adalah karena adanya iming-iming bonus tersebut dengan harapan agar cepat
kaya dengan waktu yang sesingkat mungkin dan bukan karena dia membutuhkan produknya.

Bisnis model ini adalah perjudian murni, karena beberapa sebab berikut ini, yaitu:

15
1. Sebenarnya anggota Multi Level Marketing (MLM) ini tidak menginginkan produknya, akan
tetapi tujuan utama mereka adalah penghasilan dan kekayaan yang banyak lagi cepat yang
akan diperoleh setiap anggota hanya dengan membayar sedikit uang.
2. Harga produk yang dibeli sebenarnya tidak sampai 30% dari uang yang dibayarkan pada
perusahaan Multi Level Marketing (MLM).
3. Bahwa produk ini biasa dipindahkan oleh semua orang dengan biaya yang sangat ringan,
dengan cara mengakses dari situs perusahaan Multi Level Marketing (MLM) ini di jaringan
internet.
4. Bahwa perusahaan meminta para anggotanya untuk memperbaharui keanggotaannya setiap
tahun dengan diiming-imingi berbagai program baru yang akan diberikan kepada mereka.
5. Tujuan perusahaan adalah membangun jaringan personil secara estafet dan
berkesinambungan. Yang mana ini akan menguntungkan anggota yang berada pada level atas
(Up Line) sedangkan level bawah (Down Line) selalu memberikan nilai point pada yang
berada di level atas mereka.

Berdasarkan ini semua, maka system bisnis semacam ini tidak diragukan lagi keharamannya,
karena beberapa sebab yaitu :

1. Ini adalah penipuan dan manipulasi terhadap anggota


2. Produk Multi Level Marketing (MLM) ini bukanlah tujuan yang sebenarnya. Produk itu
hanya bertujuan untuk mendapatkan izin dalam undang-undang dan hukum syar’i.
3. Banyak dari kalangan pakar ekonomi dunia sampai pun orang-orang non muslim meyakini
bahwa jaringan piramida ini adalah sebuah permainan dan penipuan, oleh karena itu mereka
melarangnya karena bisa membahayakan perekonomian nasional baik bagi kalangan individu
maupun bagi masyarakat umum

Berdasarkan ini semua, tatkala kita mengetahui bahwa hukum syar’i didasarkan pada maksud dan
hakekatnya serta bukan sekedar polesan lainnya.

Maka perubahan nama sesuatu yang haram akan semakin menambah bahayanya karena hal ini
berarti terjadi penipuan pada Allah dan RasulNya, oleh karena itu system bisnis semacam ini
adalah haram dalam pandangan syar’i.

Kalau ada yang bertanya: Bahwasanya bisnis ini bermanfaat bagi sebagian orang.
Jawabnya: Adanya •manfaat pada sebagian orang tidak bisa menghilangkan keharamannya,
sebagaimana di firmankan oleh Allah Ta’ala.

Artinya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah : Pada hakekatnya itu terdapat
dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya” [Al-Baqarah/2 : 219]

Tatkala bahaya dari khamr dan perjudian itu lebih banyak daripada menfaatnya, maka keduanya
dengan sangat tegas diharamkan.

Kesimpulannya : Bisnis Multi Level Marketing (MLM) ini adalah alat untuk memancing orang-
orang yang sedang mimpi di siang bolong menjadi jutawan. Bisnis ini adalah memakan harta

16
manusia dengan cara yang bathil, juga merupakan bentuk spekulasi. Dan spekulasi adalah bentuk
perjudian.

Fatwa Markaz Imam Al-Albani tentang Multi Level Marketing (MLM)

Berikut ini adalah teks fatwa Markaz Imam Al-Albani, yang ditanda tangani oleh para
masyayaikh murid-murid Imam Al-Albani :

Pertanyaan:

“Banyak yang datang kepada kami dari berbagai penjuru tentang hukum bergabung dengan PT
perusahaan bisnis dan perusahaan modern semisalnya yang menggunakan system piramida. Yang
mana bisnis ini secara umum dijalankan dengan cara menjual produk tertentu serta membayar
uang dalam jumlah tertentu tiap tahun untuk bisa tetap menjadi anggotanya. Yang mana karena
dia telah mempromosikan system bisnis ini maka kemudian pihak perusahaan akan memberikan
uang dalam jumlah tertentu yang terus bertambah sesuai dengan hasil penjualan produk dan
perekrutan anggota baru”.

Jawaban

“Bergabung menjadi anggota PT semacam ini untuk mempromosikannya yang selalu terkait
dengan pembayaran uang dengan menunggu bisa merekrut anggota baru serta masuk dalam
system bisnis piramida ini hukumnya haram, karena seorang anggota jelas-jelas telah membayar
uang tertentu demi memperoleh uang yang masih belum jelas dalam jumlah yang lebih besar”.

Dan ini tidak bisa diperoleh melainkan secara kebetulan ia sedang bernasib baik, yang mana
sebenarnya tidak mampu diusahakan oleh si anggota tersebut. Ini adalah murni sebuah bentuk
perjudian berdasarkan beberapa kaedah para ulama.

