Anda di halaman 1dari 26

1

Skenario 2

Diare dan Perut Membuncit

Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa ibunya berobat ke


Puskesmas karena diare sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan disertai sakit perut,
mual dan muntah, perut yang buncit namun badannya semakin kurus, tidak nafsu
makan, sering demam hilang timbul dan batuk kering sejak 1 bulan terakhir.
Keluarga pasien tinggal di daerah yang padat, kumuh dan tidak mempunyai
jamban keluarga. Anak sering bermain di halaman tanpa memakai alas kaki dan
tidak mencuci tangan sebelum makan. Dokter melakukan pemeriksaan fisik dan
penunjang untuk mendiagnosis pasien tersebut. Hasil pemeriksan feses didapatkan
(lihat gambar dibawah). Dokter memberikan penatalaksaan yang sesuai dengan
penyebabnya.

STEP 1

1. Diare : Perubahan konsistensi tinja dan meningkatnya defekasi.

STEP 2

1. Bagaimana pasien tersebut dapat mengalami manifestasi pada kasus


tersebut?
2

2. Apa saja faktor resiko yang menyebabkan manifestasi pada kasus


tersebut?
3. Apa saja pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dalam
pemeriksaan tersebut?
4. Bagaimana diagnosis banding pada kasus tersebut?
5. Apa saja penatalaksanaan yang diberikan?

STEP 3

1. Terjadi manifestasi klinis tersebut karena :


a) Batuk : adanya parasit  masuk laring  refleks batuk.
b) Absorpsi cairan terhambat  diare.
c) Demam  eosinofil.
d) Parasit mengumpul  peregangan usus halus  nyeri.
e) Parasit di usus  mediator inflamasi.
f) Inflamasi  merusak sel epitel usus diare.
g) Penumpukkan parasit perut buncit.
h) Tidak nafsu makan  lumen tertutup.
i) Ada asam sawar epitel rusak  merangsang reseptor di korteks
serebri  mual.
j) Perut terasa penuh  tidak nafsu makan.
k) Infeksi  mediator bradikinin  ujung saraf  reseptor nyeri 
nyeri perut.
2. Faktor Risiko
a) Higiene perorang buruk.
b) Imunitas menurun.
c) Sanitasi buruk.
d) Riwayat di daerah tropis.
e) Konsumsi makanan terkontaminasi.
f) Lingkungan mudah menular dan kumuh.
g) Tanah yang lembab  mudah berkembang cacing.
3

3. Penegakan Diagnosis
Anamnesis
a) Diare  tidak dehidrasi : mata normal.
b) Dehidrasi ringan-sedang : mata cekung, ingin minum, turgor kembali
lambat.
c) Dehidrasi berat: mata cekung, malas minum, turgor kembali sangat
lambat.
Pemeriksaan fisik:
a) tes turgor di perut.
b) infeksi: buncit.
c) auskultasi: bising usus meningkat
d) perkusi: hipertimpani.
e) palpasi: nyeri tekan, massa.
Pemeriksaan penunjang
a) pemeriksaan darah rutin.
b) pemeriksaan feses.
c) ELISA.

Akut : mendadak beberapa hari kurang dari 1 minggu.

Persisten : lebih dari 14 hari karena agen infeksius.

Infektif : diare, demam.

Non infektif : diare, bisa demam atau tidak.

Tanda utama dehidrasi : gelisah, turgor kulit menurun.

4. Diagnosis banding
a) Trichuriasis.
b) Necatoriasis.
c) Enterobiasis.
d) Ancilostomiasis.
4

e) Disentri basiler.
f) Disentri amoeba.
g) Giardiasis.
5. Penatalaksanaan yang diberikan :
Etiologi : piperazin, pirantel pamoat, levamisol, albendazol, mebendazol.

Simptom : oralit, zinc 10 hari, nutrisi, antibiotik selektif, edukasi.

STEP 4

1. Terjadi manifestasi klinis tersebut karena sebagai berikut :


a) Usus halus  keluar tinja dan telur termakan  dodenum  sistem
porta hepar  migrasi ke bronkus trakea  batuk  larva
tertelan kembali  jejenum  memakan sari-sari makanan
kekurangan vitamin, protein nutrisi kurang  berat badan menurun.
b) Di usus halus  meningkat eosinofil  inflamasi  IL-6 dan TNF
alfa.
c) Nyeri  cacing mengumpul : lumen usus teregang dan nutrisi diambil
cacing.
d) Kompensasi protein : albumin hipoalbumin  bengkak, buncit.
e) Cacing menutupi lumen usus  konstipasi.
f) Enterotoksin  cAMP  cairan bakal terus dikeluarkan 
konsistensi feses cair.
2. Faktor Risiko
a) Karena tidak ada jamban.
b) Anak kecil  higiene buruk seperti makan tidak cuci tangan.
c) Pengairan  sawah  menular ke petani.
5

