Anda di halaman 1dari 16

IBN RUSYD DAN METODE IJTIHÂD-NYA

DALAM KITAB BIDÂYAT AL-MUJTAHID

Fahruddin Ali Sabri

(Dosen Jurusan Syariah STAIN Pamekasan, Jl. Raya Panglegur Km. 04 Pamekasan,
email: didin021@yahoo.com)

Abstract:

Ushûl fiqh has a significant role in Islamic science, since Islamic


lawpartly regulates the essential problems not the detail ones. It
became nature because Islamic law rules by the end of time.
However in human being live there must always be change of
social design, so that it always araises new problem in society.
This article is to describe the Ibnu Rusyd’s method in deciding
syar’i law. His capacity as fiqih expert is undoubtful. His
masterpiece, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid is a
comparison of fiqh book

Key Words:
Ibn Rusyd, ijtihâd, dan hukum Islâm

Pendahuluan
Sebagaimana diketahui, syarî’ah Islâm merupakan syarî’ah
pamungkas yang disampaikan melalui Nabî Muhammad Saw sebagai
Rasûl terakhir dan penutup dengan membawa petunjuk Ilahî.
Demikian pula syarî’ah yang dibawanya adalah syarî’ah Allâh yang
terakhir pula. Tidak ada Nabî dan Rasûl setelah beliau.
Sumber utama syarî’ah adalah al-Qur’ân dan al-Sunnah yang
universal, abadi dan mencakup segala lapangan kehidupan serta
mampu memenuhi kebutuhan hidup umat manusia sepanjang zaman
kapan dan di mana pun berada. Namun sejalan dengan perubahan
sosial yang mengakibatkan munculnya tuntutan akan perubahan dan
pembaharuan dalam bidang hukum, maka dibutuhkan adanya ijtihâd
yang digunakan untuk memenuhi dan mengeluarkan hukum dari
dua sumber tersebut. Perubahan dan pembaharuan dalam hukum
Islâm erat kaitannya dengan masalah ijtihâd. Ijtihâd secara umum
Fahruddin Ali Sabri

dapat berarti pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh


atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-
hukum syara’.1
Dalam rangka pembaharuan hukum Islâm, ijtihâd dapat
berupa penetapan hukum terhadap masalah-masalah baru yang
belum ada ketentuan hukumnya atau penetapan hukum baru untuk
menggantikan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan
dan kemaslahatan umat manusia dewasa ini.2 Dinamika hukum Islâm
ini terbentuk karena adanya interaksi wahyu dan akal. Itulah yang
berkembang menjadi ijtihâd.
Akal telah dipandang sebagai sumber fundamental kedua
ketika al-Qur’ân dan al-Sunnah diam dan tidak lagi memberi jawaban
atas permasalahan yang ada. Ketika suatu prinsip atau aturan syarî’ah
didasarkan pada makna umum atau implikasi yang luas dari teks al-
Qur’ân dan al-Sunnah serta berbeda dengan aturan langsung dari
teks yang jelas dan rinci, maka teks dan syarî’ah itu harus
dihubungkan melalui penalaran hukum (ijtihâd). Agaknya bukan
suatu yang asing bagi para sahabat sepeninggal Rasûlullâh saw untuk
memecahkan berbagai maslah penting melalui ijtihâd, karena ijtihâd
itulah metodologi yang tersedia bagi manusia untuk memahami
ajaran-ajaran agama. Al-Ghazâlî menyatakan telah terjadi ijmâ’
sahabat, bahkan berita bahwa para sahabat telah menggunakan ijtihâd
terhadap kasus-kasus yang tidak dijumpai secara tegas dalam nas
telah sampai ke masanya.3
Kecenderungan untuk menggunakan ijtihâd ini merupakan
implikasi dari kegiatan berpikir dan kepercayaan bahwa bagi penalar
akan diberi dua pahala apabila penalarannya benar, dan satu pahala
apabila penalarannya salah. Al-Sunnah mendukung ijtihâd sebagai
sumber syarî’ah.4

1 Muhammad Khudari Bik, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 367.
2 Usman Iskandar, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Perkasa, 1994), hlm. 113
3 Muhammad bin Muhammad Abû Hâmid al-Ghazâlî, Al-Mustashfa fî ’Ilm al-Ushûl,

(Kairo: Al-Matba’ah al-Amîriyah, 1324 H), hlm. 242.


4 Al-Sunnah yang terkenal mendukung ijtihâd adalah riwayat percakapan antara

Rasûlullâh dengan Mu‘âdz Ibn Jabal ketika ditunjuk menjadi Gubenur Yaman.
Diriwayatkan, Rasûlullâh bertanya kepada Mu‘âz tentang sumber yang akan
dipergunakan dalam memerintah provinsi dan memutuskan perkara di sana. Mu‘âz
menjawab, pertama-tama akan mencari dalam al-Qur’an, jika al-Qur’an tidak