Hukum Multi Level Marketing dalam Islam

Secara umum Multi Level Marketing (MLM) yang diatur dalam hukum dagang dalam islam
adalah suatu cara bisnis alternatif yang berhubungan dengan pemasaran dan distribusi yang
dilakukan melalui banyak level (tingkatan), yang biasa dikenal dengan istilah Upline (tingkat
atas) dan Downline (tingakt bawah), orang akan disebut Upline jika mempunyai Downline.
Inti dari bisnis MLM ini digerakkan dengan jaringan ini, baik yang bersifat vertikal atas bawah
maupun horizontal kiri kanan ataupun gabungan antara keduanya. (Lihat All About MLM oleh
Benny Santoso hal: 28, Hukum Syara MLM oleh hafidl Abdur Rohman, MA)

Sistem Kerja MLM

Secara global sistem bisnis MLM bukan termasuk tipe organisasi bisnis dalam islam dan
dilakukan dengan cara menjaring calon nasabah yang sekaligus berfungsi sebagai konsumen dan
anggota (anggota) dari perusahaan yang melakukan praktek MLM. Adapun secara terperinci
bisnis MLM dilakukan dengan cara sebagai berikut:

17
1. Mula mula pihak perusahaan berusaha menjaring konsumen untuk menjadi anggota, dengan
cara mengharuskan calon konsumen membeli paket produk perusahaan dengan harga
tertentu.
2. Dengan membeli paket produk perusahaan tersebut, pihak pembeli diberi satu formulir
keanggotaan (anggota) dari perusahaan.
3. Sesudah menjadi anggota sebagai bagian dari keutamaan berbisnis dalam islam maka tugas
berikutnya adalah mencari anggota anggota baru dengan cara seperti diatas, yakni membeli
produk perusahaan dan mengisi folmulir keanggotaan. Para anggota baru juga bertugas
mencari calon anggota anggota baru lagi dengan cara seperti diatas yakni membeli produk
perusahaan dan mengisi folmulir keanggotaan.
4. Jika anggota mampu menjaring anggota-anggota yang banyak, maka ia akan mendapat bonus
dari perusahaan. Semakin banyak anggota yang dapat dijaring, maka semakin banyak pula
bonus yang didapatkan karena perusahaan merasa diuntungkan oleh banyaknya anggota yang
sekaligus mennjadi konsumen paket produk perusahaan.

Dengan adanya para anggota baru yang sekaligus menjadi konsumen paker produk perusahaan
walaupun belum tentu dilakukan dengan cara menjaga amanah dalam bisnis islam, maka anggota
yang berada pada level pertama, kedua dan seterusnya akan selalu mendapatkan bonus secara
estafet dari perusahaan, karena perusahaan merasa diuntungkan dengan adanya anggota anggota
baru tersebut.

Diantara perusahaan MLM, ada yang melakukan kegiatan menjaring dana masyarakat untuk
menanamkan modal diperusahaan tersebut, dengan janji akan memberikan keuntungan sebesar
hampir 100% dalam setiap bulannya. (Lihat Fiqh Indonesia Himpunan Fatwa MUI DKI Jakarta
hal: 285 287)

Ada beberapa perusahaan MLM lainnya yang mana seseorang bisa menjadi anggotanya tidak
harus dengan menjual produk perusahaan yang bisa dilakukan dengan hukum jual beli online
dalam islam, namun cukup dengan mendaftarkan diri dengan membayar uang pendaftaran,
selanjutnya dia bertugas mencari anggota lainnya dengan cara yang sama, semakin banyak
anggota maka akan semakin banyak bonus yang diperoleh dari perusahaan tersebut.

Kesimpulannya,

Memang ada sedikit perbedaan pada sistem setiap perusahaan MLM, namun semuanya berinti
pada mencari anggota lainnya, semakin banyak anggotanya semakin banyak bonus yang
diperolehnya.
Hukum Multi Level Marketing dalam Islam

Beragamnya bentuk bisnis MLM membuat sulit untuk menghukumi secara umum, namun ada
beberapa sistem MLM yang jelas keharamannya, yaitu menggunakan sistem sebagai berikut:

1. Haram karena barang dijual dengan harga jauh lebh tinggi

Menjual barang barang yang diperjualbelikan dalam sistem MLM dengan harga yang jauh
lebih tinggi dari harga wajar, maka hukumnya haram karena secara tidak langsung pihak
perusahaan teah menambahkan harga yang dibebankan kepada pihak pembeli sebagai sharing
modal dalam akad syirkah mengingat pembeli sekaligus akan menjadi anggota perusahaan
yang apabila ia ikut memasarkan akan mendapat keuntungan estafet.
18
Dengan demikian praktek perdagangan MLM mengandung unsur kesamaran atau penipuan
karena terjadi kekaburan antara akad jual beli, syirkah dan mudlarabah, karena pihak pembeli
sesudah menjadi anggota juga berfungsi sebagai pekerja yang akan memasarkan produk
perusahaan kepada calon pembeli atau anggota baru. (Lihat Fiqh Indonesia hal: 288)

2. Haram Karena Terdapat Unsur Zalim

Calon anggota mendaftar keperusahaan MLM dengan membayar uang tertentu, dengan
ketentuan dia harus membeli produk perusahaan baik untuk dijual lagi atau tidak dengan
ketentuan yang telah ditetapkan untuk bisa mendapatkan point atau bonus. Dan apabila tidak
bisa mencapai target tersebut maka keanggotaannya akan dicabut dan uangnya pun hangus.
Ini diharamkan karena unsur ghoror (spekulasi) nya sangat jelas dan ada unsur kedhaliman
terhadap anggota.

Calon anggota mendaftar dengan membayar uang tertentu, tapi tidak ada keharusan untuk
membeli atau menjual produk perusahaan, dia hanya berkewajiban mencari anggota baru
dengan cara seperti diatas, yakni membayar uang pendaftaran.
Semakin banyak anggota maka akan semakin banyak bonusnya. Ini adalah bentuk riba
karena menaruh uang diperusahaan tersebut kemudian mendapatkan hasil yan lebih banyak.

3. Haram Karena Terdapat Unsur Riba

Mirip dengan yang sebelumnya yaitu perusahaan MLM yang melakukan kegiatan menjaring
dana dari masyarakat untuk menanamkan modal disitu dengan janji akan diberikan bunga dan
bonus dari modalnya. Ini adalah haram karena ada unsur riba.