3. Penegakan Diagnosis
a) Cacing Ascaris panjang 30 cm.
b) Telur Ascaris lumbriocoides berbentuk bulat atau oval, ukuran 60 x 45
mikron, warna kecoklatan.
4. Diagnosis banding
a) Glardiasis.
Etiologi : parasit Glardia.
Gejala : diare, perut kembung, feses berminyak, mual, muntah,
dehidrasi.
b) Disentri basiler.
Gejala : demam, tenismus, feses bau busuk, darah atau lendir.
c) Disentri amoeba.
Gejala : mual, muntah, anoreksia, berat badan menurun, feses bau
busuk, dispepsia, feses banyak.
d) Tricuriasis.
Etiologi : Trichuris trichiura.
Gejala : menurun berat badan, diare, ileus.
e) Ancylotomiasis dan necatoriasis
Stadium larva : Ground Ich dermatitis.
Dewasa : anemia.
f) Enterobiasis.
Gejala: pruritus ani malam hari.
5. Penatalaksanaan yang diberikan :
a) Diare dengan tidak dehidrasi : Lebih dari 1 tahun 100-200 ml setiap
BAB (oralit).
b) Diare ringan-sedang : oralit dan zink 10 hari.
c) Diare berat : RL atau NaCl 0,9% 100 mg/kg/bb.
d) Antibiotik selektif.
e) Obat diare: levoramin untuk dewasa.
6

MIND MAP Etiologi

Infeksi Cacing
Penatalaksanaan

Faktor resiko

Diagnosis
Non Banding
Farmakologi Preventif
farmakologi Patofisiologi

-Ascariasis
Penegakkan
-Tricuriasis Diagnosis
Simptom
STEP 5 Etiologi
-Ankilostomiasis

-Necatoriasis

-Giardiasis

-Disentri basiler

-Disentri amoeba

STEP 5

1. Penatalaksanaan preventif dan farmakologi dari DD pada anak?


2. Lengkapi Ankelostomiasis, Necatoriasis, Enterobiasis, Trichuriasis?
3. Faktor resiko dijelaskan secara detail?

STEP 6

Belajar mandiri.
7

STEP 7

1. Cacing Tambang (Ankilostomiasis dan Necatoriasis)


a) Etiologi
Disebabkan oleh Ancylostoma duodenale dan Necator americanus.
Infeksi cacing tambang masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia,
karena menyebabkan anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia.(1)
b) Faktor resiko
1) Tanah
Tanah adalah faktor utama yang mendukung penularan
infeksi STHs, terutama tanah yang terkontaminasi dengan feses
yang mengandung telur cacing. Perubahan telur cacing tambang
menjadi larva Necator americanus terjadi pada tanah gembur
seperti pasir atau humus dan memerlukan suhu optimum 28ºC-
32ºC.Sementara Ancylostoma duodenale memerlukan suhu yang
lebih rendah yaitu 23ºC-25ºC dan pada umumnya lebih kuat
bertahan dibandingkan larva Necator americanus. (1)
2) Iklim
Cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale), pertumbuhannya didominasi di daerah yang panas dan
lembab. Daerah yang cocok sebagai habitat ketiga jenis cacing
STHs adalah daerah yang memiliki suhu dan kelembaban yang
tinggi, biasanya di daerah pertanian, perkebunan dan
pertambangan. (1)
3) Perilaku
Perilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacing yang
ditularkan melalui tanah, terutama pada pekerja yang malas
mencuci tangan dengan bersih setelah kontak dengan tanah. Faktor
kebersihan diri juga mempengaruhi penularan infeksi cacing. (1)
8

4) Penggunaan alat pelindung diri (APD)


Alat pelindung diri (APD) adalah seperangkat alat
keselamatan yang digunakan oleh pekerja untuk melindungi
seluruh atau sebagian tubuhnya dari kemungkinan adanya
pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap kecelakaan
dan penyakit akibat kerja .Setiap tempat kerja memiliki potensi
bahaya yang berbeda tergantung dari jenis, bahan baku dan proses
produksinya.
Pemilihan APD yang tepat pada sebuah industri sangat
bermanfaat dalam pencegahan penyakit akibat kerja maupun akibat
hubungan kerja. Dalam industry pertambangan, alat pelindung diri
yang digunakan juga bervariasi tergantung inventarisasi potensi
bahaya di lingkungan kerja.Pada umumnya alat pelindung diri
yang digunakan di industry pertambangan berupa
topipelindungatau helm untuk melindungi kepala dari bahaya
tertimpa benda jatuh, kacamata sebagai pelindung mata,
pelindungtelinga (jika bekerja dalam keadaan bising), masker, baju
pelindung, sarung tangan dan sepatu. Untuk menghindari potensi
hazard biologi di industri kerajinan tradisional seperti kerajinan
gerabah, keramik, batubata dan genteng, APD yang penting
digunakan yaitu sarung tangan karet dan sepatu boot untuk
menghindari infeksi cacing akibat proses pengolahan bahan baku
berupa tanah. Tanah merupakan media penularan larva cacing yang
dapat menembus kulit. (1)
5) Umur
Seseorang dengan umur lebih tua akan lebih rentan terkena
infeksi dibandingkan yang lebih muda. Proporsi kecacingan pada
pekerja dengan kelompok umur>40 tahun adalah 61,1%,
sedangkan pada pekerja dengan kelompokumur 30-40 tahun adalah
53,8% dan kelompok umur<30 tahunhanyaberkisar 25%. Hal ini
9

