Anda di halaman 1dari 11

Nama : Lusida.F.

Rumsory

Nim : 201621132

Kelas : VI C

SEJARAH HUKUM PERBURUHAN


Sejarah Perburuhan di Indonesia secara garis besar dibedakan menjadi dua periode yaitu: 1. Periode
sebelum Proklamasih Kemerdekaan Periode sebelum kemerdekaan diwarnai dengan masa-masa yang
suram bagi riwayat Hukum Perburuhan yakni zaman perbudakan, rodi dan poenale sanksi. Perbudakan
ialah suatu peristiwa dimana seseorang yang disebut budak melakukan pekerjaan di bawah pimpinan
orang lain. Para budak tidak mempunyai hak apapun termasuk hak atas kehidupannya, ia hanya memiliki
kewajiban untuk melakukan pekerjaan yang diperintahkan oleh tuannya. Terjadinya perbudakan pada
waktu itu disebabkan karena para raja, pengusaha yang mempunyai ekonomi kuat membutuhkan orang
yang dapat mengabdi kepadanya, sementara penduduk miskin yang tidak berkemampuan secara ekonomis
saat itu cukup banyak yang disebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan inilah yang
mendorong perbudakan tumbuh subur. Selain perbudakan dikenal juga istilah perhambaan dan peruluran.
Perhambaan terjadi bila seseorang penerima gadai menyerahkan dirinya sendiri atau orang lain yang ia
kuasai, atas pemberian pinjaman sejumlah uang kepada seseorang pemberi gadai. Pemberi gadai
mendapatkan hak untuk meminta dari orang yang digadaikan agar melakukan pekerjaan untuk dirinya
sampai uang pinjamannya lunas. Pekerjaan yang dilakukan bukan untuk mencicil utang pokok tapi untuk
kepentingan pembayaran bunga. Pelururan adalah keterikatan seseorang untuk menanam tanaman tertentu
pada kebun/ladang dan harus dijual hasilnya kepada Kompeni. Selama mengerjakan kebun/ladang
tersebut ia dianggap sebagai pemiliknya, sedangkan bila meninggalkannya maka ia kehilangan hak atas
kebun tersebut. Rodi merupakan kerja paksa yang dilakukan oleh rakyat untuk kepentingan pihak
penguasa atau pihak lain dengan tanpa pemberian upah, dilakukan diluar batas perikemanusiaan. Pada
kerajaan-kerajaan di Jawa rodi dilakukan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para
pembesar, serta kepentingan umum seperti pembuatan dan pemeliharaan jalan, jembatan dan sebagainya.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa riwayat timbulnya hubungan perburuhan itu dimulai dari peristiwa
pahit yakni penindasan dan perlakuan di luar batas kemanusiaan yang dilakukan oleh orang maupun
penguasa pada saat itu. Para buak/pekerja tidak diberikan hak apapun yang ia miliki hanyalah kewajiban
untuk mentaati perintah dari majikan atau tuannya. Nasib para budak/pekerja hanya dijadikan barang atau
obyek yang kehilangan hak kodratinya sebagai manusia. Dalam hukum perburuhan dikenal adanya
pancakrida Hukum Perburuhan yang merupakan perjuangan yang harus dicapai yakni :

a. Membebaskan manusia indonesia dari perbudakan, perhambaan.

b. Pembebasan manusia Indonesia dari rodi atau kerja paksa.

c. Pembebasan buruh/pekerja Indonesia dari poenale sanksi.

d. Pembebasan buruh/pekerja Indonesia dari ketakutan kehilangan pekerjaan.


e. Memberikan posisi yang seimbang antara buruh/pekerja dan pengusaha.