4. Haram Karena Terdapat Manipulasi untuk Berdagang

Perusahaan MLM yang melakukan manipulasi dalam memperdagangkan produknya, atau


memaksa pembeli untuk mengkonsumsi produknya atau yang dijual adalah barang haram.
Maka MLM tersebut jelas keharamannya. Namun ini tidak cuma ada pada sebagian MLM
tapi bisa juga pada bisnis model lainnya.

Dalil Tentang Haramnya Multi Level Marketing

1. Syaikh Salim Al Hilali Hafidzahullah

Beliau berkata: “Banyak pertanyaan seputar bisnis yang banyak diminati oleh khalayak
ramai. Yang secara umum gambarannya adalah mengikuti pola piramida dalam sistem
pemasaran, dengan cara setiap anggota harus mencari anggota – anggota baru dan demikian
seterus selanjutnya. Setiap anggota membayar uang pada perusahaan dengan jumlah tertentu
dengan iming iming dapat bonus, semakin banyak anggota dan memasarkan produknya maka
akan semakin banyak bonus yang dijanjikan.
Sebenarnya kebanyakan anggota MLM ikut bergabung dalam perusahaan tersebut adalah
karena adanya iming iming bonus tersebut dengan harapan agar cepat kaya dalam waktu
yang sesingkat mungkin dan bukan karena dia membutuhkan produknya.

Bisnis model ini adalah perjudian murni, karena beberapa sebab berikut, yaitu:
19
1. Sebenarnya anggota MLM ini tidak menginginkan produknya, akan tetapi tujuan utama
mereka adalah penghasilan dan kekayaan yang banyak lagi cepat yang akan diperoleh
setiap anggota hanya dengan membayar sedikit uang. Harga produk yang dibeli
sebenarnya tidak sampai 30% dari uang yang dibayarkan pada perusahaan MLM.
2. Bahwa produk ini bisa dipindahkan oleh semua orang dengan biaya yang sangat ringan,
dengan cara mengakses dari situs perusahaan MLM ini dijaringan internet. Bahwa
perusahaan meminta para anggotanya untuk memperbaharui keanggotaannya setiap tahun
dengan di iming imingi berbagai program baru yang akan diberikan pada mereka.

Tujuan perusahaan adalah membangun jaringan personil secara estafet dan berkesinambungan.
Yang mana ini akan menguntungkan anggota yang berada pada level atas (Upline) sedangkan
level bawah (downline) selalu memberikan nilai point pada yang berada dilevel atas mereka.

Berdasarkan ini semua, maka sistem bisnis semacam ini tidak diragukan lagi haramnya karena
beberapa sebab yaitu: Ini adalah penipuan dan manipulasi terhadapa anggota.

Produk MLM ini bukanlah tujuan yang sebenarnya. Produk in hanya bertujuan untuk mendapat
izin dalam undang undang dan hukum syar’i

Banyak dari kalangan pakar ekonom dunia sampai pun orang orang non muslim meyakini bahwa
jaringan piramida ini adalah sebuah permainan dan penipuan, oleh karena itu mereka
melarangnya karena bisa membahayakan perekonomian nasional baik bagi kalangan individu
maupun bagi masyarakat umum. Berdasarkan ini semua, tatkala kita mengetahui bahwa hukum
syar’I didasarkan pada maksud dan hakekatnya serta bukan sekedar polesan luarnya, maka
perubahan nama sesuatu yang haram akan semakin menambah bahayanya karena ini berarti
terjadi penipuan terhadap Allah dan Rasul Nya, oleh karena itu sistem bisnis semacam ini adalah
haram dalam pandangan syar’i.

Kalau ada yang bertanya: “Bahwasanya bisnis ini bermanfaat bagi sebagian orang”

Jawabannya : “Adanya manfaat pada sebagian orang tidak bisa menghilangkan keharamannya

Firman Allah yang artinya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah : Pada keduanya itu terdapat
dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya” (QS Al Baqarah:219)

Tatkala bahaya dari khamr dan perjudian itu lebih banyak daripada manfaatnya, maka keduanya
dengan sangat tegas diharamkan. Kesimpulannya, bisnis ini adalah memakan harta manusia
dengan cara yang bathil, juga merupakan bentuk spekulasi dan spekulasi adalah bentuk
perjudian”

20
E. BANK SYARI’AH BELUM SYARI’AH

Praktek Murabahah di Bank Syariah

Menurut Muhammad Abdus Shomad, SE, MM, mantan praktisi sebuah bank syariah ternama, di
bank syariah, praktek pembiayaan murabahah di bank syariah da dua model.

Berikut penjelasan dua moden itu beserta contohnya.

Model 1

Seseorang ingin membeli rumah datang ke bank. “Saya ingin membeli rumah, misalnya, yang
dijual si Fulan (developer) dengan harga Rp 100 juta,” katanya kepada bank. Setelah melalui
proses analisa dan survai, pihak bank menulis akad jual-beli pihaknya dengan calon nasabahya
itu. Setelah melalui perhitungan tertentu, pihak bank mengatakan, “Saya akan jual kepadamu
rumah itu dengan harga Rp 150 juta untuk jangka lima tahun.” Pihak bank lalu memberikan uang
ke calon nasabah itu sejumlah harga rumah, dengan mengatakan, “Silakan beli rumah itu.” Pihak
bank tetap di kantornya, tidak mendatangi pemilik rumah.

Tanggapan: Pada praktek murabahah Model 1 terdapat dua kesalahan

1. Pertama,

Akad jual-beli murabahah langsung disepakati antara pihak bank syariah dan nasabah.
Padahal rumah belum jadi milik bank. Bila transaksi ini terjadi, akad murabahahnya tidak sah
dan hukum jual-belinya diharamkan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “Wahai, Rasulullah, seseorang datang kepadaku untuk
membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki, apakah boleh aku
menjualnya kemudian aku membeli barang yang diinginkan dari pasar? Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab,’Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki!’” (HR.
Abu Daud. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal menggabungkan antara akad
pinjaman dan jual-beli, tidak halal dua persyaratan dalam satu jual-beli, tidak halal
keuntungan barang yang tidak dalam jaminanmu dan tidak halal menjual barang yang bukan
milikmu” (HR. Abu Daud. Menurut Al-Albani, derajat hadis ini hasan shahih).

