Anda di halaman 1dari 6

TUGAS ANTI KORUPSI

KASUS KORUPSI MENGENAI PEMBAHASAN APBN-P


KEMENTERIAN ESDM TAHUN ANGGARAN 2013
DI KOMISI VII DPR RI
YANG MELIBATKAN SUTAN BHATOEGANA

DISUSUN OLEH:
NAMA PESERTA : YUNIAR SASONGKO, A.Md.Gz
ANGKATAN : XII
NO. PRESENSI : 17

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA


PROVINSI JAWA TIMUR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Banyak ahli yang mendefinisikan arti korupsi, namun kesemuanya memiliki
kesamaan dasar tentang pengertian korupsi. Korupsi sebuah istilah yang diserap dari
dari bahasa latin yaitu corruptus atau corruptio berasal dari kata induk corrumpore yang
secara harfiah berarti : merusak, tidak bermoral penyimpangan dari kesucian seperti
ketidak jujuran, kebusukan, kebejatan, ucapan yang menghina atau memfitnah.
Pengertian Korupsi secara luas adalah perbuatan yang buruk atau
penyelewengan uang negara atau perusahaan dari tempat seseorang bekerja untuk
kepentingan pribadi atau orang lain.
Dalam kamus hukum “Black’s Law Dictionary” Henry Campbell Black
menjelaskan pengertian korupsi (terjemahan bebas) : “Suatu perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan
kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan
jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri
atau untuk orang lain bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain”.
Tindak pidana korupsi di Indonesia adalah tindak pidana melawan hukum yang
diatur dalam peraturan Perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002, menyebutkan: “Tindak Pidana Korupsi
adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Mengacu pada ketentuan di atas, maka ada kelompok atau jenis tindak pidana
korupsi yaitu :
1. Korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan Negara, diatur dalam
ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK;
2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap, diatur dalam ketentuan Pasal 5
ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf
a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12
huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d dan Pasal 13 UU PTPK;
3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan, diatur dalam
ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b dan Pasal 10 huruf
c 3 UU PTPK;
4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan, diatur dalam ketentuan Pasal 12
huruf e, Pasal 12 huruf f dan Pasal 12 huruf g UU PTPK;
5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, diatur dalam ketentuan Pasal
7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat
(1) huruf d, Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 12 huruf h UU PTPK;
6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan,
diatur dalam ketentuan Pasal 12 huruf i UU PTPK;
7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi, diatur dalam ketentuan Pasal 12B jo.
Pasal 12C UU PTPK;
Selain dari tindak-tindak pidana tersebut di atas, masih ada tindak pidana lain yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu:
1. Merintangi Proses Pemeriksaan Perkara Korupsi, diatur dalam ketentuan
Pasal 21 UU PTPK;
2. Tidak Memberi Keterangan atau Memberi Keterangan yang Tidak Benar,
diatur dalam ketentuan Pasal 22 jo. Pasal 28 UU PTPK;
3. Bank yang Tidak Memberikan Keterangan Rekening Tersangka, diatur
dalam ketentuan Pasal 22 jo. Pasal 29 UU PTPK;
4. Saksi atau Ahli yang Tidak Memberi Keterangan atau Memberi
Keterangan Palsu, diatur dalam ketentuan Pasal 22 jo. Pasal 35 UU PTPK;
5. Orang yang Memegang Rahasia Jabatan Tidak Memberikan Keterangan
atau Memberi Keterangan Palsu, diatur dalam ketentuan Pasal 22 jo. Pasal 36
UU PTPK;
6. Saksi yang Membuka Identitas Pelapor, diatur dalam ketentuan Pasal 24 jo.
Pasal 31 UU PTPK;
Karakteristik tindak pidana korupsi di atas, mensyaratkan bahwa pelaku,
tersangka, terdakwa haruslah aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara atau
orang lain/korporasi yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara. Biasanya ada sebagian koruptor
melakukan pencucian uang untuk menyembunyikan asal-usul hasil korupsi.

II. MAKSUD DAN TUJUAN


1. MAKSUD
Dengan memiliki kesadaran diri yang tinggi, kita akan lebih mantap
untuk memastikan bahwa seluruh unsur dalam diri kita baik pikiran, emosi,
ucapan dan tindakan atau perilaku, semuanya akan anti korupsi dan terbangun
kebiasaan berintegritas tinggi, baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan
masyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. TUJUAN
Sebagai ASN kita wajib menjunjung tinggi nilai-nilai ASN yaitu ANEKA
(Akuntabilitas, Nasionalisme, Etika Publik, Komitmen Mutu, dan Anti Korupsi),
yang mana hal tersebut tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 yang diperkuat
dengan Panca Presetya KORPRI dalam sila ke-5 yang berbunyi “Menegakkan
Kejujuran, Keadilan, dan Disiplin serta meningkatkan Kesejahteraan dan
Profesionalisme”.