disebabkan karena metabolism dan daya tahan tubuh orang yang


sudah lanjut usia mengalami penurunan sehingga derajat infeksi
akan menjadi lebih berat. (1)
6) Jenis kelamin
Pada umumnya pekerja di industry genteng lebih banyak
laki-laki dibanding perempuan, karena pekerjaan ini memerlukan
tenaga lebih terutama dalam pengolahan tanah sehingga pekerja
laki-laki menjadi lebih dominan dalam industry ini.Pekerja wanita
lebih banyak berperan dalam mengeringkan, menjemur serta
membakar genteng.Sedangkan pekerja laki-laki lebih banyak
melakukan tugas berat seperti mengolah tanah, proses menginjak
tanah, membentuk tanah menjadi balok-balok yang siap untuk
dicetak. Hal ini mengakibatkan kesempatan terpajan (chance of
exposure) yang lebih besar pada laki-laki sehingga angka
prevalensinya menjadi lebih tinggi dibandingkan perempuan. (1)
7) Duduk di tanah
Kebiasaan aktivitas dimana kulit berhubungan langsung
dengan tanah seperti duduk, memegang tanah, dan berjalan tanpa
pelindung juga berisiko untuk menyebabkan infeksi. Kejadian
infeksi banyak terjadi terutama pada anak-anak bermain dan
kebiasaan higienis harus diawasi untuk mencegah buang air di
halaman, konsumsi tanah yang terkontaminasi dan menempatkan
tangan kotor di mulut. (1)
10

c) Patofisiologi
Cacing tambang memiliki alat pengait seperti gunting yang
membantu melekatkan dirinya pada mukosa dan submukosa jaringan
intestinal.Setelah terjadi pelekatan, otot esofagus cacing menyebabkan
tekanan negatif yang menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam
kapsul bukal cacing.Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan arteriol
yang menyebabkan perdarahan. Pelepasan enzim hidrolitik oleh cacing
tambang akan memperberat kerusakan pembuluh darah. Hal itu ditambah
lagi dengan sekresi berbagai anti koagulan termasuk diantaranya inhibitor
faktor VIIa (tissue inhibitory factor). Cacing ini kemudian mencerna
sebagian darah yang dihisapnya dengan bantuan enzim hemoglobinase,
sedangkan sebagian lagi dari darah tersebut akan keluar melalui saluran
cerna.
Masa inkubasi mulai dari bentuk dewasa pada usus sampai dengan
timbulnya gejala klinis seperti nyeri perut, berkisar antara 1-3 bulan.
Untuk meyebabkan anemia diperlukan kurang lebih 500 cacing dewasa.
Pada infeksi yang berat dapat terjadi kehilangan darah sampai 200 ml/hari,
meskipun pada umumnya didapatkan perdarahan intestinal kronik yang
terjadi perlahan lahan. Terjadinya anemia defisiensi besi pada infeksi
cacing tambang tergantung pada status besi tubuh dan gizi pejamu,
beratnya infeksi (jumlah cacing dalam usus penderita), serta spesies cacing
tambang dalam usus. Infeksi Ancylostoma duodenale menyebabkan
perdarahan yang lebih banyak dibandingkan Necator americanus. (1)
d) Manifestasi Klinis
Gejala klinis Nekatoriasis dan Ankilostomiasis ditimbulkan oleh
adanya larva maupun cacing dewasa. Apabila larva menembus kulit dalam
jumlah banyak, akan menimbulkan rasa gatal-gatal dan kemungkinan
terjadi infeksi sekunder. Gejala klinik yang disebabkan oleh cacing
tambang dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, gangguan gizi dan
gangguan darah. (2)
11

e) Penatalaksanaan
1) Albendazol Dosis tunggal 400mg
2) Mebendazol Dosis 100mg, 2 kali/hari selama 3 hari
3) Tetraklororetilen 0,1ml/kgBB( Maksimal 5 ml ). Dapat diulang 2
minggu kemudian diberikan pada perut kosong disertai 30g
MgSO4
4) Bafanium hidroksinaftat 5g, 2 kali/hari dapat diulang bila perlu
5) Pirantel Dosis tunggal 10mg/kgBB/hari. (2)

Strongylidiasis

a) Etiologi

Strongyioidiasis disebabkan oleh Strangloides stercoralis. Stiles


dan Hassal, 1902 dengan nama lain Strongyloides intestinalis, Anguilulla
intestinalis, Anguillula stercoralis.(3)

b) Siklus Hidup.