Dalam kasus jual-beli rumah itu, bank syarih belum memilikinya, tapi telah menjualnya ke
nasabah. Praktek ini dilarang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana ditegaskan
oleh hadis tersebut, karena termasuk menjual barang yang belum dimiliki bank.

Panduan perbankan syariah yang disusun AAOIFI (Accounting and Auditing Organization
for Islamic Financial Institutions), yang berpusat di Bahrain, ditegaskan, “Haram hukumnya
pihak lembaga keuangan menjual barang dalam bentuk murabahah sebelum barang
dimilikinya. Maka, tidak sah hukumnya kedua belah pihak menandatangani akad murabahah
sebelum pihak lembaga keuangan syariah membeli dan menerima barang yang dipesan
nasabah dari pihak penjual pertama.”

21
2. Kedua,

Yang diberikan bank ke nasabah adalah uang, dan bukan rumah. Artinya, bank memberikan
sejumlah uang ke nasabah untuk membeli rumah itu. Ini termasuk transaksi riba. Karena
bank memberikan uang tunai Rp 100 juta dan akan menerima Rp 150 juta setelah lima tahun.
Akad murabahah hanya kamuflase di atas kertas.

Model 2

Sama dengan Model 1, dengan tambahan pihak bank menghubungi penjual rumah/developer dan
mengatakan, “Rumah Anda di lokasi ini telah aku beli Rp 100 juta.” Kemudian pihak bank
mentransfer uang ke penjual/developer. Pihak bank mengatakan kepada calon calon pembeli
rumah, “Silakan ambil rumahnya. Kami menjualnya kepada Anda seharga Rp 150 juta secara
kredit.” Dengan demikian, bank mendapat keuntungan Rp 50 juta.

Tanggapan: Kesalahan dalam praktek murabahah Model 2 adalah pihak bank menjual rumah ke
nasabah tanpa lebih dulu menerima rumah itu dari developer. Karena bank hanya mentransfer
uang ke developer, tanpa studi tapak dan memeriksa rumah tersebut. Akad jual-beli murabahah
ini statusnya fasid (batal) dan haram.

Terdapat larangan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengenai menjual barang sebelum
diterima penjual. Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, beliau mengatakan, “Wahai Rasulullah,
saya sering jual-beli, apa jual-beli yang halal dan haram?
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Wahai anak saudaraku, bila engkau membeli
sebuah barang jangan dijual sebelum barang tersebut engkau terima“(HR. Ahmad dan
dihasankan Imam Nawawi). Hadis ini menjelaskan, haram hukumnya menjual barang yang telah
dibeli namun fisik barangnya belum diterima.

Juga diriwayatkan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang seseorang menjual bahan makanan yang telah dibelinya sebelum ia menerimanya.
Seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Kenapa dilarang? Ibnu Abbas menjawab, ‘Karena
dirham ditukar dengan dirham sedangkan bahan makanan ditangguhkan’” (HR. Bukhari).

Hadits tersebut jelas melarang menjual barang yang telah dibeli namun fisiknya belum diterima.
Ibnu Abbas menjelaskan alasan pelarangan jual-beli itu sama dengan riba bai’ (jual-beli). Hal ini
karena saat pihak pertama membeli barang dari penjual 100 dirham kemudian dijual kembali ke
pihak kedua 120 dirham, sama dengan menukar 100 dirham dengan 120 dirham (ini dinamakan
riba ba’i), sementara barang yang menjadi objek akad tetap di tangan penjual.
Demikian pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak halal menggabungkan antara
akad pinjaman dan jual-beli. Tidak halal dua persyaratan dalam jual-beli. Tidak halal keuntungan
penjualan barang yang tidak dalam jaminanmu dan tidak halal menjual barang yang bukan
milikmu” (HR. Abu Daud. Al-Albani menyatakan, hadis ini hasan shahih).

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak halal keuntungan penjualan barang yang tidak
dalam jaminanmu“, artinya, tidak halal memperoleh keuntungan dari penjualan barang yang telah
dibeli, namun fisiknya belum diterima. Karena ketika barang itu belum diterima, maka jaminan
barang tersebut berada dalam tanggungan penjual pertama.

22
Dalam murabahah Model 2, setelah rumah dibeli pihak bank dari developer melalui telepon dan
sebelum diterima oleh nasabah, jaminan (risiko) rumah ditanggung developer. Andaikata rumah
tersebut terbakar, developer yang bertanggung jawab, bukan pihak bank. Dengan demikian pihak
bank telah mendapat untung dari murabahah tanpa menanggung risiko barang. Keuntungan ini
hukumnya tidak halal.

Pull Quote:

1. Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki


2. Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual-beli, tidak halal dua persyaratan
dalam satu jual-beli, tidak halal keuntungan barang yang tidak dalam jaminanmu.
3. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual bahan makanan yang telah
dibelinya sebelum ia menerimanya.

Kesimpulan:

1. Murabahah adalah menjual barang dengan menyebutkan harga barang, sementara penjual
menetapkan laba tertentu. Ada tiga pihak yang dilibatkan dalam transaksi ini: penjual
pertama, penjual kedua (diwakili bank), dan pembeli (nasabah).
2. Para ekomon Islam menawarkan produk murabahah yang termodifikasi, yang dikenal sebagai
murabahah lil aamir bisy-syiraa’. Salah satu bentuknya, memesan barang X ke bank, dengan
perjanjian pembeli akan membeli barang X dengan keuntungan tertentu, setelah bank
membelinya serta telah terjadi pindah tangan dari penjual pertama.
3. Transaksi murabahah dibolehkan dengan syarat:

3.1. Barang telah resmi dibeli oleh penjual kedua (bank);


3.2. Barang telah dipindah-tangankan ke penjual kedua (bank), dan menjadi tanggungan
bank;
3.3. Belum terjadi akad dan transaksi jual-beli antara bank dan nasabah, sebelum ada serah
terima barang dari penjual pertama kepada pihak bank.