Krida kesatu sampai dengan krida ketiga secara yuridis sudah lenyap bersamaan dengan dicetuskannya
proklamasih kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. 2. Periode sesudah Proklamasih Kemerdekaan
Untuk mencapai krida keempat yaitu membebaskan buruh/pekerja dari takut kehilangan pekerjaan,
maupun krida kelima memberi posisi yang seimbang antara buruh/pekerja dan pengusaha ada beberapa
hal yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu: a. Pemberdayaan serikat buruh/pekerja khusunya ditingkat
unit/perusahaan khususnya dengan memberikan pemahaman terhadap aturan perburuhan/ketenagakerjaan
yang ada karena organisasi pekerja ini terletak digaris depan yang membuat Kesepakatan Kerja Bersama
dengan pihak perusahaan. b. Pemberdayaan pekerja dan pengusaha Pekerja perlu diberdayakan sehingga
mengetahui hak dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan hukum termasuk penyadaran pekerja sebagai
sarana memperjuangkan hak dan kepentingannya, karena itu tidak ada pilihan lain untuk meningkatkan “
b e r g ainin g p o sitio n n y a ” kecuali dengan memperkuat organisasi burh/pekerja. c. Penegakan
hukum (law enforcement)

Penegakan hukum sangat penting dalam rangka menjamin tercapainya kemanfaatan ( doelmatigheid )
dari aturan itu, tanpa penegakan hukum yang tegas maka aturan normatif tersebut tidak akan berarti,
lebih-lebih dalam bidang perburuhan/ketenagakerjaan yang didalamnya terdiri dari dua subyek hukum
yang berbeda secara sosial ekonomi, karena itu pihak majikan/pengusaha cenderung tidak konsekuen
melaksanakan ketentuan perburuhan karena dirinya berada pada pihak yang memberi
pekerjaan/bermodal.(Lalu Husni, S.H., M.Hum, 2000:6)
Nama : Lusida.F.Rumsory

Nim : 201621132

Kelas : VI C

Perselisihan Hubungan Industrial

Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena
adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Jenis-jenis perselisihan Hubungan Industrial, yaitu :

1. Perselisihan Hak. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

2. Perselisihan kepentingan. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam


hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.

3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah


perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.

4. Perselisihan antar serikat pekerja / serikat buruh. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat
buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dibagi dua bagian, yaitu :

1. Penyelesaian diluar Pengadilan Hubungan Industrial melalui Penyelesaian secara Bipartit dan
penyelesaian melalui Tripartit (mediasi, konsolidasi dan Arbitrase).

2. Penyelesaian melalui Pengaduan Hubungan Industrial Hukum acara yang dipakai adalah
Hukum Acara Perdata.
Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Kedudukan hukum
perundingan Bipartit merupakan penyelesaian yang bersifat wajib. Adapun ketentuan
perundingan Bipartit adalah : 1. Perselisihan hubungan industrial wajib diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat. 2. Diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan. 3. Dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak, sifatnya
mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. 4. Wajib didaftarkan
oleh para pihak kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para
pihak mengadakan perjanjian bersama. 5. Diberikan akte pendaftaran perjanjian bersama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan demi perjanjian bersama. 6. Salah satu pihak atau
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah perjanjian bersama didaftarkan. 7. Permohonan
eksekusi dapat dilakukan melalui PHI di Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon untuk
diteruskan ke PHI di Pengadilan Negeri yang berkompeten melakukan eksekusi. 8. Perundingan
dianggap gagal apabila salah satu pihak menolak perundingan atau tidak tercapai kesepakatan. 9.
Salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti upaya
penyelesaian melalui perundingan Bipartit telah dilakukan. Berkas-berkas yang harus disiapkan
dalam proses bipartit : kronologis kejadian (dilampiri bukti-bukti), surat kuasa/mandat (kedua
belah pihak), nota pembelaan, surat permohonan bipartit, berita acara bipartit, risalah bipartit
(kalau gagal), perjanjian bersama (kalau sepakat) dan daftar hadir perundingan.

