(Dosen Jurusan Syariah STAIN Pamekasan, Jl. Raya Panglegur Km. 04 Pamekasan,
email: didin021@yahoo.com)
Abstract:
Key Words:
Ibn Rusyd, ijtihâd, dan hukum Islâm
Pendahuluan
Sebagaimana diketahui, syarî’ah Islâm merupakan syarî’ah
pamungkas yang disampaikan melalui Nabî Muhammad Saw sebagai
Rasûl terakhir dan penutup dengan membawa petunjuk Ilahî.
Demikian pula syarî’ah yang dibawanya adalah syarî’ah Allâh yang
terakhir pula. Tidak ada Nabî dan Rasûl setelah beliau.
Sumber utama syarî’ah adalah al-Qur’ân dan al-Sunnah yang
universal, abadi dan mencakup segala lapangan kehidupan serta
mampu memenuhi kebutuhan hidup umat manusia sepanjang zaman
kapan dan di mana pun berada. Namun sejalan dengan perubahan
sosial yang mengakibatkan munculnya tuntutan akan perubahan dan
pembaharuan dalam bidang hukum, maka dibutuhkan adanya ijtihâd
yang digunakan untuk memenuhi dan mengeluarkan hukum dari
dua sumber tersebut. Perubahan dan pembaharuan dalam hukum
Islâm erat kaitannya dengan masalah ijtihâd. Ijtihâd secara umum
Fahruddin Ali Sabri
1 Muhammad Khudari Bik, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 367.
2 Usman Iskandar, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Perkasa, 1994), hlm. 113
3 Muhammad bin Muhammad Abû Hâmid al-Ghazâlî, Al-Mustashfa fî ’Ilm al-Ushûl,
Rasûlullâh dengan Mu‘âdz Ibn Jabal ketika ditunjuk menjadi Gubenur Yaman.
Diriwayatkan, Rasûlullâh bertanya kepada Mu‘âz tentang sumber yang akan
dipergunakan dalam memerintah provinsi dan memutuskan perkara di sana. Mu‘âz
menjawab, pertama-tama akan mencari dalam al-Qur’an, jika al-Qur’an tidak
memberi jawaban, maka akan dicari dari sunnah Rasûlullâh, jika tidak ada al-Sunnah
yang dapat diterapkan, ia akan menggunakan pendapat atau keputusan pribadi.
Rasûlullâh menyetujui urutan-urutan sumber syarî’ah itu. Abû Dawud Sulayman,
Sunan Abi Dawud, Bab Ijtihâd al-Ra`yi fi al-Qadha`, juz III (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), hlm.
303, hadits ke 3692.
5 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (New Delhi: Adam
2004), hlm. 7.
7 Ahmad Hasan, The Early Development, hlm. 140.
8 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd (Averroes) Filsuf Islam Terbesar di
Barat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 31.
9 Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibn Rusyd Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter, alih
Rusyd sangat diragukan. Mengingat Ibn Rusyd lahir pada tahun 529 H, sedang Ibn
Bajah wafat tahun 533 H. Yakni ketika Ibn Rusyd baru berumur 13 tahun. Tetapi
kalau dikatakan Ibn Rusyd berguru kepada Ibn Bajah secara tidak langsung, yakni
melalui buku karangannya, itu dapat diterima. Hal ini dapat dibuktikan dari
komentar Ibn Rusyd terhadap pendapat Ibn Bajah yang ia tuangkan dalam beberapa
buku karangannya. Ibid., hlm. 20.
13 Abd al-Wahid al-Murakisy, al-Mujib fi Talkhish Akhbar al-Magrib, (Kairo: Dâr al-
Syaybani (w.189 H), dari madzhab Hanafi yakni al-Hujjah ‘Ala Ahl al-
Madinah, dan kitab al-Khilaf fi al-Ahkâm karya Abû Ja’far Muhammad
al-Thusi (w.460 H) dari madzhab Syî’ah Imamiyah.19
Penerapan teori ushûl fiqh sekaligus produk hukum
(istinbâth) dari masing-masing madzhab yang dijelaskan secara
singkat dan integral hanya dilakukan Ibn Rusyd dalam Bidâyat al-
Mujtahid ini. Ibn Rusyd dalam menyampaikan pandangan-
pandangan ulama, tak lupa salalu menyisipkan dalil serta wajh dilalah-
nya (cara pengambilan dalil), sehingga pembaca dimungkinkan untuk
mengetahui proses pembentukan hukum tersebut, bukan sekadar
taklid buta.20
Kitab Bidâyah al-Mujtahid merupakan kitab fiqh muqârin yang
memuat pendapat-pendapat Imam Madzhab dalam menentukan
suatu hukum Islâm. Dalam Bidâyat al-Mujtahid dibahas berbagai
persoalan fiqhiyah diantaranya bab thaharah, shalat, zakat, merawat
jenazah, haji, jihad, kurban, sumpah, nazar, makanan dan minuman,
nikah, talak, li’an, diyat, pesanan, ‘ariyah, barang temuan, sewa
menyewa, dan lain sebagainya. Semua masalah yang diungkapkan
oleh Ibn Rusyd di dalamnya terjadi perselisihan di antara ulama
karena adanya perbedaan penafsiran ataupun metode dalam
memutuskan sebuah masalah hukum.