Model murabahah yang diterapkan bank syariah

1. Pertama

A mendatangi bank untuk membeli rumah. Kemudian bank melakukan survai rumah
(bukan membeli). Selanjutnya bank menetapkan harga yang lebih mahal, lalu bank
menyerahkan sejumlah uang seharga nilai rumah, agar nasabah membeli rumah tersebut.
Transaksi ini melanggar dua aturan syariah, karena:

1.1. Bank menjual barang yang belum menjadi miliknya; dan


1.2. Sejatinya, bank hanya meminjamkan uang ke nasabah dan bukan menjual rumah ke
nasabah. Sementara nasabah berkewajiban mengembalikan lebih. Dan ini murni
riba.

2. Kedua

23
A mendatangi bank untuk membeli rumah. Kemudian bank mentransfer uang seharga
rumah kepada developer. Selanjutnya rumah tersebut dijual ke nasabah dengan harga
lebih mahal, sebelum bank menerima rumah tersebut dari developer.

Transaksi ini melanggar dua aturan syariah:

2.1. Bank telah menjual barang sebelum diserah terimakan, dan ini melanggar hadis;
2.2. Bank mengambil keuntungan dari penjualan barang yang belum menjadi
tanggungan bank. Karena ketika rumah itu dijual ke nasabah, rumah tersebut masih
menjadi tanggungan developer.

Konsekwensi orang yang siap menerima keuntungan adalah dia harus siap menanggung
risiko kerugian.

F. ASURANSI DALAM ISLAM

Asuransi merupakan perdagangan atau jaminan yang diberikan dari penanggung pada yang
menanggung resiko kerugian sebagaimana seperti yang sudah ditetapkan dalam surat perjanjian
seperti, kerusakan, pencurian, kebakaran dan sebagainya atau bahkan kehilangan jiwa atau
kecelakaan lain. Dari pengertian diatas bisa disimpulkan jika seseorang bersedia untuk membayar
dalam kadar kerugian yang kecil saat sekarang supaya bisa menghadapi kerugian besar yang
mungkin saja bisa terjadi di masa yang akan datang.

Asuransi dilihat dari Sudut Pandang Islam

Umat muslim di Indonesia saat ini juga sudah banyak yang terlibat dalam urusan asuransi, oleh
karena itu sangat perlu ditinjau dari sudut pandang agama Islam dengan lebih detail. Bagi umat
muslim sendiri ada yang beranggapan jika asuransi bukanlah suatu kegiatan yang Islami,
sehingga seseorang yang terlibat dengan asuransi, sama halnya dengan mengingkari rahmat Allah
SWT.”

Allah sudah menentukan rezeki untuk setiap makhluknya seperti yang sudah difirmankan Allah
SWT, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi mealinkan Allahlah yang memberi
rezekinya”.

“Dan siapa yg memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada
Tuhan?”

“Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keperluan hidup dan makhluk-makhluk
yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.”

Dari tiga ayat tersebut bisa diartikan jika Allah SWT memang sudah menyiapkan segala sesuatu
untuk semua urusan dan kebutuhan makhluk hidup seperti pada manusia sebagai khalifah di
muka bumi dan Allah menyiapkan barang dalam bentuk mentah dan bukan dalam wujud matang.
Ini membuat manusia harus mengolahnya terlebih dulu dan mencari ikhtiarnya. Sementara orang
yang terlibat dengan asuransi merupakan salah satu ikhtiar untuk menghadapi masa depan dan
juga masa tuanya.

24
Akan tetapi, karena urusan asuransi tidak dijelaskan secara lugas dalam nash, maka permasalahan
ini masih dipandang sebagai ijtihadi, yakni masalah tentang perbedaan pendapat yang masih agak
sulit dijindari dan juga tetap harus menghargai perbedaan tersebut.

Pendapat Larangan Asuransi Dalam Islam

Asuransi merupakan hal haram apapun wujudnya termasuk asuransi jiwa. Pendapat tersebut telah
dikemukakan oleh Sayyid Sabiq Abdullah al-Qalqii Yusuf Qardhawi dan juga Muhammad
Bakhil al-Muth’i.

Sementara beberapa alasan mengapa asuransi dikatakan haram adalah sebagai berikut:

1. Asuransi terkandung unsur yang belum pasti.


2. Asuransi sama dengan judi: Seperti yang kita ketahui, judi memiliki unsur taruhan dan sama
halnya dengan premi yang ditanam sehingga sama dengan judi.
3. Asuransi terkandung unsur riba atau renten: Asuransi juga mengandung unsur ruba fadhel
atau riba perniagaan sebab adanya sesuatu yang terlalu berlebihan dan juga riba nasi’ah atau
riba karena penundaan secara bersamaan.
4. Asuransi mengandung unsur pemerasan sebab apabila pemegang pois tidak dapat
melanjutkan pembayaran, maka pembayaran premi yang sudah dibayarkan akan hilang atau
dikurangi.
5. Premi yang sudah dibayarkan akan diputar kembali dalam praktek riba.
6. Hidup dan mati manusia dijadikan sebagai bisnis dan ini sama halnya dengan mendahului
takdir Allah SWT.

Terdapat bentuk memakan harta yang batil: Dalam asuransi juga mengandung bentuk memakan
harta orang lain yang dilakukan dengan jalan kebhatilan dan pihak asuransi mengambil harta
akan tetapi tidak selalu memberikan timbal balik.