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 184


Ibn Rusyd dan Metode Ijtihâd-nya

Salah satu metode ijtihâd adalah qiyâs, yang merupakan


salah satu metode untuk menetapkan hukum yang tidak terdapat di
dalam nash. Dalam perkembangannya ternyata qiyâs mengalami
perubahan makna dan fungsi secara signifikan. Sebelum adanya
pembakuan oleh al-Syâfi’i dalam al-Risâlah, qiyâs belum dalam
formulasi yang baku, ia masih dalam bentuknya yang bebas sebagai
suatu penalaran yang liberal dalam menentukan sebuah hukum.
Qiyâs ini tidak terpaku pada syarat-syarat yang ketat yang
membatasinya dalam berfikir liberal, spekulatif dan dinamis dalam
menentukan masalah. Qiyâs sebagai penalaran hukum ini lazim
disebut juga dengan istilah penalaran.5 Ia berlaku mulai pada masa
Rasûlullâh sebagai embrionya dan semakin matang pada masa Abû
Hanifah sebagai panglima aliran ahl al-ra’y. Pemberlakuan qiyâs
semacam ini, menimbulkan hukum Islâm yang dinamis, liberal, dan
akomodatif terhadap perubahan zaman. Hal ini karena hukum Islâm
tidak harus selalu terpasung dalam bayang-bayang teks zhahir dari
al-Qur’ân dan al-Sunnah, yang sudah barang tentu memuat sesuatu
yang terbatas.6
Berdasarkan kenyataan berubahnya konsep qiyâs pasca
masuknya unsur logika Aristoteles, maka perlu adanya reformulasi
baru terhadap model penalaran qiyâs dalam ushûl fiqh. Reformulasi ini
dimaksudkan untuk mengembalikan qiyâs seperti bentuk dasarnya,
yaitu penemuan suatu hukum baru berdasarkan pada perenungan,
penalaran, dan analisis sosial yang menekankan pada ruh keadilan
Islâm.7
Ibn Rusyd adalah salah seorang filosof Islâm Andalusia
yang banyak mengulas, mengkritik dan mengkomentari pemikiran-
pemikiran Aristoteles sehingga ia dijuluki “Sang Komentator”. Selain
menjadi seorang filosof, Ibn Rusyd juga dikenal sebagai seorang ahli

memberi jawaban, maka akan dicari dari sunnah Rasûlullâh, jika tidak ada al-Sunnah
yang dapat diterapkan, ia akan menggunakan pendapat atau keputusan pribadi.
Rasûlullâh menyetujui urutan-urutan sumber syarî’ah itu. Abû Dawud Sulayman,
Sunan Abi Dawud, Bab Ijtihâd al-Ra`yi fi al-Qadha`, juz III (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), hlm.
303, hadits ke 3692.
5 Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (New Delhi: Adam

Publisher & distributor, 1994), hlm. 137.


6 Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles, (Yogyakarta: Safiria Insania Press,

2004), hlm. 7.
7 Ahmad Hasan, The Early Development, hlm. 140.

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 185


Fahruddin Ali Sabri

fiqh dengan karangan monumentalnya Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat


al-Muqtashid.

Biografi dan Karya Ibn Rusyd


Ibn Rusyd adalah Abû al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn
Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Hafîd al-Andalûsi al-Qurthubî
al-Mâlikî. Beliau merupakan filosof muslim barat terbesar di abad
pertengahan. Dilahirkan pada tahun 520 H/ 1126 M di kota Cordoba
Spanyol, dan wafat pada tahun 595 H/ 1198 M. 8
Ibn Rusyd dididik mulai kecil hingga usia baligh di tengah
keluarga terhormat, terdidik dan taat beragama. Beliau mempunyai
seorang ayah dan kakek yang terkenal sebagai hakim yang adil dan
berwibawa. Kakeknya (Ibn Rusyd al-Jadd) mempunyai fatwa-fatwa
tertulis yang sampai saat ini masih tersimpan di perpustakaan Paris.9
Hal ini mencerminkan ketajaman otak sang kakek yang kemudian
diwarisi oleh sang cucu yaitu Ibn Rusyd. Tradisi keagamaan Ibn
Rusyd mengikuti didikan dan kebiasaan ayah dan kakeknya.
Mengingat kakek dan ayahnya mengikuti dan mendalami fiqh Malikî
dan secara teologi mengikuti pola pikir al-Asy’arî, maka secara alami
ia mempelajarinya dari sang ayah. Kemudian ia juga meriwayatkan
hadits dan menghafal kitab al-Muwatha’.10 Ibn Rusyd tumbuh dan
berkembang di Cordoba, ia belajar fikih, matematika dan
kedokteran.11 Ia juga berguru dalam bidang filsafat kepada Ibn Bajah
(w. 533 H) yang dalam literatur Barat dikenal dengan nama Avinpace.
Filosof terakhir ini merupakan filosof terbesar di Eropa sebelum Ibn
Rusyd.12

8 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd (Averroes) Filsuf Islam Terbesar di
Barat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 31.
9 Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibn Rusyd Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter, alih

bahasa Khalifurrahman Fath, (Yogyakarta: C.V. Qalam, 2003), hlm. 29.


10 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid , alih bahasa Imam Ghazali, dan Achmad Zaidun,

(Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 19.


11 al-Aqqad, Ibnu Rusyd Sang Filsuf, hlm. 30.
12 Tetapi kebenaran hubungan guru-murid secara langsung antara Ibn Bajah-Ibn

Rusyd sangat diragukan. Mengingat Ibn Rusyd lahir pada tahun 529 H, sedang Ibn
Bajah wafat tahun 533 H. Yakni ketika Ibn Rusyd baru berumur 13 tahun. Tetapi
kalau dikatakan Ibn Rusyd berguru kepada Ibn Bajah secara tidak langsung, yakni
melalui buku karangannya, itu dapat diterima. Hal ini dapat dibuktikan dari

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 186


Ibn Rusyd dan Metode Ijtihâd-nya

Ibn Rusyd terlihat sangat akrab dengan raja dan kalangan


istana. Hal ini dimulai semenjak pertemuan bersejarah antara Ibn
Rusyd, Raja Abû Ya’qub dan Ibn Thufail13, keakraban Ibn Rusyd
dengan raja dan kalangan istana bertambah kuat. Langkah simpati
dan kepercayaan awal Khalifah kepadanya ditandai dengan
pengangkatan dirinya sebagai hakim di Sevilla pada tahun 1169 14 dan
kemudian diangkat menjadi Hakim agung yang berkedudukan di
Cordoba, ibu kota Andalusia.15
Ibn Rusyd adalah seorang ulama besar dan komentator
terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sulit
untuk dicari bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil
sampai masa tuanya beliau tidak pernah berhenti untuk membaca
dan menelaah kitab.
Karangannnya meliputi berbagai ilmu seperti fiqh, ushûl,
bahasa, kedokteran, astronomi, politik, ahlak dan filsafat. Tidak
kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-
bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, ulasan atau
ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap
Aristoteles, maka tidak mengherankan kalau beliau memberikan
perhatian yang besar untuk mengulas dan meringkas filsafat
Aristoteles. Buku-buku yang telah diulasnya ialah buku-buku
karangan Plato, Iskandar Aprhodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi,
Ibn Sinâ, al-Ghazâlî dan Ibn Bajah.16 Klasifikasi karya Ibn Rusyd
sesuai disiplin ilmu yang sudah populer, sebagai berikut:17
1. Filsafat/Hikmah
a. Tahâfut Tahâfut (Kerancuan dalam Kerancuan), berisi
tanggapan terhadap buku al-Ghazâli yang berjudul Tahâfut al-
Falâsifah (kerancuan para filosof).
b. Jawhar al-Ajram al-Samâwiyyah (Struktur Benda-Benda Langit).

komentar Ibn Rusyd terhadap pendapat Ibn Bajah yang ia tuangkan dalam beberapa
buku karangannya. Ibid., hlm. 20.
13 Abd al-Wahid al-Murakisy, al-Mujib fi Talkhish Akhbar al-Magrib, (Kairo: Dâr al-

Sya’b, 1964), hlm. 1-2.


14 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid , hlm. 24.
15 al-Aqqad, Ibnu Rusyd Sang Filsuf, hlm. 29.
16 A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), hlm. 178.
17 Ibn Rusyd, Bidayâh al-Mujtahid, hlm. 110-114.

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 187


Fahruddin Ali Sabri

c. Ittishâl al-’Aql al-Mufarriq bi al-Insân, (Komunikasi Akal yang


Membedakan dengan Manusia).
d. Kitab fi al-’Aql al-Huyulani aw fi Imkân al-Ittishâl (Akal
Substantif yang Mungkin Dapat Berkomunikasi).
e. Syarh Ittishâl al-’Aql bi al-Insân (Komentar terhadap Kaitan
Akal dengan Manusia).
f. Masâil fi Mukhtalif Aqsâm al-Manthiq (Berbagai Masalah tentang
Aneka Bagian).
g. Al-Masâil al-Burhâniyyah (Masalah Masalah Argumentatif).
h. Khulâshah al-Manthiq (Ringkasan Ilmu Logika).
i. Muqqadimah al-Falsafah (Pengantar Ilmu Filsafat).
j. Al-Nâtijah al-Muthâbaqah (Mengambil Kesimpulan Yang
Sesuai)
k. Jawâmi’ Aflathon (Komunitas Platonisme).
l. At-Ta’rif bi Jihah Nazhr al-Farabi fi Shinâ’ah al Manthiq wa Nazhr
Aristho Fiha (Mengenal Visi Farabi Dan Aristoteles Tentang
Kreasi Logika).
m. Syurûh Kashirah ‘ala Al-Farabi fi Masâil al Manthiqi Aristho
(Beberapa Komentar Terhadap Pemikiran Logika Aristoteles).
n. Maqâlah fi ar-Radd ‘ala Abi Ali ibn Sina (Makalah Jawaban
Untuk Ibn Sina)
o. Syarh al-Ilâhiyyat al-Awsat (Talkhis al-Ilâhiyyat) (Komentar
tentang Ketuhanan yang Tidak Rumit).
p. Risâlah fi anna Allah Ya’lam al-Juz’iyyât (Risalah Bahwa Allâh
Mengetahui Yang Teknis/Juz’i).
q. Maqâlah fi al-Wujûd al-Sarmida wa al-Wujûd al-Zamani
(Makalah tentang Eksistensi Implisit dan Eksistensi Waktu).
r. Al-Fahsh ‘an Masâil Waqa’at fî al-’Ilm al-Ilâhi (Pemeriksaan
Masalah yang Berada dalam Ilmu Ketuhanan).
s. Masâil fî ‘Ilm al-Nafs (Beberapa Masalah tentang Ilmu Jiwa).
2. Ilmu Kalam
a. Fashl al-Maqâl fî mâ Baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishâl
(Uraian tentang Kaitan Filsafat dan Syarî’ah).
b. I’tiqâd Masysyain wa al-Mutakallimin (Keyakinan Kaum
Liberalis Dan Pakar Ilmu Kalam).
c. Al-Manâhij fî Ushûl a‫م‬-Din (Beberapa Metode Dalam
Membahas Dasar-Dasar Agama).

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 188


Ibn Rusyd dan Metode Ijtihâd-nya

d. Syarh Aqidah al-Imâm al-Mahdi (Penjelasan Tentang Akidah


Imam Al-Mahdi). Kitab ini menjelaskan keyakinan dan
ideologi Abû Abdillah Muhammad ibn Tumart (w.1130) yang
mirip dengan teologi Syî’ah.
e. Manâhij al Adillah fi ‘Aqâid al-Millah (Beberapa Metode
Argumentatif dalam Aqidah Agama).
f. Dhamimah li Masalah ‘Ilm al-Qadim (Inti Masalah Ilmu Kuno).
3. Fiqh dan Ushûl Fiqh
a. Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid (Dasar Mujtahid
dan Tujuan Orang yang Sederhana)
b. Mukhtashar al-Mustashfa (Ringkasan Dari Al-Mustashfa, karya
al-Gazali).
c. Al-Tanbih ila al-Khathâ’ fi al-Mutûn (Peringatan Kesalahan
Matan).
d. Risâlah fi al-Dhahâyâ (Risalah tentang Hewan Kurban).
e. Risâlah fi al-Kharâj (Risalah tentang Pajak Tanah).
f. Makâsib al-Mulûk wa al-Ruasâ’ al-Muharramah (Penghasilan
Para Raja dan Pejabat yang Diharamkan).
g. Ad-Dâr al-Kamil fi al-Fiqh (Studi Fiqh yang Sempurna).
4. Nahwu
a. Kitâb al-Dharuri fi al-Nahw (Yang Penting dalam Ilmu Nahwu).
b. Kalâm ‘ala al-Kalimah wa al-Ism al-Musytaq (Pendapat tentang
Kata dan Isim Musytaq).
5. Ilmu Falak/Astronomi
a. Mukhtashar al-Maqishthi.
b. Maqâlah fi Harkah al-Jirm al-Samâwiy (makalah tentang gerakan
meteor).
c. Kalâm ‘ala Ru’yah al-Jirm al-Tsâbitah (pendapat tentang melihat
meteor yang tetap tak bergerak).
6. Kedokteran
a. Al-Kulliyyat (7 jilid), studi lengkap tentang kedokteran.
Menjadi buku wajib dan selalu menjadi rujukan dalam
berbagai Universitas di Eropa.
b. Syarh Arjuwizah Ibn Sina fi al-Thibb. Kitab ini secara kuantitas
paling banyak beredar.
c. Maqâlah fi al-Tiryaq (Makalah tentang Obat Penolak Racun).
d. Nashâih fi Amr al-Ishâl (Nasehat tentang Penyakit Perut atau
Mencret).

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 189


Fahruddin Ali Sabri

e. Masalah fi Nawâih al-Humma (Masalah tentang Penyakit Panas).


f. Beberapa Ringkasan Kitab-Kitab Galinus

Akan tetapi buku-bukunya yang sampai pada kita hanya ada


empat, yaitu :
a. Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid dalam bidang ilmu
fiqih.
b. Fasl al-Maqâl fi mâ Baina al Hikmah wa al-Syarî’ah min al-Ittishâl
dalam bidang ilmu kalam.
c. Manâhij al Adillah fi ‘Aqâid al-Millah dalam bidang ilmu kalam.
d. Tahâfut Tahâfut dalam bidang ilmu filsafat dan ilmu kalam.18

Selayang Pandang Kitab Bidâyat al-Mujtahid


Ibn Rusyd adalah seorang ilmuwan yang berlatar berlakang
lintas disiplin ilmu, ketika ushûl fiqh yang diintegrasikan dengan fiqh
dalam kitab Bidâyat al-Mujtahid, maka mempunyai keistimewaan
dibanding karya ushûl fiqh dan fiqh yang ditulis oleh ulama lain.
Biasanya para ulama menulis fiqh dan ushûl fiqh secara terpisah.
Misalnya Imam al-Syâfi’i menulis ushûl fiqh dalam al-Risalah, dan
menulis fiqh dalam al-Umm. Bahkan ada ulama yang menulis ushûl
fiqh, tetapi tidak dengan fiqh yang merupakan realisasi ushûl fiqhnya
itu. Misalnya al-Gazâlî menulis al-Mushtasfa dalam bidang ushûl fiqh,
tetapi karya spesifik fiqhnya tidak ada, justru yang populer adalah
karyanya yang memadukan antara fiqh dan tasawuf, yang kering dari
ushûl fiqh, seperti Ihya’Ulum Al-Dîn dan Bidâyat al-Hidâyah. Ada juga
ulama yang mempunyai karya monumental dalam bidang fiqh, tetapi
karya ushûl fiqh-nya tidak ditemukan; seperti al-Nawawi yang
menulis kitab Muhadzab dan Majmu’ untuk karya fiqh tanpa ushûl fiqh,
dan masih banyak contoh lagi yang dapat dikemukakan.
Tujuan akhir dari beberapa aliran atau madzhab fiqh yang
mempunyai tokoh yang menulis fiqh muqarin (fiqh perbandingan)
adalah ingin memenangkan madzhab yang didukungnya. Ada karya
Ibn Taymiyah (w. 728 H) dari madzhab Hanbali yakni Majmû’ Fatawa
i, dan karya al-Nawawi (w.676 H) dari madzhab Syâfi’i yakni Majmu’,
dan kitab karya Ibn Rusyd (w. 597 H) dari madzhab Maliki yakni
Bidâyah al-Mujtahid, dan kitab karya Muhammad bin al-Hasan al-