III. Analisis Masalah Tindak Pidana Korupsi


Topik masalah mengenai korupsi yang akan saya angkat dalam tugas Anti
Korupsi ini adalah : “Kasus Korupsi Mengenai Pembahasan APBN-P Kementerian
ESDM Tahun Anggaran 2013 di Komisi VII DPR RI yang melibatkan Sutan
Bhatoegana”. Kasus korupsi tersebut terjadi cukup lama sekitar tahun 2013, dan pelaku
baru dinyatakan sebagai tersangka pada 14 Mei 2014, akan tetapi kasus korupsi tersebut
cukup menarik untuk dibahas. Karena yang bersangkutan atau tersangka adalah seorang
anggota DPR RI Komisi VII, yang mana tersangka adalah seorang wakil rakyat yang
seharusnya dan selayaknya menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945,
mengemban dan menjalankan amanah rakyat dengan sebaik-baiknya, dan bukannya
malah mengkhianati bangsa dan negara dengan tindakan korupsinya.
BAB II
KAJIAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

Kasus korupsi terkait dengan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja


Negara Perubahan (APBN-P) Tahun Anggaran 2013 di Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral. Dengan tersangka bernama Sutan Bhatoegana, yang mana bersangkutan
adalah mantan Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dia
ditetapkan sebagai tersangka sejak 14 Mei 2014 dan sudah ditahan lembaga KPK sejak
2 Februari 2015. Dalam kasus korupsi itu, Sutan didakwa menerima uang sebesar US$
140.000,-. Ia pun didakwa menerima barang-barang lain, seperti 1 mobil Toyota
Alphard, uang sebesar US$ 200.000,- dari mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini,
uang sejumlah Rp 50.000.000,- dari mantan Menteri ESDM Jero Wacik, serta rumah
dari pengusaha bernama Saleh Abdul Malik.
Mahkamah Agung (MA) memutuskan memperberat hukuman mantan Ketua
Komisi VII DPR RI Sutan Bhatoegana dari vonis sebelumnya 10 tahun menjadi 12
tahun penjara. Selain hukuman penjara 12 tahun, Sutan dikenai denda Rp 500 juta serta
subsider 8 bulan penjara untuk pengganti denda. Selain itu, Sutan dikenai uang
pengganti perkara sebesar Rp 50 juta ditambah US$ 7.500. Jika tidak dibayar dalam
waktu 1 bulan sesudah (putusan) berkekuatan hukum tetap, harta bendanya disita untuk
membayar uang pengganti itu. Lalu, jika tidak dibayar atau harta benda yang ada tidak
mencukupi, akan diganti dengan hukuman penjara 1 tahun. Dalam pembacaan itu, Sutan
juga dituntut pencabutan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan umum selama tiga tahun. Beberapa hal yang memberatkan dalam
tuntutannya adalah karena Sutan dinilai telah mencederai jabatannya sebagai wakil
rakyat.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN
1) Korupsi menyebabkan negara harus membayar hutang yang lebih besar.
2) Korupsi menyebabkan harga infrastruktur lebih tinggi.
3) Tingkat korupsi yang tinggi meningkatkan ketimpangan pendapatan dan
kemiskinan.
4) Korupsi menurunkan investasi dan karenanya menurunkan pertumbuhan
ekonomi.
5) Merupakan kegagalan pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan yang
ditetapkannya waktu menentukan kriteria bagi berbagai jenis keputusan,
6) Menyebabkan kenaikan biaya administrasi.
7) Jika dalam bentuk “komisi” akan mengakibatkan berkurangnya jumlah dana
yang seharusnya dipakai untuk keperluan masyarakat umum.
8) Mempunyai pengaruh buruk pada pejabat-pejabat lain dari aparat pemerintahan.
9) Menurunkan martabat penguasa resmi.
10) Memberi contoh yang tidak baik bagi masyarakat.
11) Membuat para pengambil kebijakan enggan untuk mengambil tindakan-tindakan
yang perlu bagi pembangunan.
12) Menimbulkan keinginan untuk menciptakan hubungan-hubngan khusus.
13) Menimbulkan fitnah dan rasa sakit hati yang mendalam.
14) Menghambat waktu pengambilan keputusan.

2. SARAN
Sebagai ASN kita wajib menjunjung tinggi nila-nilai ASN yang tertuang dalam
ANEKA (Akuntabilitas, Nasionalisme, Etika Publik, Komitmen Mutu, dan Anti
Korupsi). Nilai-nilai tersebut berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dan juga
diperkuat dengan Panca Prasetya KORPRI. Harus menjadi tujuan hidup dan
memiliki kesadaran bahwa segala perbuatan manusia di dunia pasti nantinya akan
dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti.

Anda mungkin juga menyukai