Anda di halaman 1dari 13

KETERKAITAN FENOMENA EROSI PANTAI, PERAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU DAN PARTISIPASI

MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR DI KALIMANTAN BARAT
AJI ALI AKBAR
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penelitian mengenai Keterkaitan Fenomena Erosi Pantai, Peran Ekosistem Hutan Bakau,

dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem di Pesisir Kalimantan Barat

menitik beratkan pada tiga fokus kajian 1) peran pemecah gelombang terhadap rehabilitasi

pantai dan ekosistem hutan bakau Kalimantan Barat, Indonesia; 2) Kondisi Ekosistem Hutan

Bakau pasca konstruksi bangunan pemecah gelombang: kondisi penanaman Rhizophora spp.

dan kolonisasi Avicennia marina; dan 3) Partisipasi Masyarakat terhadap Pemanfaatan dan

Rehabilitasi Sumber Daya Alam Pesisir Kalimantan Barat (Studi Kasus Erosi Pantai

Kalimantan Barat). Besarnya dana yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah

Kalimantan Barat (Kalbar) guna merehabilitasi daerah pantai telah melatarbelakangi

penelitian ini. Rehabilitasi pantai tersebut berwujud konstruksi pemecah gelombang

(breakwaters) dan penanaman spesies bakau (Rhizophora spp.).

Erosi pantai – Erosi pantai dan kerusakan ekosistem hutan bakau merupakan bencana

lingkungan yang mempengaruhi kehidupan sosial – ekonomi masyarakat pesisir Kalimantan

Barat. Kerusakan pantai dan ekosistem hutan bakau terjadi akibat laju abrasi sekitar 20

m/tahun atau setara 6.100 ha pertahun (Akbar dkk. 2008). Kerusakan ekosistem hutan bakau

seperti di Kalbar ini sudah umum terjadi pada ekosistem hutan bakau di berbagai negara

tropis lainnya, baik akibat pembuatan jalan raya, perluasan permukiman, maupun perluasan

lahan pertanian (Ewel dkk.1998; Sathirathai dan Barbier 2001; Thampanya dkk. 2006;

Walters dkk. 2008). Lebih dari itu, ekstensifikasi tambak udang intensif turut merusak 50%

ekosistem hutan bakau (Blasco dkk.1996; Rönnback 1999), sehingga degradasi hutan bakau

diprediksi mampu memperparah terjadinya erosi pantai di Kalbar.

Kerusakan ekosistem hutan bakau – Kerusakan ekosistem hutan bakau Kalimantan

Barat (Kalbar) disebabkan karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa dan

1
KETERKAITAN FENOMENA EROSI PANTAI, PERAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU DAN PARTISIPASI
2
MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR DI KALIMANTAN BARAT
AJI ALI AKBAR
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

permukiman pada tahun 1950an. Menurut Djohan (2012), zona ekosistem hutan bakau dari

perairan ke arah darat dipilah menjadi zona hilir (lower zone), zona tengah (middle zone),

dan zona hulu (upper zone). Berdasarkan zonasi tersebut, alih fungsi lahan di pantai Kalbar

terjadi pada zona hulu (upper zone) dan zona hulu atas (upper – upper zone). Pada tahun

1980an terjadi lagi alih fungsi lahan lebih ekstensif menjadi tambak udang intensif pada zona

tengah (middle zone) ekosistem hutan bakau Kalbar. Konstruksi ekstensifikasi tambak udang

ini turut memperparah erosi pantai Kalbar. Alih fungsi lahan untuk berbagai peruntukan

tersebut telah menyebabkan kerusakan hampir sepanjang 60 km garis pantai (Balai Wilayah

Sungai Kalimantan 1 2011).

Partisipasi masyarakat – Sebagaimana telah diuraikan dimuka, bahwa kerusakan

lingkungan pantai telah mempengaruhi kehidupan sosial – ekonomi masyarakat Kalimantan

Barat. Kerusakan lingkungan pesisir ini juga akibat persebaran penduduk yang tidak merata,

dimana pembangunan lebih terkonsentrasi di wilayah pesisir. Hal ini tentunya

mempengaruhi besarnya tekanan dan ketidak-merataan pembangunan di Kalbar yang

berdampak pada kesenjangan taraf hidup masyarakat khususnya petani-nelayan yang

semakin rendah. Rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat disebabkan hilangnya

permukiman dan lahan pertanian, disamping sulitnya memperoleh hasil perikanan akibat

kerusakan hutan bakau (Akbar dkk. 2008). Perkiraan nilai jasa perikanan pantai di Kalbar

yang didukung oleh ekosistem Bakau menyumbang pendapatan masyarakat sebesar 30 ribu

US$ /ha/tahun (Akbar 2005).