18 A. Hanafi, Pengantar Filsafat, hlm. 179.

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 190


Ibn Rusyd dan Metode Ijtihâd-nya

Syaybani (w.189 H), dari madzhab Hanafi yakni al-Hujjah ‘Ala Ahl al-
Madinah, dan kitab al-Khilaf fi al-Ahkâm karya Abû Ja’far Muhammad
al-Thusi (w.460 H) dari madzhab Syî’ah Imamiyah.19
Penerapan teori ushûl fiqh sekaligus produk hukum
(istinbâth) dari masing-masing madzhab yang dijelaskan secara
singkat dan integral hanya dilakukan Ibn Rusyd dalam Bidâyat al-
Mujtahid ini. Ibn Rusyd dalam menyampaikan pandangan-
pandangan ulama, tak lupa salalu menyisipkan dalil serta wajh dilalah-
nya (cara pengambilan dalil), sehingga pembaca dimungkinkan untuk
mengetahui proses pembentukan hukum tersebut, bukan sekadar
taklid buta.20
Kitab Bidâyah al-Mujtahid merupakan kitab fiqh muqârin yang
memuat pendapat-pendapat Imam Madzhab dalam menentukan
suatu hukum Islâm. Dalam Bidâyat al-Mujtahid dibahas berbagai
persoalan fiqhiyah diantaranya bab thaharah, shalat, zakat, merawat
jenazah, haji, jihad, kurban, sumpah, nazar, makanan dan minuman,
nikah, talak, li’an, diyat, pesanan, ‘ariyah, barang temuan, sewa
menyewa, dan lain sebagainya. Semua masalah yang diungkapkan
oleh Ibn Rusyd di dalamnya terjadi perselisihan di antara ulama
karena adanya perbedaan penafsiran ataupun metode dalam
memutuskan sebuah masalah hukum.
Ibn Rusyd yang sangat populer di Barat dan Timur itu
mengutip pendapat imam madzhab empat secara jeli dengan studi
banding, bahkan melampaui madzhab lain di luar madzhab empat. Ia
tidak hanya berhenti pada kutipan, tetapi memberi opini terhadap
aneka pendapat itu dengan argumentasi berdasarkan ayat-ayat suci
al-Qur’ân, al-sunnah, ijmâ’ dan qiyâs, bahkan sampai pada mashâlih al-
Mursalah, istihsân dan urf.
Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd, kriteria kefaqihan tidak
dapat diukur dengan jumlah dan kuantitas al-masâil al-fiqhiyah yang
dihapal, tetapi diukur dengan kemampuan meng-istinbâth hukum
langsung dari al-Qur’ân, al-Sunnah dan sumber-sumber lain yang
tidak bertentangan dengan kedua sumber tersebut, melalui proses

19Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid, hlm. 119.


20 Umdah El-Baroroh, Tadarus Ramadan JIL Seri III Fiqh Ibnu Rusyd: Antara
Konservatisme dan Liberalisme, http://islamlib.com/id/index.php?page
=article&id=931, diakses tanggal 24 Oktober 2010.

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 191


Fahruddin Ali Sabri

rasionalisasi yang memadai berdasarkan kaidah-kaidah linguistik dan


teori ushûl fiqh.21

Metode Ijtihâd Ibn Rusyd dalam Bidâyat al-Mujtahid


Ibn Rusyd menjelaskan dalam mukadimah Bidâyat al-Mujtahid
bahwa tujuan dari penulisan kitab ini adalah untuk mengulas
problematika hukum Islâm yang disepakati dan yang diperselisihkan,
lengkap dengan dalil dan argumentasinya. Di samping itu dijelaskan
pula sebab-sebab terjadinya perselisihan, yang pada umumnya
berkisar pada masalah pengertian nash dalam syara’.22 Pengertian
inilah yang dapat menghasilkan kesepakatan di kalangan para pakar
hukum Islâm atau justru menjadi bahan perselisihan pendapat di
kalangan mereka semenjak masa sahabat sampai masa taklid.
Ibn Rusyd dalam mukadimah Bidâyat al-Mujtahid,
menyebutkan bahwa hukum Islâm terbentuk harus bersumber dari
al-Qur’ân, al-Sunnah. kedua sumber tersebut biasa dinamakan
dengan nash. Dengan berkembangnya Islâm dan persoalan-persoalan
baru muncul dengan pesat mengakibatkan para fuqaha merasa
kesulitan untuk menyelesaikan semua persoalan tersebut hanya
dengan bersandar pada nash.
Dan ketika problem hukum yang ketentuannya tidak terdapat
dalam nash maka diupayakan dapat diketahui hukumnya melalui
metode analogi (qiyâs). Sedangkan menurut Zhahiri dan Syî’ah
Imamiyah, qiyâs dalam hukum Islâm itu batal. Madzhab Zhahiri tidak
mengakui adanya ‘illat nash dan tidak berusaha untuk mengetahui
sasaran dan tujuan nash, termasuk menyingkap alasan-alasannya
guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan ‘illat.23
Oleh karena itu, semua problem yang ketentuan hukumnya tidak
dibicarakan dalam nash syar’i berarti tidak ada hukumnya.
Dalam mukadimah Bidâyat al-Mujtahid Ibn Rusyd
mengatakan, kata-kata, perbuatan dan taqrir Nabî, yang kemudian
menjadi salah satu sumber hukum Islâm itu, ada empat macam. Tiga
di antaranya sudah disepakati dan satu masih diperselisihkan. Tiga

