Anda di halaman 1dari 3

NEGARA PERISAI HAKIKI BAGI IBU DAN ANAK

Hadits Rasulullah Muhammad SAW diatas, dengan jelas menyatakan bahwa pemimpin
suatu bangsa sejatinya adalah perisai rakyatnya, menghalangi musuh untuk menyakiti kaum
muslimin. Pemimpin dan rakyatnya bersatu padu menghalau para pengganggu,
pembangkang, penjarah dan perusak umat. Pemimpinlah yang bertanggung jawab dalam
mekanisme perlindungan masyarakat secara praktis dari berbagai kejahatan materil dan
moril.

Itulah peran sejati yang islam tetapkan bagi para pemimpin. Tidak seperti hari ini, pemimpin
justru berada dibelakang rakyatnya. Perempuan dan anak menjadi tumbal sistem ekonomi,
sosial dan budaya yang berdasar pada ideologi kapitalis sekuler. Sistem yang telah
memproduksi berbagai problem. Kesenjangan ekonomi, itu sudah pasti. Namun yang lebih
memprihatinkan, keamanan dan penjagaan kehormatan kesucian diri perempuan, kaum ibu
dan anak-anak, menjadi sesuatu yang amat mahal.

Kendati Komnas Perlindungan Anak telah melaporkan tentang indonesia darurat kejahatan
seksual anak sejak 2010, pemerintah seperti tidak berdaya untuk menghentikannya. Hingga
Yohana Susana Yembise menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak turut
mengakui kasus kekerasan seksual pada anak terus meningkat.

Simak saja data yang dihimpun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Jumlah
kekerasan seksual anak tahun 2010 sebanyak 171 kasus. Tahun 2011 meningkat derastis
menjadi 2.178 kasus. Tahun 2012 sejumlah 3.512 kasus, tahun 2013 sebesar 4.311 kasus.
Tahum 2014 sebanyak 5.066 kasus. Terakhir, sampai Agustus 2015 terdapat 6.006 kasus.
Betapa neratnya kasus itu, hingga perlindungan saksi dan korban (LPSK) menggolongkan
kejahatan itu segawat kasus pelanggaran HAM, Korupsi, terorisme dan tindak pidana
perdagangan orang. Kejahatan seksual yang menimpa perempuan juga tidak kalah
memiriskan. Catatan Tahunan 2015 yang dirilis pada situs Komnas Perempuan, mereka
menyebutkan dirana personal terjadi kekerasan seksual 2.274 kasus (26 persen dari semua
kasus kekerasan). Sedangkan diranah komunitas, dari 3.860 kasus kekerasan 56 persen
adalah kasus kekerasan seksual.

Begitulah kapitalisme sekuler, dan negara yang dibangun atas ideologi ini, makin lama
makin rapuh menanggung beban kerusakan yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri. Jagankan
menjadi perisai, bahkan kadangkala negara tega “memangsa “ rakyat yang seharusnya
dilindungi dan diayominya.

Ketidakberdayaan negara itu kian tampak pada solusi yang ditawarkanya untuk
menyelesaikan kejahatan seksual. Alih-alih mencari solusi tuntas, pemerintah malah masih
membiarkan publik negeri ini sibuk berdebat tentang upaya praktis, hukuman kebiri untuk
pelaku paedofil atau menerbitkan aturan baru. Diantara aturan baru itu adalah keinginan
SERERLIMA kelompok yang berambisi untuk memperkuat akses anak dan remaja indonesia
atas hak kesehatan reproduksi dan seksual untuk menjadikan materi kesehatan reproduksi
(Kespro) dalam kurikulum pendidikan.

Meskipun beberapa pihak menilai sanksi hukum diindonesia amat lemah, namun solusi
yang diajukan tidak pernah beranjak dari pembuatan aturan yang dinilai lebih baru.
Demikian juga tawaran yang mengemuka untuk menghentikan kekerasan seksual pada
perempuan. Kalangan feminis beranggapan dengan menerbitkan satu aturan lagi, RUU
penghapusan kekerasan seksual, kasus kejahatan seksual akan dicegah, termasuk
“kekerasan seksual” yang terjadi dalam relasi suami istri dalam rumah tangga.

Begitulah kapitalisme mereka menganggap kasus-kasus kekerasan terjadi akibat relasi yang
tidak seimbang antara “pihak yang berkuasa” (laki-laki dalam kasus kekerasan perempuan
atau orang dewasa dalam kasus kekerasan anak) dan pihak lemah. Atas nama
“menyelamatkan anak/perempuan dari diskriminasi”, dunia internasional memaksa
indonesia untuk melaksanakan sederet aturan gender. Dan pemerintah tak ada pilihan lain
kecuali meratifikasi dan menerapkan dengan patuh semua konfensi internasional, tanpa
menimbang lagi baik-buruknya terhadap kehidupan perempuan dan anak.