Pemerintah, melalui Dinas Pekerjaan Umum (DPU), bersama masyarakat telah berusaha

mengatasi erosi pantai Kalimantan Barat. Usaha tersebut dengan mengkonstruksi pemecah

gelombang dan menanam pohon Rhizophora spp. Adanya bangunan pemecah gelombang

itu untuk melindungi pantai, serta memberi kesempatan pertumbuhan tanaman semai
KETERKAITAN FENOMENA EROSI PANTAI, PERAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU DAN PARTISIPASI
3
MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR DI KALIMANTAN BARAT
AJI ALI AKBAR
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Rhizophora spp. Tidak banyak informasi penanaman Rhizophora spp. untuk merehabilitasi

pantai di Kalbar.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian. Lokasi terletak di utara garis khatulistiwa; dari Utara –
Selatan: Pantai Teluk Suak (Kabupaten Bengkayang) – Pantai Sengkubang (Kabupaten
Pontianak).
KETERKAITAN FENOMENA EROSI PANTAI, PERAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU DAN PARTISIPASI
4
MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR DI KALIMANTAN BARAT
AJI ALI AKBAR
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Informasi penanaman bakau tersebut dilakukan pada tahun 2002 di pantai Mempawah

(Teluk Penibung); serta tahun 2010 di Penibung, Sengkubang (Teluk Penibung), Kelapa

Empat (Teluk Sungai Duri), dan Karimunting (Teluk Karimunting). Adanya bangunan

pemecah gelombang tersegmentasi berdampak negatif terjadinya erosi pantai di sebagian

lokasi terutama di pantai yang berada di belakang celah antar bangunan pemecah gelombang,

dan lokasi lain yang tidak terlindung bangunan pemecah gelombang. Namun demikian,

keberadaan bangunan pemecah gelombang menyebabkan terbentuknya lahan baru (newly

form land) di belakang bangunan pemecah gelombang ke arah darat. Pada lahan baru

tersebut dilakukan penanaman Rhizophora spp (Akbar dkk. 2011).

1.2. Masalah Penelitian


Erosi pantai – Erosi pantai di Kalimantan Barat terjadi hampir empat dasawarsa terakhir,

telah mengakibatkan abrasi pantai yang sangat parah. Abrasi pantai ini hingga mencapai 60

km dengan laju bervariasi hingga 20 meter vertikal garis pantai pertahun (Balai Wilayah

Sungai Kalimantan 1 2011; Akbar dkk. 2008). Ada lima kabupaten/ kota pesisir di Kalbar

mengalami erosi pantai yang parah terutama Sambas, Singkawang, Bengkayang, dan

Mempawah (Balai Wilayah Sungai Kalimantan I 2010). Secara ekonomi, erosi pantai telah

merusak jaringan jalan raya sebagai urat nadi perekonomian antara Pontianak – Sambas,

disamping juga menghilangkan permukiman dan lahan pertanian masyarakat. Kondisi abrasi

pantai ini turut memperparah kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir Kalbar (Akbar dkk.

2008). Secara ekologi, tingginya laju abrasi dapat merusak hutan bakau yang masih tersisa

di pantai (Blasco dkk. 1996).

Alih fungsi lahan – Aktifitas alih fungsi lahan di ekosistem hutan bakau; menjadi

perkebunan kelapa, permukiman, serta tambak udang; telah memperparah erosi pantai

Kalimantan Barat (Akbar dkk. 2008). Pembuatan saluran parit (drainase) untuk

mengeringkan lahan perkebunan kelapa tersebut telah mengakibatkan kerusakan


KETERKAITAN FENOMENA EROSI PANTAI, PERAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU DAN PARTISIPASI
5
MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR DI KALIMANTAN BARAT
AJI ALI AKBAR
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

karakteristik ekosistem hutan bakau, sehingga kerusakan itu turut menghilangkan jasa

perlindungan alami pantai terhadap erosi di Kalbar.