Dalam siklus hidupnya ada 2 macam kehidupan cacing, yaitu hidup


bebas di tanah dan hidup sebagai parasit. Cacing betina terdapat di dalam
mukosa duodenum dan bagian proksimal jejunum. Jarang ditemukan pada
bagian distal pylorus, ductus biliaris communis, kandung empedu dan
paru-paru. Manusia merupakan tuan rumah definitif, juga ditemukan pada
anjing dan kucing (sebagai hospes reservoir). (3)

Cacing dewasa yang hidup bebas terdiri atas: cacing betina yang
memiliki ukuran 1 mm x 50 m, mempunyai esofagus berbentuk lonjong,
bulbus oesofagus di bagian posterior, ekor lurus meruncing, vulva terletak
dekat pertengahan tubuh yang merupakan muara dari uterus bagian
posterior. Cacing jantan, berukuran 700x45m. ekor melengkung ke depan
memiliki dua buah spikula kecil kecoklatan, esofagus lonjong dilengkapi
12

bulbus esofagus. Cacing dewasa sebagai parasit terdiri atas cacing betina
memiliki ukuran 2,2 mm x 50 m, esofagus silindris terletak pada 1/3
panjang tubuh. vulva pada batas 1/3 bagian posterior dan 1/3 bagian
tengah tubuh. Cacing jantan, tidak pernah ditemukan. Diduga setelah masa
perkawinan. cacing jantan tetap bertahan di dalam trachea. (3)

Telur hanya didapatkan di dalam tinja dengan diare berat atau


setelah pemberian pencahar. Mirip telur cacing tambang, bentuk lonjong,
memiliki ukuran (50-60) x (30-35) m. dinding tipis, di dalamnya
mengandung embrio. Larva seperti pada cacing tambang juga terdapat dua
bentuk, yaitu larva Rhabditiform, berukuran (200-300) x (14-16) m,
memiliki esofagus dan bulbus esofagus yang mengisi 1/4 anterior tubuh.
Larva Rhabditiform ini yang biasa ditemukan bersama tinja. Larva
Filariform merupakan stadium infektif, lebih panjang dan lebih langsing
dari pada larva rhabditiform, berukuran (350-450) x (30-35) m, dengan
esofagus panjangnya mencapai 1/2 bagian anterior tubuh tetapi tidak
memiliki bulbus esofagus. (3)

Pembuahan cacing betina oleh cacing jantan terjadi di dalam


bronchus atau trachea, tetapi ada juga yang mengatakan Strongyloides
stercoralis betina bersifat partenogenesis, yaitu reproduksi dengan cara
perkembangan telur yang tidak dibuahi. Cacing betina yang telah dibuahi
menembus mukosa usus, menempati kelenjar Lieberkuhn. Di dalam
kelenjar, cacing bertelur, diikuti menetasnya telur dan keluarnya larva
rhabditiform yang akan mengadakan penetrasi dan masuk ke dalam lumen
usus untuk keluar bersama tinja. (3)

Perkembangan selanjutnya, ditemukan tiga macam siklus hidup,


yaitu (1) Siklus langsung, (2) Siklus tidak langsung (siklus bebas), (3)
Hiperinfeksi dan autoinfeksi. Pada siklus langsung sama seperti siklus
hidup cacing tambang, sesudah 2-3 hari larva yang berada di dalam tanah,
13

berubah menjadi larva filariform yang infektif. Jika larva menyentuh kulit
manusia, menembus kulit tersebut, masuk ke dalam kapiler darah dan
terbawa aliran darah. Perjalanan selanjutnya sama dengan perjalanan
cacing tambang, yang akhirnya tertelan sampai ke usus halus. Waktu yang
dibutuhkan sejak larva filariform menembus kulit hospes sampai
didapatkan larva rhabditiform di dalam tinja kurang lebih 2-3 minggu. (3)

Pada siklus tidak langsung/siklus bebas, larva rhabditiform yang


keluar bersama tinja, di tanah berubah menjadi cacing dewasa jantan dan
betina. Setelah mengadakan kopulasi, cacing betina bertelur, diikuti
menetasnya telur tersebut dengan mengeluarkan larva rhabditiform,
selanjutnya akan terjadi salah satu m perkembangan di bawah ini.
Sebagian akan mengulang siklus bebas cacing jantan dan betina seperti di
atas. Sebagian lagi, larva rhabditiform berubah menjadi larva filariform.
larva ini menembus kulit hospes, masuk ke dalam siklus langsung.

Hiperinfekai dan autoinfeksi. larva rhabditifurm yang berada di


dalam lumen usus, menuju anus. berubah menjadi larva filariform yang
akan dapat masuk kembali ke dalam tubuh hospes setelah menembus
mukosa colon. Hiperinfeksi atau autoinfeksi internal terjadi jika larva
filariform menembus mukosa colon sebelum sampai di anus, sedangkan
autoinfeksi atau autoinfeksi eksternal terjadi jika larva filariform melewati
anus dan menembus kulit perianal. Baik hiperinfeksi maupun autoinfeksi,
keduanya akan sampai pada kapiler darah, kemudian masuk siklus
langsung sehingga infeksi cacing ini dapat berlangsung terus menerus
seumur hidupnya hospes. (3)

c) Patologi dan Klinik

Penyakitnya disebut strongyloidiasis, diare Cochin China. Pada


infeksi ringan biasanya tidak ditemukan gejala sehingga tidak diketahui
hospes. sedangkan pada infeksi sedang. Cacing dewasa betina yang
14

bersarang di dalam mukosa duodenum, menyebabkan perasaan terbakar.


menusuk-nusuk di daerah epigastrium. Disertai rasa mual, muntah. diare
bergantian dengan konstipasi. Akhirnya pada infeksi berat dan kronis.
mengakibatkan berat badan menurun, anemi, disentri menahun. Serta
demam ringan yang disebabkan infeksi bakteri sekunder ke dalam lesi
usus. Infeksi berat yang disertai infeksi sekunder dapat menyebabkan
kematian, disebabkan cacing betina bersarang pada hampir seiuruh epitel
usus. Meliputi daerah lambung sampai kedaerah colon bagian distal. (3)

d) Diagnosis

Ditegakkan dengan menemukan larva rhabditiform di dalam tinja


segar atau pada cairan duodenum. Telur dapat ditemukan di dalam tinja
setelah pemberian pencahar atau setelah diare berat (pada infeksi berat). (3)

e) Pengobatan

Dapat dipilih salah satu obat berikut ini. Thiabendazole merupakan


obat pilihan (drug of choice) dengan dosis 25 mg/kg berat badan diberikan
2 kali sehari selama 3 hari berturut-turut. Mebendazole dengan dosis dan
cara pengobatan sama dengan pengobatan pada Trichuriasis. Pyrvinium
pamoate dengan dosis 3x50 mg/kgBB perhari, diberikan selama 7 hari
berturut-turut. (3)

Trichuriaris

a) Etiologi

Trichuris trichiura pertama sekali ditemukan oleh Linnaeus


(1771). Siklus hidup Trichuris trichiura pertama sekali dipelajari oleh
Grassi (1887), selanjutnya oleh Fulleleborn (1923) dan Hasegawa (1924)
(dikutip dari Eisenberg, 1983). (1)
15

Trichuris trichiura berbentuk mirip cambuk, sehingga disebut


sebagai cacing cambuk. Bagian anteriornya yang merupakan 3/5 bagian
tubuhnya, halus mirip benang. Sedangkan 2/5 bagian tubuhnya merupakan
bagian posterior yang tampak lebih tebal. Bagian kaudal cacing jantan
0
melengkung ke ventral 360 dan dilengkapi dengan spikulum. Bagian
kaudal cacing betina membulat dan tumpul mirip koma. Panjang cacing
betina 35- 50 mm dan panjang cacing jantan 30-45 mm. Telur berbentuk
mirip buah lemon dan berukuran 50 μm x 22 μm, berkulit tebal dan licin
terdiri atas dua lapis dan berwarna trengguli-coklat.
Pada masing-masing kutubnya dilengkapi tutup (plug) transparan
yang menonjol Telur berisi massa granula yang seragam, berwarna
kuning. Di tanah telur dapat berkembang setelah 10-14 hari menjadi telur
berembrio (berisi larva) yang bersifat infektif. Telur Trichuris trichiura
harus dibedakan dari telur Capillaria hepatica yang berbentuk lonjong
seperti telur Trichuris trichiura. Telur Capillaria hepatica berukuran 51-
67 x 30-35 μm dan kedua kutubnya terdapat plug tetapi tidak menonjol
dan kulit telur bergaris radier.
Cacing dewasa jarang ditemukan di dalam tinja karena melekat
pada dinding usus besar. Bagian kepala cacing ini terbenam dalam mukosa
dinding usus sedangkan ujung posteriornya lebih tebal dan terletak bebas
di lumen usus besar.(1)
16

Gambar 1.1 Parasitologi (Cacing dewasa).(1)

Gambar 1.2 Parasitologi (Telur). (1)


17

b) Siklus Hidup
Manusia mendapatkan infeksi Trichuris trichiura karena tertelan
telur cacing infektif yang mengkontaminasi makanan. Telur-telur menetas
di usus halus, larva akan keluar, berkembang di mukosa usus kecil dan
menjadi dewasa di sekum, akhirnya melekat pada mukosa usus besar.
Cacing betina menjadi dewasa dalam tiga bulan dan akan mulai bertelur
dalam 60-70 hari setelah menginfeksi manusia dan dapat hidup selama 5
tahun lebih serta menghasilkan 10.000 telur setiap hari. Telur dikeluarkan
dalam stadium belum membelah dan membutuhkan 10-14 hari untuk
menjadi matang pada tanah yang lembab. (2)