Seperti halnya upaya kalangan liberal untuk memasukkan muatan kespro dalam kurikulum
sekolah. Mau tidak mau, upaya itu menjadi bagian kampanye agenda Sexual and
Reproductive Health and Rights (SRHR) yang amat potensial merusak kehidupan generasi
muda. Padahal tanpa kespro dan hak seksual, kejahatan seksual telah mengintai kehidupan
anak-anak kita bahkan ditempat ( yang dianggap) aman sekalipun. Apalagi jika materi itu
talah disahkan, apakah bisa dipastikan anak-anak tidak akan mencoba seks aman? Jangan
salah, dari 600 kasus kejahatan seksual pada anak yang terjadi sepanjang Januari hingga
april 2014, pelaku pada 137 kasus anak-anak.

Begitulah kapitalisme, pemerintah tidak pernah ragu untuk mengambilnya. Apalagi jika
“titah” itu berasal dari PBB atau Amerika Serikat sebagai penguasa peradaban saat ini.
Bahkan pada waktu AS sebagai gembong ide gender hingga saat ini tak mau meratifikasi
CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women),
pemerintah indonesia telah meratifikasinya sejak 31 tahun lalu dalam UU No.7 tahun 1984.
Dan materi kespro nyata-nyata tercantum dalam pasal 12 UU tersebut. Ini menjadi bukti
bahwa negara tidak mampu menjadi perisai bagi keamanan anak-anak dan perempuan.

Lebih dari itu, negara juga tidak pernah melakukan edukasi atas opini yang berkembang.
Banyak pihak yang menilai, media massa diera liberalisasi ini turut berperan dalam
penyebaran nilai-nilai materi yang merusak. Sebagaimana aturan, media juga tanpa ragu
mengadopsi ide-ide barat yang justru mendorong pelanggaran perintah Allah SWT untuk
melakukan hubungan yang melanggar syara antara 2 lawan jenis dan melepas pakaian
kehormatan atas nama kebebasan. Hal itu mendapatkan pembenaran dalam undang-
undang sebagaimana yang tercantum pada pendahuluan UU No.40/1999 tentang pers yang
menyebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berdasarkan asas-asas demokrasi. Wajar jika pemerintah merasa tidak memiliki hak untuk
campur tangan terhadap kebebasan media massa dengan alasan apapun. Bahkan menurut
data indeks kebebasan pers dunia yang pertama kali dikeluarkan oleh Reporters Without
Borders pada Oktober 2002, menempatkan indonesia pada urutan 57 dari 139 negara.

Begitulah kapitalisme, sudah jelas jika sistem ini membesarkan media yang berpotensi
merusak perilaku manusia, namun pemerintah tak punya daya untuk menghentikan, apalagi
menghambat perkembangannya. Jadi, siapakah yang akan menjadi perisai, pelindung dari
segala bahaya yang ditimbulkan media sekuler yang mengancam sendi-sendi kehidupan?

Jika berharap pada pemerintah yang mengabdi pada sistem kapitalis sekuler, perisai itu tak
akan pernah ada. Karena sistem kapitalis hanya mengabdi pada kepentingan pemodal yang
hanya menganggap perempuan sebagai aset ekonomi. Maka solusi atas kasus yang
menimpa perempuan dan anak-anak hanya berhenti pada upaya pemberdayaan ekonomi,
karena mereka menganggap kemiskinan adalah induk dari semua masalah. Mereka lupa,
justru konten kekerasan,pornografi dan hal-hal terlarang lainnya telah mendominasi ruang
informasi masyarakat. Hingga saat ini keluarga khususnya ibu tidak mampu melaksanakan
ri’ayah terhadap anak-anak mereka sebagai kewajiban dasar. Belenggu kapitalisme
membuat mereka terseret sebagai pencari nafkah, dan “menyerahkan” anak-anak mereka
dituntun oleh media sekuler liberalis.

Semua ini harus diakhiri, sistem rusak yang hanya akan mengakibatkan kehancuran ini harus
diganti dengan sistem yang benar-benar mampu menjadi perisai. Satu-satunya sistem yang
mampu menjadi perisai hakiki bagi ibu dan anak hanyalah sistem khilafah islamiyah.hanya
khilafah yang pasti menjamin hak anak melalui kemampuan keluarga dan ri’ayah negara
dalam melindungi semua warganya, termasuk dari keburukan dan penyesatan yang
dilakukan media. Hanya khilafah yang pasti memampukan keluarga untuk memuliakan ibu
dan menyejahterakan semua anggotanya. Khilafah pula yang pasti menjamin ibu
menjalankan fungsi utamanya mempersiapkan generasi unggul penerus dan penjaga
peradaban mulia yang diberkahi Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai