Anda di halaman 1dari 19

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA

DAN DALAM HUKUM ISLAM

Perbaikan Makalah

Dipresentasikan dalam seminar mata kuliah Hukum Islam di Indonesia

Oleh:
Abdul Hafiz

Dosen Pembimbing:
Prof.Dr.H.M. Atho Mudzar

PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM
2015
A. Pendahuluan

Diskursus tentang agama dan negara selalu menjadi tema hangat dan

menarik banyak kalangan, baik para intelektual Islam maupun para orientalis.

Pandangan tersebut menjadi bukti kuat bahwa syari’at merupakan sarana

konstelasi dan tarik ulur perdebatan baik dalam dataran wacana maupun

politik praktis. Belum lagi apabila dihadapkan pada realitas sifat evolusioner

kehidupan yang tentu saja masalah dan tantangan baru selalu bermunculan.

Dari perspektif ini, relasi Islam dan negara berada dalam locus yang

menentukan dalam kaitannya dengan pembaharuan pemikiran Islam. Banyak

tokoh mengulas tentang relasi agama dan negara serta konsep-konsepnya. Hal

ini memberikan kesempatan pada penyusun untuk menyingkap pemikiran

keduanya tentang relasi Islam dan negara dalam Hukum Islam,

Dalam makalah ini penulis berusaha mengungkap bangai mana

hubungn agama dan Negara di Indonesia dalam perspektif hukum Islam.

1
B. Pengertian Agama dan Negara

Agama berasal dari kata a yang berarti tidak, gama yang berarti kacau atau

kocar-kacir, jadi agama itu tidak kacau atau teratur, rapi dan tidak berantakan.

Dalam agama manusia mempercayai adanya Yang Maha Suci dan Yang Maha

Kuasa. Kekuasaan-Nya inilah yang mengatur segala mahkluk agar menyatukan

diri dalam kerapihan dengan satu sistem yang disebut Islam… Islam sebagai

satu-satunya agama samawi banyak disebut dalam ayat-ayat al-Qur’an seperti

Q. S. al-Baqarah 130-131, Yunus 72 dan lain-lain… Islam sebagai agama

samawi yang mempunyai trias azazi dari pokok ajarannya yaitu aqidah,

syari’ah dan akhlak tidak boleh dipisah-pisahkan.1

Sedangkan negara (dalam pandangan Islam) menurutnya alat untuk

melaksanakan hukum kebenaran dan pri keadilan bagi rakyatnya. Maka

mengurus negara dalam Islam adalah satu cabang dari pokok dasar ajarannya,

syari’at. Kebenaran dan keadilan mutlak hanyalah dari sisi Allah SWT. Maka

Islam tidak menerima teori pemisahan agama dengan negara, sebab Islam

menuntut umatnya agar melaksanakan syari’at secara utuh, meliputi tata cara

beribadah dan muamalah yakni hidup secara individu (hablum min Allah) dan

hidup bermasyarakat (hambum min al-Nâs), dimana pemimpin negara

berfungsi sebagai petugas pelaksana (eksekutif) syari’at agama, yang nampak

di dalam pelaksanaan hukum dan peraturan… Pemimpin adalah orang yang

1
Jamaluddin Kafie, Islam Agama dan Negara, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1983), h. 17-21

2
dibebani tanggung jawab untuk menyampaikan amanah terhadap Tuhannya,

diri dan keluarga serta masyarakat dan bangsanya.2

Dari pendapatnya tersebut, terlihat bahwa agama tidak melulu masalah

iman, tetapi juga mengatur prilaku kehidupan umat manusia dari berbagai

aspeknya yakni politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pelaksanaan pertahanan

keamanan.

Sementara itu Ahmad Amin mengatakan bahwa “Agama bukanlah

semata-mata masalah pribadi atau masalah individu, melainkan masalah

individu dan sekaligus masalah kemasyarakatan”.3 Artinya, bahwa agama tidak

hanya senantiasa berurusan dengan masalah-masalah pribadinya dengan Tuhan

semata tetapi juga sekaligus manusia sebagai pribadi dapat menciptakan

hubungan yang harmonis antara sesama bahkan dengan semua mahkluk

ciptaan-Nya termasuk hukum-hukum yang berlaku bagi dunia manusia yaitu

segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini.

