Anda di halaman 1dari 8

Hubungan Depresi Kehamilan Dengan Resiko Autisme Pada Anak

Kehamilan seharusnya menjadi saat-saat yang paling membahagiakan bagi seorang Ibu.
Namun terkadang, sebagai seorang calon Ibu ada saja rasa kekhawatiran yang
berlebihan sehubungan dengan semakin dekatnya proses kelahiran. Sekitar 10-20%
wanita berusaha untuk melawan gejala depresi dan seperempat sampai setengahnya
terkena depresi yang berat. Pada suatu studi terhadap 360 ibu hamil, maka10% dari
mereka mengalami depresi saat kehamilan dan hanya 6,8% yang mengalami depresi
pasca kehamilan.

Depresi selama kehamilan merupakan gangguan mood yang sama seperti halnya pada
depresi yang terjadi pada orang awam secara umum, dimana pada kejadian depresi akan
terjadi perubahan kimiawi pada otak

Depresi juga dapat dikarenakan adanya perubahan hormon yang berdampak


mempengaruhi mood Ibu sehingga Ibu merasa kesal, jenuh atau sedih. Selain itu,
gangguan tidur yang kerap terjadi menjelang proses kelahiran juga mempengaruhi Ibu
karena letih dan kulit muka menjadi kusam.

Secara umum, semua emosi yang dirasakan oleh wanita hamil cukup labil. Ia dapat
memiliki reaksi yang ekstrem dan susana hatinya kerap berubah dengan cepat. Reaksi
emosional dan persepsi mengenai kehidupan juga dapat mengalami perubahan. Ia
menjadi sangat sensitif dan cenderung bereaksi berlebihan.

Etiologi dan Patofisiologi Depresi


1. Faktor organobiologi.
Dilaporkan terdapat kelainan metabolik amin biogenik seperti asam 5-
hydroxyindoloacetic (5-HIAA), asam homovanilic (HVA), dan 3 methoxy-4-
hydroxyphenyl-glycol (MHPG) di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal (CSF)
pasien dengan gangguan mood.1
a. Amino Biogenik
Norephineprin dan serotonin adalah dua neurotransmitter yang paling terlibat
patofisiologi gangguan mood.1
b. Norepinefrin
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respons klinis antidepresi
merupakan peran langsung system noradrenergic pada depresi. Bukti lain yang
juga melibatkan reseptor b2 presinaptik pada depresi,yaitu aktifnya reseptor
yang mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinefrin. Reseptor b2-
presinaptik juga terletak pada neuron serotonergik dan mengatur jumlah
pelepasan serotonin.1
c. Dopamin
Aktivitas dopamin mungkin berkurang pada depresi. Penemuan subtipe baru
reseptor dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi regulasi presinaptik dan
pascasinaptik dopamin memperkaya hubungan antara dopamin dan ganguuan
mood. Dua teori terbaru tentang dopamin dan depresi adalah jalur dopamin
mesolimbik mungkin mengalami disfungsi pada depresi dan reseptor
dopaminmungkin hipoaktif pada depresi.1
d. Serotonin
Aktivitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin bertanggung jawab untuk
mengontrol regulasi afek, agresi, tidur dan nafsu makan. Pada beberapa
penelitian ditemukan jumlah serotonin yang berkurang di celah sinap dikatakan
bertanggungjawab untuk terjadinya depresi.1

Diagram dibawah menunjukkan mekanisme yang diyakini terlibat dalam patofisiologi


depresi. Jalur utama prodepresi yang terlibat adalah axis hipotalamus-pituitari-adrenal
yang diaktivasi oleh stres dan pada gilirannya menguatkan aksi eksitotoksik glutamat
yang dimediasi oleh reseptor NMDA, dan berhubungan dengan ekspresi gen yang
memulai terjadinya apoptosis neural di hipokampus dan korteks prefrontal. Jalur
antidepresif meliputi monoamin norepinefrin dan 5-hydroxytryptamine (5-HT), yang
bekerja pada reseptor G-protein-coupled, dan brain-derived neurotrophic factors
(BDNF), yang bekerja pada kinase-linked receptor(TrkB), berhubungan dengan gen
yang melindungi neuron melawan apoptosis dan mempromosikan terjadinya
neurogenesis. 1
Gambar 1. Patofisiologi Depresi

2. Faktor genetik
Faktor genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan gangguan mood
dengan jalur penurunan yang kompleks. Penelitian sebelumnya yang dilakukan dalam
keluarga menunjukkan bahwa generasi pertama lebih sering 2 sampai 10 kali
mengalami depresi berat.
Dua dari tiga studi menemukan gangguan depresi berat diturunkan secara genetik.
Studi menunjukkan, anak biologis dari orang tua yang terkena gangguan mood beresiko
untuk mengalami gangguan mood walaupun anak tersebut dibesarkan oleh keluarga
angkat.1

3. Faktor psikososial
Kembar monozigot sebesar 50% dan kembar dizigot sebesar 10-25%. Pada anak
kembar dizigot gangguan depresi berat terdapat sebanyak 13-28% sedangkan pada
kembar monozigot 53-69%.
Peristiwa kehidupan dengan stressfull sering mendahului episode pertama
dibandingkan episode berikutnya. Teori yang ada terkait dengan hal tersebut adalah
adanya perubahan biologi otak yang bertahan lama. Sehingga perubahan ini
menyebabkan perubahan berbagai neurotransmitter dan system sinyal intraneuron,
termasuk hilangnya beberapa neuron dan penurunan kontak sinap dan berdampak pada
sinap dan hal tersebut dapat berdampak pada seorang individu berisiko tinggi
mengalami episode berulang, gangguan mood, sekalipun tanpa stressor.1
Semua orang dengan dengan pola kepribadiannya dapat mengalami depresi sesuai
dengan situasinya. Orang dengan gangguan kepribadian obsesi-kompulsi, histrionik dan
ambang berisiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingnya dengan gangguan
kepribadian paranoid dan antisocial. Pasien dengan gangguan distimik dan siklotimik
berisikko menjadi gangguan depresi berat. Peristiwa stressful merupaka predictor
terkuat untuk kejadian episode depresi.1

Autisme

Gangguan perkembangan pervasif dikenal juga dengan Autisme Spectrum Disorder


(ASD) terdiri dari lima gangguan perkembangan :

1. Autisme
2. Gangguan Asperger’s (Sindrom Asperger)
3. Gangguan desintegratif masa kanak (Sindrom Disintegratif)
4. Gangguan rett (Sindrom Rett)
5. Gangguan perkembangan pervasif yang tidak di klasifikasikan di tempat
lain.2

Definisi
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan
adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku,
komunikasi dan interaksi sosial.

Etiologi
Autisme hingga saat ini masih belum jelas penyebabnya. Dari berbagai penelitian klinis
hingga saat ini masih belum terungkap dengan pasti penyebab autisme. Secara ilmiah
telah dibuktikan bahwa Autisme adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
muktifaktorial dengan banyak ditemukan kelainan pada tubuh penderita. Beberapa ahli
menyebutkan autisme disebabkan karena terdapat gangguan biokimia, ahli lain
berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa.
Beberapa peneliti mengelompokkan etiologi autisme adalah sebagai berikut :

a. Genetik
Kelainan genetik biokimiawi pada anak autisme terdapat ketidakseimbangan
neurotransmiter yang mengganggu pertumbuhan otak bayi pada masa-masa awal
kehamilan.
b. Gangguan saat prenatal, natal dan post natal
Insiden autisme meningkat bila terdapat masalah dalam masa prenatal, natal dan
post natal sehingga mempenngaruhi pertumbuhan sel-sel otak. Sel saraf otak
(neuron) terbentuk didalam kandungan sejak 3 bulan sampai 7 bulan masa
kehamilan. Pada trimester ketiga dan setelah lahir tidak ada pembentukan sel
saraf lagi tetapi dilanjutkan dengan pembentukan akson, dendrit dan sinaps
sampai anak berumur 1-2 tahun,dengan adanya gangguan saat prenatal, natal dan
post natal mengakbatkan proses perkembangan otak terganggu, sehingga
dibeberapa bagian otak anak autisme tumbuh tidak sempurna, seperti pada lobus
frontalis, lobus temporalis, serebelum, hipokampus dan amigdala. Sehingga
menurut para peneliti bahwa awal terjadinya autisme adalah sebelum lahir.