Kerusakan hutan bakau tersebut dipicu pesatnya reklamasi bakau menjadi perkebunan

kelapa dan permukiman sejak tahun 1950an. Perkebunan kelapa telah membentuk kanal –

kanal yang menurunkan muka air tanah sehingga merusak ekosistem rawa bakau. Kerusakan

ekosistem bakau semakin meningkat karena konstruksi tambak udang intensif di awal

1980an. Laju erosi pantai yang melebihi kemampuan hutan bakau merehabilitasi secara

alami menyebabkan kerusakan vegetasi bakau yang masih tersisa di Kalbar.

Laju erosi pantai ini merupakan proses feedback (umpan balik) dari kerusakan ekosistem

bakau. Laju kerusakan ekosistem bakau di Kalbar akibat antropogenik dan erosi pantai

ditaksir 6.100 hektar pertahun. Kerusakan ekosistem bakau pantai mengakibatkan hilangnya

valuasi ekologi bakau sebagai pelindung pantai dari erosi sebesar 6,7 juta US$ ha-1 (Akbar

dkk. 2008). Akbar dkk. (2008) menambahkan bahwa pada daerah tererosi tidak akan

dijumpai lagi zona bakau dominan di pantai Kalbar; dari arah pantai ke darat yaitu api – api

(Avicennia marina), api – api hitam (A. officinalis), tumu (Bruguiera gymnorrhiza), bakau

jangkar (Rhizophora apiculata), bogem atau kedabu (Sonneratia ovata), buta – buta

(Excoecaria agallocha) dan nipah (Nypa fruticans).

Penanaman bakau (Rhizophora spp.) merupakan respon pemerintah dan masyarakat

guna merehabilitasi daerah tererosi. Hasil survey lapangan tahun 2011 (Akbar dkk. 2011)

menunjukkan bahwa penanaman pohon bakau banyak mengalami kegagalan karena

kesalahan: penentuan lokasi tanam, pemilihan spesies dan sistem penanaman. Hasil survei

juga mengamati kemampuan merehabilitasi alami bakau yang didominasi spesies Api – api

(Avicennia marina) di lokasi tersedimentasi (newly formed land), sedangkan spesies bakau

pantai yang umumnya digunakan untuk penanaman adalah bakau (Rhizophora spp.). Faktor

yang diduga mempengaruhi ketidak-berhasilan upaya rehabilitasi pantai adalah kurangnya


KETERKAITAN FENOMENA EROSI PANTAI, PERAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU DAN PARTISIPASI
6
MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR DI KALIMANTAN BARAT
AJI ALI AKBAR
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

pengetahuan tentang dasar ekologi bakau oleh masyarakat dan instansi terkait: Dinas

Pekerjaan Umum (DPU), Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), dan Dinas Kehutanan

(Dinhut); serta kebijakan pemerintah yang tidak terintegrasi dalam pengelolaan daerah

pesisir. Kurangnya pengetahuan dan ketidak-integrasian kebijakan dalam pengelolaan

daerah pantai seperti ini terjadi pula di Filipina (Primavera dan Esteban 2008).

Kehadiran ekosistem bakau diyakini oleh para ahli berperanan melindungi pantai dan

permukiman dari erosi, badai, dan tsunami (Blasco dkk. 1996; Ewel dkk. 1998; Rönnbäck

1999; Sathirathai dan Barbier 2001; Mazda dkk. 2006; Thampanya dkk. 2006; Walters

dkk. 2008). Ekosistem hutan bakau juga berfungsi untuk menjaga kualitas air, mendukung

perikanan di ekosistem pesisir dan lepas pantai (Rönnbäck 1999; Walters dkk. 2008), serta

sumber bahan makanan, bahan bangunan, bahan bakar, dan bahan obat – obatan (Ewel dkk.

1998; Walters dkk. 2008).

Partisipasi masyarakat – Ketidak merataan penduduk di pesisir Kalimantan Barat

mengakibatkan daerah pesisir mengalami tekanan pembangunan yang lebih besar daripada

di daerah daratan. Disamping itu, beragamnya etnis masyarakat yang bermukim di pesisir

Kalimantan Barat turut memperkaya budaya masyarakat setempat, baik dalam aspek mata

pencaharian, pengetahuan, persepsi, maupun strategi pemanfaatan sumberdaya pesisir. Etnis

masyarakat yang bermukim di pesisir Kalimantan Barat adalah Melayu, Bugis, Cina, Banjar,

Jawa, dan Dayak; yang saling berasimilasi. Keberagaman masyarakat ini mempengaruhi

pola variasi pemanfaatan sumber daya alam pesisir yang berdampak pada kelestarian

lingkungannya.