Selanjutnya Ziauddin Sardar mengatakan bahwa Islam bukanlah sebuah

agama dengan seperangkat ritual, atau sebagai suatu hukum dengan daftar yang

berisi anjuran dan larangan, tetapi sebagai pandangan dunia holistik yang

menyeluruh dan sistematis.4

Islam menurutnya merupakan pandangan dunia multi dimensional.

Perspektif Islam ada dalam setiap usaha manusia, lebih-lebih, Islam berurusan

dengan manusia seutuhnya dan mengungkapkan keadaan-keadaan yang khas

manusiawi dengan menawarkan seperangkat nilai yang mengesankan,

2
Ibid., h. 21-22
3
Ahmad Amin, Islam Dari Masa ke Masa, (Bandung: Pustaka, 1987), Cet. ke-I, h. 12
4
Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), Cet. ke-I, h. 12

3
instrumental, etis, estetis dan eskatologis, yang semuanya mencerminkan dan

mengiktisarkan keragaman aspek eksistensi manusia. Nilai-nilai ini

merangkum bersama berbagai aktivitas dan pemikiran manusia, memberikan

kepada mereka suatu bentuk organis dan menghubungkan perspektif Islam

yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, Islam adalah suatu usaha

menyeluruh.5

Maksud dari pernyataan di atas adalah bahwa Islam tidak tergantung

dari gambaran dan rumusan-rumusan eksklusif yang menimbulkan kesan-kesan

negatif seolah-olah didalamnya hanya terdiri dari ancaman-ancaman dan

hukuman seperti hukum pancung, rajam dan potong tangan dan sebagainya.

Tetapi Islam merupakan seluruh kegiatan manusia dari hal yang paling kecil

sampai yang terbesar dalam kehidupannya.

Selanjutnya Dr. Mustafa As-Siba’i, mengatakan bahwa: Agama adalah

satu peraturan yang meliputi masalah-masalah kepercayaan (aqidah) dan

ibadah yang menghubungkan ikatan segenap umat manusia antara yang satu

dengan yang lainnya dan mempersatukan pemeluknya sehingga menjadi satu

umat yang dijiwai oleh kesatuan rohani. Sedang pengertian negara adalah

himpunan suatu bangsa yang bercita-cita menegakkan hak dan keadilan bagi

segenap bangsa (rakyat), serta berusaha memudahkan jalan mencari

penghidupan dengan penuh kebahagiaan dan kedamaian.6

5
Ibid., h. 59-60
6
Mustafa As-Siba’i, Agama dan Negara, Studi Perbandingan Antara Yahudi-Kristen dan
Islam, (Jakarta : Media Da’wah, 1983), Cet., 1, h. 7

4
Demikianlah, dari berbagai pendapat tersebut di atas jelas menunjukkan

bahwa antara agama dan negara mempunyai hubungan yang sangat erat dan

menunjukkan arti yang positif.

Bila negara bercita-cita mewujudkan kerjasama antara segenap umat

manusia, maka agama merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam

rangka menegakkan prinsip tersebut yang dilandasi iman, akhlak dan syari’ah.

Bila agama hendak mencapai tujuannya tersebut dengan berpedoman pada

perasaan kejiwaan dan keyakinan, maka agama bersama-sama negara

mempunyai pengaruh yang sangat besar untuk mencapai tujuan itu. Untuk itu

bila agama merupakan unsur terpenting dalam menciptakan masyarakat yang

harmonis, jelaslah bahwa agama merupakan faktor utama dalam penegakkan

dan pelaksanaan negara.

Seperti dikatakan Ibnu Taimiyah (kutip Wagar Ahmad Husaini), bahwa

mengurusi masalah-masalah manusia adalah salah satu diantara syarat-syarat

terpenting dari agama (Islam), bahkan lebih dari itu, tanpa mengurusi masalah-

masalah manusia agama tidak dapat bertahan. Tugas untuk menyerukan

kebajikan dan mencegah kejahatan tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna

tanpa kekuasaan dan otoritas.7

Artinya, tanpa adanya negara, agama tidak akan dapat mewujudkan dan

melaksanakan cita Islam yang menyeluruh dari kehidupan manusia di dunia.

Tanpa negara, agama tidak akan berlaku, sebab tidak ada suatu lembaga

(negara) yang melaksanakan dan mewujudkan cita agama (Islam) tersebut.