Padahal, di dalam akad mu’awadhot atau yang terdapat di dalam syarat keuntungan haruslah
memiliki timbal balik dan jika tidak, maka masuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala.

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridho di antara kamu” (QS. An
Nisa’: 29).

Tentu setiap orang tidak ridho jika telah memberikan uang, namun tidak mendapatkan timbal
balik atau keuntungan.

Selain itu, juga terdapat sisi ghoror lainnya dari sisi besaran yang dikatakan sebagai timbal balik
yang bisa diperoleh dan besarnya sendiri tidak diketahui dengan pasti.

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudah melarang jual beli yang memiliki kandungan
ghoror atau spekulasi tinggi seperti yang ada dalam hadits Abu Hurairah, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan
melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).

25
Pendapat Diperbolehkan Asuransi Dalam Islam

Sementara untuk pendapat kedua, praktek asuransi diperbolehkan dan dikemukakan oleh Abd.
WWahab Khalaf Mustafa Akhmad Zarqa Muhammad Yusuf Musa dan juga Abd. Rakhman isa.

Sementara alasan diperbolehkannya asuransi adalah sebagai berikut:

1. Terjadi kesepakatan dan kerelaan dari kedua belah pihak.


2. Tidak terdapat nash yang melarang praktek asuransi.
3. Asuransi termasuk ke dalam akta mudhrabah.
4. Memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.
5. Asuransi bisa digunakan untuk kepentingan umum karena premi yang sudah terkumpul bisa
diinvestasian sebagai proyek produktif dan juga pembangunan.
6. Asuransi termasuk ke dalam jenis koperasi.
7. Asuransi dianalogikan dengan sistem pensiun seperti pada taspen.

Pendapat Makruh tentang Asuransi Dalam Islam

Sementara untuk pendapat yang ketiga, asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan, sedangkan
yang bersifat komersil diharamkan. Pendapat ketiga ini dikemukakan oleh Muhammad Abdu
Zahrah yakni dengan alasan serupa dengan pendapat yang pertama untuk asuransi bersifat
komersil dan sama pendapatnya untuk pendapat kedua dalam asuransi yang bersifat sosial.

Alasan dari golongan yang mengungkapkan asuransi syubhat sebab tidak terdapat dalil tegas
yang mengharamkan atau tidak mengharamkan asuransi tersebut. Dari beberapa ulasan diatas
bisa dipahami jika urusan tentang asuransi masih menimbulkan keraguan sehingga agak sulit
untuk menentukan pilihan mana yang paling mendekati dengan hukum yang benar.

Jenis Asuransi Berdasarkan Syariah

Sebagai alternatif baru yang ditawarkan, sekarang ini juga terdapat asuransi yang sesuai dengan
ketentuan Islam dan dalam urusan ini, hedaknya tetap berpegang pada sabda Nabi Muhammad
SAW, “Tinggalkan hal-hal yg meragukan kamu kepada hal-hal yang tidak meragukan kamu.”

Asuransi menurut ajaran Islam yang sudah mulai dilaksanakan dan digalakkan seperti yang sudah
dilakukan beberapa asuransi Indonesia yang menganut sistem berbeda yakni memakai sistem
mudharabah. Sementara dalam asuransi takaful berdasarkan syariah terdiri dari beberapa jenis,
diantaranya:

1. Takaful Kebakaran – Asuransi takaful kebakaran memberikan perlindungan pada harta benda
seperti kantor, toko, industri, kerugian karena kebakaran, jatuhnya pesawat terbang, ledakan
gas, tersambar petir, pabrik dan sebagainya.

2. Takaful Pengangkutan Barang – Asuransi dalam bentuk ini akan memberikan perlindungan
untuk kerugian harta benda dalam pengiriman barang dan dalam pengiriman tersebut terjadi
kecelakaan atau musibah.

26
3. Takaful keluarga – Asuransi takaful keluarga meliputi takaful berencana pembiayaan jangka
panjang seperti pendidikan, kesehatan, umroh, wisata dan takaful perjalanan haji. Dana yang
sudah terkumpul dari peserta asuransi ini nantinya akan diinvestasikan sesuai dengan prinsip
syariah. Setelah itu, hasil yang didapat dari cara mudharabah akan dibagi untuk seluruh
peserta dan juga untuk perusahaan.

Riba Dalam Asuransi Konvensional

Riba di dalam asuransi konvensional bisa terjadi karena dana yang diinvestasikan, sedangkan
untuk masalah riba juga dipermasalahkan oleh para alim ulama. Ada sebagian ulama yang
mengharamkan dan ada sebagian ulama yang memperbolehkan sementara ada juga yang
berpendapat syubhat. Sedangkan jalan yang dilakukan asuranasi takaful adalah dengan cara
mudhrabah sehingga tidak ada riba di dalam asuransi takaful tersebut.

Supaya asuransi takaful dengan landasan syariah Islam bisa berjalan dengan baik di masyarakat,
maka asuransi takaful juga perlu lebih dimasyarakatkan dan dilaksanakan dengan baik supaya
akhirnya bisa memperoleh kepercayaan masyarakat. Masyarakat sendiri juga menginginkan bukti
yang nyata tentang sebuah gagasan, supaya nantinya bisa mendapatkan jaminan ketenangan
selama hidup dan juga ada yang menginginkan jaminan untuk anak beserta keturunan selepas
meninggal dunia.

Jika asuransi takaful dengan landasan syariah Islami bisa mewujudkan dengan nyata keperluan
masyarakat, maka akan membuat orang yang senang dengan hal syubhat dan berhadapan dengan
hukum, akan bertolak belakang dan akan berkurang.