21 Ibn Rusyd, Bidâyat al-Mujtahid, hlm. 316


22Ibn Rusyd, Mukaddimah Bidâyat al-Mujtahid , terj A. Hanafi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1967), hlm. 8
23 Muhammad Abû Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma’shum et.al, cet. IX,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 340.

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 192


Ibn Rusyd dan Metode Ijtihâd-nya

yang disepakati itu adalah: (1) kata umum (lafazh ‘âmm) dengan
maksud sesuai dengan keumumannya; (2) kata khusus (lafazh khâsh)
dengan maksud sesuai dengan kekhususannya; (3) kata-kata yang
mempunyai pengertian umum, tetapi menghendaki pengertian yang
khusus, atau kata-kata khusus yang menghendaki pengertian
umum.24
Tiga macam kata-kata di atas kadang-kadang menggunakan
istilah sebagai berikut: (1) al-tanbih bi al-a’lâ ila al-adnâ (penegasan
ketentuan yang lebih rendah dengan ketentuan yang lebih tinggi); (2)
al-tanbih bi al-adnâ ‘ala al-a’lâ (penegasan ketentuan yang lebih tinggi
dengan ketentuan yang lebih rendah); (3) al-tanbih ‘alâ al musawi bi al-
musawi (penegasan ketentuan yang setara dengan ketentuan yang
setara).

Contoh lafazh pertama adalah surat al-Maidah ayat 3:


…      
Para ulama sepakat bahwa kata khinzîr (babi) meliputi segala jenis
babi, kecuali hewan yang kebetulan mempunyai nama yang sama,
seperti babi laut. Dan contoh lafazh umum dengan maksud khusus
adalah surat at-Taubah: 103
       
Para ulama sepakat bahwa zakat tidak diwajibkan pada semua harta
benda. Sedangkan contoh lafazh khusus dengan maksud umum
adalah surat al-Isra’ : 23
…    
Ayat tersebut termasuk dalam lingkup penegasan ketentuan yang
lebih tinggi dengan ketentuan yang lebih rendah. Sebab firman Allâh
itu mengandung suatu pengertian tidak boleh memukul, memaki,
dan perbuatan-perbuatan lain yang lebih keras.
Kata yang digunakan untuk suatu “tuntutan” terkadang
berbentuk amr (perintah) atau kalimat berita yang dapat dipahami
sebagai perintah. Begitu juga perbuatan yang harus ditinggalkan,

24 Ibn Rusyd, Mukaddimah Bidâyat al-Mujtahid, hlm. 10.

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 193


Fahruddin Ali Sabri

kadang berbentuk nahy (larangan) atau kalimat berita yang dapat


dipahami sebagai larangan.
Penggunaan kalimat perintah seperti itulah yang menjadi
pembahasan para ulama, yaitu apakah perintah itu berakibat wajib
atau sunat. Atau seseorang tidak bersikap dahulu menunggu
ditemukannya dalil yang memperkuat. Sikap dan pendapat seperti
itulah yang menjadi lapangan pembahasan ilmu ushûl fiqh.
Masalah yang sama juga terjadi pada bentuk larangan (nahy).
Bentuk ini apakah menunjukkan pengertian hukum haram atau
makruh, atau malah tidak berakibat hukum apa-apa. Masalah ini juga
masih diperselisihkan di kalangan para ulama.
Terkadang, masalah menjadi obyek hukum itu menggunakan
suatu kata yang hanya mempunyai satu arti dan satu pengertian,
yang di dalam ilmu ushûl fiqh disebut nash. Dalam hal ini, penentuan
hukumnya jelas, tanpa ada perdebatan. Kadang menggunakan kata
yang mempunyai arti yang banyak, tidak hanya satu pengertian.
Lafazh ini terbagi dua: (1) lafazh itu menunjukkan arti dan pengertian
yang sama, dalam ushûl fiqh disebut mujmal; (2) lafazh itu
menunjukkan beberapa arti atau lebih dari satu pengertian. Lafazh
terakhir inilah yang disebut zhahir. Dan arti yang lebih sedikit, dari
satu lafazh, disebut muhtamal (memungkinkan untuk dipahami
dengan beberapa arti).
Lafazh muthlaq harus diartikan semestinya. Sampai ada dalil
yang menunjukkan arti secara muhtamal. Perbuatan Nabî SAW,
termasuk sebagian dari sumber syara’ menurut kebanyakan fuqahâ’.
Af’âl tidak mengandung konsekuensi hukum, jika tidak ada sighat
yang dapat berkonsekuensi hukum sesuai dalalahnya. Para ulama
berbeda pendapat tentang macam kongkrit hukumnya. Sebagian
mengatakan wajib dan yang lain mengatakan sunat.
Menurut penelitian para ahli fiqh, jika af’âl itu menjelaskan
hukum wajib yang masih mujmal, maka af’âl tersebut berkonotasi
wajib. Dan jika af’âl tersebut menjelaskan hukum sunat yang masih
mujmal, maka af’âl tersebut berkonotasi hukum sunat. Jika af’âl
tersebut tidak menjelaskan sunat atau wajib hanya mujmal saja, maka
hal hal itu hanya berkonotasi qurbah yang dekat dengan hukum sunat.
Selanjutnya, jika termasuk mubah, berarti af’âl tersebut menunjukkan
hukum mubah. Sedangkan taqrîr Nabî memberikan petunjuk akan