7
S. Waqar Ahmed Husaini, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, (Bandung: Pustaka,
1983), Cet. ke-I, h. 217

5
Dengan begitu, agama hanya merupakan suatu faham yang berurusan dengan

kerohanian semata. Sehingga dr. S. Waqar Ahmed Husaini mengatakan bahwa

negara adalah suatu perjuangan untuk merealisir hal-hal yang spiritual dalam

organisasi manusia.8

C. Peran Agama dan Negara

Dalam Islam, hubungan agama dan negara masih menjadi perdebatan

diantara pakar-pakar Islam hingga kini, yang diilhami oleh hubungan yang

agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah) menurut

Azra Banyak para ulama tradisional yang berargumentasi bahwa Islam

merupakan sistim kepercayaan dimana agama memiliki hubungan erat dengan

politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia

termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini, maka pada dasarnya dalam

Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Akhirnya ditemukan

beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan

negara. Antara lain :

1. Paradigma integralistik.

Menurut paradigma integralistik, konsep hubungan agama dan negara

merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan

dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini memberikan pengertian bahwa

negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.

Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama

8
Ibid.

6
dan politik (negara). Paradigma integralistik ini dianut oleh kelompok Islam

Syi’ah.

2. Paradigma Simbiotik.

Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami

saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara

sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu

juga sebaliknya, negara memerlukan agama, karena agama juga membantu

negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.

3. Paradigma sekularistik.

Menurut paradigma sekularistik, ada pemisahan (disparitas) antara agama

dan negara. Agama dan negara merupakan dua (2) bentuk yang berbeda dan

satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga

keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan

intervensi (campur tangan)

Tidak ada satupun langkah dan lapangan hidup manusia di dunia ini

yang dapat dipisahkan dari agama (sebagai pedoman hidup), manusia hanya

dapat memilih antara dua faham, yang berdasarkan agama atau yang non

agama (sekularisme).

Masalah sekularisasi pada awalnya adalah berpangkal pada masalah

hubungan agama (gereja) dengan negara. Hubungan itu sebagai suatu proses

dan berpengaruh pada bidang-bidang kehidupan lainnya. Jika diurut kembali,

7
maka pada zaman renaissance di Eropa merupakan suatu epilog terjadinya

perebutan hegemoni antara Gereja dan negara. Ketika itu Eropa baru saja

melancarkan konfrontasi yang berlangsung lebih kurang tiga abad melawan

umat Islam. Meskipun perang besar itu telah dikerahkan oleh Gereja, ironisnya

para veteran Kristiani yang kembali ke negerinya, umumnya ketularan

semacam wabah yang melumpuhkan sendi-sendi Gereja itu sendiri. Wabah

tersebut tidak lain adalah kebebasan berpikir yang masa itu sedang berkembang

pesat di dunia Islam.

Pengaruh kebebasan berfikir itu merembes ke dalam agama Kristen.

Lambat laun masalah sehari-hari mencapai kebebasan dari pengawasan agama

(Gereja) dan setelah abad reformasi agama (1453) beberapa bidang hidup

menjadi otonom, terlepas dari pengaruh Gereja.

Menjelang abad XIX, sekuler sering dianggap sebagai suatu keadaan

yang mana baik Gereja atau umat Kristen tidak berhak untuk campur tangan

dalam politik, perdagangan, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Kurun abad

XX lebih banyak lagi bidang hidup yang disekulerkan; seperti universitas,

rumah sakit, badan-badan sosial, kesenian dan lain sebagainya. Dengan

demikian kegiatan-kegiatan yang sakral semakin lama makin terbatas pada

lapangan yang sempit. Dan pada babakan selanjutnya negara mengambil alih

pengaruh Gereja dalam mengklaim kesetiaan penduduk secara keseluruhan,

dan negara menjadi wakil seluruh masyarakat.

Karena manusia hidup di alam materi, dimana pemenuhan kebutuhan

materialnya dirasakan lebih langsung dan mendesak daripada kebutuhan-

8
kebutuhan non materialnya, maka para penganut sekularisasi menganjurkan

agar agama menjauhkan diri dari politik, begitu pula sebaliknya.