Gambar 1.3 Siklus Hidup Trichiuris Trichiura.(1)


18

c) Penegakan Diagnosis
Diagnosis berdasarkan identifikasi dan ditemukan telur cacing
Trichuris trichiura dalam tinja. Pemeriksaan yang direkomendasikan
adalah pemeriksaan sampel tinja dengan teknik hapusan tebal cara Kato-
Katz.2Metode ini dapat mengukur intensitas infeksi secara tidak langsung
dengan menunjukkan jumlah telur per gram tinja. Dengan metode Kato-
Katz, penghitungan egg per gram (Epg) didapat dengan mengalikan
jumlah telur yang dihitung dengan faktor multiplikasi. Faktor ini bervariasi
bergantung dari berat tinja yang digunakan. WHO merekomendasikan
hapusan yang menampung 41,7 mg tinja , di mana dengan faktor
multiplikasinya 24. (1)
WHO menetapkan derajat intensitas infeksi sebagai berikut: (1)
a. Derajat ringan : 1 – 999 Epg
b. Derajat sedang : 1.000 – 9.999 Epg
c. Derajat berat : > 10.000 Epg

Enterobiasis

a) Etiologi
Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis adalah cacing
kecil ( 1 cm ) berwarna putih. Dalam sekali bereproduksi cacing dapat
menghasilkan 11.000 butir telur. Setelah mengalami proses pematangan,
larva dapat bertahan hidup dalam telur sampai 20 hari.(5)

b) Faktor resiko
1. Faktor iklim, enterobiasis lebih umum di daerah dingin pada
daerah tropis insiden lebih sedikit karena cukupnya sinar matahri
dan udara panas. Telur menjadi rusak karena terkenan sinar
matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Telur cacing kremi bertahan
pada lingkungandi daerah rumah sekitar 2-3 minggu.
19

2. Kelompok umur, cacingan pada umumnya menyerang pada anak-


anak karena daya tahan tubuhnya masih rendah. Prevalensi
terbanyak cacingan adalah anak-anak berupa diatas 2 tahun (usia
sekolah).
3. Kepadatan penduduk, daerah pemukiman yang padat penduduk
akan memudahkan terjadinya penularan penyait enterobiasis
melalui debu.
4. Kondisi ekonomi sosial, cacingan banyak terpadat pada daerah
miskin, sosial ekonomi rendah. (5)

c) Daur hidup dan epidemiologi


Cacing Enterobius vermicularis dewasa memiliki panjang
sekitar 1 cm dan berdiam di sekum. Cacing betina hamil bermigrasi
pada malam hari ke daerah perianus dan mengeluarkan hingga 10.000
telur imatur setiap kali. Telur menjadi infektif dalam beberapa jam dan
ditularkan melalui tangan ke mulut. Dari telur yang tertelan, larva
menetas dan berkembang menjadi cacing deawasa. Daur hidup ini
memerlukan waktu sekitar 1 bulan, dan cacing deawsa dapat berthan
hidup sekitar 2 bulan. Auto infeksi terjadi akibat pasien menggaruk
daerah perianus dan memindahkan telur infektif di tangan atau di
bawah kuku ke mulut. Karena mudahnya penyebaran dari orang ke
orang maka infeksi cacing kremi sering di jumpai dalam satu
keluarga.(5)

d) Patofisiologi
Cacing Enterobius vermicularis menyebabkan infeksi cacing
kremi yang disebut juga enterobiasis atau oksiuriasis. Infeksi biasanya
terjadi melalui 2 tahap. Pertama, telur cacing pindah dari daerah sekitar
anus penderita ke pakaian, seprei atau mainan. Kemudian melalui jari-
jari tangan, telur cacing pindah ke mulut anak yang lainnya dan
20