Perundingan Tripartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
dengan pengusaha yang difasilitasi oleh mediator/konsiliator/arbiter sebagai tindak lanjut dari
gagalnya perundingan bipartit. Dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial ada 3
bentuk Tripartit yaitu : 1. Mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah
penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja
dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. 2. Konsiliasi adalah
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan
antar sp/sb hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seseorang
atau lebih konsiliator yang netral. 3. Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar sp/sb hanya dalam satu perusahaan diluar pengadilan
hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk
menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan
bersifat final. Berkas-berkas yang harus disiapkan untuk Tripartit yaitu : surat kuasa, SK
Organisasi dan surat Pencatatan Organisasi, keterangan tertulis tentang duduk perkara
perselisihan (dilampiri bukti-bukti tertulis), surat permohonan pencatatan perselisihan hubungan
industrial, surat panggilan/undangan dari Disnaker setempat, aurat permohonan/penunjukkan
mediasi/konsiliasi/arbitrase, peraturan perusahaan/pkb (pihak perusahaan), surat perjanjian
bersama (kalau sepakat), anjuran mediator (kalau tidak sepakat), jawaban anjuran dan putusan
arbiter kalau melalui proses arbitrase.

Pengadilan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk dilingkungan


Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap
perselisihan hubungan industrial. Hukum acara yang dipakai adalah Hukum acara perdata.
Komposisi Majelis Hakim PHI adalah 3 orang Hakim yang terdiri dari 1 Hakim Karir dari
Pengadilan Negeri sebagai Hakim Ketua dan 2 orang Hakim Ad-Hock yang berasal dari sp/sb
atau Asosiasi Pengusaha sebagai Hakim anggota. Berkas-berkas yang perlu disiapkan dalam
beracara di PHI adalah : surat gugatan yang dibubuhi materai Rp 6.000,,- dan dilampiri Risalah
mediasi/konsiliasi dan anjuran tertulis (penggugat), surat kuasa khusus (kedua belah pihak),
jawaban gugatan (tergugat), replik (penggugat), duplik (penggugat), daftar bukti tertulis dan
berkas bukti yang sudah diberi materai Rp 6.000,- serta berstempel pos (kedua belah pihak),
daftar kesaksian yang dilampiri KTP calon saksi dan menghadirkan saksi (kedua belah pihak),
kesimpulan (kedua belah pihak), putusan (Majelis Hakim PHI) dan pengiriman salinan resmi
putusan PHI (Panitera PHI)..
Nama : Lusida.F.Rumsory

Nim : 201621132

Kelas : VI C

Sejarah Perlindungan Jaminan Sosial

Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tanggung jawab dan kewajiban
Negara - untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan
kondisi kemampuan keuangan Negara. Indonesia seperti halnya negara berkembang lainnya,
mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan
sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.

Sejarah terbentuknya PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU
No.33/1947 jo UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP)
No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan
kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964
tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969
tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja. Secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga
kerja semakin transparan.

Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan hukum, bentuk
perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977 diperoleh suatu tonggak sejarah
penting dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang
pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi
kerja/pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula PP
No.34/1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek.

Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai
badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jamsostek memberikan
perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya,
dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai
pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat risiko sosial.

Selanjutnya pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-undang itu berhubungan dengan Amandemen
UUD 1945 tentang perubahan pasal 34 ayat 2, yang kini berbunyi: “Negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan
rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan motivasi
maupun produktivitas kerja.

Kiprah Perusahaan PT Jamsostek (Persero) yang mengedepankan kepentingan dan hak normatif
Tenaga Kerja di Indonesia dengan memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang
mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari
Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan
keluarganya terus berlanjutnya hingga berlakunya UU No 24 Tahun 2011.

Tahun 2011, ditetapkanlah UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Sesuai dengan amanat undang-undang, tanggal 1 Januri 2014 PT Jamsostek akan berubah
menjadi Badan Hukum Publik. PT Jamsostek (Persero) yang bertransformsi menjadi BPJS
(Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan tetap dipercaya untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi JKK, JKM, JHT dengan
penambahan Jaminan Pensiun mulai 1 Juli 2015.