Dari uraian diatas bisa ditarik kesimpulan tentang haram dan tidaknya asuransi. Namun sebagai
umat muslim yang baik, alangkah lebih baik untuk lebih cermat sehingga tidak tertipu dengan
penambahan syar’i saja dan harus diselidiki terlebih dahulu apakah memang benar atau hanya
sekedar penambahan kata saja. Akan lebih baik juga untuk tidak mengajukan premi sebab kalim
yang didapat juga belum bisa dipastikan kehalalannya dan juga tidak boleh dimanfaatkan kecuali
dalam keadaan terpaksa dan sudah terikat kontrak kerja, maka hanya boleh memanfaatkan premi
yang sudah disetorkan seperti asuransi kesehatan dan tidak boleh melebihi dari hal tersebut.

Apabila anda sudah terlanjur berkecimpung dalam asuransi, maka berusahalah lebih keras untuk
meninggalkannya dan perbanyak istighfar serta taubat dan juga amalan kebaikan. Akan lebih
baik lagi jika uang yang sudah ditanamkan ditarik kembali.

Pendapat tentang haramnya transaksi dalam Asuransi:

1. Asuransi bukanlah termasuk bentuk perniagaan yang dihalalkan dalam Islam, sebab
perusahaan asuransi tidaklah pernah melakukan praktik perniagaan sedikitpun dengan
nasabahnya. Hal ini akan menjadi jelas bila kita kembali menerapkan berbagai hukum
hutang-piutang yang telah dijelaskan pada kolom di atas.

2. Asuransi diharamkan karena mengandung unsur riba, yaitu bila nasabah menerima uang
klaim, dan ternyata jumlah uang klaim yang ia terima melebihi jumlah total setoran yang
telah ia bayarkan.

27
3. Asuransi mengandung tindak kezhaliman, yaitu perusahaan asuransi memakan harta nasabah
dengan cara-cara yang tidak dibenarkan dalam syariat. Hal ini dapat terjadi pada dua
kejadian:

Pertama:

Kejadian pertama: Apabila nasabah selama hidupnya tidak pernah mengajukan klaim,
sehingga seluruh uang setorannya tidak akan pernah kembali, alias hangus.

Tatkala perekonomian dengan basis syariat sedang gencar digalakkan, maka perusahaan-
perusahaan asuransi pun tidak mau ketinggalan. Mereka rame-rame memikat nasabah dengan
berbagai produk asuransi syariah. Mereka mengklaim bahwa produk-produk mereka telah
selaras dengan prinsip syariah.

Secara global, mereka menawarkan dua jenis pilihan:

3.1. Asuransi umum syariah.

Pada pilihan ini, mereka mengklaim bahwa mereka menerapkan metode bagi hasil/
mudharabah. Yaitu bila telah habis masa kontrak, dan tidak ada klaim, maka
perusahaan asuransi akan mengembalikan sebagian dana/ premi yang telah disetorkan
oleh nasabah, dengan ketentuan 60:40 atau 70:30.

Adapun berkaitan dana yang tidak dapat ditarik kembali, mereka mengklaimnya
sebagai dana tabarru’ atau hibah.

3.2. Asuransi jiwa syariah.

Pada pilihan ini, bila nasabah hingga jatuh tempo tidak pernah mengajukan klaim,
maka premi yang telah disetorkan, akan hangus. Perilaku ini diklaim oleh perusahaan
asuransi sebagai hibah dari nasabah kepada perusahaan (Majalah MODAL edisi 36,
2006, hal. 16).

Subhanallah, bila kita pikirkan dengan seksama, kedua jenis produk asuransi syariat di
atas, niscaya kita akan dapatkan bahwa yang terjadi hanyalah manipulasi istilah.
Adapun prinsip-prinsip perekonomian syariat, di antaranya yang berkaitan dengan
mudharabah dan hibah, sama sekali tidak terwujud.

Yang demikian itu dikarenakan:

3.2.1. Pada transaksi mudharabah, yang di bagi adalah hasil/ keuntungan, sedangkan
pada asuransi umum syariah di atas, yang dibagi adalah modal atau jumlah
premi yang telah disetorkan.
3.2.2. Pada akad mudharabah, pelaku usaha (perusahaan asuransi) mengembangkan
usaha riil dengan dana nasabah guna mendapatkan keuntungan. Sedangkan
pada asuransi umum syariat, perusahaan asuransi, sama sekali tidak
mengembangkan usaha guna mengelola dana nasabah.
3.2.3. Pada kedua jenis asuransi syariat di atas, perusahaan asuransi telah memaksa
nasabah untuk menghibahkan seluruh atau sebagian preminya. Disebut

28
pemaksaan, karena perusahaan asuransi sama sekali tidak akan pernah siap bila
ada nasabah yang ingin menarik seluruh dananya, tanpa menyisakan sedikitpun.

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, artinya:

“Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa
darinya.” (HR. Ahmad, ad-Daraquthny, al-Baihaqy dam dishahihkan oleh al-
Hafizh Ibnu Hajar dan al-Albany).

Pengunaan istilah mudharabah dan tabarru’ untuk mengambil dana/ premi nasabah ini
tidak dapat mengubah hakikat yang sebenarnya, yaitu dana nasabah hangus.

Dengan demikian, perusahaan asuransi telah mengambil dana nasabah dengan cara-cara
yang tidak dihalalkan. Ini sama halnya dengan minum khamr yang sebelumnya telah
diberi nama lain, misalnya minuman penyegar, atau suplemen.

Hadits, yang artinya:

Dari sahabat Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sunggung-sungguh akan ada sebagian orang dari umatku
yang akan menghalalkan khamr, hanya karena sebutan/ nama (baru) yang mereka
berikan kepada khamr.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Albani).