Neuroanatomi autisme
Hasil otopsi pada otak anak autisme didapatkan kelainan dibeberapa tempat baik
secara neuroanatomi maupun neurokimiawi. Pada neuroanatomi kelainan pada
lobus frontalis, lobus temporalis, amigdala, hipokampus dan serebelum.
Sedangkan neurokmiawi yaitu serotonin
Patologi
A. Amigdala
Amigdala terletak di sebelah anterior dari kornu inferius ventrikuli lateralis
dan sebelah dalam dari unkus didalam lobus temporalis, beberapa data klinik
menunjukkan bahwa amigdala mempunyai hubungan dengan mekanisme-
mekanisme batang otak yang mengendalikan atau mengontrol agresifitas dan
emosional. Pada autisme pertumbuhan sel neuron di amigdala sangat padat
dan kecil-kecil daripada sel neuron normal, sehingga fungsinya menjadi
kurang baik. Sehingga para penyandang autisme pada umumnya kurang
dapat mengendalikan emosinya, sering marah bila tidak mendapat
keinginannya, kadang-kadang mendadak tertawa, menangis atau marah
tanpa sebab yang jelas, sering terdapat agresifitas yang ditujukan pada orang
lain maupun diri sendiri, mereka juga kadang menyenangi sesuatu yang
berlebihan.
B. Hipokampus
Hipokampus berkaitan dengan daya ingat dan belajar, sehingga gangguan di
hipokampus menyebabkan timbulnya kesulitan dalam menyerap dan
menyimpan informasi.
C. Serebelum
Terletak di fosa kranialis posterior, bertanggung jawab untuk gerakan.
Pemeriksaan MRI menemukan bahwa pada anak autisme didapatkan lobulus
VI-VII lebih besar (hiperplasia) daripada normal. Dari hasil otopsi
didapatkan pula pada 25-30% anak autisme jumlah sel purkinye berkurang
yaitu sel yang mempunyai kandungan serotonin yang tinggi. Akibatnya
keseimbangan antara neurotransmiter serotonin dan dopamin terganggu.
Menyebabkan kacaunya lalu lalang impuls di otak.
D. Lobus frontalis
Lobus frontalis meluas dari ujung frontal yang berakhir pada sulkus sentralis
dan disisi samping fisura lateralis. Lobus frontalis berfungsi sebagai fungsi
perencanaan suatu tindakan. Pada anak autisme terdapat kelainan dalam
lobus frontalisnya sehingga anak tidak dapat merenncanakan suatu tindakan.
E. Lobus temporalis
Lobus temporalis terletak dibawah fisura lateralis serebri dan berjalan ke
belakang sampai fisura parietooksipitalis. Lobus parietalis berfungsi sebagai
pusat pendengaran, bicara dan daya ingat,demikian pula pada lobus
temporalis anak autisme terdapat kelainan sehingga anak terlambat bicara.
F. Serotonin
Pada anak autisme kadar serotonin dalam darah meningkat, yang diikuti
peningkatan transpor serotonin dalam trombosit dan penurunan ikatan
reseptor serotonin 5-HT2. Pada anak autisme yang diobati dengan inhibitor
serotonin transporter akan menurunkan gejala perilaku yang diulang-ulang
dan agresif.
Bukti yang paling meyakinkan dari hubungan antara serotonin dan autisme
adalah efikasi pengobatan antidepresan yang secara poten menghambat
transpor serotonin. Inhibitor transpoter serotonin yang poten (PSTI) meliputi
antidepresan trisiklik, klomipramin, Serotonin Selektif Reuptake Inhibitor
(SSRI), fluoxetine, setraline, fluvoxamine dan paroxetine. Bukti lebih lanjut
keterlibatan serotonin pada autisme berasal dari penelitian farmakologi yang
menggunakan defisiensi triptofan. Defisiensi triptofan diikuti oleh
penurunan neurotransmisi, pelepasan dan sintesis serotonin.

Sejumlah perkembangan mutakhir dalam biologi molekuler reseptor 5-HT


adalah hal yang relevan pada penelitian autisme. Telah ditemukan berbagai
reseptor 5-HT transporter serotonin yang bermanfaat dalam pendalaman
pemahaman tentang peran sistem serotonin pada autisme

Faktor pemicu lain yang berperan dalam timbulnya gejala Autisme adalah :
Kelainan Otak Organik
Bagian otak yang mengalami kelainan adalah :
1. Lobus Parietalis otak, yang menyebabkan anak cuek terhadap lingkungannya.
2. Otak kecil (cerebellum) pada lobus VI dan VII yang bertanggung jawab pada
proses sensoris, daya ingat, berpikir, belajar berbahasa dan proses atensi
(perhatian). Juga didapatkan jumlah sel purkinje di otak kecil yang sangat
sedikit, sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamin, lalu
terjadi kekacauan impuls di otak.
3. Sistem Limbik yang disebut hippocampus dan amygdala, yang mengganggu
fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi. Amygdala bertanggung jawab
terhadap berbagai rangsang sensoris, Hippocampus bertanggung jawab terhadap
fungsi belajar dan daya ingat, sehingga terjadilah kesulitan menyimpan
informasi baru.
Skema Hubungan Depresi Kehamilan Dengan Resiko Autisme Pada Anak

Ada sekitar 14 reseptor serotonin, reseptor-reseptor ini terletak pada lokasi yang
berbeda di susunan saraf pusat (SSP). Walaupun terlihat begitu banyaknya reseptor
serotonin, satu neurotransmiter dapat saja memberikan efek ke berbagai struktur otak
kerja serotonin pada berbagai proses fisiologik dan perilaku terlihat sanggat kompleks.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ismail RI, Siste K. Gangguan Depresi. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G. Buku
Ajar Psikiatri. 2010. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. p 209-22.
2. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Esensial. Edisi ke-enam. 2014. Editor IDAI. Jakarta. P.85-86
3.

Anda mungkin juga menyukai