Menyadari besar dan mulianya tanggung jawab tersebut, BPJS Ketenagakerjaan pun terus
meningkatkan kompetensi di seluruh lini pelayanan sambil mengembangkan berbagai program
dan manfaat yang langsung dapat dinikmati oleh pekerja dan keluarganya.

Kini dengan sistem penyelenggaraan yang semakin maju, program BPJS Ketenagakerjaan tidak
hanya memberikan manfaat kepada pekerja dan pengusaha saja, tetapi juga memberikan
kontribusi penting bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi bangsa dan kesejahteraan masyarakat
Indonesia.

istem jaminan sosial telah dikembangkan oleh berbagai negara di dunia setidaknya sejak era
Kanselir Prussia, Otto Von Bismarck yaitu abad 19. Di bidang kesehatan, karakteristik dari
model perlindungan kesehatan yang dikembangkan Bismarck adalah sistem asuransi yang
biasanya diiur bersama oleh pengusaha dan pekerja dari gaji yang disisihkan, sementara dokter
dan RS pada umumnya dikelola oleh swasta. Contoh negara yang menerapkannya adalah
Jerman, Belanda, dan Jepang. Sementara itu, model yang berbeda dikembangkan oleh William
Beveridge yang mendesain NHS/National Health Service di Inggris. Karakteristiknya adalah
pelayanan kesehatan dibiayai oleh negara. Hampir semua RS dan klinik di Inggris adalah milik
negara, sementara dokternya antara pegawai negara atau digaji oleh negara. Contoh negara yang
menjalankan adalah Inggris, negara-negara Skandinavia, dan Kuba.

Menurut T.R. Reid, ada setidaknya dua sistem lain yang dijalankan oleh negara-negara di dunia
yaitu NHI/National Health Insurance dan “Out-of-Pocket.” NHI dijalankan misalnya oleh
Kanada dan Korea Selatan. Sistem ini menggabungkan model Beveridge dan Bismarck.
Pelayanan diberikan oleh sektor swasta, namun dibayarkan oleh sebuah program asuransi yang
dijalankan oleh negara yang warga negara membayar kepadanya. Sementara model “Out-of-
Pocket” sebenarnya adalah model yang tanpa sistem perlindungan kesehatan. Model ini banyak
terdapat di negara-negara yang terlalu miskin dan tidak teratur, sehingga tidak memiliki
kapasitas untuk mengelola sebuah sistem pelayanan kesehatan. Di negara-negara ini, aturan
mainnya sederhana: si kaya mendapatkan pelayanan medis, sementara si miskin tetap sakit atau
mati.
Perlindungan Sosial Era Soekarno

Di Indonesia, sistem jaminan sosial secara nasional dimulai pada masa pemerintahan Soekarno.
Pada masa itu, jaminan sosial diwujudkan melalui jaminan sosial kecelakaan kerja yang diatur
dalam Undang-Undang No. 33 tahun 1947 yang diberlakukan mulai tahun 1951. Pada tahun
1952, dikeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No. 48/1952 tentang Pengaturan
Bantuan untuk Usaha Penyelenggaraan Kesehatan Buruh. Kemudian masih terkait jaminan sosial
ketenagakerjaan, berturut-turut dikeluarkan PMP No. 15/1957 tentang Pembentukan Yayasan
Sosial Buruh dan lalu PMP No. 5/1964 tentang Pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial.

