Abstract
1
Abstrak
Skenario 9
Penyakit tidak menular khususnya diabetes mellitus tipe 2 cenderung terus meningkat dari tahun
ke tahun. Penyakit diabetes menjadi penyebab atau komormiditas penyakit lainnya seperti stroke
dan jantung coroner. Dokter A di Puskesmas Warnasari ingin melakukan skrining DM tipe 2 pada
penduduk yang berusia >15 tahun. Selama setahun dari 850 orang diperiksa kadar glukosa
sewaktu, didapatkan 100 orang dinyatakan menderita DM tipe 2 dan diobati.
Diabetes Mellitus
2
sebanyak 415 juta atau 8,5%. Hampir 80% orang diabetes ada di Negara berpenghasilan rendah
dan menengah. Menurut RISKESDAS tahun 2016 prevalensi diabetes mellitus di Indonesia
adalah 6,9%. Diabetes dengan komplikasi merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di
Indonesia.1,2
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal sebaiknya
diulang tiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang setiap 1tahun.
Pada keaadan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO, maka
pemeriksaan penyaring dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler diperbolehkan
untuk patokan diagnosis DM.
Gejala Klinis
Gejala klinis DM adalah polifagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria
(banyak kencing/sering kencing dimalam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan turun
dengan cepat, mudah lelah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk jarum, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, luka sulit sembuh, keputihan,
penyakit kulit akibat jamur dibawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar
dengan berat badan ≥4 kg. Didefinisikan sebagai DM apabila pernah didiagnosa kencing manis
oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1
bulan terakhir mengalami gejala seperti sering lapar, sering haus, dan sering buang air kecil dan
banyak, serta berat badan turun.3
3
Diagnosis
Diagnosis DM dibuat berdasarkan ada/ tidaknya gejala klinis DM dan hasil pengukuran
kadar glukosa plasma. Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika
terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl diagnosis DM
sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat
digunakan untuk pedoman diagnosis DM.1,3
Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali
saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diagnosis DM dapat ditegakkan
dengan salah satu criteria berikut:3
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM (usia >
45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang,
melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring. Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa,
kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).4
Skrining
Skrining adalah suatu penerapan uji/tes terhadap orang yang tidak menunjukan gejala
dengan tujuan untuk mengelompokkan mereka kedalam kelompok yang mungkin menderita
penyakit tertentu. Skrining merupakan deteksi dini penyakit, bukan merupakan alat diagnostik.
Bila pada hasil skrining positif, akan diikuti uji diagnostik atau prosedur untuk memastikan
4
adanya penyakit. Contoh uji skrining antara lain yaitu pemeriksaan rontgen, pemeriksaan sitologi
dan pemeriksaan tekanan darah.5,6
Tujuan dari skrining adalah mendeteksi faktor risiko penyakit kronis dalam rangka
mendeteksi faktor risiko penyekit kronis dalam rangka mendorong peserta untuk melakukan
deteksi dini dan cegah risiko secara dini terhadap penyakit kronis, dan untuk menentukan orang
yang terdeteksi menderita suatu penyakit sedini mungkin sehingga dapat segera memperoleh
pengobatan serta untuk mengurangi morbiditas atau mortalitas dari penyakit dengan pengobatan
5
dini terhadap kasus-kasus yang ditemukan. Program diagnosis dan pengobatan dini hampir selalu
diarahkan kepada penyakit tidak menular seperti kanker, diabeletes mellitus, glaukoma dan lain-
lain. Semua skrining dengan sasaran pengobatan dini ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi
orang-orang asimptomatik yang berisiko mengidap gangguan kesehatan serius. Dalam hal ini,
penyakit adalah setiap karakteristik anatomi seperti kanker atau arteriosklerosis, fisiologi seperti
hipertensi atau hiperlipidemia ataupun perilaku seperti kebiasaan merokok yang berkaitan
dengan peningkatan gangguan kesehatan yang serius ataupun kematian. Terdapat tingkatan
pencegahan yang pada umumnya ditargetkan didalam program-program skrining yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder, pencegahan tersier7
Terdapat dua probabililitas yang digunkaan untuk mengukur kemampuan sebuah uji
skrining dalam membedakan antara individu yang sakit dan yang tidak sakit. Pengukuran
validitas uji skrining ini ditentukan dengan membandingkan hasil menurut uji skrining dengan
hasil yang didapat dari uji yang lebih akurat (gold standard). Nilai tertentu pada hasil-hasil uji
skrining yang bersesuaian dengan hasil-hasil gold standard menghasilkan ukuran sensitivitas dan
spesifisitas.