Konsep sekularisasi didasarkan pada pandangan umum bahwa dengan

melepaskan diri dari agama, maka suatu negara akan mengalami kemajuan

dalam segala bidang kehidupan, baik di bidang sosial, politik, ekonomi dan

budaya. Negara-negara yang mengadakan pembaharuan (modernisasi) dalam

segala bidang, akan dengan sendirinya mengalami proses sekularisasi. Dengan

kata lain, datangnya sekularisasi tidak dapat dielakkan karena keduanya

bagaikan dua sisi dari satu mata uang.

Di samping konsep sekularisasi tersebut, dapat kita temukan konsep

sekularisasinya Muhammad. al-Bahi (seorang pemikir Islam Mesir), yang

mengajukan dua konsep sekularisasi yaitu: sekularisme muderat dan

sekularisme radikal.

Sekularisme moderat adalah faham yang menganggap bahwa agama

terpisah dari urusan-urusan kenegaraan, sedang sekularisme radikal dalam

pandangan Muhammad al-Bahi, merupakan faham sekuler yang berpendirian

bahwa agama merupakan musuh yang harus dimusnahkan, sebab agama hanya

akan menghambat kemajuan suatu negara.

Berkenaan dengan sekularisme dalam pandangan Islam, secara singkat

Amin Rais mengungkapkan bahwa kedua konsep sekularisme di atas yaitu

sekularisme moderat dan sekularisme radikal tidaklah terdapat dalam agama

Islam.

9
Islam tidak memberikan tempat bagi sekularisme, Karena agama wahyu

ini memang tidak mengenal dikotomi antara kehidupan secara tegar antara

kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, antara yang profan dan yang sakral,

antara imanen dan transedental. Universalitas dan sentralitas Islam bagi kaum

muslimin dalam bidang kehidupan mereka merupakan ajaran terpenting yang

tidak dapat ditawar lagi. Doktrin Nasrani yang menyatakan “berikan kepada

sang kaisar apa yang menjadi hak kaisar; dan berikan kepada Tuhan apa yang

menjadi hak Tuhan”, sama sekali tidak dikenal dalam agama Islam.9

Itulah faham non agama (sekularisme) yang memusuhi agama dan

senantiasa mengucilkan agama dari arus kehidupan masyarakat. Sementara itu,

agama yang bagi umat beragama merupakan satu kepercayaan hidup, berbeda

dengan faham non agama, dapat diterima oleh akal dan memberikan tujuan

yang paling tinggi, setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan

perorangan. Agama juga memberikan dasar yang tetap yang tidak berubah.

Untuk itu segala yang bergerak dan berubah harus mempunyai dasar yang

tetap, harus mempunyai tempat kembali atau point of refrence. Bila tidak ada

dasar yang tetap itu, maka krisis dan bencana akan timbul.

Kaum Muslimin yang menerima seluruh ajaran al-Qur’an dan

memahami dengan benar apa yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadits,

harus meyakini bahwa hanya kedua sumber Islam itulah yang dapat

memberikan garis kehidupan yang jelas dan tegas bagi hidup dan kehidupan

manusia di dunia dan akhirat. Sebagaimana dinyatakan al-Maududi:

9
Amin Rais, op.cit., h. 126

10
“Adalah kehendak Allah yang harus dijadikan sumber hukum dalam suatu

masyarakat Islam, bukan kehendak manusia. Skema atau kode kehidupan yang

diberikan Islam untuk mengatur kehidupan manusia adalah syari’ah yang

fleksibel dan dinamis; kembali Maududi menyatakan bahwa syari’ah adalah

skema kehidupan yang lengkap dan suatu tata sosial yang serba mencakup,

dimana tidak ada yang tidak bermanfaat dan tiada yang kurang.10

Maksud dari pernyataan tersebut di atas bahwa syari’ah itu adalah

merupakan satu kesatuan yang utuh, yang harus diterima dan dilaksanakan

secara utuh pula. Syari’ah adalah tata nilai yang meliputi seluruh aspek

kehidupan manusia,yang dalam realitasnya tidak se-kaku dan sekolot seperti

yang dibayangkan orang selama ini.

Maka apabila Islam dipelajari secara utuh dan selektif, menurut penulis,

akan terlihat bahwa dalam syari’ah Islam tidak ada pemisahan antara urusan

dunia dan urusan akhirat. Kehidupan dunia dimulai sejak pertama kali manusia

dilahirkan di atas bumi ini, dengan ditandai ratap tangis bahagia. Maka setelah

nafas terlepas dari tubuh, jasad telah kaku dan dimasukkan kembali ke dalam

tanah, dimulailah kehidupan akhirat.