akhirnya tertelan. Telur cacing juga dapat terhirup dari udara kemudian
tertelan. Setelah telur cacing tertelan, lalu larvanya menetas di dalam
usus kecil dan tumbuh menjadi cacing dewasa di dalam usus besar
(proses pematangan ini memakan waktu 2-6 minggu). Cacing dewasa
betina bergerak ke daerah di sekitar anus (biasanya pada malam hari)
untuk menyimpan telurnya di dalam lipatan kulit anus penderita. Telur
tersimpan dalam suatu bahan yang lengket. Bahan ini dan gerakan dari
cacing betina inilah yang menyebabkan gatal-gatal. Telur dapat
bertahan hidup diluar tubuh manusia selama 3 minggu pada suhu
ruangan yang normal. Tetapi telur bisa menetas lebih cepat dan cacing
muda dapat masuk kembali ke dalam rektum dan usus bagian bawah.
Dalam siklus hidupnya di dalam tubuh manusia, cacing kremi
selalu berpindah-pindah. Sejak berbentuk telur hingga menetas, cacing
ini tinggal di usus 12 jari kemudian setelah berubah menjadi larva akan
berpindah ke usus tengah yang merupakan bagian atas sistem
penyerapan nutrisi. Setelah dewasa, cacing ini akan bermigrasi ke
bagian anus kemudian bergerombol dan menyebabkan rasa gatal di
bagian tersebut. Sebagian di antaranya juga akan keluar bersama feses
atau tinja dan umumnya bisa diamati dengan mata telanjang, berupa
cacing putih yang bergerak-gerak.
Dalam pengembaraannya menuju anus inilah, cacing dewasa
sering tersesat lalu bersarang di bagian-bagian yang tidak seharusnya
kemudian bersarang di sana untuk bertelur. Salah satunya adalah
vagina, yang sering menjadi tempat bersarang cacing kremi dewasa
khususnya yang betina. Di vagina, cacing kremi bisa menyebabkan
gatal atau bahkan radang yang pada tingkat keparahan tertentu bisa
disertai koreng. Infeksinya bahkan bisa lebih jauh lagi, cacing-cacing
itu kadang menyebar hingga saluran telur sehingga bisa mengganggu
sistem reproduksi. Daur hidup cacing ini bekisar antara 2 minggu
sampai 2 bulan. Cacing dewasa dari usus halus pergi ke usus besar
21

kemudian ke anus karena telur telur cacing itu hanya menetas kalau
ada oksigen, sehingga diberi nama Oxyuris OK. Di malam hari cacing
kremi yang mendekam di usus penderita, biasanya turun ke kawasan
dubur untuk bertelur.
Penyebaran cacing kremi lebih luas dari cacing lain. Penularan
dapat terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup
dalam satu lingkungan yang sama seperti asrama, rumah piatu. Telur
cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau kafetaria
sekolah dan mungkin ini menjadi sumber infeksi bagi anak-anak
sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga
yang mengandung cacing kremi, telur cacing dapat ditemuka. (92%) di
lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus (toilet seats), bak mandi,
alas kasur, pakaian. Hasil penelitian menunjukkan angka prevalensi
pada berbagai golongan manusia 3-80%. Penelitian di daerah Jakarta
Timur melaporkan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita
entrobiasis adalah kelompok usia antara 5-9 tahun yaitu terdapat 46
anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa. (5)
e) Gambaran klinis

Sebagian besar infeksi cacing kremi tidak menimbulkan gejala.


Gatal perianus merupakan gejala utama. gatal yang palig sering adalah
pada malam hari akibatmigrasi nokturnal cacing betina dewasa, dapat
menyebabkan ekskoriasi dan superinfeksi bakteri. Infeksi berat
dipalorkan dapat meyebabkan nyeri abdomen dan penurunan berat
badan. Meskipun jarang, cacing kremi dapat menginvasi saluran
genitalia wanita, menimbulkan vulvovaginitis dan granuloma panggul
atau peritoneum, eosinofil jarang dijumpai. (5)

f) Penegakan diagnosis
Karena telur cacing kremi tidak dibebaskan ke tinja, diagnosis
tidak dapat ditegakan berdasarkan pemeriksaan telur atau parasit
22

konvensional. Telur didefekasi dengan aplikasi plester selulosa asetat


jernih ke daerah perianus pada pagi hari. Setelah plester dipindahkan
ke kaca objek kemudian dilakukan pemeriksaan mikrokopik untuk
mendeteksi telur cacing kremi, yang berbentuk oval, berukuran 55 x 25
mikron, dan menggepeng di satu sisi. (5)

2. Penatalaksanaan Preventif dan Pengobatan farmako pada anak


Penatalaksanaan Preventif :

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK


INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG
PENANGGULANGAN CACINGAN

BAB II

PROGRAM PENANGGULANGAN CACINGAN


Pasal 3
(1) Pemerintah Pusat menetapkan target program Penanggulangan
Cacingan berupa reduksi Cacingan pada tahun 2019.
(2) Indikator dalam pencapaian target program Penanggulangan Cacingan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penurunan prevalensi
Cacingan sampai dengan di bawah 10% (sepuluh persen) di setiap daerah
kabupaten/kota.
(3) Untuk mewujudkan target program Penanggulangan Cacingan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
a. penyusunan strategi;
b. intensifikasi kegiatan Penanggulangan Cacingan; dan
c. koordinasi dan integrasi dengan lintas program dan lintas sektor.
23