Pada tahun 1956 pemerintahan Soekarno memulai program jaminan hari tua walaupun masih
sebatas untuk PNS, yaitu melalui UU No. 11/1956 tentang Pembelanjaan Pensiun. Kemudian
pada tahun 1963, dimulai program jaminan sosial yang lebih komprehensif walaupun juga masih
sebatas bagi PNS, yaitu melalui PP No. 9/1963 tentang Pembelanjaan Pegawai Negeri dan PP
No. 10/1963 tentang pembentukan Tabungan Asuransi dan Pegawai Negeri (PN TASPEN) yang
mana termasuk pula di dalamnya prajurit TNI, anggota POLRI, dan PNS Dephan dan POLRI
(belakangan pengelolaannya memisahkan diri menjadi ASABRI). Sementara itu, program
jaminan kesehatan yang dikenal dengan nama “Jakarta Pilot Project” dimulai pada tahun 1960.
Jakarta Pilot Project ini merupakan kelanjutan program jaminan sosial pada masa sebelum
Indonesia merdeka.

Perlindungan Sosial Era Soeharto

Pada era Soeharto, badan-badan penyelenggara jaminan sosial berkembang ke dalam bentuk
perseroan dan BUMN yang biasa digunakan untuk mencari keuntungan, seperti PT ASKES, PT
ASABRI, PT JAMSOSTEK, dan PT TASPEN.Untuk PT ASKES, perkembangan kelembagaan
PT ASKES dimulai sejak Menteri Kesehatan Prof. Dr. G.A. Siwabessy membentuk BPDPK
(Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan) pada tahun 1968 berdasarkan Keppres
No. 230/1968 tentang Pemeliharaan Kesehatan bagi Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun (PNS
dan ABRI). Pada tahun 1984, BPDPK diubah menjadi Perum Husada Bhakti berdasar PP No.
3/1984. Kemudian pada tahun 1991, kepesertaan Perum Husada Bhakti diperluas mencakup juga
veteran dan perintis kemerdeaan beserta keluarganya, serta peserta sukarela. Akhirnya, pada
tahun 1992, status kelembagaan Perum Husada Bhakti diubah menjadi PT ASKES (Persero).

Terkait PT ASABRI, PT ASABRI bermula dari pemisahan kepesertaan prajurit TNI, anggota
POLRI, dan PNS Dephan dan POLRI dari PN TASPEN karena beberapa alasan, seperti
perbedaan umur pensiun dan perbedaan resiko kerja. Pada tahun 1971, pemisahan itu dimulai
dengan pendirian Perum ASABRI berdasarkan PP No. 45/1971. Baru pada tahun 1991, Perum
ASABRI mengalami nasib yang sama seperti Perum Husada Bhakti yaitu mengalami alih status
kelembagaan menjadi PT ASABRI berdasar PP No. 68/1991.
Adapun PT TASPEN yang telah ada embrionya sejak tahun 1963 sebagai PN TASPEN,
mengalami perubahan status juga menjadi Perum TASPEN pada tahun 1970 berdasar Keputusan
Menteri Keuangan KEP.749/MK/V/II/1970. Dibandingkan PT ASABRI dan PT ASKES, Perum
TASPEN lebih awal beralih status menjadi PT TASPEN (Persero) yaitu pada tahun 1981
berdasar PP No. 26/1981 Hingga hari ini, PT TASPEN mengelola 2 program yaitu:

1. Dana Pensiun sebagai penghasilan yang diterima setiap bulan oleh penerima pensiun atau
oleh janda/duda/anaknya (sebelum berusia 25 tahun) jika meninggal pada masa aktif, dan
2. Tabungan Hari Tua yang terdiri dari asuransi dwiguna yang dikaitkan dengan usia
pensiun dan asuransi kematian.

Kepesertaan PT TASPEN adalah semua PNS, kecuali di Dephankam karena mereka mengikuti
program ASABRI bersama anggota TNI dan Polri sejak tahun 1971, serta pegawai lain termasuk
pegawai BUMN yang ditetapkan sebagai peserta. Adapun sumber pendanaan PT TASPEN
adalah dari iuran peserta yaitu 8% dari penghasilan tiap bulan tanpa tunjangan pangan, 4,75%
untuk pensiun dan 3,25% untuk THT, dan dari sumbangan pemerintah.