Untuk itu Islam haruslah dipandang sebagai satu jalinan terpadu yang

melingkari hidup dan kehidupan manusia, yang berpusat pada satu sistem

ajaran moral. Maka sejauh mata memandang, ajaran Islam adalah mencakup

Hablum min Allah dan Hablum min al-Nâs.

10
Ibid., h. 51

11
Bila kita lihat lembaran sejarah Islam, dari sejak zaman Rasulullah

SAW, Khulafaur Rasyidin dan para Tabi’in, kita akan mendengar dan

membaca kenyataan demi kenyataan, peristiwa demi peristiwa, bahwa hampir

dari setiap aktivitas umat Islam di waktu itu tidak dapat dibedakan yang mana

urusan agama dan yang mana urusan dunia (kenegaraan), sebab shalat, puasa,

zakat, haji, pengadilan, perang, pengajaran, musyawarah, silaturrahmi,

perdagangan dan lain sebagainya semuanya adalah ibadah kepada Allah SWT,

semuanya adalah hukum, undang-undang, peraturan dan syari’at.

Dari kenyataan sejarah tersebut, kita dapat mengambil pelajaran bahwa

Islam tidak terpisah sebagai agama dan negara. Islam berbeda dengan agama-

agama lain, karena Islam mempunyai kitab suci al-Qur’an dan Hadis sebagai

hukum dan perundang-undangan, yang meliputi seluruh aspek kehidupan

manusia di dunia dan akhirat.

Itulah perbedaan antara agama dan faham non agama (sekularisme),

dimana faham non agama bukanlah bersumber dari wahyu Illahi, melainkan

ciptaan manusia sendiri. dari perbedaan itu sekaligus kita dapat melihat

kelebihan-kelebihan dan keistimewaan Islam sebagai agama dibanding dengan

faham non agama dengan isme-isme tertentu. Dari uraian tersebut di atas,

jelaslah bahwa agama mempunyai nilai lebih dari faham non agama.

Sementara itu Jamaluddin Kafie berpendapat, bahwa Islam berbeda dari

agama-agama lain, Islam adalah agama yang meliputi seluruh aspek kehidupan

yaitu: hubungan diplomatik, peradilan, politik pemerintahan, sangsi-sangsi,

12
ekonomi keuangan, masalah individu dan keluarga, pendidikan dan pengajaran,

angkatan perang dan sebagainya.

Dalam pandangannya, terlalu sempit waktu dan kertas ini bila kita ingin

membicarakan ciri khas ajaran Islam yang komplit itu. Islam menurut

Jamaluddin, adalah agama yang mengatur tata cara hubungan dengan Allah

dan tata cara hubungan dengan sesama manusia, antara hablum min Allah dan

hablum min annaas tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana tidak ada

pemisahan antara urusan dunia dan urusan akhirat, urusan lahir dan urusan

batin, jasmani dan rohani, materil dan sprituil… pokok pangkal segala urusan

adalah tauhid dalam arti yang sebenarnya.11

Selanjutnya Syeikh Muhammad Abduh, mengungkap kelebihan Islam

tidak secara rinci dan sistematis, Islam dalam pandangannya, menginginkan

manusia untuk senantiasa suci, baik diri maupun hati, sebab Allah tidak

memandang manusia dari wajah dan rupa, melainkan dari hatinya. 12 Islam juga

menuntut manusia yang mukallaf untuk menjaga jasad dan batinnya melalui

shalat, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ankabut ayat 45 :

َّ‫ن ت ا ْن اهى الص اَل َّة ا إِن‬ َِّ ‫ار ْالفاحْ ش‬


َِّ ‫ااء اع‬ َِّ ‫او ْال ُم ْنك‬

Artinya: “Sesungguhnya ibadah shalat itu mencegah diri dari melakukan

perbuatan keji dan munkar”.13

11
Jamaluddin Kafie, Islam Agama Dan Negara, op.cit., h. 88-89
12
M. Abduh, Risalatu’t Tauhid, (Mesir : Al-Manar, 1353 H), Terj. Firdaus A. N. Risalah
Tauhid, (Jakarta : Bulan Bintangm 1996), Cet. 10
13
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putera, 1989),
h. 635

13
Islam pun mengangkat martabat orang kaya yang pandai bersyukur

sama dengan martabat orang fakir yang sabar. Masih banyak lagi kelebihan dan

keistimewaan Islam bila dilihat dari segala aspeknya kehidupan manusia.