6
Sensitivitas adalah kemampuan uji skrining untuk memberikan hasil positif mereka yang
mengindap penyakit. Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes skrining maka semakin baik
kemampuan mendeteksi seseorang menderita penyakit tertentu sehingga dapat memperoleh
penanganan dini. Apabila sensitivitas rendah berarti bahwa tes akan melewatkan banyak individu
yang memiliki penyakit, sehingga meningkatkan jumlah “false negative/negative palsu”7,8
7
Negatif c (FN) d (TN)
Rumus:
d
Nilai prediksi tes (-) atau NPV= x 100
(c +d )
Pencegahan
a. Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah bertujuan untuk mengetahui pola budaya, ekonomi,
social, dan sebagainya yang mempunyai peranan dalam meningkatkan kejadian
penyakit. Seperti larangan pemerintah untuk larangan merokok. Pencegahan
premodial pada penyakit DM adalah menciptakan prakondisi sehingga masyarakat
merasa bahwa konsumsi makan kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang
baik, pola hidup santai atau kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi
kesehatan.
b. Pencegahan Primer
8
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi
untuk menderita DM diantaranya :
a. Kelompok usia tua (>45tahun)
b. Kegemukan (BB(kg) >120% BB idaman atau IMT>27)
c. Tekanan darah tinggi (>140/90mmHg)
d. Riwayat keiuarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Disiipidemia (Trigliserida>250mg/dl).
g. Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau glukosa darah puasa tergangu
(GDPT).
Maka harus dilakukan pencegahan sejak dini, sebagai contoh hendaknya telah
ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis
makanan yang sehat menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok
bagi kesehatan.
c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal
penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan
sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Pilar utama
pengelolaan DM meliputi:
a. penyuluhan
b. perencanaan makanan
c. latihan jasmani
d. obat hipoglikemik.
d. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan
merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap.
9
diabetes memerlukan keseimbangan antara beberapa kegiatan yang merupakan bagian intergral
dari kegiatan rutin sehari-hari seperti makan, tidur bekerja dan lain- lain. Pengaturan jumlah serta
jenis makanan serta olah raga oleh pasien serta keluarganya. Berhasilnya pengobatan diabetes
tergantung pada kerja sama antara petugas kesehatan dengan pasien dan keluarganya. Pasien
yang mempunyai pengetahuan cukup tentang diabetes, kemudian selanjutnya mengubah
perilakunya, akan dapat mengendalikan kondisi penyakitnya sehingga ia dapat hidup lebih lama.
Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dengan memberikan penyuluhan diabetes
antara lain:
Agar pasien dapat hidup lebih lama dan dalam kebahagiaan. Kualitas hidup sudah
merupakan kebutuhan bagi seseorang, bukan hanya kuantitas, seseorang yang bertahan
hidup, tetapi dalam keadaan tidak sehat akan mengganggu kebahagiaan dan kestabilan
keluarga.
Untuk membantu pasien agar mereka dapat merawat dirinya sendiri, sehingga komplikasi
yang mungkin timbul dapat dikurangi, selain itu juga jumlah hari sakit dapat ditekan
Agar pasien dapat berfungsi dan berperan sebaik-baiknya didalan masyarakat.
Agar penderita dapat lebih produktif dan bermanfaat.
Menekan biaya perawatan baik yang dikeluarkan secara pribadi, keluaraga ataupun
secara nasional.
Metode Penyuluhan11
Sebelum mengetahui tentang metoda penyuluhan kesehatan, hendaknya diketahui
terlebih dahulu tentang tujuan yang akan dicapai, apakah akan merubah periakal (knowledge),
perirasa (attitude) atau kah perilaku (behaviour). Dengan mengetahui sasarannya maka dapat
dipilih kira-kira metode yang mana paling cocok:
10
- Tugas baca - Film video - Self monitoring
- Diskusi panel - Bimbingan Penyuluhan
- Simposium
- Konferensi
Penyuluhan kesehatan penderita DM yang cocok adalah antara lain ceramah, diskusi
kelompok, video, bimbingan penyuluhan, tanya jawab, monitor diri sendiri dan ikut menjadi
anggota perkumpulan DM. Sebelum memulai penyuluhan, sebaiknya dilakukan analisis
mengenai pengetahuan pasien tentang diabetes mellitus, sikap dan ketrampilannya. Demikian
juga dengan mengetahui latar belakang sosial, asal-usul etnik, keadaan keuangannya, cara hidup,
kebiasaan makan, kepercayaan dan tingkat pendidikannya, edukasi akan lebih terarah dan lebih
berhasil. Edukasi diabetes adalah suatu proses berkesinambungan dan perlu dilakukan beberapa
pertemuan untuk menyegarkan dan mengingatkan kembali prinsip-prinsip penatalaksanaan
diabetes. Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan adalah :
Berikanlah dukungan dan nasihat yang positif dan hindarilah kecemasan.
Berikanlah informasi secara bertahap, jangan beberapa hal sekaligus.
Mulailah dengan hal yang sederhana baru kemudian yang kompleks.
Pergunakanlah alat bantu dengar-pandang (audio visual) seperti set bahan informasi,
slide, tape, video atau komputer.
Lakukanlah pendekatan dengan mengatasi permasalahan dan lakukanlah stimulasi.
Perbaikan ketaatan pasien dengan memberikan pengobatan sesederhana mungkin.