Disamping keberagaman masyarakat, adanya potensi konflik kepentingan diantara

instansi terkait turut berperanan besar mempengaruhi degradasi lingkungan pantai serta

keberlanjutan program rehabilitasi kawasan pesisir. Instansi pemerintah yang berkompeten

terhadap perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan daerah pesisir seperti Dinas Pekerjaan
KETERKAITAN FENOMENA EROSI PANTAI, PERAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU DAN PARTISIPASI
7
MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR DI KALIMANTAN BARAT
AJI ALI AKBAR
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Umum (DPU), Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Kehutanan (Dinhut), dan Badan

Pertanahan Nasional. Adanya konflik kepentingan akan mengakibatkan pengelolaan daerah

pesisir tidak berjalan optimal.

Penelitian ini dilakukan di tiga teluk pesisir Kalbar yaitu Karimunting, Sei Duri, dan

Penibung (Gambar 1). Berdasarkan keberadaan pulau yang melindungi pantainya, lokasi

kajian dibagi menjadi teluk yang terlindungi pulau: Lemukutan, Penatah Besar, Penatah

Kecil, Kabung, Tempurung, dan Semesak yaitu teluk Karimunting. Sebaliknya, teluk

Penibung dan teluk Sei Duri merupakan teluk yang tidak terlindungi oleh gugusan pulau.

Kondisi morfologi pantai yang landai dengan jenis tanah dominan OGH (organosol,

gley, humus) dan aluvial, serta bertekstur lempung debuan. Kondisi teluk dipengaruhi oleh

gelombang dan arus Laut Cina Selatan, serta aliran sungai besar yang bermuara ke laut,

seperti sungai: Kapuas, Peniti Besar, Pinyuh, Mempawah, Duri, dan Raya. Banyaknya

suplai air tawar, pasang surut teratur, dan iklim tropis basah di daerah khatulistiwa

menyebabkan salinitas air di perairan pantai Laut Cina Selatan berkisar 29 – 35 ppt .

Beraneka ragamnya spesies hutan bakau di Kalbar didukung oleh pantai yang landai, pasang

surut yang teratur, terjadinya sedimentasi yang membentuk dataran lumpur (mudflat), suplai

air tawar yang teratur, dan kondisi iklim tropis basah yang memiliki curah hujan yang tinggi

(Akbar dkk. 2008).

Berdasarkan permasalahan erosi pantai, alih fungsi lahan, dan partisipasi masyarakat di

atas, maka penelitian ini mempertanyakan:

Erosi pantai – 1) Bagaimana kondisi oseanografi di lokasi kajian: kecepatan dan arah

angin; kuat dan tipe gelombang; pola dan kecepatan arus; dan pola pasang surut? 2)

Bagaimana laju dan distribusi erosi serta sedimentasi secara temporal dan spasial di lokasi

kajian? 3) Bagaimana pengaruh drainase terhadap erosi - sedimentasi? 4) Bagaimana

pengaruh bangunan pemecah gelombang terhadap drainase di lokasi kajian? 5) Bagaimana


KETERKAITAN FENOMENA EROSI PANTAI, PERAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU DAN PARTISIPASI
8
MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR DI KALIMANTAN BARAT
AJI ALI AKBAR
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

bangunan pemecah gelombang dapat menangkap sedimen? 6) Apakah terjadi newly formed

land di daerah yang ada bangunan pemecah gelombang ?

Kondisi hutan bakau – 7) Bagaimana kondisi ekosistem hutan bakau di lokasi kajian?

8) Berapa dalam jeluk parit yang dibuat ketika mengalih fungsikan lahan ekosistem hutan

bakau menjadi kebun kelapa? 9) Bagaimana kolonisasi hutan bakau di daerah sedimentasi

bangunan pemecah gelombang? 10) Bagaimana pengaruh bangunan pemecah gelombang

terhadap pertumbuhan hutan bakau, baik yang yang ditanam dalam usaha rehabilitasi hutan

bakau maupun rekolonisasi alami? 11) Bagaimana kondisi fisiko-kimia sedimen dan tanah,

yang meliputi tekstur, permeabilitas, berat volume, pH, salinitas, dan unsur hara (bahan

organik, NH4+, PO4-3, SO4-2, NO3-, dan Fe+2), di lokasi kajian?