D. Hubungan Islam dan Negara di Indonesia

Secara umum hubungan Islam dan Negara di Indonesia dapat

digolongkan ke dalam 2 (dua) bagian, yakni pertama hubungan yang bersifat

antagonostik. Hubungan ini mencirikan adanya ketegangan antara Negara dan

Islam politik (Political Islam) pada masa kemerdekaan samapai pada pasca

revolusi pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik

basis kebangsaan Negara. Intinya pada masa ini Negara mencurigai Islam

sebagai ancaman dan di cap sebagai kekuatan “ekstrem kanan” yang potensial

dapat menandingi eksistensi Negara. Disini Negara terus berusaha

menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologis politik

Islam.

Dan kedua hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungn model ini

setidaknya terjadi padamedio 1980-an. Hal ini ditandai dengan semakin

besarnya peluang umat Islam dalam mengembangkan wacana politiknya dan

muncul kebijakan-kebijakan yang dianggap positif bagi kalangan umat Islam.

Ada beberapa alasan mengapa tiba-tiba Negara bisa begitu mesra atau

harmonis dengan Islam, pertama, dari sisi pemerintah, Islam merupakan

kekuatan yang tidak bisa diabaikan yang pada akhirnya bila diletakan pada

posisi pinggiran akan menimbulkan masalah politik yang sangat rumit. Oleh

14
karena itu sudah sewajarn ya diakomodasi, sehingga kemungkinan konflik

dapat direndam lebih dini. Kedua, di kalangan pemerintah sendiri terdapat

sejumlah figure yang tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan memiliki

dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari latar belakangnya,

missal B.J Habibie, Emill Salim, dan lain sebgainya. Mereka tentu saja

berperan dalam membentuk sikap politik pemerintah paling tidak untuk tidak

menjauhi Islam. Dan ketiga, adanya perubahan persepsi orientasi, sikap dan

prilaku politik di kalangan Islam itu sendiri.

Dari segi penerapan hukum islam di Indonesia, telah menempuh

perjalanan panjang, mulai dari era sebelum penjajahan, era penjajahan

belanda, jepang, masa kemerdekaan, masa orde lama dan orde baru, masa

reformasi, hukum islam selalu menempati posisi yang berubah-ubah,

penerapannya pun hanya sebatas pada persoalan perkawinan, wakaf dan

wasiat. Namun pada aspek hukum lain seperti pidana islam, perdata islam

belum mendapatkan ruang untuk berkembang.

Harapan penerapan hukum islam kembali muncul setelah Gemuruh

demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah

melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai

menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No.

III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-

undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang

berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan

ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari

15
suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan

berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.

Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit

merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah

membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-

undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh

Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.

Perda syari’ah juga sudah bermunculan di berbagai daerah, namun

pelaksanaan perda tersebut belum menunjukkan pencapaian yang maksimal,

masih banyak penyempurnaan yang harus diperbaiki, baik dari segi

filosofinya, draf undang-undang, maupun dari segi penerapan dan

pengawasan terhadap pemberlakuan undang-undang tersebut.

Dengan demikian, saat ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem

hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita

dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan

hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk

kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum

Nasional kita.

16
Penutup

Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai

oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi

penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan,

perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan

bijaksana. Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan

menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa

perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan

berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran

dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan

itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak

sejalan dengan kema’rufan Islam.[36]

Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama

ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya

tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem demokrasi,

daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan

dan cita-cita.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin, Islam Dari Masa ke Masa, (Bandung: Pustaka, 1987)

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putera,

1989)

Jamaluddin Kafie, Islam Agama dan Negara, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1983)

M. Abduh, Risalatu’t Tauhid, (Mesir : Al-Manar, 1353 H), Terj. Firdaus A. N.

Risalah Tauhid, (Jakarta : Bulan Bintangm 1996)

Mustafa As-Siba’i, Agama dan Negara, Studi Perbandingan Antara Yahudi-

Kristen dan Islam, (Jakarta : Media Da’wah, 1983)

S. Waqar Ahmed Husaini, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, (Bandung:

Pustaka, 1983)

Ziauddin Sardar, Masa Depan Islam, (Bandung: Pustaka, 1987)

18

Anda mungkin juga menyukai