Pasal 4
Strategi dalam mewujudkan target program Penanggulangan Cacingan
meliputi:
a. meningkatkan komitmen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
untuk menjadikan program Penanggulangan Cacingan sebagai program
prioritas;
b. meningkatkan koordinasi lintas program, lintas sektor, dan peran serta
masyarakat dengan mendorong kemitraan baik dengan kelompok usaha
maupun lembaga swadaya masyarakat;
c. mengintegrasikan kegiatan Penanggulangan Cacingan dengan kegiatan
POPM Filariasis, penjaringan anak sekolah, usaha kesehatan sekolah, dan
pemberian vitamin A di posyandu dan pendidikan anak usia dini serta
menggunakan pendekatan keluarga;
d. mendorong program Penanggulangan Cacingan masuk dalam rencana
perbaikan kualitas air serta berkoordinasi dengan kementerian yang
bertanggung jawab dalam penyediaan sarana air bersih;
e. melakukan sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat di pendidikan
anak usia dini dan sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah; dan
f. melakukan pembinaan dan evaluasi dalam pelaksanaan Penanggulangan
Cacingan di daerah.
Pasal 5
(1) Untuk mendukung tercapainya target Penanggulangan Cacingan
diperlukan dukungan dan komitmen berbagai program dan sektor.
(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk kegiatan yang dapat dikoordinasikan dan diintegrasikan.
Pasal 6
Ketentuan mengenai Program Penanggulangan Cacingan lebih lanjut
diatur dalam Pedoman Penanggulangan Cacingan tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
24

BAB III
KEGIATAN PENANGGULANGAN CACINGAN
Pasal 7
Dalam penyelenggaraan Penanggulangan Cacingan dilaksanakan
kegiatan:
a. Promosi kesehatan;
b. Surveilans Cacingan;
c. pengendalian faktor risiko;
d. penanganan Penderita; dan
e. POPM Cacingan.
Pasal 8
(1) Kegiatan promosi kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf a dilaksanakan dengan strategi advokasi, pemberdayaan masyarakat,
dan kemitraan, yang ditujukan untuk:
a. meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang tanda dan gejala
Cacingan serta cara penularan dan pencegahannya;
b. meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat guna memelihara
kesehatan dengan cara:
1.cuci tangan pakai sabun;
2.menggunakan air bersih untuk keperluan rumah
tangga;
3.menjaga kebersihan dan keamanan makanan;
4.menggunakan jamban sehat; dan
5.mengupayakan kondisi lingkungan yang sehat;
c. meningkatkan perilaku mengkonsumsi obat cacing secara rutin terutama
bagi anak balita dan anak usia sekolah; dan
d. meningkatkan koordinasi institusi dan lembaga serta sumber daya untuk
terselenggaranya reduksi Cacingan.(4)
25

Penatalaksanaan Farmako
1. Trichuris trichiura

Terapi pilihan adalah albendazol 400 mg atau mebendazol 500 mg


dosis tunggal. Alternatif yang sama efektifnya adalah kombinasi
albendazol 400 mg dan ivermectin 200 ug/kg. Pengendalian infeksi cacing
ini adalah dengan menghindari kontak dengan tanah yang terkontaminasi
dan kemoterapi masal secara periodik. (2)

2. Enterobius vermicularis

Obat pilihan adalah albendazol 400mg dosis tunggal. dapat pula di


berikan mebendazol 100 mg atau pirantel pamoat 10 mg/kg berat badan
dosis tunggal. Terapi dapat diulang setiap 6 minggu sampai lingkungan
bersih dan semua anggota keluarga sebaiknya diterapi untuk mencegah
reinfeksi. (2)

3. Ancylostomiasis

Penatalaksanaan ditujukan untuk ellminasl parasit dan mengatasi


anemia. Albendazol 400 mg dosis tunggal menghasilkan kesembuhan 80%
dan dosis 200 mg/hari selama 3 hari memberi kesembuhan 100%.
Alternatif lain adalah mebendazol 500 mg dosis tunggal pirantel pamoat
10 mg/kg selama 3 hari. Penanganan anemia adalah dengan pemberian
ferous sulfat atau ferous glukonat per oral 200 mg tiga kali sehari dan
dilanjutkan sampai 3 bulan setelah kadar hemoglobin normal dicapai
untuk mempertahankan cadangan besi. Pada kebanyakan kasus, kadar Hb
meningkat 1 gram per minggu. Perlu juga diberikan asam folat 5 mg per
hari selama 1 bulan. Pilihan lain adalah besi parenteral (iron-dextrah atau
ironpoly sorbitol gluconic acid) pada pasien yang tidak dapat mentoleransi
besi per oral.(2)
26

DAFTAR PUSTAKA

1. Susianto I. Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta : Departemen


Parasitologi FK UI ; 2009.
2. Setiati,S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid II. Jakarta ;
Interna Publishing ; 2014.
3. Natadisastra D, Agus R. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. Jakarta : EGC ; 2009.
4. Peraturan Menteri Kesehatan No. 15 Tahun 2017. Tentang
Penanggulangan cacingan.
5. Longo Dl, dkk. Harrison Gastroenterologi dan Hepatologi. EGC. Jakarta
2014

Anda mungkin juga menyukai