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 194


Ibn Rusyd dan Metode Ijtihâd-nya

kebolehannya (mubah). Demikian sebagian metode penyimpulan


hukum (istinbâth al-ahkâm).
Muhammad Abû Zahrah menuturkan bahwa setiap perkataan
dan pengakuan Nabî termasuk ajaran dan hujjah dalam agama, tetapi
dalam perbuatan Nabî para ulama berbeda pendapat. Para ulama
membagi perbuatan Nabî dalam tiga bagian. Pertama, perbuatan
yang menyangkut penjelasan syarî’ah seperti salat, puasa dan haji.
Kedua, perbuatan Nabî yang berdasar dalil dinyatakan bahwa
perbuatan itu khusus berlaku untuk Nabî. Ketiga, perbuatan Nabî
yang itu merupakan adat dan kebiasaan manusia.25
Ijmâ’ ulama (konsensus ulama) sebagai salah satu metode
dalam pengambilan hukum Islâm. Jika ijmâ’ terjadi pada salah satu
dari empat metode di atas, padahal bukan merupakan dalil qath’i
(pasti), maka hukum yang ditetapkan dengan zhan (perkiraan)
berubah menjadi hukum qath’i. Ijmâ’ memang bukan merupakan
hukum yang berdiri sendiri, jika tidak didasarkan pada salah satu
dari empat metode di atas. Sebab jika ijmâ’ mempunyai kedudukan
sendiri, berarti sama dengan menetapkan “hukum baru” setelah Nabî
Muhammad SAW. Itu berarti tidak mengacu pada ketetapan syara’
yang sah.26
Ijmâ’ dalam hal-hal teoritis tidak dapat diketahui secara pasti,
begitu juga dalam hal-hal yang yang bersifat praktis. Ijmâ’ umat
dalam masalah apapun dan pada masa kapanpun juga tidak dapat
diketahui, kecuali jika masanya dibatasi dengan tegas. Semua ulama
pada masa itu diketahui dengan jelas, dan pendapat mereka tentang
persoalan tertentu sampai secara runtun (mutawâtir). Di samping itu,
ada kepastian bahwa semua ulama pada masa tersebut telah sepakat
tentang tidak adanya makna lahir dan makna takwil dalam teks
syariat tersebut, lalu bersepakat pula bahwa pengetahuan mengenai
suatu persoalan tidak boleh dirahasiakan dari orang lain, dan hanya
hanya ada satu metode untuk memahami teks syariat tersebut.
Statemen hukum yang bisa diungkap pada seorang mukallaf
(orang yang terkena beban hukum), secara garis besar dapat
berbentuk amr (perintah), nahy (larangan), dan takhyir memilih salah
satu). Amr (perintah) berkonotasi wajib melaksanakan ketetapan

25 Abû Zahrah, Ushul Fiqih, hlm. 164-165.


26 Ibn Rusyd, Mukadimah Bidâyat al-Mujtahid, hlm. 15.

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 195


Fahruddin Ali Sabri

hukum dan ada resiko hukuman jika tidak melaksanakan ketetapan


hukum tersebut. Jadi Amr menunjukkan hukum wajib. Jika amr dapat
dipahami akan mendapatkan imbalan pahala dan tidak ada resiko
hukuman, amr tersebut berkonotasi sunat. Demikian juga nahy
(larangan), jika pelanggaran ketetapan hukum tersebut disertai
dengan hukuman, maka perbuatan itu berkonotasi haram. Tetapi jika
nahy itu dapat dipahami hanya sebagai larangan tanpa disertai
dengan ancaman hukuman, maka nahy yang berkonotasi makruh.27
Dari uraian di atas, para ulama menyimpulkan ada lima
macam hukum syara’ yang disimpulkan melalui kaidah hukum ushûl
fiqh. Lima hukum itu adalah wajib, sunat, haram, makruh, dan
mubah. Ibn Rusyd menjelaskan juga enam sebab yang menjadi pokok
silang pendapat di kalangan fuqahâ’.28
Pertama, adanya berbagai kemungkinan pemahaman terhadap
satu kata (lafal) karena adanya perbedaan sudut pandang, yaitu: (1)
Zhahirnya suatu kata (lafazh) itu ‘âmm, tetapi yang dimaksud adalah
khusus; (2) Lafazh khusus (khâsh) yang dimaksud adalah pengertian
umum; (3) Lafazh ‘âmm pengertiannya ‘âmm juga, tetapi belum jelas
apakah lafazh itu diperkuat dengan khitab atau tidak; (4) Lafazh khâs
dengan pengertian khâsh juga.
Kedua, adanya lafaz yang digunakan secara ganda (isytirak),
yakni: (1) Lafazh mufrad (tunggal), seperti kata qurû’ yang biasa
diartikan al-thahâr (suci) atau haid. Amr (perintah) bisa
berkonsekuensi wajib dan juga bisa berkonsekuensi sunat atau
mubah. Nahy juga bisa berkonsekuensi haram atau makruh; (2)
Lafazh murakkab (bersusun), seperti firman Allâh SWT, Surat An-Nur:
4-5.
           