Sementara PT JAMSOSTEK berawal dari Program ASTEK (Asuransi Sosial Tenaga Kerja)
yang dibentuk kelembagaannya sebagai Perum ASTEK pada tahun 1977 berdasar PP No. 33 dan
34/1977. Melalui kebijakan ini, diwajibkan bagi setiap pemberi kerja baik swasta maupun
BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Baru pada tahun 1992, keluar UU No. 3/1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) dan akhirnya pada tahun 1995 Perum ASTEK juga
beralih status menjadi PT JAMSOSTEK berdasar PP No. 36/1995. Hingga hari ini sebelum
berfungsinya BPJS Ketenagakerjaan, PT JAMSOSTEK melayani 4 program jaminan sosial
yaitu:

1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK),


2. Jaminan Kematian (JKM),
3. Jaminan Hari Tua (JHT), dan
4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).

Tiga program pertama diselenggarakan dalam bentuk jaminan uang dan berlaku bagi individu
pekerja, sementara program keempat diselenggarakan dalam bentuk jaminan pelayanan dan
berlaku bagi individu pekerja beserta keluarganya.

Pada dasarnya, kepesertaan JAMSOSTEK adalah wajib bagi tiap perusahaan yang memenuhi
syarat, baik swasta ataupun BUMN. Perusahaan yang mempekerjakan 10 pekerja atau lebih, atau
memberi upah Rp1 juta atau lebih, wajib mengikutsertakan pekerjanya dalam JAMSOSTEK.
Namun kenyataannya, jumlah kepesertaan aktif JAMSOSTEK masih sangat minim
dibandingkan dengan jumlah Angkatan Kerja yang bekerja di Indonesia. Dengan kata lain,
secara kepesertaan, JAMSOSTEK belum berhasil mencakup angkatan kerja secara luas di
Indonesia. Data PT JAMSOSTEK/BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa hingga akhir
2013, Kepesertaan aktif JAMSOSTEK mencapai 12 juta orang.Padahal, menurut BPS, jumlah
Angkatan Kerja Indonesia di saat itu mencapai 118,19 juta, dengan 110,80 juta di antaranya
berstatus Bekerja. Dengan kata lain, setidaknya hingga 2013, kepesertaan aktif JAMSOSTEK
hanya mencapai lebih sedikit dari 10% Angkatan Kerja Indonesia yang berstatus Bekerja.
Adapun sumber pendanaan bagi jaminan sosial dalam JAMSOSTEK adalah iuran dari peserta
yang dibayarkan oleh pengusaha (JKK, JKM, dan JPK) dan dibayarkan bersama pengusaha dan
pekerja (JHT) Dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang JAMSOSTEK memang dinyatakan bahwa
program jaminan sosial tenaga kerja ini “dapat” dijalankan dengan mekanisme asuransi. Dalam
profil BPJS Ketenagakerjaan/JAMSOSTEK juga diakui bahwa mekanisme pendanaan dari
program jaminan sosial ini adalah “funded social security” atau didanai oleh peserta (dan bukan
oleh negara). Data BPJS Ketenagakerjaan/JAMSOSTEK menunjukkan bahwa justru jumlah total
iuran yang dibayarkan peserta aktif mencapai sekitar Rp2,3 triliun untuk JKK, Rp20,1 triliun
untuk JHT, dan Rp1,1 triliun untuk JKM, sementara total jaminan yang terklaim hanya mencapai
sekitar Rp677,3 miliar untuk JKK, Rp10,6 triliun untuk JHT, dan Rp430,8 miliar untuk JKM.
Dengan kata lain, PT JAMSOSTEK sebagai BUMN yang ditugaskan negara untuk mengelola
dana jaminan sosial ini selalu mendapatkan surplus dari iuran, dan keuangan negara tidak terlibat
dalam pemenuhan jaminan.