Partisipasi masyarakat – 12) Bagaimana pengetahuan dan persepsi masyarakat

terhadap erosi pantai dan kerusakan ekosistem hutan bakau? 13)Bagaimana usaha

pemerintah pasca-konstruksi bangunan pemecah gelombang dalam merehabilitasi daerah

pesisir? 14) Bagaimana respon masyarakat terhadap konstruksi bangunan pemecah

gelombang saat ini? 15) Bagaimana respon masyakarat terhadap pertumbuhan hutan bakau

alami? 16) Bagaimana partisipasi masyarakat terhadap upaya rehabilitasi daerah pesisir?

1.3. Tujuan Penelitian


Penelitian ini dilakukan karena belum banyak kajian yang mengungkap pengaruh

konstruksi bangunan pemecah gelombang, rehabilitasi ekosistem hutan bakau, dan

peranserta masyarakat yang saling bersinergis dalam melindungi pantai di Indonesia. Secara

khusus, penelitian ini bertujuan:

Erosi pantai – 1) menganalisis kondisi morfologi pantai, serta pengaruh kecepatan angin

dan faktor musim terhadap pola: arus, gelombang, dan pasang surut di lokasi kajian; 2)

mengevaluasi pengaruh bangunan pemecah gelombang terhadap perubahan garis pantai,

pola erosi dan sedimentasi pantai secara temporal dan spasial; 3) mengevaluasi pengaruh
KETERKAITAN FENOMENA EROSI PANTAI, PERAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU DAN PARTISIPASI
9
MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR DI KALIMANTAN BARAT
AJI ALI AKBAR
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

bangunan pemecah gelombang terhadap kondisi vegetasi bakau dan proses terjadinya

kolonisasi alami di hutan bakau.

Kondisi hutan bakau – 4) mengidentifikasikan kekayaan spesies yang hadir di lokasi

kajian; 5) mengevaluasi kemelimpahan spesies hutan bakau baik yang mengkolonisasi

maupun yang ditanam; 6) mengidentifikasikan asal sumber benih vegetasi bakau di lokasi

kajian; 7) menganalisis pengaruh kondisi fisika-kimia substrat tanah, meliputi tekstur, unsur

hara (bahan organik, NH4+, PO4-3, SO4-2, NO3-, dan Fe+2, pH dan salinitas) terhadap vegetasi

bakau; 8) menganalisis pengaruh kualitas air dan udara terhadap vegetasi bakau; 9)

menganalisis dinamika ekosistem hutan bakau pasca bangunan pemecah gelombang secara

temporal.

Partisipasi masyarakat – 10) mengidentifikasi kondisi sosial ekonomi masyarakat; 11)

mengidentifikasi kondisi demografi masyarakat; 12) menganalisis aktivitas masyarakat

penyebab kerusakan ekosistem pantai; 13) menganalisis adaptasi masyarakat sebagai respon

menghadapi kerusakan ekosistem pantai.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini memberi informasi penting bagi pengambil kebijakan sebagai model

pengelolaan sumberdaya pesisir khususnya di Kalimantan Barat, serta umumnya di berbagai

negara tropis yang memiliki permasalahan dan tipe ekosistem pantai serupa. Penelitian ini

juga berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya manajemen dan konservasi

sumberdaya alam pesisir.

1.5. Keaslian Penelitian


Penelitian mengenai erosi pantai, kondisi ekosistem hutan bakau dan kehidupan

masyarakat pesisir, bukan merupakan hal yang baru. Secara umum, kajian tersebut lebih

menekankan pada aspek peran ekologi dan ekonomi lingkungan biofisik pesisir serta

dampaknya terhadap sosial ekonomi masyarakat. Kajian yang ada lebih menekankan pada

kuantitas keanekaragaman, potensi, pemanfaatan, faktor penyebab kerusakan, dan pengaruh


KETERKAITAN FENOMENA EROSI PANTAI, PERAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU DAN PARTISIPASI
10
MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR DI KALIMANTAN BARAT
AJI ALI AKBAR
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

ekosistem bakau pantai terhadap pendapatan masyarakat setempat. Berdasarkan lokasi dan

cakupannya, penelitian terdahulu relatif sempit menurut beberapa aspek kajian.

Penelitian dalam disertasi ini lebih mengkaji pengelolaan yang terintegrasi dan

komprehensif antara kejadian erosi pantai, kerusakan ekosistem hutan bakau, upaya

rehabilitasi daerah pesisir, dan respon masyarakat pesisir. Kajian peneliti lain dari dalam dan

luar negeri mengenai kerusakan lingkungan pantai dan respon manusia dipaparkan pada

Tabel 1.