Ibn Rusyd yang sangat populer di Barat dan Timur itu
mengutip pendapat imam madzhab empat secara jeli dengan studi
banding, bahkan melampaui madzhab lain di luar madzhab empat. Ia
tidak hanya berhenti pada kutipan, tetapi memberi opini terhadap
aneka pendapat itu dengan argumentasi berdasarkan ayat-ayat suci
al-Qur’ân, al-sunnah, ijmâ’ dan qiyâs, bahkan sampai pada mashâlih al-
Mursalah, istihsân dan urf.
Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd, kriteria kefaqihan tidak
dapat diukur dengan jumlah dan kuantitas al-masâil al-fiqhiyah yang
dihapal, tetapi diukur dengan kemampuan meng-istinbâth hukum
langsung dari al-Qur’ân, al-Sunnah dan sumber-sumber lain yang
tidak bertentangan dengan kedua sumber tersebut, melalui proses
yang disepakati itu adalah: (1) kata umum (lafazh ‘âmm) dengan
maksud sesuai dengan keumumannya; (2) kata khusus (lafazh khâsh)
dengan maksud sesuai dengan kekhususannya; (3) kata-kata yang
mempunyai pengertian umum, tetapi menghendaki pengertian yang
khusus, atau kata-kata khusus yang menghendaki pengertian
umum.24
Tiga macam kata-kata di atas kadang-kadang menggunakan
istilah sebagai berikut: (1) al-tanbih bi al-a’lâ ila al-adnâ (penegasan
ketentuan yang lebih rendah dengan ketentuan yang lebih tinggi); (2)
al-tanbih bi al-adnâ ‘ala al-a’lâ (penegasan ketentuan yang lebih tinggi
dengan ketentuan yang lebih rendah); (3) al-tanbih ‘alâ al musawi bi al-
musawi (penegasan ketentuan yang setara dengan ketentuan yang
setara).
Pada akhir ayat itu, ada kata ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﺫﺍﻟﻚ, apakah musyar ilayh
kata dzalik itu kembali kepada kefasikan saja atau pada kefasikan dan
Penutup
Ibn Rusyd dalam menetapkan sebuah hukum Islâm
menggunakan Al-Qur’ân dan al-Sunnah sebagai dasar utama. Tetapi
karena kedua sumber tersebut sangat terbatas beliau juga
mempergunakan ijtihâd sebagai metode alternatif untuk memecahkan
problematika hukum syar’i yang terus berkembang. Dalam
memecahkan permasalahan hukum syar’i yang semakin kompleks
tersebut Ibn Rusyd banyak menggunakan qiyâs (analogi). Masalah-
masalah syar’i yang tidak bisa dijumpai dalam al-Qur’ân dan Sunnah
diputuskan dengan menganalogikan atau disamakan dengan hukum-
hukum yang sudah ada ketentuannya dalam kedua sumber pokok
ajaran Islâm yaitu al-Qur’ân dan al-Sunnah. Penggunaan ijmâ’
(konsensus) bagi Ibn Rusyd mungkin hanya bisa terjadi pada masa
sahabat. Dengan berkembangnya ajaran Islâm dan semakin luasnya
wilayah Islâm sangat sulit terjadi kata mufakat bagi semua mujtahid
yang hidup pada masa tersebut. Menurut Ibn Rusyd yang bisa terjadi
dalam ijmâ’ hanyalah kesepakatan dalam masalah-masalah ‘amaliyah
dan bukan masalah teoritis.
Daftar Pustaka
Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Ibn Rusyd Averroes Filsuf Islam
Terbesar di Barat. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Aqqad, Abbas Mahmud al-. Ibn Rusyd Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan
Dokter, alih bahasa Khalifurrahman Fath. Yogyakarta: C.V.
Qalam, 2003
Baroroh, Umdah El-. Tadarus Ramadan JIL Seri III Fiqh Ibn Rusyd:
Antara Konservatisme dan Liberalisme,
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=931.
Bik, Muhammad Khudari. Ushul al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr, 1981.
Ghazâlî, Muhammad bin Muhammad Abû Hâmid, al-. Al-Mustashfa fî
’Ilmi al-Ushûl. Kairo: Al-Matba’ah al-Amiriyah, 1324 H.
Hanafi, A. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1969.
Hasan, Ahmad. The Early Development of Islamic Jurisprudence. New
Delhi: Adam Publisher & distributor, 1994.
Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtahid. alih bahasa Imam Ghazali dan
Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
---------, Mukaddimah Bidâyat al-Mujtahid. alih bahasa A. Hanafi,
Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Iskandar, Usman. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Perkasa, 1994.
Murakisy, Abd al-Wahid al-. al-Mujib fi Talkhish Akhbar al-Magrib.
Cairo: Dâr al-Sya’b, 1964.
Roy, Muhammad. Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles. Yogyakarta: Safiria
Insania Press., 2004.
Sulaymân, Abû Dawud. Sunan Abi Dawud. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Zahrah, Muhammad Abû. Ushul Fiqih. alih bahasa Saefullah Ma’shum
dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.