Perlindungan Sosial Era Pasca Reformasi

Pasca reformasi, rancangan program jaminan sosial dituangkan dalam Undang-Undang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No. 40 Tahun 2004. Kemudian, sebagai turunan dari Undang-
Undang SJSN, dibuatlah Undang-Undang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial No. 24 tahun
2011 yang menempatkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai badan khusus
yang mengelola dana jaminan sosial secara terintegrasi. BPJS Kesehatan sebagai badan resmi
perlindungan sosial di Indonesia pun mulai dijalankan semenjak 1 Januari 2014, sementara BPJS
Ketenagakerjaan akan berjalan mulai 1 Juli 2015. Implikasinya, berbagai badan yang
sebelumnya mengelola dana jaminan sosial seperti PT ASKES untuk PNS, PT TASPEN untuk
Pensiunan, PT ASABRI untuk anggota TNI dan POLRI, serta PT JAMSOSTEK untuk para
buruh, akan dilebur dan digabungkan ke dalam BPJS. Hanya saja, PT TASPEN dan PT ASABRI
masih dalam proses peralihan hingga tenggat waktu peleburannya, yaitu tahun 2029.

Menurut pemerintah, BPJS Kesehatan diujicobakan terlebih dahulu pada November dan
Desember 2013 di 6 provinsi yakni Aceh, Jakarta, Jawa Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, dan
Sumatera Barat. Tahap pertama ini mengcover 140 juta peserta BPJS yang meliputi kepesertaan
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sebanyak 86,4 juta jiwa, peserta Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda) sebanyak 11 juta jiwa, peserta ASKES sebanyak 16 juta jiwa,
peserta Jamsostek sebanyak 7 juta jiwa dan peserta dari TNI/Polri sebanyak 1,2 juta jiwa.

Saat ini, BPJS Kesehatan sudah berjalan lebih dari satu tahun. Terkait iuran, peserta BPJS
Kesehatan dibagi menjadi beberapa kategori dengan besaran iuran yang berbeda. Pertama,
peserta Penerima Bantun Iuran (PBI), yakni fakir miskin dan orang tidak mampu, iurannya
dibayarkan oleh pemerintah. Kedua, peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di lembaga
pemerintahan (PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara dan pegawai pemerintah non-
PNS), iurannya sebesar 5% dari upah per bulan, dimana 3%-nya dibayar oleh pemberi kerja dan
2%-nya dibayar oleh peserta. Ketiga, peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN,
BUMD dan perusahaan swasta, iurannya sebesar 4,5% dari upah per bulan, dimana 4% dibayar
oleh pemberi kerja, 0,5%-nya dibayar oleh peserta. Keluarga inti Pekerja Penerima Upah
(istri/suami dan 3 anak) sudah ditanggung sekalian sehingga tidak perlu membayar iuran sendiri.
Keempat, iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah (anak ke-4 dan seterusnya,
ayah, ibu dan mertua), iurannya 1% dari upah per bulan dan dibayar seluruhnya oleh Pekerja
Penerima Upah. Kelima, veteran, perintis kemerdekaan, dan janda, duda, atau anak yatim piatu
dari veteran atau perintis kemerdekaan, iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Keenam, selain
kelima kategori di atas, seperti kerabat lain pekerja penerima upah, pekerja bukan penerima upah
atau bukan pekerja, bisa memilih tiga jenis pelayanan dengan iuran yang berbeda, yaitu (1)
Rp25.500,- per bulan dengan manfaat pelayanan ruang perawatan Kelas III; (2) Rp42.500,- per
bulan dengan manfaat pelayanan ruang perawatan Kelas II; (3) Rp59.500,- per bulan dengan
manfaat pelayanan ruang perawatan Kelas I.

- Masalah-masalah BPJS

1. Banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang BPJS


2. Pelayanan BPJS yang belum baik
3. Anggaran BPJS terkadang menjadi permasalahan
4. Putusnya hubungan kerja BPJS dengan banyaknya rumah sakit swasta

Anda mungkin juga menyukai