Ciri keaslian penelitian tentang keterkaitan erosi pantai, kondisi ekosistem hutan bakau,

dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem pesisir adalah ruang lingkup

metode dan analisis kajian lebih kompleks, komprehensif dan terintegrasi daripada kajian

yang pernah ada. Penelitian ini merupakan kajian terintegrasi antara prediksi kejadian erosi

pantai, tingkat keberhasilan penanaman bakau dan kolonisasi alami vegetasi bakau di lahan

yang mengalami erosi pantai, pengaruh konstruksi pemecah gelombang terhadap perbaikan

lingkungan biofisik, serta respon masyarakat terhadap bangunan pemecah gelombang, upaya

pencegahan kerusakan bakau, dan berbagai strategi adaptif masyarakat dalam mengelola

ekosistem pantai berbakau guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Penelitian ini

berupaya mendapatkan solusi yang baik, tepat dan bijaksana dalam pemanfataan

sumberdaya alam pesisir dan tekanan sosial ekonomi masyarakat, sehingga masyarakat

pantai dapat sejahtera dengan mengkonservasi ekosistem pesisir.


KETERKAITAN FENOMENA EROSI PANTAI, PERAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU DAN PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR DI KALIMANTAN BARAT
AJI ALI AKBAR
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Tabel 1.1. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan erosi, kerusakan hutan bakau, dan masyarakat pesisir.
No. Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Hasil Penelitian Keaslian penelitian ini
Penelitian Penelitian
1. Ghazali (2006).  Menggambarkan Metode  Erosi dan reklamasi pantai Malaysia menjadi issu utama  Fokus Kajian: tambahan kajian
Coastal Erosion sejarah upaya survey dan pengelolaan pesisir ketika lahan pertanian mulai tererosi sejak vegetasi dan adaptasi
and Reclamation in reklamasi dan historikal tahun 1980an masyarakat yang berintegrasi
Malaysia. pengendalian erosi di data  Hampir 30% pantai di Malaysia mengalami erosi yang berpengaruh dengan kajian erosi pantai
Malaysia. sekunder terhadap kehidupan manusia. Pengendalian erosi pantai baru  Jenis data: data pengukuran
 Mencari solusi dilakukan ketika erosi telah mengganggu aktivitas perekonomian lapangan lebih dominan
permasalahan erosi masyarakat. sejak tahun 1982, Upaya pengendalian erosi pantai khususnya variabel sedimen,
pantai dan usaha dengan revetment, breakwaters, dan penambahan material vegetasi dan responden
reklamasi tersebut. dengan panjang 80 km.
 Pemerintah berperanan penting dalam pembuatan kebijakan
pengelolaan pesisir yang mengatur reklamasi lahan.
2. Moberg &  Mengkaji peranan Metode  Penggunaan teknologi membutuhkan bahan bakar fosil, biaya dan  Fokus kajian: ada tambahan
Ronnback (2003). teknologi dalam survey dan pemeliharaan mahal. kajian fisiko kimia ekosistem
Ecosystem menggantikan fungsi historikal  Program restorasi tidak fokus pada proses skala luas, seperti pantai yang berintegrasi
Services of The jasa lingkungan alami. data keterkaitan faktor biofisik, dan biogeokimia pada ekosistem dengan kajian vegetasi dan
Tropical  Mengkaji fungsi sekunder bentang laut. perilaku masyarakat pantai
Seascape: restorasi ekosistem,  Jasa lingkungan alami tidak dapat digantikan dengan teknologi.  Jenis data: data pengukuran
Interactions, yang berguna bagi  Program restorasi, substitusi, dan berkelanjutan tidak akan lapangan lebih dominan
Substitutions and manusia dan mampu tercapai tanpa pengetahuan yang luas tentang dnamika, khususnya variabel sedimen,
restoration. menjadi sistem multifungsi, dan keterkaitan antar ekosistem. vegetasi dan responden
penanggulangan
gangguan lingkungan
pada masa depan.
3. Barbier (2006).  Mengkaji motivasi Metode  Perlu pengembangan kelembagaan dan kebijakan yang baru bagi  Fokus kajian: ada tambahan
Natural Barriers to masyarakat menanam survey dan semua penduduk pesisir untuk meningkatkan efisiensi kesuksesan kajian fisiko kimia ekosistem
Natural Disasters: bakau di Thailand historikal rehabilitasi dan pengelolaan bakau sebagai pemecah gelombang pantai yang berintegrasi
Replanting Bakaus  Mengkaji kesuksesan data  Masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi untuk berpartisipasi dengan kajian vegetasi dan
after The Tsunami penanaman bakau sekunder menanam bakau. perilaku masyarakat pantai
 Mengidentifikasikan  Kegagalan rehabilitasi bakau karena ketidakjelasan program kerja  Jenis data: data pengukuran
insentif atas partisipasi rehabilitasi bakau dan insentif pemanfaatan hasil ekosistem, lapangan lebih dominan
masyarakat lokal dalam seperti insentif: pemanfaatan kayu, lahan pertambakan, dan hasil khususnya variabel sedimen,
penanaman bakau. ekosistem lainnya. vegetasi dan responden