               

     

Pada akhir ayat itu, ada kata ‫ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﺫﺍﻟﻚ‬, apakah musyar ilayh
kata dzalik itu kembali kepada kefasikan saja atau pada kefasikan dan

27 Ibid., hlm. 16.


28 Ibid., hlm., 17.

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 196


Ibn Rusyd dan Metode Ijtihâd-nya

persaksian secara bersamaan. Artinya, tobat itu bisa menghapus dosa


karena fasik, dengan konsekuensi “boleh” menjadi saksi, walaupun
sebelumnya menjadi penuduh zina pada orang lain (qâzif)
Ketiga, karena adanya perbedaan i’râb (cara membaca).
Keempat, suatu kata (lafazh) dimungkinkan dapat dipahami secara
haqiqî, majazî, atau isti’ârah. Kelima, penyebutan kata secara mutlak
atau muqayyad, seperti kata ‘itqu bisa berarti mutlak atau dengan
taqyid. Keenam, ta’ârudh (bertentangan, antagonistik) antara dua
sumber atau metode yang berkaitan dengan hukum syara’, ta’ârudh
pada af’âl, iqrâr, dan qiyâs, atau ta’ârudh yang disebabkan tiga hal
tersebut, yakni ta’ârudh lafal dengan af’âl, taqrîr, dengan qiyâs dan
seterusnya.

Penutup
Ibn Rusyd dalam menetapkan sebuah hukum Islâm
menggunakan Al-Qur’ân dan al-Sunnah sebagai dasar utama. Tetapi
karena kedua sumber tersebut sangat terbatas beliau juga
mempergunakan ijtihâd sebagai metode alternatif untuk memecahkan
problematika hukum syar’i yang terus berkembang. Dalam
memecahkan permasalahan hukum syar’i yang semakin kompleks
tersebut Ibn Rusyd banyak menggunakan qiyâs (analogi). Masalah-
masalah syar’i yang tidak bisa dijumpai dalam al-Qur’ân dan Sunnah
diputuskan dengan menganalogikan atau disamakan dengan hukum-
hukum yang sudah ada ketentuannya dalam kedua sumber pokok
ajaran Islâm yaitu al-Qur’ân dan al-Sunnah. Penggunaan ijmâ’
(konsensus) bagi Ibn Rusyd mungkin hanya bisa terjadi pada masa
sahabat. Dengan berkembangnya ajaran Islâm dan semakin luasnya
wilayah Islâm sangat sulit terjadi kata mufakat bagi semua mujtahid
yang hidup pada masa tersebut. Menurut Ibn Rusyd yang bisa terjadi
dalam ijmâ’ hanyalah kesepakatan dalam masalah-masalah ‘amaliyah
dan bukan masalah teoritis.

Daftar Pustaka

Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Ibn Rusyd Averroes Filsuf Islam
Terbesar di Barat. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 197


Fahruddin Ali Sabri

Aqqad, Abbas Mahmud al-. Ibn Rusyd Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan
Dokter, alih bahasa Khalifurrahman Fath. Yogyakarta: C.V.
Qalam, 2003
Baroroh, Umdah El-. Tadarus Ramadan JIL Seri III Fiqh Ibn Rusyd:
Antara Konservatisme dan Liberalisme,
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=931.
Bik, Muhammad Khudari. Ushul al-Fiqh. Beirut: Dâr al-Fikr, 1981.
Ghazâlî, Muhammad bin Muhammad Abû Hâmid, al-. Al-Mustashfa fî
’Ilmi al-Ushûl. Kairo: Al-Matba’ah al-Amiriyah, 1324 H.
Hanafi, A. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1969.
Hasan, Ahmad. The Early Development of Islamic Jurisprudence. New
Delhi: Adam Publisher & distributor, 1994.
Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtahid. alih bahasa Imam Ghazali dan
Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
---------, Mukaddimah Bidâyat al-Mujtahid. alih bahasa A. Hanafi,
Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Iskandar, Usman. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Perkasa, 1994.
Murakisy, Abd al-Wahid al-. al-Mujib fi Talkhish Akhbar al-Magrib.
Cairo: Dâr al-Sya’b, 1964.
Roy, Muhammad. Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles. Yogyakarta: Safiria
Insania Press., 2004.
Sulaymân, Abû Dawud. Sunan Abi Dawud. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
Zahrah, Muhammad Abû. Ushul Fiqih. alih bahasa Saefullah Ma’shum
dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.

al-Ihkâ Vo l.V N o .2 D e se m b e r 2 0 10 198

Anda mungkin juga menyukai