Lakukanlah kompromi dan negosiasi untuk mencapai tujuanyang dapat diterima pasien,
dan jangan memaksakan tujuan kita pada pasien.
Lakukanlah motivasi dengan cara memberi penghargaan dan mendiskusikan hasil tes
Laboratorium.
11
dalam penatalaksanaan diabetes, agar kemudian dapat dimotivasi untuk meningkatkan fasilitas
pelayanan kesehatan bagi pasien diabetes.
Pada penyuluhan tingkat primer ini yang menjadi sasaran adalah orang sehat yang belum
terdiagnosa diabetes, tetapi beresiko tinggi untuk terkena diabetes, misalnya anak-anak penderita
diabetes dan sebagainya. Adapun materi penyuluhan yang perlu disampaikan pada mereka adalah
megenai faktor-faktor yang berpengaruh pada timbulnya diabetes dan usaha untuk mengurangi
faktor resiko tersebut.
Sasaran Penyuluhan
Sasaran langsung penyuluhan diabetes adalah pasien diabetes beserta keluarganya, tetapi
untuk mencapai program yang berdaya guna dan sekaligus berhasil guna, kita perlu menentukan
sasaran tidak langsung yang terdiri dari petugas kesehatan dan berbagai komunitas dimana
pasien berada di dalam melakukan kegiatannya sehari-hari. Petugas kesehatan perlu secara
berkesinambungan mendapat pendidikan cara menangani pasien diabetes. Masalah di Indonesia
yang juga menjadi masalah di negara-negara lain adalah kurangnya pengetahuan dokter tentang
pengobatan mutakhir diabetes. Informasi terbaru tentang penanganan diabetes sering terlambat
sampai kepada dokter, terutama mereka yang tinggal dikota kecil dan daerah terpencil.
Sasaran kedua adalah tim kesehatan/perawat yang bisa terdiri dari berbagai disiplin
misalnya perawat, ahli gizi, ahli fisioterapi, pekerja sosial bahkan perawat bedah dan ahli
farmasi. Masing-masing anggota tim berfungsi sesuai dengan keahlian yang dimilikinya dan
kebutuhan pasien pada saat konsultasi. Ditingkat rumah sakit tentunya tim tersebut dapat lebih
lengkap, tetapi di Puskesmas, balai kesehatan masyarakat atau praktek pribadi, keberadaan tim
yang sederhana terdiri dari 2-3 orang.
Sasaran ketiga, adalah orang-orang yang beraktivitas bersama-sama dengan pasien
sehari-hari, baik dilingkungan rumah ataupun lingkungan lain misalnya lingkungan tempat
bekerja, lingkungan sekolah dan lain-lain. Lingkungan lain adalah lingkungan yang dapat
berubah-ubah, tergantung pada aktivitas pasien. Lebih sulit untuk mencapai komunitas ini bila
13
dibandingkan dengan keluarga, karena lebih bervariasi dan dengan tempat tinggal yang berbeda-
beda pula.
Penyakit tidak menular cenderung terus meningkat dan telah mengancam sejak usia muda.
Transisi epidemiologis telah terjadi secara signifikan selama dua dekade terakhir, yakni penyakit
tidak menular telah menjadi beban utama. Penyakit tidak menular utama meliputi hipertensi,
diabetes mellitus, kanker dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), asma, stroke gangguan
penglihatan. Untuk mencegah terjadinya faktor resiko yang berat harus dilakukan deteksi dini,
karena sebagian besar tidak mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit tidak menular.
Pengendalian penyakit tidak menular antara lain dilakukan melalui Pos Pembinaan Terpadu
Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Posbindu-PTM) yang merupakan upaya monitoring dan
deteksi dini faktor resiko penyakit tidak menular di masyarakat.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
1. Ozougowo JC, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba CB. The pathogenesis and
pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. JPAP. 2013; 4(4): 44-57.
2. Fatimah RN, Majority J.Diabetes melitus tipe 2. 2015; 4(5):93-101
3. Ndraha S. Diabetes mellitus tipe 2 dan tatlaksana terkini. Medicines. 2014; 27(2): 8-16
4. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A. Pengelolaan dan pencegahan DM Tipe 2 di
Indonesia. Jakarta: PB PERKENI; 2015.h. 6-27
5. Rajab W. Buku ajar epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h.156-
60
6. Wahab. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000.H. 28-9
14
7. Morton RF, Hebel JR, Carter RJ. Panduan studi epidemiologi dan biostatika. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h. 53-57
8. Budiarto, Anggraeni. Pengantar Epidemiologi. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2009.h.87-92.
9. Notoatmodjo, S. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan, Andi
Offset, Yogyakarta; 2010.
10. Sugondo, S. Penyuluhan Sebagai Komponen Terapi Diabetes Dan Penatalaksanaan
Terpadu, Editor: Sidartawan Sogondo, Pradana Suwondo, Iman Subekti, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta; 2010.
11. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia
Sehat Dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta; 2016.h.97-108.
12. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia
Sehat Dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta; 2016.h.15-6.
15