11
KETERKAITAN FENOMENA EROSI PANTAI, PERAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU DAN PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR DI KALIMANTAN BARAT
AJI ALI AKBAR
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

No. Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Hasil Penelitian Keaslian penelitian ini
Penelitian Penelitian
4. Primavera &  Mengevaluasi Metode  Kerusakan bakau lebih dari 50% disebabkan tambak perikanan.  Fokus kajian: ada tambahan
Esteban (2008). kesuksesan program survey dan  Terjadi perubahan pola rehabilitasi bakau, yang mulanya inisiatif kajian fisiko kimia ekosistem
A Review of Bakau rehabilitasi ekosistem historikal masyarakat lokal (bottom up) menjadi dominansi arahan pantai yang berintegrasi
Rehabilitation in bakau berdasarkan data pemerintah dan LSM dengan dana berlimpah. dengan kajian vegetasi dan
the Philippines: faktor biofisik dan sekunder  Perubahan pola program rehabiitasi oleh pemerintah perilaku masyarakat pantai
Successes, institusional mengakibatkan biaya kegiatan lebih mahal dengan tingkat menanam bakau
Failures and  Mengkaji upaya kesuksesan lebih rendah daripada hasil rehabilitasi bakau oleh  Jenis data: data pengukuran
Future Prospects. rehabilitasi bakau di swadaya masyarakat. lapangan lebih dominan
Filipina secara  Faktor teknis penyebab kegagalan rehabilitasi bakau adalah khususnya variabel sedimen,
temporal ketidaktepatan pemilihan lokasi penanaman dan spesies yang vegetasi dan responden
 Menjelaskan dampak ditanam.
rehabilitasi bakau.  Rehabilitasi bakau oleh masyarakat memiliki tingkat kesuksesan
 Merekomendasikan yang lebih baik karena penggunakan pengetahuan lokal
upaya pengelolaan masyarakat dalam penanaman bakau.
ekosistem bakau yang  Merekomendasikan strategi pengelolaan budidaya perikanan
tepat dalam tambak tradisional di lahan bakau dengan perbandingan setiap 1
membangun budidaya ha lahan tambak harus mengkonservasi empat hektar lahan bakau.
perikanan tambak yang
ramah lingkungan dan
berkelanjutan
5. Ritohardoyo  Mengungkap metode  Jumlah dan ragam strategi rumah tangga berkaitan erat dengan  Fokus kajian: ada tambahan
(2011). keragaman dan survey kondisi biofisik daerah serta dipengaruhi oleh status sosial ekonomi kajian fisiko kimia ekosistem
Strategi keberhasilan strategi dengan rumah tangga. pantai dan kajian vegetasi
Peningkatan yang diterapkan rumah wawancara  Banyaknya ragam strategi peningkatan pendapatan penduduk yang berintegrasi dengan
Pendapatan tangga dalam berbanding terbalik dengan status sosial ekonominya, dimana strategi adaptasi masyarakat
Penduduk meningkatkan semakin rendah tingkat sosial ekonomi rumah tangga, maka pantai
Perdesaan sekitar pendapatan semakin beragam strategi dalam peningkatan pendapatannya.  Jenis data: data pengukuran
Ekosistem Bakau  Besar rerata peningkatan pendapatan rumah tangga dipengaruhi lapangan lebih dominan
(Kasus Kecamatan oleh sosial ekonomi rumah dan ragam strategi yang dilakukan oleh khususnya variabel sedimen,
Kampung Laut rumah tangga. dan vegetasi
Kabupaten  Banyaknya keragaman strategi peningkatan pendapatan
Cilacap). masyarakat belum mampu mencukupi kebutuhan hidup minimum
rumah tangga
6. Ritohardoyo & Ardi  Umum : mengkaji Metode  Hampir separuh penduduk memiliki pengetahuan sedang dan  Fokus kajian: ada tambahan
(2011). persepsi dan partisipasi survey persepsi negatif tentang manfaat, kerusakan akibat pemanfaatan, kajian fisiko kimia ekosistem
masyarakat dalam dengan dan perlunya pencegahan kerusakan ekosistem bakau. pantai dan kajian vegetasi
Arahan Kebijakan pemanfaatan, wawancara  Persepsi masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan bakau. berdasarkan data pengukuran
Pengelolaan pencegahan kerusakan Analisis lapangan, yang berintegrasi
12
KETERKAITAN FENOMENA EROSI PANTAI, PERAN EKOSISTEM HUTAN BAKAU DAN PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN EKOSISTEM PESISIR DI KALIMANTAN BARAT
AJI ALI AKBAR
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

No. Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Hasil Penelitian Keaslian penelitian ini
Penelitian Penelitian
Ekosistem Bakau: ekosistem hutan bakau data teknik  Partisipasi masyarakat memanfaatkan dan mencegah kerusakan dengan perilaku masyarakat
Kasus Pesisir dan mencari alternatif tabulasi tergolong sedang yang dipengaruhi oleh status sosial ekonomi. pantai mengelola ekosistem
Kecamatan Teluk arahan pengelolaan frekuensi,  Perbedaan tingkat status sosial ekonomi, pengetahuan, dan hutan bakau
Pakedai, ekosistem bakau dari tabulasi persepsi terhadap bakau diikuti perbedaan tingkat partisipasi  Jenis ekosistem hutan
Kabupaten Kubu aspek sosial ekonomi silang, dan masyarakat melestarikan bakau. bakaunya berbeda: antara
Raya, Propinsi masyarakat. uji kai  Kebijakan pemerintah setempat mengelola magrove ditanggapi riverine mangrove dengan
Kalimantan Barat. kuadrat negatif oleh masyarakat karena tidak adanya kejelasan dan fringe mangrove
dilengkapi ketegasannya.  Jenis data: data pengukuran
uji  Pemerintah harus menyusun rencana pengelolaan ekosistem lapangan lebih dominan
koefisien hutan bakau terpadu dan disosialisasikan kepada masyarakat. khususnya variabel sedimen,
kontengen dan vegetasi
si
7. Shilong Luo, Feng  Mengkaji berbagai  Review  Cina memiliki dinding pantai sepanjang 13.830 km, groin dan  metode: kajian biogeokimia
Cai, Huijian Liu, macam pendekatan pustaka pemecah gelombang dibangun di pantai berlumpur ekosistem pantai (erosi pantai
Gang Lei, penanggulangan abrasi  Laporan  reklamasi telah menghasilkan 12.000 km2 lahan baru untuk lokasi dan ekosistem hutan bakau)
Hongshuai Qi, pantai dan menemukan proyek pantai sejak 1940. lebih ditekankan dengan
Xianze Su.(2015) solusi yang tepat untuk  Studi  sebelum tahun 1960an, mengatasi erosi pantai dengan bangunan pengambilan data lapangan,
penanggulangan lapangan pengaman pantai serta respon masyarakat
Adaptive tersebut  sebagian besar erosi pantai terjadi secara intensif di daerah dalam menghadapi bencana
measures adopted kerusakan pantai tersebut.
pemukiman
for risk reduction of
 sebagian besar pantai berpasir di cina mengalami erosi dan
coastal erosion in
degradasi hutan bakau membuat pantai rentan tererosi
the People's
Republic of China.  banyak pemimpin di cina berusaha untuk mengurangi dampak
erosi pantai sejak 100 tahun yang lalu.
 dinding pantai dan revetment sangat efektif untuk menghentikan
erosi pantai skala lokal, namun upaya ini hampir pasti mengubah
besaran transport sedimen sepanjang pantai, dan hasilnya adalah
erosi yang parah
 reklamasi merupakan salah satu penyelesaian yang potensial
akibat meningkatnya lahan baru untuk kehidupan dan
perkembangannya. permintaan sangat meningkat beberapa saat
ini karena meningkatnya perekonomian daearah pesisir. Cara
mengatasi non sruktural: penambahan material di pantai,
penerapan zona penyangga, dan vegetasi

13

Anda mungkin juga menyukai