Sungguh perbuatan semacam inilah yang jauh-jauh hari dilarang oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sabdanya, artinya:

“Janganlah kalian melakukan apa yang pernah dilakukan oleh bangsa Yahudi, sehingga
kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah hanya dengan sedikit rekayasa.”
(HR. Ibnu Baththah, dan dihasankan oleh Ibnu Taimiyyah dan diikuti oleh dua
muridnya yaitu Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir).

Kedua

Kejadian Kedua, apabila nasabah menerima uang klaim, dan ternyata uang klaim yang ia
terima lebih sedikit dari jumlah total setoran yang telah ia bayarkan. Kedua kejadian ini
diharamkan, karena termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala, artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesama kamu dengan cara-
cara yang bathil, kecuali dengan cara perniagan dengan asas suka sama suka di antara kamu.”

G. TRANSAKSI VALUTA ASING DALAM ISLAM

Pembahasan ini amatlah urgent bagi setiap orang yang hendak terjun di dunia bisnis atau yang
ingin bermuamalah dalam penukaran uang (valas). Jika ia sudah memahami hal ini, ia akan
memahami kenapa syari’at Islam yang mulia memasukkan suatu hal ke dalam transaksi ribawi.

Ini semua karena syari’at yang indah ini dibangun di atas kemaslahatan dan ingin mencegah
bahaya. Bahasan ini adalah bahasan sekitar jual beli uang (valas) dan emas, yang di mana ada
syarat-syarat yang mesti dipenuhi dalam jual beli tersebut.
29
1. Ketika Uang Menjadi Komoditi Dagang

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,

“(Mata uang) dinar dan dirham asalnya bukan untuk dimanfaatkan zatnya. Tujuannya adalah
sebagai alat ukur (untuk mengetahui nilai suatu barang). Dirham dan dinar bukan bertujuan
untuk dimanfaatkan zatnya, keduanya hanyalah sebagai media untuk melakukan transaksi.
Oleh karena itu fungsi mata uang tersebut hanyalah sebagai alat tukar, berbeda halnya dengan
komoditi lainnya yang dimanfaatkan zatnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 19/251-252)

Imam Al Ghozali rahimahullah menjelaskan:

“Orang yang melakukan transaksi riba dengan (mata uang) dinar dan dirham, sungguh ia
telah kufur nikmat dan telah berbuat kezholiman. Karena (mata uang) dinar dan dirham
diciptakan hanya sebagai media dan bukan sebagai tujuan. Maka bila mata uang tersebut
diperdagangkan, maka ia akhirnya akan menjadi komoditi dan tujuan”.

Hal ini bertentangan dengan tujuan semula uang diciptakan. Oleh karena itu, tidak
dibolehkan menjual (mata uang) dirham dan dengan dirham yang berbeda nominalnya dan
tidak dibolehkan menjualnya secara berjangka.

Maksud dari hal ini adalah agar mencegah orang-orang yang ingin menjadikan mata uang
tersebut sebagai komoditi. Syarat ini jelas mendesak para pendagang untuk tidak meraup
keuntungan. (Ihya’ ‘Ulumuddin, 4/88)

2. Kaedah Jual Beli Uang

Kaedah yang akan kami utarakan disebutkan dalam hadits berikut:

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan
jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran
yang sama, dan sama berat serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu
asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya.” (Hadits Riwayat Muslim No. 1587, dari
‘Ubadah bin Shomith).

“Menukar emas dan emas adalah riba kecuali jika dilakukan dengan cara tunai.” (Hadits
Riwayat Bukhari No. 2134 dan Muslim No. 1586).

Dari hadits di atas dapat disimpulkan beberapa syarat dalam transaksi penukaran mata uang,
yaitu:

1. Pertama

Menukar mata uang sejenis, seperti menukar uang rupiah dengan pecahan rupiah yang
lebih kecil, syaratnya ada dua:

1.1. Jumlah nominalnya harus sama;


1.2. Serah terima dilakukan secara tunai.
30
Menukar emas dengan mata uang, artinya membeli emas harus memenuhi dua syarat
yang dikemukakan di atas karena emas dan mata uang adalah barang yang sejenis.

2. Kedua

Menukar mata uang yang berlainan jenis, seperti menukar uang rupiah dengan riyal,
syaratnya hanya satu:

“Serah terima harus dilakuakan secara tunai. Artinya berlangsung sebelum berpisah dari
majelis akad dan tidak disyaratkan jumlahnya sama). Maka dibolehkan jumlah nominal
keduanya berbeda sesuai dengan kurs pasar di hari itu atau keduanya sepakat dengan kurs
sendiri.

Kaedah penting dalam sistem moneter di atas jelas diabaikan oleh para ekonom di zaman ini,
mereka melalaikan syarat penukaran mata uang yang sejenis yang menjerumuskan mereka
terjerumus dalam riba.

Akibat tidak mengindahkan hal ini, nilai mata uang akhirnya mengalami fluktuasi setiap saat
yang menyebabkan kezhaliman kepada seluruh pemegang uang.

Bentuk Jual Beli yang Tidak Mengindahkan Kaedah di Atas

1. Transaksi Spot

Transaksi spot adalah transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk
penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka
waktu dua hari.

Comment: Transaksi ini tidak memenuhi syarat penukaran mata uang, yaitu harus tunai
(berlangsung sebelum berpisah dari majelis akad)

2. Transaksi Forward

Transaksi forward adalah transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) yang
nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang,
antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun.

Comment: Transaksi ini jelas tidak dibolehkan karena harga yang digunakan adalah harga
yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal
harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati.

3. Pembayaran pembelian emas dengan menggunakan kartu kredit (ATM)

Comment: Karena ketika itu emas tidak diserahkan secara tunai.

Demikian pembahasan Riba yang ada di dalam kehidupan masyarakat, semoga kita mendapatkan
pengampunan, Aamiin…Aamiin…Aamiin…YRA.

31

Anda mungkin juga menyukai